Anda di halaman 1dari 20

ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien
Nama/MR

: MR/898226

Umur

: 9 tahun 7 bulan

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tanggal Masuk

: 11 Februari 2015

Alloanamnesis
Seorang anak laki-laki berumur 9 tahun 7 bulan dirawat di Bangsal Anak RSUP Dr M
Djamil Padang tanggal 11 Februari 2015 dengan
Keluhan Utama
Kejang dengan penuruan kesadaran sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang

Keluar cairan dari telinga kiri sejak 3 tahun yang lalu, warna cairan putih

kekuningan, anak sering mandi di sungai.


Luka pada telapak kaki sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit, awalnya pasien
merasa gatal pada telapak kaki kemudia menggosokkan telapak kaki tersebut ke

bangku sekolah hingga berdarah.


Demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak tinggi, hilang timbul.
Bintik-bintik kemerahan pada kulit 5 hari sebelum masuk rumah sakit, saat ini

bekas tampak kehitaman.


Kejang 5 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 2x, lama 5-15 menit, kejang

seluruh tubuh, mata melihat ke atas, anak tidak sadar setelah kejang.
Sesak nafas sejak 2 hari yang lalu
Nyeri kepala tidak ada, muntah menyemprot tidak ada
Anak sudah dirawat di RSUD Batusangkar selama 5 hari dengan keterangan

tetanus dengan Philip score 16 dengan penurunan kesadaran.


Di IGD telah dikonsulkan ke bagian mata dengan hasil tidak ditemukan tandatanda peningkatan Tekanan Intra Kranial (papil edema -), dan dikonsulkan ke

bagian THT dengan hasil OMSK AS fase aktif dengan komplikasi intrakranial susp
encefalitis.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mendapat obat OAT 3 tahun yang lalu, selama 6 bulan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita kejang
Riwayat Kelahiran
Pasien anak pertama dari 3 bersaudar, lahir spontan, ditolong bidan, cukup bulan,
berat badan lahir 3500 gram, panjang badan lahir 50 cm, langsung menangis kuat
Riwayat Makanan dan Minuman

ASI
Bubur susu
Nasi tim
Nasi biasa

: 0-18 bulan
: 3-10 bulan
: 10-12 bulan
: 12 bulan

Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar:

BCG
DPT
Polio
Hepatitis B
Campak

: 1 bulan, scar (+) di lengan kanan


:: I. 2 bulan
II.III ::-

Kesan: Riwayat imunisasi dasar tidak lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Pertumbuhan:

Antropometri (menurut CDC)


BB
: 30 kg
TB
: 125 cm
BB/U
= 30/30x100%= 100%
TB/U
= 125/137x100%=91%
BB/TB = 30/25x100%=120%
IMT
= 30/(1,25)2= 19,2%
K/ Gizi Baik

Riwayat Perkembangan:

Tengkurap: 3 bulan
Duduk
: 6 bulan
Berdiri
: 10 bulan
Berjalan
: 15 bulan
Bicara
: 12 bulan

Riwayat Orang Tua


Ayah

Ibu

Umur

56

40

Pendidikan

tidak sekolah

tidak tamat SD

Pekerjaan

Petani

IRT

Perkawinan

ke IV

ke II

Riwayat Perumahan dan Lingkungan

Rumah tempat tinggal

: Rumah semi permanen

Pekarangan

: Sempit

Sumber air minum

: isi ulang

Sampah

Buang air besar

: di sungai

: dibakar

Kesan: Higiene dan sanitasi lingkungan kurang

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum

: tampak sakit berat

Kesadaran

: GCS 4 (E1M2V1)

Tekanan darah

: 100/70 mmHg

Frekuensi denyut nadi : 108 kali/menit


Frekuensi nafas

: 40 kali/menit

Suhu

: 390 C

Sianosis

: Tidak ada

Anemis

: Tidak ada

Ikterik

: Tidak ada

Edema

: Tidak ada

TB

: 125cm

BB

: 30kg

Gizi

: BB/U = 100%, TB/U = 91,9%, BB/TB = 120% .IMT = 19,2 Kesan :

gizi baik

Kulit

: Teraba hangat

KGB

: tidak teraba pembesaran KGB

Kepala

: Bentuk bulat simetris, lingkar kepala 52 cm (normal menurut standar

Nellhaus)
Rambut

: Hitam, tidak mudah rontok

Mata

: Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, reflek cahaya +/


+

Telinga

: tampak sekret mukopurulen pada liang telinga kiri

Hidung

: nafas cuping hidung (+)

