Anda di halaman 1dari 21

FIQIH AQIQAH

Ust. Farid Numan Hasan

I. Mukadimah

Berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:



Tidaklah mencukupi dalam aqiqah kecuali dengan jenis yang dinamakan
dengan kambing (syatun), baik itu jenis benggala (Adh Dhan) atau kambing
biasa (Al Maz), dan tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami
sebutkan, tidak pula jenis unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya. (Al
Muhalla, 7/523. Darul Fikr)
Apa yang dikatakan Imam Ibnu Hazm maksudnya adalah tidak sah dan tidak bisa
disebut aqiqah. Ini menunjukkan kelirunya apa yang dikatakan Sang ustadzah
tersebut. Pada kesempatan ini akan saya bahas tentang aqiqah selengkap
mungkin, termasuk juga catatan saya atas yang kami hormati, Ibu Ustadzah
Mamah Dedeh, Hafizhahallah (semoga Allah menjaganya).
Prinsip seorang muslim dalam mengkaji persoalan ritual ibadah, adalah tauqifi
(menunggu dalil), termasuk pembahasan aqiqah. Oleh karena itu tidak
dibenarkan mengulasnya menurut hawa nafsu dan akal-akalan semata.
Koreksian ini, murni kepentingan ilmu pengetahuan, dan tak ada tendensi apa
pun kepada siapa pun.

II. Tarif (Definisi) Aqiqah


Untuk memahami defini aqiqah, akan saya kutip dari berbagai kitab para ahli
bahasa sebagai berikut.
Syaikh Shahib bin Ibad berkata tentang makna Aqiqah:

. - - :
: - -
Seseorang mengaqiqahkan bayinya: (yakni) Jika seseorang mencukur
aqiqahnya yaitu rambut yang tumbuh pada bayi itu- lalu menyembelih
kambing darinya. Dan kambing juga disebut aqiqah. (Shahib bin Ibad, Al
Muhith fil Lughah, 1/1. Mawqi Al Warraq)
Syaikh Al Khalil bin Ahmad mengatakan:

. :

Aqiqah adalah rambut yang ada pada bayi ketika lahirnya, dan dinamakan pula
kambing yang disembelih untuk itu dengan sebutan aqiqah. (Khalil bin
Ahmad, Al Ain, 1/5. Mawqi Al Warraq)
Syaikh Zainuddin Ar Razi mengatakan tentang aqiqah:

.

Rambut yang tumbuh pada setiap bayi manusia dan hewan. Diantaranya
adalah kambing yang disembelih saat hari ketujuh setelah kelahiran adalah
aqiqah. (Zainuddin Ar Razi, Mukhtar Ash Shihah, Hal. 212. Mawqi Al
Warraq)
Syaikh Abu Ubaid Al Qasim bin Salam Al Harawi mengatakan:


:

Aqiqah, asalnya adalah rambut yang terjadi pada kepala anak-anak ketika
lahirnya, dan sesungguhnya dinamakan pula aqiqah bagi kambing yang
disembelih untuk anak tersebut pada saat itu, karena dipotongnya rambut
tersebut adalah ketika penyembelihan. Oleh karena itu, dikatakan dalam sebuah
hadits: Buanglah dari bayi itu gangguannya, makna gangguan adalah rambut
yang dicukur dari bayi tersebut. (Abu Ubaid, Gharibul Hadits, 2/284.
Dairatul Maarif. Lihat pula Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal.
33-34. Darul Kutub Al ilmiah)
Sementara itu dari Imam Ibnu Hajar Rahimahullah, beliau menulis sebagai
berikut dalam Al Fath:

:

: . : .

Berkata Al Khaththabi: Aqiqah adalah nama bagi kambing yang disembelih
karena kelahiran bayi. Dinamakan seperti itu karena aqiqah adalah merobek
sembelihan tersebut yaitu mengoyak dan memotong. Dia berkata: dikatakan
aqiqah adalah rambut yang sedang dicukur. Berkata Ibnu Faris: Kambing yang
disembelih dan rambut, keduanya dinamakan aqiqah. (Fathul Bari, 9/586. Darul
Fikr)
Imam Ash Shanani Rahimahullah mengatakan:

.





.

Aqiqah adalah hewan sembelihan yang disembelih untuk bayi. Berasal dari
merobek, mengoyak, dan memutus. Dikatakan, sembelihan adalah aqiqah,
karena merobek dan mecukurnya. Dikatakan aqiqah pula bagi rambut yang
tumbuh di kepala bayi dari perut ibunya. Az Zamakhsyari mengatakan itu adalah
kata asal dari aqiqah, dan kambing sembelihan termasuk kata yang berasal dari
itu. (Subulus Salam, 6/328. Maktabah Syamilah. Lihat juga Nailul Authar,
5/ 132. Maktabah Ad Dawah Al Islamiyah Syabab Al Azhar. Lihat juga,
Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, Aunul Mabud, 8/25. Darul
Kutub Al Ilmiah )
Jika kita perhatikan definisi para ulama tentang makna aqiqah, maka semuanya
sepakat dan bermuara pada dua kunci, yakni aqiqah itu adalah pencukuran
rambut bayi dan penyembelihan kambing. Dari definisi saja sudah terlihat
bahwa kelirunya aqiqah dengan selain kambing.

