Anda di halaman 1dari 283

INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA

MENUJU 100 TAHUN NKRI


Membangun Kemandirian Ekonomi, Energi dan Pangan
Secara Berkelanjutan

GABUNGAN PENGUSAHA KELAPA SAWIT INDONESIA

GAPKI
2014

GAPKI 2014

INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA MENUJU 100 TAHUN NKRI

Copyright 2014 GAPKI

Edisi Pertama

ii

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

KATA PENGANTAR

Industri minyak sawit merupakan industri strategis dalam


perekonomian Indonesia khususnya dimasa yang akan datang. Para
ahli pertanian dunia telah lama mengakui bahwa pertanian termasuk
perkebunan Kelapa sawit memiliki fungsi ekonomi, sosial dan
lingkungan bagi masyarakat. Berbagai studi baik dari lembaga
internasional maupun lembaga di Indonesia, telah membuktikan bahwa
industri minyak sawit Indonesia berkontribusi besar baik bagi
perekonomian nasional, pembangunan ekonomi daerah, pengurangan
kemiskinan maupun untuk pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena
itu, pengembangan industri minyak sawit perlu dilihat sebagai upaya
memperbesar manfaat ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan
hidup yang lebih besar dan lebih berkualitas.
Kedepan, selain meningkatkan peran yang telah ada selama ini
industri minyak sawit Indonesia juga dituntut pada peran baru yakni
menyediakan energi pengganti energi fosil. Sebagaimana diketahui,
bahwa ketergantungan Indonesia pada solar impor sudah sangat tinggi
dan akan makin tinggi kedepan jika tidak ada upaya untuk
menggantikannya. Impor, solar selain berisiko tinggi secara ekonomi,
penggunaan solar juga menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca yang
cukup besar dan secara global menjadi kontributor utama perubahan
iklim global. Oleh karena itu penggantian solar dengan biodiesel
berbahan baku minyak sawit menjadi tuntutan baru kedepan. Selain
membangun kemandirian energy, pengembangan biodiesel tersebut
jauh lebih ramah lingkungan.
Dengan tambahan peran baru industri minyak sawit tersebut
yakni menyediakan biodiesel tentu memerlukan penigkatan
ketersediaan bahan baku berupa minyak sawit mentah (CPO).
Sementara untuk kebutuhan hilirisasi oleopangan dan oleokimia juga
terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan
pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, hilirisasi
dan pengembangan biodiesel perlu disertai dengan peningkatan
produksi CPO agar tidak terjadi trade-off fuel-food sebagaimana dialami
banyak negara dunia.
Dengan latar belakang dan harapan masa depan yang demikian,
GAPKI menyusun cetak biru (blue print) dan peta jalan (roadmap)
industri minyak sawit Indonesia (HuluHilir) untuk periode 2015-2050.
Untuk bagian hulu (perkebunan kelapa sawit) disajikan cetak biru dan
GAPKI 2014

iii

peta jalan peningkatan produktivitas CPO melalui peningkatan


produktivitas dan perluasan luas areal baik perkebunan rakyat,
perkebunan swasta dan perkebunan negara. Dibagian hilir disajikan
cetak biru dan peta jalan hilirisasi baik melaui jalur industri
oleopangan, jalur industri oleokimia dan jalur industri biodiesel. Dan
bagian terpenting dari cetak biru dan roadmap ini adalah Kebijakan
Strategis yang perlu didukung pemerintah untuk industri minyak sawit
Indonesia kedepan.
Pengurus GAPKI Pusat mengapresiasi dan menyampaikan
terimakasih kepada PASPI (Palm Oil agribusiness Staregic Policy Institute)
yang telah kerja keras menyusun Cetak Biru dan Peta Jalan Industri
Minyak Sawit ini. Dan kepada seluruh asosiasi industi minyak sawit :
DMSI, APROBI, APOLIN, GIMNI, AMNI, APKASINDO, MAKSI kami
sampaikan terimakasih atas masukan yang telah diberikan. Dan mari
kita semua bergandengan tangan untuk menjadikan industri minyak
sawit Indonesia meraih prestasi terbaik kedepan dan menjadi sumber
kemakmuran bagi rakyat Indonesia.

Bogor, Juli 2014

PENGURUS GAPKI PUSAT

iv

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................

iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................

DAFTAR TABEL ...........................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

xiii

BAB I.
BAB II.

PENDAHULUAN ........................................................................

EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR PASAR


MINYAK NABATI DUNIA .........................................................
2.1 Populasi, Distribusi dan Pertumbuhan Penduduk Dunia ..
2.2 Perekonomian Kawasan/Global ..........................................
2.3 Perkembangan Konsmsi Minyak Nabati Dunia .................
2.4 Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Per Kawasan....
2.5 Pola Konsumsi Minyak Nabati Berdasarkan Kawasan ......
2.6 Perkembangan Produksi Minyak Nabati Utama Global
Menurut Negara Produsen .............................................
2.7 Ekspor- Impor Minyak Nabati Global.................................
2.8 Perkembangan Mutakhir Industri Oleokimia Dunia .........
2.9 Perkembangan Produksi Oleokimia Global .......................
2.10 Industri Penggunaan Produk Oleokimia Global ................
2.11 Volume Konsumsi Oleokimia Global..................................
2.12 Perkembangan Harga Oleokimia ........................................
2.13 Industri Biodiesel Dunia ......................................................
2.14 Dinamika Industri Oleokimia Global ..................................

5
5
7
9
11
18

42
49
52
57
58
60
60
61
71

BAB III. EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR INDUSTRI


MINYAK SAWIT INDONESIA....................................................
3.1 Industri Perbenihan Kelapa Sawit .......................................
3.2 Perkembangan Luas Area.....................................................
3.2.1 Perkembangan Luas Areal Menurut Pengusahaan
dan Provinsi ................................................................
3.2.2 Perkembangan Komposisi Umur Kelapa Sawit
Menurut Pengusahaan dan Provinsi .........................
3.3 Perkembangan Produksi CPO..............................................
3.3.1 Penyebaran dan Kapasitas Produksi PKS ..................
3.3.2 Perkembangan Produksi CPO Menurut Pengusahaan
dan Provinsi ................................................................
3.3.3 Perkembangan Produktivitas CPO Menurut

GAPKI 2014

73
73
75
75
80
84
84
85

Pengusahaan dan Provinsi.........................................


3.4 Perkembangan Ekspor dan Konsumsi Domestik CPO ......
3.5 Industri Hilir Minyak Sawit .................................................
3.5.1 Industri Minyak Goreng Sawit/Margarin/
Shortening ....................................................................
3.5.2 Industri Margarin/Shortening .....................................
3.6 Perkembangan Industri Oleokimia ......................................
3.6.1 Industri Sabun/Detergen...........................................
3.7 Evolusi Kebijakan Pemerintah .............................................
3.8 Perkembangan Harga Energi Dunia, Pupuk dan Rasio
Harga .....................................................................................
3.8.1 Pergerakan Harga Emisi Dunia, Minyak Mentah ....
3.8.2 Pergerakan Indeks Harga Pupuk ..............................
3.8.3 Pergerakan Harga CPO Dunia ..................................
BAB IV. ANALISIS PERUBAHAN DAN PROYEKSI PASAR MINYAK
NABATI GLOBAL MENUJU 2050 ..............................................
4.1 Proyeksi Populasi Penduduk Menuju 2050 ........................
4.2 Proyeksi Ekonomi Global Menuju 2050 ..............................
4.3 Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Global 2050 ....
4.4 Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Global 2050......
4.5 Proyeksi Biodiesel.................................................................
4.6 Proyeksi Harga dan Ratio Harga .........................................
4.7 Perubahan Selera Pasar Global ...........................................
4.8 Perubahan Iklim Global........................................................
4.9 Perubahan Kebijakan Pasar Minyak Nabati Global ...........
BAB V.

vi

PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM


PEREKONOMIAN INDONESIA ................................................
5.1 Kontribusi Persawitan Indonesia dalam Pertumbuhan
Ekonomi ................................................................................
5.1.1 Keterkaitan Pertumbuhan Kelapa Sawit dengan
Sektor Lain ..................................................................
5.1.2 Dampak Perkebunan Kelapa Sawit pada Sektor Lain
5.1.3 Peran Ekspor Minyak Sawit dalam Perekonomian..
5.1.4 Menyediakan Minyak Nabati yang Kompetitif Bagi
Dunia: Feeding The World ...........................................
5.2 Peran Industri Minyak Sawit Dalam Pembangunan
Pedesaan................................................................................
5.2.1 Perkebunan Kelapa Sawit: Menumbuhkan Pusat
Pertumbuhan Baru Pedesaan ....................................
5.2.2 Menarik Pertumbuhan Sektor Lain di Kawasan
Pedesaan .....................................................................
5.2.3 Pertumbuhan Produksi CPO Memacu Pertumbuhan
Ekonomi Sentra Sawit ................................................

89
95
98
98
106
108
115
121
135
135
138
142
146
146
148
152
154
156
158
161
162
164

167
167
167
169
171
175
178
179
182
183

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

5.2.4 Perekonomian Sentra Sawit Bertumbuh Lebih Cepat


Dibanding Non Sentra Sawit......................................
5.3 Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Mengurangi
Kemiskinan ............................................................................
5.3.1 Merubah Petani Miskin Menjadi Pengusaha ............
5.3.2 Menciptakan Kesempatan Kerja di Kawasan
Pedesaan ......................................................................
5.3.3 Pendapatan Petani Sawit Meningkat Cepat ..............
5.3.4 Pertumbuhan Asset Petani Sawit ...............................
5.3.5 Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit Lebih
Tinggi dari Petani Non Sawit .....................................
5.3.6 Mengatasi Kemiskinan dan Menciptakan Kelas
Ekonomi Menengah di Pedesaan...............................
5.3.7 Perkebunan Kelapa Sawit Menurunkan Kemiskinan
di Pedesaan..................................................................
5.4 Kontribusi Industri Minyak Sawit Dalam Pelestarian
Lingkungan ...........................................................................
5.4.1 Kebijakan dan Regulasi Tata Kelola Perkebunan
Kelapa Sawit Indonesia yang Berkelanjutan .............
5.4.2 Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dari
Degraded Land dan Low-Carbon ...................................
5.4.3 Perkebunan Kelapa Sawit Berfungsi Ekologis ..........
5.4.4 Perkebunan Kelapa Sawit Menyerap CO2 dari
Atmosfir Bumi .............................................................
5.4.5 Perkebunan Kelapa Sawit Mengurangi Emisi GHG
Degraded Peat Land.......................................................
5.4.6 Pelestarian Biodiversity pada Perkebunan Kelapa
Sawit ............................................................................
5.4.7 Industri Minyak Sawit Hemat Sumberdaya dan
Minimum Polusi .........................................................
BAB VI. INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA 2050 ........................
6.1 Asumsi-Asumsi .....................................................................
6.2 Visi dan Misi Industri Minyak Sawit Indonesia 2050 .........
6.2.1. Visi 2050 ......................................................................
6.2.2. Misi 2050 ......................................................................
6.3 Roadmap Hilirisasi .................................................................
6.3.1 Proyeksi Konsumsi Industri Hilir Minyak Sawit ......
6.2.2 Proyeksi Produksi Hilir Minyak Sawit ......................
6.4 Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik .................
6.5 Roadmap Produksi CPO Menuju 2050....................................
6.5.1 Roadmap Pengembangan Industri Pembibitan
Kelapa Sawit ................................................................
6.5.2 Roadmap Replanting ......................................................
6.5.3 Roadmap Luas Areal dan Komposisi Tanaman..........

GAPKI 2014

184
186
186
188
190
191
191
192
193
195
196
198
201
203
206
208
210
215
215
219
219
219
220
221
222
224
225
225
227
227

vii

6.5.4 Roadmap Produktivitas ...............................................


6.5.5 Proyeksi Produksi CPO Menuju 2050 ......................
6.6 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Sawit
Nasional ...............................................................................
6.7 Proyeksi Produksi Jasa Lingkungan ...................................
6.8 Proyeksi Ekspor Produk Minyak Sawit dan Pangsa
Indonesia ...............................................................................

230
232

BAB VII. KEBIJAKAN STRATEGIS INDUSTRI MINYAK SAWIT 2050 ..


7.1 Paket Kebijakan BIG PUSH Industri Minyak Sawit
nasional Menuju 2050 ...........................................................
7.2 Kebijakan Tata Ruang ..........................................................
7.3 Kebijakan Pertanahan...........................................................
7.4 Kebijakan Perizinan Industri Minyak Sawit .......................
7.5 Kebijakan Suku Bunga Kredit ..............................................
7.6 Kebijakan Infrastruktur dan Pelabuhan ..............................
7.7 Kebijakan Subsitusi Solar dengan Biodiesel (Mandatori
Biodiesel) ...............................................................................
7.8 Kebijakan Perdagangan Internasional.................................
7.9 Kebijakan Perpajakan ...........................................................
7.10 Kebijakan Riset dan Pengembangan ...................................
7.11 Kebijakan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development) ......................................................
7.12 Kebijakan Kelembagaan dan Organisasi Ekonomi Petani
Sawit ......................................................................................

241

BAB VIII. PENUTUP ....................................................................................

259

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

261

viii

233
234
235

241
242
243
244
245
247
249
250
252
253
255
256

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Tabel 2.3.
Tabel 2.4.
Tabel 2.5.
Tabel 2.6.
Tabel 2.7.
Tabel 2.8.
Tabel 2.9.
Tabel 2.10.
Tabel 2.11.
Tabel 2.12.
Tabel 2.13.
Tabel 2.14.
Tabel 2.15.
Tabel 2.16.
Tabel 2.17.
Tabel 3.1.
Tabel 3.2.
Tabel 3.3.
Tabel 3.4.
Tabel 3.5.

Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa) .............


Perkembangan Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan
(Juta jiwa) .................................................................................
Asumsi GDP ...........................................................................
Perkembangan GDP berdasarkan Kawasan (Million USD,
pada Harga Konstan 2005) ......................................................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014 ........................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Sub Sahara Afrika Tahun 1965-2014.......................................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Near East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014 ......................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Selatan Tahun 1965-2014.................................................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Timur Tahun 1965-2014 ..................................................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Negara Maju Tahun 1965-2014 ...............................................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara
Amerika Serikat Tahun 1965-2014 ..........................................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Uni Eropa Tahun 1965-2014 ....................................................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Eropa Barat Tahun 1965-2014 .................................................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Eropa Timur Tahun 1965-2014................................................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Tengah Tahun 1965-2014 ................................................
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia
Tahun 1965-2014 ......................................................................
Pangsa Produksi Minyak Nabati terhadap Total Produksi
Minyak Nabati Utama Dunia 1970-2013 (%) .........................
Kapasitas Produksi Benih Kelapa Sawit di Indonesia...........
Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat Menurut Provinsi ........................................................
Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit
Negara Menurut Provinsi .......................................................
Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit
Swasta Menurut Provinsi ........................................................
Perbandingan Komposisi Tanaman Kelapa Sawit antara
Perkebunan Rakyat, Negara, dan Swasta (%)........................

GAPKI 2014

5
6
7
8
20
22
24
26
28
30
32
34
36
38
40
42
43
74
76
78
79
80

ix

Tabel 3.6.
Tabel 3.7.
Tabel 3.8.
Tabel 3.9.
Tabel 3.10.
Tabel 3.11.
Tabel 3.12.
Tabel 3.13.
Tabel 3.14.
Tabel 3.15
Tabel 3.16.
Table 3.17
Tabel 3.18.
Tabel 3.19
Tabel 3.20.
Table 3.21
Tabel 3.22.
Tabel 3.23.

Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
Tabel 5.1.
Tabel 5.2.
Tabel 5.3.

Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan


Kelapa Sawit Rakyat Menurut Provinsi. ................................
Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan
Kelapa Sawit Swasta Menurut Provinsi. ................................
Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa
Sawit Negara Menurut Provinsi. ............................................
Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Rakyat
Seluruh Provinsi. ......................................................................
Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Swasta
Seluruh Provinsi.......................................................................
Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Negara
Seluruh Provinsi.......................................................................
Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO
Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Setiap Provinsi .................
Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO
Perkebunan Kelapa Sawit Negara Setiap Provinsi. ...............
Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO
Perkebunan Kelapa Sawit Swasta Setiap Provinsi ................
Lokasi dan Kapasitas Industri Minyak Goreng Sawit di
Indonesia Tahun 2007 ..............................................................
Jumlah Perusahaan, Kapasitas Produksi dan Penyebaran
Industri Margarin/Shortening di Indonesia ..........................
Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca
Transaksi Berjalan Indonesia...................................................
Produsen dan Kapastas Industri Oleokimia
Nasional(dalam 1000 ton). .......................................................
Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri
Sabun Mandi dan Detergen di Indonesia ...............................
Produsen dan Kapasitas Industri Biodiesel di Indonesia ......
Perkembangan Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir di
dalam Negeri ............................................................................
Formula Penetapan Pajak Ekspor CPO dan Produk
Turunan Berdasarkan SK Menkeu No: 434/KMK
0.17/1994 Tanggal 31 Agustus 1994 .......................................
Harga Patokan Ekspor dan Tarif Bea Keluar ProdukProduk Agribisnis Minyak Sawit 1 September 30
September 2011 ........................................................................
Peringkat 10 jumlah penduduk terbesar dunia tahun 2014
dan 2050E ................................................................................
Peringkat (Ranking) GDP Negara Ekonomi Terbesar Dunia .
Keterkaitan ke Depan (Forward Linkages) dan Keterkaitan
ke Belakang (Backward Linkages) Perkebunan Kelapa
Sawit. ........................................................................................
Sektor-Sektor Penyedia Input Perkebunan Kelapa Sawit .....
Indeks Multiplier Perkebunan Kelapa Sawit .........................

81
82
83
86
87
88
90
91
93
99
107
109
110
116
120
121

128
134
147
150

168
169
170

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 5.4.
Tabel 5.5
Tabel 5.6.
Tabel 5.7.
Tabel 5.8.
Tabel 5.9.
Tabel 5.10.
Tabel 5.11.
Tabel 5.12.
Tabel 5.13.
Tabel 5.14
Tabel 5.15.

Tabel 5.16.
Tabel 5.17.
Tabel 5.18.
Tabel 5.19.
Tabel 5.20.
Tabel 5.21.
Tabel 5.22.
Tabel 5.23.
Tabel 5.24.

Top Ten Sektor Ekonomi (Selain Perkebunan Kelapa


Sawit) yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Output,
Income dan Nilai Tambah Perkebunan Kelapa Sawit..........
Perkembangan Nilai Ekspor CPO dan Turunannya Serta
Pangsanya dalam Net Ekspor Non Migas Indonesia ............
Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca
Transaksi Berjalan Indonesia ..................................................
Penerimaan Pemerintah dari Bea Keluar Ekspor CPO dan
Turunannya, Tahun 2007-2012 ...............................................
Negara/Kawasan Utama yang Menikmati Manfaat
Produksi CPO Indonesia untuk Bahan Pangan dan Bahan
Baku Industri ...........................................................................
Sektor-sektor Rural Non-Farm yang Bertumbuh Akibat
Pertumbuhan Produksi CPO ..................................................
Perkembangan Jumlah Unit Usaha Keluarga Petani
Kelapa Sawit Rakyat di Indonesia ..........................................
Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja pada
Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ......................................
Sektor-Sektor Ekonomi yang Bertumbuh Penyerapan
Tenaga Kerja Jika Produksi Perkebunan Kelapa Sawit
Bertumbuh ...............................................................................
Perbandingan Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit
dengan Petani Non Sawit (Rp Juta) ........................................
Perbandingan Pendapatan per Kapita Petani Sawit, Garis
Kemiskinan dan Pendapatan per Kapita Nasional ...............
Sektor-sektor Ekonomi (Diluar Perkebunan Sawit) yang
Meningkat Pendapatannya Akibat Pertumbuhan Produksi
CPO ..........................................................................................
Kebijakan dan Regulasi Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan di Indonesia .....................................................
Perubahan Penggunaan Lahan untuk Hutan, Perkebunan
dan Penggunaan Lain di Indonesia (Juta Hektar) ................
Perbandingan Ekofisiologi Perkebunan Kelapa Sawit
dengan Hutan Tropis ..............................................................
Volume Standing Biomas dan Jumlah Karbon Terfiksasi
dari Atmosfir Bumi pada Berbagai Umur Kelapa Sawit.......
Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Menurunkan
Emisi CO2 Lahan Gambut ( Degraded Peat Land) ...............
Berbagai Fauna di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit ....
Berbagai Flora di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit .....
Kebutuhan Lahan untuk Menghasilkan 1000 Ton Minyak
Nabati dari Berbagai Jenis Minyak Nabati Global ................
Perbandingan Penggunaan Input dan Polusi Air/Tanah
antara Perkebunan Kelapa Sawit dengan Minyak Nabati
Lain untuk Per Ton Minyak Nabati yang Dihasilkan ...........

GAPKI 2014

171
173
173
174
176
182
187
189
189
192
193
194
197
200
202
204
207
209
210
211
211

xi

Tabel 5.25.
Tabel 6.1.
Tabel 6.2.
Tabel 6.3.
Tabel 6.4.
Tabel 6.5.
Tabel 6.6.
Tabel 6.7.
Tabel 6.8.
Tabel 6.9.
Tabel 6.10.
Tabel 6.11.
Tabel 6.12.
Tabel 6.13.
Tabel 6.14.
Tabel 6.15.
Tabel 6.16.
Tabel 7.1.
Tabel 7.2.
Tabel 7.3.

xii

Konsumsi Air (Water Footprint) dari Berbagai Jenis


Tanaman Biofuel ......................................................................
Asumsi Proyeksi Pertumbuhan Tahun 2014-2050 (%
Tahun).......................................................................................
Luas Degraded Land di Indonesia ............................................
Luasan Lahan Berpotensi Tinggi Untuk Tanaman Kelapa
Sawit di Beberapa Wilayah Indonesia ....................................
Proyeksi Volume Konsumsi Domestik Produk Hilir 20132050 ..........................................................................................
Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit (Ton) ..........
Proyeksi Kebutuhan CPO untuck Industri Hilir Domestik ..
Kebutuhan Bibit dan Roadmap Kualitas bibit Kelapa
Sawit 2013-2050 ........................................................................
Roadmap Replanting dan Tanaman Baru serta Kebutuhan
Bibit Kelapa Sawit 2013-2050...................................................
Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2050................
Proyeksi Produksi CPO Menurut Pengusahaan 2013-2050
Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Minyak
Sawit Nasional 2013-2050 ........................................................
Proyeksi Jasa Lingkungan Pada Industri Minyak Sawit
2013-2050 .................................................................................
Proyeksi Volume Ekspor Produk Hilir Minyak Sawit dan
CPO Indonesia 2013- 2050 ......................................................
Proyeksi Nilai Ekspor Produk Hilir dan CPO Indonesia .....
penghematan Devisa Impor Solar dengan Kebijakan
Mandatori Biodiesel Tahun 2013-2050....................................
Proyeksi Pangsa Indonesia Dalam Produksi CPO Dunia,
Minyak Nabati Utama Dunia, dan Biodiesel Dunia ..............
Perbandingan Peringkat Dunia antara Indonesia dengan
Negara Tetangga dalam Perizinan Usaha ..............................
Perbandingan Lending Rate di Indonesiia dengan NegaraNegara Tujuan Ekspor .............................................................
Perbandingan Indeks Ketersediaan dan Kualitas
Infrastruktur Indonesia dibandingkan Negara Lain pada
Tahun 2013 ...............................................................................

212
217
217
218
221
223
224
226
227
229
232
233
235
236
237
238
238
244
246
247

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan .....
Gambar 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan .....
Gambar 2.3. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965,
1980, 2014 .................................................................................
Gambar 2.4. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965
2014 ...........................................................................................
Gambar 2.5. Perkembangan Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Dunia .....
Gambar 2.6. Konsumsi Minyak Kedele berdasarkan Kawasan Tahun
1965-2014 ..................................................................................
Gambar 2.7. Negara Konsumen Terbesar Minyak Kedele Dunia 19652014 ...........................................................................................
Gambar 2.8. Konsumsi Minyak Sawit berdasarkan Kawasan Tahun
1965-2014 ..................................................................................
Gambar 2.9. Negara Konsumen Terbesar Minyak Sawit Dunia 19652014 ...........................................................................................
Gambar 2.10. Konsumsi Rapeseed Oil berdasarkan Kawasan Tahun
1965-2014 ..................................................................................
Gambar 2.11. Negara Konsumen Terbesar Rapeseed Oil Dunia 19652014 ...........................................................................................
Gambar 2.12. Konsumsi Sunflower Oil berdasarkan Kawasan Tahun
1965-201 ....................................................................................
Gambar 2.13. Negara Konsumen Terbesar Sunflower Oil Dunia 19652014 ...........................................................................................
Gambar 2.14. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014 ........................
Gambar 2.15. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Sub Sahara Afrika Tahun 1965-2014.......................................
Gambar 2.16. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Near East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014 ......................
Gambar 2.17. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Selatan Tahun 1965-2014.................................................
Gambar 2.18. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Timur Tahun 1965-2014 ..................................................
Gambar 2.19. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Negara Maju Tahun 1965-2014 ...............................................
Gambar 2.20. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara
Amerika Serikat Tahun 1965-2014 ..........................................
Gambar 2.21. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Uni Eropa Tahun 1965-2014 ....................................................
Gambar 2.22. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Eropa Barat Tahun 1965-2014 .................................................

GAPKI 2014

6
8
9
10
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
23
25
27
29
31
33
35

xiii

Gambar 2.23. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan


Eropa Timur Tahun 1965-2014 ................................................
Gambar 2.24. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Tengah Tahun 1965-2014.................................................
Gambar 2.25. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia
Tahun 1965-2014.......................................................................
Gambar 2.26. Perkembangan Pangsa Produksi Minyak Nabati Utama
Dunia 1964-2013 .......................................................................
Gambar 2.27. Perkembangan Produksi CPO Dunia Tahun 1964-2013 ........
Gambar 2.28. Perkembangan Produksi Soybean Oil Dunia Tahun 19642013 ...........................................................................................
Gambar 2.29. Perkembangan Produksi Rapeseed Oil Dunia Tahun 19642013 ...........................................................................................
Gambar 2.30. Perkembangan Produksi Sunflower Oil Dunia 1964-2013 ....
Gambar 2.31. Perkembangan Ekspor Minyak Dunia 1964-2013 ..................
Gambar 2.32. Perkembangan Ekspor Minyak Kedele Dunia 1964-2013 .....
Gambar 2.33. Perkembangan Ekspor Rapeseed Oil Dunia 1964-2013 .........
Gambar 2.34. Perkembangan Ekspor Sunflower Oil Dunia 1964-2013 .......
Gambar 2.35. Kapasitas Produksi Fatty Acid Dunia Tahun 2011 ................
Gambar 2.36. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Global
2004-2015 ..................................................................................
Gambar 2.37. Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia Tahun 2011 ...................
Gambar 2.38. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia 20042015 ...........................................................................................
Gambar 2.39. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Dunia 2011.......................
Gambar 2.40. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol
Global2004-2015 .......................................................................
Gambar 2.41. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia ..................................
Gambar 2.42. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia
2004-2015 ..................................................................................
Gambar 2.43. Volume Produksi Fatty Acid Global Historis dan Proyeksi.
Gambar 2.44. Volume Produksi Fatty Alcohol Global Historis dan
Proyeksi ....................................................................................
Gambar 2.45. Industri Pengguna Fatty Alcohol Global................................
Gambar 2.46. Industri Pengguna Glyserin Global ........................................
Gambar 2.47. Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Acid Global
Secara Historis dan Proyeksi ...................................................
Gambar 2.48. Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Alcohol Global
Secara Historis dan Proyeksi. ..................................................
Gambar 2.49. Perkembangan Harga Oleokimia (RM/ton) ..........................
Gambar 2.50. Perkembangan Harga Glyserin Menurut Bahan Baku ..........
Gambar 2.51. Perkembangan Produksi Biodiesel Dunia 2000-2011. ...........
Gambar 2.52. Perkembangan Harga Biodiesel di Pasar Eropa Menurut
Bahan Baku ...............................................................................
Gambar 2.53. Komposisi Bahan Baku Surfactant di Berbagai Kawasan ....

xiv

37
39
41
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
53
54
54
55
55
56
56
57
58
58
59
59
60
61
61
62
63
64

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Gambar 2.54.
Gambar 2.55.
Gambar 2.56.
Gambar 2.57.
Gambar 2.58.
Gambar 2.59.
Gambar 2.60.
Gambar 2.61.
Gambar 2.62.
Gambar 2.63.
Gambar 2.64.
Gambar 2.65.
Gambar 3.1.

Penggunaan Surfactant Global ...............................................


Produk Personal Care Dunia ..................................................
Pasar Personal Care Dunia......................................................
Penggunaan Lubricant Dunia .................................................
Pasar Lubricant Dunia Menurut Kawasan (USB, 2008) ........
Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia. ..........................
Penggunaan Surfactant Global. ..............................................
Produk Persnonal Care Dunia. .................................................
Pasar Personal Care Dunia......................................................
Penggunaan Lubricant Dunia. ................................................
pasar Lubricant Dunia Menurut kawasan (USB, 2008). ........
Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia. ..........................
Lokasi Penyebaran Produsen Benih Kelapa Sawit di
Indonesia ..................................................................................
Gambar 3.2. Kapasitas Produksi PKS Indonesia Menurut Provinsi
Tahun 2013 (ton TBS/jam), ....................................................
Gambar 3.3 Produksi CPO Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2013......
Gambar 3.4. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat.......................................................................................
Gambar 3.5. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Negara ......................................................................................
Gambar 3.6. Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Swasta.......................................................................................
Gambar 3.7. Perbandingan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Rakyat, Negara dan Swasta. ...................................................
Gambar 3.8. Perkembangan Pangsa Ekspor dan Konsumsi Domestik
dari Produksi CPO Indonesia .................................................
Gambar 3.9. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia
(000 ton)....................................................................................
Gambar 3.10 Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia(000
US$) ..........................................................................................
Gambar 3.11. Perkembangan Komposisi Ekspor Minyak Sawit
Indonesia ..................................................................................
Gambar 3.12. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Menurut
Negara Tujuan .........................................................................
Gambar 3.13. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Indonesia Tahun
2000-2013 ..................................................................................
Gambar. 3.14. Rata-rata Pangsa Minyak Goreng Sawit dalam Konsumsi
Minyak Goreng Indonesia Tahun 2000-2008 .........................
Gambar 3.15. Perkembangan Alokasi Produksi Minyak Goreng
Indonesia untuk Konsumsi Domestik dan Ekspor Tahun
2002-2013 ..................................................................................
Gambar 3.16. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Minyak Goreng dan
Margarin di Indonesia .............................................................

GAPKI 2014

65
66
66
67
68
68
69
69
70
70
71
71
74
84
84
89
92
94
94
95
96
97
97
98
101
101

104
105

xv

Gambar 3.17. Perkembangan Produksi Margarine Indonesia Tahun


2000-2013 ..................................................................................
Gambar 3.18. Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar di Indonesia
2006-2010 (ton) .........................................................................
Gambar 3.19. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut
Negara Tujuan (Ton)................................................................
Gambar 3.20. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid(US $000). ..........
Gambar 3.21. Perkembangan Volume Glyserol Menurut Negara Tujuan
(Ton)..........................................................................................
Gambar 3.22. Perkembangan Volume Ekspor Glyserol Menurut Negara
Tujuan (US$'000) ......................................................................
Gambar 3.23. Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut
Negara Tujuan (ton).. ...............................................................
Gambar 3.24. Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut
Negara Tujuan(US$000)..........................................................
Gambar 3.25. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 2006-2011 (ton). ..
Gambar 3.26. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 20062011
(US$000)...................................................................................
Gambar 3.27. Penyebaran dan Kapasitas Produksi Sabun dan Detergen ...
Gambar 3.28. Perkembangan Produksi Sabun dan Detergen Indonesia
Tahun 2000-2013.......................................................................
Gambar 3.29. Perkembangan Produksi dan Tujuan Pasar Industri Sabun
Indonesia ..................................................................................
Gambar 3.30. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Biodiesel di Indonesia ....
Gambar 3.31 Perkembangan Produksi Biodiesel Indonesia Tahun 20002013 ...........................................................................................
Gambar 3.32. Perkembangan Produksi Biodiesel dan Penggunaanya di
Indonesia ..................................................................................
Gambar 3.33. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Mentah Dunia
(Januari 2002=100)....................................................................
Gambar 3.34. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Diesel Dunia
Januari 2007- Desember 2012 (Januari 2002=100) ..................
Gambar 3.35. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Gas Alam Cair Dunia
(Januari 2002=100)....................................................................
Gambar 3.36. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Urea Dunia
Januari 2002- Desember 2012 (Januari 2002=100) ..................
Gambar 3.37. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Rock Pospat
(Januari 2002=100)....................................................................
Gambar 3.38. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk TSP Dunia
(Januari 2002=100)....................................................................
Gambar 3.39. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk DAP Dunia
(Januari 2002=100)....................................................................
Gambar 3.40. Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk KCL Dunia
(Januari 2002=100)....................................................................

xvi

108
111
111
112
112
113
113
114
114
115
116
117
118
118
119
119
136
137
138
139
139
140
141
141

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Gambar 3.41. Pergerakan Indeks Harga Tahunan CPO Dunia (Januari


2002=100)..................................................................................
Gambar 3.42. Pergerakan Indeks Harga Bulanan CPO Dunia (Januari
2002=100)..................................................................................
Gambar 3.43. Pola Pergerakan Harga Tahunan antara Minyak Mentah
(A) % CPO (B) Dunia ...............................................................
Gambar 3.44. Pergerakan Indeks Harga Tahunan PKO Dunia (Januari
2002=100)..................................................................................
Gambar 3.45. Pergerakan Indeks Harga Bulanan PKO Dunia (Januari
=100) .........................................................................................
Gambar 4.1. Penduduk Bumi dan Proyeksi hingga tahun 2050 ................
Gambar 4.2. Perkembangan GDP Dunia Tahun 1980 dan Proyeksi 2050 .
Gambar 4.3. GDP per Kapita berdasarkan Kawasan 1980-2050 ................
Gambar 4.4. GDP per Kapita beberapa negara terpilih 1980-2050 ...........
Gambar 4.5. Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia 2050 ......
Gambar 4.6. Laju pertumbuhan Konsumsi Minyak Nabati Utama
Dunia ......................................................................................
Gambar 4.7. Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 2050 .........
Gambar 4.8. Laju pertumbuhan Produksi Minyak Nabati Utama Dunia .
Gambar 4.9. Produksi Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, 2020 ................
Gambar 4.10. Konsumsi Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, 2020 ..............
Gambar 4.11. Ekspor Biodiesel Dunia Tahun 2015, 2018, 2020 ..................
Gambar 4.12. Harga Biodiesel Tahun 2011 dan Proyeksi Hingga Tahun
2021 .........................................................................................
Gambar 4.13. Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama Dunia 2050 .............
Gambar 4.14. Rasio Harga Minyak Nabati Utama Dunia Terhadap
Minyak Sawit .........................................................................
Gambar 5.1. Komposisi Ekspor Non Migas Indonesia Tahun 2005 dan
2013 ...........................................................................................
Gambar 5.2. Penggunaan Produksi CPO (Setara CPO) Indonesia Untuk
Konsumsi Masopyarakat Dunia dan Masyarakat
Indonesia ..................................................................................
Gambar 5.3. Harga Minyak Sawit (CPO) Lebih Kompetitif daripada
Soybean Oil (SBO), Rapeseed Oil, (RPO), dan Sunflower
Oil (SFO)...................................................................................
Gambar 5.4. Evolusi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Menjadi
Agropolitan/Kawasan Industri Perkebunan di Kawasan
Pedesaan di Indonesia .............................................................
Gambar 5.5. Komponen Investasi Perkebunan Kelapa Sawit Tahap
Gestation Period di Kawasan Pedesaan Indonesia ..............
Gambar 5.6. Rataan Jumlah Unit UKMK Supplier Barang/Jasa untuk
Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Pedesaan (Per 100
Ribu TM) ..................................................................................
Gambar 5.7. Pengaruh Produksi CPO terhadap PDRB Sentra Sawit
Nasional ...................................................................................

GAPKI 2014

143
143
144
145
145
146
148
151
152
153
154
155
155
156
157
157
158
159
160
172
175
177

180
181

181
184

xvii

Gambar 5.8. Perbandingan PDRB Sentra Sawit dengan Non Sentra


Sawit Nasional .........................................................................
Gambar 5.9. Perbandingan Pendapatan Petani Sawit Plasma, Mandiri,
dan Petani Non Sawit Nasional ..............................................
Gambar 5.10. Pertumbuhan Asset Petani Sawit Nasional ............................
Gambar 5.11. Pengaruh Produksi CPO terhadap Penurunan Kemiskinan
di Sentra Sawit Nasional..........................................................
Gambar 5.12. Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
Tahun 1990-2012.......................................................................
Gambar 5.13. Volume Karbon yang Diserap Secara Netto pada
Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990 dan 2010
(Juta Ton Karbon).....................................................................
Gambar 5.14. Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dalam
Menyerap CO2 Global .............................................................
Gambar 5.15. Pengurangan Emisi CO2 dari Palm Oil Biodiesel Sebagai
Pengganti Fosil-Diesel Dibandingkan Sumber Biodiesel
Lainnya (persen) ......................................................................
Gambar.6.1 Proyeksi Konsumsi Domestik Produk Hilir ...........................
Gambar 6.2. Proyeksi Produk Hilir ..............................................................
Gambar 6.3. Proyeksi Kebutuhan CPO Domestik Tahun 2013-2050 ........
Gambar 6.4. Perubahan Pangsa Areal Perkebunan Sawit Negara,
Rakyat dan Swasta Indonesia Tahun 2013-2050 ....................
Gambar 6.5. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2013-2050 .......
Gambar 6.6. Proyeksi Komposisi Tanaman Kelapa Sawit Indonesia
2013-2050 ..................................................................................
Gambar 6.7. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Rakyat
2013-2050 ..................................................................................
Gambar 6.8. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Negara
2013-2050 ..................................................................................
Gambar 6.9. Proyeksi Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Swasta
2013-2050 ..................................................................................
Gambar 6.10. Proyeksi Nilai Ekspor Produk Minyak Sawit 2013-2050 .......
Gambar 6.11. Pangsa Indonesia dalam Produksi CPO Dunia .....................
Gambar 6.12. Pangsa Indonesia dalam Produksi 4 Nabati Dunia ...............
Gambar 6.13. Pangsa Indonesia dalam Produksi Biodiesel Dunia ..............

xviii

185
190
191
195
199
205
205
213
222
223
224
228
228
229
230
231
231
237
239
239
240

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

BAB I
PENDAHULUAN
Industri
minyak
sawit
memiliki
multi
fungsi
(multifunctionality) yang memberi manfaat ganda bagi perekonomian
Indonesia maupun dunia secara keseluruhan. Manfaat ganda yang
dimaksud berupa manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Manfaat
dari segi ekonomi yang dimaksud bahwa industri minyak sawit
menghasilkan berbagai produk bahan pangan, bahan energi dan bahan
baku industri,yang dibutuhkan baik bagi Indonesia maupun
masyarakat dunia. Sekitar 70 persen dari CPO yang dihasilkan
Indonesia diperuntukkan bagi masyarakat internasional dan hanya
sekitar 30 persen untuk kebutuhan masyarakat Indonesia.Selain itu,bagi
pekonomian Indonesia industri minyak sawit merupakan sumber
penerimaan pemerintah dari Bea keluar, berbagai jenis pajak serta salah
satu penyumbang devisa terbesar.
Manfaat sosial dari industri minyak sawit terkait dengan
peranan dan kontribusinya dalam penciptaan kesempatan kerja,
pembangunan pedesaan (rural development) dan pengurangan
kemiskinan pedesaan (poverty alleviation). Berbagai studi emperis
(Susila, 2004; Goenadi,2008; World Growth,2009; Joni, 2012; Rofiq, 2012;
PASPI,2014) mengungkapkan bahwa perkebunan Kelapa sawit di
Indonesia bagian penting dari pembangunan pedesaan maupun
pengurangan kemiskinan.
Perkebunan Kelapa sawit juga memiliki fungsi ekologis dan
memberi manfaat jasa lingkungan yang mirip dengan hutan
(Henson,1999; Harahap, et al. 2005, Fairhurst and Hardter, 2004, PASPI,
2014). Perkebunan Kelapa sawit merupakan bagian penting dari
pelestarian siklus karbondioksida(CO2), oksigen (O2) dan air (H2O).
Kemampuan perkebunan Kelapa sawit dalam menyerap CO2 dan
menghasilkan O2 lebih tinggi dari kemampuan hutan primer. Dengan
melihat planet bumi sebagai satu ekosistem, fungsi ekologis
perkebunan Kelapa sawit tersebut dinikmati bersama dan gratis oleh
masyarakat dunia.
Dengan manfaat ekonomi, sosial dan ekologis dari industri
minyak sawit yang demikian, maka setiap pengembangan perkebunan
kelapa sawit yang bertujuan untuk meningkatkan produksi CPO,
merupakan cara memperbesar manfaat tersebut bagi masyarakat.
Demikian juga untuk setiap peningkatan nilai tambah CPO seperti
hilirisasi juga merupakan upaya memperbesar manfaat industri minyak
sawit bagi masyarakat.

I. Pendahuluan

Sampai tahun 2013, Indonesia telah berhasil mengembangkan


perkebunan Kelapa sawit sekitar 9.2 juta hektar dengan produksi CPO
sebesar 26.5 juta ton. Dengan produksi CPO sebesar itu, Indonesia
berhasil menjadi produsen CPO terbesar dunia. Prestasi yang
impressive tersebut perlu dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya
secara berkelanjutan, sehingga multi manfaat yang dihasilkan makin
besar,bermutu dan makin meluas secara lintas generasi.
Mempertahankan dan meningkatkan kualitas sebagai produsen
CPO terbesar dunia kedepan, Indonesia menghadapi tantangan yang
makin kompleks. Berbagai perubahan yang tekait industri minyak
sawit akan terjadi baik di pasar domestik maupun pasar global, yang
diantaranya sebagai berikut.
Pertama, Ketersediaan lahan untuk perluasan kebun sawit di
Indonesia makin terbatas kedepan. Keterbatasan lahan ini memiliki
impIikasi penting bagi upaya peningkatan produksi CPO kedepan.
Cara cara lama peningkatan produksi CPO melalui peluasan areal
perkebunan Kelapa sawit seperti selama ini, harus beralih kepada cara
cara baru yang makin berkualitas yakni melalui peningkatan
produktivitas CPO dari lahan yang telah ada.
Kedua, Ketergantungan Indonesia pada pasar CPO global
sangat tinggi dan berisiko tinggi. Indonesia sebagai produsen CPO
terbesar dunia sebagian besar (70 persen)CPO yang dihasilkan,
dipasarkan ke pasar internasional dan hanya 30 persen diserap didalam
negeri. Ketergantungan pada pasar CPO dunia yang demikian memiliki
risiko tinggi dan tidak berkelanjutan, karena dengan mudah
dipermainkan pasar internasional. Oleh karena itu pengembangan
pasar CPO dalam negeri melalui hilirisasi perlu dipercepat agar
sebagian besar produksi CPO diserap didalam negeri baik untuk
kebutuhan domestik dan diekspor dalam bentuk olahan/produk jadi.
Kedua hal tersebut tersebut ditempatkan dalam konteks
perubahan lingkungan global yang sedang berubah. Berbagai
purubahan lingkungan global kedepan seperti pertumbuhan
penduduk, pertumbuhan ekonomi dan perubahan pusat-pusat
perekonomian global, pergeseran selera dan persaingan antar minyak
nabati global, perubahan iklim global,merupakan bagian dari tantangan
masa depan yang perlu dipertimbangkan agar industri minyak sawit
Indonesia dapat survive secara berkelanjutan serta memberi manfaat
maksimal bagi Indonesia.
Tantangan masa depan yang demikian mengundang pertanyaan
strategis berikut : Bagimana industri minyak sawit Indonesia kedepan
misalnya menuju tahun 2050? Atau sebagai produsen CPO dan
sekaligus produsen minyak nabati terbesar dunia, Indonesia ingin
seperti apa dengan industri minyak sawitnya? jawaban tantangan

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

tersebut disajikan dalam cetak biru (blue print) dan Roadmap Industri
minyak sawit menuju 2050.
Dalam penyusunan cetak biru dan roadmap industri minyak
sawit Indonesia ini, selain mengakomodasikan berbagai perubahan
yang mungkin terjadi dalam perekonomian Indonesia juga
mengakomodir proyeksi-proyeksi yang dilakukan oleh badan-badan
internasional diberbagai bidang seperti proyeksi ekonomi global,
populasi penduduk, pangan dan energi menuju tahun 2050. Dengan
demikian cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia
berada pada proyeksi global tersebut. Namun demikian beberapa
penyesuaian dilakukan untuk mengakomodir target posisi Indonesia
dalam pasar minyak nabati global.
Buku cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia
menuju 2050 berisikan: Pendahuluan,
Evaluasi Perkembangan
Mutakhir Pasar Minyak Nabati Dunia, Evaluasi Perkembangan
Mutakhir Industri minyak sawit Indonesia, Analisis Perubahan dan
Proyeksi Pasar Minyak Nabati Global Menuju 2050, Peranan Industri
minyak sawit dalam Perekonomian Indonesia, Industri minyak sawit
Indonesia 2050, Kebijakan Strategis Industri minyak sawit 2050 dan
Penutup.

I. Pendahuluan

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

BAB II
EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR PASAR
MINYAK NABATI DUNIA

2.1.

Populasi, Distribusi dan Pertumbuhan Penduduk Dunia

Jumlah penduduk dunia pada tahun 2014 ini menurut data Bank
Dunia telah mencapai 7.084.547.400 jiwa.
Penduduk Indonesia
berjumlah 248,201.749 jiwa (3.5% dari total penduduk dunia) dan
berada pada urutan keempat terbesar di dunia setelah China
(1.358.013.327 jiwa), India (1.243.387.340 jiwa) dan Amerika Serikat
(315.614.887).
Perkembangan penduduk dunia dapat dilihat
berdasarkan kelompok kawasan, sebagamana pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.

Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa)

Kawasan

1970

2000

2006

2015E

2030E

2050E

World

3 676

6 095

6 569

7 275

8 276

9 111

Developed countries

1 079

1 318

1 351

1 396

1 437

1 439

Developing countries

2 597

4 778

5 218

5 879

6 839

7 671

Sub-Sahara Afrika

270

625

730

912

1 245

1 686

Near East/Afrika Utara

181

387

432

504

615

726

Amerika Latin dan Caribia

282

515

556

611

682

721

708

1 375

1 520

1 729

2 016

2 242

1 147

1 857

1 957

2 096

2 247

2 255

Asia Selatan
Asia Timur
Sumber : World Population, UN, 2014

Penduduk dunia pada tahun 1970 mencapai 3.676 milyar jiwa,


dan estimasi pada tahun 2015 meningkat hampir dua kali lipat menjadi
7,276 milyar jiwa. Dan diperkirakan pada tahun 2050 akan mencapai
9.11 milyar. Sebanyak 19.19 % penduduk dunia berada di negara maju
(developed countries), dan selebihnya, 80,81 % adalah penduduk di
negara sedang berkembang (developing countries), yang dapat dirinci
berdasarkan kawasan, yakni Sub-Sahara Afrika sebanyak 12,54%, Near
East/Afrika Utara 6.93%, Amerika Latin dan Caribia 8.40%, Asia
Selatan 23,77% dan Asia Timur sebanyak 28.81%.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

10,000

Juta Jiwa

8,000
6,000
4,000
2,000
1950
1970
1980
1990
2000
2010
2020
2030
2040
2050

Oceania
Amerika Utara
.New Independent States
Eropa Timur
Eropa Barat
Amerika Latin dan Caribia
Asia
Near East
.North Africa
.Sub-Saharan Africa

Gambar 2.1. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan


Sumber: FAO (2012)

Pertumbuhan penduduk dunia pada kurun waktu 1970-2000


rata-rata bertambah 1.7 %/tahun, tahun 2000-2015 menurun menjadi
0.97 %/tahun, dan periode 2015-2030 menurun 0.48 %/tahun,
sedangkan pada kurun waktu 2030-2050 meningkat menjadi rata-rata
0.75 %/tahun. Pertumbuhan penduduk di negara maju lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk di negara sedang
berkembang. Pada kurun waktu 2000-2015, pertumbuhan penduduk
negara maju adalah 0.01 %/tahun sedangkan negara berkembang
seebesar 0.58 %/tahun. Rendahnya tingkat pertumbuhan di negara
mau disebabkan oleh menurunnya tingkat fertilitas penduduk di
negara-negara tersebut, dan cenderung semakin menurun dari tahun
2025 hingga tahun 2050. Sebaliknya, di negara-negara berkembang,
kecuali China, penduduk di masing-masing kawasan cenderung
meningkat. Pertumbuhan penduduk tertinggi terlihat pada negara SubSahara Afrika, Near East dan Afrika Utara (Tabel 2.2.).
Tabel 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia Berdasarkan Kawasan (Juta jiwa)
Pertumbuhan (% pertahun)
Kawasan
1970-2000 2000-2015 2015-2030 2030-2050
World (countries with FBS)
1.7
0.97
0.48
0.75
Developed countries
0.67
0.26
0.01
0.14
Developing countries
2.05
1.13
0.58
0.88
Sub-Sahara Afrika
2.84
2.25
1.53
1.92
Near East/Afrika Utara
2.57
1.48
0.83
1.19
Amerika Latin dan Caribia
2.03
0.85
0.28
0.59
Asia Selatan
2.24
1.18
0.53
0.89
Asia Timur
1.62
0.58
0.02
0.32
Sumber: FAO (2012)

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

2.2.

Perekonomian Kawasan/Global

Perkembangan ekonomi pada horizon waktu jangka panjang bertujuan


untuk memberikan gambaran visual adanya perbedaan yang signifikan antara
keadaan saat ini dengan proyeksi di masa mendatang. GDP per kapita dunia
pada harga konstan tahun 2005-2007 adalah 7603 USD/kapita/tahun,
diperkirakan akan mencapai 13758 USD/kapita/tahun. Pertumbuhan GDP
dunia rata-rata bertumbuah 2.47 % per tahun pada kurun waktu 2005-2030,
dan sedikit leih rendah jika diukur dalam jangka panjang, 2005-2050 yakni 2,11
% per tahun. Pertumbuhan GDP per kapita dalam kurun waktu 2005-2050
adalah 1,36 % per tahun.
Rata-rata GDP per kapita di negara maju pada tahun 2005/2007 adalah
27880 USD/kapita dan pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai 47121
USD/kapita. Rata-rata GDP per kapita di negara sedang berkembang akan
meningkat dari 2350 tahun 2005/2007 menjadi 7499 USD/kapita pada tahun
2050. Rata-rata pertumbuhan GDP per kapita di negara maju adalah 1.2 % per
tahun, sedangkan di negara berkembang sebesar 2,67% per tahun.
Jika dibandingkan dengan rata-rata GDP per kapita di negara sedang
berkembang, rata-rata tertinggi adalah kawasan Asia Timur, yang meningkat
dari 2738 USD/kapita menjadi 14428 USD/kapita pada tahun 2050, sebaliknya,
terendah adalah di Asia Selatan dan Sub Sahara Afrika (Tabel 2.3.). Diantara
negara sedang berkembang, terdapat 45 negara yang memiliki tingkat GDP per
kapita dibawah 1000 USD/kapita/tahun.
Table 2.3 Asumsi GDP
Pertumbuhan (%/tahun)
Total GDP

GDP per kapita

GDP per capita

at intern
PPP$

at 2005/2007
exchange rates

20052030
2.47
4.47
4.64
3.54

20052050
2.11
3.58
4.17
2.92

20052030
1.49
3.3
2.34
2.03

20052050
1.36
2.67
2.2
1.72

2005/
2007
9 510
4 704
1 363
7 696

2005/
2007
7 603
2 350
666
3 858

13 758
7 499
1 736
8 160

2.45

2.09

1.58

1.49

9 539

5 726

10 966

4.9
5.51
1.56

4.05
4.18
1.34

3.67
4.9
1.3

3.14
3.85
1.2

2 316
5 406
28 056

814
2 738
27 880

3 169
14 428
47 121

45 Developing with
GDP/cap under $1000 in
2005/07

4.73

4.02

3.15

2.73

721

2 361

Other Developing

4.43

3.49

3.65

2.98

3 763

13 698

World
Developing countries
Sub-Sahara Afrika
Near East/Afrika Utara
Amerika Latin dan
Caribia
Asia Selatan
Asia Timur
Developed countries

2050

Catatan

Sumber: FAO (2012)

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

Perkembangan GDP pada masing-masing kawasan disajikan


pada Tabel 2.4 dan Gambar 2.2.
Table 2.4

Perkembangan GDP berdasarkan Kawasan (Million USD, pada


Harga Konstan 2005)
1980

European Union

1990

2000

17,926 24,007 30,295

East Asia

674

1,409

South Asia

263

Near East/North Africa

804

2005

2010

2020

33,650 34,865 43,348

2030

2050

50,740

64,995

21,073

45,043

2,898

4,086

5,824 11,692

448

752

1,013

1,431

2,783

5,331

16,020

974

1,369

1,728

2,043

3,109

4,556

8,013

1,250

1,455

1,988

2,260

2,596

3,743

5,066

7,805

96

126

167

208

264

501

1,027

4,630

Other WesternEurope

404

512

633

690

740

895

1,052

1,384

Other EasternEurope

147

173

89

128

143

182

214

260

16

16

11

14

18

24

41

Latin America and Caribbean


Sub-saharan Africa

Central Asia

21,580 29,121 38,199

World

43,773 47,920 66,272

89,084 148,191

Sumber: FAO (2012)


70000

160000

60000

140000

50000

120000

40000
30000

East Asia

80000

South Asia

20000

40000

10000

20000
0
1980 1990 2000 2005 2010 2020 2030 2050

European Union

100000
60000

World

Near East/ North Africa


Latin America and
Caribbean
Sub- saharan Africa

Gambar 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan

Dampak dari meningkatnya penduduk global, dan disertai


peningkatan GDP maupun GDP per kapita adalah meningkatnya
konsumsi pangan di masa mendatang.
Kedua variabel tersebut
(pertambahan penduduk dan pertumbuhan pendapatan per kapita)
juga akan mendorong pertumbuhan konsumsi per kapita minyak
nabati dunia, dan akan mempengaruhi total konsumsi minyak nabati
dunia maupun tingkat produksi minyak nabati dunia di masa
mendatang.

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

2.3.

Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia


Perkembangan konsumsi minyak nabati utama dunia pada
tahun 1965 adalah 5228 juta ton. Hampir 60 % konsumsi minyak nabati
dunia adalah minyak kedele, diikuti minyak rapeseed sebanyak 25%,
dan minyak sawit (15%) dan minyak bunga matahari 0,67 %. Pada
tahun 1980, konsumsi minyak nabati dunia meningkat 3,5 kali lipat
menjadi 18000 juta ton. Hal ini menunjukkan perkembangan yang
pesat, yakni sebesar 22.95% per tahun. Seiring dengan itu, pola
konsumsi minyak nabati dunia berubah, dimana pangsa minyak sawit
semakin besar dari 15% menjadi 21% dari total konsumsi minyak batai
utama dunia, sedangkan pangsa konsumsi minyak kedele turun dari
60% menjadi 55%. Perkembangan pesat terlihat pada sunflower oil dari
0,67% menjadi 9.62%. Pangsa konsumsi rapeseed menurun menjadi
13.62%.
Pada tahun 2014, seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan pendapatan per kapita, konsumsi minyak nabati dunia
meningkat 8.4 kali lipat dibanding tahun 1980 menjadi 151.618 juta ton.
Rata-rata konsumsi minyak nabati dunia meningkat lebih pesat, yakni
24.77 % per tahun. Hal ini juga berdampak pada perubahan pola
konsumsi minyak nabati dunia, dimana pangsa minyak sawit kini
menduduki pangsa terbesar yakni 41% dan mengungguli dominasi
minyak kedele dengan share dunia sebesar 32%. Pangsa konsumsi
sunflower oil cendeung sama, yakni 10% sedangkan pangsa konsumsi
rapeseed meningkat menjadi 17%.

Sumber: Oil World


Gambar 2.3. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965, 1980, 2014

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

Perkembangan konsumsi minyak nabati dunia cenderung


meningkat setiap tahun. Konsumsi minyak kedele (soybean oil - SBO)
pada tahun 2000 mencapai 27.814 juta ton dan pada tahun 2014 naik
menjadi 48692 juta ton, dengan pertumbuhan rata-rata 5.36 % per
tahun. Sementara itu konsumsi minyak sawit (palm oil - PO) pada tahun
2000 mencapai 23642 juta ton dan pada tahun 2014 naik menjadi 62267
juta ton, dengan laju pertumbuhan rata-rata 11.67 % per tahun.
(Gambar 2.4).
Keadaan ini tercermin dari perkembangan pangsa
minyak nabati (Gambar 2.5), dimana terlihat pangsa minyak kedele
cenderung menurun dari tahun ke tahun, sebaliknya minyak sawit
cenderung meningkat setiap tahun.
200
150

50

100
25
-

Juta Ton

Juta Ton

75

50
1965

1980

1990

2000

2010

2014

Total

5,228

18,000 36,377 72,986 126,44 151,61

SBO

3,120

9,935

13,667 27,814 43,690 48,692

PO

776

3,882

10,465 23,642 47,774 62,267

RSO

1,297

2,452

6,198

13,379 23,163 25,464

SFO

35

1,731

6,047

8,151

11,817 15,195

Sumber: Oil World


Gambar 2.4. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965 2014

Sumber: Oil World


Gambar 2.5. Perkembangan Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Dunia

10

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

2.4.

Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati per Kawasan

Minyak Kedele (Soybean Oil). Minyak kedele merupakan salah


satu sumber utama minyak nabati dunia. Hingga tahun 2008, minyak
kedele memiliki pangsa terbesar dan mendominasi sumber minyak
nabati utama lainnya. Pada tahun 2014, minyak kedele memiliki
pangsa dunia sebesar 32.1%. Perkembangan konsumsi minyak kedele
dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu 1965-2014 disajikan
pada 2.6.
60000

Central Asia

Other Eastern Europe

50000

Other Western Europe


Developed Countries

40000

USA
30000

European Union
East Asia

20000

South Asia
10000

Near East/ North Africa

Sub- saharan Africa


2014

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

1965

Latin American and


Caribean

Sumber: Oil World


Gambar 2.6. Konsumsi Minyak Kedele berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014

Dalam kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi minyak kedele


dunia meningkat rata-rata 6,19 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan
kawasan, negara konsumen terbesar dunia adalah Amerika Serikat
(AS). Rata-rata konsumsi minyak kedele AS mencapai 42% dari total
minyak kedele dunia. Dari sisi volume konsumsi kedele Amerika
Serikat cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 3.18 % per
tahun. Namun dari sisi pangsa konsumsi terhadap total kedele dunia,
dapat dilihat bahwa pangsa konsumsi AS cenderung menurun dari
tahun ke tahun. Pada tahun 1965, pangsa konsumsi minyak kedele AS

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

11

50000
45000
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0

Konsumsi Soybean Oil

Sisa Dunia
Mesir
Iran

Meksiko
EU-27
Argentina
India

Tahun

2014

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

Brazil
1965

Ribu Ton

adalah 76.19%, tahun 1980 menjadi 44.76%, tahun 2000 turun menjadi
27.30% dan pada tahun 2014 menurun menjadi 16.93%.
Disamping itu juga terdapat perubahan pola konsumsi minyak
kedele antar kawasan. Pada tahun 1965, hampir 80% konsumsi minyak
kedele dunia adalah Amerika Serikat. Tahun 1980 pangsa konsumsi
minyak kedele menyebar di Amerika Serikat 44.76%, Latin Amerika
dan Karibia sebesar 24.55% dan Asia Selatan 10.34%. Tahun 2000
pangsa konsumsi minyak kedele Amerika Serikat menurun menjadi
27.30%, Latin Amerika dan Karibia menurun menjadi 19.01%, Asia
Selatan menurun menjadi 10.21%, namun Asia Timur meningkat dari
6.81% (1980) menjadi 18.64%. Tahun 2014 pangsa konsumsi minyak
kedele Amerika Serikat menurun menjadi 16.93, Amerika Latin dan
Karibia naik menjadi 23.91% dan Asia Timur meningkat menjadi
33.15%.
Perkembangan terakhir menunjukkan, dalam kurun waktu 20102014, negara konsumen terbesar minyak kedele di dunia adalah China
29.45%, USA 19.0%, Brazil 12.8%, India 7.0%, Argentina 6.2%, EU-27
4.6%, Meksiko 2.0%, Iran 1.5%, Mesir 1.3% dan Sisa Dunia 16.0%
(gambar 2.7).

USA
China

Sumber: Oil World


Gambar 2.7. Negara Konsumen Terbesar Minyak Kedele Dunia 1965-2014

12

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Minyak Sawit (Palm Oil). Sejak tahun 2008, minyak sawit


menggeser dominasi minyak kedele dunia dan sekalgus menempatkan
minyak sawit sebagai sumber penting minyak nabati dunia. Pada
tahun 2014, minyak sawit memiliki pangsa dunia sebesar 42.1%.
Perkembangan konsumsi minyak sawit dunia berdasarkan kawasan
pada kurun waktu 1965-2014 disajikan pada 2.8.
70

Central Asia

60

Other Eastern Europe


Other Western Europe

Juta Ton

50

Developed Countries

40

USA
European Union

30

East Asia
20

South Asia

10

Near East/ North Africa


Sub- saharan Africa
2014

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

1965

Latin American and


Caribean

Sumber: Oil World


Gambar 2.8. Konsumsi Minyak Sawit berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014

Dalam kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi minyak sawit


dunia meningkat rata-rata 9.42 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan
kawasan, konsumen terbesar dunia adalah kawasan Asia Timur (15
negara). Konsumsi kawasan Asia Timur mencapai rata-rata 40.2% dari
total minyak sawit dunia. Dari sisi volume konsumsi minyak sawit
kawasan Asia Timur cenderung meningkat dengan rata-rata
pertumbuhan 15 % per tahun. Dari sisi pangsa, konsumsi minyak sawit
Asia Timur juga meningkat pesat dan tertinggi dibandingkan kawasan
lainnya. Pada tahun 1965, pangsa konsumsi minyak sawit Asia Timur
adalah 11.28%, tahun 1980 menjadi 31.705%, tahun 2000 naik menjadi
37.88% dan pada tahun 2014 naik menjadi 42.82%.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

13

Disamping itu juga terdapat pergeseran pola konsumsi minyak


sawit antar kawasan, yang awalnya (1965) didominasi oleh Sub Sahara
Afrika (77.82%) menuju Asia, baik Asia Timur maupun Asia Selatan.
Pada tahun 1965, sekitar 78% konsumsi terbesar minyak sawit dunia
adalah Afrika Selatan. Tahun 1980 pangsa konsumsi minyak sawit
menyebar di Sub Sahara Afrika 34.14%, Asia Timur 31.05% dan Asia
Selatan 19.04%. Tahun 2000 pangsa konsumsi minyak sawit Sub
Sahara Afrika menurun menjadi 12.76%, Asia Timur dan Asia Selatan
naik masing-masing menjadi 37.88% dan 24.06%. Tahun 2014 pangsa
konsumsi minyak sawit Sub Sahara Afrika menurun menjadi 10.42%,
Asia Timur naik menjadi 42.82% dan Asia Selatan turun menjadi
20.73%.
Perkembangan terakhir menunjukkan, dalam kurun waktu 20102014, negara konsumen terbesar minyak sawit di dunia adalah
Indonesia 15.8%, India 14.9%, China 11.5%, EU-27 10.9%, Malaysia
4.5%, Pakistan 4.2%, Thailand 3.0%, Nigeria 2.5% dan USA 2.2%.
Selebihnya, sekitar 30% dikonsumsi oleh Sisa dunia (Gambar 2.9)

JJuta Ton

70

Konsumsi CPO

ROW

60

USA

50

Nigeria

40

Thailand

30

Pakistan

20

Malaysia

10

EU-27
China
1964
1967
1970
1973
1976
1979
1982
1985
1988
1991
1994
1997
2000
2003
2006
2009
2012

Tahun

India
Indonesia

Sumber: Oil World


Gambar 2.9. Negara Konsumen Terbesar Minyak Sawit Dunia 1965-2014

14

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Rapeseed Oil . Rapeseed oil merupakan sumber minyak nabati


terbesar ketiga setelah minyak sawit dan minyak kedele. Pada tahun
2014, Rapeseed Oil memiliki pangsa dunia sebesar 16.8%.
Perkembangan konsumsi Rapeseed Oil dunia berdasarkan kawasan
pada kurun waktu 1965-2014 (gambar 2.10).
30

Central Asia
Other Eastern Europe

25
Juta Ton

Other Western Europe


20
Developed Countries
15

USA
European Union

10

East Asia
5

South Asia
2014

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

1965

Near East/ North


Africa
Sub- saharan Africa

Sumber: Oil World


Gambar 2.10. Konsumsi Rapeseed Oil berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014

Dalam kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi Rapeseed Oil


dunia meningkat rata-rata 6,99 % per tahun. Bila dilihat berdasarkan
kawasan, konsumen terbesar rapeseed dunia adalah Asia Timur
(28.3%), Uni Eropa (23.8%) dan Negara-negara Maju (21.9%). Dari sisi
pangsa konsumsi terhadap total rapeseed oil dunia, dapat
perkembangan pangsa konsumsi rapeseed oil dunia. Pada tahun 1965,
pangsa konsumsi Rapeseed Oil terbesar adalah Asia Selatan yakni
46.84%, namun hanya bertahan hingga tahun 1980 dengan penurunan
pangsa menjadi 27.03%.
Konsumsi rapeseed menyebar ke kawasan lainnya. Tahun 1980,
konsumsi rapeseed oil terbesar adalah Negara Maju, yakni 33.42%, dan
Asia Timur 28.99%. Tahun 2000, konsumsi rapeseed oil Negara Maju
menurun menjadi 23.30%, dan pangsa konsumsi rapeseed Asia Timur
naik menjadi 29.21%, dan Negara Uni Eropa meningkat pesat menjadi

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

15

25.93% Tahun 2014, konsumsi rapeseed oil dodominasi oleh kawasan


Uni Eropa dengan pangsa 33.79%, diikuti kawasan Asia Timur dengan
pangsa 27.10% dan Negara Maju 16.27%.
Data di atas sekaligus menggambarkan perubahan pola konsumsi
rapeseed oil dunia antar kawasan. Dalam kurun waktu 2010-2014,
negara konsumen terbesar Rapeseed Oil di dunia adalah EU-27 41.7%,
China 29.2%, United States 8.2%, Japan 4.5%, Mexico 2.9%, Canada
2.6%, India 2.5%, Pakistan 1.9%, Norway 1.4% dan sisanya 5.1% adalah
konsumsi sisa dunia (rest of the world) (Gambar 2.11).
30

Konsumsi Rapeseed Oil


25

Norway
Pakistan

20
Juta Ton

ROW

India
15

Canada
Mexico

10

Japan
5

United States
China
1964
1967
1970
1973
1976
1979
1982
1985
1988
1991
1994
1997
2000
2003
2006
2009
2012

EU-27

Sumber: Oil World


Gambar 2.11. Negara Konsumen Terbesar Rapeseed Oil Dunia 1965-2014

Minyak Bunga Matahari (Sunflower Oil). Sunflower oil


merupakan sumber minyak nabati terbesar keempat setelah minyak
sawit, minyak kedele dan rapeseed oil . Pada tahun 2014, Sunflower Oil
memiliki pangsa dunia sebesar 10.0%. Perkembangan konsumsi
Sunflower Oil dunia berdasarkan kawasan pada kurun waktu 19652014 disajikan pada gambar 2.12.

