Data
Data
Penulis : Suhartono
JAKARTA, KOMPAS.com -- Elemen yang bergabung dengan Komite Aksi Jaminan Sosial
(KAJS) untuk memperjuangkan terwujudnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
semakin bertambah dan kuat. BPJS akan menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).
Setelah 64 elemen kelompok buruh, pekerja dan mahasiswa, elemen baru yang mendukung
KAJS adalah Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Jaringan Buruh
dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Kelompok lainnya yang bergabung, antara lain adalah Badan Eksekutit Mahasiswa (BEM)
Universitas Yarsi dan BEM Universitas Negeri Solo (UNS), Lembaga Bantuan Hukum Aspek
Indonesia.
Demikian disampaikan Koordinator Pembela Hukum KAJS Surya Tjandra kepada Kompas di
sela pertemuan KAJS dengan kelompok-kelompok buruh, pekerja, perawat dan mahasiswa
yang baru bergabung di Sekretariat Trade Union Rights Centre (TURC) di Jalan Masjid,
Pejompongan, Jakarta, Senin (8/8/2011) petang.
"Kami bersepakat untuk mendukung RUU BPJS yang akan mulai dibahas lagi pertengahan
Agustus mendatang. Kesepakatan ini muncul dari adanya kesadaran bersama perlunya
mencantolkan RUU BPJS sebagai prioritas UU yang harus terwujud sebelum mewujukan
RUU Keperawatan, RUU Perlindungan PRT, RUU Perubahan UU Perlindungan dan
Penempatan TKI di Luar Negeri," ujar Surya.
Gerakan bersama
Menurut Surya, penggabungan elemen baru ini masih terus dikonsolidasikan sebelum
membuat gerakan bersama menjelang peringatan Proklamasi 17 Agustus mendatang.
Sementara Ketua PPNI Harif Fadhilah mengemukakan, apabila RUU BPJS tidak ada, para
perawat tidak memiliki lima jaminan. "Jaminan yang ada hanyalah kesehatan, padahal itu
sangat terbatas. Jadi, perlu RUU BPJS yang melaksanakan SJSN," tambah Harif, yang
memiliki 600.000 anggota perawat tersebar di seluruh Indonesia.
Harif menambahkan, jika RUU BPJS tidak segera diundangkan, maka RUU Keperawatan,
RUU Perlindungan PRT, RUU Perubahan UU Perlindungan dan Penempatan TKI di Luar
Negeri, tidak akan segera dibahas. "Oleh sebab itu, RUU BPJS harus segera diterbitkan
dulu," kata Harif.
http://health.kompas.com/read/2011/08/08/21145428/Elemen.Pendukung.BPJS.Bertambah
Kesehatan, jumlah SDM kesehatan yang terdata sampai saat ini sebanyak 668.522 orang.
Komposisi terbanyak adalah perawat dengan 220.004 orang atau 32,91 persen dari seluruh
SDM kesehatan.
Sedangkan sebaran SDM kesehatan per wilayah, jumlah terbanyak berada di Jawa dan Bali
dengan 301.402 orang tenaga kesehatan atau 45,08 persen. Diikuti dengan Sumatera dengan
182.997 orang atau 27 persen. Nusa Tenggara dan Papua menjadi wilayah dengan SDM
kesehatan paling sedikit yaitu masing-masing hanya 26.168 orang atau 3,91 persen dan
16.293 orang atau 2,44 persen.
AGITA SUKMA LISTYANTI
http://www.tempo.co/read/news/2013/04/03/173470885/Jumlah-Dokter-Umum-di-IndonesiaBelum-Ideal
Maka dari itu, untuk meningkatkan fasilitas kesehatan masyarakat, Sutoto bicara mengenai
survei kepuasan pasien yang saat ini wajib diberlakukan di rumah sakit.
"Untuk tahu ada something wrong dengan pelayanan kesehatan kita, kita butuh sebuah survei
tapi sayangnya, seringkali pasien cenderung mengatakan atau mengisi hal yang baik-baik.