III. Dalil-Dalil Pensyariatannya


Dalil-Dalil pensyariatan aqiqah terhadap bayi sangat kuat dalam hukum Islam.
Menurut Imam Ibnul Qayyim, bahwa Imam Malik mengatakan tak ada perbedaan
pendapat -menurutnya- tentang disyariatkannya aqiqah. Yahya bin Said Al
Anshari menyebutkan bahwa beliau menjumpai manusia, mereka tidak
menganjurkan aqiqah bagi ghulam (anak laki-laki) dan jariyah (anak
perempuan). Berkata Ibnul Mundzir: Ini (aqiqah) diamalkan oleh penduduk Hijaz,
dahulu dan sekarang, dan dipraktekkan para ulama. Malik menyebutkan bahwa
mereka tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini (bahwa aqiqah untuk
bayi disyariatkan). Diantara yang meriwayatkan aqiqah, adalah riwayat dari Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Fathimah, Buraidah Al Aslami, Urwah bin Zubair,
Atha bin Rabbah, Az Zuhri, Abuz Zinad, dan demikian juga dari Malik, penduduk
Madinah, Syafii dan sahabat-sahabatnya, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan jamaah.
Serta, banyak jumlah para ulama yang mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam ini, sedangkan ashhabur rayi (para pengikut Abu Hanifah)
mengingkari kesunahannya. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 26-27.
Darul Kutub Al Ilmiah)
Berikut adalah dalil-dalilnya:
1. Dari Salman bin Amir Adh Dhabbi, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda:

Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah (kambing), dan


hilangkanlah gangguan darinya. (HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No.
1551 Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200)
Maksud dari hilangkanlah gangguan darinya adalah mencukur rambut
kepalanya (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad Dawah Al
Islamiyah). Imam Ibnu Hajar menyebutkan, bahwa Imam Muhammad bin Sirin
berkata: Jikalau makna menghilangkan gangguan adalah bukan mencukur
rambut, aku tak tahu lagi apa itu. Al Ashmui telah memastikan bahwa

maknanya adalah mencukur rambut. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad
shahih, bahwa Al Hasan Al Bashri juga mengatakan demikian. (Al Hafizh Ibnu
Hajar, Fathul Bari, 9/593. Darul Fikr)
2. Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda:

:
Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari
ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama. (HR. Abu Daud No. 2838.
Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syuabul Iman, No.
8377. Hadits ini shahih. Lihat Syaikh Al Albani, Irwa Al Ghalil No. 1165.
Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)
Apa maksud kalimat Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya? Imam Al
Khaththabi mengatakan, telah terjadi perbedaan pendapat tentang makna
tersebut. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, maksudnya adalah setiap anak
yang lahir dan dia belum diaqiqahkan, lalu dia wafat ketika masih anak-anak,
maka dia tidak bisa memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya.
Sementara, pengarang Al Masyariq dan An Nihayah mengatakan, maksudnya
adalah bahwa tidaklah diberi nama dan dicukur rambutnya kecuali setelah
disembelih aqiqahnya. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad
Dawah Islamiyah. Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Azhim Abadi, Aunul Mabud,
8/27. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Seorang tokoh tabiin, Atha bin Abi Rabbah mengatakan seperti yang dikatakan
Imam Ahmad, maksud kalimat tersebut adalah orang tua terhalang
mendapatkan syafaat dari anaknya. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal.
48. Darul Kutub Al Ilmiyah)

IV. Hukumnya
Mayoritas ulama mengatakan hukumnya adalah sunah. Berikut keterangan Imam
Ibnul Qayyim:



Ada pun pimpinan Ahli Hadits dan para ahli fiqih mereka dan jumhur
(mayoritas) ulama, mereka mengatakan bahwa aqiqah adalah sunah Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam. (Tuhfatul Maudud, Hal. 28. Darul Kutub Al
Ilmiah)
Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:


Madzhab jumhur (mayoritas) ulama dan lainnya adalah aqiqah itu sunah.
(Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad dawah Al Islamiyah Syabab Al
Azhar)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:



.
Aqiqah adalah sunah muakkadah walau keadaan orang tuanya sulit, Rasulullah
telah melaksanakannya, begitu pula para sahabat. Para pengarang kitab As
Sunan telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengaqiqahkan Hasan dan Husein dengan masing-masing satu kambing kibas.
Sedangkan menurut Laits bin Saad dan Daud Azh Zhahiri aqiqah adalah wajib.
(Fiqhus Sunnah, 3/326. Darul Kitab Al Arabi)
Sedangkan, Imam Abu Hanifah justru membidahkan Aqiqah! (Imam An Nawawi,
Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 3/217. Dar Alim Al Kitab)
Pengarang kitab Al Bahr menyebutkan, bahwa Imam Abu Hanifah menilai Aqiqah
merupakan kejahiliyahan. Imam Asy Syaukani mengatakan, jika benar itu dari
Abu Hanifah, maka hal itu bisa jadi dikarenakan belum sampai kepadanya haditshadits tentang aqiqah. Sementara Imam Muhammad bin Hasan mengatakan
Aqiqah adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam dengan qurban.
Sementara, justru kalangan zhahiriyah (yakni Imam Daud dan Imam Ibnu Hazm,
pen) dan Imam Al Hasan Al Bashri mengatakan wajib. (Imam Asy Syaukani, Nailul
Authar, 5/132. Maktabah Ad dawah Al Islamiyah Syabab Al Azhar. Imam Ibnul
Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 38. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa aqiqah adalah wajib. (Al Muhalla, 7/523.
Darul Fikr)

Pendapat yang benar dan lebih kuat, hukum aqiqah adalah sunah. Hal ini
didasari oleh hadits berikut:


Barang siapa dilahirkan untuknya seorang bayi, dan dia mau menyembelih
(kambing) untuk bayinya, maka lakukanlah. (HR. Malik No. 1066. Ahmad
No. 22053. Al Haitsami mengatakan, dalam sanadnya terdapat seorang
yang tidak menjatuhkan hadits ini, dan periwayat lainnya adalah para
periwayat hadits shahih. Majma Az Zawaid, 4/57. Al Maktabah Asy
Syamilah)
Hadits ini dengan jelas menyebutkan bahwa penyembelihan dikaitkan dengan
kemauan orangnya. Kalau dia mau, maka lakukanlah. Maka, tidak syak lagi
bahwa pendapat jumhur (mayoritas) ulama lebih kuat dan benar, bahwa aqiqah
adalah sunah.
Imam Ash Shanani Rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai pengalih
kewajiban aqiqah menjadi sunah. (Subulus Salam, 6/329. Al Maktabah Asy
Syamilah)