16

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Juta Ton

16

Central Asia

14

Other Eastern Europe

12

Other Western Europe

10

Developed Countries

USA

European Union

East Asia

South Asia
Near East/ North Africa
2014

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

1965

1964

Sub- saharan Africa

Sumber: Oil World


Gambar 2.12. Konsumsi Sunflower Oil berdasarkan Kawasan tahun 1965-2014

Meskipun pangsa sunflower oil hanya 10% dari total minyak


nabati utama dunia, namun perkembangannya cukup pesat. Pada
tahun 1965, konsumsi sunflower oil adalah 28.000 ton, dan pada tahun
2014 telah mencapai 15.195.000 ton. Hal tersebut menunjukkan dalam
kurun waktu 1965-2014, rata-rata konsumsi sunflower oil dunia
meningkat rata-rata 40.25 % per tahun.
Secara umum, konsumen terbesar sunflower oil dunia adalah
kawasan Uni Eropa (23.74%), Negara-negara Maju (19.1%) dan kawasan
near East/Afrika Utara (16.10%).
Dari sisi pangsa konsumsi dapat dilihat perkembangan konsumsi
sunflower oil dunia. Pada tahun 1965, konsumsi sunflower oil terbesar
adalah Near East/ Afrika Utara dan Eropa Barat, dengan pangsa
masing-masing 57.14% dan 39.29%.
Perkembangan konsumsi sunflower oil antar kawasan dunia
menunjukkan bahwa konsumsi sunflower oil cendrung berpusat di
Benua Eropa. Tahun 1980, konsumsi sunflower oil terbesar adalah
Amerika Latin dan Karibia (29.17%), Near East/ Afrika Utara (22.65%),
Uni Eropa (21.37%) dan Negara Maju (13.46%). Tahun 2000, konsumsi
sunflower oil di kawasan Amerika Latin dan Karibia menurun drastis
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

17

menjadi 8.44%, kawasan Near East/Afrika Utara juga menurun menjadi


11.77%, sedangkan pangsa konsumsi sunflower oil di kawasan Uni
Eropa naik menjadi 31.35% dan Negara Maju naik menjadi 21.59%.
Tahun 2014, konsumsi sunflower oil terbesar adalah Uni Eropa
(24.17%), diikuti Near East/ Afrika Utara (20.68%), Negara Maju
(18.76%). Sedangkan Amerika Latin dan Karibia menurun menjadi
6.30%, sebaliknya konsumsi kawasan Asia Selatan naik menjadi
12.70%).
Dalam kurun waktu 2010-2014, berdasarkan ranking tertinggi,
negara konsumen terbesar sunflower oil di dunia adalah EU-27 sebesar
26.5%, Russian 15.9%, India 9.6%, Turkey 7.6%, China 5.2%, Egypt
5.2%, Argentina 4.7%, Ukraine 4.2%, South Africa 2.8% dan sisa dunia
18.2% (Gambar 2.13).

Juta Ton

16

ROW

Konsumsi Sunflower Oil

14

South Africa

12

Ukraine

10

Argentina

Egypt

China
Turkey

India

2012

2009

2006

2003

2000

1997

1994

1991

1988

1985

1982

1979

1976

1973

1970

1967

1964

Russian
Federation
EU-27

Sumber: Oil World


Gambar 2.13. Negara Konsumen Terbesar Sunflower Oil Dunia 1965-2014

2.5.

Pola Konsumsi Minyak Nabati Berdasarkan Kawasan

Amerika Latin dan Karibia. Kawasan Amerika Latin dan


Karibia merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean oil/SBO).
Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun
waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, hampir 60% konsumsi minyak
18

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh
rapeseed oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran minyak sawit
semakin besar, sedangkan proporsi minyak rapeseed dan minyak
bunga matahari semakin menurun. (Gambar 2.14).
14
12

Juta Ton

10

8
6
4
2
1965

1980

1990

SBO

PO

2000
RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World


Gambar 2.14. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014

Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Amerika


Latin dan Karibia adalah 140.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak
nabati meningkat 20 kali lipat menjadi 1.991.000 ton, atau rata-rata
meningkat 135.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa
konsumsi minyak kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8%
pada tahun 1980. Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan
pangsa 16.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati
cenderung bergeser ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan
rapeseed oil keduanya hanya berkisar 7%.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik dari sekitar 3 juta ton menjadi 5 juta ton lebih, dengan
growth 7.1% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi
oleh minyak kedele (61.1%), sedangkan peran minyak sawit semakin
meningkat dari pangsa 6.7% pada tahun 1980 menjadi 16.5% pada
tahun 1990, dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%) dan
rapeseed oil (5.5%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 7.5 juta

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

19

ton, dengan growth 4.7% per tahun. Dalam dekade 2000-2010,


konsumsi minyak nabati di kawasan Amerika Latin dan Karibia
bertumbuh pesat, yakni 8.8% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi
minyak nabati telah mencapai 14,2 juta ton, kemudian tahun 2014 naik
rata-rata 3,7% per tahun menjadi 16.317 juta ton (Tabel 2.5)
Tabel 2.5.

Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan


Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014

Pangsa

1965

1980

1990

2000

2010

2014

79
56.4

2,267
75.8

3,129
61.1

5,154
68.4

10,344
72.9

11,593
71.0

29
20.7

200
6.7

843
16.5

1,253
16.6

2,482
17.5

2,992
18.3

32

19

284

435

698

775

22.9

0.6

5.5

5.8

4.9

4.7

0.0

505
16.9

863
16.9

688
9.1

668
4.7

957
5.9

140.0

2,991.0

5,119.0

7,530.0

14,192.0

16,317.0

135.8

7.1

4.7

8.8

3.7

SBO
PO
RSO
SFO
Total
Growth

Konsumsi (JutaTon)

%/thn
Sumber: Oil World

Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama


minyak nabati di kawasan Amerika Latin dan Karibia adalah minyak
kedele (71%), dan minyak sawit berada pada urutan kedua dengan
proporsi 18.3%), sedangkan proporsi sun flower oil dan rapeseed oil
masing-masing adalah 4.7% dan 5.9%.

20

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Sub Sahara Afrika. Minyak sawit merupakan sumber utama


konsumsi minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika. Sumber
minyak nabati lainnya juga diperoleh dari minyak kedele dan rapeseed
oil yang juga cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 1965,
hampir 90% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah minyak
sawit, dan sisanya dipenuhi oleh rapeseed oil dan minyak kedele. Sejak
tahun 2000 peran minyak kedele dan minyak rapeseed semakin besar
(Gambar 2.15).
7
6

Juta Ton

4
3
2
1
1965

1980

1990

SBO

PO

2000
RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World


Gambar 2.15. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub
Sahara Afrika Tahun 1965-2014

Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Sub Sahara


Afrika adalah 711.900 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati
meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi 1.520.600 ton, atau rata-rata
meningkat 7.6 % per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa
konsumsi minyak kedele naik dari 1.5 % tahun 1965 menjadi 10.4%
pada tahun 1980. Namun proporsi rapeseed oil menurun dari 12.5%
menjadi 3.1%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati
cenderung berkembang pada konsumsi minyak kedele.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik dari sekitar 1.5 juta ton menjadi 2.8 juta ton lebih, dengan

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

21

growth 8.6% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi
oleh minyak sawit (71.9%), sedangkan peran minyak sawit kedele
menurun dari pangsa 10.4% pada tahun 1980 menjadi 6.0% pada tahun
1990, sementara minyak rapeseed meningkat dari pangsa 3.1% menjadi
22.2 %. Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 5.5 juta ton, dengan
growth 9.3% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak
nabati di kawasan Sub Sahara Afrika bertumbuh pesat, yakni 9% per
tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 10,4 juta
ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 2.3% per tahun menjadi 11.3
juta ton (Tabel 2.6).
Tabel 2.6.

Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Sub


Sahara Afrika Tahun 1965-2014
Pangsa

SBO
%

PO
%

RSO
%

SFO
%

Total
Growth

%/thn
Sumber: Oil World

Konsumsi (Ribu Ton)


1965

1980

1990

2000

2010

2014

11

158

169

1,554

3,189

3,307

1.5

10.4

6.0

28.4

30.7

29.2

612

1,316

2,034

3,008

5,796

6,476

86.0

86.5

71.9

55.1

55.8

57.1

89

47

628

901

1,407

1,561

12.5

3.1

22.2

16.5

13.5

13.8

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

711.9

1,520.6

2,830.5

5,462.8

10,391.9

11,343.7

7.6

8.6

9.3

9.0

2.3

Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama


minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika adalah minyak sawit
dengan pangsa (57.1%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua
dengan proporsi (29.2%), sedangkan rapeseed oil adalah 13.8%. Hal ini
menunjukkan adanya peningkatan minyak kedele dalam pola
konsumsi minyak nabati di kawasan Sub Sahara Afrika. Sementara
rapeseed oil cenderung merata pada kisaran 13 %.
Near East dan Afrika Utara. Secara umum, kawasan Near East dan
Afrika Utara merupakan konsumen utama minyak kedele (soybean
oil=SBO). Minyak kedele memiliki proporsi yang dominan sepanjang
kurun waktu 1965-2014. Pada tahun 1965, sekitar 57 % konsumsi
22

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

minyak nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya


dipenuhi oleh sunflower oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran
sun flower oil dan minyak sawit semakin besar, namun laju
pertumbuhan sun flower oil lebih besar dibandingkan dengan laju
minyak sawit, yakni masing-masing 15.24% dan 6.76% per tahun
(Gambar 2.16).
4

Juta Ton

3
3
2
2
1
1
1965

1980

1990

SBO

PO

2000
RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World


Gambar 2.16. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Near East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014

Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Near East


dan Afrika Utara adalah 140.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak
nabati meningkat 20 kali lipat menjadi 1.991.000 ton, atau rata-rata
meningkat 135.8% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa
konsumsi minyak kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8%
pada tahun 1980. Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan
pangsa 16.9%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati
cenderung bergeser ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan
rapeseed oil keduanya hanya berkisar 7%.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik dari sekitar 1.4 juta ton menjadi 2.9 juta ton lebih, dengan
growth 10.6% per tahun. Sumber utama minyak nabati bergeser dari
minyak kedele ke sunflower oil dengan pangsa 45.5 %. Sedangkan
peran minyak sawit semakin meningkat dari pangsa 8.58% pada tahun
1980 menjadi 17.96% pada tahun 1990, sementara peran minyak kedele
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

23

menurun dari 51.1 % menjadi 27.3 %. Tahun 2000 konsumsi nabati naik
menjadi 4.1 juta ton, dengan growth 4.1% per tahun. Dalam dekade
2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan Near East dan Afrika
Utara bertumbuh sebesar 5.4% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi
minyak nabati telah mencapai 6.3 juta ton, kemudian tahun 2014 naik
rata-rata 6,7% per tahun menjadi 8 juta ton (Tabel 2.7).
Tabel 2.7.

Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Near


East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014
Pangsa

SBO
%

PO
%

RSO
%

SFO
%

Total
Growth

%/thn
Sumber: Oil World

Konsumsi (Ribu Ton)


1965

1980

1990

2000

2010

2014

94

720

791

2,010

2,631

2,644

56.6

51.1

27.3

49.0

41.5

32.9

121

521

1,100

1,811

2,163

8.58

17.96

26.82

28.58

26.89

57

177

270

33

131

95

34.3

12.6

9.3

0.8

2.1

1.2

15

392

1,319

959

1,764

3,143

9.0

27.8

45.5

23.4

27.8

39.1

166.0

1,398.0

3,699.0

3,961.0

6,290.0

9,025.0

49.5

16.5

0.7

5.9

10.9

Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama


minyak nabati di kawasan Near East dan Afrika Utara adalah sun
flower oil (39.1%), dan minyak kedele berada pada urutan kedua
dengan proporsi 32.9%, diikuti minyak sawit dengan proporsi 26.89%
proporsi dan rapeseed oil dalam jumlah kecil, yakni 1.2%. Proporsi
minyak sawit meningkat pesat, sedangkan proporsi minyak kedele
cenderung menurun dan proporsi rapeseed menurun tajam dari 34.3%
(1965) menjadi 1.2% (2014).
Asia Selatan. Kawasan Asia Selatan merupakan konsumen
utama minyak sawit. Minyak sawit memiliki proporsi yang dominan
sepanjang kurun waktu 1965-2014 dengan pangsa rata-rata 42.4 %.
Pada tahun 1965, konsumsi utama minyak nabati di kawasan ini adalah
rapeseed oil dengan pangsa 77.5%, sementara minyak sawit baru
24

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

berkisar 2% dan minyak kedele sebsesar 20.6%. Sejak tahun 1980 peran
minyak sawit mulai meningkat dan pada tahun 2014 telah menggeser
dominasi rapeseed dan minyak kedele. Sementara pangsa sun flower
oil masih tetap penting dengan pangsa sata-rata 12,5%. (Gambar 2.17).
14
12
Juta Ton

10
8
6
4
2

1965

1980

1990

SBO

PO

2000
RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World


Gambar 2.17. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Selatan Tahun 1965-2014

Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Selatan


adalah 0.8 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 3
kali lipat menjadi 2.4 juta ton, atau rata-rata meningkat dengan laju
pertumbuhan 13 % per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa
konsumsi minyak sawit naik dari 2% tahun 1965 menjadi 30.6% pada
tahun 1980. Sedangkan pangsa konsumsi minyak kedele naik menjadi
39,8%, sementara rape seed oil menurun menjadi 28.7%. Hal ini
menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser ke
sunflower oil dan minyak sawit, sementara penurunan pangsa rapeseed
oil cenderung menurun karena terbatasnya supply sumber minyak
nabati ini di kawasan Asia Selatan. Dimana volume konsumsi 1965
tidak jauh berbeda dengan volume konsumsi rapeseed oil tahun 1980,
yakni 629.000 ton dan 690.000 ton.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik dari sekitar 2.4 juta ton menjadi 3.1 juta ton, dengan growth
13% per tahun. Sumber utama minyak nabati didominasi oleh minyak
kedele (39.8%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat
dengan pangsa 30.6% pada tahun 1990. dan selebihnya adalah minyak
bunga matahari dengan pangsa 28.7%). Dalam dekade 1990-2000
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

25

konsumsi nabati naik menjadi 10.5 juta ton, dengan pertumbuhan yang
pesat sebesar 23.5% per tahun. Tahun 2010, konsumsi minyak nabati
telah mencapai 15,8 juta ton dengan laju pertumbuhan 5.1% per tahun.
Tahun 2014 laju konsumsi naik 3,7% per tahun menjadi 19.9 juta ton
(Tabel 2.8).
Tabel 2.8.

Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia


Selatan Tahun 1965-2014
Pangsa

SBO
%

PO
%

RSO
%

SFO
%

Total
Growth

%/thn
Sumber: Oil World

Konsumsi (Ribu Ton)


1965

1980

1990

2000

2010

2014

167

955

890

2,767

3,071

3,945

20.6

39.8

28.6

26.5

19.5

19.8

16

734

1,186

5,674

10,232

12,880

2.0

30.6

38.1

54.4

64.9

64.7

629

690

737

984

1,160

1,146

77.5

28.7

23.7

9.4

7.4

5.8

22

302

1,003

1,297

1,930

0.0

0.9

9.7

9.6

8.2

9.7

812.0

2,401.0

3,115.0

10,428.0

15,760.0

19,901.0

13.0

3.0

23.5

5.1

6.6

Pada tahun 2014, konsumsi utama minyak nabati terbesar di


kawasan Asia Selatan adalah minyak sawit (64.7%), dan minyak kedele
berada pada urutan kedua dengan proporsi 19.8%, sedangkan proporsi
sun flower oil dan rapeseed oil masing-masing adalah 9.7% dan 5.8%.
Proporsi minyak sawit meningkat pesat, sedangkan proporsi minyak
kedele dan rapeseed oil menurun tajam. Hal ini menunjukkan pola
konsumsi bergeser dari rapeseed dan minyak kedele ke minyak sawit.
Asia Timur. Kawasan Asia Timur merupakan konsumen utama
minyak sawit. Pola konsumsi minyak nabati di kawasan ini bergeser
dari dominasi rapeseed oil pada tahun 1965 (57.9%) ke minyak sawit
(1980-2014). Meski demikian, peran minyak kedele dan rapeseed oil
tetap memiliki konstribusi penting, serta laju konsumsi tetap meningkat
sepanjang tahun. Sejak tahun 2000 peran minyak kedele semakin besar
dibandingkan dengan rapeseed. Peran sun flower oil cenderung stabil
pada rata-rata pangsa 2.4 % (Gambar 2.18).
26

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

30

Juta Ton

25
20
15
10
5
1965

1980

1990

SBO

PO

2000
RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World


Gambar 2.18. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Timur Tahun 1965-2014

Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Timur


adalah 0.61 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat
4.5 kali lipat menjadi 2.7 juta ton, dengan growth 23.5% per tahun.
Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik
dari 10.6% tahun 1965 menjadi 44% pada tahun 1980. Sumber konsumsi
kedua adalah rape seed oil dengan pangsa 27.2% dan minyak kedele
23.1%. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung
bergeser dari rapeseed ke minyak sawit dan minyak kedele. Kontribusi
sunflower oil adalah 5.6%.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik dari sekitar 2.7 juta ton menjadi 9.3 juta ton, dengan growth
24.2% per tahun. Sumber utama minyak nabati terbesar tetap diperoleh
dari minyak sawit (48.3%). Peran rapeseed oil tetap pada posisi kedua
dengan pangsa 28.5% dan diikuti kontribusi minyak kedele dengan
pangsa 20,6 % (menurun 2.6% dari pangsa tahun 1980). Tahun 2000
konsumsi nabati naik menjadi 18.8 juta ton, dengan growth 10.3% per
tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

27

Asia Timur bertumbuh dengan laju 10.8% per tahun, dan tahun 2010
konsumsi minyak nabati telah mencapai 39,1 juta ton, kemudian tahun
2014 naik rata-rata 7.8% per tahun menjadi 51.4 juta ton (Tabel 2.9)
Tabel 2.9.

Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia


Timur Tahun 1965-2014
Pangsa

SBO
%

PO
%

RSO
%

SFO
%

Total
Growth

%/thn
Sumber: Oil World

Konsumsi (Ribu Ton)


1965

1980

1990

2000

2010

2014

189

629

1,910

5,053

12,948

16,073

31.4

23.1

20.6

26.8

33.1

31.3

64

1,197

4,487

8,932

19,495

26,606

10.6

44.0

48.3

47.4

49.8

51.8

348

740

2,643

4,457

6,126

7,557

57.9

27.2

28.5

23.6

15.6

14.7

153

247

405

576

1,130

0.0

5.6

2.7

2.1

1.5

2.2

601.0

2,719.0

9,287.0

18,847.0

39,145.0

51,366.0

23.5

24.2

10.3

10.8

7.8

Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama


minyak nabati di kawasan Asia Timur adalah minyak sawit (51.8%),
dan minyak kedele berada pada urutan kedua dengan proporsi 31.3%,
sedangkan proporsi rapeseed oil dan sun flower oil masing-masing
adalah 14.7% dan 2.2%. Proporsi minyak sawit meningkat pesat dari
10.6% (1965) menjadi 51.8% (2014), sedangkan proporsi minyak kedele
cenderung sama, yakni berkisar sepertiga dari konsumsi minyak nabati
total, sedangkan rapeseed oil menurun tajam. Hal ini menunjukkan
perubahan pola konsumsi dari rapeseed ke minyak sawit.
Negara Maju (Developed Countries). Kawasan Negara Maju
merupakan konsumen utama rapeseed oil. Minyak rapeseed memiliki
proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014. Pada tahun
1965, sebanyak 52% konsumsi minyak nabati di kawasan ini adalah
rapeseed oil, dan sisanya dipenuhi oleh minyak kedele 28.8% dan
minyak sawit 18.6%. Sumber minyak nabati kedua terpenting di
28

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

kawasan ini adalah sunflower oil, dengan trend pertumbuhan positif


sebesar 15% pada kurun waktu 1980-2014. Sedangkan laju soybean oil
adalah 5% per tahun dan minyak sawit 5% per tahun. Pada Gambar
2.19, terlihat bahwa konstribusi minyak sawit relatif terendah
dibandingkan sumber minyak nabati lainnya.
5
5

Juta Ton

4
4
3
3
2
2
1
1
1965

1980

1990

SBO

PO

2000
RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World


Gambar 2.19. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Negara Maju Tahun 1965-2014

Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Negara Maju


adalah 0.34 juta ton. Tahun 1980, meningkat 4 kali lipat lebih menjadi
1.5 juta ton, dengan laju pertumbuhan 21.8% per tahun. Peningkatan ini
berdampak pada peningkatan pangsa konsumsi minyak rapeseed dari
52.3% tahun 1965 menjadi 58.1% pada tahun 1980. Sumber konsumsi
kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 15.9%.
Hal ini
menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati masih tetap didominasi
minyak rapeseed dan berkembang pada permintaan sunflower oil, dan
selebihnya bersumber dari minyak kedele dan minyak sawit, dengan
proporsi keduanya mencapai 25%.
Dalam dekade 1980 hingga 1990, konsumsi minyak nabati naik
dari 1.5 juta ton menjadi 4.7 juta ton lebih, dengan growth 21.8% per
tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh rapeseed
oil (52.1%), sedangkan peran sunflower oil semakin meningkat dari
pangsa 15.9% pada tahun 1980 menjadi 31.4% pada tahun 1990, dan
selebihnya adalah minyak kedele (9.6%) dan minyak sawit (6.9%).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

29

Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 6.7 juta ton, dengan growth
4.1% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di
kawasan Negara Maju bertumbuh 4% per tahun, dan tahun 2010
konsumsi minyak nabati 8 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata
2.8% per tahun menjadi 8.9 juta ton (Tabel 2.10).
Tabel 2.10.

Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan


Negara Maju Tahun 1965-2014
Pangsa

SBO
%

PO
%

RSO
%

SFO
%

Total
Growth

%/thn
Sumber: Oil World

Konsumsi (Ribu Ton)


1965

1980

1990

2000

2010

2014

99

234

456

904

731

830

28.8

15.9

9.6

13.5

9.1

9.3

64

148

328

459

642

685

18.6

10.1

6.9

6.9

8.0

7.7

180

853

2,473

3,555

4,094

4,536

52.3

58.1

52.1

53.2

51.2

51.0

233

1,490

1,760

2,529

2,851

0.3

15.9

31.4

26.4

31.6

32.0

344.0

1,468.0

4,747.0

6,678.0

7,996.0

8,902.0

21.8

22.3

4.1

2.0

2.8

Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama


minyak nabati di kawasan Negara Maju adalah rapeseed oil (51%), dan
minyak sawit berada pada urutan keempat dengan proporsi 7.7%,
berada dibawah sunflower oil (32%) dan minyak kedele (9.3%). Tidak
terdapat perubahan yang nyata dalam pola konsumsi minyak nabati,
dimana tetap didominasi oleh rapeseed oil, yang didukung oleh
sunflower oil, minyak kedele dan minyak sawit.
Amerika Serikat. Negara Amerika Serikat merupakan
konsumen utama minyak kedele (soybean oil=SBO). Minyak kedele
memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014.
Pada tahun 1965, sebanyak 98.8% konsumsi minyak nabati di kawasan
ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh minyak sawit dan
rapeseed oil serta sunflower oil dalam proporsi yang relatif kecil
(Gambar 2.20).
30

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Juta Ton

9
8
7
6
5
4
3
2
1
1965

1980

1990

SBO

PO

2000

RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World


Gambar 2.20. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara
Amerika Serikat Tahun 1965-2014

Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati Negara Amerika


Serikat adalah 2.2 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati
meningkat 2 kali lipat menjadi 4.3 juta ton, atau rata-rata meningkat
6.6% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada permintaan minyak
sawit naik dari 1.1% tahun 1965 menjadi 3.2% pada tahun 1980. Sumber
lainnya adalah rapeseed oil dan sunflower oil. Hal ini menunjukkan
bahwa pola konsumsi nabati cenderung tidak berubah, yakni tetap
pada minyak kedele.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik dari sekitar 4.3 juta ton menjadi 6 juta ton lebih, dengan
growth 3.9% per tahun. Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 8.6
juta ton, dengan growth 4.3% per tahun. Dalam dekade 2000-2010,
konsumsi minyak nabati di Negara Amerika Serikat bertumbuh 2.2 %
per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 10,5
juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 3,6% per tahun menjadi 12
juta ton.
Perkembangan volume konsumsi minyak kedele di Amerika
serikat naik 2 juta ton per satu dekade, selama 1980 hingga 2010.
Kemudian, pertumbuhan semakin cepat, dimana pertambahan 2 juta
ton hanya diperlukan dalam 4 tahun. Sementara laju ketersediaan
minyak kedele adalah rata-rata 3 % per tahun. Kebutuhan minyak
nabati dipenuhi dari tiga sumber lainnya, yakni rapeseed oil, minyak
sawit dan sunflower oil. Diantara ketiganya, laju pertumbuhan minyak
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

31

sawit relatif paling besar yakni 18% per tahun, sementara laju minyak
rapeseed dan sunflower oil masing-masing adalah 9% dan 5% per
tahun (Tabel 2.11).
Tabel 2.11.

Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara


Amerika Serikat Tahun 1965-2014
Pangsa

SBO
%

PO
%

RSO
%

SFO
%

Total
Growth

%/thn
Sumber: Oil World

Konsumsi (Ribu Ton)


1965

1980

1990

2000

2010

2014

2,137

4,134

5,506

7,401

7,619

8,210

98.8

95.9

91.6

86.3

72.7

68.4

23

140

116

175

957

1,381

1.1

3.2

1.9

2.0

9.1

11.5

297

849

1,665

2,220

0.1

0.1

4.9

9.9

15.9

18.5

29

91

154

243

193

0.0

0.7

1.5

1.8

2.3

1.6

2,163.0

4,309.0

6,010.0

8,579.0

10,484.0

12,004.0

6.6

3.9

4.3

2.2

3.6

Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama


minyak nabati di kawasan Asia Timur adalah minyak kedele (68.4%),
dan minyak rapeseed berada pada urutan kedua dengan proporsi
18.5.3%, sedangkan proporsi minyak sawit dan sun flower oil masingmasing adalah 11.5% dan 1.6%. Pola konsumsi masih tetap didominasi
minyak kedele, namun perkembangan minyak sawit dan minyak
rapeseed juga pesat. Hal ini menunjukkan minyak sawit lebih bersifat
komplementer, untuk memenuhi permintaan minyak nabati Amerika
Serikat.
Uni Eropa. Kawasan Uni Eropa merupakan konsumen utama
rapeseed oil. Sunflower oil memiliki proporsi yang dominan sepanjang
kurun waktu 1990-2014. Pada tahun 1990, hampir sekitar 85%
konsumsi minyak nabati di kawasan Uni Eropa adalah sungflower oil,
dan sisanya dipenuhi oleh minyak kedele (14.9%) dan rapeseed oil
(0.8%). Sejak tahun 2000 terjadi perubahan pola konsumsi dari

32

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

sunflower oil ke rapeseed oil dan minyak sawit. Sementara konsumsi


minyak kedele cenderung menurun sejak tahun 2000 (Gambar 2.21).
12
10

Juta Ton

8
6
4

2
1965

1980

1990

SBO

PO

2000
RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World


Gambar 2.21. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni
Eropa Tahun 1965-2014

Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Uni Eropa


adalah 1000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat
menjadi 463000 ton. Tahun 2000 konsumsi minyak nabati meningkat
sangat pesat menjadi 11,5 juta ton atau hampir 25 kali lipat dalam
dekade 1990-2000. Peningkatan ini berdampak pada perubahan pola
konsumsi, sunflower oil menurun dari 84.3% menjadi 22.2 %, sementara
rapeseed meningkat pesat dari 0.8% menjadi 34.4% dan minyak sawit
dari 0 menjadi 24.3%, serta minyak kedele naik dari 14.9% menjadi 19%.
Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung
bergeser ke sunflower oil ke rapeseed dan Minyak sawit berada pada
posisi kedua
Dalam dekade 2000 ke 2010, konsumsi minyak nabati naik dari
sekitar 11.5 juta ton menjadi 20.1 juta ton lebih, dengan growth 8.1% per
tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh rapeseed
oil (46.4%), dan minyak sawit memiliki kontribusi penting dengan
pangsa 23.6% dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%)
dan minyak kedele (13.2%). Tahun 2014 konsumsi nabati naik menjadi
21 juta ton, dengan growth 0.2% per tahun (Tabel 2.12)

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

33

Tabel 2.12.

Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Uni


Eropa Tahun 1965-2014
Pangsa

SBO
%

PO
%

RSO
%

SFO
%

Total
Growth

%/thn
Sumber: Oil World

Konsumsi (Ribu Ton)


1965

1980

1990

2000

2010

2014

86

71

2,186

2,745

1,780

0.0

18.6

14.9

19.0

13.2

8.5

2,790

4,910

6,125

0.0

0.0

0.0

24.3

23.6

29.2

3,956

9,666

9,420

100.0

1.5

0.8

34.4

46.4

44.9

370

403

2,555

3,524

3,673

0.0

79.9

84.3

22.2

16.9

17.5

1.0

463.0

478.0

11,487.0

20,845.0

20,998.0

3,080.0

0.3

230.3

8.1

0.2

Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama


minyak nabati di kawasan Uni Eropa adalah rapeseed oil (44.9%), dan
minyak sawit berada pada urutan kedua dengan proporsi 29.2%,
sedangkan proporsi sun flower oil dan minyak kedele masing-masing
adalah 17.5% dan 8.5%.
Tahun 1980 dan 1990 pola konsumsi
didominasi oleh sun flower oil, kemudian bergeser ke rapeseed oil pada
tahun 2000 dan 2010. Minyak sawit memiliki peran kedua terpenting
dalam memenuhi permintaan minyak nabati Uni Eropa. Minyak kedele
lebih bersifat complementary, yakni untuk mencukup permintaan
minyak nabati di Uni Eropa.
Eropa Barat Lainnya. Dewasa ini kawasan Eropa Barat
merupakan salah satu kawasan konsumen terbesar rapeseed oil.
Namun kawasan ini mengalami perubahan pola konsumsi. Sejak tahun
1965 hingga 2000, sekitar 50% konsumsi minyak nabati Uni Eropa
adalah minyak kedele. Dan sunflower oil merupakan sumber kedua
terpenting dengan rata-rata pangsa 27%). Kemudian sejak 2000, pola
konsumsi berubah drastis ke rapeseed oil dengan pangsa rata-rata 72.2
%. Sunflower oil tetap menempati urutan kedua terbesar, sedang
pangsa minyak kedele merosot tajam menjadi 9%. Perubahan ini
sekaligus menambah kontribusi minyak sawit di Uni Eropa, dengan
pangsa rata-rata 8% (Gambar 2.22).
34

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

450
400
350
Ribu Ton

300

250
200
150

100
50
1965

1980
SBO

1990
PO

2000
RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World


Gambar 2.22. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Eropa Barat Tahun 1965-2014

Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Eropa Barat


adalah 52.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 2
kali lipat menjadi 105.000 ton, atau rata-rata meningkat 6.8% per tahun.
Pola konsumsi pada tahun 1980 adalah minyak kedele dengan pangsa
50.5%, diikuti sunflower oil 25.7%, rapeseed oil 13.3% dan minyak sawit
10.5%.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik 15% dari 105.000 ton menjadi 121.000 ton, dengan growth
1.5% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh
minyak kedele (46.3%) dan sunflower oil berada pada urutan kedua
(22.3%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 174.000 ton, dengan
growth 4.4% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak
nabati di kawasan Eropa Barat bertumbuh pesat, yakni 11.6% per
tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 375.000
ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 10.3% per tahun menjadi
530.000 ton (Tabel 2.13).

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

35

Tabel 2.13.

Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa


Barat Tahun 1965-2014
Pangsa

SBO
%

PO
%

RSO
%

SFO
%

Total
Growth

%/thn
Sumber: Oil World

Konsumsi (Ribu Ton)


1965

1980

1990

2000

2010

2014

29

53

56

63

37

43

55.8

50.5

46.3

36.2

9.9

8.1

11

17

29

28

45

0.0

10.5

14.0

16.7

7.5

8.5

14

21

41

261

396

7.7

13.3

17.4

23.6

69.6

74.7

19

27

27

41

49

46

36.5

25.7

22.3

23.6

13.1

8.7

52.0

105.0

121.0

174.0

375.0

530.0

6.8

1.5

4.4

11.6

10.3

. Data di atas menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi


dari minyak kedele dan sun flower oil ke minyak rapeseed, sedangkan
konsumsi minyak sawit cenderung bersifat complementary, dengan
pangsa rata-rata sekitar 10%.
Europa Timur Lainnya. Kawasan Eropa Timur merupakan
konsumen utama minyak kedele (soybean oil=SBO). Minyak kedele
memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2014.
Pada tahun 1965, hampir 60% konsumsi minyak nabati di kawasan ini
adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh rapeseed oil dan
minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran minyak sawit semakin besar,
sedangkan proporsi minyak rapeseed dan minyak bunga matahari
semakin menurun (Gambar 2.23).

36

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

1200
1000

Ribu Ton

800
600

400
200
0
1965

1980
SBO

1990
PO

2000
RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World


Gambar 2.23. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Eropa Timur Tahun 1965-2014

Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati kawasan Eropa Timur


adalah 140.000 ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 20
kali lipat menjadi 1.991.000 ton, atau rata-rata meningkat 135.8% per
tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak
kedele naik dari 56.4% tahun 1965 menjadi 75.8% pada tahun 1980.
Sumber konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 16.9%.
Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser
ke sunflower oil, dimana pangsa minyak sawit dan rapeseed oil
keduanya hanya berkisar 7%.
Dalam satu dekade, dari tahun 1980 ke 1990, konsumsi minyak
nabati naik dari sekitar 3 juta ton menjadi 5 juta ton lebih, dengan
growth 7.1% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi
oleh minyak kedele (61.1%), sedangkan peran minyak sawit semakin
meningkat dari pangsa 6.7% pada tahun 1980 menjadi 16.5% pada
tahun 1990, dan selebihnya adalah minyak bunga matahari (16.9%) dan
rapeseed oil (5.5%). Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 7.5 juta
ton, dengan growth 4.7% per tahun. Dalam dekade 2000-2010,
konsumsi minyak nabati di kawasan Eropa Timur bertumbuh pesat,
yakni 8.8% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

37

mencapai 14,2 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 3,7% per
tahun menjadi 16.317 juta ton (Tabel 2.14).
Tabel 2.14.

Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Eropa


Timur Tahun 1965-2014
Pangsa

Konsumsi (Ribu Ton)


1965

1980

SBO

1990

2000

2010

2014

75

10

84

60

0.0

0.0

5.6

1.9

8.1

5.4

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

0.0

60

47

123

132

4.5

9.1

11.8

11.8

1,198

458

833

922

89.9

88.9

80.1

82.8

1,333.0

515.0

1,040.0

1,114.0

-6.1

10.2

1.8

PO
RSO
%

SFO
%

Total
Growth

%/thn
Sumber: Oil World

0.0

0.0

Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama


minyak nabati di kawasan Eropa Timur adalah sun flower oil (82.8%),
Hal ini berbeda dengan Uni Eropa dan Eropa Barat. Rapeseed oil
berada pada urutan kedua dengan proporsi 11.8% dan minyak kedele
5.4%. Secara umum, sumber utama konsumsi minyak nabati di Eropa
Timur adalah sun flower oil dan rapeseed.
Asia Tengah. Konsumen utama minyak nabati di kawasan Asia
Tengah adalah minyak sawit, dan sunflower oil berada pada urutan
kedua. Minyak awit memiliki proporsi yang dominan sepanjang
kurun waktu 2000 s.d 2014. Pada tahun 1990, sunflower oil memiliki
pangsa konsumsi sebesar 97.3 % dan belum mengkonsumsi minyak
sawit. Sejak tahun 2000 peran minyak sawit meningkat pesat dan
mencapai pangsa konsumsi 68.5%, dan pangsa sunflower oil merosot
tajam menjadi 29,2 %. Perkembangan selanjutnya tetap didominasi
minyak sawit, dan didukung sunflower oil, rapeseed, dan soybean oil
(Gambar 2.24).

38

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

2000
1800
1600

Ribu Ton

1400
1200
1000
800
600

400
200
0

1965

1980
SBO

1990
PO

2000
RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World


Gambar 2.24. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Tengah Tahun 1965-2014

Tahun 1990, total konsumsi minyak nabati kawasan Asia Tengah


adalah 110.000 ton. Tahun 2000, konsumsi minyak nabati meningkat
hampir 4 kali lipat menjadi 438.000 ton, atau rata-rata meningkat 29.8%
per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak
sawit dari 0% tahun 1990 menjadi 68.7% pada tahun 2000. Sumber
konsumsi kedua adalah sonflower oil dengan pangsa 29.2%. Hal ini
menunjukkan bahwa pola konsumsi nabati cenderung bergeser dari
sunflower oil ke minyak sawit, sisanya adalah minyak kedele (2.3%).
Dalam dekade 2000 ke 2010, konsumsi minyak nabati naik dari
sekitar 438.000 ton menjadi 1.680 ton lebih, dengan growth 28.5% per
tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak
sawit (78.6%)
Tahun 2000-2010 konsumsi nabati naik menjadi 1.685.000 ton.
Dengan growth 28.5% per tahun. Pada tahun 2014 naik rata-rata 7,7%
per tahun menjadi 2.201.000 ton (Tabel 2.15).

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

39

Tabel 2.15.

Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan Asia


Tengah Tahun 1965-2014
Pangsa

Konsumsi (Ribu Ton)


1965

1980

SBO
%

0.0

0.0

PO
%

0.0

0.0

RSO
%

SFO
%

Total
Growth

%/thn
Sumber: Oil World

0.0

0.0

1990

2000

2010

2014

10

0.0

2.3

0.2

0.3

300

1,325

1,800

0.0

68.5

78.6

81.8

22

44

2.7

1.3

2.0

107

128

334

350

97.3

29.2

19.8

15.9

110.0

438.0

1,685.0

2,201.0

29.8

28.5

7.7

Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama


minyak nabati di kawasan Asia Tengah adalah minyak sawit dengan
proporsi yang sangat dominan, yakni (81.8%), dan sun flower oil
berada pada urutan kedua dengan proporsi 15.9%. Minyak kedele dan
rapeseed berifat complementary dengan proporsi masing-masing 0.3%
dan 2.0%.
World. Hingga tahun 2008, konsumsi utama dan terbesar
minyak nabati dunia adalah minyak kedele. Minyak kedele memiliki
proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2008, dengan
pangsa rata-rata 47.6% (atau hampir separoh dari konsumsi total
minyak nabati utama dunia). Pada kurun waktu yang sama, pangsa
rata-rata minyak sawit adalah 24.4 %, rapeseed oil 18.4 % dan sunflower
oil 9.5 %. Namun pada kurun waktu 2008 hingga 2014, pola konsumsi
dunia berubah, dimana konsumsi minyak sawit meningkat hampir 40
%, dan pangsa minyak kedele menurun menjadi 33.3%, sementara
pangsa rapeseed oil menurun menjadi 17.6 % dan sunflower oil naik
menjadi 9.7 % (Gambar 2.25).

40

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

70

Juta Ton

60
50
40
30
20
10

1965

1980

1990

SBO

PO

2000

RSO

2010

2014

SFO

Sumber: Oil World

Gambar 2.25. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia


Tahun 1965-2014
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati Dunia adalah 5.2 juta
ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 3 kali lipat lebih
menjadi 18 juta ton, atau rata-rata meningkat 16.3% per tahun.
Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik
dari 14.8% tahun 1965 menjadi 21.6% pada tahun 1980. Sedangkan
pangsa minyak kedele menurun dari 59.7% menjadi 55.2%, dan
rapeseed oil menurn dari 24.8% menjadi 13.6%, sedangkan pangsa
sunflower oil naik dari 0.7% menjadi 9.6 juta ton.
Dalam dekade 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati dunia naik
dua kali lipat dari 18 juta ton menjadi 36 juta ton, dengan growth 10.2%
per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak
kedele (37.6%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dari
pangsa 21.6% pada tahun 1980 menjadi 28.8% pada tahun 1990, dan
selebihnya adalah rapeseed oil (17%) dan sunflower oil meningkat
pesat menjadi 16.6 %. Tahun 2000 konsumsi nabati dunia naik menjadi
73 juta ton, dengan growth 10.1% per tahun. Dalam dekade 2000-2010,
laju pertumbuhan konsumsi minyak nabati dunia naik 7.3% per tahun,
dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 126 juta ton,
kemudian tahun 2014 naik rata-rata 5% per tahun menjadi 152 juta ton
(Tabel 2.16).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

41

Tabel 2.16.
Nabati

Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun


1965-2014
Konsumsi (Ribu Ton)

Pangsa

SBO

1965
3,120

9,935

1990
13,667

2000
27,814

2010
43,690

2014
48,692

59.7

55.2

37.6

38.1

34.6

32.1

776

3,882

10,465

23,642

47,774

62,267

14.8

21.6

28.8

32.4

37.8

41.1

1,297

2,452

6,198

13,379

23,163

25,464

24.8

13.6

17.0

18.3

18.3

16.8

35

1,731

6,047

8,151

11,817

15,195

0.7

9.6

16.6

11.2

9.3

10.0

5,227.9

17,999.6

36,376.5

72,985.8

126,443.9

151,617.7

16.3

10.2

10.1

7.3

5.0

PO
%
RSO
%
SFO
%
Total

1980

Growth %/thn
Sumber: Oil World

Tahun 2014, diperoleh gambaran umum bahwa konsumsi utama


minyak nabati Dunia adalah minyak sawit (41,4%), diikuti minyak
kedele dengan proporsi 32.1%, sedangkan proporsi rapeseed oil dan
sun flower oil masing-masing adalah 16.8% dan 10%. Data di atas
mencerminkan adanya perubahan pola konsumsi minyak nabati dunia
dari minyak kedele ke minyak sawit.
2.6.
1.

Perkembangan Produksi Minyak Nabati Utama Global


Menurut Negara Produsen
Perkembangan Umum

Negara produsen minyak nabati utama dunia antara lain adalah


Amerika Serikat (soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil), India
(soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil), China (soybean oil,
rapeseed oil dan sunflower oil), Uni Eropa (rapeseed oil dan sunflower
oil), Indonesia (minyak sawit) dan Malaysia (minyak sawit).

42

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 2.17.

Pangsa Produksi Minyak Nabati terhadap Total Produksi


Minyak Nabati Utama Dunia 1970-2013 (%)
1970

1980

1990

2000

2010

2013

Indonesia

3.06

3.91

7.39

11.45

18.69

21.30

Malaysia

7.28

14.01

16.81

16.46

14.43

13.19

China

5.78

5.37

8.02

10.69

12.07

13.06

EU

0.00

0.00

0.00

9.27

9.37

8.49

USA

46.32

28.15

17.72

12.53

7.38

6.71

India

6.51

3.61

6.36

3.63

3.46

2.99

Total
68.95
Sumber: Oil World

55.05

56.30

64.03

65.41

65.75

Tahun 1970, Amerika Serikat merupakan negara produsen


terbesar minyak nabati dunia dengan pangsa 46.32 %, diikuti Malaysia
sebesar 7.28 %. Tahun 1980, seiring dengan perkembangan produksi
minyak nabati di negara produsen lainnya, pangsa Amerika Serikat
menurun menjadi 28.15, sementara Malaysia naik menjadi 14.01%. Pada
tahun 2000, pangsa Amerika Serika semakin menurun, yakni 12.53%,
dan kontribusi terbesar kedua adalah Malaysia (16.46%). Peran
Indonesia semakin tinggi, yakni 11.45 %, dan posisi keempat adalah
China dengan pangsa 10.69%. Pada tahun 2006, poduksi minyak sawit
Indonesia telah melampaui produksi minyak sawit Malaysia, dan pada
tahun 2010, Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit
dengan pangsa 18.69 %, dan tahun 2013, pangsa minyak sawit
Indonesia telah mencapai 21.3 %, diikuti Malaysia 13.19 %,
Chinan13.06%, Uni Eropa 8.49%, USA 6.71% dan India 2.99%.
Tahun 1988-1994, Amerika Serikat dan Malaysia berada pada
posisi yang sama, yakni dengan pangsa rata-rata 17.6 %. Kemudian
sejak 1995, Malaysia telah berhasil mengalahkan dominasi minyak
nabati dunia. Pada tahun 1977, Indonesia, China dan India berada pada
posisi yang sama, yakni dengan pangsa 3.7 %. Namun masing-masing
negara memiliki pertumbuhan produksi yang berbeda, dimana
Indonesia bertumbuh rata-rata 4.8% per tahun, China bertumbuh ratarata 3.4 % per tahun, sedangkan India cenderung menurun 0.2 % per
tahun.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

43

60

80
70

40
30

60

TOTAL

50

Indonesia

40
30

20

20
10

10

Malaysia
China
India
USA

EU

00

1964
1968
1972
1976
1980
1984
1988
1992
1996
2000
2004
2008
2012

00

% (dunia)

50

Sumber: Oil World


Gambar 2.26. Perkembangan Pangsa Produksi Minyak Nabati Utama Dunia
1964-2013

Perkembangan ini memiliki dampak yang cukup besar, dimana


Indonesia berhasil mengalahkan Malaysia pada tahun 2006. China juga
berhasil menyamai pangsa Malaysia pada tahun 2013, dengan pangsa
yang sama, yakni dengan pangsa 13.1 %.
Dan hal ini akan
memproyeksikan China akan unggul dibandingkan dengan Malaysia
dimasa mendatang. Sebaliknya, India cenderung menurun, sehingga
negara ini cenderung menjadi negara importir (Gambar 2.26).
2. Minyak Sawit (CPO)
Pada tahun 1964, total produksi CPO dunia adalah 1.203.000 ton
(gambar 2.27). Pada tahun 2013, produksi CPO dunia telah mencapai
55,82 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi CPO dunia bertumbuh
dengan laju 8.89%, dan setelah tahun 2000 tingkat pertumbuhan
produksi CPO dunia adalah 7.22 %.

44

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

35
30
25
20
15
10
5
0

60

Dunia

40
30
20
10

Juta Ton

50

1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009

Juta Ton

Negara Produsen Utama CPO Dunia

Indonesia 55.5%
Malaysia 34.4%
Thailand 3.8%
Colombia 1.9%
Nigeria 1.7%
Papua NG 1.1%

Sumber: Oil World


Gambar 2.27. Perkembangan Produksi CPO Dunia Tahun 1964-2013

Pada tahun 1964-1969, Nigeria merupakan negara produsen


utama dunia. Produksi CPO Nigeria rata-rata 32.56% dari total
produksi CPO dunia, sementara total produksi CPO Malaysia dan
Indonesia masing-masing mencapai 19. 4% dan 13.4%. Sejak tahun
1970, Malaysia berhasil menggeser kedudukan Nigeria dengan pangsa
produksi 30.71%, sedangkan Nigeria dan Indonesia masing-masing
memiliki pangsa 22.5% dan 12.93%. Produksi CPO Malaysia terus
mendominasi produksi CPO dunia hingga tahun 2005. Tahun 2006
produksi CPO Indonesia mencapai 16.6 juta ton, sedangkan Malaysia
sebesar 15.29 juta ton. Sejak 2006, Indonesia berhasil mengungguli
Malaysia dengan pangsa masing-masing 44.43% dan 40,9% terhadap
produksi CPO dunia. Keberhasilan ini sekaligus mencerminkan
pertumbuhan produksi CPO Indonesia lebih besar dibandingkan
dengan Malaysia, yakni 11,6% per tahun dan 10.9% per tahun.
Pada tahun 2013, produksi CPO Indonesia mencapai 31 juta ton
(55.5%) dan produksi CPO Malaysia mencapai 19.2 juta ton, dengan
pangsa 34.4%. Total pangsa produksi CPO Indonesia dan Malaysia
mencapai 89.9%. Disamping itu, negara produsen lainnya adalah
Thailand dengan pangsa 3.8%, Colombia 1.9%, Nigeria 1.6%, papua
New Guinea 1.1% dan Equador 1 %.
3. Minyak Kedele (Soybean Oil)
Pada tahun 1964, total produksi soybean oil dunia adalah
2.970.000 ton. Pada tahun 2013, produksi soybean oil dunia telah
mencapai 42,78 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi soybean oil
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

45

dunia bertumbuh dengan laju 6.80%, dan setelah tahun 2000 tingkat
pertumbuhan produksi soybean oil dunia adalah 4.05 %.

Negara Produsen Utama Soybean Oil Dunia


14000

45000
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0

12000
Ribu Ton

10000
8000
6000
4000
2000
1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009

Dunia

China 28.6%
USA 20.8%
Brazil 16.6%
Argentina 16.3%
EU-27 5.2%

India 3.9%
Paraguay 1.6%

Sumber: Oil World


Gambar 2.28. Perkembangan Produksi soybean oil Dunia Tahun 1964-2013

Negara Amerika Serikat merupakan negara produsen soybean


oil (SBO) terbesar dunia (gambar 2.28). Pada tahun 1964, produksi
soybean oil AS 2,3 juta ton atau 78.6% dari total soybean oil dunia.
Sejak tahun 1964 hingga 2009, USA merupakan negara produsen SBO
terbesar dunia. Pada tahun 2009 produksi SBO AS mencapai 8.9 juta
ton (22.94%), sedangkan China mencapai 8.73 juta ton (22.94%). Namun
pada tahun 2010, Negara China telah berhasil mengungguli dominasi
Amerika Serikat, dimana pangsa produksi SBO China naik menjadi
23.83 % dari total SBO dunia, sedangkan pangsa Amerika Serikat turun
menjadi 20,75%.
Hingga awal tahun 2000 an, negara produsen SBO terbesar
setelah AS adalah Brazil dan Argentina, dan China menempati posisi
keempat. Namun produksi SBO China merupakan yang tertinggi
dibanding semua produsen SBO lainnya, yakni 11.06% per tahun,
sedangkan laju pertumbuhan produksi SBO AS adalah 3.17%, Brazil
4.24% dan Argentina 8.99%. Hal ini menciptakan keberhasilan China
mengungguli Argentina tahun 2000, dan mengalahkan Brazil tahun
2005. Tahun 2013 total produksi SBO China telah mencapai 12,2 juta
ton 28.6%, AS 8.92 juta ton (20.8%), Brazil 7.1 juta ton (16.6%), Argentina
6.98 juta ton (16.3 %), Uni Eropa 2.24 juta ton (5.2 %), dan India 1.69 juta
ton.

46

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

4.

Minyak Rape (Rapeseed Oil)

Pada tahun 1964, total produksi rapeseed oil dunia adalah


1.044.000 ton. Pada tahun 2013, produksi rapeseed oil dunia telah
mencapai 25,35 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi rapeseed oil
dunia bertumbuh dengan laju 8.10%, dan setelah tahun 2000 tingkat
pertumbuhan produksi rapeseed oil dunia adalah 5.64 %.

10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0

30
Dunia

25

15
10
5
0

Juta Ton

EU-27 37.2%
20

1964
1968
1972
1976
1980
1984
1988
1992
1996
2000
2004
2008
2012

Juta Ton

Negara Produsen Utama Rapeseed Oil Dunia

China 24.7%
Canada 13.4%
India 9.7%
Japan 4.0%

Japan 2.7%
Mexico 2.3%

Sumber: Oil World


Gambar 2.29. Perkembangan Produksi Rapeseed Oil Dunia Tahun 1964-2013

Negara India merupakan salah satu negara produsen rapeseed


oil (RSO) terbesar dunia (gambar 2.29). Pada tahun 1964, produksi
rapeseed oil India mencapai 444.000 ton atau 42.53% dari total rapeseed
oil dunia. Sejak tahun 1964 hingga 1978, India merupakan negara
produsen RSO terbesar dunia. Pada tahun 1978 produksi RSO India
mencapai 565.000 ton (26.94%). Produsen terbesar kedua dan ketiga
adalah China dan Jepang, dengan pangsa masing-masing 26.5% dan
19.6%. Sejak 1979, China berhasil mengunggulin India dimana pangsa
produksi Cina mencapai 32.5%, sedangkan India adalah 19.65%.
Hingga tahun 2013, pangsa produksi RSO India merosot hingga 9.67%.
Sejak tahun 1999, Negara-negara Uni Eropa berhasil
mengungguli China, dengan pangsa produksi 32%. Dalam kurun
waktu 2000 hingga 2013, laju pertmbuhan produksi RSO tertinggi
adalah Uni Eropa, diikuti India 4.26% dan China 3.29%.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

47

Tahun 2013 total produksi RSO Uni Eropa telah mencapai 9,4
juta ton (37.2%), China 6.26 juta ton (24.7%), Canada 3.4 juta ton (13.4%),
India 2.45 juta ton (9.7 %), Jepang 1.01 juta ton (4 %), dan Mexico
580.000 ton (2.3%).
5.

Minyak Bunga Matahai (Sunflower Oil)

Pada tahun 1964, total produksi sunflower oil dunia adalah 1.000
ton. Pada tahun 2013, produksi sunflower oil dunia telah mencapai
15,94 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi sunflower oil dunia
bertumbuh dengan laju 8.82%, dan setelah tahun 2000 tingkat
pertumbuhan produksi sunflower oil dunia adalah 4.68 % per tahun
(gambar 2.30).

5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

18
Dunia

16

Ukraina 34.5%

12

Rusia 28.1%

8
6
4

2
2009

2004

1999

1994

1989

1984

1979

1974

1969

Juta Ton

14
10

1964

Juta Ton

Negara Produsen Utama Sunflower Oil Dunia

EU-27 21.7%

Argentina 8.6%
Turki 6.8%
China 3.7%
India 1.6%
USA 1.3%

Sumber: Oil World


Gambar 2.30. Perkembangan Produksi Sunflower Oil Dunia 1964-2013

Beberapa negara produsen sunflower oil (SFO) terbesar adalah


Argentina, Ukraina, Rusia dan Uni Eropa. Sejak 1972 hingga 1998,
negara produsen terbesar adalah Argentina. Tahun 1999 peran
Argentina digantikan oleh Uni Eropa, dimana pangsa produksi masingmasing adalah 29.5% dan 22.1%. Namun kemudian, Uni Eropa
digantikan oleh Rusia, seiring dengan pertumbuhan produksi SFO
Rusia, dengan pangsa rata-rata 20%. Kemudian, sejak 2010, Ukraina
berhasil menempati urutan pertama dalam produksi SFO dunia,

48

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

dengan pangsa rata-rata 27%, sedangkan rusia, Uni Eropa dan


Argentina masing-masing adalah 16.8%, 20.75% dan 12.5%.
Tahun 2013 total produksi SFO Ukraina telah mencapai 4.6 juta
ton (29.3%), Rusia 3.8 juta ton (23.8%), Uni Eropa 2.9 juta ton (18.4%),
Argentina 1.17 juta ton (7.34 %), Turki 0.98 juta ton (5.76 %), dan China
501.000 ton (3.14%), India 200.000 ton (1.38%) dan USA 172.000 ton (1.1
%) (Gambar 2.29) dan 9.74 diproduksi oleh negara produsen lainnya
(ROW).
2.7.

Ekspor-Impor Minyak Nabati Global

Ekspor Minyak Sawit (Palm Oil). Tahun 1964, total ekspor


minyak sawit dunia adalah 585.000 ton, dan pada tahun 2013 telah
mencapai 42.8 juta ton. Negara eksportir utama CPO dunia adalah
Malaysia dan Indonesia, dengan pangsa masing-masing 24.20% dan
21.54%. Hingga tahun 2008, Malaysia tetap mendominasi ekspor CPO
dunia, dan sejak tahun 2009, pangsa ekspor CPO Indonesia telah
melampaui ekspor CPO Malaysia, yakni 46,02% dan 44.64%. Tahun
2013, Indonesia dan Malaysia memiliki konstribusi rata-rata 90% dari
total ekspor CPO dunia, dan sekitar 10 % dipenuhi oleh negara
eksportir lainnya, seperti Papua New Guinea 1.5%, Thailand 1.2%,
Benin 0.9%, Guatemala 0.8% Honduras 0.7%
(Gambar 2.30).
Sedangkan 6.12 % lainnya dipenuhi oleh sisa negara dunia (rest of the
world) (gambar 2.31).

50

20

40

15

30

10

20

10

Dunia
Juta Ton

25

1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009

Juta Ton

Negara Exportir Utama CPO

Indonesia 48.4%
Malaysia 40.4%

Papua N.G. 1.5


Thailand 1.2%
Benin 0.9%

Sumber: Oil World


Gambar 2.31. Perkembangan Ekspor Minyak Dunia 1964-2013

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

49

Laju pertumbuhan ekspor Indonesia rata-rata 14.57% per tahun,


sedangkan Malaysia sebesar 10.84% per tahun. Perkembangan inilah
yang mendorong keberhasilan Indonesia menjadi negara eksportir
utama dunia, dari 21% pada tahun 1964 menjadi 48.37 %.
Ekspor Minyak Kedele (Soybean Oil). Total ekspor soybean oil
dunia pada tahun 1964 adalah 585.000 ton, dan pada tahun 2013 telah
mencapai 42.8 juta ton (gambar 2.32). Tahun 1964 hingga 1979,
Amerika Serikat merupakan negara eksportir utama soybean oil dunia,
dengan rata-rata konstribusi 86.42%. Tahun 1980 hingga 1984 peran AS
digantikan oleh Brazil, dengan rata-rata pangsa ekspor 45.43 %,
sedangkan AS pada kurun waktu yang sama adalah 38%. Disamping
itu, Argentina mulai berperan dengan pangsa ekspor 12.2%. Sejak
tahun 1985-2013, konstribusi Argentina semakin besar, dan berhasil
menjadi negara eksporti utama dunia. Pangsa ekspor Argentina ratarata 43.33%, sedangkan Brazil dan Amerika Serikat masing-masing
adalah 24.93% dan 16.36%.
Laju (growth) ekspor ketiga negara
eksportir terbesar adalah Argentina 15.65 % per tahun, Brazil 7.2% per
tahun dan USA 8.2 % per tahun.
Tahun 2013, Argentina, Brazil dan AS mencapai 70% dar total
ekspor soybean dunia, dan 30 % dipenuhi oleh negara eksportir
lainnya, seperti Uni Eropa 8.6%, Paraguay 6.9%, Bolivia 2.8%, Rusia
1.9%, termasuk Malaysia 1.5% dan sisa dunia dan Papua New Guinea
1.5%, Thailand 1.2%, Benin 0.9%, Guatemala 0.8% Honduras 0.7% .9%,
Bolivia 2.8% (Gambar 2.31). Sedangkan 6.12 % lainnya dipenuhi oleh
sisa negara dunia (rest of the world).

7
6
5
4
3
2
1
0

12
8
6
4
2
0

Juta Ton

10

1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009

Juta Ton

Negara Eksportir Utama Minyak Kedele


Dunia
Argentina 48.3%
Brazil 15.0%
EU-27 8.6%
USA 7.5%
Paraguay 6.9%
Bolivia 2.8%
Russian 1.9%
Malaysia 1.5%
Canada 1.0%

Sumber: Oil World


Gambar 2.32. Perkembangan Ekspor Minyak Kedele Dunia 1964-2013

50

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Ekspor Minyak Rape (Rapeseed Oil). Rapeseed oil merupakan


sumber nabati terpenting ketiga setelah minyak sawit dan soybean oil.
Kontribusinya semakin nyata setelah tahun 1990-an, seiring dengan
meningkatnya konsumsi minyak nabati dunia.
Tahun 1964,
perdagangan rapeseed oil di pasar minyak nabati dunia adalah 8 juta
ton. Jika dibandingkan dengan total produksi pada tahun yang sama,
yakni 1044 juta ton, maka rapeseed lebih dominan memenuhi konsumsi
domestik negara produsen masing-masing (terutama China dan India).
Tahun 1980, total ekspor mencapai 219 juta ton dan negara
ekportir utama adalah Canada, dengan pangsa ekspor 90.41%. Sejak
tahun 1972 hingga 2013, Canada merupakan negara eksportir utama
rapeseed oil dunia, dengan rata-rata konstribusi 74.29%. Disamping
itu, beberapa negara eksportir lainnya adalah Uni Eropa (sejak 1999)
dengan pangsa rata-rata 12.65% dan Amerika Serikat (sejak 1989)
dengan pangsa 7.6%. Laju (growth) ekspor ketiga negara eksportir
masing-masing adalah Canada 17.82 % per tahun, Uni Eropa 10.85 %
per tahun dan USA cenderung berfluktuasi, dengan rata-rata laju
23.14% per tahun mencapai pangsa ekspor rapeseed oil sebesar 78.5%
dar total ekspor rapeseed dunia, dan 21.5% dipenuhi oleh negara
eksportir lainnya, seperti Rusia 3.2%, Uni Emirat Arab 7.3%, Belarus
1.43%, Australia 2.8% (Gambar 2.32). Sedangkan 2.58 % lainnya
dipenuhi oleh sisa negara dunia (rest of the world) (gambar 2.33).

Sumber: Oil World


Gambar 2.33. Perkembangan Ekspor Rapeseed Oil Dunia 1964-2013

Ekspor Minyak Bunga matahari (Sunflower Oil). Sunflower oil


merupakan sumber nabati terpenting keempat setelah minyak sawit,
soybean oil dan rapeseed. Perdagangan sunflower oil di pasar dunia
dimulai tahun 1972, oleh Rumania dan Bulgaria, namun hanya
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

51

berlangsung hingga 1998. Keduanya memiliki pangsa ekspor 18.68%


dan 3.36%. Demikian halnya dengan Amerika Serikat, juga memiliki
peran yang cukup besar pada kurun waktu 1972-1998, dengan pangsa
rata-rata 155 dari total ekspor sunflower oil dunia.
Dalam perkembangan ekspor sunflower oil, negara eksportir
utama adalah Argentina, pada kurun waktu 1975-1998, dengan pangsa
rata-rata 60%, kemudian pangsanya menurun menjadi 30%. Sejak 1999
hingga 2013 peran tersebut digantikan oleh Ukraina (40%) (gambar
2.34).
Jika dibandingkan dengan negara eksportir lainnya, Ukraina
termasuk negara eksportir baru, yakni sejak 1988. Namun ekspor
negara ini memiliki laju pertumbuhan yang pesat dibandingkan negara
lainnya, yakni dengan rata 26% per tahun. Disamping itu, beberapa
negara eksportir lainnya adalah Rusia (sejak 1987) dengan pangsa ratarata 8.49% dan Argentina dengan pangsa 40.58%. Laju (growth) ekspor
ketiga negara eksportir masing-masing adalah Ukraina 26.36 % per
tahun, Rusia 19.23 % per tahun dan Argentina dengan rata-rata laju
4.84% per tahun. Ketiga negara tersebut mencapai pangsa ekspor
sebesar 85.76% dan 14.5% dipenuhi oleh negara eksportir lainnya,
(Gambar 2.33).

