Anda di halaman 1dari 11

Penduduk Miskin Indonesia

Penduduk miskin 2013 mencapai 96 juta


jiwa
Oleh Dea Chadiza Syafina - Kamis, 17 Januari 2013

JAKARTA. Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah


kesehatan dan kesejahteraan rakyat, Poempida Hidayatulloh mengatakan, data terbaru dari
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang berada di bawah
koordinasi Wakil Presiden telah menghitung peningkatan angka jumlah orang miskin di
Indonesia pada tahun 2012 hingga 2013 yang mencapai angka 96 juta jiwa.
Angka ini mengalami peningkatan yang signifikan dari data tahun sebelumnya yang hanya
mencapai 76,4 juta jiwa. Dengan meningkatnya angka jumlah orang miskin di Indonesia
tersebut, maka Komisi IX DPR RI telah sepakat untuk menambah jumlah angka anggaran
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk total 96 juta jiwa.
Dengan begitu, nantinya masyarakat yang tidak mampu bisa mendapatkan jaminan kesehatan
secara gratis di rumah sakit pemerintah. "Kemarin kami sudah analisa dan sudah disepakati
dalam pembahasan jumlah orang miskin yang akan dicover oleh pemerintah tahun 2013 itu
96 juta jiwa," kata Poempida di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (17/1).
Politikus Partai Golkar ini menjelaskan, sejak tahun 2008 lalu jumlah orang miskin semakin
bertambah. Namun menurut Poempida, data ini tidak dibeberkan kepada masyarakat lantaran
merupakan suatu perbuatan ingkar janji atau wanprestasi yang dilakukan oleh pemerintahan
saat ini yang mengklaim dapat mengurangi angka jumlah penduduk miskin.
Dalam hal ini Poempida menilai pemerintah kurang transparan dalam masalah pengakuan
terhadap penambahan jumlah orang miskin tersebut. Pasalnya, hingga tahun 2012 lalu data
yang ditunjukkan oleh Kemenkes hanya ada 76,4 juta jiwa orang miskin yang berhak
mendapatkan Jamkesmas tetapi seharusnya sudah mencapai 96 juta jiwa berdasarkan data
TNP2K.
"Jumlah orang miskin tahun 2012 lalu mencapai 76 juta orang. Masa dari tahun 2008 sampai
tahun 2012 angkanya sama tidak berubah 76,4 juta jiwa. Ini kan aneh. Pemerintah menutupnutupi kelemahan-kelemahannya dan hanya ingin menunjukkan yang baik-baik saja," tukas
Poempida.
Selain itu juga menurut Poempida, tidak ada keberanian dari Kemenkes untuk meminta
tambahan anggaran, guna membiayai fasilitas kesehatan masyarakat miskin. "Setelah pemilu
2009 dan melihat permasalahan lebih dalam, ternyata kuncinya adalah jumlah masyarakat
miskin yang tidak bertambah. Padahal jika ada pertambahan jumlah penduduk miskin, kami
juga akan meminta penambahan untuk fasilitas kesehatan masyarakat miskin. Dan saya
yakin, anggaran ini masih kurang sebetulnya," ungkap Poempida.
http://nasional.kontan.co.id/news/penduduk-miskin-2013-mencapai-96-juta-jiwa

