Anda di halaman 1dari 22

REFRAT

HIPERTENSI RENOVASKULAR DAN PEMAKAIAN OBAT GOLONGAN


ACE INHIBITOR

Oleh:
Sinta Prastiana Dewi

G0007157

Monika Sitio

G0007106

Nurulita Tunjung Sari

G0007218

Luthfiana Syarifah

G0007098

Pradana Nur Oviyanti

G0007128

Pembimbing,
DR. dr. H.M. Bambang Purwanto, Sp.PD-KGH-FINASIM
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R AK AR TA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tekanan darah yang meningkat terutama tekanan diastolik, sering
menyebabkan kelainan yang serius dan kematian. Institut Jantung, Paru
dan Darah Amerika pada tahun 1981 melaporkan bahwa satu dari enam
orang Amerika, atau 35.000.000 orang menderita tekanan darah tinggi.
Dari mereka yang menderita ini, 18.000.000 sadar akan penyakitnya;
12.000.000 mendapat pengobatan, tetapi hanya 5.000.000 yang mendapat
terapi secara adekuat. Kematian akibat infark myocard dan stroke akan
berkurang 20% jika hipertensi dapat dikenal sejak awal dan mendapat
pengobatan yang tepat. 1
Pada kebanyakan pasien yang tidak diketahui penyebabnya, keadaan
ini disebut hipertensi esensial. Penyakit ginjal ditemukan sebagai
penyebab hipertensi sebanyak 5-15%, yang disebut hipertensi renalis.
Hipertensi renalis dapat terjadi karena gangguan pada vaskular (misal oleh
karena oklusi arteri renalis); dapat berkaitan dengan penyakit parenkim
ginjal; atau dapat juga merupakan kombinasi dari keduanya. 2
Hipertensi renovaskular merupakan 1-4 % dari seluruh penderita
hipertensi.7 Pada banyak kasus hipertensi bersifat reversibel jika dapat
ditegakkan diagnosis penyakitnya dan terapi yang tepat.3
Lebih dari itu, pembedahan revaskularisasi dari iskemi ginjal sekarang
sudah dapat dilakukan. Dengan tindakan pembedahan ini banyak pasien
yang dapat dikurangi hipertensinya.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Hipertensi renovaskular dapat didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan diastolik dan sistolik disertai dengan oklusi arteri renalis. Keadaan
ini pasti mengakibatkan pengurangan aliran darah total renalis, yang
menyebabkan aparatus jukstaglomerularis mensekresikan renin.4
Dari sekitar 1 4% hipertensi disebabkan oleh hipertensi renovaskular,
maka sebanyak 5% merupakan hipertensi yang terjadi pada anak-anak.
Perkembangan lambat stenosis arteri renalis menimbulkan kolateral dan
dapat menyebabkan peningkatan berlebihan renin yang semakin
menyokong timbulnya hipertensi renovaskular. Obstruksi arteri renalis
yang akut biasanya menyebabkan infark sebagian atau penuh dan atrofi,
tanpa adanya hipersekresi renin. Yang termasuk faktor resiko hipertensi
renovaskular adalah (i) tekanan darah diastolik yang lebih dari 95 mm Hg
pada pasien yang sudah tidak dapat diatasi lagi dengan tiga jenis obat
hipertensi; (ii) hipertensi akselerasi; (iii) kehilangan tiba-tiba dari kontrol
hipertensi sebelumnya; (iv) fungsi renal yang rusak akibat terapi dengan
kaptopril; (v) atau bruit abdominal.7
B. ETIOLOGI
Terdapat berbagai penyebab hipertensi renovaskular, tetapi 90
95%

akibat

dua

kelainan

utama:

aterosklerosis

dan

dysplasia

fibromuskular.3 Sebanyak 80% penyebab kelainan di arteri renalis


disebabkan oleh aterosklerosis, yang disertai dengan hipertensi. Ini
merupakan penyakit utama yang terjadi pada pria berumur antara 55 75
tahun.1 Kelainannya terutama terdapat pada ostium dan sepertiga
proksimal dari arteri renalis utama. Sisi sebelah kiri lebih sering terjadi
daripada sebelah kanan dan kurang lebih sepertiga pasien memiliki
kelainan bilateral dengan satu sisi umumnya memiliki stenosis lebih berat
daripada sisi lainnya. Sedangkan 18% penyebab kelainan di arteri renalis
disebabkan oleh fibrodisplasia; sedangkan menurut Franklin terdapat

sebanyak 35%. Ini merupakan penyakit utama pada orang muda, yang
kebanyakan etiologinya terdapat pada anak-anak dan wanita muda masa
subur. Displasia fibromuskular mempunyai berbagai bentuk, yang paling
umum adalah displasia fibromuskular tunika medialis. Arteri renalis kanan
paling sering terjadi yaitu sebanyak 85%. Ginjal kanan merupakan ginjal
yang paling mobile dan terjadi ketegangan selama masa kehamilan.
Aneurisma sering disertai dengan fibrodisplasia medialis, yang merupakan
akibat sekunder dari proses ini. Faktor predisposisi pada wanita
kemungkinan disebabkan oleh ketegangan yang berkelanjutan dari arteri
renalis akibat kehamilan, dan atau mungkin juga disertai dengan estrogen
yang diketahui menyebabkan degenerasi tunika medialis dari dinding
pembuluh darah. Kondisi ini disertai juga dengan trombosis, yang
disebabkan oleh oklusi vasa vasorum. Etiologi displasia fibromuskular
pada anak-anak masih belum jelas. Kelainan umumnya berupa hiperplasia
tunika

intima

dan

displasia

tunika

media.