3.5

2.5

1.5

0.5

0
1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009

Dunia
Ukraine 69.0%

Juta Ton

Juta Ton

Negara Eksportir Utama Sunflower Oil

Rusia 28.5%
Argentina 11.4%
Turki 6.4%
EU-27 4.6%

Sumber: Oil World


Gambar 2.34. Perkembangan Ekspor Sunflower Oil Dunia 1964-2013

2.8.

Perkembangan Mutakhir Industri Oleokimia Dunia

Dalam industri oleokimia global dikenal tiga oleokimia dasar


(basic chemical) yakni: fatty acid, fatty alcohol, dan glycerol. Kapasitas
52

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

produksi oleokimia dunia meningkat dari tahun ke tahun. Kapasitas


produksi terbesar berada di Asia (gambar 2.35) Khususnya SE Asia,
India dan China. Kapasitas produksi fatty acid Eropa dan North
Amerika cenderung stabil dengan kecenderungan turun, sedangkan di
kawasan Asia meningkat cepat (gambar 2.36).
ROW 4%
Amerika Utara 11%
Eropa 13%
ROA 3%

India 7%
China 22%
SE Asia 40%
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012
Gambar 2.35. Kapasitas Produksi Fatty Acid Dunia Tahun
2011

Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012


Gambar 2.36. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Global 20042015

Pada tahun 2012, kapasitas produksi fatty acid Asia mencapai


5.7 juta ton. Produksi terbesar adalah Malaysia, 1.95 juta ton (34.21%)
dan China 1,83 juta ton (32.11%). Produksi Indonesia adalah 300.000
ton atau 5.26%. Hal ini merupakan tantangan industri hilir persawitan
Indonesia di masa mendatang (gambar 2.37).

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

53

1180

Lainnya
250

India

1830

China
190

Philipina

300

Indonesia

1950

Malaysia
0

500

1000

1500

2000

Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012


Gambar 2.37. Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia Tahun 2012

Kapasitas pertumbuhan produksi fatty acid meningkat pesat di


Asia, khususnya China.
Indonesia juga menunjukkan trend
pertumbuhan yang positif (Gambar 2.38).

Sumber : LMC, Alan Brunskill 2012


Gambar 2.38. Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Acid Asia 2004-2015

Pada tahun 2011, kapasitas produksi fatty alcohol dunia terbesar


di Asia (31%) dan China (20%) dan masih lebih besar dibandingkan
dengan Eropa (23%) dan Amerika Utara (15%). India juga termasuk
salah satu produsen fatty alcohol, dengan pangsa produksi 4% (Gambar
2.39).

54

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

SE Asia 31%

China 20%
India 4%
ROA 2%
Europe 23%
N Amerika 15%
ROW 5%

Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012


Gambar 2.39. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Dunia 2011

Pertumbuhan kapasitas produksi fatty alcohol Asia (gambar


2.40) bertumbuh cepat sementara Eropa dan North Amerika stabil dan
bahkan cenderung menurun. Fenomena tersebut terkait dengan
masalah bahan baku (trade-off fuel-food) yang dihadapi oleh kawasan
Eropa dan Amerika. Sementara oleokimia Asia yang umumnya
menggunakan bahan baku minyak sawit dan minyak kelapa, belum
mengalami masalah ketersediaan bahan baku. Selain itu pertumbuhan
yang cepat oleokimia di Asia juga hasil relokasi industri oleokimia dari
kawasan Eropa ke kawasan Asia.

Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012


Gambar 2.40 Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Global 20042015

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

55

Kapasitas produksi fatty alcohol Asia terbesar di China dan


Malaysia (gambar 2.41). pertumbuhan industri fatty alcohol di Asia
khususnya di Cina dan Malaysia di dukung oleh ketersediaan bahan
baku dan pertumbuhan pasar yang cukup besar khususnya di Cina.

4%

Malaysia
Indonesia

25%

18%

Philipina
Thailand
8%
30%

9%
6%

China
India
Lainnya

Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012


Gambar 2.41. Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia 2011

Pertumbuhan kapasitas produksi fatty alcohol Indonesia dan


China bertumbuh cepat di Asia (gambar 2.42).pertumbuhan kapasitas
produksi tersebut terkait dengan pertumbuhan produksi yang terus
meningkat. Indonesia merupakan pemain relative baru dalam industri
oleokimia Asia, sehingga pertumbuhan kapasitas yang tergolong cepat
belum disertai dengan pertumbuhan produksi.

Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012


Gambar 2.42.
Perkembangan Kapasitas Produksi Fatty Alcohol Asia 20042015

56

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

2.9.

Perkembangan Produksi Oleokimia Global


Produksi fatty acid global juga di dominasi Asia baik pangsa
maupun pertumbuhan (gambar 2.43), sedangkan di Eropa dan Amerika
cenderung turun. Hal ini juga sesuai dengan fenomena industri
oleokimia global mutakhir dimana di kawasan Eropa dan Amerika

Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012


Gambar 2.43. Volume Produksi Fatty Acid Global Historis dan Proyeksi

industri oleokimia adalah tergolong sunset industry sementara di


kawasan Asia industri tersebut tergolong the rising industry.
Dengan karakteristik pertumbuhan industri oleokimia di Eropa,
Amerika dibanding dengan di kawasan Asia yang demikian, volume
Produksi fatty alcohol global di dominasi Asia baik pangsa maupun
Pertumbuhan, sedangkan di Eropa dan Amerika cenderung turun
(gambar 2.44). realisasi maupun proyeksi produksi oleokimia global
yang makin besar di kawasan Asia makin membuktikan bahwa masa
depan industri oleokimia global akan berada di Asia. Pertumbuhan
ekonomi dua negara besar Asia (India dan Cina) yang merupakan 50
persen penduduk dunia, merupakan pasar yang potensial dan menarik
industri oleokimia global.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

57

Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012


Gambar 2.44. Volume Produksi Fatty Alcohol Global Historis dan Proyeksi

2.10.

Industri Pengguna Produk Oleokimia Global


Pasar utama fatty acid dunia adalah industri sabun dan
detergen. Sekitar 30 persen pangsa fatty acid (gambar 2.45 ) adalah
untuk industri sabun dan detergen, bahan baku industri lain/barang
antara (18%), industri plastik (14%) dan sisanya untuk kebutuhan
industri lainnya.
Soap&detergents 30%

Intermediates 18%
Plastics 14%
Rubber 6%
Paper 6%
Lubricant & Grease 6%
Coating &resins 6%
Personal care 5%

Food&feed 2%
Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad
Gambar 2.45. Industri Pengguna Fatty Acid Global

58

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Pasar utama fatty alcohol dunia (gambar 2.46) adalah industri


sabun dan detergen (55%) serta personal care (20%). Sisanya diserap
oleh industri pelumas, amina dan lain-lain.

Soap&detergents 55%
Personal care 20%
Lubricant & Grease 6%
Amines 4%

Various 15%

Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad


Gambar 2.46. Industri Pengguna Fatty Alcohol Global

Pasar utama glyserin dunia (gambar 2.47) adalah industri sabun,


kosmetik, farmasi (37%). Alkyd resin (13%), imdustri makanan (13%),
polyurethanes (11%), dan lain-lain.
Soap/cosmetics/pharmaceuti 37%
Alkyd resin 13%
Food 12%
Polyurethanes 11%
Tobacco 9%
Explosives 3%
Various 15%
Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad
Gambar 2.47. Industri Pengguna Glyserin Global

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

59

2.11.

Volume Konsumsi Oleokimia Global


Konsumsi fatty acid global terbesar dan tumbuh cepat di Asia
sedangkan kawasan Eropa dan Amerika stabil (gambar 2.48). Secara
umum pertumbuhan konsumsi terjadi di negara-negara berkembang.
Sedangkan di negara maju
tampaknya sudah mengalami laju
perlambatan konsumsi.

Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012


Gambar 2.48.
Perkembangan Volume Konsumsi Fatty Acid Global Secara
Historis dan Proyeksi

2.12.

Perkembangan harga oleokimia


Harga oleokimia di pasar dunia fluktuatif dan tidak selalu
mengikuti pola harga bahan bakunya (CPO) (gambar 2.49). Namun
demikian perkembangan harga semua produk-produk hilir tersebut
diatas harga bahan bakunya (CPO dan PKO). Harga fatty alcohol
(ALC) selalu diatas harga oleokimia lainnya. Produk oleokimia yang
tingkat harganya paling rendah adalah sabun dan detergen (soap
noodle).

60

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Sumber: Salmiah, . A. et.al (2008)


Gambar 2.49. Perkembangan Harga Oleokimia (RM/ton)

2.13.

Industri Biodiesel Dunia

Produksi biodiesel dunia meningkat cepat khususnya di Eropa


dan Amerika (gambar 2.50). Hal ini terkait dengan issue green energi.
Disamping itu industri biodiesel Asia yang muncul sebagai pemain
baru mengalami pertumbuhan yang relatif cepat.
50000
40000
30000
20000
10000
0

200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 201 201
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
1

Produksi 882 1,1 1,3 1,8 2,5 4,1 6,5 9,7 14, 15, 17, 21,
Konsumsi 487 957 1,2 1,4 2,3 3,5 6,4 9,1 13, 15, 18, 21,
Gambar 2.50. Perkembangan Produksi Biodiesel Dunia 2000-2011

Seiring dengan meningkatnya permintaan, harga biodiesel dunia


juga cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada gambar 2.51.
Harga biodiesel global tergantung pada jenis bahan baku
pembuatannya maupun kemurnian. Biodiesel yang berasal dari minyak
rapeseed harganya cenderung lebih mahal daripada lemak hewani
(tallow). Demikian juga biodiesel dengan kemurnian 100 persen lebih
tinggi dibandingkan dengan biodiesel yang kemurniannya kurang dari
100 persen.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

61

Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012.


Gambar 2.51. Perkembangan Harga Biodiesel di Pasar Eropa Menurut Bahan
Baku

Industri biodiesel duni semakin berkembang pesat dalam satu


dekade terakhir. Pada tahun 2000, produsen utama biodiesel dunia
adalah Eropa. Tahun 2000 pangsa produksi Eropa mencapai 99 % dan
Amerika Selatan sebesar 1 %. Tahun 2011, produksi biodiesel dunia
meningkat pesat dan mencapai 5.560 juta galon atau 21.52 juta kilo liter.
Peningkatan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan di negara-negara
produsen, dengan pangsa masing-masing : Eropa 44%, Amerika Utara
18%, Amerika Selatan 25%, dan Asia 7% (Malaysia dan Indonesia).
Rata-rata pertumbuhan produksi biodiesel dunia adalah 3.6% per
tahun. Perubahan pangsa produsen biodiesel global pada tahun 2000,
2005 dan 2011 disajikan pada gambar 2.52.

62

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Gambar 2.52.

Perubahan Pangsa Produsen Biodiesel Global Pada Tahun


2000, 2005 dan 2011

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

63

Di sisi permintaan, konsumsi biodiesel dunia juga memiliki trend


pertumbuhan yang positif (meningkat).
Tahun 2000, konsumsi
biodiesel dunia didominasi oleh Eropa (99%) dan Amerika Selatan
sebesar 1 %. Tahun 2011, konsumsi biodiesel dunia telah mencapai
5.752 juta galon atau 21.52 juta kilo liter, dengan pangsa : Eropa 61%,
Amerika Utara 16%, emrika Selatan 17%, Asia 6%.
Rata-rata
pertumbuhan produksi biodiesel dunia adalah 3.61% per tahun.
Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun 2000, 2005
dan 2011 disajikan pada gambar 2.53.

Gambar 2.53.

64

Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun


2000, 2005 dan 2011

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Produksi dan Konsumsi Biodiesel Eropa (ribu kl). Eropa


merupakan negara produsen dan sekaligus konsumen terbesar biodesel
dunia. Produksi dan konsumsi biodiesel Eropa meningkat pesat dari
tahun 2000 sampai 2011. Pada kurun waktu 2000 hingga 2004, produksi
dan konsumsi biodiesel Eropa masih dibawah 2 juta kilo liter. Tahun
2005, produksi telah mencapai 5.53 juta kilo liter dan meningkat pesat
hingga dua kali lipat pada tahun 2009 hingga 2011. Sementara itu, laju
pertumbuhan konsumsi meningkat lebih pesat, dimana sejak 2007,
negara Eropa berkembang menjadi net importir, karena volume
konsumsi lebih besar dari volume produksi. Pada tahun 2011, volume
produksi biodiesel eropa adalah 11.9 juta kilo liter, sementara
konsumsinya lebih besar yakni 14.44 juta klo liter (gambar 2.54).

Sumber: US Service
Gambar 2.54. Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun
2000, 2005 dan 2011

Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Utara. Amerika


Serikat merupakan negara produsen kedua setelah Eropa. Produksi dan
konsumsi biodiesel USA mulai berkembang pada tahun 2006. Tahun
2006, produksi biodiesel USA telah mencapai 0.99 juta kilo liter dan
meningkat pesat hampir empat kali lipat pada tahun 2011. Sementara
itu, laju pertumbuhan konsumsi juga meningkat pesat, dari 0.92 juta
kilo liter pada tahun 2006 menjadi 3.71 juta kilo liter pada tahun 2011
(gambar 2.55).

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

65

Sumber: US Service
Gambar 2.55 . Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Serikat

Produksi dan Konsumsi Biodiesel Asia. Perkembangan


biodiesel di Asia (Malaysia dan Indonesia) mulai berkembang sejak
tahun 2006, dengan pangsa yang relatif masih kecil (3.4%). Tahun 2006,
produksi biodiesel Asia adalah 0.18 juta kilo liter. Laju produksi
biodiesel Asia adalah 6.47 % per tahun dan laju pertumbuhan konsumsi
meningkat 6.43 % per tahun. Pada tahun 2005 s/d 2011 Asia tumbuh
menjadi negara eksportir, dimana produksi lebih besar dari konsumsi.
Produksi dan konsumsi biodiesel Asia disajikan pada gambar 2.55.

Sumber: US Service
Gambar 2.56. Produksi dan Konsumsi Biodiesel Asia

66

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Selatan. Perkembangan


biodiesel di Amerika Selatan mulai berkembang sejak tahun 2006
(gambar 2.57), dengan pangsa sebesar 25.2%. Tahun 2006, produksi
biodiesel Amerika Selatan adalah 4.6 juta kilo liter. Laju produksi
biodiesel Amerika
Selatan adalah 4.4 % per tahun dan laju
pertumbuhan konsumsi meningkat 6.8 % per tahun. Pada tahun 2005
s/d 2011 Amerika Selatan tumbuh menjadi negara eksportir, dimana
volume produksi lebih besar dari konsumsi. Produksi dan konsumsi
biodiesel Amerika Selatan disajikan pada gambar 2.56.

Sumber: US Service
Gambar 2.57. Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Selatan

Biodiesel and Diesel Prices (U$/Liter). Harga biodiesel (B100)


maupun minyak solar (fossil fuel) memiliki korelasi yang cukup erat
(gambar 2.58). Keduanya menunjukkan adanya fluktuasi sepanjang
waktu. Secara umum, harga biodiesel relatif lebih mahal dibandingkan
dengan minyak solar, namun pada Januari 2014 harga fossil fuel relatif
lebih mahal dibandingkan dengan harga biodiesel (B100). Hal ini
memberikan dampak positif bagi pengembangan biodiesel di masa
mendatang.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

67

Sumber: Biodiesel National Weekly


Gambar 2.58
Perkembangan Harga Biodiesel dan Diesel di USA

Salah satu produk hilir CPO adalah surfactan. Industri surfactan


meliputi LAS, FAS, FES dan AE, yang menyebar di Eropa, USA dan
Asia Pasifik, sebagaimana digambarkan pada gambar 2.59.

Sumber: Bernd Brackmann 2004


Gambar 2.59 Komposisi Bahan Baku Surfactant di Berbagai Kawasan

68

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

5.50%
2.30%
3.40%

0.10%

Produk pembersih
Agrochemicals
Perminyakan
Industri cat
Tekstil & kulit
Kertas
Polimerisasi emulsi
Plastik
Pangan
Konstruksi
Bahan peledak
Lainnya

6.20%

0.50%
1.40%
8.40%

1.90%

62.90%

5.10%
2.30%

Sumber: www.chemsoc.org
Gambar 2. 60 Penggunaan Surfactant Global

Penggunaan surfactan global mencakup produk pembersih,


agrochemicals, perminyakan, industri cat, tekstil dan kulit, kertas,
pelimer emulis, plastik, pangan, konstruksi dan bahan peledak.
Diantara produk tersebut, pasar utama surfactant terbesar adalah
industri produk pembersih dengan pangsa 62.9%, dan 8.4 % untuk
industri tekstil dan kulit (gambar 2.60).
Sedangkan pasar terbesar produk personal care dunia adalah untuk
personal cleaning product (42%), shampoo 38% dan conditioner 20%,
sebagaimana dinyatakan pada gambar 2.61.

20%
42%

Personal cleaning product


Shampoo

38%

Conditioner

Sumber: Kline & Company, 2007


Gambar 2. 61. Produk Personal Care Dunia

Pasar personal care dunia menyebar di Eropa (34%), Asia (24%),


USA (20%), Amerika Latin (18%) dan ROW atau negara lainnya (5%),
sebagaimana disajikan pada gambar 2.62.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

69

5%
Eropa
18%

34%

Asia
North Amerika

20%

Latin Amerika
Lainnya

24%

Sumber: Kline & Company, 2007


Gambar 2.62. Pasar Personal Care Dunia

Pasar lubricant dunia (gambar 2.63) adalah engine oil (48%),


process oil (15.3%), hidraulic oil (10.20%). Dengan meningkatnya
pertumbuhan industri mesin dan otomotif, kebutuhan untuk lubricant
akan meningkat.

Total Permintaan 41,8 juta ton


Engine oils

26.50%
48%

Process oils
Hydraulic oils
All other

10.20%
15.30%

Sumber: USB, 2008


Gambar 2.63.

Penggunaan Lubricant Dunia

Pasar utama lubricant dunia adalah di kawasan yang industri


otomotif dan mesin berkembang pesat (gambar 2.64) yakni Asia Pasifik
36.7%, Amerika Utara 28%, Eropa Barat 12.5% dan ROW 22.8%.
Semakin bertumbuh industri otomotif dan mesin, kebutuhan lubricant
khususnya untuk engine oil dan hidrolic oil makin meningkat.

70

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Asia/Pacific
22.80%

36.70%

North Amerika

12.50%

Western Europe
Rest of World

28%
Gambar 2.64.

Pasar Lubricant Dunia Menurut Kawasan (USB, 2008)

Pertumbuhan permintaan lubricant dunia yang meningkat tersebut


memberi peluang bagi industri minyak sawit Indonesia dalam
mengembangkan industri bio lubricant. Pengembangan industri bio
lubricant kedepan semakin prospektif dengan meningkatnya tuntutan
produk yang lebih ramah lingkungan.
2.14

Dinamika Industri Oleokimia Global


Dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan yang
dinamis dalam industri oleokimia global (gambar 2.65). Pemain
tradisional oleokimia dunia (USA, EU, Jepang) exit dari industri
oleokimia (Less profitable, investasi mahal). (Wolfgang Rupilius and S.
Ahmad, 2007). Perusahaan HENKEL exit oleokimia, fokus ke consumer
goods; UNILEVER exit oleokimia, fokus ke consumer goods; LONZA exit
oleokimia, fokus industri farmasi/bioteknologi; KAO mengurangi
oleokimia, fokus ke consumer goods; PROCTER AND GAMBLE
mengurangi oleokimia, fokus ke marketing dan consumer goods;
PETROFINA exit oleokimia, fokus petroleum & petro chemical; AKZO
NOBEL exit oleokimia.
Exit or Forward
Integrative

Forward Integrative

Industri
Bahan Baku
(Minyak
Nabati+Hew

Industri
Pengguna
(Consumer
Goods, Capital

Industri
Oleokimia
Dasar

Bacward Integrative

Gambar 2.65

Bacward Integrative

Dinamika Industri Oleokimia Dasar Dunia

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

71

Selain itu beberapa perusahaan melakukan konsolidasi


konsumen menjadi organisasi marketing global olekimia seperti RAG
(marger dari Degusa, Rhom, Stock Hausen, Gold Schmidt, C.W. Hulse,
Rutgers). Procter Gamble (Merger dari Procter Gambel, Clairol, Wella,
Gillete) dan Henkel (merger dari Henkel, Schwarzkopf dan Dial).
Strategi integrasi ke depan maupun ke belakang juga terjado
pada industri oleokimia global. Forward integrative ke industri pengguna
(consumer goods, capital goods) untuk minimisasi risiko agar lebih
profitable (integrasi oleokimia-consumer goods/capital goods lebih profitable
dari pada hanya oleokimia or industri consumer goods or capital goods).
Misalnya: KAO, PROCTER AND GAMBLE. Produsen bahan baku
(minyak nabati) forward integrative ke industri oleokimia (ASEAN).
Mengamankan CPO/PKO, dan CCO. Strategi Joint venture provider
technologi dan jaringan marketing global seperti Wilmar Grup, Bakrie
Grup, Sinar Mas , Musim Mas ,Eco Green Cisadane. Sime Darby Grup,
United Plantation Grup, Guthre Grup, Golden Hope Plantation, IOI
Corporation, Kuala Lumpur Kepong, Felda Holding, PBB Oil Palms,
Palmco Holding, Akzo & Nobel Oleochemical (Joint Venture dengan
Akzo & Nobel), Cognis Oleochemical (Joint Venture Cognis Jerman,
Golden Hope), FPG Oleochemical (Joint Venture Procter & Gamble,
USA dengan Felda).
Strategi Bacward integrative dengan industri bahan baku juga terjadi
seperti Cognis Oleochemical (Joint Venture Cognis dengan Golden
Hope), FPG Oleochemical (Joint Venture Procter Gamble, dengan
Felda), Akzo & Nobel.
Dimasa yang akan datang dinamika industri oleokimia global yang
demikian diperkirakan masih akan berlangsung sesuai dengan
perkembangan kompetisi global. Penguasaan bahan baku dan pasar
produk akhir diperkirakan menjadi penentu strategi industri oleokimia
untuk tetap survive ke depan.

72

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

BAB III
EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR INDUSTRI
MINYAK SAWIT INDONESIA

Kegiatan ekonomi industri minyak sawit (supply chain) dimulai


dari industri pembibitan, perkebunan kelapa sawit, pengolahan TBS
menjadi CPO, dan pengolahan CPO lebih lanjut menjadi produk
turunan baik setengah jadi (seperti oleokimia) maupun produk jadi
(seperti minyak goreng, biodiesel, sabun, shampoo, pelumas dan lainlain).
3.1

Industri Perbenihan Kelapa Sawit

Mata rantai yang paling hulu dari pada industri minyak sawit
adalah industri pembibitan. Industri pembenihan merupakan industri
cetak biru (blue print) dari rantai pasok minyak sawit. Cetak biru sifatsifat ekonomis kelapa sawit seperti produktivitas dan rendemen minyak
dimulai pada industri perbenihan.
Penyediaan benih kelapa sawit yang bermutu baik untuk
penanaman ulang (replanting) kebun kelapa sawit yang telah ada
maupun untuk kebutuhan perluasan areal baru, sangat penting untuk
menjamin kelanjutan agribisnis minyak sawit. Dengan luas areal
perkebunan sawit Indonesia tahun 2013 sekitar 9.2 juta hektar, dan
dengan asumsi umur produktif tanaman kelapa sawit 25 tahun, maka
untuk menjamin kelanjutan rantai pasok minyak sawit memerlukan
replanting 4 % dari luas areal atau setara dengan 400 ribu hektar setiap
tahun.
Perusahaan yang bergerak dalam pembenihan kelapa sawit di
Indonesia dalam sepuluh tahun (sejak reformasi) mengalami
peningkatan yang pesat. Bila pada masa orde baru, pembenihan kelapa
sawit hanya satu perusahaan yakni Pusat Penelitian Kelapa Sawit
(PPKS), pada masa orde reformasi meningkat menjadi 11 unit
perusahaan yang tersebar pada beberapa provinsi (Gambar 3.1) dengan
kapasitas industri pembenihan kelapa sawit nasional sebesar 256 juta
kecambah per tahun.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

73

Sumatera Utara 55%


Riau 29%
Sumatera Selatan 14%
Jawa Barat 2%

Kapasitas produksi = 256 juta


Sumber: Kementerian Pertanian RI (2010)
Gambar 3.1.
Lokasi Penyebaran Produsen Benih Kelapa Sawit di Indonesia
Tabel 3.1.
No.

Kapasitas Produksi Benih Kelapa Sawit di Indonesia


Kapasitas Produksi
Produsen
(kecambah/tahun)

PPKS Medan

50,000,000

PT Socfin Indonesia

47,000,000

PT London Sumatra Tbk.

23,000,000

PT Bina Sawit Makmur

30,000,000

PT Dami Mas Sejahtera

24,000,000

PT Tunggal Yunus Estate

14,000,000

PT Tania Selatan

PT Bakti Tani Nusantara


PT Bakrie Sumatera
Plantation Tbk.
PT Sasaran Ehsan
Mekarsari

9
10
11

PT Sarana Inti Pratama

Total
Sumber: Kementerian Pertanian RI (2010)

74

7,000,000
20,000,000
22,000,000
4,000,000
15,000,000
256,000,000

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

3.2

Perkembangan Luas Area

3.2.1

Perkembangan
Provinsi

Luas

Areal

Menurut

Pengusahaan

dan

Perkebunan kelapa sawit Indonesia telah berkembang pada 22


provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Lima provinsi terbesar sebagai
sentra usaha perkebunan kelapa sawit adalah Riau, Sumatera Utara,
Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Kelima
provinsi tersebut berada sekitar 64% luas areal perkebunan kelapa sawit
Indonesia dan menghasilkan sekitar 70% CPO. Dua pulau utama sentra
perkebunan kelapa sawit (Pulau Sawit) di Indonesia yakni Sumatera
dan Kalimantan. Sekitar 90% perkebunan kelapa sawit di Indonesia
berada pada kedua pulau sawit tersebut. Dan kedua Pulau Sawit
tersebut menghasilkan sekitar 95% produksi CPO Indonesia.
Penyebaran perkebunan kelapa sawit pada 22 provinsi
Indonesia mulai dari provinsi paling barat Indonesia sampai provinsi
paling timur Indonesia, menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit
memiliki toleransi yang luas pada keragaman agroklimat di daerah
tropis. Selain itu, dengan penyebaran perkebunan kelapa sawit
Indonesia yang demikian, melalui perkebunan kelapa sawit Indonesia
dapat memanen energi matahari selama 15 jam. Hal ini merupakan salah
satu keunggulan alamiah yang dimiliki perkebunan kelapa sawit
Indonesia dibandingkan negara lain dari segi ekonomi, penyebaran
perkebunan kelapa sawit yang demikian tidak lain adalah penyebaran
dunia usaha (firms) yang merupakan "mesin ekonomi". Melalui proses
produksi pada usaha perkebunan kelapa sawit tersebut keragaman
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersebar di daerah
perkebunan kelapa sawit terdayagunakan untuk menghasilkan minyak
sawit dan jasa lingkungan.
Dalam kurun waktu tahun 1990-2013 (Tabel 3.2), terjadi revolusi
pengusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang ditandai
dengan tumbuh-berkembangnya perkebunan rakyat dengan relatif
cepat. Pertumbuhan perkebunan sawit rakyat secara umum relatif cepat
yakni sekitar 24% pertahun selama periode 1990-2013.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

75

Tabel 3.2.

Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat


Menurut Provinsi
Luas Areal (Ha)

Provinsi

1990

Pertumbuhan (%/tahun)

2000

2013

19902000

20002013

1990-2013

Aceh

3275

52811

186826

42.31

10.93

24.74

Sumatera Utara

70918

122493

408708

5.91

10.62

8.46

Riau

165453

263663

1217847

6.08

14.34

10.56

Sumatera Selatan

31700

153134

369282

17.66

7.30

12.05

Sumatera Barat

24170

69486

177792

17.43

2905

18040

155607

173647

91

50047

Bengkulu

14240

28180

194170

Lampung

45791

58310

Banten

6304

7296

Kep. Riau
Jambi
Bangka Belitung

8.46

12.57

132.92

132.92

6.98

16.20

84.56

84.56

17.84

18.49

18.19

135.12

3.28

60.60

1.20

1.20

1,787.8
0

Jawa Barat

30540

182

-12.77

0.83

-10.50

Kalimantan Barat

25656

140979

257204

20.51

4.88

12.04

11791

60504

36.37

36.37

1223

29771

129650

41.04

17.64

28.37

14523

50364

160718

15.16

11.33

13.09

Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah
Kalimantan Timur
Sulawesi Tengah

7554

50524

15.59

44.53

31.95

Sulawesi Selatan

5000

26678

15589

20.21

7.57

13.37

Sulawesi Barat

54693

36.50

36.50

Sulawesi
Tenggara

4229

-4.71

-4.71

5530

25457

9886

-4.58

5.85

10961

1.20

1.20

410268

1190154

3600970

20.48

24.80

Papua
Papua Barat
Nasional

18.16
143.20

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)

Secara umum luas areal perkebunan kelapa sawit rakyat pada


semua provinsi sawit di Indonesia masih bertumbuh positif dan relatif
tinggi. Provinsi sentra utama perkebunan kelapa sawit seperti
Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat laju
pertumbuhan kebun sawit rakyat masih cukup tinggi.
Di masa yang akan datang, perkebunan rakyat masih akan
bertumbuh dan akan melampaui pangsa perusahaan perkebunan,

76

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

khususnya dari segi luas areal. Dengan makin terbatasnya lahan


sehamparan yang relatif luas di Indonesia, akan membatasi ruang gerak
perusahaan perkebunan untuk memperluas areal. Sebaliknya
perkebunan rakyat yang skalanya relatif kecil misalnya kurang dari 10
hektar, masih terbuka untuk menambah perkebunan rakyat.
Berbeda dengan perkebunan kelapa sawit rakyat perkebunan
negara cenderung lambat selama periode 1990-2013 (Tabel 3.3). Luas areal
BUMN perkebunan sawit relatif kecil dan hanya bertumbuh rata-rata 7%
pertahun.
Kondisi ini agak mengherankan mengingat BUMN merupakan
pioner dalam industri minyak sawit Indonesia. Bahkan keberhasilan dan
keyakinan investasi pada industri minyak sawit yang kini dinikmati
perusahaan perkebunan swasta maupun perkebunan rakyat belajar dari
BUMN perkebunan (PTPN Sawit). Dengan kondisi yang demikian
pangsa BUMN perkebunan dalam luas areal total perkebunan kelapa
sawit Indonesia hanya berkisar 8-10 %.
Perkebunan kelapa sawit swasta mengalami pertumbuhan yang
relatif cepat selama periode 1990-2013 (tabel 3.4) yakni sekitar 25%
pertahun. Namun demikian laju pertumbuhan areal perkebunan kelapa
sawit swasta cenderung melambat dari sekitar 45% selama periode 19902000 turun menjadi sekitar 20% selama periode 2000-20013.
Beberapa provinsi yang tercepat pertumbuhan arealnya antara
lain Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Provinsi-provinsi sentra sawit
tradisional seperti Sumatera Utara dan Riau pertumbuhan perkebunan
sawit swasta masih relatif tinggi.
Dengan pertumbuhan luas perkebunan swasta yang demikian
pangsanya mengalami peningkatan dari sekitar 30% tahun 1980 menjadi
sekitar 50%, atau naik sebesar 20% selama 20 tahun terakhir.
Hal yang menarik dari struktur pengusahaan perkebunan kelapa
sawit Indonesia adalah makin meningkatnya pangsa perkebunan
rakyat. Tidak banyak sektor ekonomi di Indonesia di mana BUMN dan
perusahaan swasta hidup berdampingan dengan usaha rakyat di mana
pangsa usaha rakyat makin membesar.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

77

Tabel 3.3. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Negara


Menurut Provinsi
Luas Areal (Ha)
Provinsi

Pertumbuhan (%/tahun)

1990

2000

2013

19902000

Aceh

22900

39688

40059

6.37

1.64

3.72

Sumatera Utara

236631

269644

307242

1.37

1.12

1.24

Riau

68816

62642

78953

-0.49

5.80

2.92

Sumatera Selatan

15610

27516

48944

6.18

6.51

6.36

Sumatera Barat

3810

5382

9518

5.09

8.08

6.71

24511

17.00

7.83

12.04

Kep. Riau

2000-2013

1990-2013

4500

14817

Bengkulu

711

4392

4704

29.88

3.12

15.38

Lampung

13920

14029

12397

0.46

0.71

0.60

11071

9702

1.21

1.21

Jawa Barat

4121

4618

16.39

16.37

16.38

Kalimantan Barat

26034

40460

62393

4.88

4.23

4.53

10966

23.61

23.61

375

4300

17370

43359

17.81

19.75

18.86

Sulawesi Tengah

4349

3886

6.11

4.96

Sulawesi Selatan

5758

6.48

3.48

4.85

55.51

55.51

10.95

27.92

20.14

4.82

10.30

7.45

Jambi
Bangka Belitung

Banten

Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah
Kalimantan Timur

9700

9887

Sulawesi Barat

Sulawesi
Tenggara

1102

3905

2800

6367

12632

2891

414228

528716

686438

Papua
Papua Barat
Nasional

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)

Struktur pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang demikian


secara ekonomi lebih berkualitas. Rakyat banyak terlibat langsung dalam
membuat "kue ekonomi" sedemikian rupa sehingga ikut secara langsung
menikmati "kue ekonomi" yang tercipta, melalui mekanisme ekonomi.

78

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 3.4. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Swasta


Menurut Provinsi
Provinsi

Luas Areal (Ha)

Pertumbuhan (%/tahun)

1990

2000

2013

1990-2000

2000-2013

1990-2013

Aceh

41912

109054

112621

10.78

0.54

5.05

Sumatera
Utara
Riau

143877

181897

366233

3.57

8.10

6.02

66428

443499

643918

21.28

3.51

11.90

Sumatera
Selatan
Sumatera
Barat
Kep. Riau

7059

161219

416707

57.06

9.49

31.29

16500

113147

192787

22.82

5.75

13.57

5783

-1.99

-1.99

Jambi

8750

116486

247835

32.10

14.77

22.71

2.25

2.25

Bangka
Belitung
Bengkulu

110671

131822

5828

41372

104998

31.07

9.22

19.23

Lampung

190

43300

48776

199.31

1.96

92.41

47

0.54

0.54

Banten
Jawa Barat

4524

3747

4601

-1.61

2.50

0.61

Kalimantan
Barat
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Timur
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Selatan*
Sulawesi
Barat
Sulawesi
Tenggara
Papua

5200

136507

374851

42.38

10.12

24.91

3363

158332

357625

49.85

10.90

28.75

171962

896827

63.67

15.09

36.21

4204

78650

489668

40.30

17.20

27.79

28329

43078

47.55

3.59

22.70

8000

30028

2448

275.35

67.25

171.30

47775

1.49

1.49

31229

0.49

0.49

20568

13605

27.10

37.26

Papua Barat

9979

13.98

13.98

315835

1948768

4543213

19.66

25.20

Nasional

81.30
44.90

*Gabungan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

79

3.2.2

Perkembangan Komposisi Umur Kelapa Sawit Menurut


Pengusahaan dan Provinsi

Secara nasional komposisi tanaman kelapa sawit Indonesia


(tabel 3.5) pada periode 2000-2005 terdiri dari 20% TBM, TM muda
sampai remaja 35%, dewasa 34%, dan sisanya yakni 12% berupa
tanaman tua sampai renta. Sedangkan pada periode 2005-2013
komposisi sawit nasional terdiri dari 20% TBM, TM muda sampai
remaja 21%, dewasa 38%, dan sisanya yakni 21% berupa tanaman tua
sampai renta. Dari segi tehnis komposisi umur kelapa sawit Indonesia
belum mencapai kondisi ideal.
Tabel 3.5. Perbandingan Komposisi Tanaman Kelapa Sawit antara
Perkebunan Rakyat, Negara, dan Swasta (%)
Perkebunan
Negara
Swasta
Rakyat
Nasional

Tahun

TBM

TM
4-7 th

8-15 th

16-25 th

2000-05

10

27

29

33

2006-13

15

13

41

31

2000-05

12

41

39

2006-13

19

19

39

23

2000-05

34

28

27

11

2006-13

21

26

37

16

2000-05

20

35

34

12

2006-13
20
21
38
Sumber: PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute)

21

Distribusi TM kelapa sawit rakyat (tabel 3.6) terutama berada di


provinsi Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi. Laju
pertumbuhan TM secara nasional mencapai rata-rata 33% pertahun
dalam periode 1990-2013. Pertumbuhan TM yang relatif tinggi berada
di provinsi Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
dan Sulawesi Tengah. Namun demikian di daerah sentra-sentra
tradisional perkebunan sawit seperti Riau dan Sumatera Utara
pertumbuhan kebun rakyat masih relatif tinggi.

80

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 3.6

Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit


Rakyat Menurut Provinsi

Provinsi

Distribusi TM (%)

Pertumbuhan (%/tahun)

1990

2000

2013

1990-2000

2000-2013

1990-2013

Aceh

0.00

4.12

4.11

29.28

10.81

18.04

Sumatera Utara

33.74

12.45

12.85

4.68

10.99

8.10

Riau

25.22

23.85

33.01

15.60

13.85

14.65

Sumatera Selatan

6.69

14.24

10.33

25.83

7.66

15.99

Sumatera Barat

12.79

4.29

4.89

14.06

14.35

14.21

Kep. Riau

0.00

0.00

0.04

Jambi

1.19

12.09

10.10

57.32

8.65

30.95

Bangka Belitung

0.00

0.00

0.85

Bengkulu

0.37

2.03

4.98

44.95

19.11

30.95

Lampung

0.00

2.70

1.23

209.07

Banten

0.00

0.75

0.16

Jawa Barat

14.30

0.00

0.00

Kalimantan Barat

4.42

14.89

7.26

Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Timur
Sulawesi Tengah

0.00

0.01

1.40

0.02

1.06

1.25

7.52

95.15

-2.24

-2.24

33.55

4.03

17.56

3.19

478.70

25.40

198.09

2.86

2.30

36.96

9.99

22.35

0.00

0.75

1.00

18.93

26.85

24.08

Sulawesi Selatan

0.00

2.54

0.36

27.27

2.87

13.48

Sulawesi Barat

0.00

0.00

1.25

49.87

49.87

Sulawesi
Tenggara
Papua

0.00

0.00

0.01

0.00

1.38

0.28

-1.17

8.15

Papua Barat

0.00

0.00

0.39

1.82

1.82

100.00

100.00

100.00

12.37

33.01

Nasional

20.27
72.61

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)


Untuk kelapa sawit swasta distribusi TM (tabel 3.7) terutama (44%)
berada di tiga provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Tengah. Laju
pertumbuhan TM kebun swasta secara nasional mencapai rata-rata 46%
pertahun dalam periode 1990-2013. Pertumbuhan TM yang relatif tinggi
berada di provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi
Selatan. Namun demikian di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

81

sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun swasta masih
relatif tinggi, meskipun telah memasuki fase perlambatan pertumbuhan.
Tanaman menghasilkan kelapa sawit negara (tabel 3.8) 55% berada di
provinsi Riau dan Sumatera Utara. Laju pertumbuhan TM secara nasional
mencapai rata-rata 26% pertahun dalam periode 1990-2013. Pertumbuhan TM
yang relatif tinggi berada di provinsi Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, dan
Kalimantan Timur. Sedangkan di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan
sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun negara sudah
relatif kecil.
Tabel 3.7. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit
Swasta Menurut Provinsi
Provinsi

Distribusi TM (%)
1990

2000

Pertumbuhan (%/tahun)

2013

1990-2000

2000-2013

1990-2013

Aceh

17

11.86

0.63

5.57

Sumatera Utara

64

16

10

5.51

5.41

5.46

Riau

14

24

17

28.69

6.35

16.59

Sumatera Selatan

119.91

9.74

60.24

Sumatera Barat

63.79

8.68

33.94

Kep. Riau

5.56

5.56

Jambi

45.79

13.39

27.48

Bangka Belitung

5.21

5.21

Bengkulu

217.72

17.96

109.52

Lampung

84.69

6.55

42.36

Banten

0.68

0.68

Jawa Barat

-2.65

-1.09

-1.81

Kalimantan Barat

146.77

15.88

65.74

Kalimantan Selatan

77.16

20.17

46.29

Kalimantan Tengah

17

200.25

24.94

80.30

Kalimantan Timur

61.07

30.29

43.67

Sulawesi Tengah

28.72

20.13

23.13

Sulawesi Selatan

71.06

470.07

296.58

Sulawesi Barat

11.07

11.07

Sulawesi Tenggara

10.53

10.53

Papua

71.07

71.07

Papua Barat

56.05

56.05

100

100

100

36.79

46.15

Nasional

77.36

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)

82

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 3.8. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit


Negara Menurut Provinsi
Provinsi

Distribusi TM (%)

Pertumbuhan (%/tahun)

1990

2000

2013

1990-2000

2000-2013

1990-2013

Aceh

3.81

6.86

6.85

8.77

4.41

6.33

Sumatera Utara

63.91

53.88

44.32

0.41

0.67

0.56

Riau

17.85

14.14

10.79

-0.01

4.61

2.58

Sumatera Selatan

2.07

5.79

6.46

13.95

3.87

8.31

Sumatera Barat

0.76

0.75

1.03

2.13

7.14

4.93

Kep. Riau

0.00

0.00

0.00

Jambi

0.43

1.90

3.65

21.34

12.19

16.21

Bangka Belitung

0.00

0.00

0.00

Bengkulu

0.15

1.00

0.77

51.52

7.51

26.87

Lampung

2.94

3.00

1.92

2.41

0.17

1.16

Banten

0.00

2.50

1.40

3.62

3.62

Jawa Barat

0.45

0.00

0.67

23.31

476.41

260.65

Kalimantan Barat
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah

6.81

6.51

9.79

3.41

6.13

4.93

0.00

0.00

1.87

44.02

44.02

0.00

0.00

0.00

Kalimantan Timur

0.20

1.41

6.95

23.65

27.65

Sulawesi Tengah

0.00

0.00

0.23

-8.57

-8.57

Sulawesi Selatan

0.63

0.92

0.57

11.98

12.54

Sulawesi Barat

0.00

0.00

0.00

0.00

0.00

0.62

50.75

50.75

0.00

1.33

1.59

20.70

16.51

0.00

0.00

0.53

-8.10

-8.10

100.00

100.00

100.00

36.73

26.16

Sulawesi
Tenggara
Papua
Papua Barat
Nasional

32.74
13.26

10.44
14.13

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

83

3.3

Perkembangan Produksi CPO

3.3.1

Penyebaran dan Kapasitas Produksi PKS

Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sebagai bagian yang terintegrasi


dengan perkebunan kelapa sawit mengikuti penyebaran perkebunan
kelapa sawit tersebut (Gambar 3.2). Dari 608 unit PKS dan dengan
kapasitas produksi 34.280 ton TBS/jam, sebagian besar berada pada
kedua pulau sawit tersebut.

Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Banten
Kalimantan Barat
Kalimantan
Kalimantan
Kalimantan Timur
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Papua
Papua Barat

7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0

7
6
5
4
3
2
1
0

Aceh
Sumatera Utara
Riau
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Kep. Riau
Jambi
Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
Banten
Jawa Barat
Kalimantan Barat
Kalimantan
Kalimantan
Kalimantan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi
Papua
Papua Barat

Juta Ton

Sumber:Kementerian Pertanian RI
Gambar 3.2.
Kapasitas Produksi PKS Indonesia Menurut Provinsi Tahun
2013 (ton TBS/jam)

Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia


Gambar 3.3.
Produksi CPO Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2013

84

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

3.3.2

Perkembangan Produksi CPO Menurut Pengusahaan dan


Provinsi

Sentra utama produksi CPO dari perkebunan rakyat (table


3.9)berada di Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan. Sekitar 60%
produksi CPO rakyat di Indonesia berasal dari ketiga provinsi tersebut.
Secara nasional laju pertumbuhan produksi CPO dari kebun sawit
rakyat adalah sebesar 36% pertahun selama periode 1990-2013. Provinsi
Sentra tradisional produksi CPO seperti Riau, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat masih bertumbuh relatif
tinggi. Demikian juga provinsi-provinsi sentra baru produksi CPO
seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mengalami
pertumbuhan yang sangat cepat. Bila dibandingkan laju pertumbuhan
produksi CPO rakyat tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM sawit
rakyat (33%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit rakyat
juga disumbang oleh peningkatan produktivitas.
Lima besar provinsi sentra produksi CPO dari perkebunan
swasta (table 3.10)berada di Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera
Selatan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sekitar 55%
produksi CPO swasta di Indonesia berasal dari lima provinsi tersebut.
Secara nasional laju pertumbuhan produksi CPO dari kebun sawit
swasta adalah sebesar 63% pertahun selama periode 1990-2013. Provinsi
Sentra tradisional produksi CPO seperti Riau, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat masih bertumbuh relatif
tinggi. Demikian juga provinsi-provinsi sentra baru produksi CPO
seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mengalami
pertumbuhan yang sangat cepat. Bila dibandingkan laju pertumbuhan
produksi CPO swasta tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM
sawit swasta (46%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit
swasta juga disumbang oleh peningkatan produktivitas.
Berbeda dengan perkebunan sawit rakyat dan swasta sentra
utama produksi CPO dari perkebunan negara (tabel 3.11)adalah
Sumatera Utara. Pangsa Sumatera Utara dalam produksi CPO
perkebunan negara mencapai 50%. Secara nasional laju pertumbuhan
produksi CPO dari kebun sawit negara adalah sebesar 15% pertahun
selama periode 1990-2013. Bila dibandingkan laju pertumbuhan
produksi CPO negara tersebut dengan laju pertumbuhan areal TM
sawit negara (26%) berarti pertumbuhan produksi CPO kebun sawit
Negara terutama disumbang oleh peningkatan areal TM.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

85

Tabel 3.9. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Rakyat Seluruh


Provinsi
Pertumbuhan CPO (%/tahun)
Produksi CPO (Ton)
Provinsi
1990
Aceh

2000

19902000

2012

20002013

19902013

63,242

200,501

35.21

12.07

21.12

Sumatera Utara

277,288

345,858

1,218,165

3.88

11.00

7.72

Riau

130,750

492,803

3,237,660

13.54

18.51

17.67

Sumatera Selatan

45,900

272,416

1,027,533

59.46

38.50

39.42

Sumatera Barat

32,500

112,195

390,946

20.62

13.88

14.95

Kep. Riau

2,977

Jambi

212,921

899,672

41.37

13.12

24.67

Bangka Belitung

73,983

Bengkulu

90

38,040

473,918

33.02

23.32

151.91

Lampung

31,115

171,176

138.91

17.43

67.13

Banten

17,954

8,783

-0.19

-0.19

Jawa Barat

2,900

30

8.34

1.72

15.85

16,300

190,547

444,934

36.56

7.03

18.29

Kalimantan Selatan

110

115,592

Kalimantan Tengah

18

21,708

248,898

102.73

26.26

50.41

7,042

86,729

172,169

19.88

22.17

29.88

Sulawesi Tengah

11,216

98,734

41.70

Sulawesi Selatan

41,751

24,387

18.19

7.69

11.99

Sulawesi Barat

113,233

47.45

47.45

Sulawesi Tenggara

70

Papua

39,200

16,458

14.06

-3.51

3.68

Papua Barat

34,065

514,778

1,979,814

8,975,896

26.70

16.03

36.45

Kalimantan Barat

Kalimantan Timur

Nasional

97.72

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)

86

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 3.10. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Swasta Seluruh


Provinsi
Pertumbuhan CPO (%/tahun)
Produksi CPO (Ton)
Provinsi
19902000
11.31

20002013
9.85

19902013
10.49

1990

2000

2012

Aceh

77,074

205,097

284,030

Sumatera Utara

466,090

748,813

1,509,211

5.60

8.27

7.11

Riau

58,264

873,290

2,373,971

34.45

12.22

21.88

Sumatera Selatan

2,325

421,546

1,083,116

104.05

31.11

62.83

Sumatera Barat

2,800

202,588

538,383

95.92

5.63

44.89

Kep. Riau

11,756

27.02

27.02

Jambi

219,104

729,241

132.99

12.93

58.67

Bangka Belitung

91,091

438,212

15.79

15.79

Bengkulu

100

39,782

387,075

872.22

28.99

395.61

Lampung

340

59,381

192,057

121.06

11.87

59.34

68

0.22

0.22

9,917

3,517

4,329

-7.88

18.80

7.20

Kalimantan Barat

81,363

812,901

341.71

25.80

136.37

Kalimantan Selatan

82,345

925,528

43.61

31.14

36.24

Kalimantan Tengah

92,208

1,930,674

210.82

31.22

81.11

Kalimantan Timur

33,564

507,652

65.92

28.35

43.72

Sulawesi Tengah

14,731

99,662

54.22

122.19

100.72

Sulawesi Selatan

37,985

4,818

106.19

22.57

54.43

Sulawesi Barat

135,434

12.65

12.65

Sulawesi Tenggara

12,465

16.26

16.26

Papua

33,077

144.72

144.72

Papua Barat

33,077

54.24

54.24

618,900

3,208,405

12,048,749

99.65

30.54

63.25

Banten
Jawa Barat

Nasional

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

87

Tabel 3.11. Produksi dan Pertumbuhan CPO Perkebunan Negara Seluruh


Provinsi
Pertumbuhan CPO (%/tahun)
Produksi CPO (Ton)
Provinsi
1990

2000

2012

19902000

20002013

19902013

Aceh

45,696

95,979

53,162

9.32

-0.14

4.02

Sumatera Utara

969,231

1,176,050

1,080,513

2.04

0.44

1.18

Riau

74,621

300,632

229,249

16.93

11.78

14.14

Sumatera Selatan

27,121

104,804

132,001

15.43

45.52

31.73

Sumatera Barat

9,675

17,597

24,608

7.13

3.89

5.37

6,800

38,215

85,771

22.1

10.81

15.99

Bengkulu

580

4,820

16,881

52.63

17.59

33.65

Lampung

27,000

50,240

38,718

7.14

1.97

4.34

12,602

17,710

6.07

5.87

30.95

30.95

31.14

28.35

29.63

35.21

8.52

20.75

13.94

13.98

13.96

16.38

13.34

15.61

Kep. Riau
Jambi
Bangka Belitung

Banten
Jawa Barat

32,251

12,811

-5.67

Kalimantan Barat

89,200

120,220

202,000

5.62

Kalimantan Selatan

19,800

Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur

2,112

12,848

140,060

Sulawesi Tengah

2,122

Sulawesi Selatan

2,170

11,818

4,920

Sulawesi Barat

Sulawesi Tenggara

2,832

Papua

24,753

25,771

Papua Barat

7,773

1,288,447

1,972,578

2,098,714

Nasional

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)

88

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

3.3.3

Perkembangan Produktivitas CPO Menurut Pengusahaan dan


Provinsi

Secara umum produktivitas sawit rakyat (PR) telah mengalami


peningkatan produktivitas CPO per hektar selama periode 1990-2013
yakni dari 1.61 ton menjadi 2.92 ton per hektar (Tabel 3.12). Bila
dianalisis selama periode 2000-2013 dan mempertimbangkan komposisi
umur tanaman kelapa sawit rakyat maka perubahan produktivitas
sawit rakyat dalam periode 2000-2005 dibandingkan dengan 2006-2013
(gambar 3.4) telah mengalami pergeseran yang mencerminkan
terjadinya peningkatan produktivitas untuk setiap umur TM.
Perkebunan kelapa sawit negara (PN) ternyata mengalami
penurunan produktivitas dalam periode 1990-2013 (tabel 3.13) yakni
dari 4.40% menjadi 3.11%. Jika dibandingkan produktivitas setiap
umur TM Negara antara periode 200-2005 dengan periode 2006-2013
(gambar 3.5) menunjukkan terjadinya penurunan produktivitas pada
setiap umur TM. Namun demikian produktivitas kelapa sawit negara
masih lebih tinggi dari rata-rata produktivitas kelapa sawit rakyat.

2000-05

2006-13

3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50

0.00
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Gambar 3.4.

Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit


Rakyat

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

89

Tabel 3.12. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan


Kelapa Sawit Rakyat Setiap Provinsi
Provinsi

Produktivitas (Ton
CPO/Ha)
1990

Aceh

Pertumbuhan (%)

2000

2013

1990-2000

2000-2012

1990-2012

1.92

1.85

4.05

4.22

4.15

Sumatera Utara

4.35

3.48

3.60

-1.56

0.31

-0.14

Riau

2.74

2.59

3.72

-0.39

4.57

3.13

Sumatera Selatan

3.63

2.40

3.77

23.41

32.36

25.1

Sumatera Barat

1.34

3.28

3.03

14.1

2.4

9.69

3.56

3.6

3.58

Kep. Riau
Jambi
Bangka Belitung
Bengkulu

2.84
0.00

2.21

3.38

2.25

3.29

0.13

2.35

3.61

8.43

3.64

52.38

1.44

5.29

-1.49

14.24

7.4

3.01

2.05
1.00

37.3

1.72

42.61

1.60

2.33

-1.49

3.1

0.84

1.17

3.13

Lampung
Banten
Jawa Barat

0.11

Kalimantan Barat

1.95

Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah

0.46

2.57

2.96

43.42

3.1

15.04

Kalimantan Timur

2.98

3.80

2.84

9.52

15.2

11.73

Sulawesi Tengah

1.88

3.75

16.06

113.42

79.35

Sulawesi Selatan

2.06

2.57

1.26

4.68

3.2

4.8

-2.54

0.66

10.73

13.60

17.25

Sulawesi Barat

3.44

Sulawesi Tenggara

0.34

Papua

3.56

Papua Barat
Nasional

2.23
3.32

1.61

2.45

2.92

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)

90

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 3.13. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan


Kelapa Sawit Negara Setiap Provinsi
Provinsi

Produktivitas (Ton
CPO/Ha)

Pertumbuhan (%)

1990

2000

2013

19902000

20002013

19902013

Aceh

3.41

3.23

1.45

0.40

-3.68

-1.88

Sumatera Utara

4.32

5.04

4.56

1.69

-0.22

0.66

Riau

1.19

4.91

3.97

18.63

1.65

9.43

Sumatera Selatan

3.74

4.18

3.82

2.20

56.26

31.48

Sumatera Barat

3.64

5.40

4.48

4.57

1.19

2.74

4.53

4.65

4.40

1.99

1.20

1.56

Bengkulu

1.13

1.11

4.11

20.80

15.57

17.97

Lampung

2.61

3.87

3.78

4.77

0.47

2.44

Kep. Riau
Jambi
Bangka Belitung

Banten

1.17

2.36

13.20

13.20

Jawa Barat

20.53

0.00

3.58

-1.24

7.73

3.24

Kalimantan Barat
Kalimantan
Selatan

3.73

4.27

3.86

2.64

1.09

1.80

-2.66

-2.66

Kalimantan Timur

2.95

6.26

3.46

-4.33

-4.33

0.54

10.17

-18.91

-18.91

6.00

4.84

-0.88

-0.88

4.47

4.13

1.98
2.10

Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan

0.15

1.70
0.97

2.95

Sulawesi Tenggara

1.63

21.55

0.86

Papua

4.28

Papua Barat
Nasional

3.77

3.03

3.33

2.72
4.40

3.37

3.11

6.27

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

91

2000-05

2006-13

5
4
3
2

1
0
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Gambar 3.5.

Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit


Negara

Produktivitas kelapa sawit swasta (PS) menunjukkan


peningkatan yang konsisten selama periode 1990-2013 (Tabel 3.14)
yakni meningkat dari 2.65 ton menjadi 3.25 ton CPO per hektar. Jika
dilihat dalam periode 2000-2005 dibandingkan dengan periode 20062013 menunjukkan bahwa produktivitas seluruh umur TM kebun
swasta mengalami peningkatan (gambar 3.6)

92

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 3.14. Produktivitas dan Pertumbuhan Produktivitas CPO Perkebunan


Kelapa Sawit Swasta Setiap Provinsi
Provinsi

Produktivitas (Ton
CPO/Ha)
1990
2000
2013

Pertumbuhan (%)
1990-2000

2000-2013

1990-2013

Aceh

2.60

2.46

3.66

0.83

8.09

4.90

Sumatera Utara

4.22

4.21

4.97

0.35

3.29

1.95

Riau

2.34

3.23

4.64

4.06

4.26

4.17

Sumatera Selatan

5.81

3.92

3.90

19.96

10.60

14.92

Sumatera Barat

1.87

2.66

1.11

8.77

-2.62

2.60

25.60

25.60

1.85

22.80

Kep. Riau

2.37

Jambi
Bangka Belitung

3.27

3.62

50.05

1.43

4.13

9.42

9.42

Bengkulu

0.22

1.64

4.60

59.68

9.71

32.61

Lampung

1.79

2.52

4.62

15.80

5.39

10.16

-0.47

-0.47

Banten
Jawa Barat

1.89
2.35

1.13

1.73

-5.96

19.55

7.86

Kalimantan Barat

1.46

3.12

29.63

9.68

17.28

Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah
Kalimantan Timur

0.89

3.78

-12.35

20.34

6.13

1.85

3.72

6.15

8.28

7.61

1.43

2.71

4.97

9.56

7.57

Sulawesi Tengah

2.37

3.39

23.01

98.67

72.19

Sulawesi Selatan

1.65

2.09

27.45

457.31

270.41

Sulawesi Barat

4.14

1.06

1.06

Sulawesi
Tenggara
Papua

0.44

4.32

4.32

3.75

11.80

11.80

Papua Barat

3.01

0.09

0.09

32.54

24.32

Nasional

2.65

2.26

3.25

15.49

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia (data diolah)

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

93

2000-05

2006-13

3
2
1
0
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Gambar 3.6.
Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Swasta

Jika dibandingkan produktivitas rata-rata kebun sawit swasta,


rakyat dan negara untuk setiap umur TM selama periode 200-2013
(gambar 3.7) menunjukkan bahwa produktivitas sawit negara lebih
unggul dibanding dengan rata-rata produktivitas swasta, dan
produktivitas sawit swasta masih lebih tinggi dibandingkan dengan
produktivitas sawit rakyat.
Negara

Rakyat

Swasta

3
2
1
0
4

Gambar 3.7.

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Perbandingan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat,


Negara dan Swasta

Hal inilah yang menjadi tantangan pengelolaan perkebunan


kelapa sawit Indonesia kedepan yakni bagaimana meningkatkan
produktivitas kebun sawit rakyat, kebun sawit swasta mendekati
produktivitas sawit negara dan selanjutnya meningkatkan
produktivitas kebun sawit swasta, rakyat dan negara kepada tingkat
produktivitas yang lebih tinggi.
94

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

3.4

Perkembangan Ekspor dan Konsumsi Domestik CPO

Dari total produksi CPO Indonesia diperuntukkan untuk


memenuhi kebutuhan industri dalam negeri (konsumsi CPO domestik)
dan untuk ekspor. Pangsa penggunaan CPO baik untuk ekspor
maupun kosumsi domestik mengalami dinamika naik turun (gambar
3.8) tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam
perdagangan internasional CPO. Pada periode 1970-1978 kebijakan
pemerintah cenderung mengarah pada ekspor CPO (Export
Orientation), sehingga porsi CPO yang di ekspor lebih besar. Sementara
dalam periode 1982-1990 kebijakan perdagangan internasional CPO
Indonesia lebih banyak mengunana CPO untuk industri dalam negeri
(Domestik Orientation), sehingga porsi konsumsi CPO domestik
cenderung lebih besar. Setelah tahun 2006 pemerintah mengendalikan
ekspor CPO melalui kebijakan bea keluar CPO yang progresif.
CPO Ekspor

CPO Konsumsi Domestik

1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012

100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

Gambar 3.8.

Perkembangan Pangsa Ekspor dan Konsumsi Domestik dari


Produksi CPO Indonesia

Dengan segala dinamika kebijakan perdagangan internasional


CPO Indonesia, secara keseluruhan ekspor CPO dan produk turunannya
baik secara nilai maupun volume masih menunjukkan kenaikkan setip
tahun (gambar 3.9 dan 3.10). peningkatan volume ekspor CPO dan
turunannya mengikuti peningkatan produksi CPO di dalam negeri.
Komposisi ekspor minyak sawit Indonesia juga mengalami
perubahan, khususnya dalam lima tahun terakhir (gambar 3.11). Pada
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

95

tahun 2008 sampai 2010 komposisi minyak sawit yang diekspor masih
didominasi bahan mentah (CPO) sedangkan setelah tahun 2010-2013
pangsa produk olahan CPO makin besar dalam ekspor minyak sawit
Indonesia.
Tujuan ekspor minyak sawit Indonesia terutama pada tiga
negara/kawasan yakni India, Cina, dan Uni Eropa. Sekitar 70% dari
ekspor minyak sawit Indonesia ditujukkan ke tiga kawasan tersebut
(gambar 3.12). Meskipun ada perkembangan diversifikasi tujuan ekspor ke
negara lain yang di tunjukkan makin besarnya pangsa negara lain, volume
ekspor minyak sawit ke India cenderung stabil.

25

Juta Ton

20
15
10
5

Gambar 3.9.

96

2012

2010

2008

2006

2004

2002

2000

1998

1996

1994

1992

1990

1988

1986

1984

1982

1980

Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia (ton)

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Milyar USD

0.025
0.02
0.015
0.01
0.005

Gambar 3.10.

2013

2011

2008

2006

2004

2002

2000

1998

1996

1994

1992

1990

1988

1986

1984

1982

1980

Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia

0.03
Mentah

Olahan

juta ton

0.02
0.02
0.01
0.01
0.00
2008
Gambar 3.11.

2009

2010

2011

2012

2013

Perkembangan Komposisi Ekspor Minyak Sawit Indonesia

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

97

25000
Negara Lain

India

Eropa

China

Ton

20000

15000

10000

5000

0
2008
Gambar 3. 12.

2009

2010

2011

2012

2013

Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Menurut Negara


Tujuan

3.5

Industri Hilir Minyak Sawit

3.5.1

Industri Minyak Goreng Sawit/Margarin/ Shortening.

Industri hilir minyak goreng sawit yang pertama dan tertua


dalam agribisnis minyak sawit adalah industri minyak goreng. Di
Indonesia, sebelum industri minyak goreng sawit berkembang,
industri minyak goreng kelapa sudah lebih dahulu berkembang dan
menjadi sumber utama minyak goreng di Indonesia. Dengan semakin
langkanya bahan baku kelapa/kopra di satu pihak dan makin tersedia
minyak sawit, secara bertahap sebagian besar industri minyak kelapa
beralih kepada industri minyak goreng sawit.
Menurut data tahun 2007 (Departemen Perindustrian RI, 2007)
penyebaran lokasi industri minyak goreng sawit di Indonesia terutama
berada pada enam posisi yakni Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan,
DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur (Tabel 3.15)

98

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 3.15. Lokasi dan Kapasitas Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia
Tahun 2007
Provinsi
Kapasitas Produksi
Pangsa Nasional
(ton/tahun)
Sumatera Utara
Riau
Sulawesi Selatan
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Timur
Indonesia
Sumber: BPS

3.042.828
3.274.909
1.010.613
2.333.906
2.612.080
1.985.548

19,94
21,46
6,62
15,29
17,12
19,57

15.259.884

100,00

Secara nasional, dari sekitar 15,2 juta ton kapasitas produksi


industri minyak goreng sawit di Indonesia, sekitar 21,46% berada di
Provinsi Riau, kemudian disusul Sumatera Utara dengan pangsa
19,94%. Provinsi berikutnya adalah berturut-turut Jawa Timur
(19,57%), Jawa Barat (17,12%), DKI Jakarta (15,29%) dan Sumatera
Utara (6,62%). Dengan demikian, sekitar 48% kapasitas industri minyak
goreng sawit nasional berada di sentra-sentra produksi CPO nasional
(Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan) dan sisanya (52%) berada di
sentra-sentra konsumen minyak goreng.Tampaknya, lokasi industri
minyak goreng sawit nasional tidak terlalu kuat mengikuti teori lokasi
industri Weber, yang dikenal dengan indikator Indeks Material
(Material Index).
Menurut indeks material rasio antara bahan baku dengan
produk akhir), jika indeks material lebih besar dari satu, lokasi industri
mendekat pada bahan baku. Sedangkan jika indeks material lebih kecil
dari satu, lebih mendekat pada sentra konsumen. Pada Industri minyak
goreng sawit nasional, indeks material lebih besar dari satu sehingga
menurut teori tersebut lokasi industri minyak goreng berada di sentra
produksi bahan baku yakni CPO. Pada kenyataanya hanya 48% dari
kapasitas industri yang berada di sentra produksi CPO. Sebagian besar
yakni 51% berada di sentra konsumen (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Timur).
Hal ini menunjukkan bahwa lokasi bahan baku hanyalah salah
satu faktor pertimbangan penentu lokasi industri. Faktor lain seperti
ketersediaan jaringan logistik, karakteristik permintaan minyak goreng
relatif yang terhadap karektaristik produksi bahan baku, faktor sejarah,
ikut memengaruhi lokasi Industri Secara nasional, dalam periode tahun

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

99

2002-2008, industri minyak goreng sawit mengalami perkembangan


pesat baik jumlah perusahaan, kapasitas produksi maupun produksi.
Jumlah perusahaan pelaku industri minyak goreng sawit meningkat
dari 70 unit usaha pada tahun 2002 menjadi 74 unit usaha pada tahun
2008. Kapasitas produksi juga meningkat yakni dari 8,2 juta ton per
tahun 2002 menjadi 154 juta ton per tahun 2008 atau bertumbuh ratarata sekitar 11% per tahun. Demikian juga produksi minyak goreng
sawit meningkat dari 3,7 juta ton menjadi 7,9 juta ton dalam periode
yang sama.
Dalam periode tahun 2002-2008, utilisasi kapasitas produksi industri
minyak goreng sawit masih relatif rendah yakni antara 45%-57%, namun
cenderung meningkat sekitar 2% pertahun. Hal ini menunjukkan
bahwa industri minyak goreng sawit masih mengalami kelebihan
kapasitas (over capacity) sekitar 43%-55% per tahun.
Selain minyak goreng sawit, Indonesia juga menghasilkan minyak
goreng lain yakni minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya
termasuk minyak goreng kedelai. Perkembangan produksi dan
dibandingkan dengan minyak goreng sawit diperlihatkan pada Gambar
3.13. Secara keseluruhan produksi minyak goreng nasional dalam
periode 2002-2008 bertumbuh rata-rata 13,78% per tahun, yang
disumbang pertumbuhan produksi minyak goreng sawit yang
bertumbuh 13,77% per tahun, minyak goreng kelapa (11,78%) dan
minyak goreng lainnya (minyak goreng kedelai, jagung, dan lain-lain)
yang bertumbuh 15,11% per tahun. Dari segi pangsa produksi, minyak
goreng sawit merupakan pangsa terbesar dalam produksi minyak
goreng nasional dengan pangsa sekitar 87%-90%, sedangkan pangsa
minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya masing-masing
pangsanya bergerak dari 5%-6%.
Hal yang menarik adalah pangsa produksi minyak goreng
sawit cenderung menurun, sementara pangsa minyak goreng kelapa dan
minyak goreng lainnya cenderung meningkat, meskipun ketiga minyak
goreng tersebut secara absolut masih meningkat secara bersama-sama
(gambar 3.14). Artinya, laju peningkatan produksi minyak goreng sawit
lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata laju perubahan produksi
minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainnya dalam periode
tersebut. Hal ini memberi indikasi bahwa dalam periode tersebut
industri minyak goreng kelapa dan minyak goreng lain (di luar minyak
sawit) memperoleh gairah yang lebih baik untuk produksi.
Peningkatan pangsa produksi minyak goreng di luar minyak
goreng sawit, secara ekonomi menguntungkan Indonesia, khususnya
dalam diversifikasi minyak goreng. Peningkatan produksi minyak
100

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

goreng kelapa baik secara absolut maupun relatif diharapkan dapat


menggairahkan kembali produksi kelapa di seluruh Indonesia yang
sempat mengalami stagnasi sebelumnya.

