Menurut Joseph Eguene Stiglitz, Ekonom dari Universitas Columbia, AS, menyarankan
otoritas moneter Indonesia perlu mengintervensi pasar keuangan, teruatama terhadap nilai
tukarnya. Hal ini disarankan Siglitz mengenai hal yang seharusnya dilakukan Indonesia untuk
menghadapi perubahan suku bunga AS. Arus dana dapat masuk dengan cepat, tetapi juda dapat
melesat keluar. Salah satu pelajaran besar dari krisis keuangan global dan krisis keuangan Asia,
pasar keuangan ternyata sangat berubah-ubah.
Ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan AS, menurut Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia Mirza Aditya swa ra, mengakibatkan biaya persiapan menghadapinya juga makin
besar. Tetapi, jika tidak mengalami kenaikan, akan terjadi kenaikan harga terlebih dahulu.
Indonesia selama ini memanfaatkan pembiayaan dari luar negeri sangat besar. Surat utang yang
menjadi modal di APBN besarnya mencapai 37% didanai oleh asing.
Stiglitz mengakui Indonesia mampu secara impresif keluar dari krisis Asia be berapa
waktu lalu. Setelah itu, Indonesia menjadi salah satu negara emerging mar kets yang
menunjukkan performa mena wan. Indonesia juga cukup sukses mengurangi kemiskinan.
Namun, keuntungan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak dinikmati merata oleh
masyarakatnya. Ketimpangan sosial di Indonesia semakin membesar. Karena itu keberlanjutan
pertumbuhan ekonomi Indonesia diragukan oleh Stiglitz. Apalagi, hingga kini Indonesia juga
masih menghadapi tiga masalah utama yang sangat penting, yaitu 1) infrastruktur yang tidak
memadai, 2) sumber daya ma nusia yang tidak memadai, serta 3) struktur ekonomi dan sistem
keuangan yang belum solid.
Indonesia boleh saja fokus menggarap manufaktur. Namun, Stiglitz mengingatkan,
manufaktur yang menjadi dasar pertumbuhan bagi banyak negara pada masa lalu, perannya
berubah. Kini terjadi penurunan lapangan kerja global dalam manufaktur. Ini terjadi karena
pabrik banyak menggunakan robot serta perubahan teknis lainnya yang mengarah ke beberapa
relokasi bernilai tambah tinggi.
Negara yang selalu mengandalkan sumber daya alam (SDA) perlu lebih berhati-hati
karena suatu ketika sumber daya tersebut menipis. Fakta juga menunjukkan, negara-negara yang
mengandalkan SDA biasanya tumbuh lebih lambat dan lebih banyak menghadapi masalah
inequality (ketimpangan sosial). Mengapa terjadi seperti itu? Stiglitz menyatakan, itu terjadi
sebagian karena nilai tukar yang terlalu tinggi, mereka kesulitan mengelola volatilitas harga
komoditas, serta menghadapi masalah korupsi.
Sumber
:
http://www.tokohindonesia.com/lintas-berita/artikel/401474/saran-peraih-nobel-joseph-stiglitzuntuk-indonesia
http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/10/20/ndqqc6-belum-mampu-mandiri