Kelainan

dysplasia

fibromuskular tunika media dapat menyebabkan dilatasi, secara langsung.


Kerusakan tunika intima dan tunika media arteri renalis tidak dapat
berdilatasi. Selain kedua penyebab utama tersebut di atas, terdapat juga
beberapa penyebab lain dari stenosis arteri renalis unilateral atau bilateral
pada arteri utama ataupun pada cabang arteri renalis 7: (i) arteritis; (ii)
poliarteritis nodusa; (iii) diseksi aorta; (iv) neurofibromatosis; (v) akibat
trauma; (vi) katerisasi arteri umbilikalis; (vii) kompresi ekstrinsik arteri
renalis atau cabangnya; (viii) infark renalis baik secara total maupun
parsial (ix) aneurisma arteri renalis; (x) tumor pada apparatus
jukstaglomerularis; (xi) hidronefrosis; (xii) kelainan abnormal ginjal
lainnya.
C. PATOFISIOLOGI
Hipertensi renovaskular dibagi menjadi dua model utama berdasarkan
Goldblatt hypertension3:
1). model two-kidney, oneclip (2K-1C) dimana satu arteri renalis konstriksi
dan ginjal kontralateralnya utuh, dan

2). model one-kidney, one clip (1K-1C) dimana satu arteri renalis
konstriksi dan ginjal kontralateral diangkat.
Kedua model Goldblatt hypertension berkembang melalui fase akut,
fase transisi, dan fase kronik. Pada fase akut, induksi iskemi pada kedua
model baik pada 2K-1C maupun 1K-1C mengakibatkan peningkatan
tekanan darah yang cepat, disertai aktivitas system renin-angiotensin. Hal
ini dapat ditunjukkan dengan adanya ketergantungan renin sehingga
pemberian segera antagonis angiotensin II atau penghambat enzim
angiotensin-konverting akan menormalkan tekanan darah. Lebih dari itu,
pengangkatan klip arteri renalis atau nefrektomi unilateral dari stenosis
ginjal mengakibatkan pemulihan cepat tekanan darah menjadi normal.
Fase transisi berakhir selama dua hari atau beberapa minggu, ini
bergantung pada model eksperimen dan spesies. Pada model 2K-1C, ginjal
iskemi meretensi natrium dan air, yang akan meningkatkan volume dan
menekan natriuresis pada ginjal kontralateral. Ginjal kontralateral ini
memperlihatkan buntunya natriuresis, kerusakan autoregulasi aliran darah
ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus. Fungsi-fungsi abnormal ini untuk
merefleksikan perfusi ginjal kontralateral dengan peningkatan angiotensin
II yang dilepaskan dari ginjal iskemi ipsilateral.3
Fase kronik hipertensi renovaskular ditandai dengan retensi garam dan
air dan peningkatan volume yang menekan sekresi renin. Pada model 1K1C, fase menahun sangat cepat terjadi, biasanya dalam jangka waktu 3-5
hari pada anjing dan beberapa minggu pada tikus. Namun bila model 1K1C ini diterapi dengan preparat diuretik untuk mengkoreksi keseimbangan
positif sodium, akan terlihat peningkatan nilai renin; peningkatan tekanan
darah yang menetap, tetapi sekarang menjadi sensitif terhadap penghambat
sistem renin-angiotensin. Sebaliknya, model 2K-1C menekan natriuresis
dari ginjal kontralateral sebagai kompensasi terhadap penurunan ekskresi
sodium pada ginjal iskemi ipsilateral. Lebih dari satu periode, ginjal
kontralateral

mengakibatkan

kerusakan

pembuluh

darah

yang

mengakibatkan tekanan darah meningkat, yang kemudian menyebabkan

penurunan fungsi ekskretoris dan peningkatan volume. Meskipun derajat


sirkulasi renin-angiotensin II umumnya normal pada fase menahun, namun
studi menunjukkan adanya peningkatan system renin-angiotensin jaringan
vaskular yang ikut memberi perubahan vaskular pada model 2K- 1C tikus;
namun demikian, penurunan secara bermakna tekanan darah dapat dicapai
dengan pemberian inhibitor enzim konverting atau antagonis angiotensin
II. Perlu juga dipertimbangkan bahwa peningkatan system saraf simpatis
baik sentral maupun perifer dapat menyebabkan hipertensi renovaskular
yang menetap selama fase kronik baik pada model 2K-1C maupun 1K1C.3
Pada stenosis arteri renalis, tekanan transkapiler yang memacu filtrasi
glomerulus dipertahankan oleh peningkatan tahanan arteriol efferen di
belakang

glomerulus.

Peningkatan

tahanan

arteriole

efferen

ini

dipertahankan oleh angiotensin II (yang diproduksi sebagai respons


terhadap peningkatan sekresi renin dari ginjal yang terkena). Angiotensin
II juga merangsang sekresi aldosteron dari korteks adrenal yang berperan
terhadap retensi cairan dan natrium.Bila tingkatan kritis stenosis arteri
renalis tercapai (sekitar 60-70% lumen), maka baroreseptor ginjal akan
menyebabkan penurunan tekanan darah pada arteriol efferen, yang
mengakibatkan

peningkatan

pelepasan

renin

dari

aparatus

juxta

glomerularis. Keadaan ini meningkatkan produksi angiotensin I.


