GAPKI
2014
GAPKI 2014
Edisi Pertama
ii
KATA PENGANTAR
iii
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................
iii
ix
xiii
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN ........................................................................
5
5
7
9
11
18
42
49
52
57
58
60
60
61
71
GAPKI 2014
73
73
75
75
80
84
84
85
vi
89
95
98
98
106
108
115
121
135
135
138
142
146
146
148
152
154
156
158
161
162
164
167
167
167
169
171
175
178
179
182
183
GAPKI 2014
184
186
186
188
190
191
191
192
193
195
196
198
201
203
206
208
210
215
215
219
219
219
220
221
222
224
225
225
227
227
vii
230
232
241
259
261
viii
233
234
235
241
242
243
244
245
247
249
250
252
253
255
256
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Tabel 2.3.
Tabel 2.4.
Tabel 2.5.
Tabel 2.6.
Tabel 2.7.
Tabel 2.8.
Tabel 2.9.
Tabel 2.10.
Tabel 2.11.
Tabel 2.12.
Tabel 2.13.
Tabel 2.14.
Tabel 2.15.
Tabel 2.16.
Tabel 2.17.
Tabel 3.1.
Tabel 3.2.
Tabel 3.3.
Tabel 3.4.
Tabel 3.5.
GAPKI 2014
5
6
7
8
20
22
24
26
28
30
32
34
36
38
40
42
43
74
76
78
79
80
ix
Tabel 3.6.
Tabel 3.7.
Tabel 3.8.
Tabel 3.9.
Tabel 3.10.
Tabel 3.11.
Tabel 3.12.
Tabel 3.13.
Tabel 3.14.
Tabel 3.15
Tabel 3.16.
Table 3.17
Tabel 3.18.
Tabel 3.19
Tabel 3.20.
Table 3.21
Tabel 3.22.
Tabel 3.23.
Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
Tabel 5.1.
Tabel 5.2.
Tabel 5.3.
81
82
83
86
87
88
90
91
93
99
107
109
110
116
120
121
128
134
147
150
168
169
170
Tabel 5.4.
Tabel 5.5
Tabel 5.6.
Tabel 5.7.
Tabel 5.8.
Tabel 5.9.
Tabel 5.10.
Tabel 5.11.
Tabel 5.12.
Tabel 5.13.
Tabel 5.14
Tabel 5.15.
Tabel 5.16.
Tabel 5.17.
Tabel 5.18.
Tabel 5.19.
Tabel 5.20.
Tabel 5.21.
Tabel 5.22.
Tabel 5.23.
Tabel 5.24.
GAPKI 2014
171
173
173
174
176
182
187
189
189
192
193
194
197
200
202
204
207
209
210
211
211
xi
Tabel 5.25.
Tabel 6.1.
Tabel 6.2.
Tabel 6.3.
Tabel 6.4.
Tabel 6.5.
Tabel 6.6.
Tabel 6.7.
Tabel 6.8.
Tabel 6.9.
Tabel 6.10.
Tabel 6.11.
Tabel 6.12.
Tabel 6.13.
Tabel 6.14.
Tabel 6.15.
Tabel 6.16.
Tabel 7.1.
Tabel 7.2.
Tabel 7.3.
xii
212
217
217
218
221
223
224
226
227
229
232
233
235
236
237
238
238
244
246
247
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan .....
Gambar 2.2. Perkembangan Penduduk Dunia berdasarkan Kawasan .....
Gambar 2.3. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965,
1980, 2014 .................................................................................
Gambar 2.4. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1965
2014 ...........................................................................................
Gambar 2.5. Perkembangan Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Dunia .....
Gambar 2.6. Konsumsi Minyak Kedele berdasarkan Kawasan Tahun
1965-2014 ..................................................................................
Gambar 2.7. Negara Konsumen Terbesar Minyak Kedele Dunia 19652014 ...........................................................................................
Gambar 2.8. Konsumsi Minyak Sawit berdasarkan Kawasan Tahun
1965-2014 ..................................................................................
Gambar 2.9. Negara Konsumen Terbesar Minyak Sawit Dunia 19652014 ...........................................................................................
Gambar 2.10. Konsumsi Rapeseed Oil berdasarkan Kawasan Tahun
1965-2014 ..................................................................................
Gambar 2.11. Negara Konsumen Terbesar Rapeseed Oil Dunia 19652014 ...........................................................................................
Gambar 2.12. Konsumsi Sunflower Oil berdasarkan Kawasan Tahun
1965-201 ....................................................................................
Gambar 2.13. Negara Konsumen Terbesar Sunflower Oil Dunia 19652014 ...........................................................................................
Gambar 2.14. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Amerika Latin dan Karibia Tahun 1965-2014 ........................
Gambar 2.15. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Sub Sahara Afrika Tahun 1965-2014.......................................
Gambar 2.16. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Near East dan Afrika Utara Tahun 1965-2014 ......................
Gambar 2.17. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Selatan Tahun 1965-2014.................................................
Gambar 2.18. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Asia Timur Tahun 1965-2014 ..................................................
Gambar 2.19. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Negara Maju Tahun 1965-2014 ...............................................
Gambar 2.20. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Negara
Amerika Serikat Tahun 1965-2014 ..........................................
Gambar 2.21. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Uni Eropa Tahun 1965-2014 ....................................................
Gambar 2.22. Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati di Kawasan
Eropa Barat Tahun 1965-2014 .................................................
GAPKI 2014
6
8
9
10
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
23
25
27
29
31
33
35
xiii
xiv
37
39
41
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
53
54
54
55
55
56
56
57
58
58
59
59
60
61
61
62
63
64
Gambar 2.54.
Gambar 2.55.
Gambar 2.56.
Gambar 2.57.
Gambar 2.58.
Gambar 2.59.
Gambar 2.60.
Gambar 2.61.
Gambar 2.62.
Gambar 2.63.
Gambar 2.64.
Gambar 2.65.
Gambar 3.1.
GAPKI 2014
65
66
66
67
68
68
69
69
70
70
71
71
74
84
84
89
92
94
94
95
96
97
97
98
101
101
104
105
xv
xvi
108
111
111
112
112
113
113
114
114
115
116
117
118
118
119
119
136
137
138
139
139
140
141
141
GAPKI 2014
143
143
144
145
145
146
148
151
152
153
154
155
155
156
157
157
158
159
160
172
175
177
180
181
181
184
xvii
xviii
185
190
191
195
199
205
205
213
222
223
224
228
228
229
230
231
231
237
239
239
240
BAB I
PENDAHULUAN
Industri
minyak
sawit
memiliki
multi
fungsi
(multifunctionality) yang memberi manfaat ganda bagi perekonomian
Indonesia maupun dunia secara keseluruhan. Manfaat ganda yang
dimaksud berupa manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Manfaat
dari segi ekonomi yang dimaksud bahwa industri minyak sawit
menghasilkan berbagai produk bahan pangan, bahan energi dan bahan
baku industri,yang dibutuhkan baik bagi Indonesia maupun
masyarakat dunia. Sekitar 70 persen dari CPO yang dihasilkan
Indonesia diperuntukkan bagi masyarakat internasional dan hanya
sekitar 30 persen untuk kebutuhan masyarakat Indonesia.Selain itu,bagi
pekonomian Indonesia industri minyak sawit merupakan sumber
penerimaan pemerintah dari Bea keluar, berbagai jenis pajak serta salah
satu penyumbang devisa terbesar.
Manfaat sosial dari industri minyak sawit terkait dengan
peranan dan kontribusinya dalam penciptaan kesempatan kerja,
pembangunan pedesaan (rural development) dan pengurangan
kemiskinan pedesaan (poverty alleviation). Berbagai studi emperis
(Susila, 2004; Goenadi,2008; World Growth,2009; Joni, 2012; Rofiq, 2012;
PASPI,2014) mengungkapkan bahwa perkebunan Kelapa sawit di
Indonesia bagian penting dari pembangunan pedesaan maupun
pengurangan kemiskinan.
Perkebunan Kelapa sawit juga memiliki fungsi ekologis dan
memberi manfaat jasa lingkungan yang mirip dengan hutan
(Henson,1999; Harahap, et al. 2005, Fairhurst and Hardter, 2004, PASPI,
2014). Perkebunan Kelapa sawit merupakan bagian penting dari
pelestarian siklus karbondioksida(CO2), oksigen (O2) dan air (H2O).
Kemampuan perkebunan Kelapa sawit dalam menyerap CO2 dan
menghasilkan O2 lebih tinggi dari kemampuan hutan primer. Dengan
melihat planet bumi sebagai satu ekosistem, fungsi ekologis
perkebunan Kelapa sawit tersebut dinikmati bersama dan gratis oleh
masyarakat dunia.
Dengan manfaat ekonomi, sosial dan ekologis dari industri
minyak sawit yang demikian, maka setiap pengembangan perkebunan
kelapa sawit yang bertujuan untuk meningkatkan produksi CPO,
merupakan cara memperbesar manfaat tersebut bagi masyarakat.
Demikian juga untuk setiap peningkatan nilai tambah CPO seperti
hilirisasi juga merupakan upaya memperbesar manfaat industri minyak
sawit bagi masyarakat.
I. Pendahuluan
tersebut disajikan dalam cetak biru (blue print) dan Roadmap Industri
minyak sawit menuju 2050.
Dalam penyusunan cetak biru dan roadmap industri minyak
sawit Indonesia ini, selain mengakomodasikan berbagai perubahan
yang mungkin terjadi dalam perekonomian Indonesia juga
mengakomodir proyeksi-proyeksi yang dilakukan oleh badan-badan
internasional diberbagai bidang seperti proyeksi ekonomi global,
populasi penduduk, pangan dan energi menuju tahun 2050. Dengan
demikian cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia
berada pada proyeksi global tersebut. Namun demikian beberapa
penyesuaian dilakukan untuk mengakomodir target posisi Indonesia
dalam pasar minyak nabati global.
Buku cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia
menuju 2050 berisikan: Pendahuluan,
Evaluasi Perkembangan
Mutakhir Pasar Minyak Nabati Dunia, Evaluasi Perkembangan
Mutakhir Industri minyak sawit Indonesia, Analisis Perubahan dan
Proyeksi Pasar Minyak Nabati Global Menuju 2050, Peranan Industri
minyak sawit dalam Perekonomian Indonesia, Industri minyak sawit
Indonesia 2050, Kebijakan Strategis Industri minyak sawit 2050 dan
Penutup.
I. Pendahuluan
BAB II
EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR PASAR
MINYAK NABATI DUNIA
2.1.
Jumlah penduduk dunia pada tahun 2014 ini menurut data Bank
Dunia telah mencapai 7.084.547.400 jiwa.
Penduduk Indonesia
berjumlah 248,201.749 jiwa (3.5% dari total penduduk dunia) dan
berada pada urutan keempat terbesar di dunia setelah China
(1.358.013.327 jiwa), India (1.243.387.340 jiwa) dan Amerika Serikat
(315.614.887).
Perkembangan penduduk dunia dapat dilihat
berdasarkan kelompok kawasan, sebagamana pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Kawasan
1970
2000
2006
2015E
2030E
2050E
World
3 676
6 095
6 569
7 275
8 276
9 111
Developed countries
1 079
1 318
1 351
1 396
1 437
1 439
Developing countries
2 597
4 778
5 218
5 879
6 839
7 671
Sub-Sahara Afrika
270
625
730
912
1 245
1 686
181
387
432
504
615
726
282
515
556
611
682
721
708
1 375
1 520
1 729
2 016
2 242
1 147
1 857
1 957
2 096
2 247
2 255
Asia Selatan
Asia Timur
Sumber : World Population, UN, 2014
10,000
Juta Jiwa
8,000
6,000
4,000
2,000
1950
1970
1980
1990
2000
2010
2020
2030
2040
2050
Oceania
Amerika Utara
.New Independent States
Eropa Timur
Eropa Barat
Amerika Latin dan Caribia
Asia
Near East
.North Africa
.Sub-Saharan Africa
2.2.
Perekonomian Kawasan/Global
at intern
PPP$
at 2005/2007
exchange rates
20052030
2.47
4.47
4.64
3.54
20052050
2.11
3.58
4.17
2.92
20052030
1.49
3.3
2.34
2.03
20052050
1.36
2.67
2.2
1.72
2005/
2007
9 510
4 704
1 363
7 696
2005/
2007
7 603
2 350
666
3 858
13 758
7 499
1 736
8 160
2.45
2.09
1.58
1.49
9 539
5 726
10 966
4.9
5.51
1.56
4.05
4.18
1.34
3.67
4.9
1.3
3.14
3.85
1.2
2 316
5 406
28 056
814
2 738
27 880
3 169
14 428
47 121
45 Developing with
GDP/cap under $1000 in
2005/07
4.73
4.02
3.15
2.73
721
2 361
Other Developing
4.43
3.49
3.65
2.98
3 763
13 698
World
Developing countries
Sub-Sahara Afrika
Near East/Afrika Utara
Amerika Latin dan
Caribia
Asia Selatan
Asia Timur
Developed countries
2050
Catatan
European Union
1990
2000
East Asia
674
1,409
South Asia
263
804
2005
2010
2020
2030
2050
50,740
64,995
21,073
45,043
2,898
4,086
5,824 11,692
448
752
1,013
1,431
2,783
5,331
16,020
974
1,369
1,728
2,043
3,109
4,556
8,013
1,250
1,455
1,988
2,260
2,596
3,743
5,066
7,805
96
126
167
208
264
501
1,027
4,630
Other WesternEurope
404
512
633
690
740
895
1,052
1,384
Other EasternEurope
147
173
89
128
143
182
214
260
16
16
11
14
18
24
41
Central Asia
World
89,084 148,191
160000
60000
140000
50000
120000
40000
30000
East Asia
80000
South Asia
20000
40000
10000
20000
0
1980 1990 2000 2005 2010 2020 2030 2050
European Union
100000
60000
World
2.3.
50
100
25
-
Juta Ton
Juta Ton
75
50
1965
1980
1990
2000
2010
2014
Total
5,228
SBO
3,120
9,935
PO
776
3,882
RSO
1,297
2,452
6,198
SFO
35
1,731
6,047
8,151
11,817 15,195
10
2.4.
Central Asia
50000
40000
USA
30000
European Union
East Asia
20000
South Asia
10000
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
11
50000
45000
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
Sisa Dunia
Mesir
Iran
Meksiko
EU-27
Argentina
India
Tahun
2014
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
Brazil
1965
Ribu Ton
adalah 76.19%, tahun 1980 menjadi 44.76%, tahun 2000 turun menjadi
27.30% dan pada tahun 2014 menurun menjadi 16.93%.
Disamping itu juga terdapat perubahan pola konsumsi minyak
kedele antar kawasan. Pada tahun 1965, hampir 80% konsumsi minyak
kedele dunia adalah Amerika Serikat. Tahun 1980 pangsa konsumsi
minyak kedele menyebar di Amerika Serikat 44.76%, Latin Amerika
dan Karibia sebesar 24.55% dan Asia Selatan 10.34%. Tahun 2000
pangsa konsumsi minyak kedele Amerika Serikat menurun menjadi
27.30%, Latin Amerika dan Karibia menurun menjadi 19.01%, Asia
Selatan menurun menjadi 10.21%, namun Asia Timur meningkat dari
6.81% (1980) menjadi 18.64%. Tahun 2014 pangsa konsumsi minyak
kedele Amerika Serikat menurun menjadi 16.93, Amerika Latin dan
Karibia naik menjadi 23.91% dan Asia Timur meningkat menjadi
33.15%.
Perkembangan terakhir menunjukkan, dalam kurun waktu 20102014, negara konsumen terbesar minyak kedele di dunia adalah China
29.45%, USA 19.0%, Brazil 12.8%, India 7.0%, Argentina 6.2%, EU-27
4.6%, Meksiko 2.0%, Iran 1.5%, Mesir 1.3% dan Sisa Dunia 16.0%
(gambar 2.7).
USA
China
12
Central Asia
60
Juta Ton
50
Developed Countries
40
USA
European Union
30
East Asia
20
South Asia
10
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
13
JJuta Ton
70
Konsumsi CPO
ROW
60
USA
50
Nigeria
40
Thailand
30
Pakistan
20
Malaysia
10
EU-27
China
1964
1967
1970
1973
1976
1979
1982
1985
1988
1991
1994
1997
2000
2003
2006
2009
2012
Tahun
India
Indonesia
14
Central Asia
Other Eastern Europe
25
Juta Ton
USA
European Union
10
East Asia
5
South Asia
2014
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
15
Norway
Pakistan
20
Juta Ton
ROW
India
15
Canada
Mexico
10
Japan
5
United States
China
1964
1967
1970
1973
1976
1979
1982
1985
1988
1991
1994
1997
2000
2003
2006
2009
2012
EU-27
16
Juta Ton
16
Central Asia
14
12
10
Developed Countries
USA
European Union
East Asia
South Asia
Near East/ North Africa
2014
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1965
1964
17
Juta Ton
16
ROW
14
South Africa
12
Ukraine
10
Argentina
Egypt
China
Turkey
India
2012
2009
2006
2003
2000
1997
1994
1991
1988
1985
1982
1979
1976
1973
1970
1967
1964
Russian
Federation
EU-27
2.5.
nabati di kawasan ini adalah minyak kedele, dan sisanya dipenuhi oleh
rapeseed oil dan minyak sawit. Sejak tahun 1990 peran minyak sawit
semakin besar, sedangkan proporsi minyak rapeseed dan minyak
bunga matahari semakin menurun. (Gambar 2.14).