Tapi tetap saja hal ini penting. Saat ini survei tersebut sudah berjalan hampir di seluruh rumah
sakit dalam upaya untuk meningkatkan kepuasan masyarakat,"tambahnya. (Fit/Mel)
http://health.liputan6.com/read/538536/rasio-dokter-dan-penduduk-indonesiapaling-buruk-se-asean
Dikatakannya, untuk pengajuan klaim, maka perusahaan asuransi yang menjalin CoB dengan
BPJS Kesehatan bisa mengajukan klaim secara kolektif setiap bulannya paling lambat
tanggal 10 tiap bulannya.
"Untuk layanan kesehatan tingkat lanjutan, jika pelayanan kesehatan diberikan di fasilitas
kesehatan BPJS Kesehatan, maka kami yang bertindak sebagai pembayar pertama," tuturnya.
"Jika pelayanan kesehatan diberikan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan, maka perusahaan asuransi swasta itu dapat mengajukan klaim kepada BPJS
Kesehatan," imbuhnya.
http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/05/07/bpjs-kesehatan-gandengperusahaan-asuransi-swasta
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Foto: Setneg) JAKARTA - Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menegaskan bahwa proses peralihan menuju Badan Penyelenggaraan Jaminan
Sosial (BPJS) diharapkan sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat yang dapat terpenuhi.
Seperti tertuang dalam UU Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial.
Menurutnya selama ini, sistem tersebut belum berjalan sesuai dengan implementasinya,
dalam sistem tersebut juga banyak teknis operasional yang harus dirumuskan secara jelas,
terukur dan terencana. Selain itu diperlukan anggaran yang cukup dan tanggungan iuran
asuransi untuk kaum tidak mampu.
"Tertuang dalam UU tentang sistem jaminan sosial, namun dalam implementasinya tidak
mudah,banyak teknis, namun tepat diawal 2014, kita dapat menjalankan amanat UU tersebut,
saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas kerjasama dan kerja kerasnya,"
ungkapnya di Istana Bogor, Selasa (31/12/2013).
Menurutnya, program BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan dapat dinikmati oleh masyarakat,
namun ada beberapa hal yang perlu disipakan. Ada dua aspek yang perlu disiapkan, pertama
aspek regulasi agar BPJS segera dapat diterapkan, kedua aspek teknis operasional.
"Dari aspek operasional, kita dapat mengambil pengalaman dari Jamkesmas dan Jamkesda,
tentang simulasi dan perencanaan yang dilakukan, saya yakin Askes dan Jamsostek telah siap
menjadi BPJS yang profesional," jelasnya.
BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, kedua BPJS ini untuk jaminan yang lebih merata dan
adil yang dapat dirasakan manfatnya oleh semua masyarakat. Selain itu, langkah ini juga
menjadi langkah penting untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih baik bagi kaun
tidak mampu.
"Saya tidak ingin mendengar ada laporan warga kurang mampu ditolak karena tidak ada
biaya, karena BPJS untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat, rakyat miskin saya
tegaskan bisa berobat gratis dengan BPJS," tegasnya. (kie) (wdi)
http://economy.okezone.com/read/2013/12/31/320/919656/sby-orang-miskin-bisa-berobatgratis-dengan-bpjs
Berita
Nasional
Kebijakan
Pengusaha dan pekerja sepakat premi BPJS 4%
BPJS
Dalam rapat pembahasan di tingkat Dewan Jaminan Sosial (DJSN) yang melibatkan
pengusaha dan buruh kemarin (15/5), mereka berharap iuran BPJS di angka 4%.
Perinciannya: 3% ditanggung pengusaha, sisanya 1% menjadi tanggungjawab buruh. Angka
ini masih dalam batasan angka yang diinginkan pemerintah dalam iuran BPJS yakni 3%
sampai 6%.