Angiotensin I dibuat di perifer ginjal oleh kerja enzim konverting
angiotensin menjadi angiotensin II.7 Renin dihasilkan bila terdapat
penurunan aliran darah dan peningkatan tekanan pada parenkim ginjal. Ini
memacu selsel jukstaglomerularis untuk menghasilkan renin yang banyak
yang kemudian mempengaruhi produksi angiotensin. Penggunaan
antagonis angiotensin II (seperti kaptopril) telah diketahui efektif untuk
diagnosis dan terapi hipertensi renovaskular. Kaptopril memiliki toksisitas
renal dan dapat menyebabkan trombosis arteri renalis. Oleh karenanya,
kaptopril sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi definitif untuk
hipertensi renovaskular.1 Pada pasien dengan stenosis arteri renalis atau

renovaskular hipertensi pada satu atau dua ginjal, kaptopril dapat memicu
terjadinya kegagalan ginjal akut, tetapi efek ini biasanya hanya sementara. 7
Hipertensi renovaskular pada manusia sesungguhnya lebih kompleks dari
pada binatang. Sebagai contoh, hipertensi berat, yang merupakan bagian
dari gejala stenosis arteri renalis yang berkembang cepat. Trombosis atau
emboli akut bahkan menyebabkan plasma renin yang tinggi disertai
dengan hipertensi akselerasi yang berat. Sebaliknya perkembangan
stenosis arteri renalis yang lambat sebagai akibat aterosklerosis atau lesi
displasia fibromuskular hanya mengakibatkan hipertensi ringan atau
sedang, yang meningkat secara bertahap selama periode tertentu dan
kemudian hanya akan menjadi berat atau mengalami peningkatan bila
kelainan stenosis menjadi lebih berat. Dengan cara yang sama, kelainan
segmental dari berbagai penyebab dapat meningkat menjadi lebih berat
atau oklusi total. Hal ini disebabkan karena ukuran yang kecil dari cabangcabang arteri. Karena alas an inilah, stenosis segmental berkecenderungan
meningkatkan derajat plasma renin disertai dengan hipertensi yang
meningkat dan berat.3
D. MANIFESTASI KLINIK
Tanda dari hipertensi renovaskular adalah terjadinya peningkatan
tekanan darah yang tidak dapat dikontrol dengan terapi hipertensi
umumnya. Perlu dipikirkan pada anak-anak, remaja, wanita muda, dan
pria yang menderita aterosklerosis kemungkinan adanya penyakit oklusi
arteri renalis bila mereka menderita hipertensi.1
Kejadian hipertensi yang tiba-tiba, sering pada umur 35 tahun atau
setelah 55 tahun, dengan tidak terdapatnya riwayat keluarga dan keadaan
hipertensi yang lebih buruk diikuti dengan rasa sakit pada bahu, dan
adanya peningkatan atau hipertensi maligna pada umur berapa saja.5
Gambaran fisik bisa terdapat pada pasien koartasio aorta yang
ditunjukkan dengan adanya pengurangan pulsasi arteri femoralis dan
mungkin terdapat bruit pada aorta torakalis atau aorta abdominalis.
Koartasio aorta adalah penyempitan aorta kongenital yang terjadi di

proximal atau distal dari duktus arteriosus. Keadaan ini merupakan


penyebab tersering hipertensi bayi atau anak. Bruit pada ginjal sering
terdapat pada pasien dengan penyakit oklusi renovaskular, tetapi karena
obesitas agak sukar didengar. Harus diingat bahwa bruit juga dapat berasal
dari arteri yang lain dan dapat membingungkan, terutama pada pasien
aterosklerotik. Auskultasi pada punggung di sudut kostovertebralis
kadangkadang dapat menolong menemukan bruit. 1
Menurut Sabiston, bruit abdominal yang terdapat pada epigastrium
atau kuadran atas merupakan gambaran diagnostik yang penting. Keadaan
ini dapat ditemukan sekitar 50 80 % dengan hipertensi renovaskular,
dimana pada pasien dengan hipertensi esensial hanya terdapat 5%.
Sedangkan menurut Franklin bruit pada panggul atau abdomen atas
ditemukan hampir 49% pada pasien yang menderita hipertensi
renovaskular dan hanya 10% ditemukan pada pasien dengan hipertensi
esensial. Namun meskipun bruit tersebut ditemukan hampir lima kali lebih
sering pada hipertensi renovaskular, diagnosisnya sangat terbatas untuk
membedakannya dengan hipertensi esensial. Mengukur tekanan darah
pada kedua sisi lengan sangat dianjurkan bila diduga ada kenaikan tekanan
darah. Pemeriksaan laboratorium rutin terutama ditujukan untuk gangguan
elektrolit, khususnya adenoma glandula suprarenalis yang memproduksi
aldosteron. Penderita hipertensi yang sering diobati dengan diuretik sering
mengalami gangguan ketidakseimbangan elektrolit.3
E. DIAGNOSIS
Pemeriksaan yang diperlukan adalah urinalisis dengan kultur, serum
kreatinin, serum potasium, aktivitas plasma renin, rontgen thorax,
elektrokardiografi. 12
Test dasar
Pemeriksaan

laboratorium

dengan

dugaan

adanya

hipertensi

renovaskular harus dimulai dengan test dasar yang berhubungan dengan


kesehatan umum, yaitu : hitung darah yang lengkap, serum elektrolit dan

gula darah puasa, nitrogen urea dan serum kreatinin, urinalisa dan kultur
urin, serta EKG.14
Pielografi intravena
Pielogram intravena bukan merupakan ujitapisan yang baik untuk
pasien dengan dugaan hipertensi renovaskular. Akurasinya kurang untuk
pasien anak-anak dan orang dewasa dengan aterosklerotik. Terdapat 75%
negative palsu pada anak-anak dan 20 28 % negative palsu pada orang
dewasa dengan aterosklerotik.14
Aktivitas renin plasma
Aktivitas renin plasma akan meningkat pada 80% pasien yang
menderita hipertensi renovaskular. Namun, 15% pasien dengan hipertensi
esensial juga memiliki renin yang meningkat, namun lebih rendah dari
hipertensi renovaskular. 14
Dengan mengukur aktivitas renin plasma membantu untuk pemisahan
pasien-pasien yang mekanisma humoralnya terlibat dengan sistem reninangiotensin-aldosteron

