Anda di halaman 1dari 6

RELAKSASI OTOT PROGRESIF DENGAN PEMENUHAN

KEBUTUHAN TIDUR LANSIA


Rahmadona Fitrisyia*, Ismayadi**
*Mahasiswa Fakultas Keperawatan USU
** Dosen Departemen Keperawatan Jiwa dan Komunitas
Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara
Phone/Fax: 085263311030
E-mail: donafitrisyia@rocketmail.com

Abstrak
Tidur merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi bagi setiap individu yang terjadi secara alami dan
memiliki fungsi fisiologis dan psikologis. Salah satu tindakan non farmakologis untuk meningkatkan
pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia adalah dengan melakukan Relaksasi Otot Progresif. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh relaksasi otot progresif terhadap pemenuhan kebutuhan tidur
lansia. Desain penelitian adalah quasy-eksperiment dengan pendekatan one group pre test post test
design. Sampel penelitian ini adalah lansia sebanyak 19 orang yang diambil secara Simple Random
Sampling. Analisa data dilakukan dengan Uji t-dependent. Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai
p=0,000 maka dapat disimpulkan bahwa relaksasi otot progresif mempunyai pengaruh yang signifikan
dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur lansia. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan
kepada perawat anak agar dapat menggunakan relaksasi otot progresif sebagai intervensi
nonfarmakologis dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur lansia.

Kata kunci: Relaksasi, Otot Progresif, Tidur, Lansia


PENDAHULUAN
Tidur merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang terjadi
secara alami dan memiliki fungsi
fisiologis dan psikologis untuk proses
perbaikan tubuh. Jika seseorang tidak
mendapatkan tidur yang baik maka akan
menimbulkan kerusakan pada fungsi otot
dan otak karena tidak adekuatnya
kebutuhan tidur (Stanley, 2006). Pada
kelompok lanjut usia (empat puluh tahun)
dijumpai 7 % kasus yang mengeluh
mengenai masalah tidur (hanya dapat
tidur tidak lebih dari 5 jam sehari). Hal
yang sama dijumpai pada 22% pada
kelompok usia 75 tahun. Demikian pula,
kelompok lanjut usia lebih banyak
mengeluh terbangun lebih awal. Selain
itu, terdapat 30% kelompok usia tujuh
puluh tahun yang banyak terbangun di
waktu malam hari. Angka ini ternyata
tujuh kali lebih besar dibandingkan
dengan kelompok usia 20 tahun
(Bandiyah, 2009).
Tingginya masalah tidur yang
terjadi
pada
lansia
memerlukan
penanganan
yang
sesuai
untuk
meningkatkan pemenuhan kebutuhan

tidur. Pemenuhan kebutuhan tidur setiap


orang berbeda-beda dan terlihat dari
kualitas tidurnya. Kebutuhan kualitas
tidur ada yang terpenuhi dengan baik dan
ada yang mengalami gangguan (Hidayat,
2006). Pemenuhan kebutuhan tidur
terlihat dari parameter kualitas tidur,
seperti lamanya tidur, waktu yang
diperlukan
untuk
tidur,
frekuensi
terbangun dan beberapa aspek subjektif,
seperti kedalaman tidur, perasaan segar di
pagi hari, kepuasan tidur serta perasaan
lelah
siang
hari
(Bukit,
2003).
Peningkatan pemenuhan kebutuhan tidur
dapat dilakukan dengan mengajarkan
cara-cara yang dapat menstimulus dan
memotivasi tidur. Salah satu cara yang
bisa dilakukan adalah relaksasi. Relaksasi
merupakan suatu bentuk teknik yang
melibatkan pergerakan anggota badan dan
bisa dilakukan dimana saja (Potter &
Perry, 2005). Metode relaksasi terdiri dari
beberapa macam diantaranya adalah
relaksasi otot progresif (progressive
muscle relaxation), pernapasan diafragma,
imagery training, biofeedback, dan
hipnosis (Miltenberger, 2004).