Elemen Pendukung BPJS Bertambah


Senin, 8 Agustus 2011 | 21:14 WIB

Penulis : Suhartono
JAKARTA, KOMPAS.com -- Elemen yang bergabung dengan Komite Aksi Jaminan Sosial
(KAJS) untuk memperjuangkan terwujudnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
semakin bertambah dan kuat. BPJS akan menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).
Setelah 64 elemen kelompok buruh, pekerja dan mahasiswa, elemen baru yang mendukung
KAJS adalah Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Jaringan Buruh
dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Kelompok lainnya yang bergabung, antara lain adalah Badan Eksekutit Mahasiswa (BEM)
Universitas Yarsi dan BEM Universitas Negeri Solo (UNS), Lembaga Bantuan Hukum Aspek
Indonesia.
Demikian disampaikan Koordinator Pembela Hukum KAJS Surya Tjandra kepada Kompas di
sela pertemuan KAJS dengan kelompok-kelompok buruh, pekerja, perawat dan mahasiswa
yang baru bergabung di Sekretariat Trade Union Rights Centre (TURC) di Jalan Masjid,
Pejompongan, Jakarta, Senin (8/8/2011) petang.
"Kami bersepakat untuk mendukung RUU BPJS yang akan mulai dibahas lagi pertengahan
Agustus mendatang. Kesepakatan ini muncul dari adanya kesadaran bersama perlunya
mencantolkan RUU BPJS sebagai prioritas UU yang harus terwujud sebelum mewujukan
RUU Keperawatan, RUU Perlindungan PRT, RUU Perubahan UU Perlindungan dan
Penempatan TKI di Luar Negeri," ujar Surya.
Gerakan bersama
Menurut Surya, penggabungan elemen baru ini masih terus dikonsolidasikan sebelum
membuat gerakan bersama menjelang peringatan Proklamasi 17 Agustus mendatang.
Sementara Ketua PPNI Harif Fadhilah mengemukakan, apabila RUU BPJS tidak ada, para
perawat tidak memiliki lima jaminan. "Jaminan yang ada hanyalah kesehatan, padahal itu
sangat terbatas. Jadi, perlu RUU BPJS yang melaksanakan SJSN," tambah Harif, yang
memiliki 600.000 anggota perawat tersebar di seluruh Indonesia.
Harif menambahkan, jika RUU BPJS tidak segera diundangkan, maka RUU Keperawatan,
RUU Perlindungan PRT, RUU Perubahan UU Perlindungan dan Penempatan TKI di Luar
Negeri, tidak akan segera dibahas. "Oleh sebab itu, RUU BPJS harus segera diterbitkan
dulu," kata Harif.
http://health.kompas.com/read/2011/08/08/21145428/Elemen.Pendukung.BPJS.Bertambah

Rabu, 03 April 2013 | 04:53 WIB

Jumlah Dokter Umum di Indonesia Belum


Ideal
TEMPO.CO, Surabaya - Jumlah dokter umum di Indonesia masih belum ideal berdasarkan
ketentuan rasio World Health Organization. Sesuai ketentuan, seharusnya ada 40 dokter
umum per 100 ribu penduduk. Saat ini, baru 33 dokter umum untuk 100 ribu penduduk.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan dokter umum di Indonesia berjumlah sekitar
88 ribu, sehingga kekurangan 12.371 orang. Ia berharap dalam beberapa tahun ke depan,
rasio ideal tersebut bisa terpenuhi. Sebenarnya, produksi dokter umum setiap tahunnya
mencapai 7 ribuan.
Hanya saja, persoalan utama yang dihadapi adalah timpangnya persebaran dan mutu dokter.
Nafsiah menyebutkan beberapa kabupaten/kota yang memiliki kelebihan dokter sementara di
daerah lain sangat kekurangan. Di Jakarta dan Surabaya misalnya, tidak sulit untuk
menemukan dokter umum. Karena itu, Nafsiah akan mendorong pemerintah provinsi untuk
menerapkan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan.
Didalamnya dijelaskan bahwa Gubernur berwenang untuk menempatkan tenaga kesehatan
merata di penjuru provinsi. "Gubernur yang menempatkan dokter dari kabupaten/kota atau
rumah sakit yang berlebihan, selama tiga bulan di kabupaten nanti diganti lagi," kata Nafsiah
dalam kunjungannya ke Surabaya, Selasa, 2 April 2013.
Penempatan di kabupaten/kota sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah provinsi. Dengan
produksi dokter yang cukup banyak per tahun, diharapkan bisa mengisi kekurangan dokter di
kabupaten/kota.
Sedangkan untuk daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan akan diberlakukan kebijakan
khusus. Disana, bisa ditempatkan dokter pegawai tidak tetap (PTT) atau dokter spesialis.
Penempatan dilakukan oleh pemerintah pusat atas permintaan pemerintah daerah.
Mulai 2013 ini, ketentuan lama penempatan dokter PTT akan ditambah. Sebelumnya dari
enam bulan menjadi dua tahun. Alasannya, kata Nafsiah, waktu enam bulan sangat singkat di
daerah terpencil karena terpotong lama perjalanan. "Dokter PTT sebelum sampai di tempat
sudah hilang dua bulan, baru dua bulan disana, sudah mikir pulang," ujarnya.
Merujuk keputusan presiden tentang penempatan tenaga kesehatan, dinyatakan bahwa dokter
PTT mengabdi di daerah terpencil selama lima tahun. Selanjutnya yang bersangkutan akan
diangkat menjadi pegawai negeri sipil.
Menurut Nafsiah, pulau-pulau terpencil dan perbatasan akan menjadi prioritas penempatan
dokter PTT. Diantaranya di Papua, Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, dan
Maluku Utara.
Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Kementerian

