Anda di halaman 1dari 9

Definisi Guillain Barre syndrome

Sindrome Guillain-Bare (Guillain-Bare Syndrome-GBS) merupakan sidrome klinis yang


ditunjukkan oleh onset (awitan) akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf tepi dan kranial.
Proses penyakit mencakup demielinisasi dari degenerasi selaput mielin dari saraf tepi dan kranial
(Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 1995).
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas
tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis. Penyakit ini
merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan
saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf
motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom, maupun susunan saraf pusat.
GBS merupakan sindrome klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang menyangkut saraf tepi
dan kranial (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G., 2002).
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory Idiopathic
Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan
menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang
didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh
menyerang sel saraf.
B.

Etiologi

Etiologi dari GBS sendiri belum diketahui pasti, tetapi respon alergi dan respon autoimun sangat
mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa sindrome tersebut berasal dari virus.
Tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sejauh ini. GBS paling banyak ditimbulkan oleh
adanya infeksi (Pernapasan dan Gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan
penurunan neurologis.
Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS, merupakan suatu penyakit autoimun oleh karena
adanya antibody antimyelin yang biasannya didahului dengan faktor pencetus. Dan etiologinya
diduga disebabkan karena:
1. Infeksi : Misal Radang Tenggorokan atau Radang lainnya
2. Infeksi virus : Measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster,
Infections Mono Nucleosis (Vaccinia, Variola, Hepatitis Inf, Coxakie)
3. Vaksin : Rabies, swine flu
4. Infeksi yang lain : Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa, Brucellosis,
Campylobacter Jejuni

5. Keganasan : Hodgkins Disease, Carcinoma, Lymphoma


Pada dasarnya Guillain Barre adalah Self Limited atau bisa tumbuh dengan sendirinya. Namun
sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini
penderita memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya.
C. Tanda dan Gejala Klinis
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya
gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari.
Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Gejala Klinis antara lain:
1.Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone.
Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian
menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang
juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf
kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia.
Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat
juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal .
2.Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan
distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi
seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada
sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas
fisik.
3.Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering
dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat
antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi
akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan
berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan
karena paralisis n. laringeus.
4.Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus
takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau
hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin
atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari
satu atau dua minggu.

5.Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak
ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
6.Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga
karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi
arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
Perjalanan penyakit
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase yaitu:
1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan
bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai
4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
2. Fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa
pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7
minggu.
3. Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan.
Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
D.

Insiden

GBS tersebar diseluruh dunia terutama di Negara-Negara berkembang dan merupakan penyebab
tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan bisa meningkat
pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai pada laki-laki dari pada perempuan.
Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50%
kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas. Selain yang disebutkan diatas
penyakit ini dapat pula timbul oleh karena infeksi Cytomegalovirus, Epster-Barr Virus,
Enterovirus, Mycoplasmadan dapat pula oleh post imunisasi. Akhir-akhir ini disebutkan bahwa
Campylobacter Jejuni dapat menimbulkan GBS dengan manifestasi klinis lebih berat dari yang
lain.
Guillain Bare syndrome termasuk dalam penyakit Poliradikulo Neuropati dan untuk
membedakannya berdasarkan lama terjadinya penyakit dan progresifitas penyakit yaitu:
1. Guillain Barre Syndrome (GBS)

Fase progresif sampai 4 minggu

1. Subakut Idiopathic Polyradiculo Neuropathy (SIDP)

Fase progresif dari 4-8 minggu

Gejala klinis :

1. Terutama motorik
2. Relative ringan tanpa : gagal pernapasan, gangguan otonomik yang jelas

Neurofisiologi : demyelinisasi

Biopsi : Demyelinisasi~makrofag

1. Cronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculo Neuropathy (CIDP)

Fase progresif > 12 minggu

Dibagi dalam 2 bentuk

1. Idiopathic CIDP (CIDP 1)


2. CIDP MGUS (monoclonal gammopathy uncertain significance)
E.

Patofisiologi

Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson tidak bermielin.
Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput (nodus Ranvier) tempat
kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan ekstraseluler. Membran sangat
permeable pada nodus tersebut sehingga konduksi menjadi baik.
Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak pada nodus Ranvier
sehingga impuls saraf sepnjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain
(konduksi salitatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput mielin pada GBS membuat
konduksi saltatori tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf batalkan.Paralisis lengkap,
otot pernapasan terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan
F.