yang

sering

berkaitan

dengan

hipertensi

renovaskular. Nilai aktivitas renin plasma membantu untuk menentukan


pasien mana yang perlu dioperasi.5
Adanya peningkatan aktivitas renin plasma pada vena perifer dengan
diet sodium normal dan tanpa pemberian obat diuretik dan adanya
hipertensi maligna sangat menunjukkan adanya stenosis arteri renalis.5
Tes kemampuan kaptopril
Tes kemampuan captopril didasarkan atas respon berlebihan renin pada
penderita stenosis arteri renalis. Aktivitas renin plasma diukur sebelum dan
60 menit setelah pemberian kaptopril (penghambat enzim konverting)
dosis 25 mg secara oral. Pada hipertensi dengan kebergantungan terhadap
renin, akan terdapat penghambatan terhadap enzim konverting.14
Tonus arteriola afferen terutama di atur oleh pemasukan kalsium yang
terdapat dalam sel otot polos dan dihambat oleh penghambat terowongan
kasium (nifedipin dan verapamil).7
Urografi intravena

Kriteria positif bila terdapat keadaan di bawah ini pada ginjal:5


(1). Kontras mediumnya muncul terlambat, diikuti oleh gambaran
paradoks dari system pielokalikses. Test ini dapat juga digunakan untuk
menentukan ada tidaknya penyakit ginjal parenkim primer.
(2). Ginjal mengecil lebih dari 1,5 cm.
Urogram mempunyai batasan diagnostik yang penting dalam mendeteksi
lesi segmental atau cabang arteri, penyakit arteri renalis bilateral, dan
penyakit parenkim ginjal bilateral yang tidak sama beratnya, serta pada
anomaly tertentu dari ginjal kongenital .
Radioisotop renografi
Adanya teknik baru noninvasif yaitu dengan menggunakan kamera
Anger dan rapidsequence scintillation studies dapat memberikan harapan
lebih besar untuk menegakkan diagnosis dimasa mendatang.5
Scan ginjal radioisotop membantu ahli bedah untuk mengevaluasi
aliran darah ginjal. Kebanyakan skan ginjal bergantung kepada fungsi
ginjal. Kemampuan untuk membedakan penyakit oklusi arteri renalis
primer dan penyakit intraparenkim difus pada skan ginjal sulit. Oleh
karena alasan ini skan ginjal tidak sering digunakan sebagai pemeriksaan
rutin pada pasien dengan penyakit oklusi arteri renalis.1
Pemeriksaan skintigrafi penghambat ACE positif menunjukkan adanya
hipertensi

renovaskular

dan

tampak

perubahan

hemodinamika

menunjukkan adanya stenosis arteri renalis (lebih besar 60-75% lumen).


Pemeriksaan kaptopril positif sebagai petunjuk kuat perbaikan operasi
pada hipertensi renovaskular.7
Arteriografi ginjal
Untuk mengetahui lokasi anatomi dari lesi arteri renalis digunakan
arteriografi ginjal. Pemeriksaan ini terutama ditujukan bagi pasien
hipertensi renovaskular yang akan dilakukan tindakan operasi. Arteriografi
masih merupakan metoda diagnostik yang paling akurat terhadap penyakit
pembuluh darah oklusi yang melibatkan ginjal. Tehnik transfemoral
retrograd per kutaneus cukup baik, dan tampak flush arteriografi yang

berhubungan dengan injeksi kontras arteri renalis spesifik menambah


jelasnya gambaran arteri secara rinci.5
Pemeriksaan fungsi ginjal
Sebagai tambahan untuk mengetahui kelainan anatomi, maka
pemeriksaan fungsi ginjal juga diperlukan. Sayangnya, evaluasi fungsi
total ginjal sering gagal untuk menunjukkan lesi anatomik yang
mengakibatkan hipertensi.5
Biopsi ginjal
Biopsi ginjal perkutaneus kadang-kadang dapat menolong pada
evaluasi preoperative pasien dengan penyakit oklusi arteri renalis.1
Ultrasound duplex
Arteriografi merupakan standart utama untuk mendiagnosis stenosis
arteri renalis. Namun ada penelitian yang meneliti tentang kegunaan
duplex

ultrasound scanning, yaitu

pemeriksaan

noninvasif yang

mengkombinasikan visualisasi langsung arteri (Bmode imaging) dengan


pengukuran faktorfaktor hemodinamik pada arteri utama dan ginjal
(Doppler imaging).2
Dari penelitian terhadap 102 penderita yang berhubungan dengan
hipertensi yang sulit dikontrol, penyakit vaskular perifer, atau azotemia
yang tidak jelas dengan melalui pemeriksaan arteriografi dan ultrasound
duplex, maka didapat hasil yang menunjukkan bahwa sensitifitas dan
spesifitas dari scanning ultrasound duplex adalah 98 % dibandingkan
dengan arteriografi. Namun walaupun pemeriksaan dengan ultrasound
duplex akurasinya cukup tinggi, pemeriksaan noninvasive ini memiliki
teknik

yang

sulit

dan

membutuhkan

pemeriksa

yang

sudah

berpengalaman.2
F. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi utama manajemen hipertensi renovaskular ditujukan untuk:
1.
2.