Minyak Goreng Sawit


9
8

Juta Ton

7
6
5
4
3
2
1

Gambar 3.13.

2013

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

Perkembangan Produksi Minyak Goreng Indonesia Tahun


2000-2013

Minyak Goreng Sawit 86.64%


Minyak Goreng Kelapa 5.31%
Minyak Goreng Lain 8.06

Gambar 3.14.

Rata-rata Pangsa Minyak Goreng Sawit dalam Konsumsi Minyak


Goreng Indonesia Tahun 2000-2008

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

101

Peningkatan produksi minyak goreng nasional juga disertai


dengan peningkatan konsumsi per kapita penduduk. Dalam periode
tahun 2002-2008, konsumsi minyak goreng secara komposit meningkat
dari 12,36 menjadi 16,82 kg/kapita/tahun. Demikian juga konsumsi
minyak goreng kelapa dan minyak goreng lainya masih mengalami
peningkatan, yakni dari 0,57 kg menjadi 1,01 kg/kapita (minyak goreng
kelapa) dan dari 0,79 menjadi 1,6 kg/kapita (minyak goreng lainnya).
Secara relatif pangsa konsumsi minyak goreng sawit
menduduki pangsa terbesar dalam total konsumsi minyak goreng
Indonesia, kemudian disusul minyak goreng lainnya (minyak kedelai,
minyak jagung) dan minyak goreng kelapa. Hal yang menarik adalah
pangsa konsumsi minyak kelapa cenderung meningkat.
Hal ini secara ekonomi lebih baik karena ada kecenderungan
diversifikasi dalam konsumsi minyak goreng sawit. Konsumsi minyak
goreng yang terlalu bertumpu pada satu jenis minyak goreng seperti
minyak goreng sawit mengandung risiko secara ekonomi khususnya
dari segi stabilitas harga. Selain itu, mengingat minyak sawit adalah
komoditas ekspor Indonesia, peningkatan konsumsi yang terlalu
bertumpu pada minyak goreng sawit dapat mengurangi kesempatan
Indonesia memperoleh devisa dari ekspor. Peningkatan pangsa
konsumsi minyak goreng non sawit juga diharapkan akan mendorong
peningkatan produksi bahan baku minyak goreng nonsawit khususnya
kelapa dan jagung yang potensial di Indonesia. Hal ini selain diversifikasi,
produksi bahan baku minyak nabati juga akan melestarikan plasma
nutfah kelapa dan jagung secara lintas generasi.
Secara nasional, konsumsi minyak goreng sawit sebagian besar
dikonsumsi masyarakat dalam bentuk minyak goreng, yakni mencapai
80%. Sisanya, yakni 20% dalam bentuk kemasan (bermerek). Selain
karena harga minyak goreng curah lebih murah (20%-30% di bawah harga
minyak goreng kemasan). Masyarakat Indonesia tampaknya belum
banyak menuntut atribut produk yang lebih rinci (brand minded)
sebagaimana diperoleh dari minyak goreng kemasan.
Meskipun pangsa pasar minyak goreng bermerek hanya sekitar
20%, telah cukup banyak produk minyak goreng di pasar. Beberapa di
antaranya adalah Bimoli, Filma, Tropical, Fortune, Sania, Kunci Mas,
Madina, Rolebrand, Delima, Sunco, Avena, Sarimurni. Hal ini berarti,
pada segmen pasar minyak goreng bermerek cenderung terjadi
persaingan monopolistik (monopolistic competition) yang sangat intensif.
Sebagaimana struktur pasar persaingan monopolistik, persaingan yang
terjadi bukanlah pada tingkat harga melainkan pada variabel di luar
harga (non price competition) seperti promosi/iklan. Beberapa minyak
102

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

goreng sawit bermerek mempromosikan diri sebagai minyak goreng


nonkolesterol. Padahal semua minyak goreng yang bahan bakunya dari
tumbuh-tumbuhan, tidak mengandung kolesterol.
Mengingat masih terbatasnya pangsa minyak goreng bermerek
di Indonesia, serta tingginya persaingan pada segmen ini, sebagian
produsen minyak goreng sawit menyiasati dengan menghasilkan
keduanya yakni minyak goreng curah dan bermerek. Sekitar 32%
produsen minyak goreng yang ada menghasilkan minyak goreng
bermerek sekaligus minyak goreng curah. Dengan cara ini, produsen
dapat memanfaatkan pasar minyak goreng curah (umumnya konsumen
kelas berpendapatan menengah ke bawah) dan pasar minyak goreng
bermerek (konsumen kelas berpendapatan menengah ke atas).
Perbedaan harga antara minyak goreng curah dengan minyak
goreng bermerek tampaknya menarik beberapa supermarket/hypermart
untuk membuat minyak goreng kemasan semi bermerek dan dipasarkan
dengan tingkat harga antara minyak goreng bermerek dengan minyak
goreng curah. Segmen pasar yang dibidik minyak goreng semi bermerek
ini adalah konsumen bagian atas kelas berpendapatan rendah, dan bagian
bawah kelas berpendapatan tinggi atau lazim disebut konsumen kelas
menengah.
Secara keseluruhan, dibandingkan dengan volume produksi
minyak goreng yang dihasilkan daya serap pasar domestik yakni
konsumsi minyak goreng masih terbatas. Akibatnya sebagian besar
produksi minyak goreng nasional ditujukan untuk ekspor. Produksi total
minyak goreng Indonesia selama periode tahun 2002- 2008 cenderung
dan makin mengarah pada ekspor. Pada tahun 2002 sekitar 61%
produksi minyak goreng nasional masih dipasarkan di dalam negeri
(konsumsi domestik), setelah tahun tersebut sampai tahun 2008 pangsa
untuk pasar ekspor meningkat. Pada tahun 2008, sebagian besar (57%)
produksi minyak goreng nasional ditujukan untuk ekspor.
Untuk minyak goreng sawit dan kelapa, kecenderungannya
sama. Pangsa ekspor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
sedemikian rupa sehingga terjadi pembalikan yakni dari pasar
domestik menjadi pasar ekspor (gambar 3.15). Pangsa ekspor minyak
goreng sawit meningkat dari sekitar 38% tahun 2002 menjadi sekitar
59% pada tahun 2008. Bahkan minyak goreng kelapa dalam periode
tahun 2002-2008 secara konsisten sebagian besar ditujukan untuk ekspor.
Berbeda dengan produksi minyak goreng sawit dan kelapa,
minyak goreng lainnya dalam periode tahun 2002-2008 secara umum
sebagian besar ditujukan untuk pasar domestik. Namun terjadi
kecenderungan bahwa pangsa untuk ekspor mengalami peningkatan dan
makin berimbang dengan pangsa untuk pasar domestik.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

103

Ekspor

Konsumsi Domestik

100%

90%
80%
70%
60%

50%
40%
30%
20%

10%
0%
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Gambar 3.15.

Perkembangan Alokasi Produksi Minyak Goreng Indonesia


untuk Konsumsi Domestik dan Ekspor Tahun 2002-2013

Bila dibandingkan dengan kenaikan produksi minyak goreng di


mana secara konsisten produksi meningkat dari tahun-ke tahun,
dengan kecenderungan pangsa untuk ekspor yang meningkat tersebut,
berarti tujuan utama peningkatan produksi minyak goreng adalah
untuk meningkatkan ekspor dan bukan untuk sekedar memenuhi
kebutuhan domestik. Orientasi produksi yang demikian dimungkinkan
antara lain akibat kenaikan harga minyak goreng di pasar internasional
khususnya setelah tahun 2005.
Kecenderungan peningkatan ekspor dari produksi minyak
goreng nasional, secara ekonomi menguntungkan Indonesia. Nilai
tambah yang diperoleh melalui ekspor minyak goreng secara umum
lebih besar daripada bila mengekspor CPO. Selain itu, kecenderungan
yang demikian mencerminkan bahwa pasar ekspor lebih menarik bagi
produksi minyak goreng daripada pasar domestik.
Industri hilir minyak goreng sawit yang pertama dan tertua
dalam agribisnis minyak sawit adalah industri minyak goreng. Di
Indonesia, sebelum industri minyak goreng sawit berkembang,
industri minyak goreng kelapa sudah lebih dahulu berkembang dan
menjadi sumber utama minyak goreng di Indonesia. Dengan semakin
langkanya bahan baku kelapa/kopra di satu pihak dan makin tersedia
minyak sawit, secara bertahap sebagian besar industri minyak kelapa
beralih kepada industri minyak goreng sawit.
104

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Penyebaran lokasi industri minyak goreng sawit di Indonesia


terutama berada pada enam posisi yakni Sumatera Utara, Riau,
Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur (Gambar
3.16).

Sumatera Utara 21%


Riau 22%
Sulawesi Selatan 7%
DKI Jakarta 18%
Jawa Barat 18%
Jawa Timur 14%
Sumber: Statistika Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Gambar 3.16. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Minyak Goreng dan
Margarin di Indonesia

Secara nasional, dari sekitar 15,2 juta ton kapasitas produksi


industri minyak goreng sawit di Indonesia, sekitar 21,46% berada di
Provinsi Riau, kemudian disusul Sumatera Utara dengan pangsa
19,94%. Provinsi berikutnya adalah berturut-turut Jawa Timur
(19,57%), Jawa Barat (17,12%), DKI Jakarta (15,29%) dan Sumatera
Utara (6,62%). Dengan demikian, sekitar 48% kapasitas industri minyak
goreng sawit nasional berada di sentra-sentra produksi CPO nasional
(Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan) dan sisanya (52%) berada di
sentra-sentra konsumen minyak goreng.
Tampaknya, lokasi industri minyak goreng sawit nasional tidak
lagi terlalu mengikuti teori lokasi industri Weber, yang dikenal dengan
indikator Indeks Material (Material Index). Menurut indeks material
(rasio antara bahan baku dengan produk akhir), jika indeks material
lebih besar dari satu, lokasi industri mendekat pada bahan baku.
Sedangkan jika indeks material lebih kecil dari satu, lebih mendekat pada
sentra konsumen.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

105

Pada Industri minyak goreng sawit nasional, indeks material


lebih besar dari satu sehingga menurut teori tersebut lokasi industri
minyak goreng berada di sentra produksi bahan baku yakni CPO. Pada
kenyataanya hanya 48% dari kapasitas industri yang berada di sentra
produksi CPO. Sebagian besar yakni 51% berada di sentra konsumen
(DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur). Hal ini menunjukkan bahwa
lokasi bahan baku hanyalah salah satu faktor pertimbangan penentu
lokasi industri. Faktor lain seperti ketersediaan jaringan logistik,
karakteristik permintaan minyak goreng, faktor sejarah, ikut
mempengaruhi lokasi industri.
Margarin/shortening merupakan oleo pangan (oleo food) yang
konsumsinya makin meningkat di dalam negeri. Pada umumnya,
konsumsi margarin/shortening terjadi pada industri jasa boga (food
service industri) seperti restoran, industri roti dan lain-lain. Konsumsi
rumah tangga masih relatif kecil yakni pada masyarakat golongan
pendapatan mengengah ke atas.
Secara ekonomi produk margarin/shortening merupakan
produk yang bersifat income elastic demand yakni konsumsinya
meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat. Bila pendapatan
meningkat, konsumsi margarin meningkat lebih besar (%tase) daripada
peningkatan pendapatan itu sendiri.
Berbeda dengan industri minyak goreng, sebagian besar (74%)
kapasitas industri margarin berada di sentra konsumen. Sisanya yakni
26% berapa di sentra produksi bahan baku seperti Sumatera Utara, Riau,
Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Bahkan sekitar 50% dari kapasitas
produksi yang ada berada di DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa
lokasi industri margarin lebih berorientasi pada pusat-pusat konsumen.
3.5.2

Industri Margarin/Shortening

Margarin/ shortening merupakan oleo pangan (food oleo) yang


konsumsinya makin meningkat di dalam negeri. Pada umumnya,
konsumsi margarin/shortening terjadi pada industri jasa boga (food
service industri) seperti restoran, industri roti dan lain-lain. Konsumsi
rumah tangga masih relatif kecil yakni pada masyarakat golongan
pendapatan mengengah ke atas. Secara ekonomi produk
margarin/shortening merupakan produk yang bersifat income elastic
demand yakni konsumsinya meningkat jika pendapatan masyarakat
meningkat. Bila pendapatan meningkat, konsumsi margarin meningkat
lebih besar (%tase) daripada peningkatan pendapatan itu sendiri.

106

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 3.16. Jumlah Perusahaan, Kapasitas Produksi dan Penyebaran Industri


Margarin/Shortening di Indonesia
Daerah
Jumlah Perusahaan
Kapasitas Produksi
(unit)
(ton/tahun)
DKI Jakarta
15
459.943
Sumatera Utara
11
139.860
Jawa Timur
7
75.000
Jawa Barat
6
74.000
Riau
2
76.200
Nusa Tenggara Barat
1
15.000
Nusa Tenggara Timur
1
15.000
Kalimantan Barat
1
9.600
Sumatera Selatan
1
6.000
Jawa Tengah
1
900
Total
Sumber: BPS

46

871.502

Industri margarin/shortening di Indonesia telah memiliki sejarah


yang panjang. Pada awal perkembangannya menggunakan bahan baku
minyak kelapa namun akibat kurangnya minyak kelapa beralih pada
bahan baku minyak sawit. Penyebaran industri margarin/shortening
dan kapasitas produksi di Indonesia disajikan pada Tabel 3.16
Berbeda dengan industri minyak goreng, sebagian besar (74%)
kapasitas industri margarin berada di sentra konsumen. Sisanya yakni
26% berapa di sentra produksi bahan baku seperti Sumatera Utara, Riau,
Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Bahkan sekitar 50% dari kapasitas
produksi yang ada berada di DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa
lokasi industri margarin lebih berorientasi pada pusat-pusat konsumen.
Perkembangan produksi dan penggunaan produksi industri
margarin/shortening di Indonesia disajikan pada Tabel 5.10. Produksi
margarin cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2000 produksinya baru mencapai sekitar 338 ribu ton, meningkat
menjadi sekitar 580 ribu ton tahun 2008. Peningkatan produksi
margarin yang demikian selain tersedianya bahan baku (stearin, olein,
PKO) di Indonesia, juga dimungkinkan oleh pertumbuhan pasar
margarin/ shortening baik di dalam negeri maupun ekspor.
Hal yang menarik adalah pangsa produksi margarin yang
dipasarkan ke pasar domestik cenderung meningkat yakni dari sekitar
78% tahun 2000 menjadi 84% tahun 2008. Sementara pangsa untuk
tujuan pasar ekspor menurun dari 23% menjadi 15%. Tampaknya
pertumbuhan pasar domestik lebih mampu menyerap produksi
margarin daripada pasar ekspor.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

107

Tujuan pasar eskpor margarin Indonesia adalah Hongkong,


Srilangka, Angola, Philipina, Vietnam dan Rusia. Sekitar 50% ekspor
margarin Indonesia diserap oleh negara-negara tersebut. Sedangkan
sisanya ditujukan untuk ekspor ke negara-negara lain.
Bila dibandingkan dengan industri minyak goreng (Gambar
3.17), perkembangan industri margarin ini berbeda/bertolak-belakang.
Bila industri margarin cenderung memperbesar pangsa produksinya
untuk pasar domestik, industri minyak goreng lebih cenderung
memperbesar pasar ekspornya. Hal ini menarik untuk didalami lebih
jauh, apakah pertumbuhan konsumsi margarin sedang mulai
meningkat di Indonesia? Ataukah produk margarin Indonesia kalah
bersaing dengan produk margarin negara lain di pasar dunia?

Margarine
800
700

Ribu Ton

600
500
400
300
200

100
2013

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

Gambar 3.17. Perkembangan Produksi Margarine Indonesia Tahun 20002013

3.6

Perkembangan Industri Oleokimia


Peranan ekspor CPO dan turunannya dalam ekspor netto non
migas makin penting dan bahkan menjadi katup pengaman. Pada
tahun 2004 (Tabel 3.17), kontribusi ekspor CPO dan turunannya baru
mencapai 26 % dari net ekspor non migas dan cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Bahkan tahun 2012 dan tahun 2013 pangsa ekspor
CPO dan turunannya sudah di atas 100 %. Artinya, sektor non migas

108

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Indonesia terhindar dari defisit trade, karena adanya ekspor CPO dan
turunannya.
Peran penting dari ekspor CPO dan turunanya dalam
perekonomian makin jelas jika dilihat dalam neraca transaksi berjalan
(current account), NTB, Indonesia. Jika ekspor CPO dan produk
turunannya tidak diperhitungkan (tanpa minyak sawit) NTB Indonesia
sudah mengalami defisit sejak tahun 2008. Dan defisit NTB tersebut
mengalami peningkatan sejak tahun 2008 sampai 2013. Defisit NTB
makin membengkak pada tahun 2012 dan 2013 ketika total net ekspor
Indonesia (non migas dan migas) mengalamin defisit berturut-turut
12,7 dan 13 Milyar dollar USA, sehingga defisit NTB menjadi sekitar 45
dan 47 milyar dollar USA.
Jika ekspor CPO dan turunannya diperhitungkan (dengan
minyak sawit), NTB Indonesia sejak tahun 2004-2011 masih positif.
Defisit NTB tahun 2012 dan 2013 tidak lagi mampu di tutup oleh ekspor
CPO dan turunannya.
Dengan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa industri minyak
sawit Indonesia (meskipun masih pada fase sedang bertumbuh) telah
berperan menjadi kutub penyelamat NTB pada periode tahun 20082012.
Tabel 3.17. Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi
Berjalan Indonesia
Tahun

Tanpa Minyak sawit


($ milyar)
Net
Neraca
Ekspor Barang
Transaksi
Total
Berjalan

2004
2005
2006
2007
2008

16.12
18.35
24.11
23.67
9.11

2009
2010
2011
2012
2013

Dengan Minyak Sawit


($ milyar)
Neraca
Net Ekspor
Transaksi
Barang Total
berjalan

-0.40
-1.44
+5.28
+1.41
-13.67

20.15
22.78
29.66
32.75
22.91

3.11
2.99
10.83
10.49
0.13

17.77

-1.74

30.15

10.63

14.73
13.13
-12.68
-13.08

-11.21
-19.96
-45.37
-47.68

31.09
34.78
8.62
6.15

5.14
1.68
-24.07
-28.45

Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah)

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

109

Tabel 3.18. Produsen dan Kapastas Industri Oleokimia Nasional


(dalam 1000 ton)
No.
1

Fatty
Acid

Perusahaan

Fatty
Alcohol

Glycerol

350

24

PT Ecogreen (Medan & Batam)

45

PT Sumiasih, Bekasi

91

10

PT SOCI MAS, Medan

80

PT Flora Sawita Chemindo , Medan

50

5.1

PT Musim Mas, Medan

PT Domba Mas, Kuala Tanjung

Wilmar Group, Gresik

120

30

PT Nubika Jaya, Kisaran


PT Cisadane Raya Chemical,
Tanggerang

130

20

Total

320

100

30

60

40

4.6

90
986

490

10
141.7

Sumber: BPS

Terkonsentrasinya industri oleokimia di Sumatera Utara


mungkin berkaitan dengan sejarah kelapa sawit nasional yang dimulai
dari Sumatera Utara. Meskipun saat ini sentra utama produksi CPO
nasional (urutan pertama) adalah Riau, tampaknya industri hilir
(oleokimia) terbesar masih di Sumatera Utara.
Di masa yang akan datang, diperkirakan Riau akan menjadi
sentra utama industri hilir (oleokimia). Mengingat industri ini
merupakan industri antara, faktor ketersediaan bahan baku yakni CPO
dan PKO menjadi pertimbangan penting bagi pengusaha dalam
memilih lokasi investasi industri oleokimia.
Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar Indonesia.
Produksi oleokimia dasar di Indonesia cenderung mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun (gambar 3.18) baik fatty acid, fatty
alcohol, maupun glycerol. Pangsa fatty acid merupakan yang tertinggi
dalam produksi oleokimia Indonesia setiap tahun.

110

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

1,600

Ribu Ton

1,400
1,200
1,000
800

Fatty Alcohol

600

Glyserol

400

Fatty Acid

200
0
2006
Fatty Acid
Glyserol
Fatty Alcohol
Total

2007

742.536 736.069
99.813
109.548
137.672 161.500
980.021 1.007.117

2008

2009

2010

893.083
856.419
935.332
98.004
124.474
186.000
241.500
282.000
285.000
1.232.587 1.262.893 1.406.332

6,39
18,91
21,17
89,74

10,78
29,49
30,88
15,35

Sumber: BPS dan Apolin


Gambar 3.18. Perkembangan Produksi Oleokimia Dasar di Indonesia 20062010 (ton).

Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid. Volume dan nilai


ekspor fatty acid (gambar 3.19 dan 3.20). Indonesia juga cenderung
meningkat dari tahun ke tahun meski tengah fluktuasi pada tahun
tertentu. Negara tujan ekspor utama fatty acid Indonesia adalah Eropa,
India, dan Asia lainnya. Pangsa fatty acid ke China dan Asia lainnya
juga bertumbuh dengan pangsa yang meningkat.
800

Eropa
Amerika
Afrika
Asia Lainnya
China
India

Ribu Ton

600
400
200

0
2006
Gambar 3.19.

2007

2008

2009

2010

Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut Negara


Tujuan (Ton).
Sumber: BPS dan Apolin

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

111

Ribu Ton

700
600
500
400
300
200
100
0

Eropa
Amerika
Afrika
Asia Lainnya
China
2006

2007

2008

2009

India

2010

Grafik Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid Menurut Negara


Tujuan (US$'000)
Sumber: BPS dan Apolin
Gambar 3.20. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Acid
(US $000).

Perkembangan Volume Ekspor Glycerol. Volume dan nilai


ekspor glycerol Indonesia juga mengalami pertumbuhan dari tahun ke
tahun (gambar 3.21 dan gambar 3.22). Negara tujuan ekspor utama
glycerol adalah China, Asia, dan Amerika Serikat, dengan pangsa yang
makin besar (bertumbuh). Sedangkan negara tujuan ekspor glycerol ke
Jepang pangsanya cenderung turun.

140
Amerika Serikat

120

Australia

Ribu Ton

100

Eropa

80

Amerika
60

Afrika

40

Asia Lainnya

20

China

Jepang
2006

2007

2008

2009

2010

Sumber: BPS dan Apolin


Gambar 3.21. Perkembangan Volume Glyserol Menurut Negara Tujuan
(Ton)

112

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

juta USD

80

Australia

70

Eropa

60

Amerika

50

Afrika

40

Asia Lainnya
Korea Selatan

30

Amerika Serikat

20

China

10

Jepang

0
2006

2007

2008

2009

2010

Sumber: BPS dan Apolin


Gambar 3.22. Perkembangan Volume Ekspor Glyserol Menurut Negara
Tujuan

Perkembangan Volume Ekspor Fatty Alcohol. Volume dan


nilai ekspor fatty alcohol secara konsisten meningkat dari tahun ke
tahun (gambar 3.23 dan 3.24). Negara tujuan utama ekspor fatty alcohol
Indonesia mencakup China, Asia lain, Amerika Serikat, Afrika dan
Belanda. Pangsa ekspor fatty acid alcohol ke Belanda dan asia lainnya
bertumbuh sangat cepat.

Ribu Ton

180

160

Eropa Lainnya

140

Amerika Lainnya

120

Afrika

100

Asia Lainnya

80

Belanda

60

Singapura

40

China

20

Amerika Serikat

0
2006

2007

2008

2009

2010

Sumber: BPS dan Apolin


Gambar 3.23. Perkembangan Volume Ekspor Fatty Alcohol Menurut
Negara Tujuan (ton).

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

113

Juta USD

300

Eropa

250

Amerika Lainnya

200

Afrika

150

Asia Lainnya

Belanda

100

Singapura
50

China

2006

2007

2008

2009

Amerika Serikat

2010

Sumber: BPS dan Apolin


Gambar 3.24. Perkembangan Value Ekspor Fatty Alcohol Menurut Negara
Tujuan

Ribu Ton

Selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor oleokimia dasar


pada saat tertentu (gambar 3.25 dan 3.26), namun cenderung menurun.
Impor fatty acid dan fatty alcohol merupakan oleokimia dasar yang
banyak di impor oleh Indonesia.
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Glyserol
Fatty Alcohol
Fatty Acid

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Sumber: BPS dan Apolin


Gambar 3.25. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 2006-2011

114

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Juta USD

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Glyserol
Fatty Alcohol
Fatty Acid

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Sumber: BPS dan Apolin


Gambar 3.26. Perkembangan Volume Impor Oleokimia 2006-2011

Konsumsi oleokimia dasar di Indonesia secara konsisten


mengalami peningkatan (gambar 3.26). Konsumsi fatty alcohol
pangsanya cenderung meningkat, sementara glysecor maupun fatty
acid cenderung stabil. Peningkatan konsumsi oleokimia tersebut
mencerminkan bahwa didalam negeri telah berkembang industri
pengguna oleokimia dasar (hilirisasi oleokimia).
3.6.1

Industri Sabun/Detergen

Indonesia berada di daerah tropis memiliki gaya hidup yang


mungkin berbeda dengan masyarakat di negara beriklim
dingin/subtropis. Iklim tropis yang panas dengan kelembaban tinggi,
memerlukan gaya hidup mandi secara teratur. Hal ini memerlukan
sabun, baik sabun mandi (toilet soap), sabun cuci (wash soap) maupun
sabun detergen. Semakin besar penduduk semakin besar kebutuhan
sabun tersebut.
Gaya hidup yang demikian, telah mendorong tumbuh
berkembangnya industri sabun
di Indonesia.
Pada awal
perkembanganya, bahan baku pembuatan sabun berasal dari minyak
kelapa (untuk sabun mandi dan cuci) dan produk turunan petrokimia
(detergen). Namun belakangan akibat kelangkaan minyak kelapa dan
alasan kesehatan lingkungan (petrokimia) bahan baku beralih ke
minyak sawit yang lebih murah, sehat dan bersahabat dengan
lingkungan (biodegradable).

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

115

Tabel 3.19. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Sabun Mandi
dan Detergen di Indonesia
Daerah
Jumlah
Kapasitas Produksi (ton/tahun)
Perusahaan Sabun Mandi
Sabun
Detergen
Cuci
Sumatera Utara
6
181.800
34.500
2620
Lampung
1
16.150
DKI Jakarta
10
521.000
1.185.700
Jawa Barat
12
48.900
58.450
80.202
Banten
1
18.000
Jawa Tengah
1
15.800
750
Jawa Timur
13
117.460
29.540
2.557.000
Total
Sumber: BPS

44

925.110

122.490

2.574.794

Jumlah perusahaan dan kapasitas produksi industri sabun di


Indonesia disajikaan pada Tabel 3.19 dan gambar 3.27.
Pada umumnya lokasi industri sabun di Indonesia lebih
berorientasi pada pusat-pusat konsumen. Dari sekitar 925 ribu kapasitas
industri sabun mandi di Indonesia sekitar 88% berada di pusat-pusat
konsumen seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Hanya 22% berada di sentra produsen bahan baku yakni di
Sumatera Utara dan Lampung.

Sumatera Utara 5%
Jawa Barat 4%
Jawa Tengah 0%
DKI Jakarta 35%
Banten 0%
Jawa Timur 56%

Sumber: Kementerian Perindustrian


Gambar. 3.27. Penyebaran dan Kapasitas Produksi Sabun dan Detergen,

116

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Sabun& Detergen
1800
1600
1400
Ribu Ton

1200
1000
800
600
400
200

Gambar 3.28.

2013

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

Perkembangan Produksi Sabun dan Detergen Indonesia


Tahun 2000-2013

Hal yang relatif sama juga terjadi pada industri sabun cuci dan
detergen. Dari kapasitas industri sabun cuci sebesar 122 ribu ton, 78%
berada di sentra-sentra konsumen. Bahkan pada industri detergen,
sekitar 99 % berada di sentra-sentra konsumen terutama DKI Jakarta.
Dalam periode tahun 2000-2008, produksi sabun dan detergen
Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 3.28).
Sabun cuci meningkat dari sekitar 240 ribu ton tahun 2000 menjadi
sekitar 290 ribu ton tahun 2008. Demikian juga sabun mandi,
meningkat dari sekitar 869 ribu ton menjadi 690 ribu ton pada periode
yang sama.
Berbeda dengan sabun cuci atau detergen, orientasi pasar dari
produksi sabun mandi mengalami perubahan. Pada tahun 2000-2002,
sebagian besar produksi sabun mandi dipasarkan ke dalam negeri,
namun setelah tahun tersebut sebagian besar beralih ke pasar ekspor.
Dengan kata lain, produksi sabun mandi Indonesia makin cenderung
melihat pasar ekspor. Hal ini sedikit berbeda dengan produksi sabun
cuci di mana sebagian besar produksinya ditujukan untuk pasar
domestik. Namun, terdapat kecenderungan bahwa pangsa produksi
untuk tujuan pasar ekspor cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Sedangkan produksi detergen lebih dari 90% ditujukan untuk pasar
domestik (Gambar 3.29). Hanya relatif sedikit untuk dipasarkan ke luar
negeri (ekspor).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

117

Domestik
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
2000
Gambar 3.29.

2002

2004

Ekspor

2006

2008

Perkembangan Produksi dan Tujuan Pasar Industri Sabun


Indonesia

Negara tujuan ekspor sabun mandi Indonesia umumnya


adalah negara-negara Asia, Timur-Tengah dan Afika. Sepuluh negara
tujuan ekspor sabun mandi terbesar adalah Singapura, Malaysia, Nigeria,
Djibouti, Mesir, India, Irak, Ethiopia dan Autralia. Sementara negara
tujuan ekspor sabun cuci terbesar adalah Angola, Ethiopia, Uni Emirat
Arab, Djbouti, India dan Malaysia. Sedangkan negara tujuan ekspor
detergen Indonesia adalah terutama Jepang, Malaysia dan Singapura.
Dengandemikian,meskipunvolumeeksporsabun/detergenIndon
esia masih tergolong kecil, negara tujuan ekspor telah terdiversifikasi
sedemikian rupa sehingga tidak tergantung pada beberapa negara saja.
Dalam jangka panjang hal ini memudahkan Indonesia untuk
meningkatkan volume ekspor sabun/detergen karena sudah dikenal di
banyak negara.
Sumatera Utara 4%
Jawa Barat 4%
Riau 81%
DKI Jakarta 1%
Banten 0%

Jawa Timur 8%
Kalimantan Timur 2%

Sumber: Aprobi (2009)


Gambar 3.30. Penyebaran dan Kapasitas Pabrik Biodiesel di Indonesia,

118

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Industri biodiesel. Industri biodiesel merupakan industri hilir


minyak sawit yang masih tergolong baru di Indonesia. Industri ini
memiliki momentum untuk tumbuh-berkembang setelah harga BBM
fosil mengalami kenaikan yang signifikan di pasar dunia khususnya
setelah tahun 2003. Selain itu, keprihatinan dunia akan pemanasan
global yang terutama akibat emisi CO2 dari konsumsi BBM fosil juga
ikut merangsang tumbuhnya industri biofuel di seluruh dunia termasuk
di Indonesia.
Biodiesel
2500

Ribu Ton

2000
1500
1000
500

0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Gambar 3.31.

Perkembangan Produksi Biodiesel Indonesia Tahun 2000-2013

Perkembangan Produksi Biodiesel dan Penggunaannya di


6000
Indonesia

Ribu kl

5000
4000
3000

Konsumsi

2000

Ekspor

1000

Produksi

0
2009

Gambar 3.32.

2010

2011

2012

2013

Perkembangan Produksi Biodiesel dan


Indonesia

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

Penggunaanya di

119

Tabel 3.20.
No.

Produsen dan Kapasitas Industri Biodiesel di Indonesia


Nama Perusahaan

Lokasi

Kapasitas
(ton/tahun)

PT Alia Mada Perkasa

11000

PT Anugrah Inti Gemanusa

Kosambi,
Tangerang
Gresik

2
3

PT Bioenergi Pratama Jaya

Kab. Kutai Timur

6000

PT Cemerlang Energi Perkasa

5
6

PT Damai Sejahtera Sentosa


Cooking
PT Darmex Biofuel

PT Energi Alternatif

8
9

PT Eternal Buana Chemical


Industries
PT Eterindo Nusa Graha

10

40000

Kab. Berau

60000

Dumai, Riau

400000

Rungkut, Surabaya

120000

Bekasi

150000

Jakarta Utara

7000

Cikupa, Tangerang

40000

Gresik

40000

PT Indo Biofuels Energi

Merak

60000

11

PT Multikimia Intipelangi

Bekasi

14000

12

Musim Mas Group

Kab. Deli Serdang

70000

13
14
15
16
17
18
19
20

PT Pasadena Biofuels Mandiri


PT Pelita Agung Agrindustri
PT Petro Andalan Nusantara
PT Primanusa Palma Energi
PT Sintong Abadi
PT Sumi Asih
PT Wahana Abdi Tritatehnika Sejati
PT Wilmar Bio Energi Indonesia
TOTAL

Batam
Ciakarang
Bengkalis, Riau
Dumai, Riau
Jakarta Utara
Kab. Asahan
Bekasi
Cileungsi, Bogor
Dumai, Riau

350000
10240
200000
150000
24000
35000
100000
132200
1050000
3069440

Sumber: BPS

Menurut data Asosiasi Produsen Biodisel Indonesia (2009)


kapasitas industri biodiesel Indonesia sudah mencapai sekitar 3 juta ton
per tahun (gambar 3.30 dan tabel 3.20). Industri ini terbesar di Sumatera
Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur dan
Kalimantan Timur. Dengan kapasitas yang demikian, industri biodiesel
nasional sudah mampu memasok setidak-tidaknya 3 juta ton biodiesel
untuk kebutuhan dalam negeri. Realisasi produksi biodiesel Indonesia
sejauh ini belum diperoleh data yang akurat.
Dengan Indonesia sebagai produksi CPO terbesar di dunia,
sebenarnya Indonesia juga akan mampu menjadi produsen biofuel
terbesar dunia. Dari produksi perkebunan kelapa sawit saja, Indonesia
dapat menghasilkan biopremium, biogasolin, biopertamax dan biosolar
120

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

jika serius mengembangkanya. Produk biofuel tersebut selain dapat


diperbaharui (renewable energi) juga ramah lingkungan (environment
friendly).
Masalah utama pengembangan biofuel di Indonesia adalah
political will dan konsistensi kebiakan energi nasional, dan bukan masalah
teknologi apalagi bahan baku. Seharusnya subsidi BBM fosil sesegera
mungkin dicabut dan dialihkan untuk subsidi biofuel (untuk sementara)
dan dalam jangka waktu tertentu dicabut secara bertahap, sehingga
konsumen memiliki waktu untuk menyesuaikan diri.
Tabel 3.21. Perkembangan Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir di dalam
Negeri
Kebutuhan CPO untuk Industri (Ton)
Tahun

3.7

Minyak
Goreng

Oleokimia

Margarine

Sabun

Biodiesel

Total

2000

1,691,099

587,554

33,805

236,167

2,548,625

2001

2,214,000

595,279

36,469

250,360

3,096,108

2002

2,391,120

592,351

39,703

250,946

3,274,120

2003

2,510679

596,758

41,688

251,699

3,400,824

2004

2,887,277

643,709

42,939

251,872

3,825797

2005

3,494,472

761,378

49,657

253,132

4,558,639

2006

3,610,646

780,361

53,629

253,829

78,000

4,776,465

2007

3,843,919

799,447

53,629

258,195

324,000

5,279,190

2008

4305,190

839,420

57,919

263,359

756,000

6,221,888

2009

4,864,864

881,390

62,553

268,626

396,000

6,473,433

2010

5,545945

925,460

67,557

273,999

888,000

7,700,961

2011

6,155,999

971,733

72,962

279,479

1,890,000

9,370,173

2012

6,089,365

996,094

73,489

277,887

2,640,000

10,076,834

2013

6,468,303

1,034,277

76,943

281,002

2,640,000

10,500,524

Evolusi Kebijakan Pemerintah

Perkembangan agrobisnis minyak sawit sebagaimana


diuraikan pada bab-bab sebelumnya tidak dapat dilepaskan dari
kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, khususnya sejak
tahun 1970. Kebijakan ekonomi yang dimaksud baik kebijakan yang
secara langsung ditujukan pada agrobisnis minyak sawit maupun
kebijakan secara tidak langsung yakni dalam kerangka pengelolaan
makro ekonomi, termasuk dalam perdagangan internasional.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

121

Kebijakan pemerintah yang secara langsung ditujukan pada


agrobisnis minyak sawit antara lain kebijakan alokasi penggunaan CPO
untuk kebutuhan domestik yang disertai dengan kebijakan harga CPO
maksimum, kebijakan Perkebunan Inti Rakyat dan Perkebunan Besar
Swasta Nasional (PBSN), dan kebijakan pajak ekspor CPO dan produk
turunannya.
Meskipun pangsa pengeluaran konsumen minyak goreng di
Indonesia relatif kecil (sekitar 4% dari pengeluaran total), sehingga
konstribusinya dalam laju inflasi relatif kecil, intervensi pemerintah pada
agrobisnis minyak sawit cukup intensif agar harga minyak goreng relatif
murah di Indonesia. Hal ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut,
apakah kebijakan yang demikian masih perlu dipertahankan ke depan.
Kebijakan PIR dan PBSN. Keberhasilan Indonesia menjadi
produsen CPO terbesar dunia tahun 2006 di mana sekitar 40%
bersumber dari perkebunan rakyat, tidak datang sendiri melainkan
hasil dari (by design) kebijakan ekonomi benar dalam agrobisnis minyak
sawit. Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah kebijakan Perkebunan
Inti Rakyat (PIR) dan Pengembangan Perkebunan Besar Swasta
Nasional (PBSN), yang oleh banyak pihak diakui keberhasilannya.
Dalam kebijakan PIR, yang bertindak sebagai inti adalah
perkebunan negara (BUMN) dan perkebunan swasta. Sedangkan plasma
adalah (calon- calon) perkebunan rakyat. Tugas dan tanggung jawab
inti antara lain membangun dan memelihara kebun-kebun calon plasma,
mempersiapkan, dan membina kemampuan calon plasma sejak awal
pembangunan kebun, serta ikut memelihara dan mengelola kebun di
bawah bimbingan inti.
Mengingat peran inti sangat penting dalam keberhasilan PIR,
perlu terlebih dahulu dilakukan penyehatan dan penguatan inti,
melalui kebijakan bantuan pembiayaan (fasilitas kredit) yang dimulai
pada 7 (tujuh) BUMN/Perusahaan Besar Swasta Nasional (tahun 19691978). Kemudian dilanjutkan dengan kebijakan fasilitas kredit (modal
dengan suku bunga murah) kepada perkebunan Besar Swasta Nasional
(PBSN) I (1977-1981), dilanjutkan dengan PBSN II (1981-1986), dan
PBSN III (1986-1990).
Simultan dengan kebijakan penyehatan dan penguatan inti
tersebut, tahun 1978 dimulailah PIR pertama yang dibiayai oleh Bank
Dunia yang dikenal dengan proyek Nucleus estate and small holders
(NES), mulai dari NES I sampai NES VII. Keberhasilan NES tersebut
memberi keyakinan pada pemerintah untuk melanjutkan dan
memperluas pola PIR dengan pendanaan dalam negeri (APBN) yakni
122

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

PIR khusus dan PIR lokal pada 12 provinsi di Indonesia pada tahun
1980. Melalui serangkaian pola PIR tersebut, berkembang sekitar
231.535 ha perkebunan kelapa sawit baru yakni kebun inti (67.754 ha)
dan kebun plasma (163.781 ha). Melalui PIR inilah perkebunan rakyat
ikut dalam agrobisnis minyak sawit nasional di mana sebelum tahun
1980 pelaku agrobisnis minyak sawit hanya ada perusahaan negara dan
swasta.
Pengalaman keberhasilan pelaksanaan PIR tersebut dan
dikaitkan dengan pengembangan ekonomi daerah melalui program
transmigrasi, pemerintah mengombinasikan pola PIR dengan program
transmigrasi melalui pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans) sejak tahun
1986. Pada Pola PIR-Trans, perusahaan swasta bertindak sebagai inti
dan petani transmigrasi sebagai plasma. Kebijakan PIR-Trans ini
dilaksanakan pada 11 provinsi dan berhasil menumbuhkembangkan
perkebunan kelapa sawit baru sekitar 566 ribu hektar di mana 70%
kebun plasma dan 30% kebun inti.
Berkembangnya sentra-sentra baru perkebunan kelapa sawit
melalui PIR-Trans, tidak melupakan pengembangan PIR lokal
sebelumnya yang mengilhami PIR-Trans. Sejak Tahun 1996, PIR lokal
dikembangkan (naik kelas) baik dari segi pembiayaan maupun dari
segi kelembagaan yang dikaitkan dengan pengembangan koperasi yang
dikenal dengan PIR KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Para
Anggotanya). PIR KKPA ini dibiayai dengan subsidi kredit koperasi
melalui 74 Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada di sekitar perkebunan
kelapa sawit (swasta, negara) yang telah ada.
Melalui kebijakan PIR dengan berbagai variasi pelaksanaannya,
telah membawa perubahan revolusioner dalam agrobisnis minyak
sawit di Indonesia khususnya perkebunan kelapa sawit. Luas areal
perkebunan kelapa sawit meningkat dari hanya sekitar 294 ribu ha tahun
1980, menjadi sekitar 4 juta hektar tahun 2000 atau meningkat hampir 20
kali lipat. Hal yang lebih revolusioner lagi adalah meningkatnya
perkebunan rakyat dari hanya 6 ribu hektar menjadi 1,1 juta hektar atau
hampir 200 kali lipat dalam periode yang sama.
Melihat keberhasilan kebijakan PIR yang menghasilkan
percepatan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia,
ternyata membangun kepercayaan (trust) baru kepada agrobisnis
minyak sawit, baik investor, individu masyarakat, maupun dunia
perbankan. Hal ini tercermin dari peningkatan luas perkebunan kelapa
sawit yang cepat setelah tahun 2000 di mana tidak ada lagi fasilitas
bantuan pemerintah. Dalam waktu 10 tahun (2000-2010), perkebunan
kelapa sawit Indonesia naik dari 4,1 juta hektar menjadi sekitar 8 juta

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

123

hektar atau naik dua kali lipat. Peningkatan yang cepat terjadi pada
perkebunan rakyat yang meningkat sekitar 3 kali lipat dari 1,1 juta
hektar menjadi 3,3 juta hektar pada periode yang sama.
Pada tahun 2006 pemerintah memberikan fasilitas kredit (subsidi
bunga kredit) pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan
(Permenkeu No:117/PMK.06/2006) untuk rakyat. Namun demikian,
sebagian besar masyarakat dari percepatan luas perkebunan kelapa
sawit selama periode 2000-2010 diperkirakan dimotori oleh kepercayaan
investor baru (perusahaan, individu) dan perbankan pada agrobisnis
minyak sawit. Apalagi dalam periode tersebut harga minyak sawit dunia
makin membaik sehingga memberi keyakinan bahwa investasi di
perkebunan kelapa sawit sangat menguntungkan.
Kebijakan PIR dan PBSN di atas, dapat dikategorikan sebagai
kebijakan ekonomi yang sukses (success policies). Kebijakan tersebut
bergerak dari fase bantuan modal, kemudian naik kelas menjadi fase
subsidi modal dan kemudian menuju fase modal komersial (mandiri).
Dikatakan sebagai kebijakan sukses karena berbagai alasan.
Pertama, kebijakan tersebut berhasil (meningkatkan luas perkebunan
khususnya perkebunan rakyat sesuai dengan target/sasaran
kebijakan). Kedua, kebijakan tersebut berhasil secara bertahap
memperbesar peran dunia usaha dan makin mengurangi tanggung
jawab/beban pemerintah sehingga tidak menciptakan ketergantungan
pada bantuan pemerintah. Ketiga, kebijakan tersebut berhasil
menstimulus investasi swasta dan masyarakat sehingga dengan
investasi pemerintah yang tidak terlalu besar dikeluarkan, dapat
menarik investasi swasta/masyarakat yang jauh lebih besar (triggering
effect besar). Keempat, kebijakan tersebut mampu memenuhi
kewajibannya dalam pembangunan. Artinya, keberhasilan pemerintah
dalam memberdayakan dunia usaha, secara tidak langsung
menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam
pembangunan ekonomi seperti penciptaan kesempatan kerja,
peningkatan pendapatan dan lain-lain.
Dengan kata lain, kebijakan PIR dan PBSN yang demikian
merupakan kebijakan yang bersifat pareto improvement, yakni memberi
manfaat bagi semua pihak baik petani/perkebunan rakyat, perusahaan
perkebunan swasta dan negara (BUMN), pemerintah maupun
masyarakat secara keseluruhan. Manfaat tersebut bahkan juga
dinikmati masyarakat dunia baik melalui ketersediaan minyak nabati
yang lebih murah maupun jasa lingkungan yang dihasilkan perkebunan
kelapa sawit.

124

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Kebijakan Alokasi dan Harga Maksimum CPO Domestik. Pada


periode tahun 1973-1990, pemerintah pernah menempuh kebijakan
pengalokasian dan harga CPO domestik. Tujuan kebijakan waktu itu
adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng yang
saat ini mengalami kekurangan bahan baku dari kelapa/kopra.
Pada awalnya (1973-1978) pemerintah menetapkan harga
pembelian CPO bagi industri minyak goreng dangan harga Rp120 per
kg. Namun karena tidak efektif, melalui SKB Menteri (Menteri
Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Koperasi)
No: 275/ KPB/XII/1978, 252/M/SK/12/1978, 764/KPTS/UM/1978
tanggal 16 Desember 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan
mengharuskan penggunaan produksi CPO domestik diutamkan untuk
kebutuhan dalam negeri dan dengan harga CPO ditetapkan pemerintah
secara periodik (tiga bulan sekali) oleh Menteri Perdagangan dan
Koperasi pada waktu itu.
Dengan kebijakan pengaturan harga (harga maksimum) CPO
domestik, harga penetapan CPO berubah dari Rp120/kg (pertengahan
tahun 1978) berubah menjadi Rp198/kg sampai akhir tahun 1979.
Kemudian diubah tiga bulan sekali sampai dengan awal tahun 1991
menjadi Rp550/kg.
Selain menetapkan harga CPO domestik, pemerintah juga
mengharuskan penggunaan produksi CPO di Indonesia diutamakan
untuk kebutuhan dalam negeri, baik untuk industri minyak goreng
maupun industri lain. Kebijakan pengutamaan pasar domestik ini
bukan hanya berlaku bagi CPO tetapi juga berlaku untuk palm kernel oil
(PKO).
Dampak dari kebijakan tersebut adalah pangsa untuk ekspor
CPO mengalami penurunan dan untuk konsumsi domestik meningkat.
Bila sebelum tahun 1978 sebagian besar produksi CPO Indonesia
adalah untuk tujuan ekspor, setelah tahun 1978 berangsur-angsur
turun (Tabel 9.2). Hal yang sama juga terjadi pada PKO, pangsa untuk
ekspor
makin
menurun
dan
pangsa
untuk
konsumsi
domestikmeningkat. Dengan kata lain, untuk pertama kali dalam
sejarah agrobisnis minyak sawit Indonesia terjadi perubahan drastis
dalam orientasi pasar, yakni semula berorientasi ekspor (export
orientation) yakni sebelum tahun 1978, menjadi berorientasi pada pasar
domestik (domestik market orientation).
Dengan perubahan orientasi pasar yang demikian, berarti
Indonesia meninggalkan pasar ekspornya baik CPO maupun PKO. Hal
ini tercemin dari penurunan pangsa Indonesia dalam pasar ekspor CPO

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

125

dunia yang semula (sebelum tahun 1978) memiliki pangsa di atas 10%,
turun menjadi di bawah 10% setelah tahun 1978. Pasar ekspor yang
ditinggalkan Indonesia ini kemudian diambil alih Malaysia yang secara
konsisten berorientasi ekspor.
Apakah kebijakan pengutamaan pasar domestik yang disertai
dengan penetapan harga maksimum berhasil? Hal ini menarik untuk
didesikasikan lebih lanjut. Bila diperhatikan, data harga CPO penetapan
pemerintah dengan harga CPO aktual di dalam negeri selama masa
periode kebijakan tersebut menunjukan hal-hal yang menarik. Pertama,
harga CPO aktual di pasar domestik pada umumnya di atas harga CPO
penetapan pemerintah (harga maksimum) baik dalam rupiah maupun
dalam dolar Amerika Serikat. Kedua, terjadi disparitas harga CPO antara
pasar domestik (aktual) dengan harga ekspor (f.o.b Belawan) yang
cukup besar apalagi dibandingkan dengan harga dunia (Rotterdam).
Disparitas harga CPO antara harga aktual di pasar domestik
dengan harga yang ditetapkan pemerintah mengindikasikan terjadinya
penyelundupan (smugling) dari pasar domestik ke luar negeri. Hal ini
dimungkinkan karena adanya intensif yang cukup besar yakni
disparitas harga CPO antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan
harga ekspor. Volume CPO yang diselundupkan keluar negeri ini
diperkirakan cukup besar sedemikian rupa, sehingga melalui
mekanisme di pasar domestik, harga aktual menjadi lebih tinggi dari
harga yang ditetapkan pemerintah.
Kemudian, disparitas harga CPO antara pasar ekspor (f.o.b.
Belawan) dengan pasar dunia (Rotterdam) yang cukup besar,
mengindikasikan bahwa kebijakan orientasi pasar domestik yang
ditempuh pemerintah waktu itu juga dimanfaatkan oleh para pedagang
perantara/pembeli CPO internasional dengan cara menekan harga
pembelian CPO dari Indonesia. Kebijakan orientasi pasar domestik
tersebut dibaca para pemain CPO dunia sebagai ketidakpastian supply
CPO dari Indonesia, sehingga direspons dengan cara menekan harga
(manage risk).
Lantas siapa yang diuntungkan dengan kebijakan tersebut?
Apakah kebijakan tersebut efektif menjaga stabilitas minyak goreng
domestik sebagaimana tujuan kebijakan? Untuk menjawab hal ini mari
kita lihat perkembangan harga minyak goreng dalam negeri dalam
kurun waktu tahun 1980-1994.
Harga minyak goreng di Indonesia mengalami fluktuasi selama
periode tahun 1980-1994. Tingkat penurunan harga minyak goreng
tertinggi terjadi tahun 1990 yakni 18%. Sedangkan kenaikan tertinggi
terjadi tahun 1983 yang mencapai 24%. Secara keseluruhan, rata-rata
126

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

kenaikan harga minyak goreng di Indonesia selama kebijakan tersebut


mencapai 6,4%, atau kurang lebih sama dengan laju inflasi selama
periode tersebut. Dengan demikian, kebijakan tersebut gagal menjaga
stabilitas minyak goreng di dalam negeri.
Tomich dan Mawardi (1995) menganalisis dampak kebijakan
tersebut selama periode tahun 1978-1987 mengungkapkan bahwa
kebijakan tersebut merugikan produsen dan konsumen. Kebijakan
tersebut menciptakan proteksi nasional sampai 9% pada perkebunan
kelapa sawit. Sementara konsumen minyak goreng membayar 6%-12% di
atas harga paritas impor minyak goreng. Selama periode 1982-1987 saja,
total kerugian konsumen mencapai Rp880 miliar dan kerugian
produsen Rp387 miliar. Selain itu, Indonesia kehilangan kesempatan
memperoleh devisa yang cukup besar dan kehilangan pasar di pasar
dunia
Kebijakan Pajak Ekspor Minyak Sawit. Sebagai bagian dari paket
deregulasi, pada waktu itu dikenal sebagai paket deregulasi Juni tahun
1991 (Pakjun 91), pemerintah mengubah kebijakan perdagangan minyak
sawit di dalam negeri. Perubahan yang dimaksud mencakup 3 aspek
yakni, (1) Penerapan pajak ekspor minyak sawit dan produk
turunannya, (2) Pengelolaan buffer-stock CPO oleh Badan Urusan
Logistik (BULOG) dan memberikan subsidi impor olein bila
diperlukan, dan (3) Melanjutkan kebijakan penggunaan 80% produksi
CPO perkebunan sawit negara (PTP) untuk kebutuhan dalam negeri
dengan harga di bawah harga pasar.
Kebijakan pasar ekspor yang ditetapkan bersifat variable, yang
tergantung pada perkembangan harga minyak sawit dan turunannya
di pasar dunia. Waktu itu ditetapkan harga dasar (HD)harga
tertinggi yang tidak dikenakan pajakdan harga ekspor (HE) yakni
harga ekspor FOB Belawan. Tingkat tarif ditetapkan dan tergantung
pada selisih HE dengan HD. Formula Pajak Ekspor (PE) untuk
persatuan volume dalam rupiah adalah PE = tarif x (HE-HD) x KURS.
Kebijakan tersebut untuk pertama sekali ditetapkan melalui SK
Menteri Keuangan No: 434/KMK 0.17/1994 tanggal 31 Agustus 1994
Formula Perhitungan PE berdasarkan SK tersebut disajikan pada Tabel
3.22.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

127

Tabel 3.22. Formula Penetapan Pajak Ekspor CPO dan Produk Turunan Berdasarkan
SK Menkeu No: 434/KMK 0.17/1994 Tanggal 31 Agustus 1994
Tingkat Harga (US$/ton)
Pajak Ekspor (%)
1. Crude Palm Oil (CPO)
*Harga Dasar 435
0%
* Harga Ekspor FOB
0%
a. 435-505
60 % (HE-HD)
b. 470-505
56 % (HE-HD)
c. 505-540
52 % (HE-HD)
d. 540-575
48% (HE-HD)
e. 575-610
44 % (HE-HD)
f. Di atas 610
40 % (HE-HD)
2. RBD Palm Oil
* Harga Dasar 460
0%
* Harga Ekspor FOB
0%
a. 460-500
60 % (HE-HD)
b.500-540
56 % (HE-HD)
c. 540-580
52 % (HE-HD)
d. 580-620
48% (HE-HD)
e. 620-660
44 % (HE-HD)
f. Di atas 660
40 % (HE-HD)
3. CRD Olein
* Harga Dasar
0%
* Harga Ekspor FOB
0%
a. 465-510
75 % (HE-HD)
b, 510-600
70 % (HE-HD)
c. 555-600
65 % (HE-HD)
d. 600-645
60 % (HE-HD)
e. 645-690
55 % (HE-HD)
f. Di atas 690
50 % (HE-HD)
4.RBS Olein
* Harga Dasar
0%
* Harga Ekspor FOB
0%
a. 500-550
75 % (HE-HD)
b. 550-600
70 % (HE-HD)
c. 600-650
65 % (HE-HD)
d. 650-700
60 % (HE-HD)
e. 700-750
55 % (HE-HD)
f. Di atas 750
50 % (HE-HD)

Harga Ekspor (HE) tersebut ditetapkan setiap bulan oleh


Menteri Keuangan baik untuk CPO, maupun produk turunanya RBD
Olein, CRD Olein, dan RBD Palm Olein. Pada bulan September 1994,
misalnya melalui SK Menteri Keuangan No: 440/MK.017/1994 tanggal 31
Agustus 1994 menetapkan HE CPO (US$ 540/ton), RBD Palm Oil (US$
591/ ton), CRD Olein (US$ 612/ton) dan RBD Olein (US$ 642/ton).
Realisasi kebijakan pajak ekspor misalnya dalam periode
September 1994 sampai dengan November 1995 (Tabel 9.6)
128

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

menunjukan bahwa pajak ekspor CPO mencapai 11,9% dari harga


ekspor CPO, atau sekitar US$ 72/ton CPO yang diekspor. Untuk RBD
Palm Oil mencapai 12.4% dari harga ekspor RBD Palm Oil atau sekitar
US$ 79/ton. Sementara untuk produk CRD olein, pajak ekspor
mencapai 15,4% atau US$ 97/ ton yang diekspor. Untuk RBD olein,
pajak ekspor mencapai 14,8% atau sekitar US$ 99/ton RBD olein yang
diekspor.
Dengan demikian, kebijakan pajak ekspor tersebut akan
menghasilkan pajak yang lebih tinggi pada produk turunan (olahan)
daripada pajak ekspor bahan mentah (CPO). Pajak ekspor RBD Olein
lebih tinggi dari CRD Olein. Demikian juga pajak ekspor CRD olein
lebih tinggi daripada RBD Palm Oil dan pajak ekspor RBD Palm Oil
lebih tinggi daripada pajak ekspor CPO.
Dengan tingkat pajak ekspor yang demikian, di mana pajak
ekspor produk turunan lebih tinggi daripada pajak ekspor bahan baku
(CPO), tidak memberi intensif untuk industrialisasi (pengolahan lebih
lanjut) di dalam negeri. Apakah kebijakan yang demikian
menguntungkan konsumen minyak goreng dalam negeri?.
Secara teoritis, kebijakan pajak ekspor yang demikian
menciptakan
distorsi
ekonomi
yang
secara
neto
mengurangi/menurunkan kesejahteraan masyarakat keseluruhan.
Kebijakan tersebut meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan
kesejahteraan
konsumen
minyak
goreng.
Namun,
mengurangi/menurunkan penerimaan devisa dan pendapatan para
usaha perkebunan kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat. Dapat
dipastikan bahwa peningkatan pendapatan pemerintah dan peningkatan
kesejahteraan konsumen minyak goreng di dalam negeri lebih kecil
dibandingkan dengan kerugian yang dialami perkebunan kelapa sawit.
Hasil Studi Larson (1996) untuk periode tersebut membuktikan
teoritis tersebut. Nilai penurunan pendapatan usaha perkebunan
kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat di dalamnya, lebih besar
daripada nilai pajak ekspor yang diterima pemerintah ditambah
dengan manfaat (consumer surplus) yang dinikmati konsumen minyak
goreng di dalam negeri. Selain itu, nilai penurunan penerimaan ekspor
akibat kebijakan tersebut jauh lebih besar dari pajak ekspor yang
diterima pemerintah.
Dengan kata lain, kebijakan pajak ekspor yang demikian secara
keseluruhan menurunkan kesejahteraan masyarakat (worse-off). Mereka
yang menikmati peningkatan manfaat (better-off) yakni pemerintah dan
konsumen, lebih kecil (dalam ukuran moneter) dibandingkan dengan
kerugian (worse-off) yang dialami para pelaku perkebunan kelapa sawit
termasuk di dalamnya perkebunan rakyat skala kecil.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

129

Selain itu, dilihat dari segi kemudahan perhitungan tarif,


kebijakan penetapan pajak ekspor yang demikian cukup rumit karena
harus terlebih dahulu menetapkan harga tertinggi (HD) tidak
dikenakan tarif untuk masing-masing produk dan menetapkan harga
ekspor. Kelemahan lainnya adalah pajak ekspor produk olahan lebih
tinggi daripada bahan baku (CPO) sehingga tidak ada intensif untuk
mengolah CPO di dalam negeri.
Dalam rangka diregulasi 7 Juli 1997, pemerintah akhirnya
mengubah kebijakan penetapan pajak ekspor CPO dan produk
turunanya. Melalui keputusan Menteri Keuangan No: 300/
KMK.01/1997 kebijakan pajak ekspor diubah menjadi pajak advalorem
yakni %tase tertentu dari nilai ekspor yang diterapkan semula berkisar
10%-12%, kemudian berubah secara periodik dan pada juli 1998 ketika
krisis ekonomi melanda Indonesia pajak ekspor mencapai 60%, lalu
diturunkan menjadi 40% sampai Juni 1999 dan menjadi 10% pada
September 1999. Sampai Februari 2001, pajak ekspor sudah tinggal 5%
dan menjadi 3% pada tahun 2002 sampai 2005.
Setelah tahun 2005, kebijakan pajak ekspor CPO dan produk
turunannya semakin intensif baik dilihat dari cakupan produk
maupun besaran tarif melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 92/
PMK-02/2005 cakupan pajak ekspor mencakup 5 jenis. Selain 4 jenis
sebelumnya, komoditi buah dan inti sawit dikenakan pajak ekspor
sebesar 3%.
Kemudian, melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 61/
PMK.001/2007 kebijakan pajak ekspor diperluas menjadi 9 jenis
produk/komoditi dengan kisaran pajak ekspor 6,5%-10%. Melalui
Peraturan Menteri Keuangan No: 72/PMKO11/2011 diperluas
menjadi 14 jenis produk dengan kisaran pajak ekspor 0%-40% (buah
dan inti sawit dikenakan pajak tertinggi yakni 40%). Perhitungan pajak
ekspor (advalorem) didasarkan pada formula: Tarif x Nilai ekspor FOB x
KURS.
KebijakanpajakeksporCPOdanprodukturunannyamakinintensif
lagi, melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 223/PMK.011/2008
tanggal 17 Desember 2008. Setidak ada tiga perubahan dari pajak
ekspor sejak tanggal 17 Desember 2008 tersebut dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya: (1) Cakupan produk yang dikenakan pajak
ekspor mencakup 15 jenis termasuk RBD Olein dalam kemasan; (2)
Besarnya pajak ekspor (advalorem) didasarkan pada kisaran harga
referensi masing-masing jenis produk, di mana semakin meningkat
harga referensi, pajak ekspor juga akan semakin meningkat (progressive
advalorem tax), dan (3) Harga Patokan Ekspor (HPE) ditetapkan secara
periodik.
130

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Harga Patokan Ekspor (HPE) adalah harga patokan yang


ditetapkan secara periodik oleh menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang perdagangan setelah berkoordinasi dengan menteri/
kepala lembaga pemerintah non kementerian/kepala badan teknis
terkait. HPE ini ditetapkan denan berpedoman pada harga rata-rata
internasional atau harga rata-rata FOB satu bulan terakhir sebelum
penetapan HPE. HPE ini merupakan dasar penghitungan/penetapan
harga ekspor dalam perhitungan bea keluar. Sedangkan harga referensi
(HR) merupakan harga rata-rata internasional komoditi/tertentu (CIF
Rotterdam, bursa Malaysia, bursa Jakarta) satu bulan sebelum
penetapan HPE. Harga referensi ini digunakan untuk menghitung tarif
bea keluar.
Kemudian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.128/
PMK.011/2011 tanggal 15 Agustus 2011, cakupan produk diperluas
menjadi 29 jenis produk dan besaran tarif didasarkan pada harga referensi
masing-masing produk. Menteri Perdagangan melalui Peraturan
Menteri Perdagangan No: 22/M-DAG/PER/8/2011 dan No: 26/MDAG/PER/8/2011 menetapkan HPE masing-masing produk berlaku 1
September-30 September 2011. Ringkasan ketiga peraturan menteri
tersebut disajikan pada.
Harga patokan ekspor dan besaran tarif tersebut akan selalu
mengalami perubahan tergantung pada perubahan harga produkproduk tersebut di pasar internasional. Tujuan kebijakan pajak ekspor
tersebut adalah untuk stabilisasi harga minyak goreng sawit dan
percepatan pengembangan industri hilir (hilirisasi) di dalam negeri.
Secara umum, kebijakan pajak ekspor tersebut telah lebih rasional
dibandingkan dengan kebijakan pajak sebelumnya. Besaran tarif untuk
produsen yang belum diolah dan produk akhir sudah dibedakan.
Pajak ekspor buah dan inti sawit lebih besar dibandingkan dengan
CPO dan CPKO. Demikian juga pajak ekspor CPO dan CPKO lebih
tinggi dibandingkan dengan produk-produk olahan lebih lanjut. Di sisi
ini, kebijakan pajak ekspor yang demikian secara teoritis dapat
mendorong hilirisasi di dalam negeri dan stabilisasi harga minyak
goreng domestik.
Berbagai studi (Susila 2004; Obado, dkk. 2009; Purba 2011)
mengungkapkan bahwa selain meningkatkan penerimaan pemerintah,
pajak ekspor dapat menurunkan harga CPO domestik, menaikkan
konsumsi CPO domestik, meningkatkan produksi minyak goreng
domestik, dan meningkatkan kesejahteraan konsumen. Namun,
berbagai studi (termasuk di atas) juga mengungkapkan bahwa
kebijakan pajak ekspor yang ditempuh pemerintah juga menurunkan

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

131

areal tanaman penghasil kelapa sawit, produksi, nilai tambah, ekspor,


pendapatan petani kebun, menurunkan penyerapan tenaga kerja, dan
produktivitas yang lebih besar.
Artinya, tambahan manfaat yang ditimbulkan kebijakan pajak
ekspor CPO dan turunannya harus dibayar dengan pengurangan
menfaat yang lebih besar dari produsen minyak sawit dan masyarakat
yang ikut dalam proses produksi minyak sawit. Pengurangan manfaat
tersebut terjadi pada daerah-daerah sentra produksi CPO yang
merupakan bagian penting dari pengembangan ekonomi daerah yang
sedang difokuskan pemerintah itu sendiri dalam era otonomi daerah.
Selain itu, kebijakan pajak ekspor yang berdampak pada
penurunan produkivitas perkebunan kelapa sawit juga perlu
diperhatikan. Dalam kondisi saat ini terutama ke depan, di mana lahan
makin terbatas seharusnya peningkatan produktivitas menjadi andalan
Indonesia untuk meningkatkan produksi CPO. Namun, dengan adanya
disinsentif (akibat kebijakan pajak ekspor) dapat mengagalkan upaya
peningkatan produktivitas tersebut. Lambatnya pertumbuhan
produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia selama ini patut
diduga karena disinsentif tersebut. Akibatnya, investasi R&D yang
dikeluarkan pemerintah juga tidak teradopsi dalam perkebunan kelapa
sawit.
Dengan catatan dampak kebijakan pajak ekspor sebagaimana
diuraikan di atas, cara penetapan pajak ekspor tersebut juga masih
memiliki beberapa kelemahan, yakni: (1) Penetapan pajak ekspor CPO
dan turunnya secara advalorem mengubah keseimbangan produsen
CPO sehingga direspons dengan penurunan produksi. Seharusnya,
kebijakan pajak ekspor yang ditempuh didasarkan pada specific tax
sehingga tidak mengubah keseimbangan produsen. (2) Penetapan HPE
dan tarif bea keluar secara periodik oleh pemerintah menimbulkan
ketidakpastian bagi pelaku agrobisnis minyak sawit seperti perencanaan
kontrak-kontrak. Hanya pelaku agrobisnis minyak sawit yang
terintegrasi secara vertikal yang tidak menghadapi ketidakpastiaan
tersebut, dan (3) Penetapan besaran tarif yang tidak mengikutsertakan
variabel perubahan (depresiasi, apresiasi) kurs rupiah dapat mengubah
beban produsen minyak sawit (CPO), tergantung pada kecenderungan
pengelolaan kurs. Apresiasi mata uang rupiah sama artinya pajak
implisit bagi eksportir sehingga bila ditambah dengan tarif nominal
yang ditetapkan pemerintah akan menambah pajak ekspor yang
menjadi beban produsen/eksportir. Artinya, dalam menentukan tarif
bea keluar, variabel depresiasi/apresiasi kurs perlu dipertimbangkan.

