Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizeinyang berarti terpisahatau
pecah, dan phren yang artinya jiwa. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, simptom skizofrenia
dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu simptom positif, simptom negative, dan
gangguan dalam hubungan interpersonal.
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang
luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik,
dan sosial budaya.
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik
dari pikiran dan persepsi , serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang
kemudian.
II.2 EPIDEMIOLOGI
Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu
dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar
dua sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari
sekitar satu sampai dua juta yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu
hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan
Dr LS Chandra, SpKJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan.

Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16
sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia biasanya mulai diidap
pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara
anggota keluarga sedarah.
II.3 ETIOLOGI
1. Model Diatesis-stres
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan.
Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik
(diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan
stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia.
Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis
(missal kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis
selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan obat,
stress psikososial , dan trauma.
Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat menerangkan
mengapa orang tersebut dapat menjadi skizofren. Semakin besar kerentanan
seseorang maka stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi skizofren. Semakin
kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk membuatnya menjadi
penderita skizofren. Sehingga secara teoritis seseorang tanpa diathese tidak akan
berkembang menjadi skizofren, walau sebesar apapun stressornya.
2. Faktor Neurobiologi
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya
kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana
hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu ddengan munculnya simptom
skizofrenia.

Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat
seseorang menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, cerebellum dan
ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada
satu area mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain. Dua hal
yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan neuropatologis
muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan
dan sosial.
Hipotesa Dopamin
Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas
neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya
nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktorfaktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa :
a. Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.
b. Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik- seperti amphetamine-dapat
menimbulkan gejala psikotik pada siapapun.
3. Faktor Genetika
Penelitian tentang genetik telah membuktikan faktor genetik/keturunan
merupakan salah satu penyumbang bagi jatuhnya seseorang menjadi skizofren.
Resiko seseorang menderita skizofren akan menjadi lebih tinggi jika terdapat anggota
keluarga lainnya yang juga menderita skizofren, apalagi jika hubungan keluarga
dekat. Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan keberadaan pengaruh genetik
melebihi pengaruh lingkungan pada munculnya skizofrenia, dan kembar satu telur
memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami skizofrenia.

Tabel

1.

Prevalensi skizofrenia pada populasi tertentu dalam Saddock&Saddock


(2003)
Populasi
Prevalensi
Populasi umum 1%
Saudara kandung pasien skizofren 8%
Anak dengan salah satu orangtua skizofren 12%
Kembar dua telur dari pasien skizofren 12%
Anak dengan kedua orangtua skizofren 40%
Kembar satu telur dari pasien skizofren 47 %

4. Faktor Psikososial
4.1 Teori Tentang Individu Pasien
a. Teori Psikoanalitik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi
perkembangan, yang muncul lebih awal daripada gangguan neurosis. Jika
neurosis merupakan konflik antara id dan ego, maka psikosis merupakan
konflik antara ego dan dunia luar. Menurut Freud, kerusakan ego (ego defect)
memberikan kontribusi terhadap munculnya simptom skizofrenia. Disintegrasi
ego yang terjadi pada pasien skizofrenia merepresentasikan waktu dimana ego
belum atau masih baru terbentuk.

Konflik intrapsikis yang berasal dari fiksasi pada masa awal serta
kerusakan ego-yang mungkin merupakan hasil dari relasi obyek yang burukturut memperparah symptom skizofrenia. Hal utama dari teori Freud tentang
skizofrenia adalah dekateksis obyek dan regresi sebagai respon terhadap
frustasi dan konflik dengan orang lain.
Harry Stack Sullivan mengatakan bahwa gangguan skizofrenia
disebabkan oleh kesulitan interpersonal yangyang etrjadi sebelumnya,
terutama yang berhubungan dengan apa yang disebutnya pengasuhan ibu yang
salah, yaitu cemas berlebihan.
Secara umum, dalam pandangan psikoanalitik tentang skizofrenia,
kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan kontrol
terhadap dorongan dari dalam, seperti seks dan agresi. Gangguan tersebut
terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal balik ibu dan anak.
Berbagai simptom dalam skizofrenia memiliki makna simbolis bagi
masing-masing pasien. Misalnya fantasi tentang hari kiamat mungkin
mengindikasikan persepsi individu bahwa dunia dalamnya telah hancur.
Halusinasi mungkin merupakan substitusi dari ketidakmampuan pasien untuk
menghadapi realitas yang obyektif dan mungkin juga merepresentasikan
ketakutan atau harapan terdalam yang dimilikinya.
b. Teori Psikodinamik
Berbeda dengan model yang kompleks dari Freud, pandangan
psikodinamik setelahnya lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap
berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi stimulus menyebabkan
kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama masa kanak-kanak dan
mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.
Menurut pendekatan psikodinamik, simptom positif diasosiasikan
dengan onset akut sebagai respon terhadap faktor pemicu/pencetus, dan erat