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullahi mengomentari hadits tersebut dalam At


Tamhid:

" : :
."
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa aqiqah bukanlah kewajiban, karena
seandainya wajib tidak akan dikatakan di dalamnya, Barang siapa yang suka
maka lakukanlah. (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid Lima fil Muwaththa
minal Maani wal Asanid, 4/311. Mawqi Ruh Al Islam)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengutip dari para ulama tentang maksud
hadits ini:


Melaksanakan aqiqah (dalam hadits ini), tidaklah menunjukkan kewajiban, itu
hanyalah menunjukkan perbuatan yang disukai (sunah). (Tuhfatul Maudud,
Hal. 42. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Beliau juga mengatakan:



Aqiqah adalah sunah buat anak perempuan sebagaimana juga sunah bagi anak
laki-laki, inilah pendapat mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat nabi, tabiin,
dan orang setelah mereka. (Ibid, hal. 46)
Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji mengomentari hadits di atas, katanya hadits
ini menunjukkan bahwa aqiqah tidak wajib karena terkait dengan kerelaan orang
tuanya. Lalu dia mengatakan:

:
Berkata Imam Malik dalam Al Mabsuth: Barang siapa yang tidak menyembelih
(aqiqah), tidak memberikan makan, maka tidak ada dosa baginya. Demikian
inilah pendapat mayoritas ahli fiqih. (Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji, Al
Muntaqa Syarh Al Muwaththa, 3/142. Al Maktabah Asy Syamilah)
Berkata Jafar bin Muhammad, ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang
seseorang yang tidak memiliki apa-apa untuk diaqiqahkan. Beliau menjawab:
Tidak ada masalah atasnya. Al Harits berkata, ditanyakan kepada Imam Ahmad
tentang orang yang tidak memiliki apa-apa untuk diaqiqahkan. Beliau menjawab:
Jika dia mau tidak mengapa berhutang, aku harap Allah Taala menggantinya
karena dia menghidupkan sunah. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud,
Hal. 40. Darul Kutub Al ilmiyah)
Jika sudah jelas bahwa aqiqah adalah sunah, bukan wajib, maka dia tidak
berdosa jika tidak melaksanakannya, maka bagaimana mungkin hal itu dianggap
hutang hingga dewasa? Maka, bagaimana mungkin, orang tua tidak boleh
mengaqiqahkan anaknya, hanya karena dia belum meng-aqiqahkan dirinya?

Berkata Al Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah:



(Aqiqah) adalah kewajiban bagi ayah, dan ini ditegaskan oleh nash (dalil) dari
Ahmad. Ismail bin Said Asy Syalinji berkata: Aku bertanya kepada Ahmad
tentang seorang laki-laki yang mengabarkan bahwa orang tuanya belum
mengaqiqahkan dirinya, apakah dia mesti meng-aqiqahkan dirinya? Ahmad
menjawab: itu adalah kewajiban ayahnya. (Ibid, Hal. 41. Darul Kutub Al
Ilmiyah)
Jadi, orang yang belum di-aqiqahkan ketika masih kecil, dia tidak dibebani untuk
mengaqiqahkan dirinya sendiri ketika sudah dewasa, sebab itu adalah tugas
orang tuanya ketika dia masih kecil. Inilah pendapat yang benar yang didukung
oleh dalil yang kuat, bahwa memang syariat aqiqah adalah dilakukan pada hari
ke 7 dari kelahiran bayi, bukan ketika sudah dewasa.
Saya mengira, bisa jadi dalam hal ini ada pihak yang menyamakan aqiqah
dengan haji, bahwa jika ingin menghajikan orang lain maka dia harus sudah haji
untuk dirinya sendiri dahulu.
Sungguh, aqiqah bukanlah haji. Ibadah haji adalah wajib dan rukun Islam ke lima.
Orang yang mampu tetapi tidak melaksanakannya, maka itu menjadi hutang
baginya.




Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah
datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu berkata:
Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal
sebelum berangkat haji, apakah saya berhaji atas nama ibu saya? Beliau
bersabda: Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang?
Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk
ditunaikan. (HR. Bukhari No. 1754)
Maka, tidak benar menyamakan yang sunah (aqiqah) dengan yang wajib (haji).
Oleh karena itu keduanya tidak sama pula dalam konsekuensi hukum
selanjutnya. Kita mengetahui, bahwa orang yang ingin menggantikan haji orang
lain (badal haji), maka syaratnya dia harus sudah berhaji dahulu.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
.

Disyaratkan bagi orang yang menghajikan orang lain, bahwa dia harus sudah
haji untuk dirinya dulu. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal.
638. Darul Kitab Al Arabi)

Hal ini berdasarkan pada hadits berikut:





Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendengar seorang
laki-laki berkata: Labbaika dari Syubrumah. Rasulullah bertanya: :Siapa
Syubrumah? laki-laki itu menjawab: Dia adalah saudara bagiku, atau teman
dekat saya. Nabi bersabda: Engkau sudah berhaji? Laki-laki itu menjawab:
Belum. Nabi bersabda: Berhajilah untuk dirimu dahulu kemudian berhajilah
untuk Syubrumah. (HR. Abu Daud No. 1811. Ibnu Majah No. 2903 Al
Baihaqi mengatakan: sanad hadits ini shahih, dan tidak ada yang lebih
shahih dari hadits ini dalam masalah ini. Lihat Aunul Mabud, 5/174.
Darul Kutub Al Ilmiyah)
Tetapi aturan pada badal haji ini, tentu tidak berlaku bagi aqiqah, karena
keduanya adalah hal yang berbeda secara hukum. Maka, tidak ada ketetapan
yang menyebutkan bahwa jika ingin mengaqiqahkan anak, maka orang tua harus
mengaqiqahkan dirinya, jika belum, maka tidak boleh. Ini adalah ketetapan yang
tidak berdasar dan mengada-ngada. Kalau pun ini disebut qiyas, maka ini adalah
qiyas maal fariq (mengqiyaskan dua hal yang berbeda), yang tidak bisa
dijadikan metode istinbath (penyimpulan hukum). Maka, orang tua yang belum
mengaqiqahkan dirinya, tetap boleh mengaqiqahkan anaknya. Ada pun dirinya,
menurut sebagian besar ulama, sudah tidak lagi kena anjuran aqiqah karena
aqiqah hanya dianjurkan atas bayi berumur tujuh hari atau kelipatannya. Ada
pun hadits tentang Rasulullah mengaqiqahkan dirinya saat dewasa adalah hadits
munkar yang tidak bisa dijadikan dalil. Demikian.
V. Bolehkah Aqiqah dengan selain Kambing?
Pendapat yang mengatakan bolehnya aqiqah dengan selain kambing adalah
pendapat lemah dan telah diingkari oleh orang-orang mulia.
Sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat berikut:




Dari Ibnu Abi Malikah ia berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk
Abdurrahman bin Abi Bakar, maka dikatakan kepada Aisyah: Wahai Ummul
Muminin, adakah aqiqah atas bayi itu dengan seekor unta?. Maka Aisyah
menjawab: Aku berlindung kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh
Rasulullah, dua ekor kambing yang sepadan. (HR. Ath Thahawi, Musykilul
Atsar, No. 871)
Ini adalah riwayat pengingkaran yang sangat tegas bagi orang yang
menggantikan Kambing dengan yang lainnya, sampai-sampai Aisyah
mengucapkan Maadzallah! (Aku berlindung kepada Allah). Hadits ini menjadi

pembatal bagi siapa saja yang mencoba-coba mengganti hewan aqiqah menjadi
Sapi atau Unta.
Oleh karena itu, dengan tegas berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:



Tidaklah cukup dalam aqiqah melainkan hanya
dinamakan dengan kambing (syatun), baik itu jenis
kambing biasa, dan tidaklah cukup hal ini dengan
sebutkan, tidak pula jenis unta, tidak pula sapi, dan
Muhalla, 7/523. Darul Fikr)

dengan apa-apa yang


kambing benggala atau
selain yang telah kami
tidak pula lainnya. (Al

Telah ada kasus pada masa sahabat, di antara mereka melaksanakan aqiqah
dengan Unta, namun hal itu langsung dingkari oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam. Imam Ibnul Mundzir menceritakan, bahwa Anas bin Malik mengaqiqahkan anaknya dengan Unta, juga dilakukan oleh Abu Bakrah dia
menyembelih Unta untuk anaknya dan memberikan makan penduduk Bashrah
dengannya. Kemudian disebutkan dari Al Hasan, dia berkata: bahwa Anas bin
Malik meng aqiqahkan anaknya dengan Unta. Kemudian disebutkan hadits, dari
Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Husyaim, dari Uyainah bin
Abdirrahman, dari ayahnya, bahwa Abu Bakrah telah mendapatkan anak lakilaki, bernama Abdurrahman, dia adalah anaknya yang pertama di Bashrah,
disembelihkan untuknya Unta dan diberikan untuk penduduk Bashrah, lalu
sebagian mereka mengingkari hal itu, dan berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam telah memerintahkan aqiqah dengan dua kambing untuk bayi lakilaki, dan satu kambing untuk bayi perempuan, dan tidak boleh dengan selain
itu. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 58.
Darul Kutub Al Ilmiyah)
Imam Ibnul Mundzir membolehkan aqiqah dengan selain kambing, dengan
alasan:

Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah hewan, dan hilangkanlah
gangguan darinya. (HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551 Ibnu
Majah No. 3164. Ahmad No. 17200)
Menurutnya, hadits ini tidak menyebutkan kambing, tetapi hewan secara umum,
jadi boleh saja dengan selain kambing. Alasan Imam Ibnu Mundzir ini lemah,
sebab hadits ini masih global, dan telah ditafsirkan dan dirinci oleh berbagai
hadits lain yang menjelaskan bahwa apa yang dimaksud hewan dalam hadits itu
adalah kambing. Menurut kaidah ushul tidak dibenarkan mengamalkan dalil yang
masih global, jika sudah ada dalil lain yang memberikan perincian dan
penjelasannya. Istilahnya Hamlul Muthlaq ila Al muqayyad (Dalil yang masih
muthlaq/umum harus dibatasi oleh dalil yang muqayyad/terbatas).
Hadits-hadits yang memberikan rincian tersebut adalah (saya sebut dua saja)
Dari Ummu Kurzin Radhiallahu Anha, katanya:



Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, bahwa untuk anak laki-laki
adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor
kambing. (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah No. 3162. An Nasai No.
4141. Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasai No. 4215)

Dari Aisyah Radhiallahu Anha, katanya:

.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk mengaqiqahkan anak laki dengan dua ekor kambing, dan anak perempuan seekor
kambing. (HR. Ibnu Majah No. 3163. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Irwa Al Ghalil No. 1166)
Demikianlah hadits-hadits yang memberikan perinciannya. Masih banyak hadits
lainnya, yang semuanya memerintahkan dengan kambing, tak satu pun
menyebut selain kambing, justru yang ada adalah pengingkaran selain kambing.
Maka, jelaslah kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah boleh
diganti dengan Sapi atau Unta. Wallahu Alam.
Imam Ibnul Qayyim telah membantah kekeliruan Imam Ibnul Mundzir dalam hal
ini, menurutnya hadits yang menyebutkan sembelihan dengan hewan adalah
masih umum, dan telah dirinci dengan riwayat hadits-hadits yang menyebut
penyembelihan itu harus dengan kambing. Beliau mengatakan;



Dan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, untuk anak laki-laki dua kambing
dan anak perempuan satu kambing, merupakan perincinya, dan rincian harus
diutamakan dibanding yang masih global (umum). (Tuhfatul Maudud, Hal.
58. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Imam Abu Thayyib menyebutkan dari Imam Ibnu Hajar, katanya:


Dalam hal ini, madzhab syafii ada dua pendapat, dan pendapat yang shahih
adalah bahwa kambing merupakan syarat sahnya aqiqah, hal ini dikuatkan
secara qiyas, bukan karena adanya riwayat. (Imam Abu Thayyib Syamsul
Haq Al Azhim Abadi, Aunul Mabud, 8/25. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Namun tertulis dalam kitab Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, sebagai
berikut:

.