132

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Secara keseluruhan, harga CPO FOB dan pasar domestik cenderung


mengalami kenaikan selama periode 2000-2008. Pola pergerakan harga
CPO domestik (dalam US$) mengikuti pola harga FOB. Selain itu, harga
CPO domestik berada di bawah harga FOB dengan siparatis yang
bervariasi (5%-42) dengan rata-rata 17,5%. Disparatis harga tersebut
mencerminkan dampak dari kebijakan pajak ekspor yang ditetapkan
selama periode tersebut.
Rata-rata disparitas harga antara harga CPO FOB dengan harga
CPO domestik (17,5%) lebih tinggi dari rata-rata pajak ekspor CPO
dalam periode tahun 2000-2008 yang berkisar 1,5%-6,5%. Hal ini dapat
dimengerti karena selain pengaruh perubahan kurs, juga dipengaruhi
respons masing-masing produsen CPO berbeda-beda (tabel 3.23).
Bila diperhatikan, pangsa produksi CPO Indonesia untuk ekspor
menunjukkan peningkatan yakni dari sekitar 58% tahun 2000 menjadi
74% tahun 2008 bahkan tahun 2006 mencapai 78%. Meskipun secara
absolut meningkat, pangsa untuk konsumsi domestik dengan sendirinya
mengalami penurunan dari 41% menjadi 25%. Hal ini menunjukan
bahwa kenaikan produksi CPO Indonesia selama periode tersebut
sebagian besar ditujukan ke pasar ekspor. Meskipun pemerintah
menerapkan pajak ekspor dengan tarif yang cenderung meningkat,
produsen CPO masih lebih memilih menjual CPO ke pasar ekspor
dengan konsekuensi membayar pajak ekspor daripada menjual ke dalam
negeri. Disparitas harga ekspor dengan harga CPO domestik yang lebih
tinggi daripada tarif bea keluar tampaknya masih menguntungkan dari
sudut pandang produsen CPO.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

133

Tabel 3.23. Harga Patokan Ekspor dan Tarif Bea Keluar Produk-Produk
Agribisnis Minyak Sawit 1 September 30 September 2011.
(Permenkeu:
128/PMK.011/2011,
Pemendag:
22/M-DA6PER/8/11; Pemendag 26/M-DAG/PER/9/2011)
HPE
(US$/ton)
418
156

Tarif
(%)
40
20

HMKT
(US$/ton)
0
0

TR
(%)
40
20

TT
(%)
40
20

Crude Palm Oil (CPO)


Crude Palm Karnel Oil (CPKO)
Crude Palm Olein x
Crude Palm Strearin
Crude Palm Karnel Olein
Crude Palm Karnel Strearin
Palm Fatty Acid Destilate
(DFAD)
Hydrogenated Palm Oil
(Bulk>20kg)
Hydrogenated Karnel Oil
(Bulk>20kg)
Hydrogenated Palm Olein
(Bulk>20kg)
Hydrogenated Karnel Olein
(Bulk>20kg)
Hydrogenated Karnel Olein
(Bulk>20kg)
Hydrogenated Palm Strearin
(Bulk>20kg)

1.013
1.326
1.131
893
1.326
1.326

15
15
8
5
8
8

750
750
750
750
750
750

7.5
3
3
3
3
3

2,5
2,5
15
15
15
15

753

750

15

1.020

750

15

1.363

15

750

15

1.158

12

750

15

1.369

15

750

15

1.363

15

750

15

923

750

15

RBD Palm Olein x

1.141

750

13

RBD Palm Oil

1.120

850

10

RBD Palm Karnel Oil

1.434

10

850

10

RBD Palm Karnel Olein

1.339

10

850

10

RBD Palm Karnel Strearin

1.642

10

850

10

Nama Produk
Buah dan Karnel Kelapa Sawit x
Bungkil Kelapa Sawit

RBD Palm Sterarin

902

850

10

Hydrogenated RBD palm Olein

1.168

10

850

10

Hydrogeneted RBD Palm Oil


Hydrogeneted RBD Palm Karnel
Oil
Hydrogeneted RBD Palm Karnel
Olein
Hydrogented RBD Palm Karnel
Stearain

1.148

850

10

1.443

10

850

10

1.366

10

850

10

1.668

10

850

10

Hydrogented RBD Palm Strearin


929
3
850
2
BD Palm Oilein Dalam Kemasan
Bermerk (>20kg)(270merk)
1.141
3
1.000
2
Biodiesel dari minyak sawit
(Fatty Acid Methye Ester)
1.191
5
1.000
2
HPE= Harga Patokan Ekspor ; HMKT= Harga Minimum Kuota Tarif ; TR= Tarif
Terendah ; TT= Tarif Tertingi

134

10
6
7,5

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Lantas apakah kebijakan pajak ekspor CPO dapat dikatakan


gagal? Tergantung apa indikatornya. Jika indikatornya adalah harga
CPO domestik, jelas kebijakan pajak ekspor tersebut berhasil karena
harga CPO di pasar domestik lebih rendah (di bawah) harga ekspor
CPO. Seandainya tidak ada pajak ekspor, harga CPO domestik akan
mendekati harga ekspor atau sama dengan harga peritas ekspor. Lagi
pula, kebijakan pajak ekspor tersebut bukanlah kebijakan melarang
ekspor CPO. Namun, bila indikatornya adalah hilirisasi, perlu
penelitian lebih lanjut mengenai kebijakan tersebut.
3.8

Perkembangan Harga Energi Dunia, Pupuk dan Rasio Harga

3.8.1

Pergerakan Harga Energi Dunia, Minyak Mentah


Harga minyak mentah dunia telah mengalami peningkatan
yang drastis (Gambar 3.33) yakni dari US$ 19,48/barrel Januari 2002
menjadi US$ 110,52/barrel pada Mei 2012. Harga minyak mentah dunia
tertinggi pernah terjadi pada bulan Juni 2008 yang mencapai US$
13305/barrel.
Bila dilihat pola pergerakan harga bulanan dalam kurun waktu
Januari 2002-Mei 2012 menunjukkan bahwa harga minyak dunia
mengalami peningkatan dari bulan Januari ke Desember setiap tahun.
Harga terendah selalu terjadi pada awal kemudian meningkat terus
setiap bulan sampai akhir tahun. Pergerakan harga tertinggi setiap
tahun terjadi pada bulan Juni-Oktober setiap tahun.
Koefisien variasi (ukuran tingkat risiko) menunjukkan bahwa
tingkat risiko harga minyak mentah dunia cenderung berfluktasi.
Tingkat risiko harga minyak mentah dunia tertinggi terjadi pada tahun
2008 sebesar 30.08% dan tahun 2009 mencapai 20.23%.
Setelah tahun 2010 sampai Mei 2012, tingkat risiko pada harga
minyak mentah dunia cenderung makin kecil yakni 6.91% pada tahun
2010, 6% tahun 2011 dan 5.4% sampai dengan Mei 2012. Tingkat risiko
setelah tahun 2010 jauh lebih rendah dari tingkat risiko sebelum tahun
2010. Hal ini mengindikasikan bahwa keseimbangan pasar minyak
mentah dunia mulai tercapai (makin stabil).

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

135

Gambar 3.33.

Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Mentah Dunia


(Januari 2002=100)

Dengan demikian, dari analisis pergerakan harga minyak


mentah dunia tersebut dapat disimpulkan bahwa: Harga minyak
mentah dunia semakin meningkat dari bulan ke bulan dan dari tahun
ke tahun, Tingkat risiko yang bersumber dari perubahan harga minyak
mentah dunia cenderung semakin menurun, dan harga pada awal
tahun selalu lebih rendah dari harga pertengahan maupun akhir tahun.
Minyak Diesel. Perkembangan indeks harga diesel dunia secara
tahunan disajikan pada gambar 3.34. Harga nominal minyak diesel
dunia meskipun berfluktuasi masih menunjukkan kenaikan baik secara
bulanan atau tahunan.
Harga nominal minyak diesel mengalami peningkatan dari
bulan Januari sampai Desember dengan laju pertumbuhan yang makin
melambat dari tahun 2007 sampai Mei 2012. Laju pertumbuhan bulanan
tahun 2007 mencapai 3.2% perbulan, dan pada tahun 2011 melambat
menjadi 0.45% perbulan.
Pergerakan indeks harga tahunan cenderung meningkat dalam
periode tahun 2007-2012. Indeks harga terendah pernah terjadi pada
tahun 2009 dan kemudian meningkat lagi sampai Mei 2012. Pada tahun
2012 (sampai Mei) harga diesel dunia telah meningkat 94% diatas harga
Januari 2007.

136

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Gambar 3.34.

Pergerakan Indeks Harga Tahunan Minyak Diesel Dunia


Januari 2007- Desember 2012 (Januari 2002=100)

Bila dilihat indikator koefisien variasi (indikator tingkat risiko)


menunjukkan bahwa tingkat risiko perubahan harga minyak diesel
dunia cenderung menurun sejak Januari 2007 sampai Mei 2012. Pada
tahun 2007 tingkat risiko sebesar 15%, meningkat menjadi 26 % tahun
2008, kemudian turun menjadi 5.38% tahun 2011 dan sampai Mei 2012
tingkat risiko hanya 4%.
Bila dianalisis pergerakan harga bulanan setiap tahun
menunjukkan pola teratur (kecuali 2008). Pola yang dimaksud adalah
bahwa harga pada awal tahun cenderung lebih rendah dari harga
pertengahan dan akhir tahun. Pola ini sama dengan pola harga minyak
mentah dunia sebagaimana yang diuraikan sebelumnya.
Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa: Harga
diesel dunia semakin meningkat dari tahun ke tahun, Harga diesel di
awal tahun lebih rendah dari harga akhir tahun dan Tingkat risiko
akibat perubahan harga diesel dunia cenderung menurun.
Gas Alam Cair. Perkembangan indeks harga tahunan gas alam
cair disajikan pada gambar 3.35. Berbeda dengan energi lain harga gas
alam cair dunia mengalami fluktuasi besar dari tahun ke tahun. Dengan
kecenderungan yang menurun tingkat risiko berkisar antara 8% sampai
sekitar 30%.
Pola pergerakan indeks harga bulanan setiap tahun juga
berfluktuasi besar, pergerakan harga setiap bulan naik turun sepanjang
tahun dengan variasi yang cukup besar.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

137

Gambar 3.35.

3.8.2

Pergerakan Indeks Harga Tahunan Gas Alam Cair Dunia


(Januari 2002=100)

Pergerakan Indeks Harga Pupuk

Pupuk Urea. Perkembangan indeks harga pupuk urea dunia


disajikan pada gambar 3.36. Secara umun, harga pupuk urea dunia
mengalami kenaikan yg cepat dari rata-rata US$ 94/ton tahun 2002
menjadi US$ 430/ton tahun 2012 (sampai bulan Mei 2012).
Pergerakan harga bulanan setiap tahun cenderung mengikuti
pola yang sama (kecuali tahun 2002 dan 2008). Pola yang dimaksud
adalah harga pada awal tahun selalu lebih rendah dibandingkan
dengan pertengahan dan akhir tahun.
Dilihat dari tingkat risiko perubahan harga bulanan (koefisien
variasi) setiap tahun, tingkat risiko haga pupuk urea berfluktuasi dari
tahun ke tahun. Tingkat risiko paling tinggi terjadi pada tahun 2008
yakni mencapai 40% dan terendah terjadi pada tahun 2009 yakni
sebesar 5%. Berbeda dengan tingkat risiko energi dunia, tidak ada
tanda-tanda bahwa tingkat risiko harga pupuk urea menurun dari
tahun ke tahun. Dengan perkataan lain, risiko dari harga pupuk urea
dunia masih cukup besar dan fluktuatif.
Dari hasil analisis perkembangan harga pupuk urea dunia
menunjukkan bahwa: Harga di awal tahun cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan pertengahan dan akhir tahun, serta Tingkat
risiko akibat perubahan harga pupuk urea dunia fluktuatif dan belum
ada tanda-tanda terjadi kecenderungan penurunan tingkat risiko,
dalam kurun waktu 2002-2012.

138

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Gambar 3.36.

Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Urea Dunia Januari


2002- Desember 2012 (Januari 2002=100)

Pupuk rock pospat. Perkembangan harga pupuk Rock Pospat


(RP) secara indeks pergerakan harga tahunan disajikan pada gambar
3.37. Harga RP dunia mengalami kenaikan yang cepat yakni rata-rata
US$ 40/ton tahun 2002 menjadi US$ 140/ton tahun 2012. Harga
tertinggi yang pernah tercapai adalah pada tahun 2008 yaitu sebesar
US$ 345/ton. Tingkat risiko perubahan harga RP (koefisien variasi)
sangat fluktuatif dengan kisaran 0% sampai 42% dan belum ada
kecenderungan makin menurun.
Dilihat dari pola pergerakan harga antar bulan setiap tahun
tidak menunjukan pola yang tetap seperti pupuk urea. Harga pada
awal tahun tidak selalu lebih rendah dibandingkan harga pertengahan
dan akhir tahun.

Gambar 3.37.

Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk Rock Pospat


(Januari 2002=100)

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

139

Pupuk Triple Superpospat (TSP). perkembangan harga pupuk


TSP dunia sejka Januari 2002 sampa Mei 2012 dalam bentuk indeks
harga tahunan disajikan pada gambar 3.38.
Harga TSP dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
yakni dari US$ 131/ton Januari 2002, meningkat menjadi US$ 485/ton
Mei 2012. Harga tertinggi pernah mencapai US$ 1331/ton yakni pada
bulan Agustus 2008.
Tingkat risiko harga antar bulan juga mengalami fluktuasi dari
yang terendah tahun 2005 (0.22%) sampai tertinggi tahun 2008 (28%).
Hal ini memberi petunjuk bahwa tingkat risiko pada pasar TSP dunia
masih tinggi. Pola pergerakan antar bulan setiap tahun umumnya
konsisten dari tahun ke tahun, harga bulan Januari umumnya lebih
rendah dibandingkan pada pertengahan dan ahor tahun.

Gambar 3.38.

Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk TSP Dunia (Januari


2002=100)

Pupuk Diamonium Phosphate (DAP). Perkembangan harga


pupuk DAP dunia dalam bentuk indeks harga tahunan disajikan pada
gambar 3.39. Harga DAP dunia mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun, pada Januari 2002 masih US$ 152/ton, lalu meningkat pada
bulan Mei 2012 menjadi sekitar US$ 553/ton. Harga DAP tertinggi
pernah mencapai US$ 1200/ton pada bulan April 2008.
Tingkat risiko (koefisien variasi) dari tahun ke tahun, yakni
terendah (3,9%) tahun 2011 dan tertinggi (27,75%) tahun 2008. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat risiko harg DAP masih relatif tinggi.
Pergerakan harga bulanan (Januari-Desember) memiliki pola
yang konsisten dari tahun ke tahun. Pada awal tahun harga DAP
umumnya lebih rendah daipada harga pertengahan dan akhir tahun.
140

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Gambar 3.39.

Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk DAP Dunia (Januari


2002=100)

Pupuk Potasium Chlorida (KCL). Perkembangan harga pupuk


KCL dunia dalam bentuk indeks harga tahunan disajikan pada gambar
3.40. Perkembangan harga nominal KCL dunia meningkat dari sekitar
US$ 115/ton Januari 2002 menjadi US$ 457/ton Mei 2012. Harga
tertinggi pernah menyentuh US$ 872/ton pada bulan februari 2008.
Tingkat risiko harga KCL bervariasi setiap tahun dalam kisaran
1.41% sampa 30.05%. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi risiko
dari perubahan harga KCL dunia masih tinggi.
Pola pergerakan harga bulanan setiap tahun juga konsisten,
harga bergerak meningkat mulai Januari sampai Desember setiap
tahun. Harga KCL terendah selalu terjadi pada awal tahun dan tertingi
pada akhir tahun.

Gambar 3.40.

Pergerakan Indeks Harga Tahunan Pupuk KCL Dunia (Januari


2002=100)

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

141

Hasil analisis perkembangan harga energi dan pupuk dunia


yang diuraikan diatas, setidak-tidaknya terdapat hal-hal yang
mempunyai implikasi bagi kebijakan pengelolaan perkebunan kelapa
sawit Indonesia kedepan sebagai berikut:
1. Harga minyak mentah dan minyak diesel dunia menunjukkan
kenaikan yang konsisten sejak Januari 2002 sampai Mei 2012. Dan
tidak ada tanda-tanda yang dapat diyakini bahwa harga tersebut
akan kembali ke posisi tahun 2002.
2. Harga pupuk dunia (urea, TSP, RP, DAP, KCL) juga menunjukkan
konsistensi yang meningkat dari tahun ke tahun sejak Januari 2002Mei 2012. Dan tidak ada tanda-tanda yang meyakinkan bahwa harga
pupuk akan kembali ke posisi tahun 2002.
3. Pada umumnya, pola pergerakan harga bulanan setiap tahun baik
energi maupun pupuk konsisten. Rata-rata harga pada awal tahun
lebih rendah dari harga pertengahan dan akhir tahun.
4. Tingkat risiko perubahan harga masih fluktuatif dari tahun ke tahun.
Dan belum ada fakta-fakta bahwa tingkat risiko pasar energi dan
pupuk akan menurun meskipun pada energi dunia cenderung makin
stabil.
Keempat hal tersebut memiliki implikasi penting kedepan yakni:
1. Semua pihak yang terkait harus menyadari bahwa pengelolaan bisnis
perkebunan sudah memasuki era kemahalan (expensive ages) energi
dan pupuk serta mengandung risiko ringgi. Oleh karena itu upaya
penghematan energi dan peningkatan efektifitas pemupukan harus
menjadi bagian dari budaya korporasi.
2. Mengingat harga awal tahun selalu konsisten lebih rendah dari pada
harga pertengahan dan akhir tahun, maka untuk meminimumkan
biaya dan risiko, kontrak pembelian energi dan pupuk untuk
kebutuhan setahun sebaiknya didasarkan dengn harga Januari
(dilakukan pada awal tahun),
3.8.3

Pergerakan Harga CPO Dunia


Perkembangan harga CPO dunia dalam bentuk indeks tahunan
disajikan pada gambar 3.41. Harga CPO dunia tertinggi terjadi pada
bulan februari 2011 dengan harga US$ 1248/ton dan rata-rata tahun
2011 sebesar US$ 1076/ton.

142

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Gambar 3.41.

Pergerakan Indeks Harga Tahunan CPO Dunia (Januari


2002=100)

Pola pergerakan harga bulanan CPO dunia (gambar 3.42)


cenderung fluktuatif naum ada kecenderungan bahwa harga CPO
dunia meningkat dari bulan Januari ke bulan Desember setiap tahun.
Pada triwulan pertama harga bergerak naik, pada triwulan kedua pola
pergerakan harga membentuk parabola dengan puncak harga pada
bulan mei. Pada triwulan ketiga harga CPO cenderung turun dan
memasuki triwulan keempat (September) kembali merangkak naik.
Variasi harga bulanan (koefisien variasi) berkisar antar 3%
sampai 32%, hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko dari pergerakan
harga CPO bulanan cukup besar.

Gambar 3.42.

Pergerakan Indeks Harga Bulanan CPO Dunia (Januari


2002=100)

Bila dibandingkan pola pergerakan harga tahunan antara CPO


dengan minyak mentah dunia (gambar 3.43) menunjukkan bahwa pola
kedua minyak tersebut hampir sama.
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

143

Ketika harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan, harga


CPO dunia juga naik. Demikian senaliknya, ketika harga minyak
mentah dunia turun (tahun 2008) harga CPO dunia juga turun.
Fenomena ini menunjukkan bahwa minyak mentah dan CPO (dalam
apsar oleokimia dunia) adalah bersifat substitusi.

Gambar 3.43.

Pola Pergerakan Harga Tahunan antara Minyak Mentah (A) %


CPO (B) Dunia

Jika harga minyak mentah naik, masyarakat dunia mengurangi


penggunaan minyak mentah sebagia beralih ke CPO sehingga harga
CPO naik. Demikian sebaliknya, tentu saja hal ini hanya berlaku pada
pasar oleokimia misalnya biofuel vs petrofuel, biolubricant vs petro
lubricant, bioplastic vs petro plastic dan lainnya. Pada pasar oleofood
dunia seperti minyak goreng dan mentega hubungan substitusi
tersebut tidak berlaku. Pada pasar oleofood substitut CPO adalah
minyak nabati lainnya.
Perkembangan harga PKO dunia sejak tahun 2002 mengalami
peningkatan yang sangat signifikan (gambar 3.44). Rata-rata harga

144

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

tahun 2002 masih US$ 415/ton meningkat menjadi US$ 1649/ton tahun
2011, atau meningkat hampir 400%.
Kenaikan harga PKO tersebut dari tahun ke tahun disertai
dengan fluktuasi. Harga tahun 2005 lebih rendah dari tahun 2004 dan
harga tahun 2009 lebih rendah dari tahun 2008.

Gambar 3.44.

Pergerakan Indeks Harga Tahunan PKO Dunia (Januari


2002=100)

Gambar 3.45.

Pergerakan Indeks Harga Bulanan PKO Dunia (Januari =100)

Pola pergerakan harga PKO bulanan (gambar 3.45) umumnya


sama yakni harga cenderung meningkat dari bulan Januari sampai
Desember setiap tahun. Artinya pada triwulan pertama harga PKO
lebih rendah dari pada harga triwulan kedua, dan harga pada triwulan
ketiga juga lebih rendah dari harga pada triwulan kedua dan keempat.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia

145

BAB IV
ANALISIS PERUBAHAN DAN PROYEKSI PASAR
MINYAK NABATI GLOBAL MENUJU 2050
4.1

Proyeksi Populasi Penduduk Menuju 2050

Berdasarkan
estimasi
yang
diterbitkan
oleh
Badan
Kependudukan PBB, penduduk dunia mencapai 6.5 miliar jiwa pada
tanggal 26 Februari 2006. Kemudian pada tahun 2014, penduduk dunia
telah mencapai 7.08 milyar dan 7.153 milyar pada tahun 2015 . Dari
jumlah tersebut, sekitar 4.1 miliar diantaranya tinggal di Asia. Tujuh
dari sepuluh negara berpenduduk terbanyak di dunia berada di Asia.
Pada tahun 2050, estimasi penduduk bumi akan mencapai 9.079 milyar
(Gambar 4.1)
10,000

9,079

9,000
8,000
7,000

7,153

6,000
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000

2050

2045

2040

3035

2030

2025

2020

2015

2010

2005

2000

1995

1990

1985

1980

1975

1970

1960

1950

Gambar 4.1. Penduduk Bumi dan Proyeksi hingga tahun 2050


Berikut adalah 10 peringkat terbesar negara-negara di dunia
berdasarkan jumlah penduduk (2014 dan estimasi 2050).

146

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 4.1. Peringkat 10 jumlah penduduk terbesar dunia tahun 2014 dan 2050E
Rank
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tahun 2014

Tahun 2050E

Negara

000 Jiwa

Negara

000 Jiwa

China
India
Amerika Serikat
Indonesia
Brasil
Pakistan
Bangladesh
Nigeria
Rusia
Jepang

1,403,558
1,210,108
319,964
269,879
201,513
182,564
171,705
170,017
140,628
125,276

India
China
Amerika Serikat
Indonesia
Nigeria
Bangladesh
Pakistan
Brazil
Congo (Kinshasa)
Mexico

1,601,005
1,449,418
420,081
336,247
307,420
279,955
267,813
228,427
181,260
153,162

Dunia

7,084,547

Dunia

9,078,851

%
17.63
15.96
4.63
3.70
3.39
3.08
2.95
2.52
2.00
1.69

Sumber: UN (2012)

Data di atas menunjukan, pada tahun 2014 hampir 20%


penduduk dunia ada di China, dan menempati peringkat pertama,
sedangkan peringkat kedua adalah India dengan proporsi 17.08%.
Sedangkan Indonesia berada pada urutan keempat setelah Amerika
Serikat, dengan jumlah penduduk 269,9 juta jiwa. Pada tahun 2050,
diproyeksikan penduduk dunia akan mencapai 9.079 milyar. Peringkat
pertrama adalah negara India, dengan jumlah penduduk 1,6 milyar
jiwa (17.63%) sementara China menempati peringkat kedua yakni
sekitar 1,5 milyar (15.96%), dan Indonesia tetap berada pada peringkat
keempat dunia (setelah AS) dengan jumlah penduduk 335.25 juta jiwa
(3.7%). Disamping itu, posisi Nigeria naik dari peringkat ke-8 menjadi
peringkat ke-5, serta tumbuhnya negara-negara yang meningkat ke
peringkat yang lebih tinggi, yakni Pakistan, Congo dan Mexico (yang
sebelumnya bukan 10 peringkat terbesar).
Kondisi di atas sangat berkaitan dengan proyeksi konsumsi
minyak nabati di masa mendatang, dimana negara-negara besar
tersebut akan berdampak pada peningkatan permintaan minyak nabati,
baik yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, peningkatan
pendapatan serta peningkatan konsumsi per kapita minyak nabati.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

147

4.2

Proyeksi Ekonomi Global Menuju 2050

a. GDP bersasarkan Kawasan dan Negara


Menurut data PBB, pada tahun 2010 Gross Domestik Product
(GDP) dunia adalah 47 920 milyar USD (2010).
Dalam 23 tahun
kedepan (tahun 2033) GDP dunia tersebut akan meningkat 2 kali lipat,
dan dalam waktu yang lebih pendek, yakni 17 tahun berikutnya (2050),
GDP dunia akan meningkat 3 kali lipat menjadi 148 191 milyar USD
(untuk menghilangkan efek inflasi, data yang digunaan tersebut adalah
data constant price dengan tahun dasar 2005). Perkembangan GDP
dunia disajikan pada gambar 4.2.
50,000
45,000

160,000

World

140,000

Latin America and


Caribbean
Sub- saharan Africa

40,000

Milyar USD

30,000
25,000
20,000

100,000
80,000
60,000

15,000
40,000

Near East/ North


Africa
South Asia
East Asia
Develped Countries

20,000

United States of
America
European Union

Other Western
Europe

10,000
5,000

Dunia (Milyar USD)

120,000
35,000

Sumber: UN (2012)
Gambar 4.2. Perkembangan GDP Dunia Tahun 1980 dan Proyeksi 2050

Berdasarkan kawasan, selama kurun waktu 1980 s/d 2030, GDP


terbesar adalah Uni Eropa, yang meningkat dari 7.961 milyar USD
(1980) menjadi 19 334 USD pad atahun 2030. Sedangkan posisi kedua
terbesar adalah Amerika Serikat, dengan GDP 5 720 milyar USD (1980)
menjadi 27 700 USD pada tahun 2050. Peringkat ketiga adalah negaranegara maju (Developed Countries) dengan peningkatan dari 4 245
milyar USD menjadi 14 001 milyar USD pada kurun waktu yan sama.
Perkembangan yang begitu pesat ditunjukkan oleh Negara Asia
Timur yang akan menempati posisi teratas sejak tahun 2030 hingga
proyeksi tahun 2050. (Negara Asia Timur mencakup : China, Hong
Kong, Korea, Indonesia, Malaysia, Mongolia, Philippines, Thailand,
Brunei Darussalam dan Singapura). Pada tahun 1980, GDP kawasan

148

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Asia Timur adalah 674 milyar USD. Dengan pertumbuhan yang pesat
(8.2 % per tahun), GDP Kawasan asia Timur telah menyamai negaranegara maju pada tahun 2020, dengan GDP sebesar 11 692 milyar USD.
(Sementara GDP Negara-negara maju pada tahun yang sama adalah
9_872 milyar USD). Kemudian, tahun 2030, GDP Kawasan asia Timur
telah mencapai 21 073 milyar USD, dan sekaligus berhasil mengalahkan
GDP Amerika Serikat (19 900 milyar USD) serta Uni Eropa (19 334
milyar USD). Laju pertumbuhan GDP Asia timur jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan Amerika Serikat (2.1% per tahun) dan Uni Eropa
(2.7% per tahun).
Disamping itu, Kawasan Asia Selatan juga patut
dipertimbangkan, karena akan menempati peringkat keempat pada
tahun 2050, setelah Asia Timur, Amerika Serikat dan Uni Eropa. (Asia
Selatan meliputi : Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, Sri Lanka dan
Bhutan; dan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah India). Tahun
1980, GDP Asia Selatan baru sekitar 263 milyar USD. Tahun 2010 telah
mencapai 1 431 milyar USD (dengan laju pertumbuhan 6.5% per tahun),
tahun 2030 telah mencapai 5 331 milyar USD, dan sekaligus
mengalahkan kawasan Amerika Latin (5 066 milyar USD), kawasan
Afrika Utara (4 556 milyar USD). Tahun 2050 GDP kawasan Asia
Selatan akan mencapai 16 020 milyar USD dan menggungguli GDP
Negara-negara maju (Developed Countries) dengan GDP 14 001 milyar
USD. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan ekonomi Asia Selatan
yang cukup pesat, yakni rata-rata 6.6% per tahun, sementara
pertumbuhan ekonomi Negara-negara Maju pada kurun waktu yang
sama (2030-2050) adalah 1.1% per tahun.
Diperkirakan Indonesia akan menempati peringkat ke-11 GDP
terbesar pada tahun 2050. Perkembangan GDP beberapa negara
menuju tahun 2050 disajikan pada tabel 4.2.
Hingga tahun 2030, Amerika Serikat menempati urutan ke-1,
namun pada tahun 2050 turun menjadi peringkat kedua, digantikan
oleh China. Negara China pada tahun 1980 masih menempati posisi ke
19, namun tahun 2000 telah menempati peringkat ke-7 dan sejak tahun
2010 hingga 2030 menempati peringkat ke-2, serta berhasil menempati
peringkat ke-1 pada tahun 2050. Hal ini ditopang oleh pertumbuhan
ekonomi China yang mencapai rata-rata 10.06% per tahun (1995-2025),
dan menurun pada 2030-2050 menjadi 5.23% per tahun. Sementara
pada kurun waktu yang sama, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat
adalah 1.44% per tahun dan sedikit melambat yakni 1.26 % per tahun.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

149

Tabel 4.2. Peringkat (Ranking) GDP Negara Ekonomi Terbesar Dunia


Negara

1980

2000

2010

2015

2020

2030

2050

China

19

United States of America

India

18

13

Japan

United Kingdom

Germany

France

Brazil

10

11

11

11

11

Canada

13

10

Mexico

11

10

13

12

11

10

Indonesia
Sumber: UN (2012)

32

26

18

18

18

17

11

Negara India juga memiliki perkembangan yang pesat, dari


peringkat 18 tahun 1980 menjadi peringkat ke 13 tahun 2000, dengan
pertumbuhan ekonomi 3.58% per tahun. Tahun 2010 dan 2015
menempati peringkat ke-8, dengan pertumbuhan ekonomi yang
semakin besar, yakni 5.72% per tahun. Tahun 2020 hingga 2050 rata-rata
pertumbuhan ekonomi India meningkat menjadi 6% per tahun, dan
membawa India pada peringkat ke-3 tahun 2030 dan peringkat ke-2
pada tahun 2050.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga telah berhasil
menghantarkan Indonesia dari peringkat ke-32 tahun 1980 menjadi
peringkat ke-11 pada tahun 2050. Rata-rata pertumbuhan GDP
Indonesia tahun 2010 hingga 2030 adalah 6% per tahun, dan sedikit
melambat pada tahun 2030 ke 2050 menjadi 4.99 % per tahun. Tahun
2015 GDP Indonesia mencapai 481 000 Juta USD, dan tahun 2030
meningkat 2,2 kali lipat menjadi 1.060.000 juta USD, dan tahun 2050
akan mencapai 2.500.000 juta USD.
b. GDP per Kapitabersasarkan Kawasan dan Negara
GDP per kapita tertinggi adalah Amerika Serikat (AS), yakni 25.712
USD/kapita/tahun pada tahun 1980, naik menjadi 40.486 USD pada
tahun 2010 (gambar 4.3). Tahun 2050, diperkirakan akan mencapai 68
609 USD/kapita/tahun. Posisi kedua setelah AS adalah Eropa Barat
(Norwegia dan Switzerland). Posisi ketiga terbesar adalah kelompok
negara maju, dimana tahun 2010 rata-rata GDP per kapita adalah 25.198
USD/kapita/tahun, Tahun 2020 menjadi 30.942 USD/kapita/tahun
150

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

dan tahun 2050 mencapai 46.919 USD/kapita/tahun. Perkembangan


GDP per kapita di kawasan Asia Timur tampak cukup menarik, dimana
tahun 1990 GDP per kapita adalah 12.629 USD/kapita/tahun (kurang
lebih sama dengan Afrika Utara 12.221 USD), dan tahun 2030
meningkat pesat dan setara dengan Uni Eropa, masing-masing 32.500
dan 32.529 USD/kapita/tahun, kemudian tahun 2050 telah berhasil
mencapai 47.431 USD/kapita/tahun dan melampaui GDP Developed
Countries (46.919 USD/kapita/tahun).
80,000

Latin America and


Caribbean
Sub- saharan Africa

70,000
USD/capita

60,000
50,000

Near East/ North


Africa
South Asia

40,000

30,000
20,000

East Asia

10,000

Develoved Countries
2050

2040

2030

2020

2010

2000

1990

1980

United States of
America

Sumber: UN (2012)
Gambar 4.3. GDP per Kapita berdasarkan Kawasan 1980-2050

Pada kurun waktu 2015-2050, proyeksi rata-rata laju


pertumbuhan GDP per kapita dunia adalah 1.95 % per tahun. Benua
Asia secara keseluruhan memiliki laju pertumbuhan yang sangat pesat,
meliputi kawasan Asia Selatan meningkat 6.17% per tahun, Asia Timur
2.37 % per tahun, Asia Tengah 3.48 % per tahun. Kawasan Sub Sahara
Afrika memiliki laju pertumbuhan GDP per kapita rata-rata 4.94 % per
tahun. Jika dibandingkan dengan kawasan lainnya, kawasan Eropa
Timur meningkat dengan laju 2.09% per tahun, Eropa Barat 1.29 % per
tahun dan Uni Eropa 1.55 % per tahun. Pertumbuhan GDP per kapita
di negara maju dan Amerika Serikat masing-masing adalah 1,62% per
tahun dan 1.26 % per tahun.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

151

90,000

India

80,000

China

70,000
60,000

Indonesia

50,000

Malaysia

40,000

Singapura

30,000
Amerika
Serikat
European
Union
World

20,000
10,000
1980 1990 2000 2010 2020 2030 2040 2050
Sumber: UN (2012)
Gambar 4.4. GDP per Kapita beberapa negara terpilih 1980-2050

Beberapa negara terpilih menyajikan perkembangan GDP per


kapita, yang berhubungan dengan konsumsi di negara tersebut
(gambar 4.4). GDP per kapita tertinggi adalah Singapura, diikuti
Malaysia dan Uni Eropa serta Malaysia. Indonesia relatif masih rendah
dan kurang lebih sama dengan India. Yang menarik adalah GDP per
kapita China, yang bertumbuh pesat dari tahun 2015 hingga 2050
dengan posisi sedikit di bawah Amerika Serikat.
4.3 Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Global 2050
Tahun 2014, konsumsi minyak nabati utama dunia adalah
136.13 juta ton, yang terdiri atas minyak sawit (palm oil) 52.45 juta ton
(38.53%), minyak kedele (soybean oil) 45.01 juta ton (33.09%), minyak
repeseed (rapeseed oil) 25.30 juta ton (18.59%) dan minyak bunga
matahari (sunflower oil) 13.37 juta ton (9.82%). Dibandingkan dengan
tahun 2020, konsumsi minyak nabati utama dunia meningkat 12.49%
menjadi 153,14 juta ton. Sumber konsumsi utama minyak nabati dunia
diperoleh dari minyak sawit 39.85%, minyak kedele 32.81%, minyak
repeseed 18.01% dan minyak bunga matahari 9.34%. Perubahan
tersebut menunjukkan pangsa minyak sawit naik 1.31%, sedangkan
ketiga minyak nabati lainnya menurun.
Demikian halnya dengan
proyeki tahun 2050, estimasi konsumsi minyak nabati utama dunia
akan mencapai 334,68 juta ton, atau meningkat 2.5 kali lipat dari

152

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Ribu Ton

kondisi saat ini. Konsumsi masing-masing minyak nabati adalah


minyak sawit 171.16 juta ton (51.14%), minyak kedele 105.78 juta ton
(31.61%), minyak repeseed 38.80 juta ton (11.59%) dan minyak bunga
matahari sebesar 18.94 juta ton (9.34%) (Gambar 4.5).
Perkembangan di atas menunjukkan trend positif pada keempat
minyak nabati tersebut. Namun bila dibandingkan perubahan pangsa
masing-masing, terlihat bahwa kontribusi minyak sawit meningkat
12.61% dari 38.53% menjadi 51.14 %. Sedangkan pangsa minyak kedele
menurun 1.46%, minyak rapeseed menurun 6.99% dan minyak bunga
matahari menurun 4.16%.

180,000
160,000
140,000
120,000
100,000
80,000
60,000
40,000
20,000
0

Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia

2015
Palm Oil

2020

2025

Rapeseed Oil

2030

2035

Soybean Oil

2040

2045

2050

Sunflower Oil

Gambar 4.5. Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia 2050


Perubahan pangsa di atas dipengaruhi oleh perbedaan laju
pertumbuhan konsumsi masing-masing minyak nabati (gambar 4.6).
Tahun 2015-2030, rata-rata laju pertumbuhan konsumsi minyak
sawit adalah 3.15% per tahun, dan cenderung seamakin tinggi pada
tahun 2030-2050, yakni 3.46 % per tahun. Sedangkan rapeseed oil
cenderung melambat dari 1.34 % per tahun menjadi 1.087 % per tahun.
Demikian halnya dengan soybean oil dan sunflower oil, juga cenderung
melambat, masing-masing dari 2.58 ke 2.31 % per tahun dan dari 1.06
ke 0.90 % per tahun.
Hal ini menunjukkan pola konsumsi masyarakat dunia
cenderung semakin tinggi pada minyak sawit.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

153

Annual Growth (%)

4.000
3.000
2.000
1.000
-

Palm Oil

2015-2030

3.15122

Rapeseed
Oil
1.33668

2030-2050

3.45854

1.08714

Soybean
Oil
2.57898

Sunflower
Oil
1.06844

2.30618

.90019

Gambar 4.6. Laju pertumbuhan Konsumsi Minyak Nabati Utama Dunia

4.4 Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Global 2050


Tahun 2014, produksi minyak nabati utama dunia adalah 137,44
juta ton, yang terdiri atas minyak sawit (palm oil) 53.41 juta ton (38.91%),
minyak kedele (soybean oil) 45.12 juta ton (32.84%), minyak repeseed
(rapeseed oil) 25.28 juta ton (18.4%) dan minyak bunga matahari
(sunflower oil) 13.55 juta ton (9.9%). Dibandingkan dengan tahun 2020,
produksi minyak nabati utama dunia meningkat 12.35% menjadi 154.42
juta ton. Sumber produksi utama minyak nabati dunia adalah minyak
sawit 40.2%, minyak kedele 32.6%, minyak repeseed 17.8% dan minyak
bunga matahari 9. 4%. Perubahan tersebut menunjukkan pangsa
minyak sawit naik 1.3%, sedangkan ketiga minyak nabati lainnya
menurun.
Demikian halnya dengan proyeki tahun 2050, estimasi
produksi minyak nabati utama dunia akan mencapai 358,56 juta ton,
atau meningkat 2.6 kali lipat dari kondisi saat ini. Produksi masingmasing minyak nabati adalah minyak sawit 189.66 juta ton (52.9%),
minyak kedele 111.07 juta ton (31.0%), minyak repeseed 38.72 juta ton
(10.8%) dan minyak bunga matahari sebesar 19.11 juta ton (5.3%).
(Gambar 4.7)

154

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

200000

Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia

Ribu Ton

150000
100000

50000
0
2015
Palm Oil

2020

2025

Rapeseed Oil

2030

2035

Soybean Oil

2040

2045

2050

Sunflower Oil

Gambar 4.7. Proyeksi Produksi Minyak Nabati Utama Dunia 2050

Annual Growth (%)

Perkembangan di atas menunjukkan trend positif pada keempat


minyak nabati tersebut. Namun bila dibandingkan perubahan pangsa
masing-masing, terlihat bahwa produksi masing-masing minyak nabati
cenderung melambat pada tahun 2030-50 (Gambar 4.8).

4.000

3.000
2.000
1.000
-

Palm Oil

2015-2030

4.03719

Rapesee
d Oil
1.33283

2030-2050

3.29340

1.08508

Soybean
Oil
2.68984

Sunflowe
r Oil
1.05293

2.44710

.89054

Gambar 4.8. Laju pertumbuhan Produksi Minyak Nabati Utama Dunia

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

155

4.5

Proyeksi Biodiesel
Proyeksi Produksi Biodiesel. Hingga tahun 2020, proyeksi
FAPRI (gambar 4.9) menunjukkan perkembangan diodiesel dunia
dengan laju atau trend pertumbuhan yang positif. Hingga tahun 2020,
Eropa memegang peran penting dalam pasar biodiesel dunia, dengan
produksi sebesar 15.14 juta kilo liter atau dengan pangsa 57.17%.
Urutan kedua adalah USA, dengan pangsa 14,18%, dengan volume
produksi 3.76 juta kilo liter. Argentina memiliki pangsan produksi 13.26
%, Brazil 11.18 %. Sedangkan Asia atau Indonesia dan Malaysia
masing-masing memiliki pangsa 3.49% dan 0.72 %.
Tahun 2020, produksi biodiesel dunia adalah 26.48 juta kilo liter,
dengan laju pertumbuhan rata-rata 3.6 % per tahun.

Sumber: FAPRI (2012)


Gambar 4. 9 Produksi Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020

Proyeksi Konsumsi Biodiesel 2020. Konsumsi biodiesel tahun


2015 hungga 2020 menunjukkan trend yang positif (gambar 4.10).
Konsumsi biodiesel dunia tahun 2015 mencapai 24.7 juta kilo liter dan
tahun 2020 mencapai 27,18 juta kilo liter. (Growth 3.61% per tahun).
Pangsa konsumsi terbesar adalah Eropa (61.08%), diikuti USA dengan
pangsa 14.24 %, Argentina dan Brazil masing-masing 3.7 % dan 10.25%.
Sementara Indonesia memiliki pangsa 1.56 % dan Malaysia 0.04 %.

156

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Sumber: FAPRI (2012)


Gambar 4.10
Konsumsi Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020

Berdasarkan data produksi dan konsumsi di atas, diperoleh


gambaran ekspor biodiesel (gambar 4.11) sekitar 3 juta kilo liter pada
tahun 2015 dan 3.5 juta kilo liter pada tahun 2020. Pada tahun 2020,
dari jumlah tersebut, negara-negara pengekspor adalah Argetina
dengan pangsa 68.8% dan Indonesia juga diproyeksikan akan memiliki
pangsa ekspor biodiesel dunia sebesar 14.2 %, USA 6.2%, Brazil 5.9%
dan Malaysia 4.9%. Sedangkan negara importir biodiesel dunia antara
lain adalah Uni Eropa dengan pangsa 99,2 % dan 0.8 % oleh Negara
Jepang.

Brazil

2500

Malaysia

2000

USA

1500

Indonesia

1000

Argentina

500
0
2015

2018

2020

Sumber: FAPRI (2012)


Gambar 4.11
Ekspor Biodiesel Dunia tahun 2015, 2018 dan 2020

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

157

Sumber: FAPRI (2012)


Gambar 4.12
Harga Biodiesel tahun 2011 dan proyeksi hingga tahun 2021

Secara umum, harga biodiesel dunia akan cenderung meningkat


(gambar 4.12) dari harga FOB 1.52 US/liter tahun 2011 menjadi 1.62
US/liter pada tahun 2021.
4.6

Proyeksi Harga dan Ratio Harga

Secara umum, harga minyak nabati dunia tahun 1984-2014


mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Namun sejak tahun 2000,
terdapat kecenderungan harga cenderung meningkat. Salah satu
penyebabnya adalah meningkatnya permintaan minyak nabati dunia
dan cenderung mengeser harga semakin tinggi. Tahun 2014, harga
minyak sawit (CIF Rotterdam) adalah 578.12 US/ton, minyak kedele
(CIF Rotterdam) 657 US/ton, rapeseed oil (CIF Hamburg) 693.16
US/ton dan harga minyak bunga matahari (CIF NW Europe) 682.34
US/ton.
Data harga tersebut menunjukkan perbedaan relatif satu sama
lain, dimana minyak sawit relatif lebih murah dibandingkan ketiga
jenis lainnya, sedang harga minyak bunga matahari relatif lebih mahal.

158

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama (USD/Ton)


2500

USD/Ton

2000
1500
1000

500
1984
1987
1990
1993
1996
1999
2002
2005
2008
2011
2014
2017
2020
2023
2026
2029
2032
2035
2038
2041
2044
2047
2050

Palm Oil

Soybean Oil

Rapeseed Oil

SunFlower Oil

Gambar 4.13. Proyeksi Harga Minyak Nabati Utama Dunia 2050


Meningkatnya konsumsi per kapita, yang disertai dengan
jumlah penduduk dan pendapatan (GDP per kapita), secara bersamasama akan mempengaruhi permintaan minyak nabati, sebagaimana
tercermin dari peningkatan konsumsi pada sub bab sebelumnya.
Peningkatan permintaan minyak nabati dunia tersebut akan
mempengaruhi harga minyak nabati dunia, dimana pada tahun 2050,
diperkirakan masing-masing adalah : harga minyak sawit adalah
1950.66 US/ton, minyak kedele 2123 US/ton, rapeseed oil 2230 US/ton
dan harga minyak bunga matahari 2205 US/ton (gambar 4.13).
Proyeksi peningkatan harga (linear) pada minyak sawit rata-rata
naik 2.11 % per tahun, minyak kedele naik 1.80 % per tahun, rapeseed
oil 2.04 % per tahun dan harga minyak bunga matahari naik 2.02% per
tahun.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

159

1.8
1.7
1.6
1.5
1.4
1.3
1.2
1.1
1.0
SBO/PO

2013
1.32310

2020
1.14742

2030
1.12502

2050
1.09736

RSO/PO

1.41437

1.38389

1.38522

1.38686

SFO/PO

1.75507

1.56763

1.56520

1.56220

Gambar 4.14. Rasio Harga Minyak Nabati Utama Dunia Terhadap


Minyak Sawit
Perbandingan harga antar minyak nabati utama dunia terhadap
minyak sawit (gambar 4.14). Rasio harga minyak kedele terhadap
minyak sawit pada tahun 2013 adalah 1.32, artinya minyak kedele 1.32
kali lebih mahal dibandingkan dengan minyak sawit (atau minyak
sawit lebih murah). Dari data di atas, jelas terlihat bahwa harga minyak
sawit relatif lebih murah dibandingkan dengan harga minyak kedele,
minyak rapeseed dan minyak bunga matahari.
Pada tahun 2020, 2030, dan 2050, terlihat rasio harga semakin
menurun, menunjukkan harga minyak sawit cenderung meningkat
lebih besar dibadingkan dengan peningkatan harga pada ketiga minyak
nabati lainnya, atau dengan kata lain, harga minyak kedele, minyak
rapeseed dan minyak bunga matahari relatif bertambah murah
dibandingkan dengan minyak kedele.
Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya konsumsi dan permintaan yang lebih tinggi pada
minyak sawit dan harga minyak sawit relatif naik (faktor peningkatan
demand).

160

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

4.7

Perubahan Selera Pasar Global


Pertumbuhan nilai perdagangan komoditi minyak nabati dunia
telah mengalami peningkatan tajam dalam beberapa dekade
terakhir. Beberapa factor telah menjadi pendorong perkembangan
tersebut dengan beberapa diantaranya adalah : (i) peningkatan
kebutuhan minyak nabati yang dipicu naiknya tingkat konsumsi akibat
pertumbuhan penduduk, peningkatan taraf hidup dan perubahan pola
makan di beberapa negara berkembang seperti China dan India ; (ii)
perkembangan industri bioenergi khususnya biodiesel di seluruh
dunia, khususnya di kawasan Uni Eropa, Amerika Serikat, Brazil,
Argentina, China dan India; (iii) kenaikan harga juga dipicu beberapa
factor secara tidak langsung seperti kenaikan harga minyak bumi,
cadangan komoditi yang terbatas, kekeringan dan ulah spekulan
komoditi; dan terakhir (iv) perubahan iklim global yang dapat
berdampak luas dalam aspek geografis.
Dalam beberapa tahun terakhir muncul beberapa pelaku penting
dan kecenderungan supply and demands didominasi oleh : (i) China,
sebagai pemimpin dunia dalam hal impor minyak nabati; (ii) Indonesia,
Malaysia dan Agentina dengan porsi mencapai 75% merupakan tiga
negara utama pengekspor minyak nabat, dalam hal ini minyak sawit;
(iii) Brazil telah menjadi salah satu eksportir kedelai kedua setelah
Amerika Serikat, dimana kedelai tersebut selain sebagai bahan pangan
juga menjadi makanan ternak (pakan) dan bahan minyak kedelai ; (iv)
Argentina menjadi penguntit berikutnya dalam hal produksi dan
ekspor kedelai di dunia.
Pasar minyak nabati dunia saat ini terbagi dalam dua golongan
besar (i) bahan pangan yang mencapai 80% dari total produksi dan (ii)
pemenuhan kebutuhan industri termasuk didalamnya biodiesel. Aspek
terbesar pendorong pertumbuhan kebutuhan minyak nabati masih
pada pemenuhan kebutuhan bahan pangan meski perkembangan
kebutuhan sebagai sumber energi alternative/biofuel/bio energi
semakin penting.
Sebagian besar masyarakat dunia telah menjadikan bioenergi
sebagai kambing hitam terhadap meningkatnya harga pangan dunia.
Selain itu konversi lahan untuk produksi minyak nabati di berbagai
negara tropis dunia dianggap sebagai salah satu katalisator kerusakan
hutan. Latar belakang sebenarnya sangat beragam dan rumit, dengan
factor utama yang menjadi dampak kenaikan tersebut adalah
fluktuasi/kenaikan harga minyak bumi dan ulah nakal spekulan
komoditi pangan dalam perdagangan yang semakin mengglobal.
Secara nyata telah dengan jelas tergambar bahwa biaya dasar dari

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

161

bahan baku mempunyai peran yang relative kecil dalam penentuan


harga jual komoditi pangan di negara berkembang. Yang kemudian
lebih berpengaruh terhadap komoditi tersebut adalah isu isu lain yang
sama sekali tidak terkait dengan bahan baku komoditi sebagaimana
tersebut diatas.
Pasar minyak nabati dunia saat ini sedang mengalami
perubahan mendasar, dan akan menghadapi tantangan yang tidak
ringan dengan berbagai peluang besar yang mengiringi. Perkembangan
standar hidup di berbagai negara berkembang, perkembangan populasi
yang diikuti perubahan pola diet/asupan gizi dan ekspansi kebutuhan
bioenergi merupakan kecenderungan utama/tren yang akan
memegang peran dalam perkembangan sector komoditi ini dimasa
mendatang.
Pasar komoditi minyak nabati dunia mempunyai gambaran
yang sangat beragam, dimulai dari Cina dengan cirri impor yang
sangat besar, sampai dengan India yang mempunyai perkembangan
pasar rumah tangga yang sangat besar. Indonesia bersama dengan
Malaysia yang secara tradisional telah menjadi produsen utama minyak
nabati dunia (i.e minyak sawit), saat ini mulai mendapat tantangan
kompetitif dengan besarnya ekspansi lahan dari beberapa negara lain
seperti Thailand dan Kolombia. Amerika Serikat dan Kanada sebagai
eksportir utama minyak kedelai, saat ini telah mendapat tantangan
serius dalam menentukan pasar dengan berkembangnya sector
komoditi ini di negara Brasil maupun Argentina.
4.8

Perubahan Iklim Global

Pasar minyak nabati dunia saat ini terbagi dalam dua golongan
besar (i) bahan pangan yang mencapai 80% dari total produksi dan (ii)
pemenuhan
kebutuhan
industri.
Aspek
terbesar
pendorong pertumbuhan kebutuhan minyak nabati masih pada
pemenuhan kebutuhan bahan pangan meski perkembangan kebutuhan
sebagai sumber energi alternative/biofuel/bioenergi semakin penting.
termasuk didalamnya biodiesel. Termasuk dalam kebutuhan bionergi
tersebut adalah pemanfaatan minyak nabati seperti minyak sawit,
minyak kedelai dan minyak jarak/jatropa sebagai sumber bahan bakar
nabati (biodiesel).
Sebagian besar masyarakat dunia telah menjadikan alasan bioenergi
sebagai kambing hitam terhadap meningkatnya harga pangan dunia.
Selain itu konversi lahan untuk produksi minyak nabati di berbagai
negara tropis dunia dianggap sebagai salah satu katalisator kerusakan
162

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

hutan. Awam diketahui bahwa negara negara tropis dunia merupakan


kawasan dengan keanekaragaman hayati paling besar di dunia.
Kerusakan dan tekanan terhadap alih fungsi lahan di kawasan ini
membawa dampak yang lebih nyata. Prinsip dasar aspek keberlanjutan
dari bioenergi adalah potensinya dalam menyimpan gas rumah
kaca (carbon saving and carbon sinking) dibandingkan dengan
penggunaan bahan bakar fosil.Hal hal ini menyebabkan isu lingkungan
dan keberlanjutan dari pemanfaatan bahan bakar nabati menjadi
dipertanyakan.
Lebih lanjut latar belakang yang terjadi sebenarnya adalah sangat
beragam dan rumit. Pangsa pasar komoditi minyak nabati dan pangan
pada umumnya dipengaruhi banyak factor. Hal utama yang menjadi
dampak kenaikan tersebut adalah fluktuasi/kenaikan harga minyak
bumi dan ulah nakal spekulan komoditi pangan dan penjangnya rantai
dstribusi dalam perdagangan yang semakin mengglobal. Secara nyata
telah dengan jelas tergambar bahwa biaya dasar dari bahan baku
mempunyai peran yang relative kecil dalam penentuan harga jual
komoditi pangan di negara berkembang. Yang kemudian lebih
berpengaruh terhadap komoditi tersebut adalah isu isu lain yang sama
sekali tidak terkait dengan bahan baku komoditi sebagaimana tersebut
diatas.
Pasar minyak nabati dunia saat ini sedang mengalami perubahan
mendasar, dan akan menghadapi tantangan yang tidak ringan dengan
berbagai peluang besar yang mengiringi. Perkembangan standar hidup
di berbagai negara berkembang, perkembangan populasi yang diikuti
perubahan pola diet/asupan gizi dan ekspansi kebutuhan bioenergi
merupakan kecenderungan utama/tren yang akan memegang peran
dalam perkembangan sector komoditi ini dimasa mendatang.
Perkembangan nyata kebutuhan bioenergi global telah membawa
peningkatan perhatian terhadap jenis komoditi ini. Perhatian
berlebihan ini tidak telepas dari implikasi luas yang mungkin dapat
ditimbulkan. Beberapa perhatian tersebut antara lain emisi net gas
rumah kaca, perubahan tata guna lahan, konservasi keanekaragaman
hayati, dampak terhadap ketahanan pangan dan dampak socialekonomi masyarakat. Untuk mempertahankan bandul kesetimbangan
dari dampak negative yang mungkin ditimbulkan, berbagai hal perlu
dilakukan untuk menjamin aspek keberlanjutan dari operasi bioenergi
dari minyak nabati. Beberapa hal yang bias dilakukan antara lain :
sertifikasi, akreditasi dan traceability- yang akan membawa dampak
besar, baik positif maupun negative dalam perkembangan industri
bioenergi.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

163

4.9 Perubahan Kebijakan Pasar Minyak Nabati Global


Asia merupakan produsen sekaligus konsumen utama minyak
nabati dunia khususnya minyak sawit. Indonesia dan Malaysia, dua
produsen minyak nabati dunia menyandarkan kebijakan dalam
pengembangan minyak sawit sebagai sumber devisa negara. Dengan
perkembangan pasar minyak nabati dunia yang sangat besar,
khususnya China dan India telah menjadi importer utama.
Kebijakan bioenergi di China telah menjadi bagian dari sebuah
mekanisme untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi
minyak bumi, memperkuat modernisasi pertanian dan pengembangan
social masyarakat pedesaan dan mendorong lingkungan hidup
berkelanjutan. Sementara itu perhatian pemerintah India terhadap
ketergantungan energi telah mendorong kebijakan khusus untuk
mendukung pengembangan bioenergi khususnya bioetanol dan
biodiesel. Berseberangan dengan Indonesia dan Malaysia, India lebih
mendorong pengembangan sumber bioenergi non-pangan seperti
Jatropha (minyak jarak). Sesuai target yang ada, pada 2011-2012
diharapkan 20% kebutuhan minyak diesel di India berasal dari
tanaman ini.
Secara tradisional Indonesia telah menjadi produsen terbesar
minyak nabati dunia, khusunya minyak sawit. Berseberangan dengan
fakta tersebut, kebijakan pemerintah untuk mendorong penggunaan
bioenergi baru dimulai pada beberapa tahun terakhir. Kontribusi
penggunaan biodiesel diharapkan meningkat dari 2% pada 2010
menjadi 5% pada 2025. Meskipun penggunaan minyak nabati (i.e
minyak sawit) untuk bioenergi sedemikian penting, akan tetapi
pendorong utama kebijakan minyak sawit adalah untuk pasar domestik
dan pasar ekspor.
Malaysia saat ini merupakan eksportir utama minyak sawit dunia
dimana ada komitment kuat dari pemerintah setempat untuk
melindungi dan mengembangkan sector industri ini. Sejalan dengan
yang terjadi di Indonesia, kebijakan penggunaan biodiesel di negara ini
bukanlah kunci utama perkembangan komoditi disbanding
penggunaan sebagai bahan pangan. Luas lahan yang telah dikonversi
menjadi perkebunan sawit di Malaysia sudah sedemikian besar
sehingga pengembangan lebih lanjut menjadi lebih terbatas, khususnya
di tanah Semenanjung.
Thailand memiliki basis ekonomi yang lebih terdiferensiasi.
Meskipun sector minyak sawit sedang berkembang, dibandingkan
Malaysia dan Indonesia peran sector ini masih sangat terbatas. Sebagai
164

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

salah satu sumber bahan baku industri biodiesel, kebijakan


perdagangan minyak nabati di Thailand masih dalam taraf formulasi
kebijakan sehingga sangat sulit untuk memperkirakan perkembangan
kedepan akan seperti apa. Satu hal yang pasti adalah bahwaThailand
merupakan produsen singkong terbesar di dunia, salah satu alternative
sumber bioenergi/bioethanol lain yang sangat potensial untuk
dikembangkan.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

165

166

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

BAB V
PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM
PEREKONOMIAN INDONESIA

Perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari pertanian tanaman


telah lama dikenal memiliki multifungsi (multifunctionality of agriculture)
yakni secara ekonomi, social, dan ekologis. Berkembangnya
perkebunan kelapa sawit berarti juga menambah manfaat ekonomi
social dan ekologis bagi masyarakat.
5.1

Kontribusi Persawitan Indonesia Dalam Pertumbuhan


Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang esensial dalam


pembangunan. Pertumbuhan ekonomi baik sektoral, daerah, industri,
maupun pada tingkat perusahaan berarti pertumbuhan produksi
barang/jasa, pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan kesempatan
kerja dan pertumbuhan penggunaan input. Pertumbuhan ekonomi
merupakan syarat mutlak bagi peningkatan pendapatan, pengurangan
pengangguran dan pengentasan kemiskinan (ADB 2001, 2006).
Berapa besar dampak pertumbuhan suatu sektor terhadap
perekonomian lokal, regional maupun nasional tergantung pada
keterkaitan (linkages) dan besaran multiplier pertumbuhan sektor itu
sendiri. Pertumbuhan yang inklusif akan terjadi apabila keterkaitan
input-output suatu sektor dengan sektor lain relatif luas. Sehingga
pertumbuhan yang terjadi pada suatu sektor akan menarik
pertumbuhan sektor-sektor lainnya.
5.1.1

Keterkaitan Pertumbuhan Perkebunan Kelapa Sawit dengan


Sektor Lain

Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit mempengaruhi


pertumbuhan sektor-sektor lain baik sektor penyediaan input bagi
perkebunan kelapa sawit (backward linkages) maupun sektor-sektor yang
lebih hilir yakni sektor ekonomi yang menggunakan output
perkebunan kelapa sawit sebagai inputnya (forward linkages). Koefisien
keterkaitan ke depan dan ke belakang perkebunan kelapa sawit (Tabel
5.1).

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

167

Tabel 5.1. Keterkaitan ke Depan (Forward Linkages) dan Keterkaitan ke


Belakang (Backward Linkages) Perkebunan Kelapa Sawit
Keterkaitan

Nilai

Total Forward Linkages

1.42

Total Backward Linkages

1.51

Sumber: Statistik Indonesia ( Amzul, R., 2011).

Keterkaitan ke belakang perkebunan kelapa sawit bernilai 1.51.