Tenggorokan

: sulit dinilai

Gigi dan Mulut

: Mukosa bibir dan mulut basah

Leher

: JVP 5-2 cmH2O, kaku kuduk tidak ada

Dada
Paru

: I = normochest, retraksi epigastrium ada


P = fremitus sulit dinilai
Pc = sonor
A = suara nafas bronkovesikuler, rhonki +/+ halus nyaring, wheezing -/-

Jantung : I = Iktus cordis tidak terlihat


P = iktus teraba di 1 jari medial LMCS RIC VI
Pc = batas jantung: atas= RIC II, kanan= Linea sternalis dekstra, kiri= 1 jari medial
LMCS RIC VI
A = Irama teratur, bising tidak ada
Abdomen: I = Distensi tidak ada

P= supel, hepar dan lien tidak teraba


Pc = timpani
A = bising usus (+) normal
Punggung

: Tidak ditemukan kelainan, epistotonus tidak ada

Alat Kelamin : Tidak ditemukan kelainan


Anus

: Colok dubur tidak dilakukan

Ekstremitas

: Akral hangat, Refilling kapiler < 2


Reflek fisiologis: Patella +/+ (N)
Achilles +/+ (N)
Reflek patologis: Babinski -/Chaddok -/Openheim -/Gordon -/Schuffer -/Tanda rangsang meningeal : Brundzinky I : Brudzinky II : -

Status Neurologikus (25 Februari 2015)


GCS E4 M4 V2
1. Tanda rangsangan meningeal
Kaku kuduk (-)
Brundzinky I : Brudzinky II : Kernig sign : 2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Pupil isokor, diameter 2mm, reflek cahaya +/+

3.

4.
5.
6.
7.

Muntah proyektil tidak ada


Pemeriksaan nervus kranialis
N I (olfaktorius) : sulit dinilai
N II (Optikus) : pupil isokor, diameter 2mm, reflek cahaya +/+
N III, IV, VI : mata bergerak ke segala arah
N V : refleks kornea tidak dilakukan
N VII : wajah simetris
N VIII : sulit dinilai
N IX, X : refleks menelan dan muntah terganggu
N XI: dalam batas normal
N XII: sulit dinilai
Koordinasi : tidak bisa dinilai
Motorik:
Tonus: hipertonus
Tropi : eutrofi
Sensorik : dalam batas normal
Refleks
Refleks fisiologis : Biceps : +/+
Triceps :+/+
KPR :+/+
APR :+/+
Refleks patologis : Babinski -/Chaddok -/Openheim -/Gordon -/Schuffer -/Hoffmann trommer -/-

Pemeriksaan Penunjang:

Laboratorium (11 Februari 2015)


Hb : 10,6 mg/dl
Leukosit : 7600/mm3

Hitung jenis : 0/0/5/66/26/3


Ht : 33%
Eritrosit: 4,46 x 106 /mm3
MCH = 23,76 pg
MCV = 74 Fl
MCHC = 32%
Kesan : anemina mikrositik hipokrom

Ro-Thorax (11 Februari 2015)

Expertise: cor dalam batas normal, infiltrat di kedua lapangan paru, hillus tampak melebar,
sinus dan diafragma baik. Kesan: Bronkopneumonia dengan kemungkinan TB belum dapat
disingkirkan.

Brain CT-Scan (11 Februari 2015)

Expertise : tampak gambaran multipel lesi hipodens yang luas di regio temporoparietal
kanan, temporoparietooccipital kiri, sulci tampak menyempit, sistem ventrikel dan cysterna
menyempit, pons, serebelum, CPA baik, tidak ada midline shift, diferensiasi white-gray
matter masih tampak jelas. Kesan : multipel infark serebri (dari kedua hemisfer) dengan
edema serebri

AGD (11 Februari 2015)

pH: 7,38

HCO3- : 16,5 mmol/L

pCO2 : 29 mmHg

BE: -7,3

pO2 : 89 mmHg

SO2: 95%

Kesan: asidosis metabolik terkompensasi


Na : 142 mmol/L
Ca : 7,2 mg/dl

K : 3,3 mmol/L

Lumbal Punksi (11 Februari 2015)

Cairan LCS mengalir pelan, warna jernih


None (-), Pandy (-)
Makroskopis : volume 2cc, kekeruhan (-), warna bening
Mikroskopis : jumlah sel 4/mm3, glukosa 68 mg/dl
Kesan : sesuai dengan ensefalitis

Kultur dan tes sensitivitas LCS (11 Februari 2015)

Kesan : tidak ditemukan pertumbuhan kuman (aerob)

Kultur dan tes sensitivitas darah (11 Februari


2015)

Kesan : steril

Kultur sekret telinga (13 Februari 2015)