31

Terapi non farmakologis yang


termurah sampai saat ini, tidak
memerlukan imajinasi, ketekunan atau
sugesti, tidak ada efek samping, mudah
untuk dilakukan adalah relaksasi otot
progresif. Relaksasi otot progresif
merupakan salah satu teknik untuk
mengurangi ketegangan otot dengan
proses yang simpel dan sistematis dalam
menegangkan sekelompok otot kemudian
merilekskannya kembali (Marks, 2011).
Relaksasi ini diperkenalkan oleh Edmund
Jacobson pada tahun 1938 (Conrad dan
Roth, 2007). Selain untuk memfasilitasi
tidur, relaksasi otot progresif juga
bermanfaat untuk ansietas, mengurangi
kelelahan, kram otot serta nyeri leher dan
punggung (Berstein, Borkovec, dan
Steven, 2000). Penelitian yang pernah
dilakukan mengenai relaksasi otot
progresif, yaitu Pengaruh relaksasi otot
progresif terhadap kebutuhan istirahat
tidur klien di ruang VIP-B RSUD Bima
diperoleh hasil tidur baik dan tidur cukup
sebanyak 8 orang (40%) setelah dilakukan
tindakan dan sebelum dilakukan tindakan
tidak ada yang memiliki tidur baik dan
tidur cukup (0%). Sedangkan yang tidur
kurang, naik menjadi 12 orang (60%)
dibandingkan sebelum diberikan tindakan
berjumlah 20 orang (100%)(Haris, 2010).
Penelitian dari Roosevelt University Stress
Institute menyatakan bahwa Relaksasi
otot Progresif lebih efektif dalam
menimbulkan relaksasi fisik daripada
yoga (Ghoncheh, 2004)
Tujuan umum dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh teknik
relaksasi
otot
progresif
terhadap
pemenuhan kebutuhan tidur lansia.
Hipotesis alternatif dari penelitian
ini adalah ada pengaruh relaksasi otot
progresif terhadap pemenuhan kebutuhan
tidur lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah
Binjai dan Medan.
METODE
Penelitian
ini
menggunakan
metode quasi eksperimen dengan
pendekatan one group pre-test post test
design dengan melibatkan satu kelompok
subjek, yaitu kelompok intervensi tanpa

kelompok kontrol. Sebelum intervensi


diberikan kuesioner yang telah ditetapkan
yaitu pretest dan sesudah intervensi
diberikan post test. Setelah intervensi
selesai dilakukan, maka dilihat perubahan
pemenuhan kebutuhan tidur yang dialami
responden. Populasi berjumlah 162 orang
lansia. Pengambilan sampel dengan
Simple Random Sampling.
Untuk mengetahui apakah ada
pengaruh relaksasi otot progresif terhadap
pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia
pre dan post pemberian intervensi maka
uji yang digunakan dalam penelitian ini
adalah uji statistik paired t-test (t-test
dependent) Sebelum melakukan uji t-test,
peneliti melakukan uji normalitas dengan
metode analitis secara komputerisasi
menggunakan Shapiro Wilk karena
sampelnya 50 dengan nilai kemaknaan
(p > 0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Tabel 1. Distribusi Frekuensi dan
Persentase
Pemenuhan
Kebutuhan Tidur Lansia
Berdasarkan
Parameter
Kualitas tidur (Pretest) pada
Mei, 2012
Parameter Tidur
Waktu untuk tertidur
>60 menit
31-60 menit
16-30 menit
<15 menit
Jumlah
Frekuensi terbangun
>5 kali
3-4 kali
1-2 kali
Tidak ada
Jumlah
Total jam tidur
<5 jam
5-6 jam
6-7 jam
>7 jam
Jumlah
Perasaan saat bangun pagi hari
Sangat mengantuk
Mengantuk
Sedikit mengantuk
Segar