:

Aqiqah sudah mencukupi dengan jenis hewan yang sama dengan qurban, yaitu
jenis hewan ternak seperti Unta, Kerbau, dan Kambing, dan tidak sah selain itu.
Ini telah disepakati oleh kalangan Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah, dan ini
menjadi pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat kalangan Malikiyah, yang
diutamakan adalah bahwa tidak sah kecuali dari jenis hewan ternak. Kalangan
Syafiiyah mengatakan: telah sah aqiqah dengan hewan yang seukuran dengan
hewan yang telah mencukupi bagi qurban, minimal adalah seekor kambing yang
telah sempurna, atau sepertujuh dari Unta atau Sapi. Kalangan Malikiyah dan
Hanabilah mengatakan: tidak sah aqiqah kecuali dengan Unta dan Sapi yang
telah sempurna. (Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 30/279)
Demikian pandangan kalangan ulama madzhab dan ini juga yang dipegang
Ustadzah kita. Namun pendapat yang lebih kuat adalah sebagaimana yang
dikatakan oleh Aisyah, Ibnu Hazm, dan Ibnul Qayyim, bahwa aqiqah hanya sah
dengan kambing. Wallahu Alam

VI. Bayi laki-laki dua ekor kambing, Bayi perempuan satu ekor kambing
Demikianlah ketetapan yang telah ditegaskan dalam berbagai nash hadits.
Sebagaimana yang sudah saya tulis sebelumnya. Ini menjadi pendapat
mayoritas ulama. Ada pun Imam Malik dan lainnya, menurutnya tidak ada
kelebihan bayi laki-laki di atas bayi perempuan, keduanya sama saja.
Dari Ummu Kurzin Radhiallahu Anha, katanya:



Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, bahwa untuk anak laki-laki
adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor
kambing. (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah No. 3162. An Nasai No.
4141. Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasai No. 4215)
Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi mengomentari hadits dari Ummu Kurzin
ini:

.
: .
Hadits ini merupakan dalil bahwa dalam aqiqah disyariatkan dua ekor kambing
buat anak laki-laki, dan satu ekor kambing buat anak perempuan, diceritakan
dalam Al Fath bahwa itu adalah pendapat jumhur (mayoritas). Malik berkata:

bahwa anak laki dan perempuan adalah sama satu ekor kambing. (Aunul
Mabud, 8/25)
Dalil pihak yang mengatakan bahwa bayi laki dan perempuan adalah sama-sama
satu ekor, yakni riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma:



Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meng-aqiqahkan Hasan dan
Husein masing-masing satu kambing kibas. (HR. Abu Daud No. 2841.
Dishahihkan oleh Abdul Haq dan Ibnu Daqiq Al Id, lihat Al Hafizh Ibnu
Hajar, At Talkhish Al Habir No. 1983. Darul Kutub Al Ilmiyah. Juga
dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil No. 1167. Maktab Al
Islami)
Imam Abu Thayyib mengatakan:

:
.
Berkata Al Hafizh Syamsuddin bin Al Qayyim Rahimahullah: Hadits ini dijadikan
dalil oleh orang yang mengatakan bahwa bayi laki dan perempuan adalah sama
saja dalam aqiqah, tidak ada kelebihan antara satu atas yang lainnya, yaitu
masing-masing satu kibas, sebagaimana pendapat Malik dan lainnya. (Aunul
Mabud, 8/30. Lihat juga Imam Ibnul Qayyim, Hasyiyah Ala Sunan Abi
Daud, 8/30. Mawqi Ruh Al Islam)
Selain Imam Malik, ini juga pendapat kalangan sahabat Nabi seperti Ibnu Umar,
Urwah bin Zubeir, dan lainnya.
Bagaimanakah mengkompromikan dua hadits yang nampaknya bertentangan
ini? Ada beberapa metode para ahli ushul, yakni:
1. Kaidah: Qaulun Muqaddamun minal Fil (Ucapan Nabi harus lebih
diutamakan dibanding perbuatannya)
Hadits dari Ummu Kurzin, tentang anak laki-laki dua kambing dan anak
perempuan satu kambing, merupakan perintah Rasulullah secara lisan/ucapan.
Sedangkan hadits dari Ibnu Abbas, tentang aqiqahnya Hasan dan Husein, adalah
perbuatan Rasulullah. Maka, hadits Ummu Kurzin lebih diutamakan.
Berkata Imam Ash Shanani Rahimahullah:


Karena, hadits tersebut (tentang Hasan dan Husein) adalah perbuatan,
sedangkan hadits ini (Ummu Kurzin) adalah ucapan, sedangkan ucapan adalah
lebih kuat. (Subulus Salam, 6/330. Al Maktabah Asy Syamilah)
2. Hadits tentang Hasan dan Husein lebih dahulu ada sebelum hadits
Ummu Kurzin. Jadi hadits Ummu Kurzin ini menasakh (menghapus
secara hukum) hadits Hasan dan Husein.
Berkata Imam Abu Thayyib:



.
Berkata yang lainnya, bahwa kelahiran Hasan dan Husein adalah sebelum kisah
Ummu Kurzin. Hasan lahir pada tahun perang Uhud, sedangkan Husein lahir
tahun selanjutnya. Sedangkan, hadits Ummu Kurzin, dia mendengarkannya dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pada tahun Hudaibiyah. An Nasai
menyebutkan bahwa hadits Ummu Kurzin ini datangnya belakangan dibanding
kisah Hasan dan Husein. (Aunul Mabud, 8/31. Darul Kutub Al Ilmiyah)
3. Kaidah dalam syariah
setengahnya laki-laki.