Kesan : ditemukan dua kuman, yaitu Psedomonas aeroginosa dan Stapylococcus aureus
(MRSA)
BTA cairan lambung
BTA I (16 Februari 2015) : negatif
BTA II (17 Februari 2015) : negatif

Mantoux test : negatif

Diagnosis Kerja :

Meningitis Tuberculosa
Sepsis ec Pseudomonas + MRSA
Bronkopneumonia
Anemia Mikrositik Hipokrom ec suspek defisiensi Fe
OMSK

Tatalaksana
-

IVFD KAEN 1B 4 tetes/menit (makro)


ML 6x300cc
Meropenem 3x1,2 gram (hari ke 14)
Kloramfenikol 4x600 mg (hari ke 7)
Luminal 2x600mg po
Tarivid otic 2xgtt iv
H2O2 2xgtt
INH 1x300mg (hari ke 9)
Rifampisin 1x450mg
Pirazinamid 1x250mg
Etambutol 1x600mg
Prednison 3x7,5 mg
B6 1x30mg

Follow up
23 Februari 2015
S/ demam tidak ada, kejang tidak ada, muntah tidak ada, intake per oral, toleransi baik, buang
air kecil dan besar biasa, perdarahan tidak ada
O/ Ku: berat Kesadaran: GCS 10 (E4M4V2) Nadi: 108x/i Nafas: 18x/i T: 36,8C

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 2mm,
reflek cahaya +/+
Toraks: normochest, retraksi tidak ada
Cor: irama reguler, bising tidak ada
Pulmo: suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/Abdomen: distensi tidak ada, bising usus + normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2, reflek fisiologis +/+ normal, reflek patologis -/motorik : paresis tidak ada, hipertonus, eutrofi
Sensorik: positif terhadap rangsangan nyeri
A/ kesan: stabil
P/ BTA lambung III, CT Scan Mastoid, Fisioterapi
Th/lanjut
CT scan mastoid:

Kesan : tampak perselubungan dan penebalan pada antrum dan periantrum mastoid kanan dan
kiri, yang disertai destruksi tulang-tulang mastoid. Meatus
akustikus eksternus terbuka. Cavum timpani dan epytimapanum
baik, tidak tampak patologis. Tegmen typani intak, tidak tampak
erosi. Cochlea dan kanalis semi sirkularis dalam batas normal.
Tak tampak infiltrasi pada intraserebral dan serebellar. Kesan:
mastoiditis bilateral

24 Februari 2015
S/ demam tidak ada, kejang tidak ada, muntah tidak ada, intake per oral, toleransi baik, buang
air kecil dan besar biasa, perdarahan tidak ada
O/ Ku: berat Kesadaran: GCS 10 (E4M4V2) Nadi: 10x/i Nafas: 1x/i T: 36,5C
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 2mm,
reflek cahaya +/+
Toraks: normochest, retraksi tidak ada
Cor: irama reguler, bising tidak ada
Pulmo: suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/Abdomen: distensi tidak ada, bising usus + normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2, reflek fisiologis +/+ normal, reflek patologis -/motorik : paresis tidak ada
Sensorik: positif terhadap rangsangan nyeri

A/ kesan: stabil
P/ Fisioterapi
Th/lanjut

ANALISA KASUS
Sampai saat ini tuberkulosis masih merupakan masalah besar di Indonesia maupun
negara berkembang lainnya, dan dapat menimbulkan beberapa penyulit. Meningitis
tuberkulosa merupakan salah satu penyulit tuberkulosis yang mempunyai morbiditas dan
mortalitas tinggi, dengan prognosis buruk. Penyakit ini masih banyak ditemukan di Indonesia
dan insidennya sebanding dengan insiden tuberkulosis sendiri. Insiden meningitis tuberkulosa
sangat bervariasi dan bergantung kepada tingkat sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat,
umur, status gizi serta faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang. Penyakit ini
dapat menyerang semua umur, insiden tertinggi adalah 6 bulan- 6 tahun1.
Meningitis tuberkulosa pada umumnya sebagai penyebaran tuberkulosis primer
dengan fokus infeksi di tempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru, namun Blockloch
menemukan 22,8% dengan fokus infeksi primer di abdomen, 2,1% di kelenjer limfe dan
1,2% tidak ditemukan fokus infeksi primer. Dari fokus infeksi primer, basil masuk ke
sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjer limfe regional, dan dapat menimbulkan
infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase
yang biasanya tenang1. Pada pasien ini ditemukan riwayat pengobatan TB sebelumnya, yaitu
3 tahun yang lalu, dan dari hasil ro-thoraks pada saat ini kemungkinan TB masih belum bisa
disingkirkan.