4
8
6
1
19

21,1
42,1
31,6
5,3
100

5
13
1
0
19

26,3
68,4
5,3
0
100

3
9
6
1
19

15,8
47,4
31,6
5,3
100

1
13
5
0

5,3
68,4
26,3
0

32

Jumlah
Kedalaman tidur
Sebentar-bentar terbangun
Tidur dan kemudian terbangun
Tidur tetapi tidak nyenyak
Tidur sangat nyenyak
Jumlah
Kepuasan tidur
Tidak puas
Sedikit puas
Sedang
Sangat puas
Jumlah
Rasa lemah/lesu di siang hari
Sangat lemah/lesu
Lemah/lesu
Sedikit lemah/lesu
Tidak lemah/lelah sama sekali
Jumlah

19

100

4
9
6
0
19

21,1
47,4
31,6
0
100

7
9
3
0
19

36,8
47,4
15,8
0
100

1
12
6
0
19

5,3
63,2
31,6
0
100

Hasil
penelitian
sebelum
intervensi (pre test) menunjukkan lansia
yang beresiko memiliki waktu untuk
tertidur > 60 menit (21,1%). Lansia yang
beresiko, frekuensi terbangun malam hari,
yaitu > 5 kali (26,3%). Lansia yang
beresiko memiliki total jam tidur < 5 jam
(15,8%). Lansia beresiko memiliki
perasaan mengantuk (68,4%) pada saat
bangun di pagi hari. Lansia yang beresiko
memiliki kedalaman tidur sebentar-bentar
terbangun (21,1%). Lansia yang beresiko
memiliki tidak puas dengan tidurnya
(36,8%). Mayoritas lansia merasa
lemah/lesu (63,2%) pada saat beraktifitas
di siang hari. Mean total pretest adalah
14,63 (SD=1,86)
Tabel

2.

Distribusi Frekuensi dan


Persentase
Pemenuhan
Kebutuhan Tidur Lansia
Berdasarkan
Parameter
Kualitas Tidur (Posttest)
pada Mei, 2012

Parameter Tidur
Waktu untuk tertidur
>60 menit
31-60 menit
16-30 menit
<15 menit
Jumlah
Frekuensi terbangun
>5 kali
3-4 kali
1-2 kali

0
3
7
9
19

0
15,8
36,8
47,4
100

1
3
9

5,3
15,8
47,4

Tidak ada
Jumlah
Total jam tidur
<5 jam
5-6 jam
6-7 jam
>7 jam
Jumlah
Perasaan saat bangun pagi hari
Sangat mengantuk
Mengantuk
Sedikit mengantuk
Segar
Jumlah
Kedalaman tidur
Sebentar-bentar terbangun
Tidur dan kemudian terbangun
Tidur tetapi tidak nyenyak
Tidur sangat nyenyak
Jumlah
Kepuasan tidur
Tidak puas
Sedikit puas
Sedang
Sangat puas
Jumlah
Rasa lemah/lesu di siang hari
Sangat lemah/lesu
Lemah/lesu
Sedikit lemah/lesu
Tidak lemah/lelah sama sekali
Jumlah

6
19

31,6
100

0
2
13
4
19

0
10,5
68,4
21,1
100

0
0
13
6
19

0
0
68,4
31,6
100

0
4
7
8
19

0
21,1
36,8
42,1
100

0
6
9
4
19

0
31,6
47,4
21,1
100

0
3
6
10
19

0
15,8
31,6
52,6
100

Hasil penelitian setelah intervensi


(post test) menunjukkan bahwa mayoritas
lansia memiliki waktu untuk tertidur
(Sleep Latency) selama < 15 menit
(47,4%). Sebagian besar lansia tidak
terbangun pada malam hari sebanyak 1-2
kali (47,4%). Mayoritas lansia memiliki
total jam tidur 6-7 jam (68,4%). Lansia
merasa sedikit mengantuk (68,4%) pada
saat bangun di pagi hari. Sebagian besar
lansia menyatakan dapat tidur sangat
nyenyak (42,1%). Sebagian besar
kepuasan tidur lansia dalam kondisi
sedang
(47,4%)
setelah
bangun.
Mayoritas lansia merasa tidak lemah/lesu
(52,6%) pada saat beraktifitas di siang
hari. Mean total postest adalah 22,26
(SD=1,62).