Kesehatan, jumlah SDM kesehatan yang terdata sampai saat ini sebanyak 668.522 orang.
Komposisi terbanyak adalah perawat dengan 220.004 orang atau 32,91 persen dari seluruh
SDM kesehatan.
Sedangkan sebaran SDM kesehatan per wilayah, jumlah terbanyak berada di Jawa dan Bali
dengan 301.402 orang tenaga kesehatan atau 45,08 persen. Diikuti dengan Sumatera dengan
182.997 orang atau 27 persen. Nusa Tenggara dan Papua menjadi wilayah dengan SDM
kesehatan paling sedikit yaitu masing-masing hanya 26.168 orang atau 3,91 persen dan
16.293 orang atau 2,44 persen.
AGITA SUKMA LISTYANTI
http://www.tempo.co/read/news/2013/04/03/173470885/Jumlah-Dokter-Umum-di-IndonesiaBelum-Ideal

Rasio Dokter dan Penduduk Indonesia


Paling Buruk se-ASEAN
Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) per tanggal 1 Januari 2014 masih
dirasakan belum memiliki kepastian untuk sistem maupun kesiapan rumah sakit hingga saat
ini. Bahkan menurut ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Dr. dr.
Sutoto, M.kes, Indonesia masih butuh banyak lagi dokter agar pasiennya bisa tertangani
dengan baik karena hingga saat ini jumlah dokter tidak sebanding dengan jumlah pasien.
Sutoto menyatakan bahwa dalam data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012,
jumlah dokter dengan penduduk Indonesia tidak sebanding sehingga bisa dikatakan hal ini
paling buruk se-ASEAN (Association of South East Asia Nations).
"Kita punya 3 dokter untuk 10.000 penduduk, sementara di Malaysia 9 dokter untuk 10.000
penduduk, ini data terbaru yang menunjukkan kalau kita masih kekurangan dokter," jelas
Sutoto di Jakarta, yang ditulis Rabu (20/3/2013).
Hal ini dinilai Sutoto disebabkan oleh beberapa kasus yang semestinya bisa ditinjau secara
keseluruhan baik secara tinjauan sistem maupun tinjauan sumber daya. Sutoto menyampaikan
kalau di beberapa negara khususnya Malaysia, pemerintahnya begitu gigih untuk
menyekolahkan rakyatnya untuk menjadi dokter.
"Karena biaya yang mahal, seringkali para pemuda yang berpotensi menjadi dokter
terkendala biaya. Ini ironi. Sementara negara lain berbondong-bondong datang ke Indonesia
untuk belajar kedokteran dan menikmati fasilitasnya tapi fasilitas tidak bisa dipakai oleh anak
bangsa,"ungkapnya.
Sutoto juga menyampaikan kalau saat ini masih ada dokter yang gajinya Rp 2,4 juta dan
bekerja dari pagi sampai malam di salah satu rumah sakit di DKI Jakarta.
"Mereka bekerja sampai malam. Di rumah sakit tersebut, hanya ada 3 orang ahli kesehatan
untuk melayani 300 pasien. Hal ini membuat dokter seringkali tidak memiliki waktu
istirahat," ucapnya.