Hal ini berarti bahwa setiap pertumbuhan output perkebunan kelapa
sawit (CPO) berdampak pada penggunaan output sektor lain yang
lebih besar sebagai input perkebunan kelapa sawit.
Sektor penyedia input utama dari perkebunan kelapa sawit
adalah surplus usaha tahun sebelumnya dan modal sendiri
(reinvestasi), pupuk, kimia, pestisida, tenaga kerja, sektor keuangan
dan sektor lain (Tabel 5.2).
Komponen input terbesar adalah reinvestasi surplus usaha.
Besarnya pangsa reinvestasi surplus menunjukan bahwa keuntungan
yang diperoleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar di
reinvestasikan kembali ke perkebunan kelapa sawit itu sendiri untuk
membiayai investasi baru. Data tersebut juga menjelaskan bahwa
keuntungan yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit tidak
seluruhnya keluar dari perkebunan kelapa sawit (capital-drain)
melainkan sebagian di reinvestasikan ke perkebunan kelapa sawit itu
sendiri.
Keterkaitan ke depan perkebunan kelapa sawit bernilai 1.42.
Setiap peningkatan output perkebunan kelapa sawit (CPO) akan
menghela peningkatan penggunaan CPO yang lebih besar sebagai
input sektor lain.
Sektor pengguna CPO adalah industri minyak nabati, industri
kimia, industri makan. Sekitar 80 persen output CPO diserap oleh
industri minyak nabati, industri minyak kimia khususnya oleokimia (14
persen), industri makanan (0.31 persen), perkebuan kelapa sawit itu
sendiri (4.64 persen) dan sisanya sektor lain.
Secara keseluruhan, keterkaitan ke belakang perkebunan kelapa
sawit lebih tinggi dibandingkan keterkaitan ke depan. Hal ini berarti
perkebunan kelapa sawit lebih berperan sebagai lokomotif ekonomi
yang menarik perkembangan sektor-sektor lain melalui penggunaan
outputnya sebagai input perkebuan kelapa sawit.

168

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 5.2. Sektor-Sektor Penyedia Input Perkebunan Kelapa Sawit


Sektor

Pangsa (%)

Reinvestasi surplus
Pupuk, kimia, pestisida
Tenaga kerja
Keuangan
Bibit kelapa sawit
Pertanian
Bangunan

33.94
18.43
17.31
9.85
4.64
3.56
4.07

Jasa transportasi, perdagangan,


restoran/hotel, komunikasi,dll

4.19

Mesin dan peralatan

1.38

Sektor lainnya

2.36

Total
Sumber: Tabel I-O (Statistik Indonesia, 2008)

5.1.2

100.00

Dampak Perkebunan Kelapa Sawit pada Sektor lain

Untuk melihat kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam


menciptakan output, pedapatan, nilai tambah dan kesempatan kerja
dibandingkan dengan kemampuan rata-rata sektor-sektor ekonomi,
digunakan indeks multiplier output, income, labor, dan value added (Tabel
5.3). Indeks multiplier output perkebunan kelapa sawit 1.71. Hal ini
berarti kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan
output nasional 1.7 kali dari rata-rata sektor-sektor dalam
perekonomian.
Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan
pendapatan (income generating) tercermin dari indeks multiplier income
yang bernilai 1.8. Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam
menciptakan pendapatan 1.8 kali dari rata-rata kemampuan
menciptakan pendapatan sektor-sektor ekonomi.
Dalam menciptakan nilai tambah, perkebunan kelapa sawit
mampu menciptakan nilai tambah tiga kali dari rata-rata sektor-sektor
ekonomi dalam perekonomian.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

169

Tabel 5.3. Indeks Multiplier Perkebunan Kelapa Sawit

Indeks Multiplier

Perkebunan Kelapa Sawit

Output
Income

1.71
1.79

Tenaga Kerja

2.64

Nilai Tambah
Sumber: Tabel I-O Indonesia (2008)

1.59

Dalam penciptaan kesempatan kerja (job-creation) kemampuan


perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan 2.6 kali kesempatan
kerja dalam perekonomian dibandingkan rataan kemampuan sektor
ekonomi lainnya.
Dengan demikian perkebunan kelapa sawit salah satu sektor
ekonomi nasional yang pro-output, pro-income, pro-job, dan pro-value
added.
Sektor-sektor ekonomi utama (10 besar sektor ekonomi) yang
menikmati
multiplier effect dari peningkatan permintaan akhir
perkebunan kelapa sawit (CPO) disajikan pada Tabel 5.4. Dampak
peningkatan permintaan akhir perkebunan kelapa sawit terhadap
output perekonomian (multiplier output) maupun terhadap income
(multiplier income) selain dinikmati sektor perkebunan kelapa sawit itu
sendiri, juga dinikmati sektor keuangan, sector perdagangan, restoran
dan hotel, industri kimia/pupuk/pestisida dan sektor-sektor lain.
Jika permintaan
CPO meningkat bukan hanya menarik
peningkatan output dan pendapatan pada perkebunan kelapa sawit
saja, tetapi juga meningkatkan output dan pendapatan sektor-sektor
lain seperti sektor keuangan, sektor perdagangan, restoran dan hotel,
industri kimia/pupuk/pestisida dan sektor-sektor lain.

170

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 5.4. Top Ten Sektor Ekonomi (Selain Perkebunan Kelapa Sawit) yang
Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Output, Income dan Nilai Tambah
Perkebunan Kelapa Sawit
Rank
1
2
3

5
6
7
8

Dampak Output
Keuangan

Dampak Income
Jasa lainnya

Jasa lainnya

Keuangan

Perdagangan, hotel
dan restoran

Perdagangan, hotel
dan restoran

Peternakan, kehutanan,
perikanan

Industri kimia
pupuk, dan
pestisida
Industri migas dan
tambang
Transportasi

Industri kimia,
pupuk, dan
pestisida

Jasa lainnya

Transportasi

Pertanian Pangan

Infratsruktur
Industri migas dan
tambang
Infrastruktur
pertanian

Transportasi

Infrastruktur
Industri makanan

Mesin dan
Jasa pertanian
peralatan listrik
10
Sektor Lain
Sektor Lain
Sumber: Tabel Input-Output Indonesia

5.1.3

Dampak Nilai Tambah


Jasa pertanian
Perdagangan, hotel dan
restoran

Keuangan
Perkebunan lainnya
Industri kimia, pupuk,
dan pestisida
Sektor Lain

Peran Ekspor Minyak Sawit dalam Perekonomian

Komoditas pertanian masih penyumbang terbesar dalam ekspor


non migas Indonesia. Pangsa ekspor pertanian dalam total ekspor non
migas masih cukup besar yakni 48 persen tahun 2005 dan 36 persen
tahun 2013 (Gambar 5.1). Bahkan dari ekspor sektor manufaktur non
migas, sebagian besar masih bebasis sumberdaya alam (SDA). Sekitar
20 persen (tahun 2005) dan 19 persen (tahun 2013) dari total ekspor non
migas berapa ekspor produk manukfatur sumber daya alam. Sementara
produk manukfatur berbasis non sumber daya alam pangsanya kecil
dan menurun

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

171

2005

2013
Pertanian

20%
48%

12%
20%

36%

39%

4%

21%

Tambang
Manufaktur
berbasis nonSDA
Manufaktur
berbasis SDA

Sumber: Bank Indonesia, 2013


Gambar 5.1.
Komposisi Ekspor Non Migas Indonesia Tahun 2005 dan 2013

Peranan ekspor CPO dan turunannya Dalam ekspor netto non


migas makin penting dan bahkan menjadi katup pengaman. Pada
tahun 2004 (Tabel 5.5), kontribusi ekspor CPO dan turunannya baru
mencapai 26 persen dari net ekspor non migas dan cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tahun 2012 dan tahun 2013
pangsa ekspor CPO dan turunannya sudah di atas 100 persen. Artinya,
sektor non migas Indonesia terhindar dari defisit trade, karena adanya
ekspor CPO dan turunannya.
Peran penting dari ekspor CPO dan turunanya dalam
perekonomian makin jelas jika dilihat dalam neraca transaksi berjalan
(current account), NTB, Indonesia (Tabel 5.6). Jika ekspor CPO dan
produk turunannya tidak diperhitungkan (tanpa minyak sawit) NTB
Indonesia sudah mengalami defisit sejak tahun 2008. Dan defisit NTB
tersebut mengalami peningkatan sejak tahun 2008 sampai 2013. Defisit
NTB makin membengkak pada tahun 2012 dan 2013 ketika total net
ekspor Indonesia (non migas dan migas) mengalamin defisit berturutturut 12,7 dan 13 Milyar dollar USA, sehingga defisit NTB menjadi
sekitar 45 dan 47 milyar dollar USA.
Jika ekspor CPO dan turunannya diperhitungkan (dengan
minyak sawit), NTB Indonesia sejak tahun 2004-2011 masih positif.
Defisit NTB tahun 2012 dan 2013 tidak lagi mampu di tutup oleh ekspor
CPO dan turunannya.

172

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 5.5. Perkembangan Nilai Ekspor CPO dan Turunannya Serta Pangsanya
dalam Net Ekspor Non Migas Indonesia

Tahun

Net ekspor
non migas
($ Milyar)

Ekspor
Minyak sawit
Pangsa
(%)
26.81
24.15
37.40
33.53
91.20
48.40
59.70
61.10
153.79
121.32

($ milyar)

2004
15.03
4.03
2005
18.34
4.43
2006
14.84
5.55
2007
27.08
9.08
2008
15.13
13.80
2009
25.56
12.37
2010
27.40
16.36
2011
35.43
21.65
2012
13.58
21.30
2013
15.58
19.23
Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah)
Tabel 5.6.

Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi


Berjalan Indonesia
Tanpa Minyak sawit
Dengan Minyak Sawit
($ milyar)
($ milyar)
Net
Tahun
Net
Neraca
Neraca
Ekspor
Ekspor
Transaksi
Transaksi
Barang
Barang Total
Berjalan
berjalan
Total

2004
16.12
-0.40
2005
18.35
-1.44
2006
24.11
+5.28
2007
23.67
+1.41
2008
9.11
-13.67
2009
17.77
-1.74
2010
14.73
-11.21
2011
13.13
-19.96
2012
-12.68
-45.37
2013
-13.08
-47.68
Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah)

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

20.15
22.78
29.66
32.75
22.91
30.15
31.09
34.78
8.62
6.15

3.11
2.99
10.83
10.49
0.13
10.63
5.14
1.68
-24.07
-28.45

173

Dengan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa industri minyak


sawit Indonesia (meskipun masih pada fase sedang bertumbuh) telah
berperan menjadi kutub penyelamat NTB pada periode tahun 20082012.
Selain dalam menghasilkan devisa (net ekspor) yang besar,
industri minyak sawit juga telah memberikan pendapatan bagi
pemerintah dari pungutan bea keluar (Tabel 5.7).
Tabel 5.7. Penerimaan Pemerintah dari Bea Keluar Ekspor CPO dan
Turunannya, Tahun 2007-2012

2007

Realisasi
Penerimaan
(Rp. Trilyun)
4.2

2008

13.6

17.8

2009

0.6

18.4

2010

8.9

27.3

2011

28.9

56.2

2012

23.2

79.4

Tahun

Akumulasi
(Rp. Trilyun)
4.2

Sumber : RAPBN 2013 (Kementerian Keuangan)

Sejak pemerintah merubah kebijakan perdagangan internasional


CPO dan turunannya dari semula pajak ekspor menjadi bea keluar
(export duty) tahun 2007, penerimaan pemerintah dari bea keluar
meningkat secara proposional dengan meningkatkan volume ekspor
dan harga CPO dan turunannya di pasar internasional. Secara
akumulatif sampai tahun 2012, penerimaan pemerintahan telah
berjumlah Rp. 79 triliun. Jumlah ini belum memperhitungkan
penerimaan pemerintah dari berbagai pajak (PBB, PPh, PPn) dari
industri minyak sawit yang diperkirakan cukup besar.
Dengan demikian industri minyak sawit Indonesia meskipun
masih dalam fase pertumbuhan, perannya baik dalam ekspor maupun
penerimaan pemerintah dari bea keluar sudah cukup besar.
Diperkirakan kontribusi industri minyak sawit terhadap devisa
maupun penerimaan negara akan lebih besar lagi dimasa yang akan
datang, seiring dengan makin bertumbuhnya industri minyak sawit.

174

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

5.1.4

Menyediakan Minyak Nabati yang Kompetitif Bagi Dunia :


Feeding The World

Produksi minyak sawit (CPO dan produk turunannya) yang


dihasilkan Indonesia merupakan bahan pangan (food oleo), bahan baku
industri dan bahan energi (biodiesel), yang diperlukan masyarakat
dunia. Dalam periode tahun 2000-2013, sekitar 70 persen dari total
produksi CPO Indonesia setiap tahun ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dunia dan hanya sekitar 30 persen untuk
kebutuhan masyarakat Indonesia. (Gambar 5.2)
100%
80%
60%
40%

20%
0%
2000

2002

2004

Konsumsi Dunia (%)


Gambar 5.2.

2006

2008

2010

2013

Konsumsi Indonesia (%)

Penggunaan Produksi CPO (Setara CPO) Indonesia Untuk


Konsumsi Ma syarakat Dunia dan Masyarakat Indonesia.

Dengan perkataan lain, lokasi produksi CPO memang di


Indonesia namun peruntukan sebagian besar untuk kebutuhan
masyarakat dunia, khususnya kawasan Asia, Eropa dan Afrika.
Beberapa negara kawasan yang menikmati produksi CPO Indonesia
adalah sebagiamana disajikan pada Tabel 5.8.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

175

Tabel 5.8. Negara/Kawasan Utama yang Menikmati Manfaat Produksi CPO


Indonesia untuk Bahan Pangan dan Bahan Baku Industri
Asia

Negara/Kawasan
Eropa

Afrika

India

Jerman

Mesir

Cina

Belanda

Afrika Selatan

Pakistan

Spanyol

Tanzania

Malaysia

Perancis

Nigeria

Singapura

Itali

Kongo

Bangladesh

Yunani

Tunisia

Jepang

Rusia

Kenya

Korea Selatan

Belgia

Ghana

Philipina

Inggris

Algeria

Vietnam

Turki

Uganda

Rest of Asia

Rest of Europe

Rest of Africa

Sumber : BPS

Minyak nabati utama dunia adalah soybean, rapeseed, sunflower,


dan minyak sawit. Dalam periode tahun 2000-2013, pergerakan harga
CPO konsisten di bawah harga soybean oil, rapeseed oil maupun
sunflower oil (Gambar 5.3). Pergerakan harga yang demikian
menunjukkan bawa CPO sangat kompetitif baik sebagai subtitut
maupun komplemen dalam konsumsi komposit minyak nabati di
berbagai negara/kawasan dunia. Secara teori ekonomi (consumsi
behaviours) ketersediaan CPO yang lebih murah, dapat mensubstitusi
minyak nabati lain yang lebih mahal, sehingga dapat menahan laju
kenaikan harga yang lebih tinggi minyak nabati lain.
Cina dan India yang merupakan negara dunia yang menikmati
hampir 60 persen CPO Indonesia, untuk memenuhi pertumbuhan
konsumsin minyak nabati akibat pertumbuhan ekonomi yang relatif
cepat dalam sepuluh tahun terakhir. Harga CPO dunia yang umumnya
lebih murah dari harga minyak kedelai, minyak rapeseed, maupun
minyak bunga matahari memberi keuntungan bagi dua negara yang
populasi penduduknya hampir 50 persen penduduk dunia.

176

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

CPO
RPO

2500

SBO
SFO

2000
1500

1000
500

Jul-13

Oct-12

Jan-12

Apr-11

Jul-10

Oct-09

Jan-09

Apr-08

Jul-07

Oct-06

Jan-06

Apr-05

Jul-04

Oct-03

Jan-03

Apr-02

Jul-01

Oct-00

Jan-00

Gambar .5.3. Harga Minyak Sawit (CPO) Lebih Kompetitif daripada Soybean
Oil (SBO), Rapeseed Oil, (RPO), dan Sunflower Oil (SFO)

Bagi negara kawasan Afrika dimana umumnya berpendapatan


rendah ketersediaan CPO baik sebagai bahan pangan maupun bahan
baku industri memberi manfaat bagi rakyat Afrika. Manfaat yang
dinikmati selain harga CPO lebih murah, juga dampak tidak langsung
harga CPO terhadap harga minyak nabati lainnya. Minyak sawit
sebagai subtitusi dan atau komplemen minyak nabati lain, dapat
mencegah kenaikan minyak kedele yang berlebihan baik karena
pertumbuhan konsumsi maupun akibat kekurangan pasokan. Sehingga
dengan tingkat pendapatan yang sama, daya beli masyarakat Afrika
untuk minyak nabati meningkat.
Untuk mayarakat kawasan Eropa, kehadiran minyak sawit yang
lebih murah berdampak luas bagi ekonomi Eropa secara keseluruhan.
Negara Eropa yang merupakan negara-negara berpendapatan tinggi
dan konsumsi tinggi (termasuk minyak nabati), ketersediaan minyak
sawit yang lebih murah relatif dibandingkan soybean, rapeseed, sunflower
oil dan lain-lain memungkinkan masyarakat Eropa dapat
mempertahankan tingkat konsumsi tinggi atau mempertahankan
tingkat kesejahteraannya.
Ketersediaan minyak sawit yang lebih murah secara global, juga
menghindarkan industri-industri oleo kimia global terhindar dari
kebangkrutan. Rapilus and Ahmad (2007) mengungkapkan bahwa
industri oleo kimia Eropa, USA, Jepang , banyak mengalami under
capacity terancam bangkrut akibat kekurangan bahan baku. Pemain
industri oleokimia global seperti Henkel, Unilever, Lonza, KAO,
Protector and Gamble, Petrosina, Akzo Nobel, Degusa, Rhom, Stock
Hausen, Gold schimidt, C W Hulse, Rutgers, Wella, Gillete, Clairol,

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

177

Dial, Schwarzkoff dan lain-lain, terpaksa harus melakukan konsolidasi


dengan berbagai cara antara lain, akibat kekurangan bahan baku.
Sebagian besar industri oleo kimia global tersebut melakukan relokasi
(subsidiary) dan kemitraan dengan negara-negara produsen CPO seperti
Indonesia dan Malaysia.
Ketersediaan minyak sawit yang cukup besar dan relatif murah
secara global, juga dapat membantu mengurangi fuel-food trade-off yang
dihadapi masyarakat Eropa dan USA, dalam kebijakan mandatori
biodiesel. OECD (2006) memperkirakan bahwa bila target 10 persen
konsumsi energi fosil disubtitusi dengan biofuel, maka 70 persen lahan
pertanian Uni Eropa dan 30 persen lahan pertanian USA, harus
dikonversi untuk tanaman bahan baku biofuel . Trade-off yang demikian
dapat dikurangi jika Eropa dan USA bersedia meningkatkan konsumsi
minyak sawit yang lebih besar sehingga dapat mengurangi tekanan
pada minyak nabati produksi domestiknya.
Dengan demikian perkebunan kelapa sawit Indonesia dapat di
katakan adalah untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia
(Feeding The World), Indonesian Palm Oil Industri for : Asian People, for
European People, for American People and for African People. Manfaat
kesejahteraan yang diciptakan perkebunan kelapa sawit Indonesia,
sebagian besar dinikmati masyarakat internasional.
5.2

Peran Industri Minyak Sawit Dalam Pembangunan Pedesaan

Pembangunan daerah pedesaan (rural development) merupakan


salah satu fokus kebijakan pembangunan di Indonesia. Kebijakan
pelaksanaan otonomi daerah yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000,
dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan daerah pedesaan
yang tertinggal dibandingkan pembangunan kawasan perkotaan.
Perhatian pada percepatan pembangunan di Indonesia memang
sangat diperlukan mengingat: (1) sebagian besar penduduk Indonesia
yakni 58 persen (tahun 2000) dan 50 persen (tahun 2012) berada di
kawasan pedesaan yang perlu ditingkatkan kesejahteraannya; (2)
Angatan
kerja
terbesar
berada
dan
bekerja
dikawasan
pedesaan/pertanian; (3) Jumlah penduduk miskin Indonesia sebagian
besar berada dikawasan pedesaan/pertanian. Berdasarkan fakta ini
(ADB, 2004) pembangunan pedesaan di Indonesia hendaklah fokus
pada peningkatan pendapatan di pedesaan (pro-rural income) dan
pengurangan kemiskinan (pro-poor).
Bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
pedesaan/pertanian setinggi mungkin, merupakan sasaran penting
untuk meningkatkan pendapatan di pedesaan dan pengurangan
kemiskinan (ADB, 2004). Mengacu pada Says Law, kunci terjadiya
178

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

penciptaan pedapatan (income generating) adalah menumbuh


kembangkan dunia usaha (firms) di kawasan pedesaan baik usaha
keluarga, usaha kelompok, usaha kecil-menengah maupun korporasi,
yang berbasis pada sumberdaya yang tersedia dikawasan pedesaan.
Melalui proses produksi, pendapatan tercipta dan terdistribusi melalui
mekanisme factor-payment. Semakin besar jumlah dan ragam dunia
usaha yang berkembang di kawasan pedesaan, semakin besar dan
beragam pendapatan yang tercipta dikawasan pedesaan.
5.2.1

Perkebunan Kelapa Sawit: Menumbuhkan Pusat


Pertumbuhan Baru Pedesaan

Sejak awal pengembangan perkebunan kelapa sawit tahun 1980an di Indonesia, baik sebagai bagian dari pembangunan pertanian
maupun pengembangan daerah (transmigrasi), ditujukan untuk
membuka dan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di
kawasan pedesaan. Daerah terbelakang (hinter land) yang
tertinggal/degraded
land
dikembangkan
menjadi
pusat-pusat
pertumbuhan baru.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konteks
pembangunan kawasan pedesaan merupakan kegiatan ekonomi pioner,
kemudian menarik pengembangan sektor-sektor lain di kawasan
pedesaaan dan melahirkan pusat-pusat petumbuhan ekonomi baru.
Evolusi perkembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia secara umum mengikuti dua fase (Gambar 5.4).
Fase pertama, yakni Gestation Stage. Daerah pedesaan yang
umumnya masih kosong, terisolasi atau degraded land/ghost town yang
ditetapkan pemerintah untuk kawasan pembangunan perkebunan
kelapa sawit, dikembangkan oleh perusahaan negara (BUMN) atau
perusahaan swasta yang bertindak sebagai inti. Sementara masyarakat
lokal bertindak sebagai plasma.
Mengingat daerah yang bersangkutan masih terisolasi, maka
PN/PS harus membuka jalan/jembatan masuk (acces road) dengan
investasi besar. Selain itu, investasi yang dikeluarkan inti (4-5 tahun)
mencakup pembangunan jalan usaha tani (farm road), pembangunan
kebun inti dan plasma, pembangunan perumahan karyawan, fasilitas
sosial/umum dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

179

PS: Perkebunan Swasta


PN: Perkebunan Negara
PRP: Perkebunan Rakyat Plasma
PRM: Perkebunan Rakyat Mandiri
SB: Suplier Barang
SJ: Suplier Jasa
SF: Suplier Bahan Pangan

Gambar 5.4. Evolusi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Menjadi


Agropolitan/Kawasan Industri Perkebunan di Kawasan
Pedesaan di Indonesia

Fase kedua, yakni Growth Stages. Umumnya setelah 5 tahun,


keberhasilan inti plasma menarik investasi petani lokal untuk menanam
kelapa sawit (perkebunan rakyat mandiri). Umumnya jumlah
perkebunan rakyat ini bertumbuh cepat dalam suatu wilayah sehingga
luas kebun perkebunan rakyat mandiri secara total lebih luas dari
kebun pola PIR.
Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit baik inti, plasma
maupun petani mandiri mendorong berkembangnya usaha kecilmenengah-koperasi (UKMK) yang bergerak pada supplier
barang/produk industri perkotaan, maupun pedagang hasil-hasil
pertanian/perikanan/peternakan untuk kebutuhan pangan masyarakat
perkebunan kelapa sawit (Gambar 5.5).

180

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Pembangunan
perumahan/ fasilitas
sosial-umum 15%
Infrastruktur
jalan/jembatan 20%
Pemeliharan TBM
30%
Pembukaan lahan dan
penanaman sawit
35%

Gambar 5.5

Komponen Investasi Perkebunan Kelapa Sawit Tahap


Gestation Period di Kawasan Pedesaan Indonesia

Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan kelapa sawit khususnya


setelah menghasilkan minyak sawit (CPO) di kawasan tersebut
berkembang pusat-pusat pemukiman, perkantoran, pasar, dan lain-lain
sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan menjadi suatu
agropolitan (kota-kota baru pertanian). Jumlah unit UKMK supplier
barang/ jasa untuk perkebunan kelapa sawit dkawasan pedesaan (per
100 ribu TM) cenderung meningkat dari tahun 2004-2012 (gambar 5.6).
Unit UKM

800
700
600
500
400
300
200
100
0
2004

2008

2012

Tahun

Gambar 5.6 Rataan Jumlah Unit UKMK Supplier Barang/Jasa untuk


Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Pedesaan (Per 100 Ribu
TM)
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

181

Menurut Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (2014),


sampai tahun 2013 telah berkembang daerah perkebunan kelapa sawit
telah berkembang menjadi menjadi kawasan pertumbuhan sentra
produksi CPO (50 kawasan) di kawasan pedesaan antara lain Sungai
Bahar (Jambi), Pematang Panggang dan Peninjauan (Sumatera Selatan),
Arga Makmur (Bengkulu), Sungai Pasar dan Lipat Kain (Riau),
Paranggean (Kalimantan Tengah) dan kawasan lain. Sebagian besar
dari kawasan sentra produksi CPO tersebut telah berkembang menjadi
kota kecamatan dan kabupaten baru di kawasan pedesaan.
5.2.2

Menarik Pertumbuhan Sektor Lain di Kawasan Pedesaan

Untuk mempercepat pembangunan daerah pedesaan, sektorsektor diluar pertanian/perkebunan (rural non-farm economy) mencakup
manufakturing, konstruksi, transportasi, komunikasi, jasa-jasa (Islam,
1997; Rosegrant and Hazell, 2000, Gibb, 1974; Anderson and Leiserson
1980), perlu dikembangkan. Hal ini penting untuk kondisi kawasan
pedesaan Indonesia mengingat sebagian besar penduduk, angkatan
kerja dan bahkan penduduk miskin berada pada rural non-farm economy
tersebut (ADB, 2004).
Tabel 5.9. Sektor-sektor Rural Non-Farm
Pertumbuhan Produksi CPO

yang

Bertumbuh

Akibat

Rank
Sektor
Sektor keuangan
1
Sektor jasa lainnya
2
Perdagangan, hotel, restoran
3
4
Kimia dasar, pupuk/pestisida
Minyak, gas dan tambang
5
Transportasi
6
Infrastruktur
7
Pengolahan Makanan
8
Alat-alat listrik
9
Sektor lainnya
10
Sumber: Tabel I-O Indonesia

Peningkatan produksi CPO pada kawasan sentra produksi CPO


di kawasan pedesaan juga terkait dan berdampak luas pada sektor rural
non-farm economy (Tabel 5.9)

182

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Jika output perkebunan kelapa sawit (produksi CPO)


bertumbuh, sekitar 40 persen berdampak pada pertumbuhan sektor
rural non-farm seperti lembaga keuangan, perdagangan/restoran, hotel,
transportasi, infrastruktur, dan sektor-sektor lain (Amzul, 2011). Hal ini
berarti pertumbuhan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada
perkebunan kelapa sawit, melainkan sebagian (40 persen) dinikmati
masyarakat yang bekerja diluar perkebunan kelapa sawit di pedesaan.
Dengan perkataan lain, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit
di kawasan pedesaan akan meningkatkan kapasitas perekonomian
daerah pedesaan dalam menghasilkan output/pendapatan dan
kesepatan kerja baik pada perkebunan kelapa sawit maupun pada
sektor lain (rural non-farm) di kawasan pedesaan. Bahkan bukan hanya
masyarakat pedesaan saja yang menikmati dampak ekonomi
perkebunan kelapa sawit, melainkan juga dinikmati sektor perkotaan
seperti lembaga keuangan, restoran dan hotel, food processing dan electric
equipment and manufacturing sector. Membangun perkebunan kelapa
sawit bukan hanya membangun pedesaan tetapi juga bagian dari cara
membangun perkotaan.
5.2.3

Pertumbuhan Produksi CPO Memacu Pertumbuhan Ekonomi


Sentra Sawit

Pertumbuhan produksi perkebunan kelapa sawit termasuk


dampaknya terhadap sektor rural non-farm akan terlihat dalam Produk
Domestik Bruto (PDB) non migas dan tambang di daerah sentra sawit
di Indonesia.
Produksi CPO berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDB
non migas sentra perkebunan kelapa sawit Nasional (gambar 5.7).
Peningkatan produksi CPO berhasil meningkatkan PDB non migas
daerah sentra sawit di Indonesia.
Elastisitas produksi CPO terhadap PDB non migas sentra sawit
bernilai 2.46. Peningkatan satu persen produksi CPO baik secara
langsung (melalui kontribusi nilai tambah) maupun secara tidak
langsung (melalui multiplier nilai tambah dari sektor lain),
meningkatkan 2.46 persen PDB non migas di daerah sentra sawit di
Indonesia.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

183

Pengaruh Produksi CPO Teradap PDB

Rp Trillyun

300

PDB = -194 + 231.66 CPO


R2= 0.91
E= 2.46

200
100
-

5.00

10.00

15.00

Ribu ton
Gambar 5.7. Pengaruh Produksi CPO terhadap PDRB Sentra Sawit Nasional

5.2.4

Perekonomian Sentra Sawit Bertumbuh Lebih Cepat


Dibanding Non Sentra Sawit

Kontribusi positif dan elastis dari produksi CPO terhadap PDRB


non migas sentra sawit di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan
Kalimantan Tengah, secara lintas waktu (overtime) menyebabkan
pertumbuhan PDRB non migas sentra-sentra sawit lebih cepat daripada
pertumbuhan PDRB non sentra sawit.
Akibatnya, dengan
meningkatnya produksi CPO, PDRB non migas sentra sawit makin
meninggalkan PDRB non migas non sentra sawit (Gambar 5.6).
Perbedaan PDRB non migas antara sentra sawit dengan non
sentra sawit di Sumatera Utara (provinsi tertua sawit) sudah mulai
terlihat sejak tahun 1990. Kemudian setelah tahun 1990 perbedaan
tersebut makin besar khususnya setelah tahun 2005. Semakin
meningkat produksi CPO semakin cepat bertumbuh PDRB non migas
sentra sawit dan makin meninggalkan pertumbuhan PDRB non migas
non sentra sawit.

184

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

PDRB Sentra Sawit dan non Sentra Sawit di Indonesia


300

Rp Trilyun

250
200
150
100
50

Kabupaten Sawit

2013

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

Kabupaten Non Sawit

Gambar. 5.8. Perbandingan PDRB Sentra Sawit dengan Non Sentra Sawit
Nasional

Hal yang menarik adalah Riau. Sampai tahun 2006, PDRB non
migas sentra sawit dengan non sentra sawit masih relatif sama. Namun
setelah tahun 2006, PDRB non migas sentra sawit lebih cepat
bertumbuh dibandingkan PDRB non migas senta sawit makin besar
dengan non sentra sawit. Hal ini terjadi karena sebelum tahun 2006
sebagian besar perkebunan kelapa sawit Riau masih TBM dan TM
muda. Namun setelah tahun 2006 produksi CPO Riau bertumbuh cepat.
Perbedaan lebih kontras antara PDRB non migas sentra sawit
dengan non sentra sawit terjadi di Sumatera Selatan dan Kalimantan
Tengah. Pertumbuhan produksi CPO yang lebih tinggi setelah tahun
2000, telah memacu pertumbuhan yang lebih cepat PDRB non migas
pada kedua sentra sawit tersebut.
Bukti-bukti emperis tersebut menunjukan bahwa perkebunan
kelapa sawit memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan bagian
penting dari upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil
studi ini juga mengukuhkan hasil studi (Susila, 2004; World Growth,
2011; Joni, 2012; Rofiq, 2012) yang menyimpulkan bahwa perkebunan
kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan daerah
pedesaan (rural development).

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

185

5.3

Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Mengurangi


Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi masyarakat


internasional termasuk Indonesia. Jumlah penduduk miskin memang
telah cenderung turun seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Jumlah
penduduk miskin di Indonesia (BPS, 2013) telah turun dari 42,3 juta
orang (28,6 persen dari jumlah penduduk tahun 1980) menjadi 28,6 juta
orang (11,7 persen dari jumlah penduduk tahun 2012). Dari jumlah
tersebut, penduduk miskin di pedesaan juga telah turun dari 32,8 juta
orang tahun 1980 menjadi 18 juta orang tahun 2012.
Karakteristik penduduk miskin dikawasan pedesaan Asia
(Dixon, 1990) antara lain lahan sempit, kurang gizi, kurang pendidikan,
pendapatan rendah, terisolasi, dan usia harapan hidup yang rendah.
Sedangkan untuk penduduk miskin pedesaan di Indonesia umumnya
akses pendidikan dan kesehatan rendah, infrastruktur (air minum,
transportasi, listrik) rendah serta sanitasi buruk (World Bank, 2001),
pendidikan keterampilan rendah, miskin sumberdaya, tergantung pada
pertanian subsisten, dan berpendapatan rendah (ADB, 2004).
Untuk mengatasi kemiskinan penduduk secara berkelanjutan
diperlukan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi pedesaan dimana
penduduk miskin berada. Pertumbuhan ekonomi (pendapatan) yang
menyasar pada kemiskinan merupakan keharusan dalam kebijakan
pembangunan di Indonesia (ADB, 2001). Dengan meningkatnya
pendapatan penduduk miskin maka akan membuka akses penduduk
miskin pada pendidikan, kesehatan maupun aspek kesejahteraan yang
lebih luas dan lebih berkualitas.
5.3.1

Merubah Petani Miskin Menjadi Pengusaha

Sumber pendapatan utama dari penduduk miskin pedesaan


Indonesia adalah dari upah tenaga kerja pertanian dan dari pertanian
skala kecil (ADB, 2004). Dengan fakta ini, maka untuk mengeluarkan
penduduk miskin dari kemiskinannya salah satunya adalah
memperbesar skala ekonomi pertaniannya, sehingga memperoleh
pendapatan yang cukup untuk membiayai hidup keluarganya.
Program perkebunan inti rakyat (Nucleus Estate Smallholder,
NES) yang dilaksanakan pemerintah merupakan pintu masuk (entry
point) keikutsertaan perkebunan rakyat dalam perkebunan kelapa sawit
nasional (Badrun, 2010: Sipayung, 2012). PIR/NES yang dimaksud
mencakup PIR Berbatuan (NES Subsidy), PIR Lokal (NES-Local), PIR

186

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Khusus (Specific NES) yang dilaksanakan pemerintah tahun 1977-1986;


kemudian dilanjutkan PIR Transmigrasi (NES Transmigration) dalam
periode 1985-1995; PIR Kredit Koperasi Para Anggota/KKPA (NESCoperation Credit) tahun 1995-2005 maupun PIR Revitalisasi perkebunan
(NES-Revitalize of Plantation) sejak tahun 2005. Rangkaian kebijakan dan
program NES tersebut. bukan hanya berhasil untuk perkebunan rakyat
yang menjadi peserta NES, tetapi jasa merangsang dan meyakinkan
petani lain (diluar peserta) untuk masuk pada perkebunan kelapa sawit
secara mandiri (petani sawit mandiri).
Tabel 5.10. Perkembangan Jumlah Unit Usaha Keluarga Petani Kelapa Sawit
Rakyat di Indonesia
Tahun
1990

Jumlah Unit Usaha Petani Sawit


(Ribu/Unit Usaha)
142

Luas
(Ribu Ha)
291.33

1995

320

658.54

2000

682

1166.76

2005

1184

2356.89

2010

1710

3387.26

2013
3703
Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

3790.14

Jumlah unit usaha petani kelapa sawit (Tabel 5.10) meningkat


cepat dari hanya 142 ribu unit usaha keluarga tahun 1990 menjadi 3,7
juta unit usaha keluarga tahun 2013. Demikian juga luas perkebunan
kelapa sawit rakyat meningkat secara revolusioner dari hanya 291 ribu
hektar tahun 1990 menjadi 3,8 juta hektar tahun 2013.
Peningkatan unit usaha yang demikian dapat dimaknai bahwa
perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah merubah 3,7 juta keluarga
miskin (petani) menjadi pengusaha sawit. Untuk konteks Indonesia,
tidak banyak (jika bukan satu-satunya) sektor ekonomi yang yang
mampu merubah petani kecil/miskin menjadi pengusaha sawit
sebanyak dan secepat itu.
Dengan menjadi pengusaha sawit yang demikian, kehidupan
ekonomi keluarga petani sawit tersebut akan lebih terjamin hingga
setidak-tidaknya dalam 25 tahun (replanting kelapa sawit umur 25
tahun). Dengan replanting berikutnya akan menyambung kehidupan
ekonomi bagi keturunannya secara berkelanjutan.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

187

5.3.2

Menciptakan Kesempatan Kerja di Kawasan Pedesaan

Selain menjadi pengusaha kelapa sawit, cara untuk mengurangi


kemiskinan di pedesaan adalah menciptakan kesempatan kerja baru
yang sesuai dengan karakteristik tenaga kerja pedesaan. Salah satu
karakteristik penduduk miskin di pedesaan adalah bekerja secara
musiman di pertanian (ADB, 2004).
Secara keseluruhan tingkat pendidikan penduduk dipedesaan
juga umumnya rendah. Oleh karena itu, untuk mengurangi kemiskinan
di pedesaan hendaklah mengembangkan sektor-sektor ekonomi yang
lebih banyak menyerap tenaga kerja yang sesuai dengan
karakteristik/latar belakang tenaga kerja pedesaan. Perkebunan kelapa
sawit merupakan sektor ekonomi dengan teknologi padat kerja (labor
intensive). Tidak hanya padat kerja tetapi juga akomodatif terhadap
keragaman mutu/skill tenaga kerja pedesaan.
Secara umum, struktur pendidikan penduduk di kawasan
pedesaan (BPS, 2002) sebagian besar merupakan tenaga kerja
berpendidikan sekolah dasar ke bawah. Jika dibandingkan dengan
tenaga kerja yang terserap di perkebunan kelapa sawit menunjukan
bahwa perkebunan kelapa sawit secara umum lebih akomodatif
terhadap tenaga kerja yang tersedia dikawasan pedesaan.
Penyerapan tenaga kerja pada perkebunan kelapa sawit di
Indonesia (Tabel 5.11) mengalami peningkatan dari tahun ketahun
seiring dengan perluasan kebun, peningkatan produksi dan
perkembangan industri hulu dan hilir. Pada tahun 2000, jumlah tenaga
kerja yang bekerja pada perkebunan kelapa sawit baru sekitar 3,4 juta
orang, tahun 2000 meningkat menjadi 9,3 juta orang tahun 2013.
Dengan fakta tersebut perkebunan kelapa sawit merupakan
sektor ekonomi pedesaan yang bersifat pro-job. Pertumbuhan
perkebunan kelapa sawit menciptakan kesempatan kerja baru di
pedesaan.
Jika diasumsikan setiap pekerja menanggung 4 orang anggota
keluarga, maka dengan jumlah tenaga kerja pada tahun 2013, sekitar 37
juta orang penduduk memiliki sumber pendapatan dari perkebunan
kelapa sawit.
Kesempatan kerja tidak hanya tercipta pada perkebunan sawit
saja jika perkebunan kelapa sawit bertumbuh. Pertumbuhan produksi
kelapa sawit (CPO) akan menciptakan kesepakatan kerja baru di sektor
lain (Tabel 5.12) melalui dampak multiplier dari pertumbuhan CPO itu
sendiri di pedesaan.

188

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 5.11. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja pada Perkebunan Kelapa


Sawit Indonesia
Uraian
A. Tenaga kerja pada
UKMK Suplier
barang/jasa
perkebunan sawit
B. Tenaga kerja pada
Perkebunan kelapa
sawit
1. Tenaga kerja (orang)
2. Karyawan
Perusahaan
Total TK (orang)

2000

2005

2010

2013

15.548

194.177

372.861

396.623

1.360.000
717.916

2.370.000
73261

3.420.000
1.199.552

3.830.000
1.286.347

2.093.464

2.637.438

4.992.413

5.512.970

Tabel 5.12. Sektor-Sektor Ekonomi yang Bertumbuh Penyerapan Tenaga Kerja


Jika Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Bertumbuh
Rank

Sektor-sektor Ekonomi
Jasa Pertanian
1
2
Perdagangan, Restoran, Hotel
3
Perternakan, Kesehatan dan Perikanan
Tanaman Pangan
4
Transportasi
5
6
Sektor Keuangan
Industri Kimia
7
Sektor Lain
8
Sumber: Tabel I-0 Indonesia

Dampak multiplier kesempatan kerja perkebunan kelapa sawit


menciptakan kesempatan kerja baru dalam perekonomian dimana
sekitar 10 persen terjadi diluar perkebunan kelapa sawit (Amzul, 2011).
Jika produksi CPO bertambah (akibat permintaan pasar),
kesempatan kerja tidak hanya bertumbuh pada perkebunan kelapa
sawit, melainkan juga disektor-sektor lain. Bahkan dampak multiplier
pertumbuhan produksi CPO juga meningkatkan kesempatan kerja baru
di sektor perkotaan seperti sektor keuangan dan industri kimia. Hal ini
menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan sektor yang
efektif mengurangi tingkat pengangguran khususnya dipedesaan.
Karakteristik teknologi perkebunan kelapa sawit yang padat
karya (labor intensive) dan akomodatif terhadap berbagai keragaman
kualitas tenaga kerja seperti penduduk miskin dipedesaan, menjadikan
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

189

perkebunan kelapa sawit menjadi bagian solusi penting untuk


mengurangi pengangguran atau memberi kesempatan kerja bagi
penduduk miskin pedesaan.
5.3.3. Pendapatan Petani Sawit Meningkat Cepat
Untuk mengeluarkan petani dari kemiskinan dan untuk
meningkatkan kesejahteraannya, peningkatan pendapatan secara
berkelanjutan mutlak diperlukan. Hanya melalui peningkatan
pendapatan yang memadai dan sustainable para petani dan keluarganya
mampu mencapai kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih
baik dan mutu kehidupan yang lebih baik.
Pendapatan petani sawit (gambar 5.9) baik plasma maupun
petani sawit mandiri pada wilayah Sumatera Utara, Riau, Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah bertumbuh cepat.
Pendapatan petani dari perkebunan kelapa sawit tergantung
berbagai faktor seperti tingkat produktivitas, biaya, skala usaha dan
harga jual.
Greig-Gran (2008) menemukan bahan pendapatan petani sawit
plasma mencapai $ 2100/ha, sementara petani sawit mandiri dengan
produktivitas rendah mencapai $ 2340/ha. Sedangkan Stern Review
(World Growth, 2011) menemukan pendapatan petani sawit tahun 2007
mencapai $ 960-3340/ha.

Perbandingan Pendapatan Petani (Rp juta/thn)


120

100
80
60

40
20
-

2009
2010
2011
Petani Plasma
Petani Mandiri

2012
2013
Petani Non-Sawit

Gambar. 5.9. Perbandingan Pendapatan Petani Sawit Plasma, Mandiri, dan


Petani Non Sawit Nasional

190

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

5.3.4

Pertumbuhan Asset Petani Sawit

Aset utama petani (kebun sawit) juga meningkat dengan


meningkatnya umur tanaman (Gambar 5.10).
Nilai Asset Petani (Rp Juta)
1,000.00
800.00
600.00
400.00
200.00
2009

2010
Plasma

2011
Mandiri

2012

2013

Non Sawit

Gambar 5.10. Pertumbuhan Asset Petani Sawit Nasional

Pertumbuhan asset petani sawit yang demikian menunjukan


bahwa kapasitas ekonomi petani sawit dalam menghasilkan
pendapatan makin meningkat. Selain itu, mengingat aset petani
tersebut merupakan tanaman tahunan produktif yang economic life
time-nya sampai 25 tahun, berarti kesinambungan pendapatan petani
dan keluarganya akan terjamin (sustainable).
Dengan perkataan lain, pendapatan petani sawit bukan hanya
relatif besar dan meningkat tetapi juga berkelanjutan (sustainable).
Dengan pendapatan yang sustainable tersebut keluarga petani dapat
meningkat kesejahteraannya termasuk jaminan kesejahteraan
keturunannya dan masa tua petani yang lebih berkualitas.
5.3.5

Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit Lebih Tinggi dari


Petani Non Sawit

Jika dibandingkan pendapatan rumah tangga petani sawit


dengan rumah tangga petani non sawit secara umum pendapatan
petani sawit lebih tinggi dari pendapatan petani non-sawit (Tabel 5.13)

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

191

Pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dari pada petani non
sawit juga ditemukan Stern Review (World Growth, 2011) yakni petani
sawit ($ 960-3340/ha), petani karet ($ 72/ha), petani padi ($ 28/ha),
petani ubi kayu (C$ 19/ha) dan petani kayu ($ 1099/ha).
Tabel 5.13. Perbandingan Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit dengan
Petani Non Sawit (Rp Juta/Tahun)

Petani Plasma
Petani Mandiri
Petani Non-Sawit

2009

2010

2011

2012

2013

49
48
18

66
55
19

83
75
20

119
100
24

118
102
29

Pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dari pendapatan


petani non-sawit dapat dimaknai beberapa hal yakni: (1) untuk
meningkatkan pendapatan petani, khususnya mengatasi kemiskinan,
penggunaan lahan untuk kebun sawit lebih efektif daripada
penggunaan untuk tanaman lain; (2) fenomena konversi lahan
pertanian ke perkebunan kelapa sawit merupakan fenomena alamiah
dan rasional dari sudut pandang kepentingan petani.
5.3.6

Mengatasi Kemiskinan dan Menciptakan Kelas Ekonomi


Menengah di Pedesaan

Perbandingan pendapatan petani sawit dengan garis


kemiskinan serta pendapatan per kapita nasional (Tabel 5.14)
menunjukan bahwa jika dibandingkan pendapatan per kapita petani
sawit plasma, petani sawit mandiri telah jauh diatas garis kemiskinan
nasional. Bahkan pendapatan petani non sawit disekitar perkebunan
kelapa sawit (petani karet, padi, sayuran) juga telah diatas garis
kemiskinan meskipun jauh dibawah pendapatan petani sawit plasma
maupun petani sawit mandiri.
Namun, bila dibandingkan, pendapatan per kapita petani sawit
plasma dan mandiri telah mendekati pendapatan per kapita non migas
nasional. Bahkan pada beberapa tahun telah melampaui pendapatan
per kapita non migas nasional. Berbeda dengan petani sawit,
pendapatan per-kapita petani non sawit masih jauh dibawah
pendapatan per kapita non migas nasional.
Jika pendapatan per kapita non migas nasional dijadikan
ukuran tingkat pendapatan menengah (middle income class), maka petani

192

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

sawit baik plasma maupun mandiri telah tergolong pada penduduk


Indonesia yang berpendapatan menengah.
Dengan fakta empiris ini, perkebunan kelapa sawit Indonesia
bukan hanya berhasil menarik para petani keluar dari kemiskinan
tetapi juga berhasil menempatkan mereka menjadi penduduk middle
income class nasional. Dengan jumlah keluarga petani sawit nasional
tahun 2013 berjumlah 3,7 juta keluarga dan dengan rata-rata anggota
keluarga (family size) 4 orang, berarti sekitar 14,8 juta orang penduduk
Indonesia telah terbebas dari kemiskinan melalui perkebunan kelapa
sawit dan bahkan sebagian besar diantaranya berhasil menjadi middle
income class nasional meskipun tinggal dikawasan pedesaan.
Hasil studi ini mengukuhkan studi (Susila, 2004; Goenadi, 2008;
World Growth, 2011; Joni, 2012; Rofiq, 2012) yang mengungkapkan
bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan sektor yang
berhasil mengurangi kemiskinan (pro-poor).
5.3.7

Perkebunan Kelapa Sawit Menurunkan Kemiskinan di


Pedesaan

Dampak pertumbuhan produksi CPO (akibat peningkatan


permintaan CPO) terhadap peningkatan pendapatan (multiplier income)
tidak hanya dinikmati pelaku perkebunan kelapa sawit saja melainkan
juga dinikmati masyarakat yang bekerja disektor-sektor ekonomi lain
(Tabel 5.15). Dari pendapatan yang tercipta dalam perekonomian akibat
pertumbuhan CPO, sekitar 64 persen dinikmati pelaku perkebunan
kelapa sawit dan sisanya yakni 36 persen dinikmati sektor-sektor lain
baik yang ada dipedesaan maupun di perkotaan (Amzul, 2011).
Tabel 5.14

Tahun

2009
2010
2011
2012
2013

Perbandingan Pendapatan per Kapita Petani Sawit, Garis


Kemiskinan dan Pendapatan per Kapita Nasional (Rp Juta per
Kapita)
Poverty Line

Rataan
Pendapatan
Petani Sawit

Kota

Desa

Plasma

Mandiri

2.66
2.79
3.16
3.32
3.46

2.15
2.20
2.68
2.88
3.04

16.00
21.32
29.12
36.70
36.06

14.06
20.36
27.55
31.58
28.76

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

Rataan
Pendapatan
Petani Non
Sawit

Pendapatan
per Kapita
Non Migas
Nasional

5.20
6.12
6.38
6.56
7.36

21.55
24.39
27.66
30,30
33.21

193

Tabel 5.15. Sektor-sektor Ekonomi (Diluar Perkebunan Sawit) yang Meningkat


Pendapatannya Akibat Pertumbuhan Produksi CPO
Rank
Sektor
1
Jasa Lainnya
2
Sektor Keuangan
Trade, Restoran, Hotel
3
Basic Chemical, Feirtilizer and Pesticide
4
Transportation
5
Infrastruktur
6
Oil, Gas and Mining
7
Agriculture Infrastruktur
8
Agriculture Service
9
Others Sektor
10
Sumber: Tabel I-O Statistik Indonesia (2008)

Manfaat pertumbuhan produksi CPO (misalnya akibat ekspor)


bukan hanya dinikmati pemilik kebun sawit tetapi juga tenaga kerja
baik yang bekerja di perkebunan kelapa sawit maupun tenag kerja
diluar perkebunan/pertanian (termasuk diperkotaan).
Dengan dampak perubahan perkebunan produksi kelapa sawit
yang demikian maka peningkatan produksi CPO berkaitan dengan
penurunan kemiskinan (Gambar 5.11). Meningkatnya produksi CPO,
meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan di daerah pedesaan
sehingga menurunkan angka kemiskinan.
Peningkatan produksi CPO menurunkan kemiskinan pada
kabupaten-kabupaten sentra sawit di Indonesia. Setiap peningkatan
produksi CPO sebesar 10 persen, menurunkan persentase penduduk
miskin sebesar 7.7 persen.

194

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
Kemiskinan (%) = 32.24 - 1.0 CPO
E= -0.77
R2 = 0.89

5.0
-

Gambar 5.11.

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

16.00

Pengaruh Produksi CPO terhadap Penurunan Kemiskinan di


Sentra Sawit Nasional

Dengan fakta emperis ini, peningkatan produksi CPO baik


melalui peningkatan produktivitas, rendemen maupun perluasan
kebun didaerah-daerah sentra sawit adalah menurunkan persentase
kemiskinan (pro-poor). Oleh karena itu pemerintah daerah perlu
memfasilitasi terjadinya peningkatan produksi CPO disentra-sentra
sawit, karena akan menurunkan jumlah penduduk miskin didaerah
yang bersangkutan.
Goenadi (2008) mengemukakan bahwa lebih dari 6 juta orang
yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia keluar dari
kemiskinan. World Growth (2009) mengungkapkan bahwa perkebunan
kelapa sawit di Indonesia bagian penting dan signifikan dalam
mengurangi kemiskinan.
5.4

Kontribusi Industri Minyak Sawit dalam Pelestarian


Lingkungan

Dewasa ini, ekosistem planet bumi mengalami kemerosotan


mutu lingkungan. Salah satuya adalah terjadinya pemanasan global
(global warming) yang telah memicu terjadinya berbagai bentuk
perubahan iklim global (global climate change) seperti anomali iklim,
banjir, kekeringan dan lain-lain, dan telah menimbulkan berbagai
kerugian di berbagai belahan bumi.
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

195

Masalah pemanasan global beserta dampaknya pada perubahan


iklim tersebut sudah lama menjadi perhatian masyarakat global.
Berbagai forum multilateral telah dibentuk dan bekerja untuk
memahami, menjelaskan, dan merumuskan langkah-langkah mitigasi
pemanasan global dan dampaknya. Pesannya jelas bahwa semua orang,
lembaga organisasi, negara, sektor-sektor pembangunan hendaklah
menjadi bagian solusi dari masalah tersebut.
Untuk mengatasi masalah pemanasan global secara
internasional telah disepakati komitmen untuk: (1) Mengurangi emisi
gas rumah kaca dan (2) Menyerap kembali gas rumah kaca (CO 2) dari
atmosfir bumi. Untuk kedua cara tersebut, perkebunan kelapa sawit
merupakan bagian penting dari solusi. Peranan perkebunan kelapa
sawit secara ekologis dan minyak sawit yang bersifat renewable energi
dan menghemat emisi, berkontribusi pada upaya pelestarian
lingkungan global.
5.4.1

Kebijakan dan Regulasi Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit


Indonesia yang Berkelanjutan

Untuk mewujudkan perkebunan kelapa sawit yang


berkelanjutan, Indonesia telah memiliki regulasi dan kebijakan tata
kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, mulai dari
kebijakan nasional, sektoral, daerah sampai pada level perusahaan.
Pada level nasional (kebijakan nasional), Indonesia telah memiliki
setidaknya 9 Undang-Undang dan 6 Peraturan Pemerintah yang
menjadi dasar kebijakan nasional bagi tata kelola dan keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit (Tabel 5.16). Kemudian untuk kebijakan
sektoral Indonesia juga memiliki Peraturan Menteri yang mengatur dan
mengelola pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Pada level perusahaan, tata kelola perusahaan perkebunan
kelapa sawit diaplikasikan dalam berbagai variasi penerapan
manajemen seperti Good Agriculture Practices, Good Manufacturing
Practices, ISO 9001,14000, 2600; SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan
Dan Kesehatan Kerja), Good Corporate Governance, ISPO (Indonesian
Sustainability Palm Oil), RSPO (RoundTabel Sustainability Palm Oil).
Pelaksanaan tata kelola yang demikian mulai dari level kebijakan
nasional, sektoral, dan perusahaan, telah berada pada on the right track
menuju sustainable palm oil industri yang makin baik.

196

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 5.16. Kebijakan dan Regulasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di


Indonesia
Regulasi/ kebijakan
I.

II.

Undang- undang
UU No. 12 Tahun 1992
UU No. 5 Tahun 1960
UU No. 13 Tahun 2003
UU No. 18 Tahun 2004
UU No. 32 Tahun 2009
UU No. 26 Tahun 2007
UU No. 5 Tahun 1990
UU No. 41 Tahun 1999
UU No. 17 Tahun 2004
Peraturan Pemerintah (PP)
PP 7/1973
PP 6/1995
PP 85/1999
PP 8/2001
PP 51/2007
PP 31/2009

III.

Peraturan/ Keputusan Menteri


No. 33/Permentan/O.T 140/7/2006
No. 98/Permentan/Q.T 140/9/2013
No. 58/Permentan/OT.140/8/2007
No.07/Permentan/OT.140/2/2009
No. 14/Permentan/OT.110/2/2009
No. 19/Permentan/OT.140/3/2011
No. 1496.1/Kpts/OT.100/10/2003
No. 633/Kpts/OT.140/10/2004

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

Tentang
Sistem Budidaya Tanaman
Peraturan Dasar Pokok Agraria
Ketenagakerjaan
Perkebunan
Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Penataan Ruang
Konservasi SDA Hayati Dan
Ekosistemnya
Kehutanan
Pengesahan Kyoto Protokal To
The United Nations Framework
Convention On Climate Change
Pestisida
Perlindungan Tanaman
Pengelolaan Limbah Berbahaya
Dan Racun
Pupuk Budidaya Tanaman
Indikasi Geografis
Perlindungan Wilayah
Geografis Penghasil Produk
Perkebunan Spesifik
Revitalisasi Perkebunan
Pedoman Izin Usaha
Perkebunan.
Sistem Standarisasi Nasional
Pertanian/Perkebunan.
Pedoman Penilaian Usaha
Perkebunan.
Pedoman Pemanfaatan Lahan
Gambut Untuk Budi daya
Perkebunan.
Pedoman Perkebunan Kelapa
Sawit Berkelanjutan (ISPO).
Klasifikasi Perusahaan
Perkebunan.
Pedoman Kriteria Dan
Standarisasi Klasifikasi Kimbun

197

IV. Level Perusahaan


Good Agriculture Practices
Good Manufacturing Practices
ISO 9001 (Quality Management System)
ISO 14000 (Environmental Management Standar)
ISO 26000 (Corporate Social Responsibility)
SMK 3 (Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja)
ISPO/RSPO Good Corporate Governance
Sumber: Kementerian Pertanian

Sejak diberlakukannya ISPO tahun 2011, secara bertahap


perusahaan perkebunan kelapa sawit telah dan sedang memperoleh
sertifikasi ISPO dan RSPO. Pelaksanaan ISPO di Indonesia bersifat
mandatory sehingga seluruh perkebunan kelapa sawit harus
melaksanakan ISPO. Sedangkan RSPO bersifat sukarela, namun banyak
perusahaan yang sudah dan sedang proses sertifikasi RSPO.
5.4.2

Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dari Degraded


Land dan Low-Carbon

Selama ini berkembang opini global (oleh LSM transnasional )


yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah
dari konversi hutan primer. Opini dan tuduhan tersebut perlu di
buktikan secara empiris apakah benar atau salah.
Hasil analisis penutupan lahan (Land Cover) citra satelit yang
dilakukan CIFOR (Gunarso et al.,2012) menunjukan bahwa tidak benar
bahwa lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagaian besar
berasal dari hutan primer (Gambar 5.12). Sumber lahan untuk
perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar bersumber dari
lahan degraded land dan low-carbon, seperti lahan terlantar (waste land),
lahan pertanian, hutan rusak dan tanaman industri.

198

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Lahan Terlantar 43.45%


Lahan Pertanian 14.40%
Disturbed Forest 26.55%
Tanaman Industri 12.60%

Unsdisturbed Forest 3.00%

Sumber: Gunarso et al., 2012


Gambar 5.12. Asal Usul Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun
1990-2012

Dalam periode tahun 1990-2010, terjadi tambahan luas


perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 6.7 juta hektar.
Berdasarkan citra satelit tersebut, sebesar 43 persen berasal dari lahan
terlantar (waste land), dari lahan pertanian (14 persen ), lahan hutan
tanaman industri (12%). Sumber lahan untuk perkebunan kelapa sawit
dalam periode tersebut adalah umumnya dari degraded land dan lowcarbon.
Hasil penelitian Gunarso et al., (2012) tersebut mematahkan hasil
kajian Koh and Wilcove, (2008) yang mengatakan bahwa 67 persen
perkebunan kelapa sawit Indonesia berasal dari konversi hutan primer
Hasil citra satelit tersebut dapat dikonfirmasi dengan data tata
guna lahan di Indonesia (Tabel 5.17). Indonesia memiliki land area
seluas 189.63 juta hektar dari total land area sebagian besar yakni 136
juta hektar adalah hutan (72 persen dari total land area). Dari luas hutan
tersebut sekitar 54 juta hektar adalah hutan lindung dan hutan
konservasi (tropical virgin forest). Hutan lindung dan konservasi sesuai
undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan diperuntukan
untuk pelestarian biodiversity baik fauna (Orang Utan, Mawas,
Harimau, Gajah, Badak, Aneka Burung, dll), flora (aneka ragam
tumbuhan) serta konservasi tanah dan air.
Keberadaan hutan tersebut khususnya hutan lindung dan hutan
konservasi harus dilindungi, dijaga, dan dirawat keberadaannya karena
memiliki fungsi ekologis (biodiversity) yang tidak tergantikan. Selain itu,
sebagai tropical virgin forrest, hutan lindung dan hutan konversi
merupakan stok karbon global.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

199

Tabel 5.17. Perubahan Penggunaan Lahan untuk Hutan, Perkebunan dan Penggunaan Lain di Indonesia
(Juta Hektar)
Land Use

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Hutan Lindung
Hutan Suaka Alam
Hutan Produksi Terbatas
Hutan Produksi Tetap
Hutan Buru
Hutan Produksi Dapat Dikonversi

31.7
23.1
22.9
36.0
23.0

31.8
23.6
21.7
35.8
14.1

31.6
23.3
22.5
36.6
0.2
22.8

31.6
23.3
22.5
36.7
0.2
22.8

31.6
23.3
22.4
36.7
0.2
22.7

31.6
23.3
22.4
36.7
0.2
22.7

32.0
24.4
22.8
33.9
0.2
21.0

32.2
26.1
22.8
34.1
20.9

Total Hutan
Perkebunan sawit
Perkebunan Lain
Pertanian dan Pemukiman

136.7
5.3
12.3
35.3

127.0
5.4
12.5
44.7

137.1
6.6
12.02
33.88

137.1
6.7
12.2
33.66

136.9
7.4
11.9
33.44

136.9
7.8
12.2
32.7

134.3
8.4
12.1
34.8

136.2
9.0
12.3
32.1

Total Land Area

189.6

189.6

189.6

189.6

189.6

189.6

189.6

189.6

Sumber: BAPPENAS (2013), Statistik Indonesia dan Kementerian Pertanian (2013)

GAPKI -

200

Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2011 hanya 9 juta hektar
atau hanya 4 persen dari Land Area, bahkan lebih rendah dari lahan padi di
Indonesia yang luasnya 13.4 juta hektar maupun perkebunan lainnya (12
juta hektar). Dengan fakta yang demikian adalah tidak berdasar tuduhan
yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia menggerogoti
hutan. Luas hutan di Indonesia relatif stabil pada 136 juta hektar sementara
perkebunan kelapa sawit baru mencapai 9 juta hektar.
Perlu dicatat bahwa sebagian besar hutan lindung di Indonesia
berada pada ketinggian wilayah (dari permukaan laut) yang sudah diluar
comfort zone kelapa sawit (dataran tinggi). Dengan kata lain, hutan dan
perkebunan kelapa sawit hidup berdampingan pada tempat masing-masing.
Keduanya bagian penting dari upaya pelestarian lingkungan khususnya
penyerapan CO2 ekosistem global.
5.4.3

Perkebunan Kelapa Sawit Berfungsi Ekologis

Secara ekofisiologis (Tabel 5.18) berbagai indikator menunjukkan


bahwa hutan dengan perkebunan kelapa sawit memiliki karakteristik
ekofisiologi yang mirip. Dari fungsi tata air misalnya (evapotranspirasi,
cadangan air tanah, penerusan curah hujan, laju infiltrasi dan kelembaban)
hutan tropis sama dengan perkebunan kelapa sawit. Keunggulan hutan
tropis adalah dalam hal stok karbon (total biomass) yang mencapai empat
kali lipat dari pada stok karbon pada perkebunan kelapa sawit. Tingginya
stok karbon pada hutan tersebut mencerminkan besarnya volume
biodiversity hutan. Oleh karena itu hutan difungsikan terutama sebagai
pelestarian biodiversity dan penyimpan stok karbon.
Untuk indikator laju penyerapan CO2 dari atmosfir bumi,
perkebunan kelapa sawit justru lebih unggul dibandingkan hutan. Berbagai
indikator laju penyerapan CO2 dari atmosfir bumi seperti efisiensi
fotosintesis, efisiensi konversi energi matahari, asimilasi netto, produksi
oksigen, perkebunan kelapa sawit lebih
unggul dibanding hutan.
Akibatnya, incremental biomass dan produktivitas bahan kering per tahun
perkebunan kelapa sawit lebih unggul dibandingkan dengan hutan.
Dengan keunggulan masing-masing perkebunan kelapa sawit dan
hutan yang demikian justru menguntungkan upaya pelestarian ekosistem
global, asal ditempatkan pada fungsi dan ruang yang tepat. Hutan memang
harus difungsikan sebagai pelestarian biodiversity dan stok karbon.
Sementara untuk menyerap kembali CO2 atmosfir bumi (agar konsentrasi
GHG atmosfir bumi tidak meningkat), merupakan keunggulan fungsi
ekologis perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian hutan dan kelapa
sawit adalah dua sub ekosistem yang berkontribusi pada pelestarian
ekosistem global.