mencegah komplikasi hipertensi dengan mengontrol tekanan darah,


mencegah progresifitas stenosis arteri renalis yang dapat
menyebabkan kehilangan fungsi ginjal dan

3.

memulihkan fungsi ginjal dengan mengkoreksi stenosis arteri renalis


yang berat.
Terapi medis dengan obat-obat anti-hipertensi dapat mengontrol

hipertensi tetapi tidak berefek pada progresifitas lesi tersebut. Oleh karena
itu, pendekatan konservatif umum dari manajemen medis bukan
merupakan pilihan utama; setiap kasus harus dicari penyebabnya untuk
menentukan tindakan angioplasti atau operasi.3
Terapi medis
Terapi medis untuk hipertensi renovaskular pada tahun 1960-an
dengan menggunakan obat-obat seperti diuretik, hidralasin, guanetidin,
dan metildopa. Kontrol tekanan darah yang baik dilaporkan sebanyak 3545% pasien.
Dengan munculnya obat beta blocker pada tahun 1970-an,
digunakan bersama dengan diuretik dan vasodilator sebagai triple terapi,
frekuensi kesuksesan mencapai 50-80%. Kemudian ACE inhibitor
diperkenalkan tahun 1980-an, kaptopril (dosis inisial 25 mg dua kali
sehari, dapat ditingkatkan 50 mg dua kali sehari) dan enalapril (dosis
inisial 5 mg/hari, dapat ditingkatkan 40 mg/hari), digunakan bersama
dengan diuretik, kontrol yang sukses terhadap hipertensi dilaporkan
sebanyak 85-95% dari pasien hipertensi renovaskular.3
Penghambat ACE,

Dapat digunakan sebagai alat bantu

menegakkan diagnosis dan terapi pasien hipertensi renal. Kaptopril dosis


tunggal merupakan tes penapisan yang terbaik untuk menentukan adanya
hipertensi renal. Respon dari penghambat ACE terhadap kenaikan
tekanan darah sesuai dengan aktivitas renin plasma, respon ini lebih besar
pada hipertensi renovaskuler dibandingkan dengan hipertensi esensial.
Penderita dengan stenosis bilateral juga menunjukkan penurunan tekanan
darah seperti pada stenosis unilateral,
Hal ini dipikirkan karena efek angiotensin II pada pembuluh darah
efferent ginjal, dimana GFR harus dipertahankan meskipun terjadi
penurunan tekanan darah. Sejumlah bukti menunjukkan gangguan akibat

pasca iskemik yang berlangsung lama (2 minggu) kurang berespon


terhadap tes ini dibandingkan dengan keadaan akut reversibilitas
Pada pasien dengan ginjal yang normal penghambat ACE akan
meningkatkan aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerorus, penderita
dengan stenosis bilateral atau dengan stenosis arteri ginjal yang unilateral,
pengobatan dengan penghambat ACE mungkin dapat menyebabkan
kenaikan yang dramatis serum kretinin dan urea nitrogen darah (BUN),
bahkan kadang-kadang dapat menyebabkan gagal ginjal yang akut.
Antagonis

Kalsium,

antagonis

kalsium

berbeda

dengan

vasodilator yang lain, dalam hal penurunan tekanan darah akan


menyebabkan kenaikan GFR, ia juga merupakan suatu vasodilator yang
berefek pada arteriol afferent. Pada pasien hipertensi renovaskuler obat ini
tidak akan menyebabkan gangguan fungsi seperti pada penghambat ACE.
Klonidin, pemberian klonidin dapat menyebabkan penurunan
tekanan darah secara mendadak pada pasien hipertensi renovaskuler,
klonidin juga tidak menurunkan aktivitas renin plasma yang biasanya
disertai kenaikan norepineprin yang rendah.
Beta Bloker, juga efektif dalam menurunkan tekanan darah karena
kerjanya menghambat sekresi renin, tetapi resiko terjadinya penurunan laju
filtrasi glomerulus pada ginjal stenotik tetap terjadi.
Diuretik dapat digunakan pada hipertensi yang resisten tetapi pada
umumnya tidak terlalu efektif.
Tindakan operatif
Terapi operasi efektif untuk penyakit oklusi arteri renalis
dimaksudkan untuk mengurangi tekanan darah dalam jangka panjang.
Hampir 4550% pasien dengan hipertensi renovaskular aterosklerosis
dapat disembuhkan dengan tindakan pembedahan revaskularisasi, 2535%
dapat diperbaiki, sedangkan 2535% pasien tersebut sebenarnya tidak
terjadi perubahan pada hipertensinya. Pada pasien dengan displasia
fibromuskular, tindakan pembedahan umumnya berhasil lebih baik dengan
tingkat kesembuhan 5070% dan kegagalan 510%. Mortalitas untuk

penyakit aterosklerotik berkisar 25% sedangkan displasia fibromuskular


13 %. Mortalitas untuk keseluruhan berkisar 510 %.5
Tindakan pembedahan dan angioplasti merupakan tindakan yang
sering dilaksanakan untuk revaskularisasi ginjal yang iskhemik, namun
bila tindakan ini tidak berhasil atau tidak dapat dilaksanakan maka
pengobatan dengan medikamentosa harus dilaksanakan, ada dua hal yang
perlu diperhatikan dalam pengobatan medikamentosa yaitu memperlambat
progesivitas arteri renalis dan untuk mengurangi efek hemodinamik dari
tekanan darah pada fungsi ginjal.
Pemilihan pasien untuk tindakan pembedahan bergantung dari
penentuan bahwa hipertensi yang terjadi oleh karena sebab langsung dari
lesi arteri renalis. Di samping itu juga perlu dipertimbangkan umur dan
keadaan umum pasien, riwayat penyakit, kemungkinan perbaikan
pembuluh darahnya dibandingkan nefrektomi, perbandingan kontrol
hipertensi dengan obat-obat antihipertensi, dan mortalitas pembedahan.
Sebagai contoh, pasien yang telah tua dengan lesi atherosklerotik memiliki
mortalitas pembedahan lebih tinggi. Sebaliknya, pasien muda dengan lesi
fibromaskular sangat ideal untuk dilakukan pembedahan.5
Angioplasti lebih berhasil dilakukan pada pasien:3
Displasia

fibrosa

dibandingkan

dengan

penyakit

atherosklerosis. 3.

