PEMBAHASAN
Berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, pasien tersebut
didiagnosis menderita karsinoma
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, bagian atas berbatasan dengan basis
cranii, bagian belakang berbatasan dengan vertebrae cervicalis, bagain bawah berbatasan
dengan palatum mole, dan pada bagian lateral terdapat
keluarnya darah dari hidung dan hidung tersumbat pada pasien dapat terjadi karena tumor
nasofaring mendesak bagian-bagian yang ada disekitarnya termasuk rongga hidung. Selain
itu, telinga kanan yang terasa penuh dapat timbul akibat tempat asal tumor berada dekat
muara tuba Eustachius (saluran penghubung hidung dan telinga). Pandangan mulai kabur dan
kepala pusing terjadi akibat tumor nasofaring menekan rongga tengkorak yang juga
merupakan tempat lewatnya saraf otak. Gejala lain berupa benjolan yang mucul pada leher
kanan diduga merupakan metastasis tumor primer karsinoma nasofaring ke kelenjar getah
bening. Biopsi nasofaring menunjukkan karsinoma anaplastik yang merupakan tanda utama
keganasan dimana neoplasma ganas terdiri atas sel yang tidak berdiferensiasi dan
memperlihatkan variasi bentuk dan ukuran (pleimorfisme), inti hiperkromatik dan besar
(perbandingan sitoplasma:inti sel = 1:1), kromatin kasar dan bergumpal, serta adanya mitosis
patologis.
Etiologi utama penyebab munculnya kanker nasofaring adalah Epstein-Barr Virus.
Pada semua penderita kanker nasofaring ditemukan peningkatan titer antibodi terhadap EBV.
Virus ini dapat menjadi aktif karena dipicu oleh zat-zat karsinogenik yang dapat berasal dari
zat kimia berupa polusi udara (asap kendaraan bermotor, asap pabrik, dll), konsumsi makanan
awetan yang mengandung nitrosamin, dll. Setelah teraktivasi, Epstein-Barr Virus berikatan
dengan sel inang melalui reseptor CD21 dan dapat terjadi transport DNA virus ke dalam inti
sel. Adanya insersi DNA virus mengakibatkan gangguan pada DNA sel. Gangguan DNA sel
yang terjadi seharusnya diperbaiki oleh gen p53. Gen p53 seharusnya merangsang p21
menekan semua cyclin dependent kinase agar cyclin tidak dapat bekerja, sehingga siklus sel
akan terhenti. Pada saat terhentinya siklus sel akan memberikan waktu terjadinya DNA repair
sehingga dapat dihindari terbentuknya sel yang mengandung defek DNA. Pada infeksi EBV,
sel tidak terhenti untuk melakukan DNA repair karena terjadi mutasi pada gen p53, sehingga
p21 yang seharusnya diaktivasi oleh gen p53 mengalami gangguan. p21 yang berfungsi untuk
menekan semua cyclin dependent kinase tidak bekerja.
Gangguan yang terjadi adalah siklus sel tetap berjalan dengan defek DNA yang
diturunkan pada sel turunan. Sel turunan dengan defek DNA dapat mengganggu apoptosis.
Fungsi apoptosis telah terganggu karena adanya mutasi pada gen pemicu apoptosis (p53).
Apoptosis akan terhambat dan mengakibatkan se menjadi immortal. Pada kondisi demikian,
defek DNA tidak mengaktivasi gen-gen yang tergantung p53. Selanjutnya tidak terjadi
penghentian siklus sel dan mutasi akan terus terbentuk (berproliferasi) sehingga terjadi proses
keganasan.
Untuk mengetahui apakah tindakan dokter melakukan operasi pengangkatan benjolan
di leher sudah tepat, maka kita perlu mencari tahu stadium kanker nasofaring pasien terlebih
dahulu. Stadium kanker nasofaring dapat ditentukan melalui pemeriksaan CT scan untuk
melihat ada tidaknya metastasis kanker pada tulang, sinar-X untuk melihat ada tidaknya
metastasis tumor pada paru-paru, MRI untuk melihat kanker yang menyebar di sekitar kepala,
biopsi untuk melihat kanker pada kelenjar getah bening. Berikut penjelasan mengenai
stadium kanker nasofaring.
Stadium T (ukuran/luas tumor):
N3 Metastasis nodus :
N3a > 6 cm
N3b meluas sampai ke fossa supraklavikula
M1 Metastasis jauh
Pembagian stadium berdasarkan klasifikasi TNMnya disusun seperti pada tabel berikut ini :
Pasien dalam skenario telah menunjukkan gambaran tumor yang meluas ke bagian
intrakranial (T4) dan metastasis unilateral dengan nodus < 6 cm diatas fossa supraklavikula
(N1), sehingga pasien diduga terkena kanker nasofaring stadium IV A.