Maka dari itu, untuk meningkatkan fasilitas kesehatan masyarakat, Sutoto bicara mengenai
survei kepuasan pasien yang saat ini wajib diberlakukan di rumah sakit.
"Untuk tahu ada something wrong dengan pelayanan kesehatan kita, kita butuh sebuah survei
tapi sayangnya, seringkali pasien cenderung mengatakan atau mengisi hal yang baik-baik.
Tapi tetap saja hal ini penting. Saat ini survei tersebut sudah berjalan hampir di seluruh rumah
sakit dalam upaya untuk meningkatkan kepuasan masyarakat,"tambahnya. (Fit/Mel)
http://health.liputan6.com/read/538536/rasio-dokter-dan-penduduk-indonesiapaling-buruk-se-asean

BPJS Kesehatan Gandeng


Perusahaan Asuransi
Swasta
Rabu, 7 Mei 2014 12:45 WIB

WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)


Kesehatan telah bekerjasama dengan perusahaan asuransi swasta untuk program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dengan skema Coordination of Benefit (CoB).
Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan, Fajriadinur, menjelaskan perusahaan asuransi swasta
yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan adalah PT Asuransi AXA Mandiri Financial
Service, PT Asuransi AXA Financial Indonesia, PT Asuransi Tugu Mandiri, dan PT Asuransi
Mitra Maparya.
Menurutnya penerima iuran CoB akan dibedakan dalam dua kelompok. Kelompok pertama
adalah badan usaha atau individu yang membayarkan jaminan kesehatan langsung kepada
BPJS Kesehatan dengan menggunakan virtual account masing-masing badan usaha atau
individu sebagaimana yang dilakukan.
"Kedua, perusahaan asuransi swasta yang melakukan CoB dengan BPJS Kesehatan bisa
bertindak sebagai pembayar iuran jaminan kesehatan yang diikutkan dalam CoB
menggunakan virtual account masing-masing badan usaha atau individu," papar Fajriadinur
saat jumpa pers di kantor BPJS Kesehatan, Rabu (7/5/2014).

Dikatakannya, untuk pengajuan klaim, maka perusahaan asuransi yang menjalin CoB dengan
BPJS Kesehatan bisa mengajukan klaim secara kolektif setiap bulannya paling lambat
tanggal 10 tiap bulannya.
"Untuk layanan kesehatan tingkat lanjutan, jika pelayanan kesehatan diberikan di fasilitas
kesehatan BPJS Kesehatan, maka kami yang bertindak sebagai pembayar pertama," tuturnya.
"Jika pelayanan kesehatan diberikan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan, maka perusahaan asuransi swasta itu dapat mengajukan klaim kepada BPJS
Kesehatan," imbuhnya.
http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/05/07/bpjs-kesehatan-gandengperusahaan-asuransi-swasta

SBY: Orang Miskin Bisa Berobat Gratis


dengan BPJS
Selasa, 31 Desember 2013 10:25 wib | Fahmi Firdaus - Okezone

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Foto: Setneg) JAKARTA - Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menegaskan bahwa proses peralihan menuju Badan Penyelenggaraan Jaminan
Sosial (BPJS) diharapkan sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat yang dapat terpenuhi.
Seperti tertuang dalam UU Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial.
Menurutnya selama ini, sistem tersebut belum berjalan sesuai dengan implementasinya,
dalam sistem tersebut juga banyak teknis operasional yang harus dirumuskan secara jelas,
terukur dan terencana. Selain itu diperlukan anggaran yang cukup dan tanggungan iuran
asuransi untuk kaum tidak mampu.
"Tertuang dalam UU tentang sistem jaminan sosial, namun dalam implementasinya tidak
mudah,banyak teknis, namun tepat diawal 2014, kita dapat menjalankan amanat UU tersebut,
saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas kerjasama dan kerja kerasnya,"
ungkapnya di Istana Bogor, Selasa (31/12/2013).
Menurutnya, program BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan dapat dinikmati oleh masyarakat,
namun ada beberapa hal yang perlu disipakan. Ada dua aspek yang perlu disiapkan, pertama
aspek regulasi agar BPJS segera dapat diterapkan, kedua aspek teknis operasional.
"Dari aspek operasional, kita dapat mengambil pengalaman dari Jamkesmas dan Jamkesda,
tentang simulasi dan perencanaan yang dilakukan, saya yakin Askes dan Jamsostek telah siap
menjadi BPJS yang profesional," jelasnya.
BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, kedua BPJS ini untuk jaminan yang lebih merata dan
adil yang dapat dirasakan manfatnya oleh semua masyarakat. Selain itu, langkah ini juga
menjadi langkah penting untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih baik bagi kaun
tidak mampu.
"Saya tidak ingin mendengar ada laporan warga kurang mampu ditolak karena tidak ada