14
12
Juta Ton
10
8
6
4
2
1965
1980
1990
SBO
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
19
Nabati
Pangsa
1965
1980
1990
2000
2010
2014
79
56.4
2,267
75.8
3,129
61.1
5,154
68.4
10,344
72.9
11,593
71.0
29
20.7
200
6.7
843
16.5
1,253
16.6
2,482
17.5
2,992
18.3
32
19
284
435
698
775
22.9
0.6
5.5
5.8
4.9
4.7
0.0
505
16.9
863
16.9
688
9.1
668
4.7
957
5.9
140.0
2,991.0
5,119.0
7,530.0
14,192.0
16,317.0
135.8
7.1
4.7
8.8
3.7
SBO
PO
RSO
SFO
Total
Growth
Konsumsi (JutaTon)
%/thn
Sumber: Oil World
20
Juta Ton
4
3
2
1
1965
1980
1990
SBO
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
21
growth 8.6% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi
oleh minyak sawit (71.9%), sedangkan peran minyak sawit kedele
menurun dari pangsa 10.4% pada tahun 1980 menjadi 6.0% pada tahun
1990, sementara minyak rapeseed meningkat dari pangsa 3.1% menjadi
22.2 %. Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 5.5 juta ton, dengan
growth 9.3% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak
nabati di kawasan Sub Sahara Afrika bertumbuh pesat, yakni 9% per
tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 10,4 juta
ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 2.3% per tahun menjadi 11.3
juta ton (Tabel 2.6).
Tabel 2.6.
Nabati
SBO
%
PO
%
RSO
%
SFO
%
Total
Growth
%/thn
Sumber: Oil World
1980
1990
2000
2010
2014
11
158
169
1,554
3,189
3,307
1.5
10.4
6.0
28.4
30.7
29.2
612
1,316
2,034
3,008
5,796
6,476
86.0
86.5
71.9
55.1
55.8
57.1
89
47
628
901
1,407
1,561
12.5
3.1
22.2
16.5
13.5
13.8
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
711.9
1,520.6
2,830.5
5,462.8
10,391.9
11,343.7
7.6
8.6
9.3
9.0
2.3
Juta Ton
3
3
2
2
1
1
1965
1980
1990
SBO
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
23
menurun dari 51.1 % menjadi 27.3 %. Tahun 2000 konsumsi nabati naik
menjadi 4.1 juta ton, dengan growth 4.1% per tahun. Dalam dekade
2000-2010, konsumsi minyak nabati di kawasan Near East dan Afrika
Utara bertumbuh sebesar 5.4% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi
minyak nabati telah mencapai 6.3 juta ton, kemudian tahun 2014 naik
rata-rata 6,7% per tahun menjadi 8 juta ton (Tabel 2.7).
Tabel 2.7.
Nabati
SBO
%
PO
%
RSO
%
SFO
%
Total
Growth
%/thn
Sumber: Oil World
1980
1990
2000
2010
2014
94
720
791
2,010
2,631
2,644
56.6
51.1
27.3
49.0
41.5
32.9
121
521
1,100
1,811
2,163
8.58
17.96
26.82
28.58
26.89
57
177
270
33
131
95
34.3
12.6
9.3
0.8
2.1
1.2
15
392
1,319
959
1,764
3,143
9.0
27.8
45.5
23.4
27.8
39.1
166.0
1,398.0
3,699.0
3,961.0
6,290.0
9,025.0
49.5
16.5
0.7
5.9
10.9
berkisar 2% dan minyak kedele sebsesar 20.6%. Sejak tahun 1980 peran
minyak sawit mulai meningkat dan pada tahun 2014 telah menggeser
dominasi rapeseed dan minyak kedele. Sementara pangsa sun flower
oil masih tetap penting dengan pangsa sata-rata 12,5%. (Gambar 2.17).
14
12
Juta Ton
10
8
6
4
2
1965
1980
1990
SBO
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
25
konsumsi nabati naik menjadi 10.5 juta ton, dengan pertumbuhan yang
pesat sebesar 23.5% per tahun. Tahun 2010, konsumsi minyak nabati
telah mencapai 15,8 juta ton dengan laju pertumbuhan 5.1% per tahun.
Tahun 2014 laju konsumsi naik 3,7% per tahun menjadi 19.9 juta ton
(Tabel 2.8).
Tabel 2.8.
Nabati
SBO
%
PO
%
RSO
%
SFO
%
Total
Growth
%/thn
Sumber: Oil World
1980
1990
2000
2010
2014
167
955
890
2,767
3,071
3,945
20.6
39.8
28.6
26.5
19.5
19.8
16
734
1,186
5,674
10,232
12,880
2.0
30.6
38.1
54.4
64.9
64.7
629
690
737
984
1,160
1,146
77.5
28.7
23.7
9.4
7.4
5.8
22
302
1,003
1,297
1,930
0.0
0.9
9.7
9.6
8.2
9.7
812.0
2,401.0
3,115.0
10,428.0
15,760.0
19,901.0
13.0
3.0
23.5
5.1
6.6
30
Juta Ton
25
20
15
10
5
1965
1980
1990
SBO
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
27
Asia Timur bertumbuh dengan laju 10.8% per tahun, dan tahun 2010
konsumsi minyak nabati telah mencapai 39,1 juta ton, kemudian tahun
2014 naik rata-rata 7.8% per tahun menjadi 51.4 juta ton (Tabel 2.9)
Tabel 2.9.
Nabati
SBO
%
PO
%
RSO
%
SFO
%
Total
Growth
%/thn
Sumber: Oil World
1980
1990
2000
2010
2014
189
629
1,910
5,053
12,948
16,073
31.4
23.1
20.6
26.8
33.1
31.3
64
1,197
4,487
8,932
19,495
26,606
10.6
44.0
48.3
47.4
49.8
51.8
348
740
2,643
4,457
6,126
7,557
57.9
27.2
28.5
23.6
15.6
14.7
153
247
405
576
1,130
0.0
5.6
2.7
2.1
1.5
2.2
601.0
2,719.0
9,287.0
18,847.0
39,145.0
51,366.0
23.5
24.2
10.3
10.8
7.8
Juta Ton
4
4
3
3
2
2
1
1
1965
1980
1990
SBO
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
29
Tahun 2000 konsumsi nabati naik menjadi 6.7 juta ton, dengan growth
4.1% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, konsumsi minyak nabati di
kawasan Negara Maju bertumbuh 4% per tahun, dan tahun 2010
konsumsi minyak nabati 8 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata
2.8% per tahun menjadi 8.9 juta ton (Tabel 2.10).
Tabel 2.10.
Nabati
SBO
%
PO
%
RSO
%
SFO
%
Total
Growth
%/thn
Sumber: Oil World
1980
1990
2000
2010
2014
99
234
456
904
731
830
28.8
15.9
9.6
13.5
9.1
9.3
64
148
328
459
642
685
18.6
10.1
6.9
6.9
8.0
7.7
180
853
2,473
3,555
4,094
4,536
52.3
58.1
52.1
53.2
51.2
51.0
233
1,490
1,760
2,529
2,851
0.3
15.9
31.4
26.4
31.6
32.0
344.0
1,468.0
4,747.0
6,678.0
7,996.0
8,902.0
21.8
22.3
4.1
2.0
2.8
Juta Ton
9
8
7
6
5
4
3
2
1
1965
1980
1990
SBO
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
31
sawit relatif paling besar yakni 18% per tahun, sementara laju minyak
rapeseed dan sunflower oil masing-masing adalah 9% dan 5% per
tahun (Tabel 2.11).
Tabel 2.11.
Nabati
SBO
%
PO
%
RSO
%
SFO
%
Total
Growth
%/thn
Sumber: Oil World
1980
1990
2000
2010
2014
2,137
4,134
5,506
7,401
7,619
8,210
98.8
95.9
91.6
86.3
72.7
68.4
23
140
116
175
957
1,381
1.1
3.2
1.9
2.0
9.1
11.5
297
849
1,665
2,220
0.1
0.1
4.9
9.9
15.9
18.5
29
91
154
243
193
0.0
0.7
1.5
1.8
2.3
1.6
2,163.0
4,309.0
6,010.0
8,579.0
10,484.0
12,004.0
6.6
3.9
4.3
2.2
3.6
32
Juta Ton
8
6
4
2
1965
1980
1990
SBO
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
33
Tabel 2.12.
Nabati
SBO
%
PO
%
RSO
%
SFO
%
Total
Growth
%/thn
Sumber: Oil World
1980
1990
2000
2010
2014
86
71
2,186
2,745
1,780
0.0
18.6
14.9
19.0
13.2
8.5
2,790
4,910
6,125
0.0
0.0
0.0
24.3
23.6
29.2
3,956
9,666
9,420
100.0
1.5
0.8
34.4
46.4
44.9
370
403
2,555
3,524
3,673
0.0
79.9
84.3
22.2
16.9
17.5
1.0
463.0
478.0
11,487.0
20,845.0
20,998.0
3,080.0
0.3
230.3
8.1
0.2
450
400
350
Ribu Ton
300
250
200
150
100
50
1965
1980
SBO
1990
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
35
Tabel 2.13.
Nabati
SBO
%
PO
%
RSO
%
SFO
%
Total
Growth
%/thn
Sumber: Oil World
1980
1990
2000
2010
2014
29
53
56
63
37
43
55.8
50.5
46.3
36.2
9.9
8.1
11
17
29
28
45
0.0
10.5
14.0
16.7
7.5
8.5
14
21
41
261
396
7.7
13.3
17.4
23.6
69.6
74.7
19
27
27
41
49
46
36.5
25.7
22.3
23.6
13.1
8.7
52.0
105.0
121.0
174.0
375.0
530.0
6.8
1.5
4.4
11.6
10.3
36
1200
1000
Ribu Ton
800
600
400
200
0
1965
1980
SBO
1990
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
37
mencapai 14,2 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 3,7% per
tahun menjadi 16.317 juta ton (Tabel 2.14).
Tabel 2.14.
Nabati
1980
SBO
1990
2000
2010
2014
75
10
84
60
0.0
0.0
5.6
1.9
8.1
5.4
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
60
47
123
132
4.5
9.1
11.8
11.8
1,198
458
833
922
89.9
88.9
80.1
82.8
1,333.0
515.0
1,040.0
1,114.0
-6.1
10.2
1.8
PO
RSO
%
SFO
%
Total
Growth
%/thn
Sumber: Oil World
0.0
0.0
38
2000
1800
1600
Ribu Ton
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
1965
1980
SBO
1990
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
39
Tabel 2.15.
Nabati
1980
SBO
%
0.0
0.0
PO
%
0.0
0.0
RSO
%
SFO
%
Total
Growth
%/thn
Sumber: Oil World
0.0
0.0
1990
2000
2010
2014
10
0.0
2.3
0.2
0.3
300
1,325
1,800
0.0
68.5
78.6
81.8
22
44
2.7
1.3
2.0
107
128
334
350
97.3
29.2
19.8
15.9
110.0
438.0
1,685.0
2,201.0
29.8
28.5
7.7
40
70
Juta Ton
60
50
40
30
20
10
1965
1980
1990
SBO
PO
2000
RSO
2010
2014
SFO
41
Tabel 2.16.
Nabati
Pangsa
SBO
1965
3,120
9,935
1990
13,667
2000
27,814
2010
43,690
2014
48,692
59.7
55.2
37.6
38.1
34.6
32.1
776
3,882
10,465
23,642
47,774
62,267
14.8
21.6
28.8
32.4
37.8
41.1
1,297
2,452
6,198
13,379
23,163
25,464
24.8
13.6
17.0
18.3
18.3
16.8
35
1,731
6,047
8,151
11,817
15,195
0.7
9.6
16.6
11.2
9.3
10.0
5,227.9
17,999.6
36,376.5
72,985.8
126,443.9
151,617.7
16.3
10.2
10.1
7.3
5.0
PO
%
RSO
%
SFO
%
Total
1980
Growth %/thn
Sumber: Oil World
42
Tabel 2.17.
1980
1990
2000
2010
2013
Indonesia
3.06
3.91
7.39
11.45
18.69
21.30
Malaysia
7.28
14.01
16.81
16.46
14.43
13.19
China
5.78
5.37
8.02
10.69
12.07
13.06
EU
0.00
0.00
0.00
9.27
9.37
8.49
USA
46.32
28.15
17.72
12.53
7.38
6.71
India
6.51
3.61
6.36
3.63
3.46
2.99
Total
68.95
Sumber: Oil World
55.05
56.30
64.03
65.41
65.75
43
60
80
70
40
30
60
TOTAL
50
Indonesia
40
30
20
20
10
10
Malaysia
China
India
USA
EU
00
1964
1968
1972
1976
1980
1984
1988
1992
1996
2000
2004
2008
2012
00
% (dunia)
50
44
35
30
25
20
15
10
5
0
60
Dunia
40
30
20
10
Juta Ton
50
1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009
Juta Ton
Indonesia 55.5%
Malaysia 34.4%
Thailand 3.8%
Colombia 1.9%
Nigeria 1.7%
Papua NG 1.1%
45
dunia bertumbuh dengan laju 6.80%, dan setelah tahun 2000 tingkat
pertumbuhan produksi soybean oil dunia adalah 4.05 %.
45000
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
12000
Ribu Ton
10000
8000
6000
4000
2000
1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009
Dunia
China 28.6%
USA 20.8%
Brazil 16.6%
Argentina 16.3%
EU-27 5.2%
India 3.9%
Paraguay 1.6%
46
4.
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
30
Dunia
25
15
10
5
0
Juta Ton
EU-27 37.2%
20
1964
1968
1972
1976
1980
1984
1988
1992
1996
2000
2004
2008
2012
Juta Ton
China 24.7%
Canada 13.4%
India 9.7%
Japan 4.0%
Japan 2.7%
Mexico 2.3%
47
Tahun 2013 total produksi RSO Uni Eropa telah mencapai 9,4
juta ton (37.2%), China 6.26 juta ton (24.7%), Canada 3.4 juta ton (13.4%),
India 2.45 juta ton (9.7 %), Jepang 1.01 juta ton (4 %), dan Mexico
580.000 ton (2.3%).
5.
Pada tahun 1964, total produksi sunflower oil dunia adalah 1.000
ton. Pada tahun 2013, produksi sunflower oil dunia telah mencapai
15,94 juta ton. Dari tahun 1964-2000, produksi sunflower oil dunia
bertumbuh dengan laju 8.82%, dan setelah tahun 2000 tingkat
pertumbuhan produksi sunflower oil dunia adalah 4.68 % per tahun
(gambar 2.30).
5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
18
Dunia
16
Ukraina 34.5%
12
Rusia 28.1%
8
6
4
2
2009
2004
1999
1994
1989
1984
1979
1974
1969
Juta Ton
14
10
1964
Juta Ton
EU-27 21.7%
Argentina 8.6%
Turki 6.8%
China 3.7%
India 1.6%
USA 1.3%
48
50
20
40
15
30
10
20
10
Dunia
Juta Ton
25
1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009
Juta Ton
Indonesia 48.4%
Malaysia 40.4%
49
7
6
5
4
3
2
1
0
12
8
6
4
2
0
Juta Ton
10
1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009
Juta Ton
50
51
3.5
2.5
1.5
0.5
0
1964
1969
1974
1979
1984
1989
1994
1999
2004
2009
Dunia
Ukraine 69.0%
Juta Ton
Juta Ton
Rusia 28.5%
Argentina 11.4%
Turki 6.4%
EU-27 4.6%
2.8.
India 7%
China 22%
SE Asia 40%
Sumber: LMC, Alan Brunskill 2012
Gambar 2.35. Kapasitas Produksi Fatty Acid Dunia Tahun
2011
53
1180
Lainnya
250
India
1830
China
190
Philipina
300
Indonesia
1950
Malaysia
0
500
1000
1500
2000
54
SE Asia 31%
China 20%
India 4%
ROA 2%
Europe 23%
N Amerika 15%
ROW 5%
55
4%
Malaysia
Indonesia
25%
18%
Philipina
Thailand
8%
30%
9%
6%
China
India
Lainnya
56
2.9.
57
2.10.
Intermediates 18%
Plastics 14%
Rubber 6%
Paper 6%
Lubricant & Grease 6%
Coating &resins 6%
Personal care 5%
Food&feed 2%
Sumber: Wolfgang Rupilius dan Salmiah Ahmad
Gambar 2.45. Industri Pengguna Fatty Acid Global
58
Soap&detergents 55%
Personal care 20%
Lubricant & Grease 6%
Amines 4%
Various 15%
59
2.11.
2.12.
60
2.13.
200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 201 201
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
1
Produksi 882 1,1 1,3 1,8 2,5 4,1 6,5 9,7 14, 15, 17, 21,
Konsumsi 487 957 1,2 1,4 2,3 3,5 6,4 9,1 13, 15, 18, 21,
Gambar 2.50. Perkembangan Produksi Biodiesel Dunia 2000-2011
61
62
Gambar 2.52.
63
Gambar 2.53.
64
Sumber: US Service
Gambar 2.54. Perubahan Pangsa Konsumen Biodiesel Global Pada Tahun
2000, 2005 dan 2011
65
Sumber: US Service
Gambar 2.55 . Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Serikat
Sumber: US Service
Gambar 2.56. Produksi dan Konsumsi Biodiesel Asia
66
Sumber: US Service
Gambar 2.57. Produksi dan Konsumsi Biodiesel Amerika Selatan
67
68
5.50%
2.30%
3.40%
0.10%
Produk pembersih
Agrochemicals
Perminyakan
Industri cat
Tekstil & kulit
Kertas
Polimerisasi emulsi
Plastik
Pangan
Konstruksi
Bahan peledak
Lainnya
6.20%
0.50%
1.40%
8.40%
1.90%
62.90%
5.10%
2.30%
Sumber: www.chemsoc.org
Gambar 2. 60 Penggunaan Surfactant Global
20%
42%
38%
Conditioner
69
5%
Eropa
18%
34%
Asia
North Amerika
20%
Latin Amerika
Lainnya
24%
26.50%
48%
Process oils
Hydraulic oils
All other
10.20%
15.30%
70
Asia/Pacific
22.80%
36.70%
North Amerika
12.50%
Western Europe
Rest of World
28%
Gambar 2.64.