Ketua DJSN Ghazali Situmorang berharap, Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional
segera memutuskan besaran iuran BPJS Kesehatan bagi pekerja formal ini. Ia berharap,
angka 4% menjadi angka terakhir. Mengingat, masa berlakunya BPJS sudah mendekat yakni
1 Januari 2014.
Ghazali bilang, sampai saat ini, pertemuan LKS Tripartit belum berjalan. Alhasil keputusan
porsi iuran pekerja formal belum ditetapkan.
Molornya penyelesaian iuran BPJS Kesehatan, kata Ghazali dipicu sikap Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) yang walk out dari forum tripartit ini. Dan, Apindo baru aktif
lagi akhir April lalu.
Kendati begitu, DJSN terus melanjutkan pembahasan iuran BPJS Kesehatan dengan tetap
melibatkan unsur pengusaha dan pekerja. Kini, pengusaha mulai bisa menerima premi BPJS
Kesehatan sebesar 4%, mereka siap menanggung 3%.
Hanya, sebagian serikat kerja masih tetap dalam pendiriannya bahwa iuran jaminan
kesehatan tidak menjadi beban mereka. Oleh karena itu. DJSN mengusulkan iuran 3% dari
pengusaha dan 1% dari pekerja baru mulai berlaku pada 1 Juli 2015. Adapun mulai 1 Januari
2014 sampai 1 Juli 2015, porsinya 4% dibayarkan penuh pengusaha.
Kewajiban negara
Ketua Bidang Advokasi Serikat Pekerja Nasional (SPN) Djoko Heryono mengatakan, buruh
menolak jika harus dibebani iuran jaminan kesehatan. Pasalnya, negara berkewajiban
menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi seluruh warganya.
Amanat jaminan kesehatan warga itu tertera di Pasal 27 UU No. 40/2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. "Prinsipnya, kami tetap menolak sistem asuransi kesehatan dalam
BPJS Kesehatan karena sifatnya tidak melekat pada pekerja," tegasnya.
Menurut Djoko, jika sistem BPJS sama seperti asuransi, maka ada kemungkinan buruh tidak
dilayani oleh rumah sakit jika dalam beberapa bulan mereka berhenti membayar premi BPJS
Kesehatan.
Business Development Director Apindo Muhammad Aditya Warman menilai, pemerintah
belum siap menjalankan BPJS. Anggapan ini bukan sebatas isapan jempol sebab infrastruktur
kesehatan yang masih minim. "Biaya berobat di rumah sakit mahal, pengeluaran akan
meningkat," ujarnya.
Jika pro dan kontra masih terjadi, pembahasan iuran BPJS akan
molor dari waktunya.
http://nasional.kontan.co.id/news/pengusaha-dan-pekerja-sepakat-premi-bpjs-4
2010).
Bahkan tiga negara berpendapatan rendah di Afrika, seperti Rwanda, Tanzania, dan Liberia,
telah berani mengalokasikan dana untuk sektor kesehatan hingga 15% dari APBN-nya.
Di sisi lain, Cile, yang notabene negara sebaya dengan Indonesia (lower middle income
country), bahkan mampu mengalokasikan anggaran untuk kesehatan hingga 16%.
Tidak ada satu pun dari negara tersebut yang bangkrut. Jadi kalau alasan kekurangan fiskal
saya rasa tidak masuk akal, ujar Maftuchan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memasang patokan bahwa alokasi anggaran kesehatan
setiap negara minimal 15% dari total APBN atau setara dengan 5% dari PDB.
Alokasi anggaran pemerintah untuk bidang kesehatan pada tahun ini, kata Maftuchan, hanya
2,1% dari APBN. Persentase jumlah ini sama dengan 2012.
Bahkan, bila dibandingkan dengan 2011, yang persentasenya 2,2%, persentase alokasi
anggaran pada tahun ini mengalami penurunan.
Harus diakui, kendati secara persentase menurun, secara jumlah dari tahun ke tahun dana
yang dicairkan terus meningkat, yaitu naik dari Rp30,5 miliar pada 2012 menjadi Rp36,5
miliar pada 2013.
Lantaran akan menggelar program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2014, alokasi
anggaran pada tahun itu meningkat menjadi Rp44,8 miliar atau 2,4% dari APBN.