biaya, karena BPJS untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat, rakyat miskin saya
tegaskan bisa berobat gratis dengan BPJS," tegasnya. (kie) (wdi)
http://economy.okezone.com/read/2013/12/31/320/919656/sby-orang-miskin-bisa-berobatgratis-dengan-bpjs
Berita
Nasional
Kebijakan
Pengusaha dan pekerja sepakat premi BPJS 4%

BPJS

Pengusaha dan pekerja sepakat premi


BPJS 4%
Oleh Arif Wicaksono - Kamis, 16 Mei 2013 | 07:40 WIB

JAKARTA. Pembahasan besaran iuran kepesertaan di Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai mengerucut kepada kesepakatan.

Dalam rapat pembahasan di tingkat Dewan Jaminan Sosial (DJSN) yang melibatkan
pengusaha dan buruh kemarin (15/5), mereka berharap iuran BPJS di angka 4%.
Perinciannya: 3% ditanggung pengusaha, sisanya 1% menjadi tanggungjawab buruh. Angka
ini masih dalam batasan angka yang diinginkan pemerintah dalam iuran BPJS yakni 3%
sampai 6%.
Ketua DJSN Ghazali Situmorang berharap, Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional
segera memutuskan besaran iuran BPJS Kesehatan bagi pekerja formal ini. Ia berharap,
angka 4% menjadi angka terakhir. Mengingat, masa berlakunya BPJS sudah mendekat yakni
1 Januari 2014.
Ghazali bilang, sampai saat ini, pertemuan LKS Tripartit belum berjalan. Alhasil keputusan
porsi iuran pekerja formal belum ditetapkan.
Molornya penyelesaian iuran BPJS Kesehatan, kata Ghazali dipicu sikap Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) yang walk out dari forum tripartit ini. Dan, Apindo baru aktif
lagi akhir April lalu.
Kendati begitu, DJSN terus melanjutkan pembahasan iuran BPJS Kesehatan dengan tetap
melibatkan unsur pengusaha dan pekerja. Kini, pengusaha mulai bisa menerima premi BPJS
Kesehatan sebesar 4%, mereka siap menanggung 3%.
Hanya, sebagian serikat kerja masih tetap dalam pendiriannya bahwa iuran jaminan
kesehatan tidak menjadi beban mereka. Oleh karena itu. DJSN mengusulkan iuran 3% dari

pengusaha dan 1% dari pekerja baru mulai berlaku pada 1 Juli 2015. Adapun mulai 1 Januari
2014 sampai 1 Juli 2015, porsinya 4% dibayarkan penuh pengusaha.
Kewajiban negara
Ketua Bidang Advokasi Serikat Pekerja Nasional (SPN) Djoko Heryono mengatakan, buruh
menolak jika harus dibebani iuran jaminan kesehatan. Pasalnya, negara berkewajiban
menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi seluruh warganya.
Amanat jaminan kesehatan warga itu tertera di Pasal 27 UU No. 40/2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. "Prinsipnya, kami tetap menolak sistem asuransi kesehatan dalam
BPJS Kesehatan karena sifatnya tidak melekat pada pekerja," tegasnya.
Menurut Djoko, jika sistem BPJS sama seperti asuransi, maka ada kemungkinan buruh tidak
dilayani oleh rumah sakit jika dalam beberapa bulan mereka berhenti membayar premi BPJS
Kesehatan.
Business Development Director Apindo Muhammad Aditya Warman menilai, pemerintah
belum siap menjalankan BPJS. Anggapan ini bukan sebatas isapan jempol sebab infrastruktur
kesehatan yang masih minim. "Biaya berobat di rumah sakit mahal, pengeluaran akan
meningkat," ujarnya.
Jika pro dan kontra masih terjadi, pembahasan iuran BPJS akan
molor dari waktunya.