Forward Integrative
Industri
Bahan Baku
(Minyak
Nabati+Hew
Industri
Pengguna
(Consumer
Goods, Capital
Industri
Oleokimia
Dasar
Bacward Integrative
Gambar 2.65
Bacward Integrative
71
72
BAB III
EVALUASI PERKEMBANGAN MUTAKHIR INDUSTRI
MINYAK SAWIT INDONESIA
Mata rantai yang paling hulu dari pada industri minyak sawit
adalah industri pembibitan. Industri pembenihan merupakan industri
cetak biru (blue print) dari rantai pasok minyak sawit. Cetak biru sifatsifat ekonomis kelapa sawit seperti produktivitas dan rendemen minyak
dimulai pada industri perbenihan.
Penyediaan benih kelapa sawit yang bermutu baik untuk
penanaman ulang (replanting) kebun kelapa sawit yang telah ada
maupun untuk kebutuhan perluasan areal baru, sangat penting untuk
menjamin kelanjutan agribisnis minyak sawit. Dengan luas areal
perkebunan sawit Indonesia tahun 2013 sekitar 9.2 juta hektar, dan
dengan asumsi umur produktif tanaman kelapa sawit 25 tahun, maka
untuk menjamin kelanjutan rantai pasok minyak sawit memerlukan
replanting 4 % dari luas areal atau setara dengan 400 ribu hektar setiap
tahun.
Perusahaan yang bergerak dalam pembenihan kelapa sawit di
Indonesia dalam sepuluh tahun (sejak reformasi) mengalami
peningkatan yang pesat. Bila pada masa orde baru, pembenihan kelapa
sawit hanya satu perusahaan yakni Pusat Penelitian Kelapa Sawit
(PPKS), pada masa orde reformasi meningkat menjadi 11 unit
perusahaan yang tersebar pada beberapa provinsi (Gambar 3.1) dengan
kapasitas industri pembenihan kelapa sawit nasional sebesar 256 juta
kecambah per tahun.
73
PPKS Medan
50,000,000
PT Socfin Indonesia
47,000,000
23,000,000
30,000,000
24,000,000
14,000,000
PT Tania Selatan
9
10
11
Total
Sumber: Kementerian Pertanian RI (2010)
74
7,000,000
20,000,000
22,000,000
4,000,000
15,000,000
256,000,000
3.2
3.2.1
Perkembangan
Provinsi
Luas
Areal
Menurut
Pengusahaan
dan
75
Tabel 3.2.
Provinsi
1990
Pertumbuhan (%/tahun)
2000
2013
19902000
20002013
1990-2013
Aceh
3275
52811
186826
42.31
10.93
24.74
Sumatera Utara
70918
122493
408708
5.91
10.62
8.46
Riau
165453
263663
1217847
6.08
14.34
10.56
Sumatera Selatan
31700
153134
369282
17.66
7.30
12.05
Sumatera Barat
24170
69486
177792
17.43
2905
18040
155607
173647
91
50047
Bengkulu
14240
28180
194170
Lampung
45791
58310
Banten
6304
7296
Kep. Riau
Jambi
Bangka Belitung
8.46
12.57
132.92
132.92
6.98
16.20
84.56
84.56
17.84
18.49
18.19
135.12
3.28
60.60
1.20
1.20
1,787.8
0
Jawa Barat
30540
182
-12.77
0.83
-10.50
Kalimantan Barat
25656
140979
257204
20.51
4.88
12.04
11791
60504
36.37
36.37
1223
29771
129650
41.04
17.64
28.37
14523
50364
160718
15.16
11.33
13.09
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah
Kalimantan Timur
Sulawesi Tengah
7554
50524
15.59
44.53
31.95
Sulawesi Selatan
5000
26678
15589
20.21
7.57
13.37
Sulawesi Barat
54693
36.50
36.50
Sulawesi
Tenggara
4229
-4.71
-4.71
5530
25457
9886
-4.58
5.85
10961
1.20
1.20
410268
1190154
3600970
20.48
24.80
Papua
Papua Barat
Nasional
18.16
143.20
76
77
Pertumbuhan (%/tahun)
1990
2000
2013
19902000
Aceh
22900
39688
40059
6.37
1.64
3.72
Sumatera Utara
236631
269644
307242
1.37
1.12
1.24
Riau
68816
62642
78953
-0.49
5.80
2.92
Sumatera Selatan
15610
27516
48944
6.18
6.51
6.36
Sumatera Barat
3810
5382
9518
5.09
8.08
6.71
24511
17.00
7.83
12.04
Kep. Riau
2000-2013
1990-2013
4500
14817
Bengkulu
711
4392
4704
29.88
3.12
15.38
Lampung
13920
14029
12397
0.46
0.71
0.60
11071
9702
1.21
1.21
Jawa Barat
4121
4618
16.39
16.37
16.38
Kalimantan Barat
26034
40460
62393
4.88
4.23
4.53
10966
23.61
23.61
375
4300
17370
43359
17.81
19.75
18.86
Sulawesi Tengah
4349
3886
6.11
4.96
Sulawesi Selatan
5758
6.48
3.48
4.85
55.51
55.51
10.95
27.92
20.14
4.82
10.30
7.45
Jambi
Bangka Belitung
Banten
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah
Kalimantan Timur
9700
9887
Sulawesi Barat
Sulawesi
Tenggara
1102
3905
2800
6367
12632
2891
414228
528716
686438
Papua
Papua Barat
Nasional
78
Pertumbuhan (%/tahun)
1990
2000
2013
1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh
41912
109054
112621
10.78
0.54
5.05
Sumatera
Utara
Riau
143877
181897
366233
3.57
8.10
6.02
66428
443499
643918
21.28
3.51
11.90
Sumatera
Selatan
Sumatera
Barat
Kep. Riau
7059
161219
416707
57.06
9.49
31.29
16500
113147
192787
22.82
5.75
13.57
5783
-1.99
-1.99
Jambi
8750
116486
247835
32.10
14.77
22.71
2.25
2.25
Bangka
Belitung
Bengkulu
110671
131822
5828
41372
104998
31.07
9.22
19.23
Lampung
190
43300
48776
199.31
1.96
92.41
47
0.54
0.54
Banten
Jawa Barat
4524
3747
4601
-1.61
2.50
0.61
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Timur
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Selatan*
Sulawesi
Barat
Sulawesi
Tenggara
Papua
5200
136507
374851
42.38
10.12
24.91
3363
158332
357625
49.85
10.90
28.75
171962
896827
63.67
15.09
36.21
4204
78650
489668
40.30
17.20
27.79
28329
43078
47.55
3.59
22.70
8000
30028
2448
275.35
67.25
171.30
47775
1.49
1.49
31229
0.49
0.49
20568
13605
27.10
37.26
Papua Barat
9979
13.98
13.98
315835
1948768
4543213
19.66
25.20
Nasional
81.30
44.90
79
3.2.2
Tahun
TBM
TM
4-7 th
8-15 th
16-25 th
2000-05
10
27
29
33
2006-13
15
13
41
31
2000-05
12
41
39
2006-13
19
19
39
23
2000-05
34
28
27
11
2006-13
21
26
37
16
2000-05
20
35
34
12
2006-13
20
21
38
Sumber: PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute)
21
80
Tabel 3.6
Provinsi
Distribusi TM (%)
Pertumbuhan (%/tahun)
1990
2000
2013
1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh
0.00
4.12
4.11
29.28
10.81
18.04
Sumatera Utara
33.74
12.45
12.85
4.68
10.99
8.10
Riau
25.22
23.85
33.01
15.60
13.85
14.65
Sumatera Selatan
6.69
14.24
10.33
25.83
7.66
15.99
Sumatera Barat
12.79
4.29
4.89
14.06
14.35
14.21
Kep. Riau
0.00
0.00
0.04
Jambi
1.19
12.09
10.10
57.32
8.65
30.95
Bangka Belitung
0.00
0.00
0.85
Bengkulu
0.37
2.03
4.98
44.95
19.11
30.95
Lampung
0.00
2.70
1.23
209.07
Banten
0.00
0.75
0.16
Jawa Barat
14.30
0.00
0.00
Kalimantan Barat
4.42
14.89
7.26
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Timur
Sulawesi Tengah
0.00
0.01
1.40
0.02
1.06
1.25
7.52
95.15
-2.24
-2.24
33.55
4.03
17.56
3.19
478.70
25.40
198.09
2.86
2.30
36.96
9.99
22.35
0.00
0.75
1.00
18.93
26.85
24.08
Sulawesi Selatan
0.00
2.54
0.36
27.27
2.87
13.48
Sulawesi Barat
0.00
0.00
1.25
49.87
49.87
Sulawesi
Tenggara
Papua
0.00
0.00
0.01
0.00
1.38
0.28
-1.17
8.15
Papua Barat
0.00
0.00
0.39
1.82
1.82
100.00
100.00
100.00
12.37
33.01
Nasional
20.27
72.61
81
sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun swasta masih
relatif tinggi, meskipun telah memasuki fase perlambatan pertumbuhan.
Tanaman menghasilkan kelapa sawit negara (tabel 3.8) 55% berada di
provinsi Riau dan Sumatera Utara. Laju pertumbuhan TM secara nasional
mencapai rata-rata 26% pertahun dalam periode 1990-2013. Pertumbuhan TM
yang relatif tinggi berada di provinsi Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, dan
Kalimantan Timur. Sedangkan di daerah sentra-sentra tradisional perkebunan
sawit seperti Riau dan Sumatera Utara pertumbuhan kebun negara sudah
relatif kecil.
Tabel 3.7. Distribusi dan Pertumbuhan Luas TM Perkebunan Kelapa Sawit
Swasta Menurut Provinsi
Provinsi
Distribusi TM (%)
1990
2000
Pertumbuhan (%/tahun)
2013
1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh
17
11.86
0.63
5.57
Sumatera Utara
64
16
10
5.51
5.41
5.46
Riau
14
24
17
28.69
6.35
16.59
Sumatera Selatan
119.91
9.74
60.24
Sumatera Barat
63.79
8.68
33.94
Kep. Riau
5.56
5.56
Jambi
45.79
13.39
27.48
Bangka Belitung
5.21
5.21
Bengkulu
217.72
17.96
109.52
Lampung
84.69
6.55
42.36
Banten
0.68
0.68
Jawa Barat
-2.65
-1.09
-1.81
Kalimantan Barat
146.77
15.88
65.74
Kalimantan Selatan
77.16
20.17
46.29
Kalimantan Tengah
17
200.25
24.94
80.30
Kalimantan Timur
61.07
30.29
43.67
Sulawesi Tengah
28.72
20.13
23.13
Sulawesi Selatan
71.06
470.07
296.58
Sulawesi Barat
11.07
11.07
Sulawesi Tenggara
10.53
10.53
Papua
71.07
71.07
Papua Barat
56.05
56.05
100
100
100
36.79
46.15
Nasional
77.36
82
Distribusi TM (%)
Pertumbuhan (%/tahun)
1990
2000
2013
1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh
3.81
6.86
6.85
8.77
4.41
6.33
Sumatera Utara
63.91
53.88
44.32
0.41
0.67
0.56
Riau
17.85
14.14
10.79
-0.01
4.61
2.58
Sumatera Selatan
2.07
5.79
6.46
13.95
3.87
8.31
Sumatera Barat
0.76
0.75
1.03
2.13
7.14
4.93
Kep. Riau
0.00
0.00
0.00
Jambi
0.43
1.90
3.65
21.34
12.19
16.21
Bangka Belitung
0.00
0.00
0.00
Bengkulu
0.15
1.00
0.77
51.52
7.51
26.87
Lampung
2.94
3.00
1.92
2.41
0.17
1.16
Banten
0.00
2.50
1.40
3.62
3.62
Jawa Barat
0.45
0.00
0.67
23.31
476.41
260.65
Kalimantan Barat
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah
6.81
6.51
9.79
3.41
6.13
4.93
0.00
0.00
1.87
44.02
44.02
0.00
0.00
0.00
Kalimantan Timur
0.20
1.41
6.95
23.65
27.65
Sulawesi Tengah
0.00
0.00
0.23
-8.57
-8.57
Sulawesi Selatan
0.63
0.92
0.57
11.98
12.54
Sulawesi Barat
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.62
50.75
50.75
0.00
1.33
1.59
20.70
16.51
0.00
0.00
0.53
-8.10
-8.10
100.00
100.00
100.00
36.73
26.16
Sulawesi
Tenggara
Papua
Papua Barat
Nasional
32.74
13.26
10.44
14.13
83
3.3
3.3.1
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Banten
Kalimantan Barat
Kalimantan
Kalimantan
Kalimantan Timur
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Papua
Papua Barat
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
7
6
5
4
3
2
1
0
Aceh
Sumatera Utara
Riau
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Kep. Riau
Jambi
Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
Banten
Jawa Barat
Kalimantan Barat
Kalimantan
Kalimantan
Kalimantan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi
Papua
Papua Barat
Juta Ton
Sumber:Kementerian Pertanian RI
Gambar 3.2.
Kapasitas Produksi PKS Indonesia Menurut Provinsi Tahun
2013 (ton TBS/jam)
84
3.3.2
85
2000
19902000
2012
20002013
19902013
63,242
200,501
35.21
12.07
21.12
Sumatera Utara
277,288
345,858
1,218,165
3.88
11.00
7.72
Riau
130,750
492,803
3,237,660
13.54
18.51
17.67
Sumatera Selatan
45,900
272,416
1,027,533
59.46
38.50
39.42
Sumatera Barat
32,500
112,195
390,946
20.62
13.88
14.95
Kep. Riau
2,977
Jambi
212,921
899,672
41.37
13.12
24.67
Bangka Belitung
73,983
Bengkulu
90
38,040
473,918
33.02
23.32
151.91
Lampung
31,115
171,176
138.91
17.43
67.13
Banten
17,954
8,783
-0.19
-0.19
Jawa Barat
2,900
30
8.34
1.72
15.85
16,300
190,547
444,934
36.56
7.03
18.29
Kalimantan Selatan
110
115,592
Kalimantan Tengah
18
21,708
248,898
102.73
26.26
50.41
7,042
86,729
172,169
19.88
22.17
29.88
Sulawesi Tengah
11,216
98,734
41.70
Sulawesi Selatan
41,751
24,387
18.19
7.69
11.99
Sulawesi Barat
113,233
47.45
47.45
Sulawesi Tenggara
70
Papua
39,200
16,458
14.06
-3.51
3.68
Papua Barat
34,065
514,778
1,979,814
8,975,896
26.70
16.03
36.45
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Nasional
97.72
86
20002013
9.85
19902013
10.49
1990
2000
2012
Aceh
77,074
205,097
284,030
Sumatera Utara
466,090
748,813
1,509,211
5.60
8.27
7.11
Riau
58,264
873,290
2,373,971
34.45
12.22
21.88
Sumatera Selatan
2,325
421,546
1,083,116
104.05
31.11
62.83
Sumatera Barat
2,800
202,588
538,383
95.92
5.63
44.89
Kep. Riau
11,756
27.02
27.02
Jambi
219,104
729,241
132.99
12.93
58.67
Bangka Belitung
91,091
438,212
15.79
15.79
Bengkulu
100
39,782
387,075
872.22
28.99
395.61
Lampung
340
59,381
192,057
121.06
11.87
59.34
68
0.22
0.22
9,917
3,517
4,329
-7.88
18.80
7.20
Kalimantan Barat
81,363
812,901
341.71
25.80
136.37
Kalimantan Selatan
82,345
925,528
43.61
31.14
36.24
Kalimantan Tengah
92,208
1,930,674
210.82
31.22
81.11
Kalimantan Timur
33,564
507,652
65.92
28.35
43.72
Sulawesi Tengah
14,731
99,662
54.22
122.19
100.72
Sulawesi Selatan
37,985
4,818
106.19
22.57
54.43
Sulawesi Barat
135,434
12.65
12.65
Sulawesi Tenggara
12,465
16.26
16.26
Papua
33,077
144.72
144.72
Papua Barat
33,077
54.24
54.24
618,900
3,208,405
12,048,749
99.65
30.54
63.25
Banten
Jawa Barat
Nasional
87
2000
2012
19902000
20002013
19902013
Aceh
45,696
95,979
53,162
9.32
-0.14
4.02
Sumatera Utara
969,231
1,176,050
1,080,513
2.04
0.44
1.18
Riau
74,621
300,632
229,249
16.93
11.78
14.14
Sumatera Selatan
27,121
104,804
132,001
15.43
45.52
31.73
Sumatera Barat
9,675
17,597
24,608
7.13
3.89
5.37
6,800
38,215
85,771
22.1
10.81
15.99
Bengkulu
580
4,820
16,881
52.63
17.59
33.65
Lampung
27,000
50,240
38,718
7.14
1.97
4.34
12,602
17,710
6.07
5.87
30.95
30.95
31.14
28.35
29.63
35.21
8.52
20.75
13.94
13.98
13.96
16.38
13.34
15.61
Kep. Riau
Jambi
Bangka Belitung
Banten
Jawa Barat
32,251
12,811
-5.67
Kalimantan Barat
89,200
120,220
202,000
5.62
Kalimantan Selatan
19,800
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
2,112
12,848
140,060
Sulawesi Tengah
2,122
Sulawesi Selatan
2,170
11,818
4,920
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
2,832
Papua
24,753
25,771
Papua Barat
7,773
1,288,447
1,972,578
2,098,714
Nasional
88
3.3.3
2000-05
2006-13
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Gambar 3.4.