Kendati mengalami kenaikan dari segi jumlah, Maftuchan menegaskan jumlah itu masih jauh
dari jumlah ideal.
Bahkan, lanjut dia, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah tegas mengamanatkan
bahwa minimal alokasi anggaran kesehatan 5% dari APBN.
Pada kesempatan yang sama, peneliti bidang politik Perkumpulan Prakarsa Wiko Saputra
menegaskan dengan alokasi anggaran pada saat ini, sangat sulit bagi pemerintah untuk
mencapai sejumlah target Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2014 yang telah ditetapkan.
Beberapa target RKP yang menurut Wiko mustahil untuk dicapai antara lain menurunkan
angka kelahiran total sebesar 2,1 per pasangan usia subur, meningkatkan pemakaian
kontrassepsi hingga 60,1%, dan menurunkan tingkat kematian ibu menjadi 118 per 100 ribu
kelahiran hidup. (Cornelius Eko)
http://showbiz.metrotvnews.com/read/2013/10/10/187359/Alokasi-Anggaranuntuk-Kesehatan-RI-Kalah-dari-Negara-Miskin
"Jadi yang tadinya bekerja sendiri, atau di pertanian beralih kerja di sektor
formal."
ddd
Senin, 7 Mei 2012, 14:54 Nur Farida Ahniar, R. Jihad Akbar
VIVAnews - Badan Pusat Statistik mencatat jumlah pekerja di sektor formal meningkat empat juta orang
selama setahun dari Februari 2011 hingga Februari 2012. Jumlah pekerja formal naik dari 34,24 persen
menjadi 37,29 persen pada Februari 2012.
"Jadi, yang tadinya bekerja sendiri, atau di pertanian, beralih kerja di sektor formal," ujar Kepala BPS,
Suryamin, di kantornya, Jakarta, Senin 7 Mei 2012.
Pekerja formal adalah pekerja yang berusaha dengan dibantu buruh tetap dan pekerja sebagai buruh atau
karyawan. Berdasarkan data BPS pada Februari 2012, sebanyak 42,1 juta orang atau 37,29 persen bekerja
pada sektor formal. Dan sebanyak 70,7 juta orang atau 62,71 persen bekerja pada sektor informal.
"Pekerja informal turun dari 2,4 juta orang dari 65,76 persen pada Februari 2011 menjadi 62,71 persen
pada Februari 2012," ujarnya.
Sementara itu, berdasarkan jam kerja dan jumlah jam kerja, pekerja penuh waktu yaitu yang bekerja 35
jam ke atas per pekan tercatat sebanyak 77,2 juta orang atau 68,48 persen pada Februari 2012. Pekerja
paruh waktu ada 20,7 juta orang dan pekerja setengah penganggur sebanyak 14,9 juta orang.
"Pekerja dengan jumlah jam kurang dari 15 jam per pekan ada 6,9 juta orang atau 6,08 persen," ujarnya.
Berdasarkan pendidikan, pekerja yang bekerja dengan pendidikan rendah masih mendominasi. Pekerja
dengan pendidikan SD ke bawah ada 55,5 juta orang atau 49,21 persen, sedangkan SMP sebanyak 20,3
juta orang atau 17,99 persen. Sementara itu, untuk pekerja lulusan pendidikan tinggi hanya 10,3 juta orang,
terdiri atas 3,1 juta orang berpendidikan diploma dan 7,2 juta orang berpendidikan universitas.
Bila dibandingkan Februari 2011, pekerja berpendidikan rendah turun dari 68,60 persen menjadi 67,20
pada Februari tahun ini. Sementara itu, pekerja yang berpendidikan tinggi naik 7,96 persen menjadi 9,19
pada periode yang sama. (art)
http://us.bisnis.news.viva.co.id/news/read/311346-bps--makin-banyak-pekerja-sektor-formal
Kemenkokesra Pesimistis Subsidi Iuran BPJS Kesehatan Cukup Buat 86 juta Rakyat Miskin