http://nasional.kontan.co.id/news/pengusaha-dan-pekerja-sepakat-premi-bpjs-4

Alokasi Anggaran untuk Kesehatan RI


Kalah dari Negara Miskin
- 10 Oktober 2013 07:11 wib
MI/Atet Dwi Pramadia/vg

Metrotvnews.com, Jakarta: Pemerintah dituding tidak peduli dengan pembangunan bidang


kesehatan. Hal itu tecermin dari rendahnya alokasi anggaran yang diberikan pemerintah pada
bidang kesehatan.
Persentase anggaran kesehatan di Indonesia bahkan jauh lebih rendah jika dibandingkan
dengan sejumlah negara miskin (low income country).
Pemerintah masih belum mengerti bahwa bidang kesehatan merupakan investasi bagi
pembangunan manusia, kecam peneliti bidang sosial Perkumpulan Prakarsa Ah Maftuchan
di Jakarta, Rabu (9/10).
Maftuchan mencontohkan 22 dari 36 negara berkategori low income (PDB per kapita kurang
dari S$1.025) telah mengalokasikan 11% anggarannya dari APBN untuk kesehatan (WHO,

2010).
Bahkan tiga negara berpendapatan rendah di Afrika, seperti Rwanda, Tanzania, dan Liberia,
telah berani mengalokasikan dana untuk sektor kesehatan hingga 15% dari APBN-nya.
Di sisi lain, Cile, yang notabene negara sebaya dengan Indonesia (lower middle income
country), bahkan mampu mengalokasikan anggaran untuk kesehatan hingga 16%.
Tidak ada satu pun dari negara tersebut yang bangkrut. Jadi kalau alasan kekurangan fiskal
saya rasa tidak masuk akal, ujar Maftuchan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memasang patokan bahwa alokasi anggaran kesehatan
setiap negara minimal 15% dari total APBN atau setara dengan 5% dari PDB.
Alokasi anggaran pemerintah untuk bidang kesehatan pada tahun ini, kata Maftuchan, hanya
2,1% dari APBN. Persentase jumlah ini sama dengan 2012.
Bahkan, bila dibandingkan dengan 2011, yang persentasenya 2,2%, persentase alokasi
anggaran pada tahun ini mengalami penurunan.
Harus diakui, kendati secara persentase menurun, secara jumlah dari tahun ke tahun dana
yang dicairkan terus meningkat, yaitu naik dari Rp30,5 miliar pada 2012 menjadi Rp36,5
miliar pada 2013.
Lantaran akan menggelar program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2014, alokasi
anggaran pada tahun itu meningkat menjadi Rp44,8 miliar atau 2,4% dari APBN.
Kendati mengalami kenaikan dari segi jumlah, Maftuchan menegaskan jumlah itu masih jauh
dari jumlah ideal.
Bahkan, lanjut dia, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah tegas mengamanatkan
bahwa minimal alokasi anggaran kesehatan 5% dari APBN.
Pada kesempatan yang sama, peneliti bidang politik Perkumpulan Prakarsa Wiko Saputra
menegaskan dengan alokasi anggaran pada saat ini, sangat sulit bagi pemerintah untuk
mencapai sejumlah target Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2014 yang telah ditetapkan.
Beberapa target RKP yang menurut Wiko mustahil untuk dicapai antara lain menurunkan
angka kelahiran total sebesar 2,1 per pasangan usia subur, meningkatkan pemakaian
kontrassepsi hingga 60,1%, dan menurunkan tingkat kematian ibu menjadi 118 per 100 ribu
kelahiran hidup. (Cornelius Eko)
http://showbiz.metrotvnews.com/read/2013/10/10/187359/Alokasi-Anggaranuntuk-Kesehatan-RI-Kalah-dari-Negara-Miskin

BPS: Makin Banyak Pekerja di Sektor


Formal

"Jadi yang tadinya bekerja sendiri, atau di pertanian beralih kerja di sektor
formal."
ddd
Senin, 7 Mei 2012, 14:54 Nur Farida Ahniar, R. Jihad Akbar