89
Produktivitas (Ton
CPO/Ha)
1990
Aceh
Pertumbuhan (%)
2000
2013
1990-2000
2000-2012
1990-2012
1.92
1.85
4.05
4.22
4.15
Sumatera Utara
4.35
3.48
3.60
-1.56
0.31
-0.14
Riau
2.74
2.59
3.72
-0.39
4.57
3.13
Sumatera Selatan
3.63
2.40
3.77
23.41
32.36
25.1
Sumatera Barat
1.34
3.28
3.03
14.1
2.4
9.69
3.56
3.6
3.58
Kep. Riau
Jambi
Bangka Belitung
Bengkulu
2.84
0.00
2.21
3.38
2.25
3.29
0.13
2.35
3.61
8.43
3.64
52.38
1.44
5.29
-1.49
14.24
7.4
3.01
2.05
1.00
37.3
1.72
42.61
1.60
2.33
-1.49
3.1
0.84
1.17
3.13
Lampung
Banten
Jawa Barat
0.11
Kalimantan Barat
1.95
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
0.46
2.57
2.96
43.42
3.1
15.04
Kalimantan Timur
2.98
3.80
2.84
9.52
15.2
11.73
Sulawesi Tengah
1.88
3.75
16.06
113.42
79.35
Sulawesi Selatan
2.06
2.57
1.26
4.68
3.2
4.8
-2.54
0.66
10.73
13.60
17.25
Sulawesi Barat
3.44
Sulawesi Tenggara
0.34
Papua
3.56
Papua Barat
Nasional
2.23
3.32
1.61
2.45
2.92
90
Produktivitas (Ton
CPO/Ha)
Pertumbuhan (%)
1990
2000
2013
19902000
20002013
19902013
Aceh
3.41
3.23
1.45
0.40
-3.68
-1.88
Sumatera Utara
4.32
5.04
4.56
1.69
-0.22
0.66
Riau
1.19
4.91
3.97
18.63
1.65
9.43
Sumatera Selatan
3.74
4.18
3.82
2.20
56.26
31.48
Sumatera Barat
3.64
5.40
4.48
4.57
1.19
2.74
4.53
4.65
4.40
1.99
1.20
1.56
Bengkulu
1.13
1.11
4.11
20.80
15.57
17.97
Lampung
2.61
3.87
3.78
4.77
0.47
2.44
Kep. Riau
Jambi
Bangka Belitung
Banten
1.17
2.36
13.20
13.20
Jawa Barat
20.53
0.00
3.58
-1.24
7.73
3.24
Kalimantan Barat
Kalimantan
Selatan
3.73
4.27
3.86
2.64
1.09
1.80
-2.66
-2.66
Kalimantan Timur
2.95
6.26
3.46
-4.33
-4.33
0.54
10.17
-18.91
-18.91
6.00
4.84
-0.88
-0.88
4.47
4.13
1.98
2.10
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
0.15
1.70
0.97
2.95
Sulawesi Tenggara
1.63
21.55
0.86
Papua
4.28
Papua Barat
Nasional
3.77
3.03
3.33
2.72
4.40
3.37
3.11
6.27
91
2000-05
2006-13
5
4
3
2
1
0
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Gambar 3.5.
92
Produktivitas (Ton
CPO/Ha)
1990
2000
2013
Pertumbuhan (%)
1990-2000
2000-2013
1990-2013
Aceh
2.60
2.46
3.66
0.83
8.09
4.90
Sumatera Utara
4.22
4.21
4.97
0.35
3.29
1.95
Riau
2.34
3.23
4.64
4.06
4.26
4.17
Sumatera Selatan
5.81
3.92
3.90
19.96
10.60
14.92
Sumatera Barat
1.87
2.66
1.11
8.77
-2.62
2.60
25.60
25.60
1.85
22.80
Kep. Riau
2.37
Jambi
Bangka Belitung
3.27
3.62
50.05
1.43
4.13
9.42
9.42
Bengkulu
0.22
1.64
4.60
59.68
9.71
32.61
Lampung
1.79
2.52
4.62
15.80
5.39
10.16
-0.47
-0.47
Banten
Jawa Barat
1.89
2.35
1.13
1.73
-5.96
19.55
7.86
Kalimantan Barat
1.46
3.12
29.63
9.68
17.28
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Tengah
Kalimantan Timur
0.89
3.78
-12.35
20.34
6.13
1.85
3.72
6.15
8.28
7.61
1.43
2.71
4.97
9.56
7.57
Sulawesi Tengah
2.37
3.39
23.01
98.67
72.19
Sulawesi Selatan
1.65
2.09
27.45
457.31
270.41
Sulawesi Barat
4.14
1.06
1.06
Sulawesi
Tenggara
Papua
0.44
4.32
4.32
3.75
11.80
11.80
Papua Barat
3.01
0.09
0.09
32.54
24.32
Nasional
2.65
2.26
3.25
15.49
93
2000-05
2006-13
3
2
1
0
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Gambar 3.6.
Perkembangan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit
Swasta
Rakyat
Swasta
3
2
1
0
4
Gambar 3.7.
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
3.4
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Gambar 3.8.
95
tahun 2008 sampai 2010 komposisi minyak sawit yang diekspor masih
didominasi bahan mentah (CPO) sedangkan setelah tahun 2010-2013
pangsa produk olahan CPO makin besar dalam ekspor minyak sawit
Indonesia.
Tujuan ekspor minyak sawit Indonesia terutama pada tiga
negara/kawasan yakni India, Cina, dan Uni Eropa. Sekitar 70% dari
ekspor minyak sawit Indonesia ditujukkan ke tiga kawasan tersebut
(gambar 3.12). Meskipun ada perkembangan diversifikasi tujuan ekspor ke
negara lain yang di tunjukkan makin besarnya pangsa negara lain, volume
ekspor minyak sawit ke India cenderung stabil.
25
Juta Ton
20
15
10
5
Gambar 3.9.
96
2012
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
Milyar USD
0.025
0.02
0.015
0.01
0.005
Gambar 3.10.
2013
2011
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0.03
Mentah
Olahan
juta ton
0.02
0.02
0.01
0.01
0.00
2008
Gambar 3.11.
2009
2010
2011
2012
2013
97
25000
Negara Lain
India
Eropa
China
Ton
20000
15000
10000
5000
0
2008
Gambar 3. 12.
2009
2010
2011
2012
2013
3.5
3.5.1
98
Tabel 3.15. Lokasi dan Kapasitas Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia
Tahun 2007
Provinsi
Kapasitas Produksi
Pangsa Nasional
(ton/tahun)
Sumatera Utara
Riau
Sulawesi Selatan
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Timur
Indonesia
Sumber: BPS
3.042.828
3.274.909
1.010.613
2.333.906
2.612.080
1.985.548
19,94
21,46
6,62
15,29
17,12
19,57
15.259.884
100,00
99
Juta Ton
7
6
5
4
3
2
1
Gambar 3.13.
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
Gambar 3.14.
101
103
Ekspor
Konsumsi Domestik
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Gambar 3.15.
105
Industri Margarin/Shortening
106
46
871.502
107
Margarine
800
700
Ribu Ton
600
500
400
300
200
100
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
3.6
108
Indonesia terhindar dari defisit trade, karena adanya ekspor CPO dan
turunannya.
Peran penting dari ekspor CPO dan turunanya dalam
perekonomian makin jelas jika dilihat dalam neraca transaksi berjalan
(current account), NTB, Indonesia. Jika ekspor CPO dan produk
turunannya tidak diperhitungkan (tanpa minyak sawit) NTB Indonesia
sudah mengalami defisit sejak tahun 2008. Dan defisit NTB tersebut
mengalami peningkatan sejak tahun 2008 sampai 2013. Defisit NTB
makin membengkak pada tahun 2012 dan 2013 ketika total net ekspor
Indonesia (non migas dan migas) mengalamin defisit berturut-turut
12,7 dan 13 Milyar dollar USA, sehingga defisit NTB menjadi sekitar 45
dan 47 milyar dollar USA.
Jika ekspor CPO dan turunannya diperhitungkan (dengan
minyak sawit), NTB Indonesia sejak tahun 2004-2011 masih positif.
Defisit NTB tahun 2012 dan 2013 tidak lagi mampu di tutup oleh ekspor
CPO dan turunannya.
Dengan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa industri minyak
sawit Indonesia (meskipun masih pada fase sedang bertumbuh) telah
berperan menjadi kutub penyelamat NTB pada periode tahun 20082012.
Tabel 3.17. Peran Ekspor CPO dan Turunannya dalam Neraca Transaksi
Berjalan Indonesia
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
16.12
18.35
24.11
23.67
9.11
2009
2010
2011
2012
2013
-0.40
-1.44
+5.28
+1.41
-13.67
20.15
22.78
29.66
32.75
22.91
3.11
2.99
10.83
10.49
0.13
17.77
-1.74
30.15
10.63
14.73
13.13
-12.68
-13.08
-11.21
-19.96
-45.37
-47.68
31.09
34.78
8.62
6.15
5.14
1.68
-24.07
-28.45
109
Fatty
Acid
Perusahaan
Fatty
Alcohol
Glycerol
350
24
45
PT Sumiasih, Bekasi
91
10
80
50
5.1
120
30
130
20
Total
320
100
30
60
40
4.6
90
986
490
10
141.7
Sumber: BPS
110
1,600
Ribu Ton
1,400
1,200
1,000
800
Fatty Alcohol
600
Glyserol
400
Fatty Acid
200
0
2006
Fatty Acid
Glyserol
Fatty Alcohol
Total
2007
742.536 736.069
99.813
109.548
137.672 161.500
980.021 1.007.117
2008
2009
2010
893.083
856.419
935.332
98.004
124.474
186.000
241.500
282.000
285.000
1.232.587 1.262.893 1.406.332
6,39
18,91
21,17
89,74
10,78
29,49
30,88
15,35
Eropa
Amerika
Afrika
Asia Lainnya
China
India
Ribu Ton
600
400
200
0
2006
Gambar 3.19.
2007
2008
2009
2010
111
Ribu Ton
700
600
500
400
300
200
100
0
Eropa
Amerika
Afrika
Asia Lainnya
China
2006
2007
2008
2009
India
2010
140
Amerika Serikat
120
Australia
Ribu Ton
100
Eropa
80
Amerika
60
Afrika
40
Asia Lainnya
20
China
Jepang
2006
2007
2008
2009
2010
112
juta USD
80
Australia
70
Eropa
60
Amerika
50
Afrika
40
Asia Lainnya
Korea Selatan
30
Amerika Serikat
20
China
10
Jepang
0
2006
2007
2008
2009
2010
Ribu Ton
180
160
Eropa Lainnya
140
Amerika Lainnya
120
Afrika
100
Asia Lainnya
80
Belanda
60
Singapura
40
China
20
Amerika Serikat
0
2006
2007
2008
2009
2010
113
Juta USD
300
Eropa
250
Amerika Lainnya
200
Afrika
150
Asia Lainnya
Belanda
100
Singapura
50
China
2006
2007
2008
2009
Amerika Serikat
2010
Ribu Ton
Glyserol
Fatty Alcohol
Fatty Acid
2006
2007
2008
2009
2010
2011
114
Juta USD
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Glyserol
Fatty Alcohol
Fatty Acid
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Industri Sabun/Detergen
115
Tabel 3.19. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Sabun Mandi
dan Detergen di Indonesia
Daerah
Jumlah
Kapasitas Produksi (ton/tahun)
Perusahaan Sabun Mandi
Sabun
Detergen
Cuci
Sumatera Utara
6
181.800
34.500
2620
Lampung
1
16.150
DKI Jakarta
10
521.000
1.185.700
Jawa Barat
12
48.900
58.450
80.202
Banten
1
18.000
Jawa Tengah
1
15.800
750
Jawa Timur
13
117.460
29.540
2.557.000
Total
Sumber: BPS
44
925.110
122.490
2.574.794
Sumatera Utara 5%
Jawa Barat 4%
Jawa Tengah 0%
DKI Jakarta 35%
Banten 0%
Jawa Timur 56%
116
Sabun& Detergen
1800
1600
1400
Ribu Ton
1200
1000
800
600
400
200
Gambar 3.28.
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
Hal yang relatif sama juga terjadi pada industri sabun cuci dan
detergen. Dari kapasitas industri sabun cuci sebesar 122 ribu ton, 78%
berada di sentra-sentra konsumen. Bahkan pada industri detergen,
sekitar 99 % berada di sentra-sentra konsumen terutama DKI Jakarta.
Dalam periode tahun 2000-2008, produksi sabun dan detergen
Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 3.28).
Sabun cuci meningkat dari sekitar 240 ribu ton tahun 2000 menjadi
sekitar 290 ribu ton tahun 2008. Demikian juga sabun mandi,
meningkat dari sekitar 869 ribu ton menjadi 690 ribu ton pada periode
yang sama.
Berbeda dengan sabun cuci atau detergen, orientasi pasar dari
produksi sabun mandi mengalami perubahan. Pada tahun 2000-2002,
sebagian besar produksi sabun mandi dipasarkan ke dalam negeri,
namun setelah tahun tersebut sebagian besar beralih ke pasar ekspor.
Dengan kata lain, produksi sabun mandi Indonesia makin cenderung
melihat pasar ekspor. Hal ini sedikit berbeda dengan produksi sabun
cuci di mana sebagian besar produksinya ditujukan untuk pasar
domestik. Namun, terdapat kecenderungan bahwa pangsa produksi
untuk tujuan pasar ekspor cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Sedangkan produksi detergen lebih dari 90% ditujukan untuk pasar
domestik (Gambar 3.29). Hanya relatif sedikit untuk dipasarkan ke luar
negeri (ekspor).
II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia
117
Domestik
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
2000
Gambar 3.29.
2002
2004
Ekspor
2006
2008
Jawa Timur 8%
Kalimantan Timur 2%
118
Ribu Ton
2000
1500
1000
500
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Gambar 3.31.
Ribu kl
5000
4000
3000
Konsumsi
2000
Ekspor
1000
Produksi
0
2009
Gambar 3.32.
2010
2011
2012
2013
Penggunaanya di
119
Tabel 3.20.
No.
Lokasi
Kapasitas
(ton/tahun)
11000
Kosambi,
Tangerang
Gresik
2
3
6000
5
6
PT Energi Alternatif
8
9
10
40000
Kab. Berau
60000
Dumai, Riau
400000
Rungkut, Surabaya
120000
Bekasi
150000
Jakarta Utara
7000
Cikupa, Tangerang
40000
Gresik
40000
Merak
60000
11
PT Multikimia Intipelangi
Bekasi
14000
12
70000
13
14
15
16
17
18
19
20
Batam
Ciakarang
Bengkalis, Riau
Dumai, Riau
Jakarta Utara
Kab. Asahan
Bekasi
Cileungsi, Bogor
Dumai, Riau
350000
10240
200000
150000
24000
35000
100000
132200
1050000
3069440
Sumber: BPS
3.7
Minyak
Goreng
Oleokimia
Margarine
Sabun
Biodiesel
Total
2000
1,691,099
587,554
33,805
236,167
2,548,625
2001
2,214,000
595,279
36,469
250,360
3,096,108
2002
2,391,120
592,351
39,703
250,946
3,274,120
2003
2,510679
596,758
41,688
251,699
3,400,824
2004
2,887,277
643,709
42,939
251,872
3,825797
2005
3,494,472
761,378
49,657
253,132
4,558,639
2006
3,610,646
780,361
53,629
253,829
78,000
4,776,465
2007
3,843,919
799,447
53,629
258,195
324,000
5,279,190
2008
4305,190
839,420
57,919
263,359
756,000
6,221,888
2009
4,864,864
881,390
62,553
268,626
396,000
6,473,433
2010
5,545945
925,460
67,557
273,999
888,000
7,700,961
2011
6,155,999
971,733
72,962
279,479
1,890,000
9,370,173
2012
6,089,365
996,094
73,489
277,887
2,640,000
10,076,834
2013
6,468,303
1,034,277
76,943
281,002
2,640,000
10,500,524
121
PIR khusus dan PIR lokal pada 12 provinsi di Indonesia pada tahun
1980. Melalui serangkaian pola PIR tersebut, berkembang sekitar
231.535 ha perkebunan kelapa sawit baru yakni kebun inti (67.754 ha)
dan kebun plasma (163.781 ha). Melalui PIR inilah perkebunan rakyat
ikut dalam agrobisnis minyak sawit nasional di mana sebelum tahun
1980 pelaku agrobisnis minyak sawit hanya ada perusahaan negara dan
swasta.
Pengalaman keberhasilan pelaksanaan PIR tersebut dan
dikaitkan dengan pengembangan ekonomi daerah melalui program
transmigrasi, pemerintah mengombinasikan pola PIR dengan program
transmigrasi melalui pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans) sejak tahun
1986. Pada Pola PIR-Trans, perusahaan swasta bertindak sebagai inti
dan petani transmigrasi sebagai plasma. Kebijakan PIR-Trans ini
dilaksanakan pada 11 provinsi dan berhasil menumbuhkembangkan
perkebunan kelapa sawit baru sekitar 566 ribu hektar di mana 70%
kebun plasma dan 30% kebun inti.
Berkembangnya sentra-sentra baru perkebunan kelapa sawit
melalui PIR-Trans, tidak melupakan pengembangan PIR lokal
sebelumnya yang mengilhami PIR-Trans. Sejak Tahun 1996, PIR lokal
dikembangkan (naik kelas) baik dari segi pembiayaan maupun dari
segi kelembagaan yang dikaitkan dengan pengembangan koperasi yang
dikenal dengan PIR KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Para
Anggotanya). PIR KKPA ini dibiayai dengan subsidi kredit koperasi
melalui 74 Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada di sekitar perkebunan
kelapa sawit (swasta, negara) yang telah ada.
Melalui kebijakan PIR dengan berbagai variasi pelaksanaannya,
telah membawa perubahan revolusioner dalam agrobisnis minyak
sawit di Indonesia khususnya perkebunan kelapa sawit. Luas areal
perkebunan kelapa sawit meningkat dari hanya sekitar 294 ribu ha tahun
1980, menjadi sekitar 4 juta hektar tahun 2000 atau meningkat hampir 20
kali lipat. Hal yang lebih revolusioner lagi adalah meningkatnya
perkebunan rakyat dari hanya 6 ribu hektar menjadi 1,1 juta hektar atau
hampir 200 kali lipat dalam periode yang sama.
Melihat keberhasilan kebijakan PIR yang menghasilkan
percepatan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia,
ternyata membangun kepercayaan (trust) baru kepada agrobisnis
minyak sawit, baik investor, individu masyarakat, maupun dunia
perbankan. Hal ini tercermin dari peningkatan luas perkebunan kelapa
sawit yang cepat setelah tahun 2000 di mana tidak ada lagi fasilitas
bantuan pemerintah. Dalam waktu 10 tahun (2000-2010), perkebunan
kelapa sawit Indonesia naik dari 4,1 juta hektar menjadi sekitar 8 juta
123
hektar atau naik dua kali lipat. Peningkatan yang cepat terjadi pada
perkebunan rakyat yang meningkat sekitar 3 kali lipat dari 1,1 juta
hektar menjadi 3,3 juta hektar pada periode yang sama.