33

Tabel

3.

Pretest

Perbedaan
Pemenuhan
Kebutuhan
Tidur
Berdasarkan
Parameter
Kualitas Tidur Sebelum
dan Sesudah Intervensi
pada Mei, 2012
Posttest

Mean
SD Mean
14,63 1,86 22,26
* < 0,05

Mean
Diffe
rences

SD
1,82 -7,632

-15,009 .000*

Setelah dilakukan uji paired t-test


secara keseluruhan pada lansia sebelum
dan sesudah intervensi relaksasi otot
progresif, diperoleh hasil mean total untuk
sebelum intervensi adalah 14,63 dengan
SD = 1,86 dan mean total setelah
intervensi adalah 22,26 dengan SD = 1,82.
Hasil uji paired t-test didapatkan nilai t
adalah -15,009, mean differences -7,632,
dan p=0,000. Hasil ini menunjukkan
bahwa nilai p<0,05 (0,000) yang berarti
terdapat
perbedaan
yang
signifikan/bermakna. Maka hal ini
menunjukkan
terdapat
peningkatan
pemenuhan kebutuhan tidur lansia yang
signifikan antara sebelum dilakukan
relaksasi otot progresif dengan setelah
dilakukan relaksasi otot progresif
sehingga
relaksasi
otot
progresif
berpengaruh dalam pemenuhan kebutuhan
tidur lansia. Dengan demikian Ho ditolak
dan Ha diterima
Pembahasan
Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia
berdasarkan Parameter Kualitas Tidur
Sebelum dilakukan Relaksasi Otot
Progresif
Sebelum diberikan
relaksasi otot
progresif pada lansia maka dilakukan pre
test terlebih dahulu. Pada hasil pre test
terhadap
parameter
kualitas
tidur
diperoleh hasil yaitu mean total dari skor
pemenuhan kebutuhan tidur lansia, yaitu
14,63 (SD=1,86). Hal ini sesuai dengan
pemberian relaksasi otot progresif
pada 33 pasien mengalami peningkatan
kualitas, kedalaman, dan durasi tidur yang
disertai penurunan rasa mengantuk di pagi

pendapat Akmal (2012) yang menyatakan


Lansia menghabiskan lebih banyak waktu
di tempat tidur untuk memulai tidur,
frekuensi terbangun menjadi meningkat
sehingga fragmentasi tidur karena
seringnya
terbangun
mengalami
peningkatan. Lansia juga cenderung
mengalami
keletihan,
mengantuk,
penurunan efisiensi tidur dan mudah jatuh
tidur pada siang hari (Lueckenotte, 2000).
Pendapat lain juga didukung oleh
Winanto (2009) bahwa lansia perlu
memperhatikan kualitas tidurnya. Kualitas
tidur tidak hanya tergantung pada jumlah,
tetapi bergantung pada pemenuhan
kebutuhan tubuh untuk tidur. Lamanya
waktu tidur tergantung dari individunya
sendiri dan yang menjadi salah satu
indikator terpenuhinya kebutuhan kualitas
tidur seseorang adalah kondisi saat
bangun tidur. Seseorang yang segar
artinya kebutuhan tidurnya sudah
tercukupi.
Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia
berdasarkan Parameter Kualitas Tidur
Setelah dilakukan Relaksasi Otot
Progresif
Hasil yang didapatkan dari mean
total skor pemenuhan kebutuhan tidur
mengalami peningkatan yaitu 22,26
(SD=1,82). Hasil penelitian ini didukung
oleh Prayitno (2002) yang menyatakan
bahwa terapi relaksasi otot progresif harus
dilakukan dengan baik karena dapat
menciptakan keadaaan yang relaks dan
efektif
dalam
memperbaiki
tidur.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh
Widastra (2009) bahwa beberapa teknik
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kebutuhan tidur secara kualitas dan
kuantitas adalah metode Bootzin dan
metode relaksasi, namun pendekatan
relaksasi yang paling banyak dipakai
adalah relaksasi otot progresif.
Hal yang serupa juga dikemukakan
oleh Mc Guigan (2007) bahwa setelah
hari. Penelitian lain dari Marks (2011)
menyatakan bahwa Relaksasi otot
progresif efektif meningkatkan kualitas