kaitannya dengan adanya konflik. Simptom negatif berkaitan erat dengan


faktor biologis, dan karakteristiknya adalah absennya perilaku/fungsi tertentu.
Sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat
konflik intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego
yang mendasar.
Tanpa memandang model teoritisnya, semua pendekatan psikodinamik
dibangun berdasarkan pemikiran bahwa symptom-simptom psikotik memiliki
makna dalam skizofrenia. Misalnya waham kebesaran pada pasien mungkin
timbul setelah harga dirinya terluka. Selain itu, menurut pendekatan ini,
hubungan dengan manusia dianggap merupakan hal yang menakutkan bagi
pengidap skizofrenia.
c. Teori Belajar
Menurut teori ini, orang menjadi skizofrenia karena pada masa kanakkanak ia belajar pada model yang buruk. Ia mempelajari reaksi dan cara pikir
yang tidak rasional dengan meniru dari orangtuanya, yang sebenarnya juga
memiliki masalah emosional.
4.2 Teori Tentang Keluarga
Beberapa

pasien

skizofrenia-sebagaimana

orang

yang

mengalami

nonpsikiatrik-berasal dari keluarga dengan disfungsi, yaitu perilaku keluarga yang


patologis, yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus
dihadapi oleh pasien skizofrenia. Antara lain:
Double Bind
Konsep yang dikembangkan oleh Gregory Bateson untuk menjelaskan
keadaan keluarga dimana anak menerima pesan yang bertolak belakang dari
orangtua berkaitn dengan perilaku, sikap maupun perasaannya. Akibatnya anak
menjadi bingung menentukan mana pesan yang benar, sehingga kemudian ia

menarik diri kedalam keadaan psikotik untuk melarikan diri dari rasa konfliknya
itu.
Schims and Skewed Families
Menurut Theodore Lidz, pada pola pertama, dimana terdapat perpecahan
yang jelas antara orangtua, salah satu orang tua akan menjadi sangat dekat dengan
anak yang berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga skewed,
terjadi hubungan yang tidak seimbang antara anak dengan salah satu orangtua
yang melibatkan perebutan kekuasaan antara kedua orangtua, dan menghasilkan
dominasi dari salah satu orang tua.
Pseudomutual and Pseudohostile Families
Dijelaskan oleh Lyman Wynne, beberapa keluarga men-suppress ekspresi
emosi dengan menggunakan komunikasi verbal yang pseudomutual atau
pseudohostile secara konsisten. Pada keluarga tersebut terdapat pola komunikasi
yang unik, yang mungkin tidak sesuai dan menimbulkan masalah jika anak
berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
Ekspresi Emosi
Orang tua atau pengasuh mungkin memperlihatkan sikap kritis, kejam dan
sangat ingin ikut campur urusan pasien skizofrenia. Banyak penelitian
menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (dalam hal apa yang
dikatakan maupun maksud perkataan) meningkatkan tingkat relapse pada pasien
skizofrenia.
4.3 Teori Sosial
Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi banyak
berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Meskipun ada data pendukung, namun
penekanan saat ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya
onset dan keparahan penyakit.

II.4 GEJALA KLINIS


Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut Bleuler, yaitu
primer dan sekunder.
Gejala-gejala primer :
1. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah, isi pikiran).
Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran. Yang
terganggu terutama ialah asosiasi. Kadang-kadang satu ide belum selesai diutarakan,
sudah timbul ide lain. Atau terdapat pemindahan maksud, umpamanya maksudnya
tani tetapi dikatakan sawah.
Tidak jarang juga digunakan arti simbolik, seperti dikatakan merah bila
dimaksudkan berani. Atau terdapat clang association oleh karena pikiran sering
tidak mempunyai tujuan tertentu, umpamanya piring-miring, atau dulu waktu hari,
jah memang matahari, lalu saya lari. Semua ini menyebabkan jalan pikiran pada
skizofrenia sukar atau tidak dapat diikuti dan dimengerti. Hal ini dinamakan
inkoherensi. Jalan pikiran mudah dibelokkan dan hal ini menambah inkoherensinya.
Seorang dengan skizofrenia juga kecenderungan untuk menyamakan hal-hal,
umpamanya seorang perawat dimarahi dan dipukuli, kemudian seorang lain yang ada
disampingnya juga dimarahi dan dipukuli.
Kadang-kadang pikiran seakan berhenti, tidak timbul ide lagi. Keadaan ini
dinamakan blocking, biasanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi kadangkadang sampai beberapa hari.
Ada penderita yang mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang lain didalamnya
yang berpikir, timbul ide-ide yang tidak dikehendaki: tekanan pikiran atau pressure
of thoughts. Bila suatu ide berulang-ulang timbul dan diutarakan olehnya dinamakan
preseverasi atau stereotipi pikiran.

Pikiran melayang (flight of ideas) lebih sering inkoherensi. Pada inkoherensi


sering tidak ada hubungan antara emosi dan pikiran, pada pikiran melayang selalu ada
efori. Pada inkoherensi biasanya jalan pikiran tidak dapat diikuti sama sekali, pada
pikiran melayang ide timbul sangat cepat, tetapi masih dapat diikuti, masih bertujuan.
2. Gangguan afek dan emosi
Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa :
Kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting), misalnya penderita menjadi
acuh tak acuh terhadap hal-hal penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan
keluarganya dan masa depannya. Perasaan halus sudah hilang.
Parathimi : apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada
penderita timbul rasa sedih atau marah.
Paramimi : penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis.
Parathimi dan paramimi bersama-sama dalam bahasa Inggris dinamakan
incongruity of affect dalam bahasa Belanda hal ini dinamakan inadequat.
Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan,
umpamanya sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari, tetapi
mulutnya tertawa. Semua ini merupakan gangguan afek dan emosi yang khas
untuk skizofrenia. Gangguan afek dan emosi lain adalah :
Emosi yang berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti
penderita yang sedang bermain sandiwara.
Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk
melakukan hubungan emosi yang baik (emotional rapport). Karena itu
sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita.
Karena terpecah belahnya kepribadian, maka dua hal yang berlawanan
mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu

orang yang sama ; atau menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini
dinamakan ambivalensi pada afek.
3. Gangguan kemauan
Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan kemauan. Mereka
tidak dapat mengambil keputusan., tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan.
Mereka selalu memberikan alasan, meskipun alasan itu tidak jelas atau tepat,
umpamanya bila ditanyai mengapa tidak maju dengan pekerjaan atau mengapa
tiduran terus. Atau mereka menganggap hal itu biasa saja dan tidak perlu diterangkan.
Kadang-kadang penderita melamun berhari-hari lamanya bahkan berbulan-bulan.
Perilaku demikian erat hubungannya dengan otisme dan stupor katatonik.
Negativisme : sikap atau perbuatan yang negative atau berlawanan terhadap suatu
permintaan.
Ambivalensi kemauan : menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu yang
sama, umpamanya mau makan dan tidak mau makan; atau tangan diulurkan untuk
berjabat tangan, tetapi belum sampai tangannya sudah ditarik kembali; hendak masuk
kedalam ruangan, tetapi sewaktu melewati pintu ia mundur, maju mundur. Jadi
sebelum suatu perbuatan selesai sudah timbul dorongan yang berlawanan.
Otomatisme : penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau tenaga
dari luar, sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis.
4. Gejala psikomotor
Juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau gangguan perbuatan. Kelompok
gejala ini oleh Bleuler dimasukkan dalam kelompok gejala skizofrenia yang sekunder
sebab didapati juga pada penyakit lain.
Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila
gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang luwes

atau yang agak kaku. Penderita dalma keadaan stupor tidak menunjukkan pergerakan
sama sekali. Stupor ini dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadangkadang bertahun-tahun lamanya pada skizofrenia yang menahun. Mungkin penderita
mutistik. Mutisme dapat disebabkan oleh waham, ada sesuatu yang melarang ia
bicara. Mungkin juga oleh karena sikapnya yang negativistik atau karena hubungan
penderita dengan dunia luar sudah hilang sama sekali hingga ia tidak ingin
mengatakan apa-apa lagi.
Sebaliknya tidak jarang penderita dalam keadaan katatonik menunjukkan
hiperkinesa, ia terus bergerak saja, maka keadaan ini dinamakan logorea. Kadangkadang penderita menggunakan atau membuat kata-kata yang baru: neologisme.
Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau sikap disebut stereotipi;
umpamanya menarik-narik rambutnya, atau tiap kali mau menyuap nasi mengetok
piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai
beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan verbigerasi, kata atau kalimat
diulang-ulangi. Mannerisme adalah stereotipi yang tertentu pada skizofrenia, yang
dapat dilihat dalam bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya.
Gejala katalepsi ialah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang
lama. Fleksibilitas cerea: bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan
seperti pada lilin.
Negativisme : menentang atau justru melakukan yang berlawanan dengan apa
yang disuruh. Otomatisme komando (command automatism) sebetulnya merupakan
lawan dari negativisme : semua perintah dituruti secara otomatis, bagaimana
ganjilpun.Termasuk dalam gangguan ini adalah echolalia (penderita meniru kata-kata
yang diucapkan orang lain) dan ekophraksia (penderita meniru perbuatan atau
pergerakan orang lain).
Gejala-gejala sekunder :
1. Waham

Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizarre. Tetapi
penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya adalah fakta dan tidak
dapat diubah oleh siapapun. Sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang
bertentangan, umpamanya penderita berwaham bahwa ia raja, tetapi ia bermain-main
dengan air ludahnya dan mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. Mayer gross
membagi waham dalam dua kelompok yaitu waham primer dan waham sekunder,
waham sistematis atau tafsiran yang bersifat waham (delutional interpretations).
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa
dari luar. Menurur Mayer-Gross hal ini hampir patognomonis buat skizofrenia.
Umpamanya istrinya sedang berbuat serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan
dan berhenti dua kali, atau seorang penderita berkata dunia akan kiamat sebab ia
melihgat seekor anjing mengangkat kaki terhadap sebatang pohin untuk kencing.
Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan merupakan
cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain. Waham
dinamakan menurut isinya :waham kebesaran atau ekspansif, waham nihilistik,
waham kejaran, waham sindiran, waham dosa, dan sebagainya.
2. Halusinasi
Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan
gejala yang hampir tidak dijumpai dalam keadaan lain. Paling sering pada keadaan
sskizofrenia ialah halusinasi (oditif atau akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi
barang-barang

atau

siulan.

Kadang-kadang

terdapat

halusinasi

penciuman

(olfaktorik), halusinasi citrarasa (gustatorik) atau halusinasi singgungan (taktil).


Umpamanya penderita mencium kembang kemanapun ia pergi, atau ada orang yang
menyinarinya dengan alat rahasia atau ia merqasa ada racun dalammakanannya
Halusinasi penglihatan agak jarang pada skizofrenia lebih sering pada psikosa akut
yang berhubungan dengan sindroma otak organik bila terdapat maka biasanya pada
stadium permulaan misalnya penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka
orang yang menakutkan.