Pada tahun 2006 pemerintah memberikan fasilitas kredit (subsidi
bunga kredit) pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan
(Permenkeu No:117/PMK.06/2006) untuk rakyat. Namun demikian,
sebagian besar masyarakat dari percepatan luas perkebunan kelapa
sawit selama periode 2000-2010 diperkirakan dimotori oleh kepercayaan
investor baru (perusahaan, individu) dan perbankan pada agrobisnis
minyak sawit. Apalagi dalam periode tersebut harga minyak sawit dunia
makin membaik sehingga memberi keyakinan bahwa investasi di
perkebunan kelapa sawit sangat menguntungkan.
Kebijakan PIR dan PBSN di atas, dapat dikategorikan sebagai
kebijakan ekonomi yang sukses (success policies). Kebijakan tersebut
bergerak dari fase bantuan modal, kemudian naik kelas menjadi fase
subsidi modal dan kemudian menuju fase modal komersial (mandiri).
Dikatakan sebagai kebijakan sukses karena berbagai alasan.
Pertama, kebijakan tersebut berhasil (meningkatkan luas perkebunan
khususnya perkebunan rakyat sesuai dengan target/sasaran
kebijakan). Kedua, kebijakan tersebut berhasil secara bertahap
memperbesar peran dunia usaha dan makin mengurangi tanggung
jawab/beban pemerintah sehingga tidak menciptakan ketergantungan
pada bantuan pemerintah. Ketiga, kebijakan tersebut berhasil
menstimulus investasi swasta dan masyarakat sehingga dengan
investasi pemerintah yang tidak terlalu besar dikeluarkan, dapat
menarik investasi swasta/masyarakat yang jauh lebih besar (triggering
effect besar). Keempat, kebijakan tersebut mampu memenuhi
kewajibannya dalam pembangunan. Artinya, keberhasilan pemerintah
dalam memberdayakan dunia usaha, secara tidak langsung
menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam
pembangunan ekonomi seperti penciptaan kesempatan kerja,
peningkatan pendapatan dan lain-lain.
Dengan kata lain, kebijakan PIR dan PBSN yang demikian
merupakan kebijakan yang bersifat pareto improvement, yakni memberi
manfaat bagi semua pihak baik petani/perkebunan rakyat, perusahaan
perkebunan swasta dan negara (BUMN), pemerintah maupun
masyarakat secara keseluruhan. Manfaat tersebut bahkan juga
dinikmati masyarakat dunia baik melalui ketersediaan minyak nabati
yang lebih murah maupun jasa lingkungan yang dihasilkan perkebunan
kelapa sawit.
124
125
dunia yang semula (sebelum tahun 1978) memiliki pangsa di atas 10%,
turun menjadi di bawah 10% setelah tahun 1978. Pasar ekspor yang
ditinggalkan Indonesia ini kemudian diambil alih Malaysia yang secara
konsisten berorientasi ekspor.
Apakah kebijakan pengutamaan pasar domestik yang disertai
dengan penetapan harga maksimum berhasil? Hal ini menarik untuk
didesikasikan lebih lanjut. Bila diperhatikan, data harga CPO penetapan
pemerintah dengan harga CPO aktual di dalam negeri selama masa
periode kebijakan tersebut menunjukan hal-hal yang menarik. Pertama,
harga CPO aktual di pasar domestik pada umumnya di atas harga CPO
penetapan pemerintah (harga maksimum) baik dalam rupiah maupun
dalam dolar Amerika Serikat. Kedua, terjadi disparitas harga CPO antara
pasar domestik (aktual) dengan harga ekspor (f.o.b Belawan) yang
cukup besar apalagi dibandingkan dengan harga dunia (Rotterdam).
Disparitas harga CPO antara harga aktual di pasar domestik
dengan harga yang ditetapkan pemerintah mengindikasikan terjadinya
penyelundupan (smugling) dari pasar domestik ke luar negeri. Hal ini
dimungkinkan karena adanya intensif yang cukup besar yakni
disparitas harga CPO antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan
harga ekspor. Volume CPO yang diselundupkan keluar negeri ini
diperkirakan cukup besar sedemikian rupa, sehingga melalui
mekanisme di pasar domestik, harga aktual menjadi lebih tinggi dari
harga yang ditetapkan pemerintah.
Kemudian, disparitas harga CPO antara pasar ekspor (f.o.b.
Belawan) dengan pasar dunia (Rotterdam) yang cukup besar,
mengindikasikan bahwa kebijakan orientasi pasar domestik yang
ditempuh pemerintah waktu itu juga dimanfaatkan oleh para pedagang
perantara/pembeli CPO internasional dengan cara menekan harga
pembelian CPO dari Indonesia. Kebijakan orientasi pasar domestik
tersebut dibaca para pemain CPO dunia sebagai ketidakpastian supply
CPO dari Indonesia, sehingga direspons dengan cara menekan harga
(manage risk).
Lantas siapa yang diuntungkan dengan kebijakan tersebut?
Apakah kebijakan tersebut efektif menjaga stabilitas minyak goreng
domestik sebagaimana tujuan kebijakan? Untuk menjawab hal ini mari
kita lihat perkembangan harga minyak goreng dalam negeri dalam
kurun waktu tahun 1980-1994.
Harga minyak goreng di Indonesia mengalami fluktuasi selama
periode tahun 1980-1994. Tingkat penurunan harga minyak goreng
tertinggi terjadi tahun 1990 yakni 18%. Sedangkan kenaikan tertinggi
terjadi tahun 1983 yang mencapai 24%. Secara keseluruhan, rata-rata
126
127
Tabel 3.22. Formula Penetapan Pajak Ekspor CPO dan Produk Turunan Berdasarkan
SK Menkeu No: 434/KMK 0.17/1994 Tanggal 31 Agustus 1994
Tingkat Harga (US$/ton)
Pajak Ekspor (%)
1. Crude Palm Oil (CPO)
*Harga Dasar 435
0%
* Harga Ekspor FOB
0%
a. 435-505
60 % (HE-HD)
b. 470-505
56 % (HE-HD)
c. 505-540
52 % (HE-HD)
d. 540-575
48% (HE-HD)
e. 575-610
44 % (HE-HD)
f. Di atas 610
40 % (HE-HD)
2. RBD Palm Oil
* Harga Dasar 460
0%
* Harga Ekspor FOB
0%
a. 460-500
60 % (HE-HD)
b.500-540
56 % (HE-HD)
c. 540-580
52 % (HE-HD)
d. 580-620
48% (HE-HD)
e. 620-660
44 % (HE-HD)
f. Di atas 660
40 % (HE-HD)
3. CRD Olein
* Harga Dasar
0%
* Harga Ekspor FOB
0%
a. 465-510
75 % (HE-HD)
b, 510-600
70 % (HE-HD)
c. 555-600
65 % (HE-HD)
d. 600-645
60 % (HE-HD)
e. 645-690
55 % (HE-HD)
f. Di atas 690
50 % (HE-HD)
4.RBS Olein
* Harga Dasar
0%
* Harga Ekspor FOB
0%
a. 500-550
75 % (HE-HD)
b. 550-600
70 % (HE-HD)
c. 600-650
65 % (HE-HD)
d. 650-700
60 % (HE-HD)
e. 700-750
55 % (HE-HD)
f. Di atas 750
50 % (HE-HD)
129
131
132
133
Tabel 3.23. Harga Patokan Ekspor dan Tarif Bea Keluar Produk-Produk
Agribisnis Minyak Sawit 1 September 30 September 2011.
(Permenkeu:
128/PMK.011/2011,
Pemendag:
22/M-DA6PER/8/11; Pemendag 26/M-DAG/PER/9/2011)
HPE
(US$/ton)
418
156
Tarif
(%)
40
20
HMKT
(US$/ton)
0
0
TR
(%)
40
20
TT
(%)
40
20
1.013
1.326
1.131
893
1.326
1.326
15
15
8
5
8
8
750
750
750
750
750
750
7.5
3
3
3
3
3
2,5
2,5
15
15
15
15
753
750
15
1.020
750
15
1.363
15
750
15
1.158
12
750
15
1.369
15
750
15
1.363
15
750
15
923
750
15
1.141
750
13
1.120
850
10
1.434
10
850
10
1.339
10
850
10
1.642
10
850
10
Nama Produk
Buah dan Karnel Kelapa Sawit x
Bungkil Kelapa Sawit
902
850
10
1.168
10
850
10
1.148
850
10
1.443
10
850
10
1.366
10
850
10
1.668
10
850
10
134
10
6
7,5
3.8.1
135
Gambar 3.33.
136
Gambar 3.34.
137
Gambar 3.35.
3.8.2
138
Gambar 3.36.
Gambar 3.37.
139
Gambar 3.38.
Gambar 3.39.
Gambar 3.40.
141
142
Gambar 3.41.
Gambar 3.42.
143
Gambar 3.43.
144
tahun 2002 masih US$ 415/ton meningkat menjadi US$ 1649/ton tahun
2011, atau meningkat hampir 400%.
Kenaikan harga PKO tersebut dari tahun ke tahun disertai
dengan fluktuasi. Harga tahun 2005 lebih rendah dari tahun 2004 dan
harga tahun 2009 lebih rendah dari tahun 2008.
Gambar 3.44.
Gambar 3.45.
145
BAB IV
ANALISIS PERUBAHAN DAN PROYEKSI PASAR
MINYAK NABATI GLOBAL MENUJU 2050
4.1
Berdasarkan
estimasi
yang
diterbitkan
oleh
Badan
Kependudukan PBB, penduduk dunia mencapai 6.5 miliar jiwa pada
tanggal 26 Februari 2006. Kemudian pada tahun 2014, penduduk dunia
telah mencapai 7.08 milyar dan 7.153 milyar pada tahun 2015 . Dari
jumlah tersebut, sekitar 4.1 miliar diantaranya tinggal di Asia. Tujuh
dari sepuluh negara berpenduduk terbanyak di dunia berada di Asia.
Pada tahun 2050, estimasi penduduk bumi akan mencapai 9.079 milyar
(Gambar 4.1)
10,000
9,079
9,000
8,000
7,000
7,153
6,000
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
2050
2045
2040
3035
2030
2025
2020
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
1960
1950
146
Tabel 4.1. Peringkat 10 jumlah penduduk terbesar dunia tahun 2014 dan 2050E
Rank
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tahun 2014
Tahun 2050E
Negara
000 Jiwa
Negara
000 Jiwa
China
India
Amerika Serikat
Indonesia
Brasil
Pakistan
Bangladesh
Nigeria
Rusia
Jepang
1,403,558
1,210,108
319,964
269,879
201,513
182,564
171,705
170,017
140,628
125,276
India
China
Amerika Serikat
Indonesia
Nigeria
Bangladesh
Pakistan
Brazil
Congo (Kinshasa)
Mexico
1,601,005
1,449,418
420,081
336,247
307,420
279,955
267,813
228,427
181,260
153,162
Dunia
7,084,547
Dunia
9,078,851
%
17.63
15.96
4.63
3.70
3.39
3.08
2.95
2.52
2.00
1.69
Sumber: UN (2012)
147
4.2
160,000
World
140,000
40,000
Milyar USD
30,000
25,000
20,000
100,000
80,000
60,000
15,000
40,000
20,000
United States of
America
European Union
Other Western
Europe
10,000
5,000
120,000
35,000
Sumber: UN (2012)
Gambar 4.2. Perkembangan GDP Dunia Tahun 1980 dan Proyeksi 2050
148
Asia Timur adalah 674 milyar USD. Dengan pertumbuhan yang pesat
(8.2 % per tahun), GDP Kawasan asia Timur telah menyamai negaranegara maju pada tahun 2020, dengan GDP sebesar 11 692 milyar USD.
(Sementara GDP Negara-negara maju pada tahun yang sama adalah
9_872 milyar USD). Kemudian, tahun 2030, GDP Kawasan asia Timur
telah mencapai 21 073 milyar USD, dan sekaligus berhasil mengalahkan
GDP Amerika Serikat (19 900 milyar USD) serta Uni Eropa (19 334
milyar USD). Laju pertumbuhan GDP Asia timur jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan Amerika Serikat (2.1% per tahun) dan Uni Eropa
(2.7% per tahun).
Disamping itu, Kawasan Asia Selatan juga patut
dipertimbangkan, karena akan menempati peringkat keempat pada
tahun 2050, setelah Asia Timur, Amerika Serikat dan Uni Eropa. (Asia
Selatan meliputi : Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, Sri Lanka dan
Bhutan; dan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah India). Tahun
1980, GDP Asia Selatan baru sekitar 263 milyar USD. Tahun 2010 telah
mencapai 1 431 milyar USD (dengan laju pertumbuhan 6.5% per tahun),
tahun 2030 telah mencapai 5 331 milyar USD, dan sekaligus
mengalahkan kawasan Amerika Latin (5 066 milyar USD), kawasan
Afrika Utara (4 556 milyar USD). Tahun 2050 GDP kawasan Asia
Selatan akan mencapai 16 020 milyar USD dan menggungguli GDP
Negara-negara maju (Developed Countries) dengan GDP 14 001 milyar
USD. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan ekonomi Asia Selatan
yang cukup pesat, yakni rata-rata 6.6% per tahun, sementara
pertumbuhan ekonomi Negara-negara Maju pada kurun waktu yang
sama (2030-2050) adalah 1.1% per tahun.
Diperkirakan Indonesia akan menempati peringkat ke-11 GDP
terbesar pada tahun 2050. Perkembangan GDP beberapa negara
menuju tahun 2050 disajikan pada tabel 4.2.
Hingga tahun 2030, Amerika Serikat menempati urutan ke-1,
namun pada tahun 2050 turun menjadi peringkat kedua, digantikan
oleh China. Negara China pada tahun 1980 masih menempati posisi ke
19, namun tahun 2000 telah menempati peringkat ke-7 dan sejak tahun
2010 hingga 2030 menempati peringkat ke-2, serta berhasil menempati
peringkat ke-1 pada tahun 2050. Hal ini ditopang oleh pertumbuhan
ekonomi China yang mencapai rata-rata 10.06% per tahun (1995-2025),
dan menurun pada 2030-2050 menjadi 5.23% per tahun. Sementara
pada kurun waktu yang sama, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat
adalah 1.44% per tahun dan sedikit melambat yakni 1.26 % per tahun.
149
1980
2000
2010
2015
2020
2030
2050
China
19
India
18
13
Japan
United Kingdom
Germany
France
Brazil
10
11
11
11
11
Canada
13
10
Mexico
11
10
13
12
11
10
Indonesia
Sumber: UN (2012)
32
26
18
18
18
17
11
70,000
USD/capita
60,000
50,000
40,000
30,000
20,000
East Asia
10,000
Develoved Countries
2050
2040
2030
2020
2010
2000
1990
1980
United States of
America
Sumber: UN (2012)
Gambar 4.3. GDP per Kapita berdasarkan Kawasan 1980-2050
151
90,000
India
80,000
China
70,000
60,000
Indonesia
50,000
Malaysia
40,000
Singapura
30,000
Amerika
Serikat
European
Union
World
20,000
10,000
1980 1990 2000 2010 2020 2030 2040 2050
Sumber: UN (2012)
Gambar 4.4. GDP per Kapita beberapa negara terpilih 1980-2050
152
Ribu Ton
180,000
160,000
140,000
120,000
100,000
80,000
60,000
40,000
20,000
0
2015
Palm Oil
2020
2025
Rapeseed Oil
2030
2035
Soybean Oil
2040
2045
2050
Sunflower Oil
153
4.000
3.000
2.000
1.000
-
Palm Oil
2015-2030
3.15122
Rapeseed
Oil
1.33668
2030-2050
3.45854
1.08714
Soybean
Oil
2.57898
Sunflower
Oil
1.06844
2.30618
.90019
154
200000
Ribu Ton
150000
100000
50000
0
2015
Palm Oil
2020
2025
Rapeseed Oil
2030
2035
Soybean Oil
2040
2045
2050
Sunflower Oil
4.000
3.000
2.000
1.000
-
Palm Oil
2015-2030
4.03719
Rapesee
d Oil
1.33283
2030-2050
3.29340
1.08508
Soybean
Oil
2.68984
Sunflowe
r Oil
1.05293
2.44710
.89054
155
4.5
Proyeksi Biodiesel
Proyeksi Produksi Biodiesel. Hingga tahun 2020, proyeksi
FAPRI (gambar 4.9) menunjukkan perkembangan diodiesel dunia
dengan laju atau trend pertumbuhan yang positif. Hingga tahun 2020,
Eropa memegang peran penting dalam pasar biodiesel dunia, dengan
produksi sebesar 15.14 juta kilo liter atau dengan pangsa 57.17%.
Urutan kedua adalah USA, dengan pangsa 14,18%, dengan volume
produksi 3.76 juta kilo liter. Argentina memiliki pangsan produksi 13.26
%, Brazil 11.18 %. Sedangkan Asia atau Indonesia dan Malaysia
masing-masing memiliki pangsa 3.49% dan 0.72 %.
Tahun 2020, produksi biodiesel dunia adalah 26.48 juta kilo liter,
dengan laju pertumbuhan rata-rata 3.6 % per tahun.
156
Brazil
2500
Malaysia
2000
USA
1500
Indonesia
1000
Argentina
500
0
2015
2018
2020
157
158
USD/Ton
2000
1500
1000
500
1984
1987
1990
1993
1996
1999
2002
2005
2008
2011
2014
2017
2020
2023
2026
2029
2032
2035
2038
2041
2044
2047
2050
Palm Oil
Soybean Oil
Rapeseed Oil
SunFlower Oil
159
1.8
1.7
1.6
1.5
1.4
1.3
1.2
1.1
1.0
SBO/PO
2013
1.32310
2020
1.14742
2030
1.12502
2050
1.09736
RSO/PO
1.41437
1.38389
1.38522
1.38686
SFO/PO
1.75507
1.56763
1.56520
1.56220
160
4.7
161
Pasar minyak nabati dunia saat ini terbagi dalam dua golongan
besar (i) bahan pangan yang mencapai 80% dari total produksi dan (ii)
pemenuhan
kebutuhan
industri.