Pembuluhpembuluh darah yang hanya dengan satu atau dua stenosis


pendek. Pada stenosis komplit di dalam arteri renalis daripada lesi yang
melibatkan dinding aorta atau orifisium arteri renalis.
G. ACE INHIBITOR
ACE inhibitor memiliki mekanisme aksi menghambat sistem reninangiotensin-aldosteron dengan menghambat perubahan Angiotensin I
menjadi

Angiotensin

II

sehingga

menyebabkan

vasodilatasi

dan

mengurangi retensi sodium dengan mengurangi sekresi aldosteron. Oleh


karena ACE juga terlibat dalam degradasi bradikinin maka ACE inhibitor
menyebabkan peningkatan bradikinin, suatu vasodilator kuat dan
menstimulus pelepasan prostaglandin dan nitric oxide. Peningkatan

bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACE


inhibitor, tetapi juga bertanggungjawab terhadap efek samping berupa
batuk kering. ACE inhibitor mengurangi mortalitas hampir 20% pada
pasien dengan gagal jantung yang simtomatik dan telah terbukti mencegah
pasien harus dirawat di rumah sakit (hospitalization), meningkatkan
ketahanan tubuh dalam beraktivitas, dan mengurangi gejala.
ACE inhibitor harus diberikan pertama kali dalam dosis yang
rendah untuk menghindari resiko hipotensi dan ketidakmampuan ginjal.
Fungsi ginjal dan serum potassium harus diawasi dalam 1-2 minggu
setelah terapi dilaksanakan terutama setelah dilakukan peningkatan dosis.
Salah satu obat yang tergolong dalam ACE inhibitor adalah Captopril yang
merupakan ACE inhibitor pertama yang digunakan secara klinis.
Indikasi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Hipertensi esensial (ringan sampai sedang) dan hipertensi yang parah.


Hipertensi berkaitan dengan gangguan ginjal (renal hypertension).
Diabetic nephropathy dan albuminuria.
Gagal jantung (Congestive Heart Failure).
Postmyocardial infarction
Terapi pada krisis scleroderma renal.

Kontraindikasi :
1.
2.
3.
4.

Hipersensitif terhadap ACE inhibitor.


Kehamilan.
Wanita menyusui.
Angioneurotic edema yang berkaitan dengan penggunaan ACE

inhibitor sebelumnya.
5. Penyempitan arteri pada salah satu atau kedua ginjal.
Bentuk sediaan : Tablet, Tablet salut selaput, Kaplet, Kaplet salut
selaput.
Efek samping :
1.

Batuk kering

6.

Angioedema

2.

Hipotensi

7.

Ruam kulit

3.

Pusing

8.

Takikardi

4.

Disfungsi ginjal

9.

Proteinuria

5.

Hiperkalemia

Resiko khusus :
1.

Wanita hamil.
Captopril tidak disarankan untuk digunakan pada wanita yang sedang
hamil karena dapat menembus plasenta dan dapat mengakibatkan
teratogenik. Hal ini juga dapat menyebabkan kematian janin.
Morbiditas fetal berkaitan dengan penggunaan ACE inhibitor pada
seluruh masa trisemester kehamilan. Captopril beresiko pada
kehamilan yaitu pada level C (semester pertama) dan D (semester
kedua dan ketiga).

2.

Wanita menyusui.
Captopril tidak direkomendasikan untuk wanita yang sedang
menyusui karena bentuk awal captopril dapat menembus masuk dalam
ASI sekitar 1% dari konsentrasi plasma. Akan tetapi tidak diketahui
apakah metabolit dari captopril juga dapat menembus masuk dalam
ASI.

3.

Penyakit ginjal.
Penggunaan captopril (ACE inhibitor) pada pasien dengan gangguan
ginjal akan memperparah kerusakan ginjal karena hampir 85%
diekskresikan lewat ginjal (hampir 45% dalam bentuk yang tidak
berubah) sehingga akan memperparah kerja ginjal dan meningkatkan
resiko neutropenia. Apabila captopril digunakan pada pasien dengan
gangguan ginjal maka perlu dilakukan penyesuaian dosis dimana
berfungsi untuk menurunkan klirens kreatininnya.11