34

tidur jika dilakukan selama secara teratur


dalam waktu 6 minggu.
National Center for Complementary
and Alternative Medicine (2010) juga
menyebutkan efek dari relaksasi otot
progresif membantu lansia dalam
meningkatkan kebutuhan tidurnya dan
menurunkan gangguan tidur yang
cenderung meningkat pada lansia.
Relaksasi ini lebih baik dilakukan
dibandingkan teknik meditasi. Dengan
demikian intervensi keperawatan dalam
meningkatkan pemenuhan kebutuhan
tidur dapat dilakukan dengan melakukan
teknik relaksasi yaitu relaksasi otot
progresif sehingga dapat memenuhi
kebutuhan tidur secara kualitas kepada
lansia (Berstein, Borkovec, dan Steven,
2000).
Perbedaan Pemenuhan Kebutuhan
Tidur Lansia Berdasarkan Parameter
Kualitas tidur sebelum dan sesudah
Intervensi Relaksasi Otot Progresif
Berdasarkan hasil uji statistik
paired sample t test diperoleh hasil mean
total untuk sebelum intervensi adalah
14,63 dengan SD = 1,86 dan mean total
setelah intervensi adalah 22,26 dengan SD
= 1,82. Hasil uji paired t-test didapatkan
nilai t adalah -15,009, mean differences 7,632,
dan
p=0,000.
Hasil
ini
menunjukkan bahwa nilai p<0,05 (0,000)
yang berarti terdapat perbedaan yang
signifikan/bermakna. Hasil ini didukung
oleh pendapat Conrad dan Roth (2007)
yang menjelaskan bahwa pemberian
relaksasi otot progresif mempengaruhi
pemenuhan kebutuhan tidur lansia yang
didasarkan pada cara kerja system saraf
simpatis dan parasimpatis yang bekerja
saling timbal balik mempengaruhi organorgan yang ada di dalam tubuh sehingga
mampu
mengurangi
ketegangan.
Relaksasi yang diberikan kepada lansia
mampu meningkatkan relaksasi otot-otot
besar sehingga dapat meningkatkan
kenyamanan, terpenuhinya kebutuhan
tidur secara kuantitas dan kualitas (Haris,
2010).
Relaksasi Otot Progresif didasari
pada mekanisme kerja relaksasi otot