Aspek
terbesar
pendorong pertumbuhan kebutuhan minyak nabati masih pada
pemenuhan kebutuhan bahan pangan meski perkembangan kebutuhan
sebagai sumber energi alternative/biofuel/bioenergi semakin penting.
termasuk didalamnya biodiesel. Termasuk dalam kebutuhan bionergi
tersebut adalah pemanfaatan minyak nabati seperti minyak sawit,
minyak kedelai dan minyak jarak/jatropa sebagai sumber bahan bakar
nabati (biodiesel).
Sebagian besar masyarakat dunia telah menjadikan alasan bioenergi
sebagai kambing hitam terhadap meningkatnya harga pangan dunia.
Selain itu konversi lahan untuk produksi minyak nabati di berbagai
negara tropis dunia dianggap sebagai salah satu katalisator kerusakan
162
163
165
166
BAB V
PERANAN INDUSTRI MINYAK SAWIT DALAM
PEREKONOMIAN INDONESIA
167
Nilai
1.42
1.51
168
Pangsa (%)
Reinvestasi surplus
Pupuk, kimia, pestisida
Tenaga kerja
Keuangan
Bibit kelapa sawit
Pertanian
Bangunan
33.94
18.43
17.31
9.85
4.64
3.56
4.07
4.19
1.38
Sektor lainnya
2.36
Total
Sumber: Tabel I-O (Statistik Indonesia, 2008)
5.1.2
100.00
169
Indeks Multiplier
Output
Income
1.71
1.79
Tenaga Kerja
2.64
Nilai Tambah
Sumber: Tabel I-O Indonesia (2008)
1.59
170
Tabel 5.4. Top Ten Sektor Ekonomi (Selain Perkebunan Kelapa Sawit) yang
Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Output, Income dan Nilai Tambah
Perkebunan Kelapa Sawit
Rank
1
2
3
5
6
7
8
Dampak Output
Keuangan
Dampak Income
Jasa lainnya
Jasa lainnya
Keuangan
Perdagangan, hotel
dan restoran
Perdagangan, hotel
dan restoran
Peternakan, kehutanan,
perikanan
Industri kimia
pupuk, dan
pestisida
Industri migas dan
tambang
Transportasi
Industri kimia,
pupuk, dan
pestisida
Jasa lainnya
Transportasi
Pertanian Pangan
Infratsruktur
Industri migas dan
tambang
Infrastruktur
pertanian
Transportasi
Infrastruktur
Industri makanan
Mesin dan
Jasa pertanian
peralatan listrik
10
Sektor Lain
Sektor Lain
Sumber: Tabel Input-Output Indonesia
5.1.3
Keuangan
Perkebunan lainnya
Industri kimia, pupuk,
dan pestisida
Sektor Lain
171
2005
2013
Pertanian
20%
48%
12%
20%
36%
39%
4%
21%
Tambang
Manufaktur
berbasis nonSDA
Manufaktur
berbasis SDA
172
Tabel 5.5. Perkembangan Nilai Ekspor CPO dan Turunannya Serta Pangsanya
dalam Net Ekspor Non Migas Indonesia
Tahun
Net ekspor
non migas
($ Milyar)
Ekspor
Minyak sawit
Pangsa
(%)
26.81
24.15
37.40
33.53
91.20
48.40
59.70
61.10
153.79
121.32
($ milyar)
2004
15.03
4.03
2005
18.34
4.43
2006
14.84
5.55
2007
27.08
9.08
2008
15.13
13.80
2009
25.56
12.37
2010
27.40
16.36
2011
35.43
21.65
2012
13.58
21.30
2013
15.58
19.23
Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah)
Tabel 5.6.
2004
16.12
-0.40
2005
18.35
-1.44
2006
24.11
+5.28
2007
23.67
+1.41
2008
9.11
-13.67
2009
17.77
-1.74
2010
14.73
-11.21
2011
13.13
-19.96
2012
-12.68
-45.37
2013
-13.08
-47.68
Sumber : BPS, Bank Indonesia (data diolah)
20.15
22.78
29.66
32.75
22.91
30.15
31.09
34.78
8.62
6.15
3.11
2.99
10.83
10.49
0.13
10.63
5.14
1.68
-24.07
-28.45
173
2007
Realisasi
Penerimaan
(Rp. Trilyun)
4.2
2008
13.6
17.8
2009
0.6
18.4
2010
8.9
27.3
2011
28.9
56.2
2012
23.2
79.4
Tahun
Akumulasi
(Rp. Trilyun)
4.2
174
5.1.4
20%
0%
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2013
175
Negara/Kawasan
Eropa
Afrika
India
Jerman
Mesir
Cina
Belanda
Afrika Selatan
Pakistan
Spanyol
Tanzania
Malaysia
Perancis
Nigeria
Singapura
Itali
Kongo
Bangladesh
Yunani
Tunisia
Jepang
Rusia
Kenya
Korea Selatan
Belgia
Ghana
Philipina
Inggris
Algeria
Vietnam
Turki
Uganda
Rest of Asia
Rest of Europe
Rest of Africa
Sumber : BPS
176
CPO
RPO
2500
SBO
SFO
2000
1500
1000
500
Jul-13
Oct-12
Jan-12
Apr-11
Jul-10
Oct-09
Jan-09
Apr-08
Jul-07
Oct-06
Jan-06
Apr-05
Jul-04
Oct-03
Jan-03
Apr-02
Jul-01
Oct-00
Jan-00
Gambar .5.3. Harga Minyak Sawit (CPO) Lebih Kompetitif daripada Soybean
Oil (SBO), Rapeseed Oil, (RPO), dan Sunflower Oil (SFO)
177
Sejak awal pengembangan perkebunan kelapa sawit tahun 1980an di Indonesia, baik sebagai bagian dari pembangunan pertanian
maupun pengembangan daerah (transmigrasi), ditujukan untuk
membuka dan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di
kawasan pedesaan. Daerah terbelakang (hinter land) yang
tertinggal/degraded
land
dikembangkan
menjadi
pusat-pusat
pertumbuhan baru.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konteks
pembangunan kawasan pedesaan merupakan kegiatan ekonomi pioner,
kemudian menarik pengembangan sektor-sektor lain di kawasan
pedesaaan dan melahirkan pusat-pusat petumbuhan ekonomi baru.
Evolusi perkembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia secara umum mengikuti dua fase (Gambar 5.4).
Fase pertama, yakni Gestation Stage. Daerah pedesaan yang
umumnya masih kosong, terisolasi atau degraded land/ghost town yang
ditetapkan pemerintah untuk kawasan pembangunan perkebunan
kelapa sawit, dikembangkan oleh perusahaan negara (BUMN) atau
perusahaan swasta yang bertindak sebagai inti. Sementara masyarakat
lokal bertindak sebagai plasma.
Mengingat daerah yang bersangkutan masih terisolasi, maka
PN/PS harus membuka jalan/jembatan masuk (acces road) dengan
investasi besar. Selain itu, investasi yang dikeluarkan inti (4-5 tahun)
mencakup pembangunan jalan usaha tani (farm road), pembangunan
kebun inti dan plasma, pembangunan perumahan karyawan, fasilitas
sosial/umum dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan.
179
180
Pembangunan
perumahan/ fasilitas
sosial-umum 15%
Infrastruktur
jalan/jembatan 20%
Pemeliharan TBM
30%
Pembukaan lahan dan
penanaman sawit
35%
Gambar 5.5
800
700
600
500
400
300
200
100
0
2004
2008
2012
Tahun
181
Untuk mempercepat pembangunan daerah pedesaan, sektorsektor diluar pertanian/perkebunan (rural non-farm economy) mencakup
manufakturing, konstruksi, transportasi, komunikasi, jasa-jasa (Islam,
1997; Rosegrant and Hazell, 2000, Gibb, 1974; Anderson and Leiserson
1980), perlu dikembangkan. Hal ini penting untuk kondisi kawasan
pedesaan Indonesia mengingat sebagian besar penduduk, angkatan
kerja dan bahkan penduduk miskin berada pada rural non-farm economy
tersebut (ADB, 2004).
Tabel 5.9. Sektor-sektor Rural Non-Farm
Pertumbuhan Produksi CPO
yang
Bertumbuh
Akibat
Rank
Sektor
Sektor keuangan
1
Sektor jasa lainnya
2
Perdagangan, hotel, restoran
3
4
Kimia dasar, pupuk/pestisida
Minyak, gas dan tambang
5
Transportasi
6
Infrastruktur
7
Pengolahan Makanan
8
Alat-alat listrik
9
Sektor lainnya
10
Sumber: Tabel I-O Indonesia
182
183
Rp Trillyun
300
200
100
-
5.00
10.00
15.00
Ribu ton
Gambar 5.7. Pengaruh Produksi CPO terhadap PDRB Sentra Sawit Nasional
5.2.4
184
Rp Trilyun
250
200
150
100
50
Kabupaten Sawit
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
Gambar. 5.8. Perbandingan PDRB Sentra Sawit dengan Non Sentra Sawit
Nasional
Hal yang menarik adalah Riau. Sampai tahun 2006, PDRB non
migas sentra sawit dengan non sentra sawit masih relatif sama. Namun
setelah tahun 2006, PDRB non migas sentra sawit lebih cepat
bertumbuh dibandingkan PDRB non migas senta sawit makin besar
dengan non sentra sawit. Hal ini terjadi karena sebelum tahun 2006
sebagian besar perkebunan kelapa sawit Riau masih TBM dan TM
muda. Namun setelah tahun 2006 produksi CPO Riau bertumbuh cepat.
Perbedaan lebih kontras antara PDRB non migas sentra sawit
dengan non sentra sawit terjadi di Sumatera Selatan dan Kalimantan
Tengah. Pertumbuhan produksi CPO yang lebih tinggi setelah tahun
2000, telah memacu pertumbuhan yang lebih cepat PDRB non migas
pada kedua sentra sawit tersebut.
Bukti-bukti emperis tersebut menunjukan bahwa perkebunan
kelapa sawit memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan bagian
penting dari upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil
studi ini juga mengukuhkan hasil studi (Susila, 2004; World Growth,
2011; Joni, 2012; Rofiq, 2012) yang menyimpulkan bahwa perkebunan
kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan daerah
pedesaan (rural development).
185
5.3
186
Luas
(Ribu Ha)
291.33
1995
320
658.54
2000
682
1166.76
2005
1184
2356.89
2010
1710
3387.26
2013
3703
Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
3790.14
187
5.3.2
188
2000
2005
2010
2013
15.548
194.177
372.861
396.623
1.360.000
717.916
2.370.000
73261
3.420.000
1.199.552
3.830.000
1.286.347
2.093.464
2.637.438
4.992.413
5.512.970
Sektor-sektor Ekonomi
Jasa Pertanian
1
2
Perdagangan, Restoran, Hotel
3
Perternakan, Kesehatan dan Perikanan
Tanaman Pangan
4
Transportasi
5
6
Sektor Keuangan
Industri Kimia
7
Sektor Lain
8
Sumber: Tabel I-0 Indonesia
189
100
80
60
40
20
-
2009
2010
2011
Petani Plasma
Petani Mandiri
2012
2013
Petani Non-Sawit
190
5.3.4
2010
Plasma
2011
Mandiri
2012
2013
Non Sawit
191
Pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dari pada petani non
sawit juga ditemukan Stern Review (World Growth, 2011) yakni petani
sawit ($ 960-3340/ha), petani karet ($ 72/ha), petani padi ($ 28/ha),
petani ubi kayu (C$ 19/ha) dan petani kayu ($ 1099/ha).
Tabel 5.13. Perbandingan Pendapatan Rumah Tangga Petani Sawit dengan
Petani Non Sawit (Rp Juta/Tahun)
Petani Plasma
Petani Mandiri
Petani Non-Sawit
2009
2010
2011
2012
2013
49
48
18
66
55
19
83
75
20
119
100
24
118
102
29
192
Tahun
2009
2010
2011
2012
2013
Rataan
Pendapatan
Petani Sawit
Kota
Desa
Plasma
Mandiri
2.66
2.79
3.16
3.32
3.46
2.15
2.20
2.68
2.88
3.04
16.00
21.32
29.12
36.70
36.06
14.06
20.36
27.55
31.58
28.76
Rataan
Pendapatan
Petani Non
Sawit
Pendapatan
per Kapita
Non Migas
Nasional
5.20
6.12
6.38
6.56
7.36
21.55
24.39
27.66
30,30
33.21
193
194
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
Kemiskinan (%) = 32.24 - 1.0 CPO
E= -0.77
R2 = 0.89
5.0
-
Gambar 5.11.
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
195
196
II.
Undang- undang
UU No. 12 Tahun 1992
UU No. 5 Tahun 1960
UU No. 13 Tahun 2003
UU No. 18 Tahun 2004
UU No. 32 Tahun 2009
UU No. 26 Tahun 2007
UU No. 5 Tahun 1990
UU No. 41 Tahun 1999
UU No. 17 Tahun 2004
Peraturan Pemerintah (PP)
PP 7/1973
PP 6/1995
PP 85/1999
PP 8/2001
PP 51/2007
PP 31/2009
III.
Tentang
Sistem Budidaya Tanaman
Peraturan Dasar Pokok Agraria
Ketenagakerjaan
Perkebunan
Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Penataan Ruang
Konservasi SDA Hayati Dan
Ekosistemnya
Kehutanan
Pengesahan Kyoto Protokal To
The United Nations Framework
Convention On Climate Change
Pestisida
Perlindungan Tanaman
Pengelolaan Limbah Berbahaya
Dan Racun
Pupuk Budidaya Tanaman
Indikasi Geografis
Perlindungan Wilayah
Geografis Penghasil Produk
Perkebunan Spesifik
Revitalisasi Perkebunan
Pedoman Izin Usaha
Perkebunan.
Sistem Standarisasi Nasional
Pertanian/Perkebunan.
Pedoman Penilaian Usaha
Perkebunan.
Pedoman Pemanfaatan Lahan
Gambut Untuk Budi daya
Perkebunan.
Pedoman Perkebunan Kelapa
Sawit Berkelanjutan (ISPO).
Klasifikasi Perusahaan
Perkebunan.
Pedoman Kriteria Dan
Standarisasi Klasifikasi Kimbun
197
198
199
Tabel 5.17. Perubahan Penggunaan Lahan untuk Hutan, Perkebunan dan Penggunaan Lain di Indonesia
(Juta Hektar)
Land Use
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Hutan Lindung
Hutan Suaka Alam
Hutan Produksi Terbatas
Hutan Produksi Tetap
Hutan Buru
Hutan Produksi Dapat Dikonversi
31.7
23.1
22.9
36.0
23.0
31.8
23.6
21.7
35.8
14.1
31.6
23.3
22.5
36.6
0.2
22.8
31.6
23.3
22.5
36.7
0.2
22.8
31.6
23.3
22.4
36.7
0.2
22.7
31.6
23.3
22.4
36.7
0.2
22.7
32.0
24.4
22.8
33.9
0.2
21.0
32.2
26.1
22.8
34.1
20.9
Total Hutan
Perkebunan sawit
Perkebunan Lain
Pertanian dan Pemukiman
136.7
5.3
12.3
35.3
127.0
5.4
12.5
44.7
137.1
6.6
12.02
33.88
137.1
6.7
12.2
33.66
136.9
7.4
11.9
33.44
136.9
7.8
12.2
32.7
134.3
8.4
12.1
34.8
136.2
9.0
12.3
32.1
189.6
189.6
189.6
189.6
189.6
189.6
189.6
189.6
GAPKI -
200
Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2011 hanya 9 juta hektar
atau hanya 4 persen dari Land Area, bahkan lebih rendah dari lahan padi di
Indonesia yang luasnya 13.4 juta hektar maupun perkebunan lainnya (12
juta hektar). Dengan fakta yang demikian adalah tidak berdasar tuduhan
yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia menggerogoti
hutan. Luas hutan di Indonesia relatif stabil pada 136 juta hektar sementara
perkebunan kelapa sawit baru mencapai 9 juta hektar.
Perlu dicatat bahwa sebagian besar hutan lindung di Indonesia
berada pada ketinggian wilayah (dari permukaan laut) yang sudah diluar
comfort zone kelapa sawit (dataran tinggi). Dengan kata lain, hutan dan
perkebunan kelapa sawit hidup berdampingan pada tempat masing-masing.
Keduanya bagian penting dari upaya pelestarian lingkungan khususnya
penyerapan CO2 ekosistem global.