Terjadinya meningitis tuberkulosa menurut Rich pada tahun 1951 adalah mula-mula
terbentuk tuberkel di otak, selaput otak, atau medula spinalis , akibat penyebaran basil secara
hematogen selama infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik. Timbul
meningitis akibat terlepasnya basil dan antigennya dari tuberkel yang pecah karena
rangsangan mungkin berupa trauma atau faktor imunologis. Basil kemudian langsung masuk
ke ruang subarakhnoid atau ventrikel. Hal ini mungkin terjadi segera sesudah dibentuknya
lesi atau sesudah periode laten beberapa bulan atau tahun. Meningitis yang terjadi akan
menimbulkan komplikasi neurologis berupa paralisis saraf kranialis, infark karena
penyumbatan arteri dan vena serta hidrosefalus karena penyumbatan aliran cairan
serebrospinal1. Pada pasien ini, pada brain ct scan tampak gambaran infark multipel yang
menunjukkan telah terjadi penyumbatan arteri dan vena yang diduga akibat tuberkel yang
pecah tersebut.
Secara klinis kadang belum timbul gejala meningitis yang jelas, walaupun selaput
otak sudah terkena. Manifestasi klinis yang timbul berkaitan dengan kelaianan patologis yang
terjadi, edema pada otak akan menyebabkan penuruan kesadaran, kejang dan peningkatan
tekanan intrakranial1.
Diagnosis meningitis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, riwayat
ada kontak dengan pasien TB yang kadang-kadang asimtomatik, uji tuberkulin positif, dan
kelainan cairan serebrospinal. Pemeriksaan laboratorium rutin relatif tidak mempunyai arti,
hanya laju endap darah yang kadang-kadang meninggi kira-kira pada 80% pada kasus cairan
serebrospinal yang berwarna jernih1.
Diagnosis probable atau possible meningitis TB memerlukan tanda dan gejala klinis,
cairan serebrospinal dan gambaran serebral (imaging). Kriteria yang dikemukakan oleh
Marais et al mencakup hal tersebut. Berdasarkan kriteria tersebut, probable meningitis TB
ditunjukkan oleh skor antara 10-12, dan possible meningitis TB ditunjukkan dengan nilai
skor lebih dari 6. Pada pasien ini, didapatkan kriteria klinis berupa penuruan berat badan
(skor 2) penurunan kesadaran (skor 1), pada CSS didapatkan warna jernih (skor 1), pada
kriteria imaging serebral didapatkan adanya gambaran infark (skor 1), bukti adanya TB
ditempat lain berupa gambaran rontgen paru suggestive TB (skor 2) 2. Dari jumlah total skor
didapatkan nilai 7 sehingga pasien ini probable meningitis TB. Pasien ini telah dilakukan tes
mantoux dan didapatkan hasil negatif. Cairan serebrospinal pada pasien ini tidak
menunjukkan meningitis TB, dimana pada meningitis TB akan didapatkan CSS yang jernih,

jumlah sel 10-500/l, limfosit predominan (>50%), konsentrasi protein >1g/L, rasio glukosa
CSS dan plasma kurang dari 50%, atau konsetrasi glukosa absolut CSS <2,2mmol/L.
Meskipun demikian, penemuan CSS atipikal telah banyak dilaporkan pada pasien meningitis
TB anak2, seperti pada pasien ini.
Diagnosis pasti dari meningitis TB hanya dapat dibuat ketika setelah lumbal punksi
dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala infeksi sistem saraf pusat ditemukan adanya
basil tahan asam, dan/atau M. Tuberculosis terdeteksi dengan cara molekuler dan/atau kultur
CSS. Akan tetapi, semua metode konfirmasi dari diagnosis meningitis TB ini dapat berisiko
terlambatnya terapi awal. Kultur memerlukan waktu 2-3 minggu sehingga pemberian obat
anti tuberkulosis biasanya diberikan segera setelah dicurigai meningitis TB2.
Pengobatan meningitis tuberkulosa harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi
yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan peningkatan tekanan
intrakranial1. Pengobatan terdiri dari tiga komponen yang berbeda, yaitu pemberian obat anti
tuberculosis, pemberian obat imunosupresan, dan managemen peningkatan tekanan
intrakranial2. Obat anti tuberkulosis yang diberikan biasanya terdiri dari kombinasi INH,
rifampisin, dan pirazinamid, kalau berat dapat ditambahkan etambutol atau streptomisin. Fase
intensif selama 2 bulan dengan empat obat (2HRZ+E/S) dan dilanjutkan fase lanjutan dengan
dua obat (10HR). Isoniazid diberikan 7-15mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 300mg/hari,
memberikan efek samping berupa hepatitis, neuritis perifer, dan hipersensitivitas. Oleh
karena itu maka untuk mencegah neuritis perifer tersebut dapat diberikan vitamin B6 10mg
tiap 100mg INH. Rifampisin diberikan 10-20mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimal
600mg/hari, dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan. Dosis
Pirazinamid diberikan 30-40mg/kgBB/hari dengan efek samping dapat menyebabkan
toksisitas hepar, atralgia, gangguan gastrointestinal. Etambutol diberikan sebanyak 1525mg/kgBB/hari dengan efek samping berupa neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta
warna merah hijau, hipersentivitas, gastrointestinal. Sedangkan Streptomisin diberikan
sebanyak 15-49mg/kgBB/hari dengan dosis maksiamal 1000mg/hari, dan obat ini dapat
bersifat ototoksik dan nefrotoksik3. Pengobatan minimal 9 bulan dan dapat lebih lama lagi.
Pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamasi, menurunkan tekanan intrakranial dan
mengobati edema otak. Pemberian kortikosteroid selama 2-3 minggu kemudian diturunkan
secara bertahap sampai lama pemberian 1 bulan. Ada yang memberikan sampai 3 bulan1.