Kriteria Diagnosis

Gambaran yang diperlukan untuk diagnoseKelemahan motorik secara progresif pada kedua
lengan atau kedua tungkai
1. Arefleksia; hilangnya refleks tendo yang biasanya menyeluruh

2. Gambaran yang menyokong diagnose


1. Progresifitas gejala dari beberapa hari sampai 4 minggu
2. Relatif simetris
3. Keluhan dan gejala sensibilitas ringan
4. Saraf otak terkena; hampir 50% N.VII terkena dan sering bilateral. Saraf otak
lainnya juga dapat terkena terutama saraf untuk lidah dan menelan.
5. Penyembuhan dimulai dari 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
penyembuhan umumnya fungsionil dapat kembali
6. Gangguan otonom; takikardia dan aritmia jantung, hipotensi
7. Afebril pada saat onset
8. Tingginya kadar protein dalam LCS tetapi kurang dari 10 x 106/L
9. Variasi gambaran elektrodiagnostik
3. Gambaran yang tidak menyokong diagnose
10. Terdapat riwayat infeksi diphteri disertai atau tanpa miokarditis dalam waktu
hampir bersamaan
11. Gambaran klinis yang sesuai dengan keracunan timah hitam atau lead neuropathy
(kelumpuhan lengan dengan wrist drop, asimetris)
12. Hilangnya sensasi yang murni tanpa adanya kelumpuhan
G.

Diagnosis Banding
1. Poliomielitis
2. Mielitis Akut
3. Neuropati Akut (diphteri, porfiria, intoksikasi obat)
4. Hipokalemia

H.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

2. LED; umumnya normal atau sedikit meningkat


3. Leukosit; umumnya dalam batas normal
4. Hemoglobin; normal
5. Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke
bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit.
Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah
dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
6. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur
jaringan.Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan
adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus
hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
7. Pemeriksaan cairan Serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein
(100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan
kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein
mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik
dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset.Derajat penyakit tidak
berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm.
1. EKG
1. Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta
sinus takikardia.
2. Gelombang T yang mendatar atau inverted pada lead lateral
3. Peninggian kompleks QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
4. Deviasi sumbu ke kiri
5. Penurunan segmen ST
6. Memanjangnya interval QT
7. Kelainan ini dapat terjadi pada keadaan tekanan darah normal dan tidak ada
hubungannya dengan derajat kelumpuhan.
Pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf (KHS) Dan Elektromiografi (EMG)

Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain
prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau
absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf),blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS.Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang
dari 60% normal.
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi
aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP
dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan
tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase
penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan
penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari
3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
1. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Akan menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
1. Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik
mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang
dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi
wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar
hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral
root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel
mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ
lainnya.
I.

Prognosis

Pada umumnya mempunyai prognosa yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat
meninggal atau mempunyai gejala sisa.
1. 65% penderita mengalami penyembuhan hampir sempurna dengan defisit yang minimal
2. 15% penderita mengalami penyembuhan neurologis yang sempurna
3. 5-10% mempunyai disabilitas yang permanen
4. 5-8% kematian

Prognosa akan semakin buruk bila:

1. Umur > 60 tahun


2. Progresifitas menjadi quadriparesis < 7 hari
3. Membutuhkan bantuan ventilator
Pada sebagian besar penderita anak-anak akan mempunyai gejala sisa bila penyembuhan baru
terjadi setelah 18 hari dan timbul gejala neurologis maksimal.
J. Komplikasi
1. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic
2. Tetraparese oleh karena penyebab lain
3. Hipokalemia
4. Miastenia Gravis
5. adhoc commite of GBS
6. Tick Paralysis
7. Kelumpuhan otot pernafasan
8. Dekubitus
K.

Penatalaksanaan atau Terapi

Dikarenakan etiologi yang belum jelas, sehingga pengobatan biasanya bersifat simptomatis dan
suportif.
1. Terapi Suportif (Umum)
1. Monitor respirasi, bila perlu lakukan trakeostomi
2. Pasang NGT
3. Monitor EKG
4. Fisioterapi aktif menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan fungsi alat
gerak, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan keseimbangan
5. Fisioterapi pasif setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan
otot.

6. Terapi Simptomatis (Khusus)


1. Plasmaphoresis
Pertukaran plasma yang ditujukan untuk membuang antibodi yang rusak. Tindakan ini dipercaya
dapat membebaskan plasma darah dari antibodi yang rusak yang menyerang sistem saraf tepi.
1.Imunoglobulin intravena
Immunoglobulin donor mengandung antibodi yang sehat. Dosis tinggi dapat mengurangi jumlah
antibodi yang sudah rusak.
2.Kortikosteroid
Belum terbukti manfaatnya. Interferon pernah dilaporkan pada beberapa kasus tetapi efisiensi
dan efikasinya belum teruji secara klinis.

Anda mungkin juga menyukai