5.4.3
201
Industri Minyak Sawit Indonesia Tahun 2050. Kado 100 Tahun NKRI
Tabel 5.18. Perbandingan Ekofisiologi Perkebunan Kelapa Sawit dengan Hutan Tropis
163.5
Perkebunan
Kelapa Sawit
161.0
121.1
96.5
42.4
64.5
7.3
5.6
1.73
3.18
0.86
1.68
431
100
5.8
8.3
25.7
36.5
7.09
18.70
1560-1620
1610-1750
59-727
75-739
85
87
30-90
10-30
90-93
85-90
Indikator
Evapotranspirasi (mm/tahun)
Cadangan air tanah s/d kedalaman 200 cm (mm)
Penerusan curah hujan ke permukaan tanah (%)
Laju infiltrasi lapisan solum 0-40 cm
(ml/cm3/menit)
Hutan Tropis
202
203
30.34
1990
2010
Gambar 5.13. Volume Karbon yang Diserap Secara Netto pada Perkebunan
Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990 dan 2010 (Juta Ton Karbon)
Atmosfir bumi
CO2
CO2
CO2
CHINA
USA
EROPA
CO2
O2
+ CPO
Perkebunan sawit
Indonesia
O2 + Minyak Sawit
205
206
Emisi Ton
CO2/ha/
Tahun
78,5
127,0
57,6
55,0
54,0
31,4
Peneliti
Melling, et al., (2007)
Hadi, et al., (2001)
Melling, et al., (2007)
Melling, et al., (2005)
Murayama & Bakar (1996)
Germer and Sauaerborn (2008)
207
208
Nama Latin
Nama Daerah
Pekaka emas
Echionoserex gymnurus
Raja udang meninting
Tupaia minor
Cekakak batu
Ptilocercus lowii
Kangkareng perut-putih
Tupaia glis
Takur warna-warni
Pentethor lucasii
Takur tenggaret
Balionycteris maculata
Takur ampis
Nycticebus coucang borneanus Pelatuk besi
Manis javanica
Caladi batu
Macaca fascicularis
Sempur hujan sungai
Macaca nemestrina
Cica daun kecil
Hylobates muelleri
Cica daun besar
Callosciurus laticaudatus
Merbah
Dremomys everetti
Srigunting
Rhinosciurus laticaudatus
Srigunting gagak
Hystrix brachyura
Kacer
Trichys fasciculata
Murai batu
Helarctos malayanus
Cinenen kelabu
Mydaus javanensis
Sikatan rimba dada kelabu
Paradoxurus hermaphroditus Sikatan hijau laut
Felis bengalensis
Sikatan belang
Sus sp.
Kipasan mutiara
Tragulus javanicus
Kipasan belang
Muntiacus muntjak
Seriwang asia
Kerak jambul
Dupetor flavicollis
Tiong emas
Ichthyophaga ichthyaetus
Burung madu sepah raja
Spilornis cheela
Pijantung kecil
Ictinaetus malayensis
Pijantung besar
Haliastur indus
Cabai tunggir coklat
Haematortyx sanguiniceps
Kacamata biasa
Rollulus rouloul
Bondol kalimantan
Lophura ignita
Burung gereja
Amaurornis phoenicurus
REPTIL
Tringa sp
Kobra
Treron olax
Ular banyu
Treron sp.
Biawak
Streptopelia chinensis
Ular belang
Chalcophaps indica
Ular Tanah
Tanygnathus sp
Ular daun
Loriculus galgulus
Toke
Centropus bengalensis
Kadal
Ketupa ketupu
Labi-labi
Strix leptogrammica
Kura-kura
Eurostopodus temminckii
Senyulong
Collocalia esculentra
Nama Latin
Pelargopsis capensis
Alcedo meninting
Lacedo pulchella
Anthracoceros albirostris
Megalaima mystacophanos
Megalaima australis
Calorhamphus fuliginosus
Dinopium javanenses
Meiglytes tristis
Cybirhynvhus macrorhynchus
Chloropsis cyanopogon
Chloropsis sonnerati
Pycnonotus goiavier
Dicrurus panadiseus
Dicrurus annectans
Copsychus saularis
Copsychus malabaricus
Orthotomus ruficeps
Rhinomyas umbratilis
Eumyas thalassina
Ficedula wastermanni
Rhipdura perlata
Rhipdura javanica
Terisphone paradisi
Acridotheres cristatellus
Gracula rellgiosa
Aethopyga siparaja
Arachnothera longilostra
Arachnothera robusta
Diaceum everetti
Zosterops palpebrosus
Lonchura fuscans
Passer montanus
Naja sp.
Phynton reticulatus
Varanus boornensis
Bungarus cancidus
Calloselasma rhodostoma
Dryophis prasinus
Gekko gecko
Mabouya multifasciata
Chitra indica
Orlitia boornensis
Tomistoma schlegelii
209
Nama Latin
Status
Ulin
Eusideroxylon zwageri
Jelutung
Meranti
tembaga
Ramin
Dyera costulata
Shorea leprosula
Endangered (IUCN)
Gonystylus bancanus
Vulnerable (IUCN)
Mersawa
Kantung
Semar
Kantung
Semar
Anisoptera grossivenia
Nepenthes ampullaria type
green
Napenthes maxima type
green
Vulnerable (IUCN)
5.4.7
210
Tabel 5.23. Kebutuhan Lahan untuk Menghasilkan 1000 Ton Minyak Nabati
dari Berbagai Jenis Minyak Nabati Global.
Jenis
minyak nabati
Produktivitas minyak
(ton/ha)
Soybean
Rapeseed
Sunflower
Groundnuts
Coconut
Cotton
Palm oil
Sumber: Oil World , 2010
0,45
0,69
0,52
0,45
0,34
0,19
4,27
Kebutuhan lahan
untuk 1000 ton
minyak nabati (ha)
2.222
1.449
1.923
2.222
2.941
5.263
234
Kelapa Sawit
Soybean
Rapeseed
47
8
2
0.5
315
77
29
2.9
99
42
11
0.7
5
2
0.4
32
23
23
10
13
9
211
212
Kisaran
(m/GJ)
Rataan
(m/GJ)
30 205
49 203
9 200
75
61 138
25 31
27 146
67 214
118
126
105
75
100
28
87
184
88
58
45
Rapeseed
Biodiesel
62
40
Soybean
Biodiesel
Sunflower
Biodiesel
Palm Oil
Biodiesel
(methane
capture)
Waste Cooking
Oil/Vegetable
Oil
213
214
BAB VI
INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA 2050
215
216
Kondisi
2013
2013
2020
2021
2025
2026
2030
2031
2035
2036
2040
2041
2045
2046
2050
jumlah
penduduk
(juta jiwa)
249.9
1.00
0.95
0.47
0.46
0.45
0.44
0.43
GDP
(U$/kapita)
3,580
4.70
4.69
4.53
4.34
4.15
4.00
3.84
5,221,000
3.00
2.49
2.26
2.03
1.84
1.69
1.55
Produksi
18,808,940
1.58
1.42
1.35
1.26
1.19
1.12
1.06
Margarine (ton)
Konsumsi
378,000
3.00
2.49
2.26
2.03
1.84
1.69
1.55
Produksi
723,000
3.98
3.11
2.77
2.43
2.17
1.95
1.78
562,054
4.00
3.13
2.78
2.44
2.17
1.96
1.79
1,600,000
3.50
2.82
2.53
2.24
2.02
1.83
1.68
39.4
3.74
2.98
2.61
2.31
2.07
1.88
1.72
B 4.4
B5
B 10
B 20
B 20
B 20
B 20
B 20
B 20
B25B 30
B 35B 40
B 40
B 40
B 40
B 40
Tabel 6.2.
Luas Degraded Land di Indonesia
Lokasi/Wilayah
Luas (Juta Ha)
Hutan Konservasi
4.75
Hutan Lindung
9.52
Hutan Produksi Tetap
13.88
Hutan Produksi Terbatas
10.87
Hutan Produksi dapat dikonversi
9.69
Non Kawasan Hutan
29.72
Jumlah
78.43
Sumber: Prosval Consulting (Bimasena 2014)
217
Tabel 6.3. Luasan Lahan Berpotensi Tinggi Untuk Tanaman Kelapa Sawit di
Beberapa Wilayah Indonesia
Provinsi
Luas Lahan
Berpotensi (Ha)
Luas Areal
Sawit 2013 (Ha)
Lahan Masih
Tersedia (Ha)
Sumatera Utara
1,298,000
1,190,556
107,444
Riau
2,848,200
1,940,717
907,483
728,479
303,873
424,606
3,671,100
694,447
2,976,653
3,638,500
1,026,478
2,612,022
4,399,400
693,744
3,705,656
Sulawesi Tengah
146,300
97,489
48,811
Sulawesi Selatan
288,000
23,795
264,205
Bengkulu
Kalimantan Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan Timur
Papua
5,896,500
36,124
Total
Lahan
22,914,479
6,007,223
Berpotensi
Sumber: Puslit Tanah dan Agroklimat, Balitbang Deptan (1993)
5,860,376
16,907,256
6.2.1
Visi 2050
Menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar CPO dan
produk hilir minyak sawit dunia secara berdayasaing dan
berkelanjutan
219
220
Tahun
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
Minyak
Goreng
5,221,000
5,377,630
5,538,959
5,705,128
5,876,281
6,052,570
6,234,147
6,421,171
7,260,076
8,116,967
8,973,858
9,830,749
10,687,641
11,544,532
Margarine Oleokimia/Detergen
378,000
389,340
401,020
413,051
425,442
438,206
451,352
464,892
525,629
587,668
649,707
711,746
773,784
835,823
562,054
584,536
607,918
632,234
657,524
683,825
711,178
739,625
862,818
989,556
1,116,295
1,243,034
1,369,773
1,496,512
Biodiesel
1,500,000
2,500,000
4,262,000
8,856,000
9,190,000
9,522,000
9,856,000
10,188,000
20,649,792
26,847,857
30,095,952
33,344,048
36,592,143
39,840,238
221
biodiesel
oleokimia/detergen
2049
2047
2045
2043
2041
2039
2037
2035
2033
2031
2029
2027
2025
2023
2021
2019
2017
2015
60
50
40
30
20
10
0
2013
Juta ton
6.3.2
222
Tabel 6.5. Proyeksi Produksi Industri Hilir Minyak Sawit 2013-2050 (ton)
Minyak goreng
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
18,808,940
19,101,449
19,400,016
19,704,796
20,015,946
20,333,631
20,658,019
20,989,282
22,523,374
24,080,352
25,637,331
27,194,309
28,751,288
30,308,267
margarine
723,000
751,590
781,383
812,431
844,792
878,523
913,685
950,342
1,107,778
1,270,019
1,432,260
1,594,501
1,756,742
1,918,983
oleokimia/detergen
1,600,000
1,656,000
1,713,960
1,773,949
1,836,037
1,900,298
1,966,809
2,035,647
2,339,024
2,650,017
2,961,009
3,272,002
3,582,994
3,893,987
Biodiesel
3,084,143
3,800,000
5,762,000
10,356,000
10,690,000
11,022,000
11,356,000
11,688,000
28,909,708
37,587,000
42,134,333
46,681,667
51,229,000
55,776,333
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2013
2015
2017
2019
2021
2023
2025
2027
2029
2031
2033
2035
2037
2039
2041
2043
2045
2047
2049
Juta Ton
Tahun
oleokimia/detergen
biodiesel
223
sekitar 3 juta ton akan meningkat menjadi sekitar 12 juta ton tahun
2020 dan sekitar 57 juta tahun 2050.
6.4
minyak
goreng
Margarine
oleokimia/detergen
biodiesel
TOTAL
2013
18,808,940
723,000
1,600,000
3,084,143
24,216,083
2014
19,101,449
751,590
1,656,000
3,800,000
25,309,039
2015
19,400,016
781,383
1,713,960
5,762,000
27,657,359
2016
19,704,796
812,431
1,773,949
10,356,000
32,647,176
2017
20,015,946
844,792
1,836,037
10,690,000
33,386,775
2018
20,333,631
878,523
1,900,298
11,022,000
34,134,452
2019
20,658,019
913,685
1,966,809
11,356,000
34,894,512
2020
20,989,282
950,342
2,035,647
11,688,000
35,663,271
2025
22,523,374
1,107,778
2,339,024
28,909,708
54,879,884
2030
24,080,352
1,270,019
2,650,017
37,587,000
65,587,388
2035
25,637,331
1,432,260
2,961,009
42,134,333
72,164,933
2040
27,194,309
1,594,501
3,272,002
46,681,667
78,742,479
2045
28,751,288
1,756,742
3,582,994
51,229,000
85,320,024
2050
30,308,267
1,918,983
3,893,987
55,776,333
91,897,569
224
juta Ton
80
60
40
20
2013
2015
2017
2019
2021
2023
2025
2027
2029
2031
2033
2035
2037
2039
2041
2043
2045
2047
2049
minyak goreng
margarine
biodiesel
TOTAL
oleokimia/detergen
6.5
225
Tahun
Kebutuhan Bibit
Protas Proven
Bibit (ton CPO/Ha)
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035
118,278,200
63,623,600
132,738,720
144,078,166
165,031484
150,117,639
117,647,574
146,165,529
151,915,329
150,361,729
217,063,329
4-5
4-5
4-5
4-5
5-6
5-6
5-6
5-6
6-8
6-8
8-9
2040
2045
2050
231,981,249
245,408,058
251,157,858
8-9
8-9
8-9
226
Tahun
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
Raplanting
Nasional
140,965
118,050
153,149
184,319
262,282
159,569
190,822
234,615
263,364
255,596
589,104
663,694
730,828
759,577
Tanaman
Baru
Nasional
450,426
200,068
510,545
536,072
562,875
591,019
397,416
496,213
496,213
496,213
496,213
496,213
496,213
496,213
Total
591,391
318,118
663,694
720,391
825,157
750,588
588,238
730,828
759,577
751,809
1,085,317
1,159,906
1,227,040
1,255,789
227
Ha, perkebunan sawit swasta 5.9 juta Ha, dan negara 0.72 juta Ha.
Kemudia pada tahun 2050 luas areal perkebunan kelapa sawit
Indonesia akan mencapai 28 juta hektar. Terdiri dari perkebunan sawit
rakyat 16.6 juta Ha, perkebunan sawit swasta 10 juta Ha, dan negara 0.8
juta Ha. Dengan demikian pangsa perkebunan rakyat makin dominan
dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia (gambar6.4).
2013
2020
Rakyat
44.11%
Negara
6.86%
Swasta
49.03%
Rakyat
49.48%
Negara
5.46%
Swasta
45.06%
2050
Rakyat
58.99%
Negara
3.11%
Swasta
37.903%
Gambar 6.4. Perubahan Pangsa Areal Perkebunan Sawit Negara, Rakyat, dan
Swasta Indonesia tahun 2013-2050
Rakyat
Negara
2049
2047
2045
2043
2041
2039
2037
2035
2033
2031
2029
2027
2025
2023
2021
2019
2017
2015
2013
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Swasta
228
100%
80%
60%
40%
20%
0%
2015
2020
TBM
2025
2030
Muda
2035
Remaja
2040
Dewasa
2045
2050
Tua
229
6.5.4
Roadmap Produktivitas
Selain perluasan areal pengembangan perkebunan kelapa sawit
Indonesia menuju 2050, juga (bahkan terpenting) peningkatan
produktivitas CPO perhektar melalui
program replanting yang
konsisten setiap tahun (antara lain menuju perbaikan komposisi
tanaman), keharusan penggunaan varietas unggul baru pada setiap
replanting/penanaman areal baru, perbaikan kultur teknis baik pada
budidaya, pemanenan/pengangkutan dan proses pengolahan PKS.
Dengan perbaikan kultur teknis yang diharapkan dilaksanakan
secara bersama-sama oleh pelaku perkebunan kelapa sawit, maka
diproyeksikan roadmap peningkatan produktivitas perkebunan kelapa
sawit Indonesia akan terjadi baik pada perkebunan kelapa sawit rakyat
(gambar 6.7), negara (gambar 6.7), maupun swasta (gambar 6.9) .
Rakyat 2013-26
Rakyat 2027-35
Rakyat 2036-50
8.00
Protas
6.00
4.00
2.00
0.00
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Umur
Gambar 6.7.
230
Negara 2013-26
Negara 2027-35
Negara 2036-50
12
10
Protas
8
6
4
2
0
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Umur
Gambar 6.8.