Islam

bahwa

bagian

wanita

adalah



Mereka juga mengatakan,Sesungguhnya kami melihat bahwa nash-nash syariat
menunjukkan bahwa bagian wanita adalah setengah dari laki-laki dalam warisan,
kesaksian, agama, dan pembebasan budak. (Ibid)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan:



Ini adalah kaidah syariah, sesungguhnya Allah Taala telah melebihkan antara
laki-laki dan wanita, dan menjadikan bagian wanita adalah setengah laki-laki
dalam hal waris, diyat (denda), kesaksian, membebaskan budak, dan aqiqah.
(Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 47. Darul Kutub Al ilmiyah)
Nah, dengan demikian, maka ketetapan bahwa bayi laki-laki adalah dua kambing
dan bayi perempuan adalah satu kambing, adalah lebih kuat dan argumentatif.
Namun demikian, untuk bayi laki-laki jika diaqiqahkan satu kambing adalah
boleh-boleh saja. Sebab, jumlah dua ekor tersebut adalah menunjukkan anjuran,
bukan syarat sahnya aqiqah.
Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi Rahimahullah:


Sesungguhnya jumlah tersebut bukanlah syarat, tetapi anjuran saja. Selesai.
(Aunul Mabud, 8/31. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah juga mengatakan:


-
Dibolehkan menyembelih satu ekor kambing untuk anak laki-laki, lantaran Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan hal itu terhadap Hasan dan Husein
Radhiallahu Anhuma. (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al Arabi)

Disebutkan dalam Nailul Authar sebagai berikut:

.
Sesungguhnya dua kambing adalah sunah saja, bukan kewajiban, dan satu
kambing adalah boleh, tidak sunah. (Nailul Authar, 5/134. Maktabah Al
Islamiyah Syabab Al Azhar)
Maka, tidak samar lagi, bahwa dua kambing untuk bayi laki-laki adalah afdhal
(lebih utama) dan bukan wajib, sedangkan satu kambing adalah boleh.
Sedangkan, untuk bayi perempuan, telah ijma (sepakat) semua ulama adalah
satu kambing.
Berikut penjelasannya:

.
Ada pun bayi perempuan, telah ijma disyariatkan aqiqah dengan satu ekor
kambing, sebagaimana tertera dalam kitab Al Bahr. (Ibid)
VII. Waktu Pelaksanaannya
Para ulama sepakat bahwa hari ketujuh dari kelahiran bayi adalah paling utama
(afdhal), tetapi mereka berbeda pendapat tentang aqiqah selain hari ketujuh,
bolehkah atau tidak. Kebanyakan ulama membolehkannya. Ada yang
mengatakan sama sekali tidak boleh dan jika dilakukan, maka itu bukanlah
aqiqah. Sebagian lain ada yang membolehkan pada hari ke 14 dan 21, ada pula
yang membolehkan sebelum hari ke tujuh, bahkan ada yang membolehkan
kapan pun dia memiliki kemampuan, walau sudah dewasa.
Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda:

:
Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari
ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama. (HR. Abu Daud No. 2838.
Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syuabul Iman, No.
8377. Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa Al Ghalil No. 1165.
Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)
Imam Asy Syaukani mengomentari demikian:


.

Dalam hadits ini terdapat pensyariatan penamaan pada hari ketujuh, dan
sebagai bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa penamaan itu pada saat
penyembelihan, dan disyariatkannya pula menghilangkan gangguan (mencukur
rambut), dan menyembelih aqiqah pada hari itu. (Nailul Authar, 5/135.
Maktabah Ad Dawah Al Islamiyah)

Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, memberikan syarah (penjelasan)


demikian:


"

. "


.
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ke tujuh
kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya. Ada yang
mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke 14 dan 21, sebab telah
dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: Aqiqah disembelih pada hari
ke- 7, 14, dan 21. Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At
Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih
aqiqah pada hari ke 7, jika dia belum siap maka hari ke 14, jika dia belum siap
maka di hari ke 21. (Aunul Mabud, 8/28. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Para Imam Ahlus Sunnah pun membolehkan aqiqah dilakukan setelah hari
ketujuh kelahiran. Berikut keterangannya:






Abu Daud mengatakan dalam kitab Al Masail, aku mendengar Abu Abdillah
(Imam Ahmad) berkata: Aqiqah disembelih pada hari ke 7. Berkata Shalih bin
Ahmad: Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang aqiqah, bahwa disembelih pada
hari ke 7, jika belum melaksanakannya maka hari ke 14, dan jika belum
melaksanakannya aka hari ke 21. Berkata Al Maimuni: Aku bertanya kepada Abu
Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab: Ada pun Aisyah
mengatakan pada hari ke 7, 14, dan 21. Berkata Abu Thalib: Imam Ahmad
berkata aqiqah disembelih pada satu hari, hari ke 21. Selesai. (Imam Ibnul
Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 43. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Imam Ibnul Qayyim juga menceritakan bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan
aqiqah pada hari ketujuh. Imam Laits bin Saad mengatakan bahwa aqiqah
dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, jika belum siap, boleh saja dilakukan pada
hari setelahnya, dan bukan kewajiban aqiqah pada hari ketujuh. Sementara Abu
Umar (Ibnu Abdil Bar) mengatakan bahwa Imam Laits bin Saad mewajibkan
aqiqah hari ketujuh. Semenara Atha lebih menyukai aqiqah dilakukan hari

ketujuh dan mengakhirkannya hingga hari ketujuh selanjutnya (hari ke 14). Ini
juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asy Syafii, Malik tidak menambahkan hingga
hari ke 14, sementara menurut Ibnu Wahhab tidak mengapa hingga hari ke 21.
Ini juga pendapat Aisyah, Atha, Ishaq, dan Ahmad. (Ibid, Hal. 44)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:


: .
.
Penyembelihan dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran jika dia lapang,
jika tidak maka pada hari ke 14, jika tidak maka hari ke 21 dari hari
kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan di hari apa pun. Dalam Hadits
Al Baihaqi: disembelih pada hari ke 7, 14, dan 21. (Fiqhus Sunnah, 3/328.
Darul Kitab Al Arabi)
Demikian perselisihan ini, bahkan ada pula yang mengklaim bahwa secara ijma
(aklamasi) tidak boleh aqiqah pada hari sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun
klaim ini lemah dan bertentangan dengan realita perselisihan yang ada.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:




.

