Anda di halaman 1dari 7

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Pengertian
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai
kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara.

1. Pembagian Reaksi Hipersensitivitas Menurut Waktu Timbulnya Reaksi


A. Reaksi cepat
Terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara alergen
dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif.
Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.

B. Reaksi Intermediet
Terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan
pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi
komplemen dan sel NK/ADCC. Menifestasi reaksi intermediet dapat berupa :
1. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun.
2. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis,
glomerulonefritis,dapatd itis reumatoid dan LES.
Reaksi intermediet diawali oleh igG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan
oleh sel neutrofil atau sel NK.

C. Reaksi lambat
Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh
aktivitas sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor
makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah
dermatitis kontak, reaksi M.tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.

2. Pembagian Reaksi Hipersensitivitas Menurut Gell dan Coombs

Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963) dibagi dalam
4 tipe reaksi.
Tabel

Klasifikasi Gell dan Coombs yang dimodifikasi (Tipe I-IV)


Tabel 2

A. Reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs Tipe I atau Reaksi Alergi


Reaksi Tipe I yang disebut juga reaksi cepat anafilaksis atau reaksi anafilaksis atau
reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Istilah alergi yang
pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 yang berasal dari alol (Yunani)
yang berarti perubahan dari asalnya yang dewasa. Ini diartikan sebagai perubahan
reaktivitas organisma.
Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun
berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis
atopi. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast/basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigem
yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.

1. Sel mast dan mediator pada Reaksi Tipe I


Sel mast mengandung banyak mediator primer atau preformed antara lain histamin
yang disimpan dalam granul.
a. Histamin
Puncak reaksi tipe I terjadi dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi terjadi perubahan
dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++

yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini energi dilepas akibat glikolisis
dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke permukaan sel.
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat
granul. Histamin yang merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat dengan
histamin, menunjukkan berbagai efek.
b. PG dan LT
Di samping histamin, mediator lain seperti PG dan LT yang dihasilkan dari
metabolisme asam arakidonat serta berbagai sitokin berperan pada fase lambat reaksi
Tipe I. Fase lambat sering timbul setelah fase cepat hilang yaitu antara 6-8 jam. PG
dan LT merupakan mediator sekunder yang kemudian dibentuk dari metabolisme
asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2. Efek biologisnya timbul lebih lambat,
namun lebih menonjol dan berlangsung lebih lama dibanding dengan histamin.
c. Sitokin
Berbagai sitokin dilepas sel mast dan basofil. Beberapa diantaranya berperan dalam
manifestasi klinis reaksi Tipe I. Sitokin-sitokin tersebut mengubah lingkungan mikro
dan dapat mengerahkan sel inflamasi seperti neurofil dan eosinofil.

2. Manifestasi Reaksi Tipe I


Manifestasi reaksi Tipe I dapat bervariasi dari lokal, ringan sampai berat dan keadaan
yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat.
a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas Tipe I lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk. Kecenderungan untuk
menunjukkan reaksi tipe I adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20%
populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma
dan dermatitis atopi.
Sekitar 50%-70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang masuk tubuh
melalui mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva, tetapi hanya 1020% masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3%-10% yang menderita
asma bronkial. IgE biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel

mast/basofil. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang
alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang
mengenai kulit, mata, hidung, dan saluran nafas.
b. Reaksi sistemik-anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit
saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs Tipe I atau reaksi
alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan
basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu
berbagai alergen seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan
serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan diagnostik lainnya. Pada 2/3
pasien dengan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme
pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini
menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus,
tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi klinisnya sering serupa,
sehingga sulit dibedakan satu dari lainnya.
B. Reaksi Tipe II atau sitotoksik atau sitolitik
Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi
karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian
sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang
merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul
asesori dan metabolisme sel dilibatkan.
1. Reaksi transfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai
gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi
reaksi transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B
yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi
dapat cepat atau lambat.

Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang
dipacu oleh IgM. Reaksi transfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah
mendapat transfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun
inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah
transfusi.
2. Penyakit hemolitik bayi baru lahir
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam
kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah Rhesus negatif dan janin dengan
Rhesus positif.
3. Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin dan steptomisin dapat diabsorbsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa.

C. Reaksi Tipe III atau kompleks imun


Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke
hati, limpa, dan di sana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati,
limpa, dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar
dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks
kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam
sirkulasi.

D. Reaksi hipersensitivitas Tipe IV


Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T melepas sitokin,
bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan reapons inflamasi
yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis
kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin
topikal dan steroid topikal.
1. Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Reaksi Tipe IV merupakan hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya terjadi terhadap

bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga
peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit. Ada beberapa fase pada respons Tipe
IV yang dimulai dengan fase sensitasi yang membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak
primer dengan antigen.
2. Sitokin yang berperan pada DTH
Diantara sitokin yang diproduksi, sel Th1 berperan dalam menarik dan mengaktifkan
makrofag ke tempat infeksi.
3. Manifestasi klinis reaksi Tipe IV
a. Dermatitis kontak
Dermatitis kontak adalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak dengan
bahan tidak berbahaya, merupakan contoh reaksi DTH. Kontak dengan bahan seperti
formaldehid, nikel, terpenting dan berbagai bahan aktif dalam cat rambut yang
menimbulkan dermatitis kontak terjadi melalui sel Th1.
b. Hipersensitivitas tuberkulin
Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk
filtrat biakan M. tuberkulosis yang bila disuntikkan ke kulit, akan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas lambat Tipe IV. Yang berperan dalam reaksi ini adalah sel limfosit
CD4+ T. Setelah suntikan intrakutan ekstrak tuberkulin atau derivat protein yang
dimurnikan (PPD), daerah kemerahan dan indurasi timbul di tempat suntikan dalam
12-24 jam.
c. Reaksi Jones Mote
Reaksi Jones Mote adalah reaksi hipersensitivitas Tipe IV terhadap antigen protein
yang berhubungan dengan infiltrasi basofil mencolok di kulit di bawah dermis. Reaksi
juga disebut hipersensitivitas basofil kutan. Dibanding dengan hipersensitivitas Tipe
IV lainnya, reaksi ini adalah lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan
protein dalam jumlah kecil.
d. T Cell Mediated Cytolysis (Penyakit CD8+)
Dalam T Cell Mediated Cytolisis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang
langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas
nsitivitas selular cenderung terbatas kepada perkembangan reaksi DTH mengubah

akibat pajanan ulang terhadap alergen kontak.

Anda mungkin juga menyukai