Pada pasien ini juga ditemukan adanya otitis media supuratif kronik dengan suspek
komplikasi intrakranial. Komplikasi pada otitis media terjadi apabila sawar (barrier)
pertahanan telinga tengah yang normal dileawati sehingga memungkinkan terjadinya
penjalaran infeksi ke struktur sekitarnya. Pertahanan pertama adalah mukosa kavum timpani,
bila sawar tersebut runtuh, maka struktur lunak di sekitarnya akan terkena. Runtuhnya
periosteum akan menyebabkan terjadinya abses subperiosteal. Bila ke arah kranial, akan
menyebabkan abses ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis, meningitis, dan abses otak.4
Meningitis dapat terjadi disetiap saat dalam perjalanan komplikasi infeksi telinga.
Jalan penyebaran yang biasa terjadi, yaitu melalui penyebaran langsung, jarang melalui
tromboflebitis. Terjadinya meningitis biasanya dibagi menjadi tiga stadium: serosa, seluer,
dan bakterial. Pada waktu organisme menyerang, dan menginvasi ruang subaraknoid, pia
arachoid akan bereaksi dengan mengadakan eksudasi cairan serosa yang menyebabkan
peningkatan ringan tekanan intra kranial. Secara klinis ditandai dengan gejala nyeri kepala
ringan, demam ringan, gelisah, dan tanda positif ringan suatu rangsangan meningeal.
Perjalanan penyakit dapat terhenti pada stadium ini atau berkembang terus ke stadium seluler
dengan efusi leukosit ke dalam cairan spinal, terjadi peningkatan kadar protein, dan
penurunan kadar klorida dan glukosa. Nyeri kepala bertambah, muntah, hiperiritabilitas
serebral dengan periode delirium, bingung, dan mengantuk. Stadium bakterial terjadi pada
waktu terlihat jelas ada nanah di cairan spinal. Hal ini ditandai dengan bukan saja
ditemukannya kuman di dalam cairan atau kultur, tetapi juga dengan menurunnya kadar
glukosa bahkan sampai nol.5 Pada pasien ini, hasil lumbal punksi tidak menunjukkan suatu
meningitis bakterial. Dari hasil kultur CSS juga tidak ditemukan kuman aerob. Sedangkan
pada hasil kultur sekret telinga ditemukan kuman Pseudomonas dan MRSA, serta dari Ctscan mastoid tidak menunjukkan adanya infiltrasi serebral dan sereberal sehingga pada pasien
ini meningitis yang terjadi tidak disebabkan oleh komplikasi intrakranial OMSK.

DAFTAR PUSTAKA
1. Suharso Darto, Hidayati Siti Nurul. Infeksi Susunan Saraf Pusat dalam Neurologi
Anak . Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia:1999. Hal 361-371.
2. Pricipi Nicola, Esposito Susanna, Review Diagnosis dan therapy of tuberculous
meningitis in children. Tuberculosis.2012: (92) 377-383.
3. Kementrian Kesehatan Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Hal 27-33.
4. Djaafar ZA dkk. Kelainan Telinga Tengah dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Teliinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2007. hal 68-77.
5. WHO. Chronic Suppurative Otitis Media Burden of Illness and Management
Options. Child adan Adolescent Health and Development Prevention of Blindness
and Deafness. WHO Geneva, Switzerland. 2004.

Anda mungkin juga menyukai