Pengarang Al Bahr mengutip dari Imam Yahya, bahwa menurut ijma aqiqah
tidaklah sah dilakukan sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun, klaim adanya
ijma ini hanyalah prasangkaan semata, tidakkah Anda mengetahui perselisihan
yang sudah disebutkan. (Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Dawah Al
Islamiyah)

VIII. Shahihkah Hadits-Hadits Aqiqah Setelah Hari ke tujuh?


Di atas sudah dijelaskan pandangan para imam kaum muslimin. DI antara
mereka ada yang mewajibkan hari ketujuh, tidak yang lainnya. Ada yang
membolehkan setelahnya hingga kelipatan dua dan tiga, ada pula sampai hari
apa pun sesuai kelapangan dirinya. Mari sejenak kita mengkaji, apakah dalil para
ulama yang membolehkan aqiqah setelah hari ketujuh bisa dijadikan hujjah. Hal
ini penting disampaikan, agar kita berpijak pada dasar yang kuat bukan sekedar
pendapat-pendapat ulama, walau kita sangat mencintai mereka.
1. Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda:

Menyembelih aqiqah adalah pada hari ke 7, 14, dan 21. (HR. Al Baihaqi, As
Sunan Al Kubra, 9/303. Ath Thabarani, Mujam Ash Shaghir, 2/346.
Alauddin Muttaqi Al Hindi, Kanzul Umal, No. 45291)
Hadits ini dhaif (lemah). Sebab dalam sanadnya terdapat perawi bernama Ismail
bin Muslim Al Makki. Para Imam Ahli Hadits telah mendhaifkannya.
Tentang orang ini, Abdullah bin Mubarak mendhaifkannya. Sementara, Yahya Al
Qaththan dan Abdurrahman bin Al Mahdi meninggalkan hadits-hadits darinya.
(Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Hal. 120)
Al Hafizh Ibnu Hajar juga menyebutnya sebagai Dhaiful hadits (Orang yang
lemah hadisnya).(Imam Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/99. Darul Maktabah Al
ilmiyah)
Ibnu Uyainah pernah bertanya kepadanya tentang hadits, ternyata dia tidak
tahu sama sekali tentang hadits. Abu Thalib mengutip dari Ahmad bin Hambal,
katanya: munkarul hadits (haditsnya munkar). (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut
Tahdzib, 1/289. Darul Fikr. Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 3/201. Muasasah Ar
Risalah)
Yahya bin Main mengatakan, Ismail bin Muslim Al Makki ini bukan apa-apa.
Sementara Ali Al Madini mengatakan, hadits-hadits darinya tidaklah ditulis. Amru
bin Ali mengatakan bahwa Ismail bin Muslim Al Makki adalah orang yang lemah
haditsnya, dahulu dia orang yang jujur tetapi banyak melakukan kesalahan.
Ibrahim bin Yaqub As Sadi mengatakan bahwa Ismail adalah orang yang wahi
jiddan (lemah sekali). ( Tahdzibul Kamal, 3/201-202. Lihat juga Imam Az Dzahabi,
Mizanul Itidal, 1/249. Darul Marifah)
Abu Zurah mengatakan bahwa Ismail bin Muhammad Al Makki adalah dhaiful
hadits. (Mizanul Itidal, 2/199)
Syaikh Al Albani sendiri mengatakan bahwa hadits ini dhaif. (Irwa Al Ghalil, No.
1170. Maktab Islami)
2. Dari Anas bin Malik, katanya:

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau


diangkat menjadi nabi. (HR. Abdurrazaq, No. 7960)
Hadits ini sering dijadikan dalil bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah
hadits ini?
Hadits ini dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli
hadits tidaklah menggunakan hadits darinya.
Yahya bin Main mengatakan, Abdullah bin Muharrar bukanlah apa-apa (tidak
dipandang). Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia adalah matrukul hadits

(haditsnya ditinggalkan). Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku
(Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul
hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful
hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya.
Abu Zurah mengatakan, dia adalah dhaiful hadits. (Imam Abdurrahman bin Abi
Hatim, Al Jarh wat Tadil, 5/176. Dar Ihya At Turats)
Sementara Imam Bukhari mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah munkarul
hadits. (Imam Bukhari, Adh Dhuafa Ash Shaghir, Hal. 70, No. 195. Darul
Marifah)
Muhammad bin Ali Al Warraq mengatakan, ada seorang bertanya kepada Imam
Ahmad tentang Abdullah bin Muharrar, beliau menjawab: manusia meninggalkan
haditsnya. Utsman bin Said mengatakan: aku mendengar Yahya berkata:
Abdullah bin Muharrar bukan orang yang bisa dipercaya. (Al Hafizh Al Uqaili, Adh
Dhuafa, 2/310. Darul Kutub Al ilmiyah)
Imam An Nasai mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah matrukul hadits
(haditsnya ditinggalkan). (Imam An Nasai, Adh Dhuafa wal Matrukin, Hal. 200,
No. 332)
Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Abdullah bin Muharrar adalah diantara
hamba-hamba pilihan, sayangnya dia suka berbohong, tidak mengetahui, dan
banyak memutarbalik-kan hadits, dan tidak faham. (Imam Az Zailai, Nashb Ar
Rayyah, 1/297. Maktabah Syamilah)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang
yang dhaif jiddan (lemah sekali). (Imam Ibnu Hajar,Talkhish Al Habir, 2/46/530.
Darul Kutub Al Ilmiyah)
Kami kira, keterangan para Imam Ahli hadits ini sudah cukup membuktikan
bahwa hadits tersebut adalah dhaif, dan tidak bisa dijadikan hujjah (argumen),
walau banyak ulama yang membolehkan aqiqah dilaksanakan setelah hari
ketujuh. Maka, pendapat yang menguatkan bahwa hari ketujuh dari kelahiran
merupakan hari disyariatkannya aqiqah, merupakan pendapat yang sangat kuat.
Sehingga, amat wajar jika ada sekelompok ulama yang tidak menyetujui aqiqah
dilaksanakan diluar hari ketujuh. Wallahu Alam
Oleh karena itu, ulama kalangan Malikiyah dan sebagain Hambaliyah melarang
aqiqah ketika sudah dewasa.
Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan. Dan, menurut
Syaikh Al Albani hadits di atas adalah SHAHIH, karena ada dua jalur lain yang
menguatkan hadits tersebut. Yakni hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Jafar Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No. 883, dan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Mujam Al Awsath No. 1006.
Sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini
dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI. (As Silsilah Ash Shahihah No. 2726)
Ulama yang membolehkan adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al
Bashri, Atha, sebagian Hambaliyah dan Syafiiyah.

Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika


sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya sebagai
berikut:


Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang
melakukannya. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1.
1983M-1403H. Darul Kutub Al Ilmiyah)

IX. Sunah Pembagian Daqing Aqiqah Dalam Keadaan Matang


Pembagian daging aqiqah dianjurkan dalam keadaan matang; baik siap saji atau
sudah direbus dengan air saja. Imam Ahmad ditanya tentang aqiqah yang sudah
dimasak dengan air putih, dia menjawab: hal itu disukai (mustahab). Jika
dicampur dengan yang lain, dia menjawab: tidak apa-apa.
Kondisi ini lebih memudahkan bagi orang faqir miskin dan tetangga, dan
merupakan bentuk lebih mensyukuri nikmat, dan bertambahnya kebaikan.
(Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 53)

X. Mengundang Manusia Ketika Aqiqah


Secara khusus sebenarnya ini tidak ada contohnya. Namun, secara umum, ini
merupakan bagian dari menampakkan nikmat Allah Taala atas hambaNya, yang
memang dianjurkanNya untuk disiarkan.
Allah Taala berfirman:


Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan. (QS. Adh
Dhuha (93): 11)
Acara ini semakin baik jika di dalamnya di isi dengan ceramah agama oleh
seorang alim yang terkait dengan maslahat kehidupan manusia. Syaikh Abdul
Muhsin Al Abbad Hafizhahullah berkata tentang hukum berkumpul dalam acara
undangan taushiah aqiqah:



".
Ada pun membiasakan menghadirkan seorang syaikh dan para undangan
dalam acara ini maka tidak ada dalilnya, tetapi seandainya dilakukan untuk
memanfaatkan keluangan pada waktu tertentu, dalam rangka memberikan
peringatan dan nasihat atas sebagian permasalahan yang terkait dengan
berkumpulnya mereka, maka hal itu tidak mengapa. (Syaikh Abdul Muhsin Al
Abbad Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 086. Maktabah Misykah)

Demikian. Wallahu Alam

*****
Referensi:
-

Al Quran Al Karim
Shahih Bukhari
Sunan At Tirmidzi
Sunan Abu Daud
Sunan Ibnu Majah
Sunan An Nasai
Sunan Ad Darimi
Syuabul Iman, karya Imam Al Baihaqi
As Sunan Al Kubra, karya Imam Al Baihaqi
Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad
Mujam Al Awsath, karya Imam Ath Thabarani
Al Mushannaf, karya Imam Abdurrazzaq
Al Muwaththa , karya Imam Malik
Musykilul Atsar, karya Imam Abu Jafar Ath Thahawi
Fathul Bari fi Syarh Shahih Bukhari, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al
Asqalani
Aunul Mabud Syarh Sunan Abi Daud, karya Imam Abu Thayyib Syamsul Haq
Azhim Abadi
Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa, karya Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji
At Tamhid lima fil Muwaththa minal Maani wal Asanid, karya Imam Abu Umar
bin Abdil Bar
Syarh Sunan Abi Daud, karya Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Badr
Hasyiah Ala Sunan Abi Daud, karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah
At Talkhish Al Habir, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al Asqalani
Al Adzkar, karya Imam Abu Zakaria An Nawawi
Irwa Al Ghalil, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Shahih wa Dhaif Sunan An Nasai, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani
Nashbur Rayyah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah, karya Imam Az Zailai
Taqribut Tahdzib, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al Asqalani
Tahdzibut Tahdzib, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al Asqalani
Tahdzibul Kamal, karya Imam Al Hafizh Al Mizzi
Al Jarh wat Tadil, karya Imam Al Hafizh Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi
Adh Dhuafa wal Matrukin, karya Imam An Nasai
Adh Dhuafa Ash Shaghir, karya Imam Al Bukhari
Mizanul Itidal fi Naqd Ar Rijal, karya Imam Syamsuddin Adz Dzahabi
Al Majruhin, karya Imam Ibnu Hibban
Al Muhalla, karya Imam Abu Muhammad bin Hazm Azh Zhahiri
Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq
Nailul Authar, karya Imam Ali Asy Syaukani
Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, karya Imam Amir Ash Shanani
Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah
Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, karya Imam Abu Zakaria An Nawawi
Gharibul Hadits, karya Syaikh Abu Ubaid Al Qasim bin Salam Al Harawi
Mukhtar Ash Shihah, karya Syaikh Zainddin Ar Razi
Al Ain, karya Syaikh Khalil bin Ahmad

- Al Muhith fil Lughah, karya Syaikh Shahib bin Ibad

Anda mungkin juga menyukai