Diatas telah dibicarakan gejala-gejala. Sekali lagi, kesadaran dan intelegensi tidak
menurun pada skizofrenia. Penderita sering dapat menceritakan dengan jelas
pengalamannya dan perasaannya. Kadang-kadang didapati depersonalisasi atau double
personality, misalnya penderita mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah meja dan
menganggap dirinya sudah tidak adalagi. Atau pada double personality seakan-akan
terdapat kekuatan lain yang bertindak sendiri didalamnya atau yang menguasai dan
menyuruh penderita melakukan sesuatu.
Pada skizofrenia sering dilihat otisme : penderita kehilangan hubungan dengan dunia luar
ia seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri tidak menghiraukan apa yang terjadi di
sekitarnya.
Oleh Bleuler depersonalisasi, double personality dan otisme digolongkan sebagai gejala
primer. Tetapi ada yang mengatakan bahwa otisme terjadi karena sangat terganggunya
afek dan kemauan.
Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai simptom dan gejala klinis
skizofrenia adalah:
(1). Tidak ada symptom atau gejala klinis yang patognomonik untu skizofrenia. Artinya
tidak ada simptom yang khas atau hanya terdapat pada skizofrenia. Tiap simptom
skizofrenia mungkin ditemukan pada gangguan psikiatrik atau gangguan syaraf
lainnya. Karena itu diagnosis skizofrenia tidak dapat ditegakkan dari pemeriksaan
status mental saat ini. Riwayat penyakit pasien merupakan hal yang esensial untuk
menegakkan diagnosis skizofrenia.
(2). Simptom dan gejala klinis pasien skizofrenia dapat berubah dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu pasien skizofrenia dapat berubah diagnosis subtipenya dari
perawatan sebelumnya (yang lalu). Bahkan dalam satu kali perawatanpun diagnosis
subtipe mungkin berubah.
(3). Harus diperhatikan taraf pendidikan, kemampuan intelektual dan latar belakang
sosial budaya pasien. Sebab perilaku atau pola pikir masyarakat dari sosial budaya

tertentu mungkin dipandang sebagai suatu hal yang aneh bagi budaya lain.
Contohnya memakai koteka di Papua merupakan hal yang biasa namun akan
dipandang aneh jika dilakukan di Jakarta. Selain itu hal yang tampaknya merupakan
gangguan realitas mungkin akibat keterbatasan intelektual dan pendidikan pasien.
II.5 DIAGNOSIS
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :
(a) - Thought echo : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kulitasnya berbeda; atau
- Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asingdari luar masuk kedalam
pikirannya (insertion)atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar (withdrawal); dan
- Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
(b) - delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dati luar; atau
- delusion of influence: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
- delusion of passivity: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar;
(tentang dirinya: secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke
pikiran, tindakan atau penginderaan khusus);

- delusional perception: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna


sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien,
atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama
atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa
(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan (interpolation),
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;

(h) Gejala-gejala negative seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja
social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
II.6 KLASIFIKASI
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka,
dalam PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai
spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Skizofrenia Paranoid
Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
Sebagai tambahan :
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau
bunyi tawa.
(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lainlain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.

(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion
of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau Passivity (delusion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas.
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik
secara relatif tidak nyata / menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien
skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama
penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai
kehidupan social yang dapat membantu mereka melewati penyakitnya. Juga, kekuatan
ego paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien
skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuanmentalnya,
respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak
ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid
kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi social.
Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap
intak.
2. Skizofrenia Hebefrenik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri
(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.

Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan


kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta mannerisme;
ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan
hampa tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh
cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendirir (selfabsorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa
menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks),
keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta
inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol
(fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive)
dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga
perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan
tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan
bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.
3. Skizofrenia Katatonik
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :

(a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
(b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
(c)

Menampilkan

posisi

tubuh

tertentu

(secara

sukarela

mengambil

dan

mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);


(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang
berlawanan);
(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya);
(f) Fleksibilitas cerea / waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak dan tubuh
dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
(g) Gejala-gejala lain seperti command automatism (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang
memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik
untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan
afektif.
Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan
yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan

medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau


cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated).
Seringkali. Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan
kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak
terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
5. Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
(a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum
skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
(b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya); dan
(c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria
untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode
depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus
tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
6. Skizofrenia Residual

Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
(a) Gejala negative dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan
inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal
yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi
tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
(b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
(c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang
(minimal) dan telah timbul sindrom negative dari skizofrenia;
(d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi kronis
atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus
adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala
yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan
social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan
adalah sering ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan maka
hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
7. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
- gejala negative yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan

disertai

dengan

perubahan-perubahan

perilaku

pribadi

yang

bermakna,

bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu,


tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada
jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini
timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang
memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin
mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila
tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur, atau
penjahat.
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia YTT
Selain beberapa subtipe di atas, terdapat penggolongan skizofrenia lainnya (yang tidak
berdasarkan DSM IV TR), antara lain :
Bouffe delirante (psikosis delusional akut).
Konsep diagnostik Perancis dibedakan dari skizofrenia terutama atas dasar lama
gejala yang kurang dari tiga bulan. Diagnosis adalah mirip dengan diagnosis gangguan
skizofreniform didalam DSM-IV. Klinisi Perancis melaporkan bahwa kira-kira empat
puluh persen diagnosis delirante berkembang dalam penyakitnya dan akhirnya
diklasifikasikan sebagai media skizofrenia.
Skizofrenia laten.
Konsep skizofrenia laten dikembangkan selama suatu waktu saat terdapat
konseptualisasi diagnostic skizofrenia yang luas. Sekarang, pasien harus sangat sakit

mental untuk mendapatkan diagnosis skizofrenia; tetapi pada konseptualisasi diagnostik


skizofrenia yang luas, pasien yang sekarang ini tidak terlihat sakit berat dapat
mendapatkan diagnosis skizofrenia. Sebagai contohnya, skizofrenia laten sering
merupakan diagnosis yang digunakan gangguan kepribadian schizoid dan skizotipal.
Pasien tersebut mungkin kadang-kadang menunjukkan perilaku aneh atau gangguan
pikiran tetapi tidak terus menerus memanifestasikan gejala psikotik. Sindroma juga
dinamakan skizofrenia ambang (borderline schizophrenia) di masa lalu.
Oneiroid.
Keadaan oneiroid adalah suatu keadaan mirip mimpi dimana pasien mungkin
pasien sangat kebingungan dan tidak sepenuhnya terorientasi terhadap waktu dan tempat.
Istilah skizofrenik oneiroid telah digunakan bagipasien skizofrenik yang khususnya
terlibat didalam pengalaman halusinasinya untuk mengeluarkan keterlibatan didalam
dunia nyata. Jika terdapat keadaan oneiroid, klinisi harus berhati-hati dalam memeriksa
pasien untuk adanya suatu penyebab medis atau neurologist dari gejala tersebut.
Parafrenia.
Istilah ini seringkali digunakan sebagai sinonim untuk skizofrenia paranoid.
Dalam pemakaian lain istilah digunakan untuk perjalanan penyakit yang memburuk
secara progresif atau adanya system waham yang tersusun baik. Arti ganda dari istilah ini
menyebabkannya tidak sangat berguna dalam mengkomunikasikan informasi.
Pseudoneurotik.
Kadang-kadang, pasien yang awalnya menunjukkan gejala tertentu seperti
kecemasan, fobia, obsesi, dan kompulsi selanjutnya menunjukkan gejala gangguan
pikiran dan psikosis. Pasien tersebut ditandai oleh gejala panansietas, panfobia,
panambivalensi dan kadang-kadang seksualitas yang kacau. Tidak seperti pasien yang
menderita gangguan kecemasan, mereka mengalami kecemasan yang mengalir bebas
(free-floating) dan yang sering sulit menghilang. Didalam penjelasan klinis pasien,
mereka jarang menjadi psikotik secara jelas dan parah.

Skizofrenia Tipe I.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom positif
yaitu asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh, dan bertambah banyaknya pembicaraan.
Disertai dengan struktur otak yang normal pada CT dan respon yang relatif baik terhadap
pengobatan.
Skizofrenia tipe II.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom
negative yaitu pendataran atau penumpulan afek, kemiskinan pembicaraan atau isi
pembicaraan, penghambatan (blocking), dandanan yang buruk, tidak adanya motivasi,
anhedonia, penarikan sosial, defek kognitif, dan defisit perhatian. Disertai dengan
kelainan otak struktural pada pemeriksaan CT dan respon buruk terhadap pengobatan.
II.7 DIAGNOSIS BANDING
Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan
medis psikiatrik dan dapat diakibatkan oleh berbagai macam zat. Jika psikosis atau
katatonia disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik atau diakibatkan oleh suatu zat,
diagnosis yang paling sesuai adalah gangguan psikotik akibat kondisi medis umum, atau
gangguan katatonia akibat zat. Manifestasi psikiatrik dari banyak kondisi medis
nonpsikiatrik dapat terjadi awal dalam perjalanan penyakit, seringkali sebelum
perkembangan gejala lain. Dengan demikian klinisi harus mempertimbangkan berbagai
macam kondisi medis nonpsikiatrik dii dalam diagnosis banding psikosis, bahkan tanpa
adanya gejala fisik yang jelas. Pada umumnya, pasien dengan gangguan neurologist
mempunyai lebih banyak tilikan pada penyakitnya dan lebih menderita akibat gejala
psikiatriknya daripada pasien skizofrenik, suatu kenyataan yang dapat membantu klinisi
untuk membedakan kedua kelompok tersebut.

Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus mengikuti tiga pedoman
umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik. Pertama, klinisi harus cukup agresif
dalam mengejar kondisi medis nonpsikiatrik jika pasien menunjukkan adanya gejala yang
tidak lazim atau jarang atau adanya variasi dalam tingkat kesadara. Kedua, klinisi harus
berusaha untuk mendapatkan riwayat keluarga yang lemgkap, termasuk riwayat
gangguan medis, neurologist, dan psikiatrik. Ketiga, klinisi harus mempertimbangkan
kemungkinan suatu kondisi medis nonpsikiatrik, bahkan pada pasien dengan diagnosis
skizofrenia sebelumnya. Seorang pasien skizofrenia mempunyai kemungkinan yang sama
untuk menderita tumor otak yang menyebabkan gejala psikotik dibandingkan dengan
seorang pasien skizofrenik.
Berpura-pura dan Gangguan buatan
Baik berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan suatu diagnosis
yang sesuai pada pasien yang meniru gejala skizofrenia tetapi sebenarnya tidak menderita
skizofrenia. Orang telah menipu menderita skizofrenia dan dirawat dan diobati di rumah
sakit psikiatrik. Orang yang secara lengkap mengendalikan produksi gejalanya mungkin
memenuhi diagnosis berpura-pura (malingering); pasien tersebut biasanya memilki alasan
financial dan hokum yang jelas untuk dianggap gila. Pasien yang kurang mengendalikan
pemalsuan gejala psikotiknya mungkin memenuhi diagnosis suatu gangguan buatan
(factitious disorder). Tetapi, beberapa pasien dengan skizofrenia seringkali secara palsu
mengeluh suatu eksaserbasi gejala psikotik untuk mendapatkan bantuan lebih banyak
atau untuk dapat dirawat di rumah sakit.
Gangguan Psikotik Lain
Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik dengan yang
terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, dan gangguan
skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia karena memiliki lama
(durasi) gejala yang sekurangnya satu bulan tetapi kurang daripada enam bulan.
Gangguan psikotik berlangsung singkat adalah diagnosis yang tepat jika gejala
berlangsung sekurangnya satu hari tetapi kurang dari satu bulan dan jika pasien tidak

kembali ke tingkat fungsi pramorbidnya. Gangguan skizoafektif adalah diagnosis yang


tepat jika sindroma manik atau depresif berkembang bersama-sama dengan gejala utama
skizofrenia.
Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang tidak aneh
(nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan tanpa adanya gejala skizofrenia
lainnya atau suatu gangguan mood.
Gangguan Mood
Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit, tetapi penting
karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mania dan depresi. Gejala
afektif atau mood pada skizofrenia harus relative singkat terhadap lama gejala primer.
Tanpa adanya informasi selain dari pemeriksaan status mental, klinisi harus menunda
diagnosis akhir atau harus menganggap adanya gangguan mood, bukannya membuat
diagnosis skizofrenia secara prematur.
Gangguan Kepribadian
Berbagai gangguan kepribadian dapat ditemukan dengan suatu cirri skizofrenia;
gangguan kepribadian skizotipal, schizoid, dan ambang adalah gangguan kepribadian
dengan gejala yang paling mirip. Gangguan kepribadian, tidak seperti skizofrenia,
mempunyai gejala yang ringan, suatu riwayat ditemukannya gangguan selama hidup
pasien, dan tidak adanya onset tanggal yang dapat diidentifikasi.
II.8 PERJALANAN PENYAKIT
Tanda awal dari skizofrenia adalah simtom-simtom pada masa premorbid. Biasanya
simtom ini muncul pada masa remaja dan kemudian diikuti dengan berkembangnya
simtom prodormal dalam kurun waktu beberapa hari sampai beberapa bulan. Adanya
perubahan social / lingkungan dapat memicu munculnya simtom gangguan. Masa
prodormal ini bisa langsung sampai bertahun-tahun sebelum akhirnya muncul simtom
psikotik yang terlihat.

Perjalanan penyakit skizofrenia yang umum adalah memburuk dan remisi. Setelah sakit
yang pertama kali, pasien mungkin dapat berfungsi normal untuk waktu lama (remisi),
keadaan ini diusahakan dapat terus dipertahankan. Namun yang terjadi biasanya adalah
pasien mengalami kekambuhan. Tiap kekambuhan yang terjadi membuat pasien
mengalami deteriorasi sehingga ia tidak dapat kembali ke fungsi sebelum ia kambuh.
Kadang, setelah episode psikotik lewat, pasien menjadi depresi, dan ini bisa berlangsung
seumur hidup.
Seiring dengan berjalannya waktu, simtom positif hilang, berkurang, atau tetap ada,
sedangkan simtom negative relative sulit hilang bahkan bertambah parah.
Faktor-faktor resiko tinggi untuk berkembangnya skizofrenia adalah Mempunyai
anggota keluarga yang menderita skizofrenia, terutama jika salah satu orang
tuanya/saudara kembar monozygotnya menderita skizofrenia, kesulitan pada waktu
persalinan yang mungkin menyebabkan trauma pada otak, terdapat penyimpangan dalam
perkembangan kepribadian, yang terlihat sebagai anak yang sangat pemalu, menarik diri,
tidak mempunyai teman, amat tidak patuh, atau sangat penurut, proses berpikir
idiosinkratik, sensitive dengan perpisahan, mempunyai orang tua denga sikap paranoid
dan gangguan berpikir normal, memiliki gerakan bola mata yang abnormal,
menyalahgunakan zat tertentu seperti amfetamin, kanabis, kokain, Mempunyai riwayat
epilepsi, memilki ketidakstabilan vasomotor, gangguan pola tidur, control suhu tubuh
yang jelek dan tonus otot yang jelek.