H. PEMILIHAN TERAPI
Kontroversi antara terapi medis dengan terapi operasi terus
berlanjut. Obat baru untuk terapi hipertensi renovaskular bukan tanpa ada
kekurangan. ACE inhibitor seperti kaptopril telah memberikan harapan
bagi pasien hipertensi renovaskular. Ini mungkin untuk beberapa pasien,
namun ada masalah dengan pasien yang disertai dengan membrane
glomerulopati yang mendapat pengobatan jangka lama. Protein uria dan

kerusakan ginjal irreversibel dapat saja muncul oleh karena menggunakan


obat ini.1
Pada umumnya angioplasti perlu dilakukan sebagai prosedur inisial
pada seluruh pasien hipertensi renovaskular bila stenosis mencapai 70%
atau lebih. Pendekatan ini berguna untuk menjaga fungsi ginjal. Tindakan
operasi merupakan pilihan utama bila terdapat lesi ostium predominan, lesi
oklusif total, dan penyakit aorta iliaka yang berat. Oleh karena tindakan
operasi beresiko besar, pengamatan rasio renin vena ginjal perlu dilakukan.
Bila terdapat stenosis arteri renalis bilateral derajat tinggi, atau ginjal
tunggal, angioplasty merupakan pilihan pertama, kemudian baru diikuti
operasi jika angioplasti gagal. Akhirnya, terapi medikal merupakan pilihan
bagi pasien dengan lesi ekstensif segmental dan atau bilateral yang tidak
dapat dilakukan tindakan operasi dan dilatasi, pada pasien yang menolak
prosedur invasif dan pada pasien yang tidak terlalu beresiko untuk operasi
namun memiliki lesi arteri yang tidak dapat dilakukan dilatasi.3

BAB III
PEMBAHASAN
Efek terbesar dari ACE inhibitor adalah hubungannya dengan patofisiologi
hipertensi renovaskular. Respon penekanan cepat dari obat ini adalah
berhubungan langsung dengan penanganan aktivitas plasma renin. Pada pasien
dengan stenosis arteri renalis bilateral yang berat, kontrol yang efektif terhadap
tekanan darah menyebabkan progresifitas yang lamban pada fungsi ginjal dengan

menurunkan tekanan perfusi. Kegagalan ginjal akut reversibel telah dila-porkan


setelah penanganan dengan inhibitor enzim converting pada pasien dengan
stenosis arteri renalis bilateral, stenosis unilateral dengan disfungsi ginjal
kontralateral, atau ginjal tunggal dengan stenosis arteri renalis. Kegagalan ginjal
dapat terjadi terutama bila tidak ada penurunan tekanan darah yang bermakna
dengan ACE inhibitor. 3
ACE inhibitor menyebabkan dilatasi arteriola efferen melalui bloking
angiotensin II dengan menyebabkan penurunan tekanan perfusi glomerulus dan
filtrasi glomerulus. Penggunaan bersama dengan antidiuretik, meningkatkan
ketergantungan peningkatan angiotensin II dan mungkin mempengaruhi aliran
plasma ginjal, yang memainkan peran utama terhadap kerusakan fungsi ginjal.3
Disfungsi renal yang diinduksi oleh ACE inhibitor merupakan dasar
terjadinya stenosis arteri renalis bilateral, tetapi hubungan ini belum diteliti lebih
lanjut. Dari penelitian terhadap 108 penderita hipertensi dengan resiko tinggi
terhadap stenosis arteri renalis (misal: penyakit vaskular, peningkatan creatinin,
penderita hipertensi yang kurang memberi respon terhadap terapi bermacammacam obat), menunjukkan bahwa kreatinin yang stabil selama terapi dengan
ACE inhibitor biasanya mengakibatkan terjadinya resiko stenosis arteri renalis
bilateral yang berat.
Namun, peningkatan kreatinin bukan merupakan faktor yang spesifik untuk
stenosis arteri renalis bilateral. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perlu
dilakukan monitor secara cermat terhadap fungsi ginjal setelah memulai terapi
dengan penghambat enzim konverting pada pasien yang beresiko tinggi terkena
penyakit renovaskular.4
ACE inhibitor mungkin dapat memperbaiki pasien dengan nefropati iskemi
yang berkaitan dengan penyakit renovaskular bilateral, tetapi penelitian lebih
lanjut akan validitas diagnostic ini belum ada. Dari penelitian pada 108 penderita
dengan resiko aterosklerosis pada penderita penyakit renovaskular yang berat dan
dibandingkan dengan pemeriksaan angiografi, maka ditemukan bahwa tidak
terjadi kegagalan ginjal akut pada penelitian ini dan kreatinin plasma selalu
ditemukan kembali normal setelah pemakaian penghambat enzim converting

diberhentikan. Oleh karena itu peningkatan kreatinin plasma yang diinduksi oleh
penghambat enzim konverting merupakan alat yang sangat sensitif terhadap
penyakit renovaskular bilateral pada kelompok yang beresiko tinggi.2
Sebagai kesimpulannya, terapi dengan obat tidak dapat memperbaiki
stenosis arteri renalis yang sudah ada, meskipun control tekanan darah baik.
Sebanyak 40-45 % kasus, stenosis arteri renalis yang progresif dapat merusak
fungsi ginjal pada ginjal yang bersangkutan. Sesungguhnya, ginjal dengan
stenosis derajat tinggi, efektif kontrol tekanan darah dengan obat dapat
menurunkan tekanan perfusi, ikut menyebabkan iskemi lebih lanjut dan
menyebabkan kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Dengan menggunakan obat
antihipertensi secara teratur, kontrol tekanan darah menjadi baik berkisar 85 95
% pada pasien dengan hipertensi renovaskular. Kegagalan pengobatan
dimungkinkan karena adanya stenosis derajat tinggi dengan produksi renin yang
meningkat atau stenosis arteri renalis bilateral yang berat dengan terdapatnya
retensi garam dan air. Oleh karena bisa terjadi progresifitas stenosis arteri renalis,
maka perlu dilakukan monitor fungsi ginjal pada pasien yang mendapat terapi
dengan obat. Ini vital karena tekanan darah dapat terus terkontrol dengan baik
dengan obat dan menyingkirkan kehilangan fungsi ginjal secara progresif. Lebih
dari itu, serum kreatinin atau kreatinin kliren tidak berubah pada stenosis arteri
renalis unilateral oleh karena adanya efek sebaliknya dari fungsi ginjal
kontralateral yang tanpa stenosis arteri renalis. Oleh karena itu, baik klirens
kreatinin (beberapa kali per tahun) maupun ukuran ginjal (sekali setahun)
merupakan tanda yang penting untuk diamati. Ukuran ginjal dapat diperiksa
dengan tomografi, sonografi, atau skanning.3
Sebagai pembanding kita dapat melihat bahwa amlodipine dapat
mengurangi resistensi vaskular pada penderita hipertensi esensial, dan menaikkan
aliran darah ginjal. Amlodipine juga meningkatkan laju filtrasi glomerulus dengan
mengurangi jumlah kreatinin serum sedangkan ekskresi mikroalbumin pada urine
tidak

berkurang

atau

tidak

berubah.