Jumlah pekerja formal semakin meningkat. (VIVAnews/


Muhamad Solihin)
Follow us on

VIVAnews - Badan Pusat Statistik mencatat jumlah pekerja di sektor formal meningkat empat juta orang
selama setahun dari Februari 2011 hingga Februari 2012. Jumlah pekerja formal naik dari 34,24 persen
menjadi 37,29 persen pada Februari 2012.
"Jadi, yang tadinya bekerja sendiri, atau di pertanian, beralih kerja di sektor formal," ujar Kepala BPS,
Suryamin, di kantornya, Jakarta, Senin 7 Mei 2012.
Pekerja formal adalah pekerja yang berusaha dengan dibantu buruh tetap dan pekerja sebagai buruh atau
karyawan. Berdasarkan data BPS pada Februari 2012, sebanyak 42,1 juta orang atau 37,29 persen bekerja
pada sektor formal. Dan sebanyak 70,7 juta orang atau 62,71 persen bekerja pada sektor informal.
"Pekerja informal turun dari 2,4 juta orang dari 65,76 persen pada Februari 2011 menjadi 62,71 persen
pada Februari 2012," ujarnya.
Sementara itu, berdasarkan jam kerja dan jumlah jam kerja, pekerja penuh waktu yaitu yang bekerja 35
jam ke atas per pekan tercatat sebanyak 77,2 juta orang atau 68,48 persen pada Februari 2012. Pekerja
paruh waktu ada 20,7 juta orang dan pekerja setengah penganggur sebanyak 14,9 juta orang.
"Pekerja dengan jumlah jam kurang dari 15 jam per pekan ada 6,9 juta orang atau 6,08 persen," ujarnya.
Berdasarkan pendidikan, pekerja yang bekerja dengan pendidikan rendah masih mendominasi. Pekerja
dengan pendidikan SD ke bawah ada 55,5 juta orang atau 49,21 persen, sedangkan SMP sebanyak 20,3
juta orang atau 17,99 persen. Sementara itu, untuk pekerja lulusan pendidikan tinggi hanya 10,3 juta orang,
terdiri atas 3,1 juta orang berpendidikan diploma dan 7,2 juta orang berpendidikan universitas.
Bila dibandingkan Februari 2011, pekerja berpendidikan rendah turun dari 68,60 persen menjadi 67,20
pada Februari tahun ini. Sementara itu, pekerja yang berpendidikan tinggi naik 7,96 persen menjadi 9,19
pada periode yang sama. (art)
http://us.bisnis.news.viva.co.id/news/read/311346-bps--makin-banyak-pekerja-sektor-formal

Kemenkokesra Pesimistis Subsidi Iuran BPJS Kesehatan Cukup Buat 86 juta Rakyat Miskin

Written By : Pebriansyah Ariefana | 28 February 2013 | 20:30


KBR68H, Jakarta - Pemerintah belum satu suara soal penetapan subsidi iuran BPJS
Kesehatan 2013 sebesar Rp 15.500. Hingga kini, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Agung Laksono masih terus membujuk Menteri Keuangan Agus Martowardojo untuk
menaikkan subsidi iuran BPJS Kesehatan menjadi Rp. 27.000.
Menurut dia, alokasi subsidi sebesar Rp 15.500 untuk tiap warga miskin itu masih kurang
besar, karena tak akan cukup untuk ongkos pelayanan kesehatan di daerah. Dia menjelaskan
idealnya subsidi iuran kesehatan mengacu pada alokasi penyediaan obat-obatan dan alat
rumah sakit.
"Apalagi kondisi medan kita yang berat yah. Pulau-pulau dan sebagainya. Dan harus
dipikirkan selain suplay, alat-alat, obat-obatan dan juga distribusi terhadap manusia. Medis
dan para medis. Dan pendukung lainnya. Dan apoteker. Jadi berat, malah saya berharap
malah nambah," kata Agung di Kantor Presiden Jakarta, Kamis (28/2).
Menkokesra Agung Laksono minta Menteri Keuangan mempertimbangkan kenaikan subsidi
iuran kesehatan untuk warga miskin pada 2015 mendatang. Di tahap awal program BPJS
kesehatan, pemerintah menggelontorkan dana Rp 15,9 triliun dari APBN untuk menyubsidi
asuransi kesehatan 86 juta warga miskin.
http://www.portalkbr.com/berita/nasional/2488453_5486.html

Anda mungkin juga menyukai