PROGNOSIS
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10
tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skiofrenia, hanya
kira-kira 10-20 % pasien dapat digambarkan memliki hasil yang baik.Lebih dari 50%
pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk, dengan perawatan di rumah sakit
yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat, dan usaha bunuh diri.
Walaupun angka-angka yang kurang bagus tersebut, skizofrenia memang tidak selalu

memiliki perjalanan penyakit yang buruk, dan sejumlah faktor telah dihubungkan dengan
prognosis yang baik.
Rentang angka pemulihan yang dilaporkan didialam literatur adalah dari 10-60%
dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20-30% dari semua pasien skizofrenia
mampu untuk menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20-30% dari pasien terus
mengalami gejala yang sedang,dan 40-60% dari pasien terus terganggu scara bermakna
oleh gangguannya selama seluruh hidupnya.
Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada:
1. Usia pertama kali timbul ( onset): makin muda makin buruk.
2. Mula timbulnya akut atau kronik: bila akut lebih baik.
3. Tipe skizofrenia: episode skizofrenia akut dan katatonik lebih baik.
4. Cepat, tepat serta teraturnya pengobatan yang didapat.
5. Ada atau tidaknya faktor pencetusnya: jika ada lebih baik.
6. Ada atau tidaknya faktor keturunan: jika ada lebih jelek.
7. Kepribadian prepsikotik: jika skizoid, skizotim atau introvred lebih jelek.
8. Keadaan sosial ekonomi: bila rendah lebih jelek.

Prognosis Baik

Prognosis Buruk

Onset lambat
Faktor
jelas
II.10

pencetus

Onset muda
yang

Onset akut
Riwayat sosial, seksual
dan
pekerjaan
premorbid yang baik
Gejala gangguan mood
(terutama
gangguan
depresif)
Menikah
Riwayat
keluarga
gangguan mood
Sistem pendukung yang
baik
Gejala positif

Tidak ada factor pencetus


Onset tidak jelas
Riwayat
social
dan
premorbid yang buruk

pekerjaan

Prilaku menarik diri atau autistic


Tidak menikah, bercerai atau janda/
duda
Sistem pendukung yang buruk
Gejala negatif
Tanda dan gejala neurologist
Riwayat trauma perinatal
Tidak ada remisi dalam 3 tahun
Banyak relaps
Riwayat penyerangan

PENATALAKSANAAN
Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
mempertimbangkan pengobatan gangguan, yaitu :
1. Terlepas dari penyebabnya, skizofrenia terjadi pada seseorang yang mempunyai sifat
individual, keluarga, dan sosial psikologis yang unik.
2. Kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada kembar monozigotik
adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk menyarankan
bahwa factor lingkungan dan psikologis yang tidak diketahui tetapi kemungkinan
spesifik telah berperan dalam perkembangan gangguan.

3. Skizofrenia adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan terapetik
tunggal jarang mencukupi untuk menjawab secara memuaskan gangguan yang
memiliki berbagai segi.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia,
penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikkan
klinis.
Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah :
1. Untuk tujuan diagnostik.
2. Menstabilkan medikasi.
3. Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh.
4. Perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai.
5. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Tujuan utama perawatan di rumah sakit adalah ikatan efektif antara pasien dan
system pendukung masyarakat.
Sejak diperkenalkan diawal tahun 1950-an medikasi antipsikotik telah
menyebabkan revolusi dalam pengobatan skizofrenia. Tetapi, antipsikotik mengobati
gejala gangguan dan bukan suatu penyembuhan skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka
menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada
keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan.
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan dan hubungan

sosial. Perawatan di rumah sakit harus di arahkan untukk mengikat pasien dengan
fasilitas pasca rawat termasuk keluarganya, keluarga angkat, board and care homes, dan
half way house. Pusat perawatan di siang hari ( day care center ) dan kunjungan rumah
kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah sakit untuk periode waktu
yang lama dan dapat memperbaiki kualitas kahidupan sehari-hari pasien.
Terapi Somatik
Antipsikotik
Antipsikotik termasuk tiga kelas obat yang utama, yaitu:
1. Antagonis reseptor dopamine
2. Risperidone ( ris perdal )
3. Clozapine ( clozaril )
Pemilihan Obat
1. Antagonis Reseptor Dopamin
Adalah obat antipsikotik yang klasik dan efektif dalam pengobatan skizofrenia. Obat
ini memiliki dua kekurangan utama, yaitu:
1.
a. Hanya sejumlah kecil pasien, cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah
fungsi mental yang cukup normal.
b. Disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Efek mengganggu
yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas
dan tremor. Efek serius yang potensial adalah tardive dyskinesia dan sindroma
neuroleptik malignan.
Remoxipride adalah antagonis reseptor dopamin dari kelas yang berbeda dari pada
antagonis reseptor dopamin yang sekarang ini tersedia. Awalnya obat ini disertai efek

samping neurologist yang bermakna, tetapi akhirnya remoxipride disertai dengan


anemia aplastik, jadi membatasi nilai klinisnya.
2. Risperidone
Adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna
pada reseptor serotonin tipe 2 ( 5-HT2 ) dan pada reseptor dopamine tipe 2 ( d2 ).
Risperidone menjadi obat lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena
kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan lebih aman daripada antagonis reseptor
dopaminergik yang tipikal.
3. Clozapine
Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya belum
diketahui secara pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor D 2
tetapi merupakan antagonis yang kuat terhadap reseptor D 4 dan mempunyai aktivitas
antagonistic pada reseptor serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu efek
samping yang mengharuskan monitoring setiap minggu pada indeks-indeks darah.
Obat ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada pasien dengan tardive dyskinesia
karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak disertai dengan
perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.
Prinsip-Prinsip Terapetik
1. Klinis harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati
2. Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien harus
digunakan lagi.
3. Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu pada dosis
yang adekuat.
4. Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah jarang
diindikasikan.

5. Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang diperlukan
untuk mencapai pengendalian gejala selama periode psikotik.
Pemeriksaan Awal
Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang cukup
singkat. Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali clozapine, tanpa melakukan
pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri pasien. Pada pemeriksaan biasa harus
didapatkan hitung darah lengkap dengan indekss sel darah putih, tes fungsi hati dan ECG
khususnya pada wanita yang berusia lebih dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih
dari 30 tahun.
Kontraindikasi Utama Antipsikotik:
1. Riwayat respon alergi yang serius
2. Kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan berinteraksi dengan
antipsikotik sehingga menyebabkan depresi sistem saraf pusat.
3. Resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organic atau audiopatik.
4. Adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antupsikotik dengan aktivitas
antikolinergik yang bermakna.
Kegagalan Pengobatan
1. Ketidakpatuhan dengan antipsikotik merupakan alas an utama untuk terjadinya relaps
dan kegagalan percobaan obat.
2. Waktu percobaan yang tidak mencukupi.
Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kagagalan terapi antipsikotik,
dapat dicoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi yang berbeda dari obat yang
pertama. Strategi tambahan adalah suplementasi antipsikotik dengan lithium (eskalith),
suatu antikonvulsan seperti carbamazepine atau valproate (depakene), atau suatu

benzodiazepine. Pemakaian terapi antipsikotik dosis-mega jarang diindikasikan, karena


hamper tidak ada data yang mendukung praktek tersebut.
Obat Lain
Lithium
Efektif dalam menurunkan gejala psikotik lebih lanjut pada sampai 50 persen pasien
dengan skizofrenia dan merupakan obat yang beralasan untuk dicoba pada pasien
yang tidak mampu menggunakan medikasi antipsikotik.
Antikonvulsan
Carbamazepine dan valproat dapat digunakan sendiri-sendiri atau dalam kombinasi
dengan lithium atau suatu antipsikotik. Walaupun tidak terbukti efektif dalam
menurunkan gejala psikotik pada skizofrenia, namun jika digunakan sendiri-sendiri
mungkin efektif dalam menurunkan episode kekerasan pada beberapa pasien
skizofrenia.
Benzodiazepin
Pemakaian bersama-sama alprazolam ( xanax ) dan antipsikotik bagi pasien yang tidak
berespo terhadap pemberian antipsikotik saja, dan pasien skizofrenia yang berespon
terhadap dosis tinggi diazepam ( valium ) saja. Tetapi keparahan psikosis dapat di
eksaserbasi seteloah putus dari benzodiazepine.
Terapi Somatik Lainnya
Elektrokonvulsif ( ECT ) dapat diindikasikan pada pasien katatonik dan bagi
pasien yang karena suatu alasan tidak dapat menggunakan antipsikotik ( kurang efektif ).
Pasien yang telah sakit selama kurang dari satu tahun adalah yang paling mungkin
berespon.

Dimasa lalu skizofrenia diobati dengan koma yang di timbulkan insulin (insulininduced coma) dan koma yang ditimbulkan barbiturat (barbiturate-induced coma).
Terapi Psikososial
Terapi Perilaku
Tehnik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan social untuk
meningkatkan kemampuan social, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis,
dan komunikasi interpersonal.
Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk
hal-hal yang diharapkan. Dengan demikian frekuensi perilaku mal adaptif atau
menyimpang dapat diturunkan.
Latihan Keterampilan Perilaku ( Behavioral Skills Trainning )
Sering dinamakan terapi keterampilan sosial ( social skills therapy ). Terapi ini dapat
secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan tambahan alami
bagi terapi farmakologis. Latihan keterampilan ini melibatkan penggunaan kaset
videon orang lain dan pasien permainan simulasi ( role playing ) dalam terapi, dan
pekerjaan rumah tentang keterampilan yang telah dilakukan.
Terapi Berorientasi Keluarga
Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasik dan
menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah
memang timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan
masalah secara cepat.
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas dalam terapi keluarga
adalah proses pemulihan khususnya lama dan kecepatannya.

Di dalam session keluarga dengan pasien skizofrenia, ahli terapi harus mengendalikan
intensitas emosional dari session.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan & Sadock: Skizofrenia dalam Sinopsis Psikiatri Jilid 1, edisi 7, Penerbit Bina
Rupa Aksara, Jakarta, 1997, halaman 685-729.
2. Maslim. R: Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi
3,Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2002, hal 46-51.
3. W.F. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Universitas Airlangga,1980, hal:215-35
4. Maslim. R: Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, edisi 3, Penerbit
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, FK Unika Atma Jaya, Jakarta, 2001, hal 14-23.
5. Hawari, Dadang:Skizofrenia dalam Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa, Penerbit
FKUI, Jakarta, 2003.
6. http://www.schizophrenia.com
7. http://www.e-psikologi.com
8. http://www.savalintar.com
9. http://www.idionline.org/infoidi10. http://www.medicastore.com/cybermed

Anda mungkin juga menyukai