201

Industri Minyak Sawit Indonesia Tahun 2050. Kado 100 Tahun NKRI

Tabel 5.18. Perbandingan Ekofisiologi Perkebunan Kelapa Sawit dengan Hutan Tropis

Asimilasi kotor (ton CO2/ha/tahun)

163.5

Perkebunan
Kelapa Sawit
161.0

Total respirasi (ton CO2/ha/tahun)

121.1

96.5

Asimilasi neto (ton CO2/ha/tahun)

42.4

64.5

7.3

5.6

Efisiensi fotosintesis (%)

1.73

3.18

Efisiensi konversi radiasi (g/mj)

0.86

1.68

Total biomas di area (ton/ha)

431

100

Incremental biomas (ton/ha/tahun)

5.8

8.3

Produktivitas bahan kering (ton/ha/tahun)

25.7

36.5

Produksi oksigen (O2) (ton O2/ha/tahun)

7.09

18.70

1560-1620

1610-1750

59-727

75-739

85

87

30-90

10-30

90-93

85-90

Indikator

Indeks luas daun

Evapotranspirasi (mm/tahun)
Cadangan air tanah s/d kedalaman 200 cm (mm)
Penerusan curah hujan ke permukaan tanah (%)
Laju infiltrasi lapisan solum 0-40 cm

(ml/cm3/menit)

Kelembaban udara (%)


Sumber: Henson (1999), PPKS (2004,2005)

V. Peranan Persawitan dalam Perekonomian IndonesiaGAPKI -

Hutan Tropis

202

5.4.4 Perkebunan Kelapa Sawit Menyerap CO2 dari Atmosfir


Bumi
Pemanasan global merupakan fenomena meningkatnya
temperatur udara atmosfir bumi akibat peningkatan intensitas efek
rumah kaca (green house effect) pada atmosfir bumi. Peningkatan efek
rumah kaca tersebut disebabkan oleh meningkatnya kosenterasi gas-gas
rumah kaca (green house gases) yang melampaui konsenterasi
alamiahnya sedemikian rupa, sehingga panas matahari makin banyak
terperangkap pada atmosfir bumi (Kiehl, et al., 1957; IPCC,
1991,20012007; Isaac and Brian, 2000; Hansen et al., 2000; IEA 2009, 2010,
2012; World Bank, 2010; Sumarwoto, 1992). Gas-gas rumah kaca yang
dimaksud antara lain karbondioksida (CO2), methane (CH4), Nitrous
Oxide (NxO), dan gas buatan manusia.
Konsenterasi gas CO2 (yang merupakan komponen terbesar gas
rumah kaca di atmosfir bumi), telah mengalami peningkatan dari 280
ppmv tahun 1800-an menjadi 353 ppmv tahun 1990-an (IPCC, 1991) dan
pada tahun 2005 meningkat menjadi 379 ppmv (IEA, 2012).
Sumber emisi CO2 gobal berasal dari aktivitas manusia yakni
energi (56 persen), pertanian (13,8 persen), industri (14,7 persen), land
use change (12,2 persen), dan limbah (3.2 persen. (IEA, 2011). Kontribuor
terbesar (Top Ten Emiter) emisi CO2 adalah Cina, USA, India, Rusia,
Jepang, Jerman, Iran, Kanada, Korea Selatan, Inggris. Top ten emiter
dunia tersebut mencapai 65 persen dari total emisi CO2 global tahun
2010. Pangsa Indonesia dalam total emisi CO2 global hanya 1.3 persen
(IEA, 2012).
Sektor pertanian global juga merupakan sumber emisi CO2
(setara CO2) baik dari pemupukan (NxO), peternakan (CH4), maupun
land use change (CO2), dan lain-lain. Top Six emitter CO2 pertanian global
(FAPRI, 2012) adalah Cina, Brazil, India, USA, European Union dan
Argentina, dengan kontribusi 70 persen dari total emisi GHG pertanian
global. Kontribusi pertanian Indonesia hanya sekitar 2.7 persen.
Secara alamiah (diciptakan Tuhan) tumbuhan hijau merupakan
bagian penting dari pelestarian daur (cycle) karbondioksida (CO2),
oksigen (O2) dan air (H2O) dalam ekositem planet bumi. Dengan
perkataan lain pertanian (tanaman) memiliki fungsi ekologis. Adanya
fungsi ekologis pertanian yang demikian merupakan bagian dari
multifungsi pertanian yang sudah lama diketahui (OECD, 2001;
Huylenbroek, et al. 2007).
Kelapa sawit merupaka tanaman ideal yang mengkonversi
fotosintesis (potosynthetically active radiation, PAR) menjadi biomas
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

203

(Fairhurst and Hardter, 2005). Selama proses asimilasi, tanaman kelapa


sawit menyerap karbondioksida (CO2) dari atmosfir bumi dan melepas
oksigen (O2) ke atmosfir bumi. Pada saat respirasi kelapa sawit melepas
CO2 dan secara neto (fotosintesis/asimilasi minus respirasi) kelapa
sawit adalah penyerap CO2 dari atmosfir bumi (Hansen, 1999;
Fairhurst and Hardter, 2005).
Fiksasi neto CO2 dari atmosfir bumi, menjadi biomas pohon
kelapa sawit. Chan (2002) mengukur produksi biomas perkebunan
kelapa sawit (standing biomass) dan jumlah kandungan karbon pada
berbagai umur kelapa sawit (Tabel 5.19).
Tabel 5.19. Volume Standing Biomas dan Jumlah Karbon Terfiksasi dari
Atmosfir Bumi pada Berbagai Umur Kelapa Sawit
Standing Biomas
Umur
Karbon
(Ton/ha)
(Tahun)
(Ton/ha)
1-3
14.5
5.80
4-8
40.3
16.12
9-13
70.8
28.32
14-18
93.4
37.36
19-24
113.2
45.28
>25
104.5
41.00
Sumber:Chan, K.W (2002). Oilpalm Carbon Sequestration and Carbon Accounting:
Our Global Strengh. MPOA.

Dibandingkan dengan hutan tropis, jumlah karbon yang


terfiksasi dalam biomas hutan tropis (in circulation and annual increment)
relatif sama. Perbedaannya adalah annual increment fiksasi carbon pada
kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan pada hutan tropis, karena huan
tropis sudah pada fase steady-state (asimilasi sama dengan respirasi),
sementara kelapa sawit masih bertumbuh (asimilasi > respirasi).
Dengan perkataan lain, untuk menyerap kembali CO2 dari atmosfir
bumi, perkebunan kelapa sawit jauh lebih unggul dari pada hutan.
Dengan menggunakan standing biomas dan jumlah karbon
hitungan Chan (2002) dapat ditunjukan jumlah karbon yang diserap
perkebunan kelapa sawit Indonesia (Gambar 5.13).
Volume fiksasi karbon perkebunan kelapa sawit Indonesia
meningkat dari 30,34 juta ton tahun 1990 menjadi 200 juta ton tahun
2010, akibat peningkatan luas areal maupun perubahan komposisi
umur kelapa sawit. Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga
menghasilkan oksigen (O2) yang diperlukan bagi kehidupan di planet
bumi. Volume O2 yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit 18,7 ton
204

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

O2/Ha/tahun, yang lebih besar dibandingkan hutan tropis sekunder


yang hanya 7,09 ton/Ha/tahun (Hansen, 1999; Harahap, et al., 2005).
200.31

30.34

1990

2010

Gambar 5.13. Volume Karbon yang Diserap Secara Netto pada Perkebunan
Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990 dan 2010 (Juta Ton Karbon)

Atmosfir bumi
CO2
CO2

CO2
CHINA

USA

EROPA
CO2

O2

+ CPO

Perkebunan sawit
Indonesia
O2 + Minyak Sawit

Gambar 5.14. Peranan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia dalam Menyerap


CO2 Global

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

205

5.4.5 Perkebunan Kelapa Sawit Mengurangi Emisi GHG


Degraded Peat Land
Lahan gambut (peat land) menyimpan carbon stok yang perlu
dilestarikan. Lahan gambut di Indonesia hanya sekitar 7 persen dari
luas lahan gambut dunia yang luasnya 381 juta hektar. Sekitar 44
persen lahan gambut global berada di kawasan Eropa dan Rusia,
Amerika (40 persen) dan sisanya (9 persen) di negara-negara lain
(Joosten, 2008).
Secara alamiah lahan gambut menghasilkan emisi GHG
khususnya CO2, CH4 dan NxO dari proses dekomposisi bahan organik
dan kehidupan organisma yang hidup dilahan gambut (Perish, et al.,
2007, Fahmuddin et al., 2008). Besarnya emisi GHG lahan gambut
sangat bervariasi tergantung berbagai variabel seperti bahan induk
gambut, land cover, vegetasi, manajemen drainase, teknik budidaya
(Oleszczuk, et al., 2008, Kheong et al., 2010, Melling et al.,2005, 2007,
2010, Hirano, et al., 2007, 2011; Kohl, et al., 2011, Jauhiainen, et al, 2004),
dan tergantung metodologi pengukuran emisi, flux approach atau stock
approach (Khoon, et al, 2005).
Meningkatkan kebutuhan lahan untuk pertanian global,
menyebabkan lahan gambut juga dimanfaatkan. Sekitar 78 persen lahan
gambut dunia telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, dimana 88
persen berada pada lahan gambut non-tropis dan 12 persen di daerah
tropis (Strack, 2008). Lahan gambut di Indonesia yang layak digunakan
untuk pertanian (dengan syarat yang ditetapkan pada Peraturan
Menteri Pertanian No. 14/ Permentan/ PL.110/ 2/ 2009) hanya sekitar
6 juta hektar (Fahmudin, et al., 2008).
Penelitian emisi GHG lahan gambut tropis di Indonesia dan
Malaysia sudah banyak dilakukan antara lain Murayama dan Bakar
(1996), Hadi et al., (2001), Melling et al., 2005, 2007, Germerand
Souaerborn, 2008, Sabiham et al., (2012) dan Sabiham, 2013. Hasil-hasil
empiris tersebut mengungkapkan bahwa: (1) emisi GHG bervariasi baik
akibat variasi lahan gambut maupun perbedaan vegetasi dan tata air ;
(2) pada kondisi alamiah lahan gambut (hutan gambut tropis, hutan
gambut sekunder) menghasilkan emisi GHG dan (3) lahan gambut
yang ditanami kelapa sawit dapat mengurangi emisi GHG.
Hasil empiris (Tabel 5.20) menunjukan bahwa emisi GHG
perkebunan kelapa sawit di lahan gambut lebih rendah dari emisi GHG
lahan/hutan gambut sekunder maupun primer. Bukti empiris ini
sekaligus mengoreksi pandangan (umumnya LSM) yang menyatakan

206

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

bahwa perkebunan kelapa sawit di lahan gambut meningkatkan emisi


CO2 gambut.
Tabel 5.20. Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Menurunkan Emisi
CO2 Lahan Gambut ( Degraded Peat Land)
Land Use
Peat land
Hutan gambut primer
Hutan gambut sekunder
Kelapa sawit gambut
Kelapa sawit gambut
Kelapa sawit gambut
Kelapa sawit gambut

Emisi Ton
CO2/ha/
Tahun
78,5
127,0
57,6
55,0
54,0
31,4

Peneliti
Melling, et al., (2007)
Hadi, et al., (2001)
Melling, et al., (2007)
Melling, et al., (2005)
Murayama & Bakar (1996)
Germer and Sauaerborn (2008)

Jika bukti empiris dikombinasikan dengan pertumbuhan karbon


stok dari standing biomass perkebunan kelapa sawit (Chan, 2002)
terdahulu, maka perkebunan kelapa sawit dilahan gambut bukan
hanya mengurangi emisi CO2 tetapi juga meningkatkan stok karbon
pada ekosistem lahan gambut. Stok karbon diperkebunan lahan gambut
meningkat dengan meningkatnya umur tanaman (Sabiham, 2013).
Lahan gambut di Indonesia sekitar 80 persen dikategorikan
lahan gambut rusak (degraded peat land) (Joosten, 2008). Oleh karena itu
pemanfaatan lahan gambut tersebut untuk perkebunan kelapa sawit
(dengan kultur teknis yang sustainable) dapat menjadi alternatif penting
untuk merestorasi/ rehabilitasi lahan gambut, setidaknya menurunkan
emisi GHG lahan gambut.
Berdasarkan penjelasan tentang ekosistem perkebunan kelapa
sawit sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa perkebunan kelapa sawit
Indonesia merupakan bagian solusi dari pelestarian lingkungan global.
Dengan melihat dunia pada satu ekosistem, emisi CO2 dari top ten
emmiten dari negara-negara maju didaur ulang oleh Perkebunan Kelapa
Sawit Indonesia menjadi oksigen dan sebagian disimpan dalam bentuk
biomass dan sebagian lagi dirubah menjadi CPO. Oksigen dari kelapa
sawit di-supply ke atmosfir bumi secara gratis, sementara CPO disupply ke sejumlah negara untuk bahan pangan maupun untuk energi
pengganti fossil-fuel.

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

207

5.4.6 Pelestarian Biodiversity pada Perkebunan Kelapa Sawit


Meskipun perkebunan kelapa sawit secara tata ruang dan fungsi
bukan untuk pelestarian biodiversity, perkebunan kelapa sawit di
Indonesia juga ikut melestarikan biodiversity baik fauna maupun flora
(Tabel 5.21 dan 5.22) melalui mekanisme sebagai berikut: (1) Sebagian
HGU perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang tidak layak untuk
budidaya (topografi, sungai, sumber mata air, dll) dijadikan sebagai
tempat pelestarian biodiversity (high conservation value); (2) Perkebunan
kelapa sawit yang merupakan standing biomass setidaknya selama 25-30
tahun (sebelum di replanting) merupakan tempat hidup berbagai ragam
flora maupun fauna; (3) Perkebunan kelapa sawit itu sendiri secara
built-in merupakan cara pelestarian biodiversity (tanaman kelapa sawit
itu sendiri) termasuk multifungsi (ekonomi, sosial, ekologis) yang
melekat pada perkebunan kelapa sawit secara lintas generasi.
Bukankah jenis-jenis tanaman yang lestari pada zaman sekarang
adalah jenis tanaman yang dibudidayakan secara global dan turun
temurun? Dan bukankah berbagai flora dan fauna yang telah punah
atau terancam punah di planet bumi adalah karena tidak
dibudidayakan manusia?
Dari segi pemanfaatan dan pelestarian multifungsi dari
biodiversity, kelapa sawit adalah suatu contoh yang dapat dipelajari
makna dari pentingnya plasma nutfah. Dari empat biji yang ditanam di
Kebun Raya Bogor tahun 1848, melalui pemanfaatan dan pelestarian
multifungsinya, manfaat sosial, ekonomi dan ekologisnya dapat
dinikmati secara lintas generasi, lintas suku/bangsa/negara seperti saat
ini.

208

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 5.21.Berbagai Fauna di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit


Nama Daerah
MAMALIA
Rindil bulan
Tupai kecil
Tuoai
Tupai akar
Codot kecil kelabu
Codot sayap totol
Kukang bukang
Trenggiling peusing/ahom
Monyet kra
Monyet beruk
Owa kalawat
Bajing kelapa
Bajing gunung
Bajing tanah moncong runcing
Landak raya
Angkis ekor panjang
Beruang madu/behuang
Sigung
Musang
Macan akar
Babi
Pelanduk kancil
Kijang muntjak
BURUNG
Bambangan hitam
Elang ikan kepala kelabu
Elar ular bido
Elang hitam
Elang bondol
Puyuh kepala merah
Puyuh sengayan/sio
Sempidan biru/belonge
Kareo padi
Trinil
Punai kecil
Punai
Tekukur
Delimukan zamrud
Bayan
Srindit melayu
Bubut alang-alang
Beluk ketupa
Kukuk beluk
Taktarau melayu
Walet sapi

Nama Latin

Nama Daerah
Pekaka emas
Echionoserex gymnurus
Raja udang meninting
Tupaia minor
Cekakak batu
Ptilocercus lowii
Kangkareng perut-putih
Tupaia glis
Takur warna-warni
Pentethor lucasii
Takur tenggaret
Balionycteris maculata
Takur ampis
Nycticebus coucang borneanus Pelatuk besi
Manis javanica
Caladi batu
Macaca fascicularis
Sempur hujan sungai
Macaca nemestrina
Cica daun kecil
Hylobates muelleri
Cica daun besar
Callosciurus laticaudatus
Merbah
Dremomys everetti
Srigunting
Rhinosciurus laticaudatus
Srigunting gagak
Hystrix brachyura
Kacer
Trichys fasciculata
Murai batu
Helarctos malayanus
Cinenen kelabu
Mydaus javanensis
Sikatan rimba dada kelabu
Paradoxurus hermaphroditus Sikatan hijau laut
Felis bengalensis
Sikatan belang
Sus sp.
Kipasan mutiara
Tragulus javanicus
Kipasan belang
Muntiacus muntjak
Seriwang asia
Kerak jambul
Dupetor flavicollis
Tiong emas
Ichthyophaga ichthyaetus
Burung madu sepah raja
Spilornis cheela
Pijantung kecil
Ictinaetus malayensis
Pijantung besar
Haliastur indus
Cabai tunggir coklat
Haematortyx sanguiniceps
Kacamata biasa
Rollulus rouloul
Bondol kalimantan
Lophura ignita
Burung gereja
Amaurornis phoenicurus
REPTIL
Tringa sp
Kobra
Treron olax
Ular banyu
Treron sp.
Biawak
Streptopelia chinensis
Ular belang
Chalcophaps indica
Ular Tanah
Tanygnathus sp
Ular daun
Loriculus galgulus
Toke
Centropus bengalensis
Kadal
Ketupa ketupu
Labi-labi
Strix leptogrammica
Kura-kura
Eurostopodus temminckii
Senyulong
Collocalia esculentra

Nama Latin
Pelargopsis capensis
Alcedo meninting
Lacedo pulchella
Anthracoceros albirostris
Megalaima mystacophanos
Megalaima australis
Calorhamphus fuliginosus
Dinopium javanenses
Meiglytes tristis
Cybirhynvhus macrorhynchus
Chloropsis cyanopogon
Chloropsis sonnerati
Pycnonotus goiavier
Dicrurus panadiseus
Dicrurus annectans
Copsychus saularis
Copsychus malabaricus
Orthotomus ruficeps
Rhinomyas umbratilis
Eumyas thalassina
Ficedula wastermanni
Rhipdura perlata
Rhipdura javanica
Terisphone paradisi
Acridotheres cristatellus
Gracula rellgiosa
Aethopyga siparaja
Arachnothera longilostra
Arachnothera robusta
Diaceum everetti
Zosterops palpebrosus
Lonchura fuscans
Passer montanus
Naja sp.
Phynton reticulatus
Varanus boornensis
Bungarus cancidus
Calloselasma rhodostoma
Dryophis prasinus
Gekko gecko
Mabouya multifasciata
Chitra indica
Orlitia boornensis
Tomistoma schlegelii

Sumber: Thohari (2010)

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

209

Tabel 5.22.Berbagai Flora di Areal HGU Perkebunan Kelapa Sawit


Nama
Daerah

Nama Latin

Status

Ulin

Eusideroxylon zwageri

Jelutung
Meranti
tembaga
Ramin

Dyera costulata

Dilindungi (PP no.7 tahun 1999) Vulnerable


(IUCN)
Dilindungi (PP no.7 tahun 1999)

Shorea leprosula

Endangered (IUCN)

Gonystylus bancanus

Vulnerable (IUCN)

Mersawa
Kantung
Semar
Kantung
Semar

Anisoptera grossivenia
Nepenthes ampullaria type
green
Napenthes maxima type
green

Vulnerable (IUCN)

5.4.7

Dilindungi (PP no.7 tahun 1999)


Dilindungi (PP no.7 tahun 1999)

Industri Minyak Sawit Hemat Sumberdaya dan Minimum


Polusi

Kebutuhan minyak nabati untuk konsumsi masyarakat global


akan meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk
maupun pertumbuhan ekonomi. Sementara ketersediaan lahan untuk
produksi minyak nabati global makin terbatas baik di negara maju
maupun dinegara-negara berkembang. Solusinya adalah masyarakat
global harus memilih minyak nabati yang memiliki produktivitas per
satuan luas lahan yang lebih tinggi (hemat lahan).
Perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan jenis minyak
nabati lainnya, merupakan minyak nabati yang hemat sumberdaya
lahan (Tabel 5.23). Untuk menghasilkan 1000 ton minyak nabati,
perkebunan kelapa sawit hanya memerlukan lahan seluas 234 hektar.
Sementara jenis tanaman minyak nabati lainnya memerlukan lahan
yang lebih luas yakni soybean (2.222 Ha), rapeseed (1.449 Ha) dan
sunflower (1.923 Ha).

210

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 5.23. Kebutuhan Lahan untuk Menghasilkan 1000 Ton Minyak Nabati
dari Berbagai Jenis Minyak Nabati Global.
Jenis
minyak nabati

Produktivitas minyak
(ton/ha)

Soybean
Rapeseed
Sunflower
Groundnuts
Coconut
Cotton
Palm oil
Sumber: Oil World , 2010

0,45
0,69
0,52
0,45
0,34
0,19
4,27

Kebutuhan lahan
untuk 1000 ton
minyak nabati (ha)
2.222
1.449
1.923
2.222
2.941
5.263
234

Selain hemat lahan, perkebunan kelapa sawit juga lebih hemat


input (seperti pupuk, pestisida maupun energi) dan minimal
polusi/emisi yang masuk ke air dan ke dalam tanah (Tabel 5.24).
Perkebunan kelapa sawit lebih hemat pupuk (N, P) dibanding dengan
soybean dan rapeseed. Demikian juga dalam penggunaan energi,
perkebunan kelapa sawit lebih hemat dibandingkan minyak nabati
lainnya.
Tabel 5.24.Perbandingan Penggunaan Input dan Polusi Air/Tanah antara
Perkebunan Kelapa Sawit dengan Minyak Nabati Lain untuk Per
Ton Minyak Nabati yang Dihasilkan
Indikator
Input
N (kg)
Phosphorus (kg P2O5)
Pesticide/Herbicide (kg)
Energi (GJ)
Polusi ke Air/Tanah
N (kg)
Phosphorus (kg P2O5)
Pesticide/Herbicide (kg)
Sumber: FAO (1996)

Kelapa Sawit

Soybean

Rapeseed

47
8
2
0.5

315
77
29
2.9

99
42
11
0.7

5
2
0.4

32
23
23

10
13
9

V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

211

Pada perkebunan kelapa sawit untuk setiap penggunaan satu GJ


energi fosil-fuel dapat menghasilkan energi/minyak nabati sebesar 2
ton. Sementara dari soybean hanya diperoleh 0,34 ton minyak dan 1,4
ton minyak rapeseed. Hal ini bermakna bahwa dalam upaya
internasional menghemat penggunaan energi fosil maka penggunaan
energi fosil untuk produksi minyak sawit dapat menjadi pilihan
rasional.
Polusi atau emisi penggunaan pupuk (N, P) dan pestisida ke air
maupun tanah, perkebunan kelapa sawit lebih rendah/minimum
dibandingkan dengan soybean dan rapeseed. Fakta ini berarti proses
produksi minyak sawit jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan
soybean dan rapeseed.
Selain sumberdaya lahan dan penggunaan input, masalah
penggunaan air juga perlu dilihat. Dewasa ini masalah kelangkaan air
juga menjadi perhatian masyarakat dunia. Selama ini berkembang opini
kehadiran perkebunan kelapa sawit dituduh menghisap banyak air
sehinggga membuat kering daerah sawit. Opini ini perlu dibuktikan
berdasarkan fakta emperis.
Tebu (sugar cane) merupakan jenis tanaman biofuel yang paling
hemat menggunakan air untuk setiap satuan energi yang dihasilkan
(Tabel 5.25). Urutan kedua terhemat adalah minyak sawit, kemudian
disusul sunflower dan soybean. Jagung dan ubi kayu ternyata lebih
banyak menggunakan air. Tanaman rapeseed adalah yang paling boros
menggunakan air.
Tabel 5.25. Konsumsi Air (Water Footprint) dari Berbagai Jenis Tanaman Biofuel
Jenis Tanaman
Cassava
Coconut
Maize
Palm oil
Soybean
Sugarcane
Sunflower
Rapeseed
Sumber: Garbens Leenes et al., (2009)

212

Kisaran
(m/GJ)

Rataan
(m/GJ)

30 205
49 203
9 200
75
61 138
25 31
27 146
67 214

118
126
105
75
100
28
87
184

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Dengan fakta tersebut menunjukan bahwa perkebunan kelapa


sawit adalah salah satu tanaman biofuel yang hemat air. Lebih hemat
daripada soybean, rapeseed, cassava maupun jagung. Dengan demikian
opini yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah rakus
air, tidak didukung fakta atau tidak benar.
Penggunaan biodiesel minyak sawit sebagai pengganti diesel
(fossil-fuel) juga menurunkan emisi GHG sebesar 62 persen dari emisi
GHG diesel. Pengurangan emisi GHG tersebut lebih besar pada minyak
sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. (Gambar 5.15). Hal ini
berarti semakin besar blending biodiesel minyak sawit dalam konsumsi
diesel global, semakin berkurang emisi GHG global.
Sebagian besar produksi CPO Indonesia dipasok keseluruh
negara dunia. Jika minyak sawit tersebut digunakan sebagai biodiesel
untuk mensubsitusi fossil-fuel (khususnya di negara-negara yang
konsumsi fossil-fuel tinggi seperti Uni Eropa, USA, dan negara lain)
akan mengurangi emisi CO2 global. Penggantian fosil-fuel (diesel)
dengan palm oil diesel dapat mengurangi 62 persen emisi CO2
dibandingkan diesel.
Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit merupakan bagian
solusi dari upaya mengurangi peningkatan emisi CO2 global melalui
dua cara, yakni: Pertama, menyerap CO2 dari atmosfir bumi (dari emisi
yang dihasilkan masyarakat dunia); dan Kedua, mengurangi emisi CO 2
global melalui subsitusi diesel (fossil-fuel) dengan palm oil diesel.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

88

58

45

Rapeseed
Biodiesel

62

40

Soybean
Biodiesel

Sunflower
Biodiesel

Palm Oil
Biodiesel
(methane
capture)

Waste Cooking
Oil/Vegetable
Oil

Sumber: European Commission Joint Research Centre


Gambar 5.15. Pengurangan Emisi CO2 dari Palm Oil Biodiesel Sebagai
Pengganti Fosil-Diesel Dibandingkan Sumber Biodiesel Lainnya
(persen)
V. Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia

213

214

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

BAB VI
INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA 2050

Dalam merumuskan industri minyak sawit Indonesia 2050


mengadopsi paradigma bahwa sebagai produsen terbesar minyak sawit
dunia, Indonesia berkesempatan untuk mendefinisikan secara by design
Mau Seperti Apa Industri minyak sawit Indonesia 2050, dan bukan
ditentukan oleh negara- negara dunia. Bahwa perubahan lingkungan
strategis global yang akan terjadi menuju tahun 2050 mempengaruhi
peluang industri sawit Indonesia tentu saja benar dan perlu
dipertimbangkan untuk merumuskan mau kemana industri minyak
sawit Indonesia kedepan. Namun point of view yang seharusnya
dimiliki Indonesia sebagai terbesar produsen industri sawit
(sebagaimana digunakan dalam buku ini) adalah industri minyak sawit
Indonesia harus memimpin perubahan dan mengendalikan pasar
minyak sawit dunia dan bukan sebaliknya yakni pasar minyak sawit
dunia menentukan industri minyak sawit Indonesia. Sudut pandang
yang demikian menjadi dasar penyusunan cetak biru industri minyak
sawit Indonesia 2050.
6.1 Asumsi - Asumsi
Kebutuhan CPO domestik 2015-2050 difokuskan pada upaya
memenuhi kebutuhan produksi biodiesel untuk secepat mungkin
mengganti (mengurangi) konsumsi solar/diesel untuk ketahanan dan
keberlanjutan energi dan pegurangan laju emisi GHG dari konsumsi
solar. Hal ini sangat penting mengingat ketergantungan Indonesia pada
solar impor makin tinggi untuk memenuhi kebutuhan solar dalam
negeri baik akibat pertumbuhan ekonomi maupun pertambahan jumlah
penduduk.
Volume konsumsi solar Indonesia meningkat dari 39.4juta kl
(2013) naik menjadi 50.94 juta kl (2020) kemudian menjadi sekitar 100
juta kl (2050). Menurut proyeksi US Energy Information
Administration(2008), harga crude oil dunia diperkirakan naik menjadi
U$ 300/barrel atau sekitar U$ 2/liter (berdasarkan harga tetap tahun
2009). Hal ini berarti resiko ekonomi yang akan dihadapi Indonesia
makin besar di masa yang akan datang jika tidak ada upaya yang
fundamental untuk mengurangi ketergantungan pada solar.
Mempercepat subsitusi solar dengan biodiesel asal minyak sawit
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

215

(FAME) diharapkan menjadi salah satu solusi untuk membangun


kemandirian energi kedepan.
Kebutuhan CPO untuk biodiesel mengikuti kebijakan mandatori
dengan skedul dan volume yang telah direncanakan selama ini
(PERMEN ESDM No. 32/2008). Namun antisipasi percepatan
mandatory biodiesel juga dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah
tahun 2030 diharapkan Indonesia sudah memasuki mandatory B40.
Selain itu kebutuhan CPO juga memperhatikan kebutuhan
minyak goreng, margarine, sabun dan detergen sesuai dengan
pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Hal yang penting lagi, hilirisasi CPO didalam negeri untuk
meningkatkan nilai tambah, transformasi struktur ekspor minyak sawit
(dari bernilai tambah rendah ke bernilai tambah tinggi)menjadi
perhatian penting dalam menetapkan proyeksi kebutuhan CPO di masa
yang akan datang. Asumsi dan Proyeksi Kebutuhan CPO Domestik
disajikan pada tabel 6.1.
Dari segi produksi, diasumsikan perluasan areal kebun masih
berjalan sesuai dengan trend historisnya, baik perkebunan sawit
swasta, negara, terutama rakyat. Menurut berbahgai sumber (tabel 6.2
dan tabel 6.3) lahan yang tersedia di Indonesia masih memungkinkan
untuk perluasan areal perkebunan kelapa sawit, baik pada provinsi
yang sudah berkembang perkebunan kelapa sawit maupun pada
provinsi pengembangan baru seperti Aceh, Sulawesi, Maluku dan
Papua. Menurut data tersebut terdapat sekitar 29 juta hektar degraded
land diluar kawasan hutan. Demikian juga bila dihitung lahan yang
telah termanfaatkan oleh perkebunan kelapa sawit dibandingkan
dengan kesesuaian lahan untuk kelapa sawit yang tersedia pada
beberapa provinsi masih tersedia sekitar 17 juta hektar.
Dari sisi ekofisiologis, perkebunan kelapa sawit memiliki fungsi
ekofisiologis yang relatif sama dengan hutan (Hansen, 1999, PPKS,
2004). Oleh karena itu pemanfaatan degraded land pada hutan produksi
untuk perkebunan kelapa sawit tidak menurunkan kualitas ekosistem,
bahkan sebaliknya justru meningkatkan kualitas ekosistem baik melalui
fungsi ekologis perkebunan kelapa sawit, dalam menyerap CO2,
meningkatkan penambahan karbon/biomas dan menghasilkan oksigen.

216

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 6.1. Asumsi Proyeksi Pertumbuhan Tahun 2014-2050 (%/tahun)


URAIAN

Proyeksi Pertumbuhan (%/tahun)

Kondisi
2013

2013
2020

2021
2025

2026
2030

2031
2035

2036
2040

2041
2045

2046
2050

jumlah
penduduk
(juta jiwa)

249.9

1.00

0.95

0.47

0.46

0.45

0.44

0.43

GDP
(U$/kapita)

3,580

4.70

4.69

4.53

4.34

4.15

4.00

3.84

Minyak Goreng (ton)


Konsumsi

5,221,000

3.00

2.49

2.26

2.03

1.84

1.69

1.55

Produksi

18,808,940

1.58

1.42

1.35

1.26

1.19

1.12

1.06

Margarine (ton)
Konsumsi

378,000

3.00

2.49

2.26

2.03

1.84

1.69

1.55

Produksi

723,000

3.98

3.11

2.77

2.43

2.17

1.95

1.78

Oleokimia/ Detergen (ton)


Konsumsi
Produksi
Konsumsi
Solar (Juta
Ton)
Mandatori
Biodiesel (%B)
Ekspansi
Mandatori
(%B)

562,054

4.00

3.13

2.78

2.44

2.17

1.96

1.79

1,600,000

3.50

2.82

2.53

2.24

2.02

1.83

1.68

39.4

3.74

2.98

2.61

2.31

2.07

1.88

1.72

B 4.4

B5

B 10

B 20

B 20

B 20

B 20

B 20

B 20

B25B 30

B 35B 40

B 40

B 40

B 40

B 40

Tabel 6.2.
Luas Degraded Land di Indonesia
Lokasi/Wilayah
Luas (Juta Ha)
Hutan Konservasi
4.75
Hutan Lindung
9.52
Hutan Produksi Tetap
13.88
Hutan Produksi Terbatas
10.87
Hutan Produksi dapat dikonversi
9.69
Non Kawasan Hutan
29.72
Jumlah
78.43
Sumber: Prosval Consulting (Bimasena 2014)

VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

217

Tabel 6.3. Luasan Lahan Berpotensi Tinggi Untuk Tanaman Kelapa Sawit di
Beberapa Wilayah Indonesia
Provinsi

Luas Lahan
Berpotensi (Ha)

Luas Areal
Sawit 2013 (Ha)

Lahan Masih
Tersedia (Ha)

Sumatera Utara

1,298,000

1,190,556

107,444

Riau

2,848,200

1,940,717

907,483

728,479

303,873

424,606

3,671,100

694,447

2,976,653

3,638,500

1,026,478

2,612,022

4,399,400

693,744

3,705,656

Sulawesi Tengah

146,300

97,489

48,811

Sulawesi Selatan

288,000

23,795

264,205

Bengkulu
Kalimantan Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan Timur

Papua
5,896,500
36,124
Total
Lahan
22,914,479
6,007,223
Berpotensi
Sumber: Puslit Tanah dan Agroklimat, Balitbang Deptan (1993)

5,860,376
16,907,256

Oleh sebab itu pemanfaatan degraded land untuk perkebunan


kelapa sawit pada kawasan hutan produksi tetap maupun hutan
produksi yang dapat dikonversi dapat menjadi bagian dari solusi
restorasi ekosistem. Tentu saja untuk degraded land yang ada dikawasan
hutan lindung dan hutan konservasi sebaiknya tidak dikonversi pada
penggunaan lain, dipertahankan dan direhabilitasi untuk memperbaiki
fungsi hutan lindung dan hutan konservasi.
Meskipun ketersediaan lahan untuk perluasan areal perkebunan
kelapa sawit masih tersedia sampai pada luasan tertentu, dimasa yang
akan datang diharapkan peningkatan produktivitas CPO per hektar
lahan menjadi andalan sumber pertumbuhan produksi CPO Indonesia.
Sumber pertumbuhan produksi CPO dari produktivitas dipandang
lebih berkualitas karena: (1) Sumber pertumbuhan CPO dari
produktivitas lebih sustainable dan lebih menguntungkan; (2) Dapat
meminimumkan konflik sosial maupun konflik antar sektor, (3)
Mengurangi ketergantungan pada kebaikan alam dan dampak
perubahan iklim dalam produksi CPO nasional dan (4) Menjaga
keseimbangan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan secara
nasional.
Pandangan yang demikian telah lama disadari pelaku
persawitan di Indonesia. Oleh karena itu pada acara peringatan 100
tahun perkebunan kelapa sawit Indonesia tahun 2011 di Medan, telah
218

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

disepakati untuk mengejar produktivitas yakni 35 ton TBS/Ha dengan


rendemen 26 persen (dikenal dengan target 35-26) atau produktivitas
CPO sekitar 9 ton CPO/Ha.
Tentu saja, target tersebut merupakan target jangka panjang
melalui upaya yang sistematis dan by design. Perkebunan kelapa sawit
Malaysia sendiri dalam jangka panjang (sebagimana dimuat dalam
PEMANDU) menargetkan produktivitas CPO/Ha sebesar 6 ton tahun
2020 dan 8 ton tahun 2030
Peningkatan produktivitas CPO per hektar dipengaruhi
berbagai variable seperti bibit/varietas, kultur teknis budidaya
khususnya pemupukan, umur dan komposisi tanaman, populasi
tanaman per hektar, pemanenan dan pengangkatan TBS , dan efisiensi
proses pengolahan CPO pada PKS (CPO Mill). Upaya perbaikan yang
ideal (continous improvement) menjangkau seluruh variabel tersebut
diatas sehingga diperoleh peningkatan total produktivitas (total factor
productivity).
Untuk peningkatan produktivitas CPO per hektar menuju 2050
diproyeksikan melakukan berbagai upaya yakni: (1) menggunakan
varietas unggul (produktivitas 5-6 ton CPO/Ha) pada replanting dan
perbaikan kultur teknis budidaya dan PKS selama periode tahun 20162025 baik PR,PN dan PS, (2) menggunakan varietas unggul baru (rataan
produktivitas 7-8. Ton CPO/Ha) pada replanting dan perbaikan kultur
teknis budidaya dan PKS selama periode tahun 2026-2030 dan (3)
menggunakan varietas unggul baru (rataan produktivitas 8-9 Ton
CPO/Ha) pada replanting dan perbaikan kultur teknis budidaya dan
PKS selama periode tahun 2031-2050.
6.2

Visi dan Misi Industri Minyak Sawit Indonesia 2050

6.2.1

Visi 2050
Menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dan
produk hilir minyak sawit dunia secara berdayasaing dan
berkelanjutan

6.2.2 Misi 2050


1. Meningkatkan produksi CPO khususnya melalui peningkatan
produktivitas CPO perhektar.
2. Mempercepat hilirisasi didalam negeri baik industri
oleopangan, oleokimia dan turunannya (pelumas,surfaktan,dll),
detergen dan sabun serta biodiesel.

VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

219

3. Melakukan perbaikan terus menerus tata kelola industri minyak


sawit yang berkelanjutan.
4. Mengembangkan kebijakan industri minyak sawit yang
kompetitif dan berkelanjutan.
6.3 Roadmap Hilirisasi
Indonesia tentu tidak berhenti pada posisi sebagai produsen CPO
terbesar dunia seperti yang telah dicapai sejak tahun 2006, namun ingin
naik kelas menjadi negara produsen terbesar dunia dalam olein
(minyak goreng, margarin dan shortening), detergen dan sabun,
biodiesel, dan produk turunan oleokimia seperti pelumas, surfaktan,
dan lain-lain.
Oleh sebab itu menuju tahun 2050 Indonesia akan mempercepat
dan memperluas hilirisasi CPO di dalam negeri yang telah dimulai
sejak 2011. Percepatan dan perluasan hilirisasi CPO didalam negeri
memiliki manfaat ganda seperti peningkatan nilai tambah didalam
negeri, merubah struktur ekspor industri minyak sawit ke arah
dominasi produk-produk hilir bernilai tambah tinggi dan memperkuat
bargaining position Indonesia dipasar global. Hilirisasi yang makin luas
di dalam negeri akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada
pasar CPO global.
Menuju tahun 2050 roadmap percepatan dan perluasan hilirisasi
dilakukan (tabel 6.4)melalui 4 jalur yakni: (1) Pengembangan industri
minyak goreng dan margarin baik untuk memenuhi kebutuhan
domestik maupun untuk ekspor, (2) pengembangan dan pendalaman
industri oleokimia untuk menghasilkan produk turunan bernilai
tambah tinggi yang ditujukan kepada pasar domestik dan ekspor, (3)
Pengembangan industri detergen dan sabun untuk menghasilkan
produk turunan bernilai tambah tinggi yang ditujukan kepada pasar
domestik dan ekspor dan (4) Percepatan industri biodiesel.
Perhatian khusus perlu diberikan pada pengembangan dan
pendalaman industri oleokimia serta biodiesel. Pendalaman industri
oleokimia ditujukan untuk menghasilkan produk-produk bernilai
tambah tinggi dan memiliki pasar yang bertumbuh baik di dalam
negeri maupun di pasar dunia. Produk yang dimaksud antara lain
pelumas (lubrikan) dan surfaktan. Kemudian pengembangan biodiesel
ditujukan untuk menghasilkan biodiesel (FAME) sebagai pengganti
solar (diesel) yang konsumsi dan impornya meningkat cepat. Menuju
tahun 2050 produksi biodiesel Indonesia diproyeksikan dapat
memenuhi 40% penggantian kebutuhan solar (B40) Indonesia.

220

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Penggantian sebagian solar dengan biodiesel juga akan mengurangi


emisi gas rumah kaca Indonesia.
6.3.1

Proyeksi Konsumsi Industri Hilir Minyak Sawit


Berdasarkan asumsi yang dikemukakan pada tabel 6.1,
konsumsi minyak goreng diproyeksikan meningkat dari 5.2 juta ton
tahun 2013 meningkat menjadi 6.4 juta ton tahun 2020. Kemudian
konsumsi minyak goreng meningkat dari 8.1 juta ton 2030 dan menjadi
11.5
juta
ton
tahun
2050.
Sementara
itu
konsumsi
margarine/shortening/ specialty fat diproyeksikan meningkat dari
0.37 juta ton tahun 2013 meningkat menjadi 0.46 juta ton tahun 2020.
Kemudian konsumsi minyak goreng meningkat dari 0.59 juta ton 2030
dan menjadi 0.83 juta ton tahun 2050(tabel 6.4 dan gambar 6.1).
Tabel 6.4. Proyeksi Volume Konsumsi Domestik Produk Hilir 2013-2050 (Ton)

Tahun
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050

Minyak
Goreng
5,221,000
5,377,630
5,538,959
5,705,128
5,876,281
6,052,570
6,234,147
6,421,171
7,260,076
8,116,967
8,973,858
9,830,749
10,687,641
11,544,532

Margarine Oleokimia/Detergen
378,000
389,340
401,020
413,051
425,442
438,206
451,352
464,892
525,629
587,668
649,707
711,746
773,784
835,823

562,054
584,536
607,918
632,234
657,524
683,825
711,178
739,625
862,818
989,556
1,116,295
1,243,034
1,369,773
1,496,512

Biodiesel
1,500,000
2,500,000
4,262,000
8,856,000
9,190,000
9,522,000
9,856,000
10,188,000
20,649,792
26,847,857
30,095,952
33,344,048
36,592,143
39,840,238

Searah dengan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri,


konsumsi oleokimia diproyeksikan meningkat dari 0.56 juta ton tahun
2013 meningkat menjadi 0.73 juta ton tahun 2020. Kemudian konsumsi
oleokimiatersebut meningkat dari 0.99 juta ton 2030 dan menjadi 1.49
juta ton tahun 2050.
Dengan percepatan mandatory biodiesel kedepan, konsumsi
biodiesel diproyeksikan meningkat dari 1.5 juta ton tahun 2013
meningkat menjadi 10.18 juta ton (B20) tahun 2020. Kemudian secara
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

221

biodiesel

oleokimia/detergen

2049

2047

2045

2043

2041

2039

2037

2035

2033

2031

2029

2027

2025

2023

2021

2019

2017

2015

60
50
40
30
20
10
0
2013

Juta ton

bertahap kebijakan mandatory diproyeksikan meningkat menjadi B40


tahun 2030, konsumsi biodiesel meningkat dari 26.84 juta ton 2030 dan
menjadi 39.84 juta ton tahun 2050.

TOTAL Mgr& Margarine

Gambar 6.1. Proyeksi Konsumsi Domestik Produk Hilir

6.3.2

Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit


Untuk memenuhi kebutuhan produk industri hilir dan terus
berkembang dari tahun ke tahun, memerlukan peningkatan produksi
industri hilir minyak sawit di dalam negeri (tabel 6.5).
Produksi minyak goreng diproyeksikan meningkat dari 18.8 juta
ton tahun 2013 menjadi 20.9 juta ton tahun 2020 dan menjadi 30.3 juta
ton tahun 2050. Sementara itu produksi margarine diproyeksikan
meningkat dari 0.72 juta ton tahun 2013 menjadi 0.95 juta ton tahun
2020 dan menjadi 1.91 juta ton tahun 2050. Produksi
Oleokimia/detergen diproyeksikan meningkat 30 kali dalam periode
2013-2050, yakni dari 16 juta ton tahun 2013 menjadi 20.3 juta ton tahun
2020 dan menjadi 38.9 juta ton tahun 2050.
Industri biodiesel yang merupakan jalur hilirisasi baru di
Indonesia diproyeksikan bertumbuh cepat, yakni dari sekitar 3 juta ton
tahun 2013 menjadi 11.6 juta ton tahun 2020 dan menjadi 55.7 juta ton
tahun 2050. Peningkatan produksi biodiesel tersebut dapat memenuhi
program subsitusi solar dengan biodiesel yakni dari B10 tahun 2013
menjadi B20 tahun 2020 dan menjadi B40 ditahun 2050.
demikian Dengan proyeksi produksi yang (gambar 6.2) maka
diperlukan peningkatan kapasitas pabrik masing-masing. Kapasitas
pabrik minyak goreng meningkat sekitar 20 juta ton tahun 2013 menjadi
sekitar 22 juta ton tahun 2020 dan menjadi sekitar 33 juta ton tahun
2050. Demikian juga kapasitas pabrik industri margarine meningkat
dari sekitar 1 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 1.5 juta ton tahun 2020
dan menjadi sekitar 2.1 juta ton tahun 2050.

222

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 6.5. Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit 2013-2050 (ton)
Minyak goreng

2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050

18,808,940
19,101,449
19,400,016
19,704,796
20,015,946
20,333,631
20,658,019
20,989,282
22,523,374
24,080,352
25,637,331
27,194,309
28,751,288
30,308,267

margarine
723,000
751,590
781,383
812,431
844,792
878,523
913,685
950,342
1,107,778
1,270,019
1,432,260
1,594,501
1,756,742
1,918,983

oleokimia/detergen
1,600,000
1,656,000
1,713,960
1,773,949
1,836,037
1,900,298
1,966,809
2,035,647
2,339,024
2,650,017
2,961,009
3,272,002
3,582,994
3,893,987

Biodiesel
3,084,143
3,800,000
5,762,000
10,356,000
10,690,000
11,022,000
11,356,000
11,688,000
28,909,708
37,587,000
42,134,333
46,681,667
51,229,000
55,776,333

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2013
2015
2017
2019
2021
2023
2025
2027
2029
2031
2033
2035
2037
2039
2041
2043
2045
2047
2049

Juta Ton

Tahun

TOTAL Mgr & Margarine

oleokimia/detergen

biodiesel

Gambar 6.2 Proyeksi Produksi Hilir

Kapasitas pabrik oleokimia diproyeksikan meningkat dari


sekitar 18 juta ton tahun 2013 menjadi sekitar 22 juta ton tahun 2020 dan
menjadi sekitar 40 juta ton tahun 2050. Peningkatan yang sangat cepat
terjadi pada industri biodiesel, kapasitas pabrik tahun 2013 masih
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

223

sekitar 3 juta ton akan meningkat menjadi sekitar 12 juta ton tahun
2020 dan sekitar 57 juta tahun 2050.
6.4

Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik


Peningkatan produksi indutri hilir yang diproyesikan tersebut
diatas memerlukan peningkatan kebutuhan CPO (tabel 6.6). Kebutuhan
CPO yang diperlukan minyak goreng meningkat dari 18.8 juta ton
tahun 2013 menjadi 20.9 juta ton tahun 2020 dan 30.3 juta ton tahun
2050. Demikian juga kebutuhan CPO yang diperlukan pada industri
margarine dari 0.7 juta ton tahun 2013 menjadi 0.9 juta ton tahun 2020
dan 1.91 tahun 2050.
Pada industri oleokimia/detergen juga terjadi peningkatan
kebutuhan CPO, yakni dari 16 juta ton taun 2013 menjadi 20.3 juta ton
tahun 2020 dan 38.9 juta ton tahun 2050. Peningkatan kebutuhan CPO
pada industri biodiesel mengalami peningkatan yang sangat cepat,
yakni dari 3 juta ton tahun 2013 menjadi 11.6 juta ton tahun 2020 dan
55.7 tahun 2050.
Tabel 6.6. Proyeksi Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik
Kebutuhan CPO Domestik (ton)
Tahun

minyak
goreng

Margarine

oleokimia/detergen

biodiesel

TOTAL

2013

18,808,940

723,000

1,600,000

3,084,143

24,216,083

2014

19,101,449

751,590

1,656,000

3,800,000

25,309,039

2015

19,400,016

781,383

1,713,960

5,762,000

27,657,359

2016

19,704,796

812,431

1,773,949

10,356,000

32,647,176

2017

20,015,946

844,792

1,836,037

10,690,000

33,386,775

2018

20,333,631

878,523

1,900,298

11,022,000

34,134,452

2019

20,658,019

913,685

1,966,809

11,356,000

34,894,512

2020

20,989,282

950,342

2,035,647

11,688,000

35,663,271

2025

22,523,374

1,107,778

2,339,024

28,909,708

54,879,884

2030

24,080,352

1,270,019

2,650,017

37,587,000

65,587,388

2035

25,637,331

1,432,260

2,961,009

42,134,333

72,164,933

2040

27,194,309

1,594,501

3,272,002

46,681,667

78,742,479

2045

28,751,288

1,756,742

3,582,994

51,229,000

85,320,024

2050

30,308,267

1,918,983

3,893,987

55,776,333

91,897,569

224

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Secara keseluruhan penyerapan CPO untuk kebutuhan


domestik meningkat dari 24 juta ton tahun 2013 menjadi 35 juta ton
tahun 2020 dan 91 juta ton tahun 2050. Penyerapan CPO domestik
terbesar adalah untuk industri biodiesel, yakni sekitar 12 persen tahun
2013 menjadi 32 persen tahun 2020 dan 60 persen 2050 dari total
kebutuhan CPO domestik Indonesia (gambar 6.3).
100

juta Ton

80

60
40
20
2013
2015
2017
2019
2021
2023
2025
2027
2029
2031
2033
2035
2037
2039
2041
2043
2045
2047
2049

minyak goreng

margarine

biodiesel

TOTAL

oleokimia/detergen

Gambar 6.3. Proyeksi kebutuhan CPO Domestik tahun 2013-2050

6.5

Roadmap Produksi CPO Menuju 2050


Untuk memenuhi kebutuhan CPO domestik yang diproyeksikan
meningkat dari tahun ke tahun diperlukan peningkatan produksi CPO.
Peningkatan produksi CPO dapat dilakukan melalui perluasan areal
maupun peningkatan produktivitas. Dalam periode 2015-2050
peningkatan produktivitas menjadi sumber pertumbuhan penting bagi
industri minyak sawit. Oleh karena itu pengembangan industri
pembibitan kelapa sawit menjadi sangat penting untuk mendukung
peningkatan produktivitas tersebut.
6.5.1

Roadmap Pengembangan Industri Pembibitan Kelapa Sawit


Untuk memenuhi kebutuhan bibit unggul baik untuk replanting
maupun areal baru serta pencapaian produktivitas diperlukan bibit
dengan produktivitas sebagaimana disajikan pada table 6.7.
Kebutuhan bibit kelapa sawit unggul untuk memenuhi
kebutuhan replanting dan area baru diproyeksikan meningkat dari
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

225

tahun ke tahun. Tahun 2015 diperlukan 132.7 juta kecambah dan


meningkat menjadi 150.3 juta kecambah tahun 2030, kemudian
diperlukan 251.1 juta kecambah tahun 2050.
Tabel 6.7. Kebutuhan Bibit dan Roadmap Kualitas Bibit Kelapa Sawit 2013-2050

Tahun

Kebutuhan Bibit

Protas Proven
Bibit (ton CPO/Ha)

2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035

118,278,200
63,623,600
132,738,720
144,078,166
165,031484
150,117,639
117,647,574
146,165,529
151,915,329
150,361,729
217,063,329

4-5
4-5
4-5
4-5
5-6
5-6
5-6
5-6
6-8
6-8
8-9

2040
2045
2050

231,981,249
245,408,058
251,157,858

8-9
8-9
8-9

Selain jumlah bibit yang diperlukan hal yang penting adalah


produktivitas terbukti (proven) bibit yang dihasilkan diharapkan
mengalami peningkatan dari periode ke periode. Pada saat ini bibit
yang tersedia dari pembibitan kelapa sawit memiliki produktivitas
(proven) antara 5-7 ton CPO perhektar. Mengingat diperlukan waktu
yang relatif panjang (7-10 tahun) untuk menghasilkan varietas baru,
maka diharapkan varietas bibit dengan kemampuan produksi 7-8 ton
CPO perhektar diproyeksikan baru tersedia tahun 2025. Selanjutnya
untuk kebutuhan varietas bibit yang lebih unggul lagi yakni dengan
produktivitas 8-9 ton CPO perhektar diproyeksikan baru tersedia mulai
tahun 2030. Oleh karena itu, perlu segera disusun cetak biru maupun
roadmap industri pembibitan kelapa sawit nasional mulai dari tingkat
plasma nutfah, grandparents (pohon nenek), dan parents (pohon induk)
sampai pada produksi kecambah (bibit komersil). Bagaimana industri
pembibitan kelapa sawit dalam menghasilkan bibit yang makin unggul

226

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

menentukan sejauh mana kemajuan produktivitas yang akan dicapai


oleh industri perkebunan kelapa sawit Indonesia.

6.5.2 Roadmap Replanting


Dalam periode 2013-2050 diproyeksikan replanting dan
penanaman baru kelapa sawit (tabel 6.8). luas replanting cenderung
meningkat, sementara tanaman baru cenderung menurun menuju
tahun 2050. Hal ini membuktikan bahwa industri minyak sawit
Indonesia menuju tahun 2050 lebih memfokuskan peningkatan
produktivitas dibandingkan dengan perluasan areal.
Tabel 6.8. Roadmap Replanting dan Tanaman Baru serta Kebutuhan Bibit
Kelapa Sawit 2013-2050

Tahun
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050

Raplanting
Nasional
140,965
118,050
153,149
184,319
262,282
159,569
190,822
234,615
263,364
255,596
589,104
663,694
730,828
759,577

Tanaman
Baru
Nasional
450,426
200,068
510,545
536,072
562,875
591,019
397,416
496,213
496,213
496,213
496,213
496,213
496,213
496,213

Total
591,391
318,118
663,694
720,391
825,157
750,588
588,238
730,828
759,577
751,809
1,085,317
1,159,906
1,227,040
1,255,789

6.5.3 Roadmap Luas Areal dan Komposisi Tanaman


Untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit 2015-2050
dilakukan melalui dua strategi yakni : perluasan areal baru dan
peningkatan produktivitas. Di proyeksikan tambahan area baru masih
terjadi setiap tahun (khususnya perkebunan rakyat) dalam periode
2015-2050. Dengan demikian diproyeksikan pada tahun 2020 luas areal
perkebunan kelapa sawit Indonesia akan mencapai 13.3 juta hektar
(table 6.9 dan gambar 6.5). Terdiri dari perkebunan sawit rakyat 6.6 juta
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

227

Ha, perkebunan sawit swasta 5.9 juta Ha, dan negara 0.72 juta Ha.
Kemudia pada tahun 2050 luas areal perkebunan kelapa sawit
Indonesia akan mencapai 28 juta hektar. Terdiri dari perkebunan sawit
rakyat 16.6 juta Ha, perkebunan sawit swasta 10 juta Ha, dan negara 0.8
juta Ha. Dengan demikian pangsa perkebunan rakyat makin dominan
dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia (gambar6.4).

2013

2020
Rakyat
44.11%
Negara
6.86%
Swasta
49.03%

Rakyat
49.48%
Negara
5.46%
Swasta
45.06%

2050
Rakyat
58.99%
Negara
3.11%
Swasta
37.903%

Gambar 6.4. Perubahan Pangsa Areal Perkebunan Sawit Negara, Rakyat, dan
Swasta Indonesia tahun 2013-2050

Rakyat

Negara

2049

2047

2045

2043

2041

2039

2037

2035

2033

2031

2029

2027

2025

2023

2021

2019

2017

2015

2013

100%
80%
60%
40%
20%
0%

Swasta

Gambar 6.5. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2013-2050

228

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

100%
80%
60%
40%
20%
0%
2015

2020

TBM

2025

2030

Muda

2035

Remaja

2040

Dewasa

2045

2050

Tua

Gambar 6.6 Proyeksi Komposisi Tanaman Kelapa Sawit Indonesia 2013-2050.

Tabel 6.9. Proyeksi Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia 2015-2050


Tahun
Rakyat
Negara
Swasta
Nasional
2015
4,810,271
704,094
5,207,071
10,721,437
2016
5,186,611
707,615
5,363,283
11,257,508
2017
5,585,049
711,153
5,524,182
11,820,384
2018
6,006,787
714,708
5,689,907
12,411,403
2019
6,248,745
721,613
5,838,461
12,808,819
2020
6,583,652
726,597
5,994,782
13,305,032
2025
8,258,191
751,515
6,776,389
15,786,095
2030
9,932,729
776,433
7,557,996
18,267,158
2035
11,607,267
801,351
8,339,602
20,748,221
2040
13,281,806
826,269
9,121,209
23,229,284
2045
14,956,344
851,188
9,902,816
25,710,348
2050
16,630,883
876,106
10,684,423
28,191,411

Dengan kombinasi perluasan areal baru, dan replanting


pada perkebunan sawit rakyat, negara, maupun swasta secara
overtime proyeksi komposisi perkebunan kelapa sawit Indonesia
menurut umur (gambar 6.6) mengalami perubahan dari tahun ke
tahun.

VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

229

6.5.4

Roadmap Produktivitas
Selain perluasan areal pengembangan perkebunan kelapa sawit
Indonesia menuju 2050, juga (bahkan terpenting) peningkatan
produktivitas CPO perhektar melalui
program replanting yang
konsisten setiap tahun (antara lain menuju perbaikan komposisi
tanaman), keharusan penggunaan varietas unggul baru pada setiap
replanting/penanaman areal baru, perbaikan kultur teknis baik pada
budidaya, pemanenan/pengangkutan dan proses pengolahan PKS.
Dengan perbaikan kultur teknis yang diharapkan dilaksanakan
secara bersama-sama oleh pelaku perkebunan kelapa sawit, maka
diproyeksikan roadmap peningkatan produktivitas perkebunan kelapa
sawit Indonesia akan terjadi baik pada perkebunan kelapa sawit rakyat
(gambar 6.7), negara (gambar 6.7), maupun swasta (gambar 6.9) .

Rakyat 2013-26

Rakyat 2027-35

Rakyat 2036-50

8.00
Protas

6.00

4.00
2.00
0.00
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Umur

Gambar 6.7.

230

Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit


Rakyat 2013-2050

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Negara 2013-26

Negara 2027-35

Negara 2036-50

12
10

Protas

8
6
4
2
0
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Umur

Gambar 6.8.

Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit


Negara 2013-2050

Protas

Swasta 2013-26

Swasta 2027-35

Swasta 2036-50

10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Umur

Gambar 6.9. Roadmap Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit Swasta


2013-2050
Roadmap produktivitas perkebunan sawit rakyat diharapkan
meningkat dari 2.82 ton CPO/ha (2013) menjadi 3.39 ton CPO/ha (2020)
dan 6.38 ton CPO/ha (2050). Produktivitas perkebunan sawit negara
diharapkan meningkat dari 3.97 ton CPO/ha (2013) menjadi 4.93 ton
CPO/ha (2020) dan 8.32 ton CPO/ha (2050). Kemudian produktivitas
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

231

perkebunan sawit swasta juga diharapkan meningkat 3.37 ton CPO/ha


(2013) menjadi 4.16 ton CPO/ha (2020) dan 7.30 ton CPO/ha (2050).
Dengan demikian secara nasional produktivitas perkebunan sawit
meningkat dari 3.69 ton CPO/ha (2013) menjadi 4.40 ton CPO/ha (2020)
dan 7.42 ton CPO/ha (2050).
6.5.5

Proyeksi Produksi CPO Menuju 2050


Jika roadmap peningkatan produktivitas maupun perluasan areal
sebagaimana dijelaskan diatas dapat terlaksana sesuai skedul, maka
produksi CPO Indonesia diproyeksikan akan meningkat dari 27.6 juta
tahun 2013 menjadi 43.9 juta tahun 2020. Dengan perbaikan yang terusmenerus (continuous improvement), produksi CPO Indonesia akan
mencapai 141 juta ton ketika NKRI berumur 100 tahun dan menjadi 163
juta ton tahun 2050 (tabel 6.10).
Tabel 6.10. Proyeksi Produksi CPO Menurut Pengusahaan 2013-2050

Tahun
Rakyat
Negara
Swasta
Nasional
2013
9,347,156
3,063,871
15,229,197
27,640,224
2014
10,317,201
3,458,403
16,584,740
30,360,345
2015
11,213,164
3,658,103
17,495,909
32,367,176
2016
12,558,461
3,829,231
18,705,947
35,093,639
2017
13,540,232
3,858,699
19,354,109
36,753,040
2018
15,179,208
3,980,417
20,101,878
39,261,503
2019
16,533,046
4,111,606
20,913,766
41,558,419
2020
18,180,641
4,152,173
21,598,196
43,931,010
2025
27,560,147
4,201,871
24,509,687
56,271,705
2030
36,370,598
5,348,872
36,756,336
78,475,805
2035
48,987,183
5,321,167
40,038,103
94,346,453
2040
60,503,011
7,306,455
53,389,036
121,198,502
2045
73,929,887
7,765,991
60,197,693
141,893,571
2050
90,995,043
7,597,767
65,166,827
163,759,637
Dari produksi CPO Indonesia tersebut diproyeksikan produksi
CPO asal perkebunan rakyat akan meningkat dari 9.3 juta tahun 2013
menjadi 18.2 juta tahun 2020 dan 91 juta tahun 2050. Produksi CPO asal
perkebunan negara akan meningkat dari 3 juta tahun 2013 menjadi 4.1
juta tahun 2020 dan 7.6 juta tahun 2050. Produksi CPO asal perkebunan
swasta akan meningkat dari 15.2 juta tahun 2013 menjadi 21.6 juta
tahun 2020 dan 65 juta tahun 2050. Hal ini berarti pangsa CPO asal
232

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

perkebunan rakyat dalam total produksi CPO nasional meningkat dari


33 persen tahun 2013 menjadi 41 persen tahun 2020 dan menjadi 55
persen tahun 2050.

6.6

Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Sawit


Nasional

Peningkatan produksi CPO maupun hilirisasi menciptakan


kesempatan kerja baru. Teknologi pada industri minyak sawit
yang umumnya lebih padat karya (labor intensive), berarti
setiap peningkatan produksi pada industri minyak sawit akan
menggunakan banyak tenaga kerja.
Tabel 6.11 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Sawit
Nasional 2013-2050
Tenaga Kerja
Tahun
Perkebunan Sawit
Supplier
Industri Hilir
Total
2013
5,005,412
500,541
96,864
5,602,818
2014
5,105,446
510,545
101,236
5,717,227
2015
5,360,718
536,072
110,629
6,007,420
2016
5,628,754
562,875
130,589
6,322,218
2017
5,910,192
591,019
133,547
6,634,758
2018
6,205,702
620,570
136,538
6,962,809
2019
6,404,409
640,441
139,578
7,184,428
2020
6,652,516
665,252
142,653
7,460,420
2025
7,893,047
789,305
219,520
8,901,872
2030
9,133,579
913,358
262,350 10,309,286
2035
10,374,111
1,037,411
288,660 11,700,181
2040
11,614,642
1,161,464
314,970 13,091,076
2045
12,855,174
1,285,517
341,280 14,481,971
2050
14,095,705
1,409,571
367,590 15,872,866

Penyerapan tenaga kerja pada industri minyak sawit


nasional di proyeksikan meningkat (tabel 6.11) dari 5,6 juta tahun
2013 menjadi 7.5 juta tahun 2020, dan menjadi 15.8 juta tahun
2050. Hal ini belum memperhitungkan jumlah tenaga kerja yang
terserap pada sektor jasa industri minyak sawit seperti di
pelabuhan CPO, di perdagangan produk-produk hilir baik untuk
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

233

tujuan pasar dalam negeri maupun untuk tujuan pasar


internasional.
Jika diasumsikan setiap pekerja menghidupi 4 orang
anggota keluarga maka jumlah penduduk yang secara langsung
hidup dalam industri minyak sawit Indonesia mencapai 22.4 juta
orang tahun 2013, 30 juta orang tahun 2020, dan 63.2 orang juta
tahun 2050.
6.7

Proyeksi Produksi Jasa Lingkungan

Industri minyak sawit selain berkontribusi pada bidang


ekonomi, juga berkontribusi pada pelestarian lingkungan hidup
melalui peranannya dalam penyerapan karbondioksida (salah
satu gas rumah kaca, GHG) dan menghasilkan oksigen
(mekanisme fotosintesa tanaman kelapa sawit). Selain itu
penggantian solar dengan biodiesel sebagai bahan energi juga
dapat mengurangi emisi GHG.
Berdasarkan proyeksi (Tabel 6.12) volume biomas yang
berada di areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari 627.4
juta ton tahun 2013, menjadi 902.8 juta ton tahun 2020 dan
menjadi 1924.7 juta ton tahun 2050. Total pengurangan emisi CO2
yang disumbang oleh industri minyak sawit (melalui penyerapan
netto CO2, penghematan emisi CO2 dari konsumsi biodiesel)
meningkat dari 255.9 juta ton tahun 2013, menjadi 379.9 juta ton
tahun 2020 dan menjadi 859.7 juta ton tahun 2050.
Penyerapan/penghematan CO2 oleh industri minyak sawit
nasional tersebut merupakan kontribusi penting dalam program
pengurangan emisi GHG nasional ke depan.
Jasa lingkungan lainnya adalah penyediaan oksigen (O2)
untuk kehidupan di bum. Produksi oksigen dari perkebunan
kelapa sawit diproyeksikan meningkat dari 14 juta ton tahun
2013, menjadi 17.4 tahun 2020, dan menjadi 38.19 juta ton pada
tahun 2050.