Kemampuan

amlodipine

untuk

mempertahankan aliran darah ginjal pada saat tekanan diastolik dan sistolik turun,
kemungkinan disebabkan oleh 2 faktor: yaitu efek dilatasi pada arteri renalis,

disertai dengan adanya efek vasokonstriksi, termasuk angiotensin II dan juga


endothelin-1. Penderita yang mengalami ateroskleoris pada arteri renalis juga
dapat diterapi dengan amlodipine, karena amlodipine mempengaruhi ratio
HDL/LDL dan menstabilkan membran plasma.9

BAB IV
KESIMPULAN
Terdapat dua prototipe pasien dengan hipertensi renovaskular. Pertama, terdapat
hipertensi renovaskular karena hiperplasia fibromuskular pada wanita berumur
sekitar 25 tahun dengan lama hipertensi enam bulan, terdapat keluhan sakit
kepala, tekanan darah 180/110 mmHg, funduskopi grade I Keith-Wagner, dan

bruit epigastrium. Sebaliknya, prototipe yang lain adalah terdapat pada pria
berusia sekitar 65 tahun dengan penyakit aterosklerotik renovaskular yang
memiliki tensi normal atau hipertensi ringan selama beberapa bulan yang
kemudian meningkat sampai 240/130 mmHg, funduskopi grade II atau kadangkadang grade III atau IV Keith-Wagner, kardiomegali, dan azotemia. Bruit
abdominal bisa ada, bisa tidak. Umumnya gambaran klinis hipertensi
renovaskular tidak jelas dipisahkan dari hipertensi esensial. Pemilihan terapi yang
cocok untuk pasien hipertensi renalis bergantung dari derajat berat ringannya
gangguan anatomis arteri renalis yang terkena. Pada umumnya ada tiga pilihan
terapi: (i) Terapi medis dengan pemberian obat anti hipertensi khususnya
golongan ACE inhibitor; (ii) angioplasti renalis transluminal per kutaneus; dan
(iii) tindakan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Fry WJ, Fry RE. Surgically correctable hypertension. In : Schwartz, Shires,


Spencer. editors. Principle of surgery. 5th ed. New York: McGraw-Hill
Information Services Company;1989. p. 1041 59.

2.

Van de Ven PJG, Beutler JJ, Kaatee R, Beek FJ, Mah WP, Koomans HA.
Angiotensin converting enzyme inhibitor-induced renal dysfunction in
atherosclerotic renovacsular disease. Kidney Int 1998;53 : 986-93.

3.

Brett AS. The Captopril test for diagnosis renovascular hypertension, Journal
Watch,

27

March

1990.

Available

from

URL:

http://www.jwatch.org/gm/current.shtml.
4.

Franklin SS. Renovascular. In: Shaul GM, Richard JG. Textbook of


nephrology Vol.2, 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1988. pp.1081 9.

5. Gunnels JC,Sabiston DC. The surgical management of renovascular


hypertension. In: Davis- Christopher. Textbook of surgery. 11th ed.
Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1981. p. 2001 8.
6.

Ramsey LE, Waller PC. Blood pressure response to percutaneous


transluminal angioplasty for renovascular hypertension: an overview of
published series. Br Med J 1990;300: 569-72.

7.

Mc Biles, Williams SC. Renovascular hypertension. J Nucl Med 1995: 6.

8.

Olin JW, Piedmonte MR, Young JR, De Anna S, Grubb M, Childs MB. The
utility of duplex ultrasound scanning of the renal arteries for diagnosing
significant renal artery stenosis. Ann Intern Med 1995;122 : 833-8.

9.

Nayler WG. Amlodipine: an overview. Clinical drug investigation;1997:l3


( Suppl.1) :1-9.

10. Piestley JT. The kidneys, ureters, and suprarenal glands. In: Hollinshead WH.
Editor. Anatomy for surgeon.Vol.2.A Tokyo: John Weatherhill Inc.; 1966. p.
533-81.
11. Dollery, C., 1999, Therapeutic Drugs, 2nd Edition, volume 1 (A-H), C38-C42,
Churchill Livingstone, USA.
12. Romanes GJ. The Kidneys. In Cunninghams Manual of Practical Anatomy.
Vol. 2. 14th ed. Oxford: University Press; 1977.p. 143 7.
13. Rogers AW. The kidneys and ureters. In : Textbook of anatomy. 1st ed. New
York: Churchill Livingstone; 1992.p. 632 3.
14. Sosa RE, Vaughan, ED. Renovascular hypertension. In : Smiths general
urology, 14th ed. Lange medical Book, Prenctice-Hall International Inc.;
1995.p.728 36.
15. Tanagho EA. Anatomy in the genitourinary tract. In : Smiths general urology.
14th ed. Lange Medical Book, Prentice-Hall International Inc.; 1995.p. 1- 3.

Anda mungkin juga menyukai