Protas
Swasta 2013-26
Swasta 2027-35
Swasta 2036-50
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Umur
231
Tahun
Rakyat
Negara
Swasta
Nasional
2013
9,347,156
3,063,871
15,229,197
27,640,224
2014
10,317,201
3,458,403
16,584,740
30,360,345
2015
11,213,164
3,658,103
17,495,909
32,367,176
2016
12,558,461
3,829,231
18,705,947
35,093,639
2017
13,540,232
3,858,699
19,354,109
36,753,040
2018
15,179,208
3,980,417
20,101,878
39,261,503
2019
16,533,046
4,111,606
20,913,766
41,558,419
2020
18,180,641
4,152,173
21,598,196
43,931,010
2025
27,560,147
4,201,871
24,509,687
56,271,705
2030
36,370,598
5,348,872
36,756,336
78,475,805
2035
48,987,183
5,321,167
40,038,103
94,346,453
2040
60,503,011
7,306,455
53,389,036
121,198,502
2045
73,929,887
7,765,991
60,197,693
141,893,571
2050
90,995,043
7,597,767
65,166,827
163,759,637
Dari produksi CPO Indonesia tersebut diproyeksikan produksi
CPO asal perkebunan rakyat akan meningkat dari 9.3 juta tahun 2013
menjadi 18.2 juta tahun 2020 dan 91 juta tahun 2050. Produksi CPO asal
perkebunan negara akan meningkat dari 3 juta tahun 2013 menjadi 4.1
juta tahun 2020 dan 7.6 juta tahun 2050. Produksi CPO asal perkebunan
swasta akan meningkat dari 15.2 juta tahun 2013 menjadi 21.6 juta
tahun 2020 dan 65 juta tahun 2050. Hal ini berarti pangsa CPO asal
232
6.6
233
234
Tabel 6.12
Tahun
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
Standing Biomas
(Ton)
Total Pengurangan
Emisi CO2 (ton)
627,446,962
686,991,858
705,093,443
744,887,303
776,070,351
822,501,801
880,408,665
902,877,762
1,022,537,199
1,261,688,867
1,379,201,121
1,619,139,333
1,805,188,483
1,924,695,919
255,950,423
280,922,343
291,325,721
314,648,793
327,660,420
346,768,184
370,469,338
379,992,161
455,617,329
565,265,791
619,600,994
722,906,580
804,656,541
859,789,817
Produksi Oksigen
(Ton)
14,016,738,905
15,363,700,196
15,605,716,193
16,521,178,011
16,093,131,924
15,885,234,462
16,890,812,571
17,403,132,862
21,700,020,312
23,607,652,298
28,909,394,604
32,112,561,130
33,904,694,298
38,197,602,377
6.8
235
Tahun
Minyak
Goreng
Margarin
Oleokimia/
Detergen
Biodiesel
Hilir
Lainnya
CPO
2013
13,587,940
345,000
1,037,946
1,584,143
1,712,071
1,712,071
2014
13,723,819
362,250
1,071,464
1,300,000
2,525,653
2,525,653
2015
13,861,058
380,363
1,106,042
1,500,000
2,354,908
2,354,908
2016
13,999,668
399,381
1,141,714
1,500,000
1,223,232
1,223,232
2017
14,139,665
419,350
1,178,513
1,500,000
1,683,133
1,683,133
2018
14,281,062
440,317
1,216,473
1,500,000
2,563,525
2,563,525
2019
2020
14,423,872
14,568,111
462,333
485,450
1,255,631
1,296,022
1,500,000
1,500,000
3,331,953
4,133,869
3,331,953
4,133,869
2025
15,263,298
582,149
1,476,207
8,259,917
695,910
695,910
2030
15,963,385
682,351
1,660,460
10,739,143
6,444,209
6,444,209
2035
16,663,473
782,553
1,844,714
12,038,381
11,090,760
11,090,760
2040
17,363,560
882,755
2,028,968
13,337,619
27,293,903
15,162,121
2045
18,063,647
982,957
2,213,221
14,636,857
42,482,935
14,090,612
2050
18,763,735
1,083,159
2,397,475
15,936,095
52,304,828
19,557,240
236
Tabel 6.14. Proyeksi Nilai Ekspor Produk hilir dan CPO Indonesia
tahun 2013-2050
Tahun
Minyak
Goreng
Margarin
CPO
(crude)
Total
Ekspor
2013
16,964
431
1,296
2,248
2,137
1,846
24,922
2014
17,680
467
1,380
1,909
3,254
2,798
27,488
2015
18,245
501
1,456
2,257
3,100
2,656
28,214
2016
18,669
533
1,522
2,289
1,631
1,396
26,039
2017
19,155
568
1,597
2,320
2,280
1,957
27,877
2018
19,541
603
1,665
2,343
3,508
3,012
30,671
2019
19,866
637
1,729
2,369
4,589
3,915
33,105
2020
20,178
672
1,795
2,393
5,726
4,857
35,622
2025
22,508
858
2,177
13,950
1,026
877
41,397
2030
25,378
1,085
2,640
19,126
10,245
9,012
67,486
2035
28,409
1,334
3,145
22,549
18,908
17,042
91,387
2040
31,600
1,607
3,693
26,212
49,673
25,390
138,175
2045
34,953
1,902
4,283
30,114
82,205
25,541
178,998
2050
38,468
2,221
4,915
34,255
107,230
38,150
225,239
Minyak Goreng
Margarin
Oleokimia
Biodiesel
Hilir Lainnya
CPO (crude)
250
Milyar USD
200
150
100
50
Gambar 6.10
2049
2047
2045
2043
2041
2039
2037
2035
2033
2031
2029
2027
2025
2023
2021
2019
2017
2015
2013
237
Tahun
Pengurangan impor
solar (ton)
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
1,500,000
2,500,000
4,262,000
8,856,000
9,190,000
9,522,000
9,856,000
10,188,000
20,649,792
26,847,857
30,095,952
33,344,048
36,592,143
39,840,238
815
846
878
912
984
1021
1059
1098
1312
1554
1825
2120
2437
2768
1,222
2,114
3,742
8,074
9,040
9,720
10,437
11,189
27,089
41,733
54,915
70,697
89,166
110,268
Tabel 6.16. Proyeksi Pangsa Indonesia Dalam Produksi Minyak Nabati Utama
Dunia, CPO Dunia, dan Biodiesel Dunia
Produksi CPO & Pangsa
Tahun
Indonesia
Dunia
Pangsa
Indonesia
(juta ton)
(juta
ton)
(%)
Produksi 4 nabati
utama
Pangsa
Dunia
Indonesia
(juta ton)
(%)
Produksi Biodiesel
Indonesia
Dunia
Pangsa
Indonesia
(juta ton)
(juta ton)
(%)
2015
32.37
54.92
58.94
140.00
23.12
5.76
28.34
20.33
2020
43.93
62.05
70.80
154.42
28.45
11.68
36.63
31.89
2025
56.27
78.26
71.91
181.32
31.03
28.91
56.25
51.39
2030
78.48
100.54
78.06
216.77
36.20
37.58
67.31
55.84
2035
94.35
122.82
76.82
252.22
37.41
42.13
74.23
56.76
2040
121.20
145.10
83.53
287.67
42.13
46.68
81.15
57.52
2045
141.89
167.38
84.78
323.11
43.91
51.22
88.07
58.16
2050
163.76
189.66
86.35
358.56
45.67
55.77
95.00
58.71
58.94 persen tahun 2015 menjadi 78.06 persen tahun 2030 dan menjadi
86.35 persen tahun 2050. Sementara dalam produksi minyak nabati
utama dunia (minyak sawit, soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil)
meningkat dari 23.12 persen tahun 2015 menjadi 36.20 persen tahun
2030 dan menjadi 45.67 persen tahun 2050. sedangkan dalam produksi
biodiesel dunia pangsa Indonesia meningkat dari 20.33 persen tahun
2015 menjadi 55.84 persen tahun 2030 dan menjadi 58.71 persen
tahun 2050. Dengan pangsa yang demikian Indonesia menjadi pemain
terbesar dalam pasar minyak nabati global.
CPO
400
Indonesia
350
ROW
Dunia
Juta Ton
300
250
200
150
100
50
0
2015
Gambar 6.11.
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
4 Nabati
Juta Ton
Indonesia
800
700
600
500
400
300
200
100
0
2015
Gambar 6.12.
2020
2025
ROW
2030
Dunia
2035
2040
2045
2050
239
Juta Ton
Biodiesel
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
2015
Gambar 6.13
240
Indonesia
2020
2025
2030
ROW
2035
Dunia
2040
2045
2050
BAB VII
KEBIJAKAN STRATEGIS INDUSTRI MINYAK SAWIT 2050
Untuk mencapai target/sasaran industri minyak sawit 2050
sebagaimana diuraikan terdahulu, memerlukan dukungan kebijakan
pemerintah. Kebijkan strategis yang perlu diperjuangkan dan
dikeluarkan pemerintah yakni kebijakan tata ruang, kebijakan
pertanahan, kebijakan penyederhanaan perizinan investasi/usaha,
kebijakan suku bunga, kebijakan infrastruktur, kebijakan pembiayaan,
kebijakan perpajakan, kebijakan energi, kebijakan lingkungan hidup,
kebijakan daerah, kebijakan penelitian dan pengembangan dan
kebijakan perdagangan internasional.
Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan kebijakan strategis
yang diperlukan industri minyak sawit untuk mencapai target/sasaran
yang ditetapkan. Oleh karena itu dalam perumusan kebijakan beserta
instrument kebijakan, delivery kebijakan, implementasi kebijakan serta
evaluasi/memitoring kebijakan sejak awal didisain sebagai team work
yang melibatkan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan
pemerintah.
7.1 Paket Kebijakan BIG PUSH Industri Minyak Sawit Nasional
Menuju 2050
a. Uraian Masalah/Argumentasi
Dari berbagai studi industri minyak sawit Indonesia selama ini
menunjukkan bahwa hanya pendekatan parsial dan tidak dilakukan
peningkatan produksi CPO secara signifikan, maka hanya terjadi
perubahan kecil-kecil (a bit a bit changes) dan terjadi trade-off fuel-food.
Kebijakan bea keluar/pajak ekspor CPO dan turunannya merugikan
produsen CPO termasuk petani, namun diuntungkan industri hilir CPO
(Manurung, 1993, Larson 1995, Tomich and Mawardi, 1996; Susila, 2004;
Obado et.al. 2009). Pengembangan biodiesel domestik ( tanpa
peningkatan produksi CPO yang signifikan) memang menguntungkan
bagi produsen CPO dan pemerintah (pengurangan impor solar) namun
berpotensi menurunkan produksi minyak goreng sawit domestik akibat
perebutan CPO (Susila dan Munadi, 2008; Joni, et.al. 2012) sekalipun
dilakukan kenaikan bea keluar.
Kebijakan penurunan suku bunga kredit dapat mendorong
peningkatan produksi CPO dan industri hilir (minyak goreng sawit)
secara serentak (Manurung, 1993; Purba, 2011), demikian juga
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
241
243
maupun sektor; (2) Pengurusan HGU yang rumit, lama dan mahal; (3)
Adanya klaim dari masyarakat sekitar atas nama hak ulayat pada areal
HGU dan atau izin lokasi yang diberikan pemerintah; (4) dalam sistem
inti-plasma sering terjadi ketidak sesusaian luas areal efektif yang
diberikan pemerintah (antara rencana dan kenyataan) sehingga
menimbulkan konflik berkepanjangan antara inti dengan calon plasma,
dan
(5)
Ketidakpastian/kerancuan
status
hukum
hak
ulayat/masyarakat hukum adat dalam konteks NKRI.
b. Kebijakan yang Diperlukan
Untuk membangun kepastian hukum atas hak atas tanah dan
menyelesaikan masalah pertanahan yang berlarut larut diperlukan
terobosan kebijakan pertanahan kedepan sebagai berikut:
1. Mempercepat pemberian SHM lahan kebun sawit rakyat sebagai
layanan pemerintah;
2. Menyederhanakan pengurusan HGU yang cepat (dengan target
waktu yang definitif) dan murah;
3. Memberikan perlindungan HGU (perpanjangan/pembaruan HGU
tidak boleh tertunda/batal hanya karena klaim-klaim sepihak
terkait yang belum memiliki kekuatan hukum tetap);
4. Mempertegas kebijakan Nasional tentang hak ulayat masyarakat
hukum adat dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan
5. Menyediakan lahan plasma yang clean dan clear dalam kerjasama
inti-plasma.
7.4 Kebijakan Perizinan Industri Minyak Sawit
a. Uraian Masalah/Argumentasi
Masalah perizinan usaha merupakan masalah yang berkepanjangan
di Indonesia yang belum terselesaikan. Dalam hal jumlah perizinan
dan lama pengurusan yang diperlukan untuk memperoleh izin-izin
usaha, peringkat Indonesia (Tabel 7.1) jauh lebih jelek dibanding
negara-negara tetangga.
Tabel 7.1. Perbandingan Peringkat Dunia antara Indonesia dengan
Negara Tetangga dalam Perizinan Usaha.
Indonesia
Malaysia
Thailand
Singapura
2010
2013
2010
2013
2010
2013
2010
2013
88
104
88
10
57
20
10
121
128
39
16
98
106
Uraian
245
Indonesia
Singapura
Malaysia
Thailand
Cina
India
Jalan
3.7
6.2
5.4
4.9
4.5
3.6
Kereta Api
3.5
5.6
4.8
2.6
4.7
4.8
Transportasi
Udara
4.5
6.8
5.8
5.5
4.5
4.8
Pelabuhan
Laut
3.9
6.8
5.4
4.5
4.5
4.2
Listrik
4.3
6.7
5.8
5.2
5.1
3.2
Skor rataan
6.4
5.5
4.5
4.3
3.9
247
248
249
251
7.9
a.
Kebijakan Perpajakan
Uraian Masalah/Argumentasi
Fase ini diharapkan akan dicapai dalam 10 tahun kedepan (20152025). Berikutnya (2026-2050) industri minyak sawit indonesia
VII. Kebijakan Stategis Industri Minyak Sawit 2050
253
255
Uraian masalah/Argumentasi
Pada kurun waktu 2015 2020 mendatang luas areal perkebunan
sawit rakyat diperkirakan akan mencapai 7 juta ha atau 51% dari total
luas perkebunanan sawit nasional. Hal ini menunjukan perkebunan
sawit rakyat akan mendominasi perkebunan sawit nasional. Selama ini
masing-masing petani bergerak sendiri-sendiri baik dalam pengadaan
pupuk, bibit, pencarian sumber modal, pemanenan dan pengangkutan
TBS. Permentan No.98/2013 telah membuka kesempatan kepada
koperasi petani untuk ikut dalam pengusahaan PKS bersama-sama
256
257
258
BAB VIII
PENUTUP
259
Cetak biru dan roadmap industri minyak sawit Indonesia 2050 ini
masih bersifat agregat/ nasional. Untuk lebih realistis dan
implementatif, perlu di review secara periodic dan diterjemahkan pada
level daerah (provinsi, kabupaten), level industri ( industri pembibitan,
industri olein, industri oleokimia dan turunannya, industri detergen/
sabun, industri biodiesel) dan selanjutnya pada level perusahaan dalam
bentuk rencana tahunan. Demikian juga aspek kebijakan strategis
industri minyak sawit nasional perlu didisain lebih implementatif
temasuk instrumen, lembaga eksekutor, sinergitas kebijakan, serta
proses dan time skedul delivery-nya.
260
DAFTAR PUSTAKA
ADB, 2004: Agriculture and Rural Development Strategy Study. Asian
Development Bank and Ministry Agriculture of Indonesia.
ADB, 2006: Indonesia Strategic Vision of Agriculture and Rural
Development.
Alexandratos, N. 2009. World Food and Agriculture To 2030/2050. Expert
Meeting on How Feed The World in 2050. FAO.
Amzul, R. 2011: The Role Palm Oil Industry in Indonesia Economy and Its
Export Competitiveness. PhD Dissertation. University Of Tokyo.
Badan Pusat Statistik. 1990-2013. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta.
Badrun, M. 2010: Lintasan 30 tahun Pengembangan Kelapa Sawit. Direktur
Jendral Perkebunan, Kementerian Pertanian RI.
Balisacan, A. M., E. M. Pernia and A. Asra. 2003: Revisiting Growth and
Poverty Reduction in Indonesia. What Do Subnational Data Show?
Bulletion of Indonesian Economic Studies. 39 (3): 331-53.
Bapenas, 2013. Kinerja Pembangunan 2004-2011. Bapenas Jakarta.
Barlow, C. Zahara z. and R. Gondowarsito, 2003: Indonesian Palm Oil
Industry: Oil Palm Industry Economic Journal Vol: 3(1): P 8-15.
BPPT. 2013. Outlook Energi Indonesia 2013; Pusat Teknologi
Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT, Jakarta.
Brunskill, A. 2012. Current and Future Issues and Challenges for The
Oleochemichal Industry. LMC International. London
Chan, K. W. 2002: Oil Palm Carbon Sequestration and Carbon Accounting:
Our Global Strength. MPOA.
Corley, R.H.V, 2008. How Much Palm Oil Do We Need? Environmental
Science and Policy 12 (2009): 134-139
Dradjat, B. R. Suprihatin, Herman, K. Anwar. 2005. Dampak Kebijakan
Pajak Pertambahan Nilai Pada Kinerja Komoditas Primer
Perkebunana Analisis Kebijakan Pertanian 3 (2): 106-132.
Drescher A, R. Glaser, C. Richert, K. Nippes. 2011. Demand Key
Nutriments NPK in The Year 2050. Department of Geography of
Freiburg.
Energi Information Administration. 2008. World Average Crude Oil Price:
Actual 2968-2011 and Forcast.
EPA. 2005. Average Carbon Dioxide Emissions Resulting from Gasoline an
Diesel Fuel.
Fahmudin, A. and I. G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk
Pertanian dan Aspek Lingkungan. Badan Litbang. Departemen
Pertanian
VIII. Daftar
Penutup
Pustaka
261
Fairhurst. T. and R. Hardter, 2004: Oil Palm: Management for Large and
Sustainable Yields. Oxford Graphic Printers, Pte Ltd.
FAO. 2012. World Agricultural: Towards 2030/2050. The 2012 Revision.
FAO. Rome. Italy
Gerbens-Leenes, Hoekstra P. Van der Meer, T. 2009: The Water Footprint
of Energi From Biomass: A Quantitative Assessment and
Consequences of an Increasing Share of Bioenergi Supply. Ecological
Economics 68:4: 1052-1060.
Germer, J. and J. Sauaerborn, 2008. Estimation of The Impact of Palm Oil
Plantation on GHG Balance. Environ & Development Sustainability.
10: 697-716
Goenadi, 2008: Prospective on Indonesian Palm Oil Production. Paper
Presented on The International Food and Agriculture Policy Council.
Spring 2008 Meeting. Bogor
Gunarso, P, M. E. Hartoyo, Y. Nugroho, N.I. Ristiana, R. S. Maharani.
2012: Analisis Penutupan Lahan Dan Perubahannya Menjadi Kebun
Kelpa Sawit Di Indonesia Tahun 1990-2010.
Harahap, I. Y, Y Pangaribuan, H. H Siregar, E Listia. 2005: Lingkungan
Fisik Perkebunan Kelapa Sawit. PPKS. Medan
Henson, I. E. 1999. Comparative Ecophysiology of Oil Palm and Tropical
Rain Forest. Oil and Environment. A Malaysian Prespective. Kuala
Lumpur
Hirano, T. Jauhiainen, J. Inoue, T. and Takahasi, H. 2009. Control on
Carbon Balance of Tropical Peat Lands. Ecosystem. 12: 873-887
Hirano, T. Segah, H.; Harada, T., Limin, S., June, T., Hirata, R. And
Osaki, M. 2007. Carbondioxide Balance of Tropical Peat Swamp Forest
in Kalimantan. Indonesia. Global Change Biology. 13: 412-435
Huylenbroeck, G. V.; V. Vandermulen, E. Mette Penningen, A.
Verspecht. 2007: Multifungtionality of Agriculture: A Review
Definition, Evidence and Instruments. Living Review in Landscape
Research 1: (2007) : 3
ICF Consulting. 2005. Long Term Crude Oil Supply And Prices California
Energi Commissions.
Islam, N. 1997: The Non-Farm Sector and Rural Developments Review Issues
and Evidence In A 2020 Vision For Food Agriculture And The
Environment. IFPRI:
Jauhiainen, J. Vasander, H. Jaya, A. Takashi, I. Hikkinen, J. Martiknen,
P. 2004. Carbon Balance in Manage Tropical Peat in Central
Kalimantan Indonesia. in Wise Use of Peat Land. Proceeding of The
12th International Peat Congress. International Peat Society. PP.
653-659
262
263
VIII. Penutup
Daftar Pustaka
265