234

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 6.12

Tahun

2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050

Proyeksi Jasa Lingkungan Pada Industri Minyak Sawit 2013-2050

Standing Biomas
(Ton)

Total Pengurangan
Emisi CO2 (ton)

627,446,962
686,991,858
705,093,443
744,887,303
776,070,351
822,501,801
880,408,665
902,877,762
1,022,537,199
1,261,688,867
1,379,201,121
1,619,139,333
1,805,188,483
1,924,695,919

255,950,423
280,922,343
291,325,721
314,648,793
327,660,420
346,768,184
370,469,338
379,992,161
455,617,329
565,265,791
619,600,994
722,906,580
804,656,541
859,789,817

Produksi Oksigen
(Ton)
14,016,738,905
15,363,700,196
15,605,716,193
16,521,178,011
16,093,131,924
15,885,234,462
16,890,812,571
17,403,132,862
21,700,020,312
23,607,652,298
28,909,394,604
32,112,561,130
33,904,694,298
38,197,602,377

dihitung berdasarkan metode Chan, 2002


dihitung berdasarkan metode Chan, 2002 dan European Commission JRC
dihitung berdasarkan Henson, 1999

6.8

Proyeksi Ekspor Produk Minyak Sawit dan Pangsa


Indonesia

Volume ekspor produk industri hilir minyak sawit Indonesia di


proyeksikan meningkat menuju 2050 (tabel 6.13). Ekspor minyak
goreng sawit diproyeksikan dari 13.5 juta ton tahun 2013 meningkat
menjadi 14.5 juta ton tahun 2020, dan 18.7 juta ton tahun 2050. Ekspor
oleokimia juga diproyeksikan meningkat dari 1 juta ton pada tahun
2013 menjadi sekitar 1.2 juta ton tahun 2020 dan menjadi 2.3 juta ton
pada tahun 2050. Ekspor margarin diproyeksikan meningkat dari 0.34
juta ton tahun 2013 menjadi 0.48 juta ton tahun 2020 dan 1 juta ton
tahun 2050. Ekspor Biodiesel juga diproyeksikan meningkat dari 1.5
juta ton tahun 2013 menjadi 1.5 juta ton pada tahun 2020 dan 15.9 juta
ton tahun 2050. Begitupun Ekspor CPO diproyeksikan meningkat dari
1.7 juta ton tahun 2013 menjadi 4.1 juta ton tahun 2020 dan menjadi 19.5
juta ton tahun 2050.
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

235

Diproyeksikan nilai ekspor industri sawit Indonesia menuju


tahun 2050 (Tabel 6.14 dan Gambar 6.10) meningkat dari U$ 24 milyar
tahun 2013 menjadi U$ 35.6 milyar tahun 2020 dan menjadi U$ 225
milyar pada tahun 2050.
Selain meningkatkan penerimaan devisa dari ekspor produkproduk sawit tersebut hilirisasi melalui jalur pengembangan biodiesel
juga terjadi penghematan devisa dari subsitusi solar impor dengan
biodiesel (tabel 6.14). Nilai penghematan devisa tersebut diproyeksikan
sebesar U$ 3.742 Milyar tahun 2015 meningkat menjadi U$ 11.188
Milyar tahun 2020 dan menjadi U$ 110.267 Milyar tahun 2050.
Tabel 6.13.

Proyeksi Volume Ekspor produk hilir dan CPO Indonesia


2013-2050
Volume Ekspor Industri Minyak Sawit (ton)

Tahun

Minyak
Goreng

Margarin

Oleokimia/
Detergen

Biodiesel

Hilir
Lainnya

CPO

2013

13,587,940

345,000

1,037,946

1,584,143

1,712,071

1,712,071

2014

13,723,819

362,250

1,071,464

1,300,000

2,525,653

2,525,653

2015

13,861,058

380,363

1,106,042

1,500,000

2,354,908

2,354,908

2016

13,999,668

399,381

1,141,714

1,500,000

1,223,232

1,223,232

2017

14,139,665

419,350

1,178,513

1,500,000

1,683,133

1,683,133

2018

14,281,062

440,317

1,216,473

1,500,000

2,563,525

2,563,525

2019
2020

14,423,872
14,568,111

462,333
485,450

1,255,631
1,296,022

1,500,000
1,500,000

3,331,953
4,133,869

3,331,953
4,133,869

2025

15,263,298

582,149

1,476,207

8,259,917

695,910

695,910

2030

15,963,385

682,351

1,660,460

10,739,143

6,444,209

6,444,209

2035

16,663,473

782,553

1,844,714

12,038,381

11,090,760

11,090,760

2040

17,363,560

882,755

2,028,968

13,337,619

27,293,903

15,162,121

2045

18,063,647

982,957

2,213,221

14,636,857

42,482,935

14,090,612

2050

18,763,735

1,083,159

2,397,475

15,936,095

52,304,828

19,557,240

236

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 6.14. Proyeksi Nilai Ekspor Produk hilir dan CPO Indonesia
tahun 2013-2050
Tahun

Minyak
Goreng

Margarin

Nilai Ekspor (U$ juta)


Hilir
Oleokimia Biodiesel
Lainnya

CPO
(crude)

Total
Ekspor

2013

16,964

431

1,296

2,248

2,137

1,846

24,922

2014

17,680

467

1,380

1,909

3,254

2,798

27,488

2015

18,245

501

1,456

2,257

3,100

2,656

28,214

2016

18,669

533

1,522

2,289

1,631

1,396

26,039

2017

19,155

568

1,597

2,320

2,280

1,957

27,877

2018

19,541

603

1,665

2,343

3,508

3,012

30,671

2019

19,866

637

1,729

2,369

4,589

3,915

33,105

2020

20,178

672

1,795

2,393

5,726

4,857

35,622

2025

22,508

858

2,177

13,950

1,026

877

41,397

2030

25,378

1,085

2,640

19,126

10,245

9,012

67,486

2035

28,409

1,334

3,145

22,549

18,908

17,042

91,387

2040

31,600

1,607

3,693

26,212

49,673

25,390

138,175

2045

34,953

1,902

4,283

30,114

82,205

25,541

178,998

2050

38,468

2,221

4,915

34,255

107,230

38,150

225,239

Minyak Goreng

Margarin

Oleokimia

Biodiesel

Hilir Lainnya

CPO (crude)

250

Milyar USD

200
150
100
50

Gambar 6.10

2049

2047

2045

2043

2041

2039

2037

2035

2033

2031

2029

2027

2025

2023

2021

2019

2017

2015

2013

Proyeksi Nilai Ekspor Produk Minyak Sawit 2013-2050

VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

237

Tabel 6.15. Penghematan Devisa Impor Solar dengan Kebijakan Mandatori


Biodiesel tahun 2013-2050

Tahun

Pengurangan impor
solar (ton)

Proyeksi Harga Solar


Dunia U$/ton

2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050

1,500,000
2,500,000
4,262,000
8,856,000
9,190,000
9,522,000
9,856,000
10,188,000
20,649,792
26,847,857
30,095,952
33,344,048
36,592,143
39,840,238

Nilai Impor (U$ juta)

815
846
878
912
984
1021
1059
1098
1312
1554
1825
2120
2437
2768

1,222
2,114
3,742
8,074
9,040
9,720
10,437
11,189
27,089
41,733
54,915
70,697
89,166
110,268

Tabel 6.16. Proyeksi Pangsa Indonesia Dalam Produksi Minyak Nabati Utama
Dunia, CPO Dunia, dan Biodiesel Dunia
Produksi CPO & Pangsa
Tahun

Indonesia

Dunia

Pangsa
Indonesia

(juta ton)

(juta
ton)

(%)

Produksi 4 nabati
utama
Pangsa
Dunia
Indonesia
(juta ton)

(%)

Produksi Biodiesel
Indonesia

Dunia

Pangsa
Indonesia

(juta ton)

(juta ton)

(%)

2015

32.37

54.92

58.94

140.00

23.12

5.76

28.34

20.33

2020

43.93

62.05

70.80

154.42

28.45

11.68

36.63

31.89

2025

56.27

78.26

71.91

181.32

31.03

28.91

56.25

51.39

2030

78.48

100.54

78.06

216.77

36.20

37.58

67.31

55.84

2035

94.35

122.82

76.82

252.22

37.41

42.13

74.23

56.76

2040

121.20

145.10

83.53

287.67

42.13

46.68

81.15

57.52

2045

141.89

167.38

84.78

323.11

43.91

51.22

88.07

58.16

2050

163.76

189.66

86.35

358.56

45.67

55.77

95.00

58.71

Dengan skenario tersebut diatas diproyeksikan pangsa


Indonesia dalam produksi CPO, minyak nabati dan biodiesel dunia
adalah sebagai berikut (tabel 6.16, gambar 6.11, gambar 6.12, gambar
6.13). Pangsa Indonesia dalam produksi CPO dunia meningkat dari
238

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

58.94 persen tahun 2015 menjadi 78.06 persen tahun 2030 dan menjadi
86.35 persen tahun 2050. Sementara dalam produksi minyak nabati
utama dunia (minyak sawit, soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil)
meningkat dari 23.12 persen tahun 2015 menjadi 36.20 persen tahun
2030 dan menjadi 45.67 persen tahun 2050. sedangkan dalam produksi
biodiesel dunia pangsa Indonesia meningkat dari 20.33 persen tahun
2015 menjadi 55.84 persen tahun 2030 dan menjadi 58.71 persen
tahun 2050. Dengan pangsa yang demikian Indonesia menjadi pemain
terbesar dalam pasar minyak nabati global.

CPO
400

Indonesia

350

ROW

Dunia

Juta Ton

300
250
200
150
100
50
0
2015
Gambar 6.11.

2020

2025

2030

2035

2040

2045

2050

Pangsa Indonesia dalam Produksi CPO Dunia

4 Nabati

Juta Ton

Indonesia
800
700
600
500
400
300
200
100
0
2015

Gambar 6.12.

2020

2025

ROW

2030

Dunia

2035

2040

2045

2050

Pangsa Indonesia dalam Produksi 4 Nabati Dunia

VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

239

Juta Ton

Biodiesel
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
2015

Gambar 6.13

240

Indonesia

2020

2025

2030

ROW

2035

Dunia

2040

2045

2050

Pangsa Indonesia dalam Produksi Biodiesel Dunia

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

BAB VII
KEBIJAKAN STRATEGIS INDUSTRI MINYAK SAWIT 2050
Untuk mencapai target/sasaran industri minyak sawit 2050
sebagaimana diuraikan terdahulu, memerlukan dukungan kebijakan
pemerintah. Kebijkan strategis yang perlu diperjuangkan dan
dikeluarkan pemerintah yakni kebijakan tata ruang, kebijakan
pertanahan, kebijakan penyederhanaan perizinan investasi/usaha,
kebijakan suku bunga, kebijakan infrastruktur, kebijakan pembiayaan,
kebijakan perpajakan, kebijakan energi, kebijakan lingkungan hidup,
kebijakan daerah, kebijakan penelitian dan pengembangan dan
kebijakan perdagangan internasional.
Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan kebijakan strategis
yang diperlukan industri minyak sawit untuk mencapai target/sasaran
yang ditetapkan. Oleh karena itu dalam perumusan kebijakan beserta
instrument kebijakan, delivery kebijakan, implementasi kebijakan serta
evaluasi/memitoring kebijakan sejak awal didisain sebagai team work
yang melibatkan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan
pemerintah.
7.1 Paket Kebijakan BIG PUSH Industri Minyak Sawit Nasional
Menuju 2050
a. Uraian Masalah/Argumentasi
Dari berbagai studi industri minyak sawit Indonesia selama ini
menunjukkan bahwa hanya pendekatan parsial dan tidak dilakukan
peningkatan produksi CPO secara signifikan, maka hanya terjadi
perubahan kecil-kecil (a bit a bit changes) dan terjadi trade-off fuel-food.
Kebijakan bea keluar/pajak ekspor CPO dan turunannya merugikan
produsen CPO termasuk petani, namun diuntungkan industri hilir CPO
(Manurung, 1993, Larson 1995, Tomich and Mawardi, 1996; Susila, 2004;
Obado et.al. 2009). Pengembangan biodiesel domestik ( tanpa
peningkatan produksi CPO yang signifikan) memang menguntungkan
bagi produsen CPO dan pemerintah (pengurangan impor solar) namun
berpotensi menurunkan produksi minyak goreng sawit domestik akibat
perebutan CPO (Susila dan Munadi, 2008; Joni, et.al. 2012) sekalipun
dilakukan kenaikan bea keluar.
Kebijakan penurunan suku bunga kredit dapat mendorong
peningkatan produksi CPO dan industri hilir (minyak goreng sawit)
secara serentak (Manurung, 1993; Purba, 2011), demikian juga
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

241

peningkatan infrastruktur di pertanian/pedesaan juga mendorong


perkembangan industri minyak sawit (Joni, 2012). Dan secara
keseluruhan
peningkatan
produksi
CPO
baik
akibat
hilirisasi/pengembangan biodiesel akan mendorong pertumbuhan
ekonomi sentra-sentra perkebunan kelapa sawit (PASPI, 2014) dan
penurunan kemiskinan (Susila dan Munadi, 2008; Joni et.al. 2012, Rofiq
2013, PASPI, 2014).
Dengan perkataan lain, kata kunci adalah agar tidak trade-off
dengan industri hilir pengembangan industri biodiesel diperlukan
peningkatan perlu didukung oleh peningkatan produksi CPO yang
signifikan dan tidak cukup hanya mengandalkan mekanisme pasar
biasa (business as usual).
b. Kebijakan yang Diperlukan
Untuk memberikan hilirisasi (industri biodiesel, olein, oleokimia,
detergen/sabun, dll) diperlukan kebijakan dorongan kuat (BIG PUSH)
yakni kebijakan peningkatan produksi CPO yang cukup besar (baik
melalui peningkatan produktivitas, maupun perluasan kebun).
Peningkatan produksi CPO yang besar tersebut memerlukan dukungan
kebijakan kepastian dan kemudahan berusaha pada perkebunan kelapa
sawit (kebijakan tata ruang, pertanahan, penyederhanaan perizinan)
yang didukung kebijakan penurunan tingkat suku bunga, peningkatan
infrastruktur dan pelabuhan, kebijakan R&D, dan kebijakan perpajakan.
Kebijakan bea keluar CPO dan turunannya tidak diperlukan lagi jika
kebijakan-kebijakan diatas telah operasional.
7.2 Kebijakan Tata Ruang
a. Uraian Masalah/Argumentasi
Sampai tahun 2014, masalah tata ruang baik pada tingkat nasional
(RTRWN), provinsi (RTRWP) maupun pada level kabupaten/kota
(RTRWK) belum berhasil ditetapkan pemerintah sehingga
menimbulkan ketidakpastian usaha dan investasi. Undang-undang tata
ruang pada dasarnya hanya mengenal fungsi kawasan lindung (hutan
lindung dan konservasi) dan kawasan budidaya (budidaya kehutanan
dan sektor lain), belum menjadi landasan kebijakan tata ruang Nasional
maupun daerah. Sementara itu, Kementerian Kehutanan menetapkan
kawasan hutan di setiap provinsi secara sepihak yakni kawasan
lindung (58.3 juta ha) kawasan budidaya kehutanan (77.9 juta ha, yang
eksklusif untuk hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan
produksi yang dapat dikonversi) dan Areal Penggunaan Lain/ APL
(53.4 juta ha).
242

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Konflik dan tumpang tindih pemanfaatan ruang antar


sektor/masyarakat termasuk kebun sawit rakyat terjadi di kawasan
budidaya kehutanan (versi Kementerian Kehutanan) sehingga banyak
kebun sawit rakyat yang dibongkar paksa oleh kementerian kehutanan.
Disamping itu kebun sawit rakyat sulit disertifikasi karena dinilai tidak
sesuai dengan kebijakan tata ruang.
Kebijakan tata ruang merupakan salah satu kebijakan publik yang
diperuntukkan mendukung pembangunan nasional sebagaimana
amanat UUD 1945 beserta perubahannya. Oleh karena itu, prinsip
dasar/paradigma kebijakan tata ruang haruslah memfasilitasi
pelaksanaan pembangunan nasional dan bukan menghambat
pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
kepastian tata ruang dan penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan
ruang di setiap provinsi.

b. Kebijakan yang Diperlukan


Kebijakan penetapan dan revisi tata ruang yang akomodatif pada
pembangunan yang berkeadilan, berkerakyatan dan berkelanjutan
1. Menegakkan kedaulatan nasional dalam penetapan tata ruang dan
bebas dari intervensi negara lain/LSM trans nasional
2. Mewujudkan kebijakan satu tata ruang nasional (National One
Map Policy) yang membagi ruang atas kawasan lindung (hutan
lindung dan hutan konservasi) dan kawasan budidaya/sektor.
3. Mengevaluasi SK Menteri Kehutanan tentang penetapan tata ruang
kehutanan
yang
tumpang
tindih
dengan
kegiatan
sektoral/masyarakat di setiap provinsi
4. Melakukan perlindungan dan jaminan atas lahan perkebunan sawit
rakyat.
7.3 Kebijakan Pertanahan
a. Uraian Masalah/Argumentasi
Industri minyak sawit Indonesia menuju 2020, terkait pertanahan :
(1) Sejumlah perkebunan sawit negara dan swasta akan mengurus HGU
baru (setelah 35 tahun HGU pertama, 25 tahun HGU perpanjangan); (2)
Terdapat ribuan hektar kebun sawit negara dan swasta yang sampai
tahun 2014 meskipun sudah memiliki izin lokasi dan badan usaha,
namun belum memperoleh HGU; dan (3) kebun sawit rakyat belum
memiliki hak atas tanah formal sehingga secara hukum dianggap
illegal. Terkait dengan HGU ini berbagai permasalah yang berlarutlarut diantaranya; (1) Tumpang tindih HGU baik antar perusahaan
VII. Kebijakan
Stategis
Industri
Minyak
SawitSawit
20502020
VI. Kebijakan
Strategis
Industri
Minyak

243

maupun sektor; (2) Pengurusan HGU yang rumit, lama dan mahal; (3)
Adanya klaim dari masyarakat sekitar atas nama hak ulayat pada areal
HGU dan atau izin lokasi yang diberikan pemerintah; (4) dalam sistem
inti-plasma sering terjadi ketidak sesusaian luas areal efektif yang
diberikan pemerintah (antara rencana dan kenyataan) sehingga
menimbulkan konflik berkepanjangan antara inti dengan calon plasma,
dan
(5)
Ketidakpastian/kerancuan
status
hukum
hak
ulayat/masyarakat hukum adat dalam konteks NKRI.
b. Kebijakan yang Diperlukan
Untuk membangun kepastian hukum atas hak atas tanah dan
menyelesaikan masalah pertanahan yang berlarut larut diperlukan
terobosan kebijakan pertanahan kedepan sebagai berikut:
1. Mempercepat pemberian SHM lahan kebun sawit rakyat sebagai
layanan pemerintah;
2. Menyederhanakan pengurusan HGU yang cepat (dengan target
waktu yang definitif) dan murah;
3. Memberikan perlindungan HGU (perpanjangan/pembaruan HGU
tidak boleh tertunda/batal hanya karena klaim-klaim sepihak
terkait yang belum memiliki kekuatan hukum tetap);
4. Mempertegas kebijakan Nasional tentang hak ulayat masyarakat
hukum adat dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan
5. Menyediakan lahan plasma yang clean dan clear dalam kerjasama
inti-plasma.
7.4 Kebijakan Perizinan Industri Minyak Sawit
a. Uraian Masalah/Argumentasi
Masalah perizinan usaha merupakan masalah yang berkepanjangan
di Indonesia yang belum terselesaikan. Dalam hal jumlah perizinan
dan lama pengurusan yang diperlukan untuk memperoleh izin-izin
usaha, peringkat Indonesia (Tabel 7.1) jauh lebih jelek dibanding
negara-negara tetangga.
Tabel 7.1. Perbandingan Peringkat Dunia antara Indonesia dengan
Negara Tetangga dalam Perizinan Usaha.
Indonesia

Malaysia

Thailand

Singapura

2010

2013

2010

2013

2010

2013

2010

2013

Jumlah perizinan usaha

88

104

88

10

57

20

10

Lama pengurusan izin

121

128

39

16

98

106

Uraian

Sumber: Global Competitiveness Index, 2010, 2013


244

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Peringkat Indonesia dalam hal kemudahan perizinan usaha ( jumlah


izin dan lama pengurusan) terjelek dan makin jelek jika dibandingkan
negara tetangga Malaysia, Thailand dan Singapura.
Dalam perkebunan kelapa sawit masalah perizinan usaha ini
mencakup: (1) Banyaknya izin-izin yang harus diurus (sekitar 54 jenis
izin) dan tumpang tindih dari berbagai lembaga pemerintah pusat dan
daerah, (2) Waktu yang diperlukan dalam pengurusan izin sangat
lama; dan (3) Biaya pengurusan izin yang mahal. Masalah perizinan
tersebut selain menimbulkan biaya tinggi juga mengakibatkan
opportunity loss. Dari 54 jenis izin perkebunan kelapa sawit seharusnya
dapat disederhanakan dan dunia usaha hanya diwajibkan memiliki :
(1) legalitas badan usaha, (2) izin usaha perkebunan termasuk
didalamnya HGU dan (3) Izin yang terkait kewajiban perpajakan.
Sedangkan izin-izin yang merupakan bagian dari ketiga kelompok
diatas, izin-izin yang terkait dengan hak warga negara/ kewajiban
pemerintah/negara sebagaimana ditetapkan undang-undang, tidak
diperlukan/dihapus.
a. Kebijakan yang Diperlukan
Untuk mendukung percepatan tercapainya sasaran industri minyak
sawit 2020, diperlukan revolusi perizinan usaha perkebunan yakni:
1. Memberikan surat ijin perkebunan sawit rakyat secara gratis dan
merupakan layanan pemerintah
2. Menyederhanaan jenis-jenis perizinan menjadi hanya perizinan :
Legalitas badan usaha, izin usaha perkebunan dan HGU, dan
legalitas kewajiban perpajakan.
3. Menyelenggarakan perizinan secara on-line, cepat, mudah, murah
dengan pembayaran biaya perizinan (PNBP) secara non-tunai.
4. Mengevaluasi
regulasi sektoral dan Peraturan Daerah yang
tumpang tindih/ menghambat perkebunan kelapa sawit dan
industri hilir.
7.5 Kebijakan Suku Bunga Kredit
a. Uraian Masalah/Argumentasi
Industri persawitan Indonesia menuju 2020 diproyeksikan dan
ditargetkan untuk meningkatkan produktivitas CPO dan hilirisasi.
Kedua hal tersebut merupakan kegiatan ekonomi yang padat modal
(capital intensive). Oleh karena itu, ketersediaan modal dengan tingkat
suku bunga yang kompetitive sangat menentukan keberhasilannya.
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

245

Masalahnya suku bunga kredit di Indonesia terlalu tinggi dan tidak


kompetitive (tabel 7.2) dengan negara tetangga produsen CPO
(Malaysia, Thailand) dan negara tujuan utama ekspor CPO (India dan
Cina).

Tabel 7.2. Perbandingan Landing Rate di Indonesia dengan


Negara-negara Produsen CPO dan Negara Tujuan Ekspor (%)
Negara
2008
2009
2010
2011
2012
Indonesia
13.6
14.5
13.3
12.4
11.8
Thailand
7.0
6.0
5.9
6.9
7.1
Malaysia
6.1
5.1
5
4.9
4.8
Philipina
8.8
8.6
7.7
6.7
5.7
Singapura
5.4
5.4
5.4
5.4
5.4
India
13.3
12.2
8.3
10.2
10.6
China
5.3
5.3
5.8
6.6
6.0
Sumber: World Bank Indicator (2008-2012)
Selain itu, skim perkreditan dari perbankkan yang terjangkau petani
sawit juga tidak tersedia. Kredit revitalisasi perkebunan yang ada selain
suku bunga kredit terlalu tinggi juga menuntut persyaratan yang tidak
mungkin dipenuhi oleh petani sawit.
Tingginya suku bunga kredit di Indonesia menghambat replanting
kebun sawit rakyat, peningkatan produktivitas dan hilirisasi yang
dipromosikan kedepan. Dan jika kebijakan suku bunga tinggi yang
selama ini dipertahankan maka dikhawatirkan hilirisasi akan
berkembang di Malaysia, Thailand, India dan Cina sebagaimana terjadi
beberapa tahun terakhir.
Hasil studi (Manurung, 1993; Purba, 2011, Joni; 2012, PASPI, 2014)
mengungkapkan bahwa penurunan suku bunga kredit akan
berdampak pada peningkatan produksi CPO, mendorong hilirisasi
domestik, memacu pertumbuhan ekonomi daerah pedesaan dan
mengurangi kemiskinan.
b. Kebijakan yang Diperlukan

Usulan kebijakan untuk pembiayaan dan suku bunga kredit :


1. Menyediakan skim pembiayaan/perkreditan untuk perkebunan
sawit rakyat yang murah (subsidi bunga, dengan grace periode yang
wajar) dan mudah dijangkau petani sawit (penjaminan kredit oleh
pemerintah).
246

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

2. Menurunkan tingkat suku bunga ke tingkat suku bunga yang


kompetitif dengan negara tetangga maupun negara tujuan ekspor
minyak sawit, serta tingkat suku bunga yang membuat investasi
lebih kompetitif daripada menabung (saving).
3. Mengembangkan kelembagaan keuangan non bank untuk
menyediakan pembiayaan dan pengelolaan keuangan/asset bagi
petani sawit rakyat.
7.6 Kebijakan Infrastruktur dan Pelabuhan
a. Uraian Msalah/Argumentasi
Secara umum, ketersediaan dan kualitas infrastruktur di Indonesia
masih dibawah negara tetangga (Singapura, Malaysia, Thailand Cina)
kecuali India (Tabel 7.3) Infrastruktur jalan dan pelabuhan laut di
Indonesia masih relative rendah.
Tabel 7.3. Perbandingan Indeks Ketersediaan dan Kualitas Infrastruktur
Indonesia Dibandingkan Negara lain pada Tahun 2013
infrastruktur

Indonesia

Singapura

Malaysia

Thailand

Cina

India

Jalan

3.7

6.2

5.4

4.9

4.5

3.6

Kereta Api

3.5

5.6

4.8

2.6

4.7

4.8

Transportasi
Udara

4.5

6.8

5.8

5.5

4.5

4.8

Pelabuhan
Laut

3.9

6.8

5.4

4.5

4.5

4.2

Listrik

4.3

6.7

5.8

5.2

5.1

3.2

Skor rataan

6.4

5.5

4.5

4.3

3.9

Sumber: Global Competetiveness Index, 2013 (skor tertinggi 7.0)


Untuk kebutuhan industri minyak sawit Indonesia kedepan
infrastruktur jalan (jalan desa, jalan kecamatan, jalan kabupaten, jalan
provinsi dan jalan menuju ke pelabuhan) serta pelabuhan dan tangki
timbun CPO memegang peranan penting baik untuk menjamin aliran
input ke perkebunan kelapa sawit diseluruh pelosok maupun untuk
mengangkut TBS dari kebun ke PKS serta pengangkatan CPO ke
pelabuhan untuk distribusikan ke sentra konsumen domestik dan
internasional.

VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

247

Sampai tahun 2013 terdapat beberapa pelabuhan CPO yang


telah oprasional di Indonesia seperti Belawan, Kuala Tanjung,
Teluk Bayur, Dumai, Tanjung periuk, Tanjung Perak, Surabaya,
dan lain-lain. Dan beberapa pelabuhan CPO baru sedang
dikembangkan seperti Tanjung Api-api (Sumatera Selatan),
Maloy (Kalimantan Timur). Selain itu pada beberapa daerah
sejumlah peraturan daerah melarang pengangkutan TBS dan
CPO melaui jalan umum yang bertentangan dengan undangundang yang berlaku.
Menuju tahun 2020, produksi CPO Indonesia diproyeksikan akan
meningkat sekitar 2 kali lipat dari produksi tahun 2013. Hal ini
memerlukan peningkatan kapasitas pelabuhan CPO setidaknya 2 kali
lipat dari posisi 2013 dan mengikuti penyebaran sentra-sentra produksi
CPO baik yang eksisting maupun daerah sentra baru. Peningkatan
ketersediaan
infrastruktur pada industry persawitan
akan
meningkatkan produksi CPO, hilirisasi, pertumbuhan ekonomi dan
pengurangan kemiskinan (Joni, et.al. 2013).
b. Kebijkan yang diperlukan

Untuk memfasilitasi peningkatan kegiatan industri minyak


sawit menuju tahun 2020, memerlukan kebijakan pembangunan
infrastruktur dan pertumbuhan CPO antara lain,
1. Memperluas dan meningkatkan kapasitas/kualitas jaringan jalan
dari sentra produksi ke pelabuhan CPO serta pembangunan
transportasi kereta api dan jalan raya toll/haighway pada pulau
sawit (Sumatera , Kalimantan dan Sulawesi).
2. Memperluas dan meningkatkan kapasitas/kualitas pelabuhan
ekspor CPO seperti Belawan, Kuala Tanjung, Teluk Bayur, Dumai,
Tanjung Periuk, Tanjung Perak, Tanjung Api-api (Sumatera
Selatan), Maloy (Kalimantan Timur), Kalimantan Barat dan
Sulawesi: yang terintegrasi dengan kawasan industri hilir CPO
serta didukung ketersediaan energi/listrik/gas.
3. Meningkatkan kualitas pelayanan secara cepat/murah, online, non
tunai dan terintegrasi (antara tangki timbun CPO, pompa CPO,
sistem transportasi laut, jasa kepabeanan/ administrasi ekspor).
Menghapus peraturan-peraturan daerah yang melarang transportasi
TBS dan CPO melintasi jalan raya umum.

248

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

7.7 Kebijakan Subsitusi Solar dengan Biodiesel (Mandatory


Biodiesel)
a. Uraian Maslah/Argumentasi

Konsumsi solar Indonesia mengalami peningkatan setiap


tahun seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan
perkembangan ekonomi. Kebutuhan konsumsi solar tahun 2015
sekitar 42.62 juta kilo liter akan meningkat menjadi 50.94 juta kilo
liter tahun 2020. Untuk memenuhi kebutuhan solar tersebut
Indonesia telah tergantung pada impor dan telah menimbulkan
guncangan pada neraca perdagangan. Selain itu konsumsi solar
menghasilkan emisi GHG yang cukup besar. Untuk mengurangi
ketergantungan
pada
solar
impor,
pemerintah
telah
mengeluarkan permen ESDM No. 32/2008, 25/2013 dan 20/2014
yang dikenal dengan kebijakan mandatori, dengan secara
bertahap menuju B30 tahun 2025. Namun realisasi tahun 2013
baru sekitar 4 persen untuk transportasi. Target dan realisasi
mandatori biodiesel tersebut dinilai terlalu rendah mengingat
dampak impor solar bagi perekonomian begitu besar. Selain itu,
penetapan harga biodiesel (berdasarkan MOPS/Mean Oil Platts
Singapore Solar) dinilai kurang berdasar dan tidak kompetetif
dibanding dari harga internasional sehinggga mendorong
sebagian besar biodiesel diekspor.
Hasil simulasi kebijakan pengembangan biodiesel di
Indonesia (Susila dan Munadi, 2008; Joni, 2012; Joni et.al 2013;
Oktaviani,et.al 2013) mengungkapkan bahwa pengembangan
biodiesel memacu pertumbuhan ekonomi nasional, ekonomi
daerah, peningkatan produksi CPO, dan menurunkan
kemiskinan.
b. Kebijakan yang Diperlukan
Diperlukan kebijakan yang revolusioner mandatory biodiesel
(subsitusi solar dengan biodiesel) sebagai berikut:
1. Meningkatkan dan mempercepat
implementasi mandatori
biodiesel menjadi B20 tahun 2015-2020, B30 (2021-2030) dan B40
setelah tahun 2031 dengan penerapan insentif dan disinsentif;
2. Menetapkan kebijakan harga biodiesel berdasarkan harga paritas
biodiesel internasional semisal MOPS Biodiesel, ICIS atau
berdasarkan biaya produksi ditambah margin (ditetapkan setingkat
PP),
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

249

3. Mendesentralisasi mandatori biodiesel sedemikian rupa sehingga


kebijakan dan realisasi mandatori biodiesel tidak harus sama untuk
setiap provinsi
4. Memberikan insentif perpajakan untuk pengembangan biodiesel,
5. Mengeluarkan kebijakan afirmatif bagi industri otomotif untuk
memproduksi kendaraan (FFV/Flexible Fuel Vehicle) dengan bahan
bakar nabati sesuai dengan kebijakan mandatori dan SNI,
6. Mengurangi subsidi BBM fosil dan menggunakan sebagian dana
pengurangan subsidi tersebut untuk mendukung pelaksanaan
mandatori biodiesel,
7. Memberikan insentif bagi pengembangan industri methanol, dan
8. Menjamin pasokan gas bagi industri methanol dan biofuel.
7.8 Kebijakan Perdagangan Internasional
a. Uraian Masalah/Argumentasi

Kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit dengan berbagai


instrument (quota, pajak ekspor/bea keluar) telah berlangsung
hampir 40 tahun. Semula kebijakan pembatasan ekspor minyak
sawit dimaksudkan untuk mengendalikan harga minyak goreng
domestik, kemudian bergeser untuk tujuan penerimaan negara
dan hilirisasi. Kebijakan yang terakhir adalah kebijakan bea
keluar bagi CPO dan produk turunannya (PMK; 128/2011).
Kebijakan bea keluar tersebut besarnya bea keluar hanya
ditetapkan berdasarkan harga CPO internasional (juga
menetapkan batas bawah harga CPO tidak dikenakan bea keluar)
yang dikenal dengan Harga Patokan Ekspor (HPE). Berbagai
studi (Manurung, 1993 Tomich dan Mawardi, 1995; Larson, 1996;
Susila, 2004; Zulkifli, 2000; Obado, et.al. 2009) mengungkapkan
bahwa kebijakan pembatasan ekspor tersebut secara netto
merugikan Indonesia. Kebijakan tersebut menguntungkan
industri hilir dan penerimaan pemerintah, akan tetapi merugikan
perkebunan kelapa sawit. Jika kebijakan tersebut disertai dengan
penurunan tingkat suku bunga kredit akan dapat
mengkompensasi kerugian perkebunan kelapa sawit tanpa
merugikan industri hilir, pemerintah dan konsumen (PASPI,
2014).
Selain itu penetapan tarif bea keluar hanya berdasarkan harga
CPO internasional dinilai juga kurang tepat karena tidak
memperhitungkan tarif bea keluar negara produsen CPO lainnya,
250

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

tarif impor CPO negara pengimpor, pergerakan kurs rupiah


maupun pergerakan kurs mata uang negara-negara pengimpor
CPO utama. Hal ini menyebabkan CPO Indonesia kalah bersaing
dengan CPO Malaysia dan minyak nabati lainnya.
b. Kebijakan yang Diperlukan
1. Melanjutkan Kebijakan BK untuk menjamin pasokan bahan baku
bagi industri hilir dalam negeri dengan beberapa perbaikan :
a. Penetapan tarif BK hendaklah fleksibel tidak hanya
mempertimbangkan
harga
CPO
dunia,
tetapi
juga
memperhitungkan tarif BK negara pesaing, tarif impor CPO dan
turunannya negara importir utama (EU, India, China)
pergerakan kurs rupiah, pergerakan kurs mata uang negara
pesaing (ringgit) dan pergerakan kurs mata uang negara
importir utama (Euro, Yuan, Rupee).
b. Tarif BK makin menurun dengan makin ke hilir produk industri
hilir yang diekspor berdasarkan HS code yang disempurnakan.
c. Penerimaan pemerintah dari BK sebagian digunakan untuk
dana riset industri minyak sawit,
subsidi/ pembiayaan
replanting kebun sawit rakyat dan pembangunan jalan kebun
sawit rakyat serta promosi dan positive campaign.
2. Memfungsikan Kedutaan Besar/perwakilan Indonesia di seluruh
negara sebagai marketing industri minyak sawit Indonesia
termasuk monitoring kebijakan negara pengimpor/ produsen
minyak nabati
3. Mengeluarkan kebijakan berbagai bentuk retaliasi perdagangan
kepada negara-negara: (a) yang menuduh dumping atau isu lain
secara sepihak yang tidak didukung oleh fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan dan (b) yang menerapkan berbagai bentuk
unfair trade yang merugikan Indonesia.
4. Melakukan
diplomasi
internasional
untuk
mendorong
tanggungjawab bersama dalam pelestarian hutan global dimana
setiap Negara-negara di dunia (tidak hanya Indonesia dan Negara
tropis lainnya) harus memiliki luas hutan minimal 30% dari arable
land.

VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

251

7.9

a.

Kebijakan Perpajakan
Uraian Masalah/Argumentasi

Sektor pertanian termasuk didalamnya perkebunan kelapa


sawit merupakan sektor yang sangat penting untuk ketahanan
pangan nasional, pembangunan daerah pedesaan, pengurangan
kemiskinan dan pelestarian lingkungan hidup. Perkebunan
kelapa sawit selain menghasilkan barang-barang ekonomi juga
menghasilkan eksternalitas positif (jasa lingkungan) yang
diberikan gratis kepada masyarakat.
Oleh karena itu
pertanian/perkebunan seharusnya memperoleh subsidi dan tidak
dibebebankan berbagai pajak.
Kebijakan perpajakan selama ini masih diutamakan untuk
memaksimumkan penerimaan negara. Dengan objektif seperti
itu, maka perluasan objek pajak pada mata rantai industri minyak
sawit (juga industri lain) menjadi strategi utama dan masalah
dampaknya terhadap kinerja pembangunan ekonomi kurang
memperoleh perhatian. Perilaku pemerintah daerah dalam
menarik kembali/pajak daerah untuk PAD merupakan bagian
dari paradigma tersebut. Selain itu, penarikan PPN pada barangbarang modal (seperti pupuk bibit, pestisida, alat dan mesin),
penarikan pajak (PBB) yang lebih besar pada perkebunan kelapa
sawit produktif (dibandingkan dengan lahan yang tidak
diusahai)merupakan kontra produktif bagi pembangunan
ekonomi.
Penarikan PPN pada setiap mata rantai pasok persawitan
melalui mekanisme transaksi antar mata rantai, dimana PPn
dihulu (pupuk, pestisida, alat-alat dan mesin-mesin) menjadi
bagian biaya dihilir (double margina lization) akan menyebabkan
biaya pokok akhir menjadi tinggi (high cost) dan menurunkan
kemampuan bersaing.
Dimasa yang akan datang kebijakan perpajakan perlu lebih
rasional dan difungsikan sebagai instrument reward and
punishment
pembangunan,
tanpa
mengurangi
upaya
mengoptimalkan penerimaan negara. Untuk penerimaan
pemerintah dari pajak, hendaknya pemerintah lebih fokus pada
peningkatan tax rate pendapatan (PPh) atau sales taxes (pajak
konsumen akhir) dan menghapus PPn barang modal, barang
antara (intermediate) yang masih diolah kelebih hilir, untuk
252

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

mendorong dan memberhasilkan hilirisasi didalam negeri. Hasil


studi (Drajat, 2003; Hutagaol, 2004); Drajat, et.al. 2005)
mengungkapkan bahwa penghapusan PPn diperkebunan akan
meningkatkan produksi, ekspor, dan nilai tambah dari
perkebunan itu sendiri. Pertumbuhan nilai tambah perkebunan
akibat dari penghapusan PPn lebih tinggi daripada tarif PPn yang
dihapus (better -off).
b. Kebijakan yang Diperlukan
Usulan kebijakan dalam perpajakan ini adalah :
1. Menghapus PPn (PPn nol persen) barang modal (seperti pupuk
bibit, pestisida, alat dan mesin), barang antara yang akan diolah
lebih lanjut didalam negeri (hilirisasi). Untuk penerimaan
pemerintah sebaiknya dari sales tax (pajak konsumen akhir) dan
PPh.
2. Meninjau kembali kebijakan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang
membebankan PBB lebih besar pada perkebunan kelapa sawit
dibandingkan dengan lahan tidak produktif.
3. Memberikan insentif pajak pada kegiatan perkebunan kelapa sawit
yang pioner pada daerah tertinggal/pelosok, dan
4. Memberikan insentif pajak untuk kegiatan riset dan pengembangan,
pendidikan/training, CSR dan promosi positive campaign .
5. Memberikan insentif pajak untuk industri hilir tanpa membedakan
nilai investasinya.
7.10
a.

Kebijakan Riset dan Pengembangan


Uraian masalah/Argumentasi
Sampai tahun 2013, industri minyak sawit Indonesia khususnya
perkebunan kelapa sawit secara ekonomi masih berada pada fase awal
pembangunan, yakni produksi CPO
masih bertumpu pada
pemanfaatan sumberdaya alam (lahan, agro klimat) dan sumberdaya
manusia (SDM) yang didominasi belum terampil (unskill labor) yang
dikenal dengan fase factor-driven. Dalam periode 2015-2020, industri
minyak sawit Indonesia ditargetkan (by design) untuk bergerak lebih
maju (naik kelas) kepada industri minyak sawit yang memanfaatkan
modal (capital) dengan SDM yang lebih terampil (skilled labor) yakni fase
capital-driven. Pada fase ini peningkatan produksi CPO akan dihasilkan
dari peningkatan produktivitas CPO perhektar.

Fase ini diharapkan akan dicapai dalam 10 tahun kedepan (20152025). Berikutnya (2026-2050) industri minyak sawit indonesia
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

253

ditargetkan akan lebih intensif memanfaatkan ilmu pengetahuan


(knowledge) yang didukung oleh SDM yang kreatif (talent), yang
menghasilkan kenaikan produktivitas total (total productivity) dan
bernilai tambah tinggi (high value added).
Kunci keberhasilan fase capital-driven dan terutama
innovation-driven adalah kemampuan menghasilkan invention
(temuan baru) dan inovasi (innovation=new ide+ execution). Untuk
menghasilkan invention (pada semua aspek industri minyak
sawit) diperlukan R&D yang intensive pada lembaga-lembaga
R&D. Sedangkan untuk merubah invention menjadi innovation
memerlukan SDM yang kreatif (talent) pada level perusahaan
dalam industri minyak sawit Indonesia.
Permasalahan R&D pada industri minyak sawit Indonesia
selama ini (sampai tahun 2013), diantaranya adalah: (1) Banyak
lembaga R&D yang melakukan riset dibidang persawitan
(lembaga riset pemerintah, perguruan tinggi) namun berjalan
sendiri-sendiri
dan
tidak
ada
lembaga
yang
mengkoordinasi/memimpin; (2) Kegiatan penelitian dibidang
industri minyak sawit dari masing-masing lembaga riset tersebut
tidak terkoordinir, tidak sinergis dan tidak terkonvergensi pada
pemecahan masalah-masalah utama dalam industri minyak
sawit; (3) Hasil-hasil penelitian tersebut (invention) sebagian besar
tersimpan dalam perpustakaan dan tidak banyak yang menjadi
inovasi karena kurangnya mekanisme delivery/desiminasi
invention dari lembaga riset ke perusahaan; dan (4) Kurangnya
dukungan dana baik dari dana pemerintah maupun dari dunia
industri minyak sawit.
b. Kebijakan yang Diperlukan

Mengingat inovasi merupakan tulang punggung industri minyak


sawit Indonesia menuju 2020 khususnya dalam peningkatan
produktivitas CPO dan hilirisasi, diperlukan kebijakan dibidang
R&D sebagai berikut:

1. Mengkoordinasi dan mensinergikan kegiatan riset di bidang


industri minyak sawit agar secara konvergen melahirkan inventioninvention yang urgen, dan signifikan dalam memajukan industri
minyak sawit;
2. Mengembangkan kelembagaan/sistem (pusat informasi dan
desiminasi), mekanisme transaksi/desiminasi invention-invention
254

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

dari lembaga-lembaga riset kepada pengguna langsung


(perkebunan kelapa sawit dan industri hilir).
3. Mengembangkan kemampuan melakukan innovation pada setiap
perusahaan dalam industri minyak sawit dan
4. Menyediakan dana yang memadai baik dari pemerintah maupun
dari dunia usaha industri minyak sawit untuk pelaksanaan R&D.
5. Mengembangkan riset aplikasi biofuel untuk kendaraan bermotor,
alat berat, pembangkit sampai B100.
7.11 Kebijakan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development)
a. Uraian masalah/Argumentasi
Perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari sektor pertanian,
secara
internasional
telah
diakui
memiliki
multifungsi
(multifunctionality) dalam ekosistem yakni fungsi ekonomi, fungsi sosial
dan fungsi ekologis. Dan konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) yang diadopsi
akhir-akhir ini juga
memiliki/berakar pada ketiga aspek tersebut, atau sering disebut 3P
(Profit, People, Planet). Dengan kata lain secara inheren (built-in)
perkebunan kelapa sawit adalah pembangunan berkelanjutan dan telah
terbukti sejak 100 tahun lalu sampai sekarang. Secara ekonomi
peranan industri persawitan sudah lama diakui. Sementara, secara
sosial perkebunan kelapa sawit merupakan bagian penting dari
penciptaan kesempatan kerja, pembangunan pedesaan dan
pengurangan kemiskinan (Susila, 2004, 2008., Joni, 2012., Rofiq, 2013.,
World Growth, 2009, 2011., PASPI, 2014).
Sedangkan secara ekologis perkebunan kelapa sawit memiliki
fungsi ekologis seperti fungsi hutan (Henson, 1999., Harahap et.al, 2005)
dan memenuhi definisi hutan (Lund, 2005, 2012.,FAO, 2010) sehingga
perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari upaya restorasi
ekosistem melalui peningkatan biomas dan stok karbon (Chan, 2002),
bahkan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut mengurangi emisi
gas rumah kaca (Melling, et.al, 2006, 2007., Germer and Sauaerborn,
2008., Sabiham, et.al 2012., Sabiham, 2013). Fungsi perkebunan kelapa
sawit sebagai bagian dari fungsi restorasi ekosistem dibuktikan pula
oleh hasil citra satelit (Gunarso et.al., 2012) yang mengungkapkan
bahwa asal usul lahan perkebunan sawit di Indonesia sebagian besar
(97%) adalah dari berbagai jenis degraded land dan low carbon. Selain itu
penggantian solar fosil dengan biodiesel (FAME) dapat menurunkan
emisi sampai (62%) (European Commission Joint Research Centre 2011).
Oleh karena itu kebijakan mandatori biodiesel yang ditempuh
pemerintah sangat tepat baik secara ekonomi, sosial dan ekologis. Agar
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

255

tidak terjadi trade off fuel-food dalam mandatory biodiesel harus


dilakukan peningktan produksi CPO yang memadai (PASPI., 2014).
Oleh karena itu moratorium (Inpres No.6/2013) harus dicabut, karena
selain menghambat pengembangan perkebunan juga menjadi alat
bagi intervensi asing dalam mencampuri urusan domestic Indonesia.
Tentu saja tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan akan
menjadi perhatian penting kedepan. Oleh karena itu program sertifikasi
keberlanjutan (ISPO, RSPO dll) tetap dilanjutkan kedepan.
b. Kebijakan yang Diperlukan
1. Menegakkan
kedaulatan
Indonesia
dalam
pengelolaan
pembangunan dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
a) Menolak intervensi asing dalam pengelolaan pembangunan dan
lingkungan hidup Indonesia.
b) Menolak donasi asing yang dapat mengurangi kedaulatan
Indonesia dalam mengelola pembangunan dan lingkungan
hidup.
2. Mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan
a) Mencabut moratorium (Inpres No.6/ 2013)
b) Mengalokasikan lahan terdegradasi (degraded land) untuk
perkebunan kelapa sawit sebagai upaya restorasi ekosistem
c) Mengimplentasikan tata kelola perkebunan berkelanjutan dan
mempercepat sertifikasi ISPO atau sertifikasi berkelanjutan
lainnya seperti RSPO pada perkebunan kelapa sawit dan
industri hilir.
d) Menyediakan pembiayaan sertifikasi ISPO bagi perkebunan
rakyat.
3. Mempromosikan/mengakui fungsi ekonomi,sosial dan ekologis
perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari restorasi ekosistem
7.12 Kebijakan Kelembagaan dan Organisasi Ekonomi Petani Sawit
a.

Uraian masalah/Argumentasi
Pada kurun waktu 2015 2020 mendatang luas areal perkebunan
sawit rakyat diperkirakan akan mencapai 7 juta ha atau 51% dari total
luas perkebunanan sawit nasional. Hal ini menunjukan perkebunan
sawit rakyat akan mendominasi perkebunan sawit nasional. Selama ini
masing-masing petani bergerak sendiri-sendiri baik dalam pengadaan
pupuk, bibit, pencarian sumber modal, pemanenan dan pengangkutan
TBS. Permentan No.98/2013 telah membuka kesempatan kepada
koperasi petani untuk ikut dalam pengusahaan PKS bersama-sama
256

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

dengan perusahaan swasta yang bergerak dibidang PKS namun tidak


memiliki kebun.Oleh sebab itu petani perlu mengembangkan organisasi
ekonominya melalui koperasi perkebunan sawit rakyat agar dapat
memenfaatkan skala ekonomi (economic of scale) baik dalam pengadaan
sarana produksi, permodalan, pemanenan dan pengangkutan TBS.
Bahkan melalui koperasinya (Puskop, Inkop) para petani sawit dapat
membeli saham-saham (di pasar modal) perusahaan pabrik pupuk,
maupun perusahaan industri hilir minyak sawit.
b. Kebijakan yang Diperlukan
1. Memfasilitasi para petani kebun sawit sehamparan untuk
membentuk koperasi petani sawit dengan skala yang ekonomis baik
pada tingkat koperasi primer, koperasi sekunder (pusat koperasi)
maupun induk koperasi.
2. Menyediakan permodalan murah bagi petani sawit / koperasinya
untuk membiayai replanting maupun kegiatan bisnis koperasinya
3. Meningkatkan kemampuan managerial petani sawit dalam
mengelola koperasinya maupun membangun networking bisnis ke
hulu dan ke hilir
4. Mengembangkan lembaga keuangan non bank sebagai penyedia
modal bagi anggota koperasi petani sawit
5. Memberikan insentif perpajakan kepada koperasi dan anggotanya.
6. Mengembalikan sebagian Bea Keluar yang telah dipungut
pemerintah kepada petani sawit melalui pembangunan sarana
prasarana kebun sawit rakyat.

VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050

257

258

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

BAB VIII
PENUTUP

Cetak biru dan roadmap Industri minyak sawit Indonesia menuju


2050 yang telah disusun dalam buku ini jika direalisasikan dengan baik
akan menempatkan Indonesia menjadi pemain utama dalam pasar
minyak nabati global khususnya pada pasar minyak sawit serta
turunannya. Hal ini tercermin dari besarnya pangsa Inonesia dalam
produksi CPO maupun dalam produksi minyak nabati global maupun
pada produksi biodiesel global.
Bagi perekonomian Indonesia kontribusi Industri minyak sawit
baik dalam pertumbuhan ekonomi, pembangunan pedesaan,
pengurangan kemiskinan dan pelestarian lingkungan hidup,
diproyeksikan makin meningkat dan makin berkualitas serta makin
berkelanjutan. Peningkatan produksi CPO dari sekitar 26 juta ton tahun
2013 menjadi sekitar 160 juta ton menuju tahun 2050 yang disertai
dengan perluasan hilirisasi didalam negeri Akan menyerap banyak
tenaga kerja, memutar perekonomian daerah dan nasional melalui
multiplier output, pendapatan,nilai tambah dan penyerapan tenaga
kerja. Demikian juga nilai ekspor yang dihasilkan diproyeksikan naik
dari sekitar $21 milayar tahun 2013 menjadi $ 230 milyar menuju tahun
2050.
Selain itu hilirisasi dengan pengembangan biodiesel secara
revolusioner akan memberi manfaat ganda bagi Indonesia maupun
bagi
masyarakat
internasional.
Produksi
biodiesel
yang
diproyeksikan menuju tahun 2050 dapat mensubsitusi konsumsi solar
Indonesia sampai 50 persen (B50), sehingga akan mengurangi
terkurasnya devisa untuk mengimpor solar. Bagi masyarakat dunia,
keberhasilan Indonesia dalam menghasilkan biodiesel akan
menyediakan biodiesel sehingga akan mengurangi masalah trade-off
fuel-food yang dihadapi banyak negara khususnya di negara-negara
maju
Tentu saja, subsitusi solar (petrofuel) dengan biodisel juga akan
mengurangi emisis GHG yang terus meningkat di setiap negara. Tidak
hanya itu, melalui perkebunan kelapa sawit, emisi karbondioksida yang
terus meningkat diberbagai negara, sebagian akan diserap dan
disimpan oleh perkebunan kelapa sawit. Dan menghasilkan oksigen
yang gratis bagi masyarakat dunia.
VIII. Penutup

259

Cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia 2050 ini
masih bersifat agregat/ nasional. Untuk lebih realistis dan
implementatif, perlu di review secara periodic dan diterjemahkan pada
level daerah (provinsi, kabupaten), level industri ( industri pembibitan,
industri olein, industri oleokimia dan turunannya, industri detergen/
sabun, industri biodiesel) dan selanjutnya pada level perusahaan dalam
bentuk rencana tahunan. Demikian juga aspek kebijakan strategis
industri minyak sawit nasional perlu didisain lebih implementatif
temasuk instrumen, lembaga eksekutor, sinergitas kebijakan, serta
proses dan time skedul delivery-nya.

260

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

DAFTAR PUSTAKA
ADB, 2004: Agriculture and Rural Development Strategy Study. Asian
Development Bank and Ministry Agriculture of Indonesia.
ADB, 2006: Indonesia Strategic Vision of Agriculture and Rural
Development.
Alexandratos, N. 2009. World Food and Agriculture To 2030/2050. Expert
Meeting on How Feed The World in 2050. FAO.
Amzul, R. 2011: The Role Palm Oil Industry in Indonesia Economy and Its
Export Competitiveness. PhD Dissertation. University Of Tokyo.
Badan Pusat Statistik. 1990-2013. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta.
Badrun, M. 2010: Lintasan 30 tahun Pengembangan Kelapa Sawit. Direktur
Jendral Perkebunan, Kementerian Pertanian RI.
Balisacan, A. M., E. M. Pernia and A. Asra. 2003: Revisiting Growth and
Poverty Reduction in Indonesia. What Do Subnational Data Show?
Bulletion of Indonesian Economic Studies. 39 (3): 331-53.
Bapenas, 2013. Kinerja Pembangunan 2004-2011. Bapenas Jakarta.
Barlow, C. Zahara z. and R. Gondowarsito, 2003: Indonesian Palm Oil
Industry: Oil Palm Industry Economic Journal Vol: 3(1): P 8-15.
BPPT. 2013. Outlook Energi Indonesia 2013; Pusat Teknologi
Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT, Jakarta.
Brunskill, A. 2012. Current and Future Issues and Challenges for The
Oleochemichal Industry. LMC International. London
Chan, K. W. 2002: Oil Palm Carbon Sequestration and Carbon Accounting:
Our Global Strength. MPOA.
Corley, R.H.V, 2008. How Much Palm Oil Do We Need? Environmental
Science and Policy 12 (2009): 134-139
Dradjat, B. R. Suprihatin, Herman, K. Anwar. 2005. Dampak Kebijakan
Pajak Pertambahan Nilai Pada Kinerja Komoditas Primer
Perkebunana Analisis Kebijakan Pertanian 3 (2): 106-132.
Drescher A, R. Glaser, C. Richert, K. Nippes. 2011. Demand Key
Nutriments NPK in The Year 2050. Department of Geography of
Freiburg.
Energi Information Administration. 2008. World Average Crude Oil Price:
Actual 2968-2011 and Forcast.
EPA. 2005. Average Carbon Dioxide Emissions Resulting from Gasoline an
Diesel Fuel.
Fahmudin, A. and I. G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk
Pertanian dan Aspek Lingkungan. Badan Litbang. Departemen
Pertanian
VIII. Daftar
Penutup
Pustaka

261

Fairhurst. T. and R. Hardter, 2004: Oil Palm: Management for Large and
Sustainable Yields. Oxford Graphic Printers, Pte Ltd.
FAO. 2012. World Agricultural: Towards 2030/2050. The 2012 Revision.
FAO. Rome. Italy
Gerbens-Leenes, Hoekstra P. Van der Meer, T. 2009: The Water Footprint
of Energi From Biomass: A Quantitative Assessment and
Consequences of an Increasing Share of Bioenergi Supply. Ecological
Economics 68:4: 1052-1060.
Germer, J. and J. Sauaerborn, 2008. Estimation of The Impact of Palm Oil
Plantation on GHG Balance. Environ & Development Sustainability.
10: 697-716
Goenadi, 2008: Prospective on Indonesian Palm Oil Production. Paper
Presented on The International Food and Agriculture Policy Council.
Spring 2008 Meeting. Bogor
Gunarso, P, M. E. Hartoyo, Y. Nugroho, N.I. Ristiana, R. S. Maharani.
2012: Analisis Penutupan Lahan Dan Perubahannya Menjadi Kebun
Kelpa Sawit Di Indonesia Tahun 1990-2010.
Harahap, I. Y, Y Pangaribuan, H. H Siregar, E Listia. 2005: Lingkungan
Fisik Perkebunan Kelapa Sawit. PPKS. Medan
Henson, I. E. 1999. Comparative Ecophysiology of Oil Palm and Tropical
Rain Forest. Oil and Environment. A Malaysian Prespective. Kuala
Lumpur
Hirano, T. Jauhiainen, J. Inoue, T. and Takahasi, H. 2009. Control on
Carbon Balance of Tropical Peat Lands. Ecosystem. 12: 873-887
Hirano, T. Segah, H.; Harada, T., Limin, S., June, T., Hirata, R. And
Osaki, M. 2007. Carbondioxide Balance of Tropical Peat Swamp Forest
in Kalimantan. Indonesia. Global Change Biology. 13: 412-435
Huylenbroeck, G. V.; V. Vandermulen, E. Mette Penningen, A.
Verspecht. 2007: Multifungtionality of Agriculture: A Review
Definition, Evidence and Instruments. Living Review in Landscape
Research 1: (2007) : 3
ICF Consulting. 2005. Long Term Crude Oil Supply And Prices California
Energi Commissions.
Islam, N. 1997: The Non-Farm Sector and Rural Developments Review Issues
and Evidence In A 2020 Vision For Food Agriculture And The
Environment. IFPRI:
Jauhiainen, J. Vasander, H. Jaya, A. Takashi, I. Hikkinen, J. Martiknen,
P. 2004. Carbon Balance in Manage Tropical Peat in Central
Kalimantan Indonesia. in Wise Use of Peat Land. Proceeding of The
12th International Peat Congress. International Peat Society. PP.
653-659
262

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Joni, R. 2012. Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit


Terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia. Disertasi. IPB. Bogor.
Joni, R. E. G. Said, Harianto, N. Kusnadi. 2012. Dampak Perkembangan
Industri Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Perkebunan
Kelapa Sawit dan Industri Minyak Kelapa Sawit Indonesia.
Jurnal Teknologi Industri Pertanian 20(3); 143-151.
Joosten, H. 2009. The Global Peat Land CO2 Picture: Peat Land Status and
Emission in all Countries of The World. Wet Land International,
ede. (dipersiapkan untuk UNFCCC, Bangkok Sep/Okt 2009)
Kementerian Pertanian RI. 1990-2013: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit
Indonesia 1990-2013.
Larson, D. F. 1996: Indonesias Palm Oil Sector. Policy Research Workers
Paper. World Bank.
Melling, L. 2010. Green House Gases Emission from Tropical Peat Land;
Myth, Fact and uncertainties. International Oil Palm Conference.
Yogyakarta. PP6.
Melling, L. Goh. K.J. and R. Hatanto.2007. Comparison Study Between
GHG Fluxes from Forest and Oil Palm Plantation on Tropical Peat
Land of Serawah Malaysia. International on Oil Palm and
Environment. Bali. Indonesia.
Melling, L. Hatano, R. and Goh, K. J. 2005. Soil CO2 Flux from Ecosystem
in Tropical Peat Land of Serawak. Malaysia. Tell us. 57: 1-11.
Melling, L. Hatano, R. and Goh, K. J. 2007. Nitrous oxide Emission From
Three Ecosystem in Tropical Peat Land of Serawak Malaysia. Soil
Science & Plant Nutrition. 53: 792-805.
Melling, L.;K.J Goh; C. Beavies. R. Hatanto.2007.Carbon Flow and Budget
in A Young Mature Oil Palm Agroekosistem on Deep Tropical Peat.
Proceding of The International Symposium on Tropical Peat
Land. Jakarta. Yogya.
Murayama, S. and Baker, Z. A. 1996. Decomposition of Tropical Peat Soils.
Decomposition Kinetic of Organic Matter of Peat Soils. Japan
Agricultural Research. Quarterly. 30: 145-151.
OECD. 2001. Multifunctionality Towards An Analytical Framework. OECD.
Paris.
OECD/FAO, 2007: Agricultural Outlook 2007-2016. Paris.
Oil World. 2009-2012. Oil World Statistic. ISTA Mielke GmBh. Hamburg
Pinkoh L. Wilcove, D. 2008: Is Palm Oil Agriculture Really Destroying
Tropical Agriculture? Conservation Latter I: 60-64.
PWC. 2013. World in 2050: The BRICs and Beyond: Prospects, Challenges
and Opportunities.
VIII. Penutup
Daftar Pustaka

263

Rabobank, 1996: Food and Agribusiness in Indonesia. Food and Agribusiness


Research Rabobank International Nederland.
Rabobank. 1995: The Oilseed Complex. Rabobank International Food and
Agribusiness Research. Nederland.
Rofiq, H. N. 2013. Economies Analysis of Palm Oil Plantation and Oil Palm
Productivity in Effect on Percapita Income in Indonesia. International
Institute of Social Studies. The Huge. The Netherlands.
Rosegrant, M.W, M. Ewing, S. Msangi, T. Zhu. 2008. Bioenergi and Global
Food Situation Until 2020/2050. W. BGU. Washington DC, Berlin.
Rupilus, W. and S. Ahmad. 2007. The Changing World of Oleochemical.
Palm Oil Development.
Sabiham, S. 2013. Sawit dan Lahan Gambut dalam Pembangunan Kebun
Kelapa Sawit di Indonesia. Himpunan Gambut Indonesia.
Sabiham, S., S.D. Tarigan, Haryadi I. Las, F. Agus, Sukarman, P.
Setyanto and Wahyunto. 2012. Organic Carbon Storage and
Management Strategies For Reducing Carbon Emission from Petlands.
Pedologist 55 (3): 426-434
Sato, Y. 1997: The Palm Oil Industry in Indonesia. Its Structural Changes
and Competitiveness. Waves of Change in Indonesias Manufacturing
Industry. IDE. Tokyo.
Sipayung, T. 2012. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. IPB Press. Bogor.
Sugiyono., I. Y. Harahap., Winarna., A.D. Koedadiri., A. Purba., P. Pura.
2003. Penilaian Kesesuaian Lahan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Medan.
Suhaila, A. M. 2012: The Palm Oil Industry From The Perspective of
Sustainable Development: The Case Study of Malaysian Palm Oil
Industry, Master Thesis. Graduate School of Asia Pacific Studies
Ritsumeikan Asia Pacific University Japan.
Sumarto, S and A. Suryahadi.2004: Trade, Growth and Poverty in
Indonesia. National Conference Of The University Outreach Network.
Bogor.
Susila, W.R. dan E. Munadi 2008. Dampak Pengembangan Biodiesel
Berbasis CPO Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Informatika
Pertanian 17(2); 1173-1194.
Susila, W. R. 2004. Contribution of Palm Oil Industry to Economic Growth
and Poverty Allevation in Indonesia. Jurnal LITBANG Pertanian
23(3).
Susila, W.R. 2004. Impact of CPO Export Tax on Several Aspects on
Indonesia CPO Industry. Oil Palm Industry Economic Journal 4 (2):
1-13.
Tomich, T.P dan Mawardi, M. S. 1995: Evolution of Palm Oil Trade Policy
in Indonesia 1978-1991. Elaeis Volume 7 (1): P 87-102.
264

GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

USDA Foreign Agricultural Service, 2012. EU Biofuel Annual 2012. Global


Agricultural Information Network.
USDA Foreign Agricultural Service, 2013. Indonesia Biofuel Annual 2013.
Global Agricultural Information Network.
Valenzuela, E and K. Anderson. 2011. Projecty The World Economy to
2050: Agricultural in the Economy-Wide GTAP Model. Center For
International Economic Studies. University of Adelaide. Australia.
World Bank, 2002: People, Poverty and Livelihoods: Links For Sustainable
Poverty Reduction in Indonesia. World Bank. Washington DC.
World Bank, 2010: Agricultural Rural Development Data. World Bank.
Washington DC.
World Bank, 2011: The World Bank Grup Framework and IFC Strategy for
Engagement in The Palm Oil Sector. The World Bank and
International Financial Corporation.
World Energi Council. 2013. World Energi Scenarios: Composing Energi
Futures To 2050. Switzerland.
World Growth, 2009: Conversion The Immutable Link Between Forestry and
Development, Arlington VA.
World Growth, 2009: Palm Oil: The Sustainable Oils.
World Growth, 2011 World Banks Revised Palm Oil Strategy Undermines
Economic Development and Restricts Global Markets. World Growth.
World Growth, 2011: The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia. World
Growth.
Zen, Z, Barlow, C and Gondowarsito, R. 2006: Oil Palm in Indonesia
Socio-Economic Improvement: A Review of Option. Industry
Economic Journal, Vol.6: PL8-29.

VIII. Penutup
Daftar Pustaka

265

Anda mungkin juga menyukai