Progresif dalam mempengaruhi kebutuhan


tidur dimana terjadi respon relaksasi
(Trophotropic) yang menstimulasi semua
fungsi dimana kerjanya berlawanan
dengan system saraf simpatis sehingga
tercapai keadaan relaks dan tenang.
Perasaan rileks ini akan diteruskan ke
hipotalamus
untuk
menghasilkan
Corticotropin Releasing Factor (CRF)
yang nantinya akan menstimulasi kelenjar
pituitary untuk meningkatkan produksi
beberapa hormone, seperti -Endorphin,
Enkefalin dan Serotonin (Ramdhani,
2008). Secara Fisiologis, terpenuhinya
kebutuhan tidur ini merupakan akibat dari
penurunan aktifitas RAS (Reticular
Activating System) dan noreepineprine
sebagai akibat penurunan aktivitas sistem
batang otak. Respon relaksasi terjadi
karena teransangnya aktifitas sistem saraf
otonom parasimpatis nuclei rafe sehingga
menyebabkan perubahan yang dapat
mengontrol aktivitas sistem saraf otonom
berupa pengurangan fungsi oksigen,
frekuensi nafas, denyut nadi, ketegangan
otot, tekanan darah, serta gelombang alfa
dalam otak sehingga mudah untuk tertidur
(Guyton dan Hall, 2000).
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini membuktikan bahwa
relaksasi otot progresif merupakan salah
satu bentuk relaksasi yang digunakan
untuk
meningkatkan
pemenuhan
kebutuhan tidur lansia. Oleh sebab itu,
relaksasi ini dapat dijadikan perawat
sebagai intervensi dalam pemenuhan
kebutuhan tidur lansia.
DAFTAR PUSTAKA
Akmal, S.A. (2012). Diagnosis dan
Penatalaksanaan Insomnia Pada
Lanjut Usia. Juni 11, 2012 dari
http://infopenyakitdalam.com
Bandiyah, S. (2009). Lanjut Usia dan
Keperawatan Gerontik.Yogyakarta:
Nuha Medika
Berstein,A.D.Borkovec.Stevens, et al.
(2000).The Journal : New Direction
in Progressive Relaxation Training
a Guidebook for Helping. USA:
Praeger Publisher.USA

35

Bukit, E. K. (2003).Thesis : Sleep Quality


and Factors Interfering With Sleep
Among Hospitalized Elderly in
Medical Units, Medan, Indonesia.
Prince of Songkla University
Conrad, A. & Roth, W.T. (2007). Muscle
Relaxation for Anxiety Disorder: It
works but how?. The Journal of
Anxiety Disorder,
243-264.
Oktober
12,
2011.
http://www.laboratoriosilesia.com
Guyton, A. C. & Hall, J. E. (2000). Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC
Hidayat, A. A. (2006). Kebutuhan Dasar
Manusia Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan (Edisi 2).
Jakarta: Salemba Medika
Lueckenotte, A.G. (2000).
Gerontological Nursing (Edisi
7).Mosby
Marks,I. Tracey. (2011). Master your
Sleep, Proven Methode Simplied.
USA: Bascom Hills Publish Group
Muhtar & Haris, A. (2010). Pengaruh
relaksasi otot progresif terhadap
pemenuhan kebutuhan istirahat
tidur klien di Ruangan VIP-B RSUD
Bima. September 15, 2011.
http://www.dikeskotabima.wordpre
ss.com
McGuigan, F.J. Lehrer, M.P. (2007).
Progressive Relaxation : Origin,
Principles, and Clinical
Application. Oktober 15, 2011
http://www.bodypsychyoga.com

National Center for Complementary and


Alternative Medicine. (2010).
Influence Progressive Muscle
Relaxation for Sleep In Elderly.
Juni 13, 2012.
http://icbseverywhere.com
Nursalam (2008). Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pedoman Skripsi,
Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. (Edisi 2). Jakarta:
Salemba Medika.
Potter, P.A & Perry, A.G. (2005). Buku
Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik. (Edisi
4). Jakarta: EGC
Prayitno (2002). Gangguan Pola Tidur
pada Kelompok Usia Lanjut dan
http://www.dikeskotabima.wordpre
ss.com
Ramdhani, N.Aulia. Adhyos. (2008).
Pengembangan
Multimedia
Relaksasi. November 27, 2011.
http://www neila.staff.ugm.ac.id
Stanley, M. (2007). Buku Ajar
Keperawatan Gerontik. Jakarta:
EGC
Widastra, I. M. (2009). Terapi Relaksasi
Otot Progresif Sangat Efektif
Mengatasi Keluhan Insomnia pada
Lansia. Gempar :Jurnal Ilmiah
Keperawatan No.2 Vol.1, 84-89.
September 12, 2011.
http://isjd.pdii.lipi.go.id
Winanto (2009).Tidur dalam Sudut
Pandang Ilmiah. Juni 19, 2012.
http://www.winanto.typepad.com

36

Anda mungkin juga menyukai