Anda di halaman 1dari 20

4

BAB II
LANDASAN TEORI
II. Tinjauan Pustaka
II.1

Rokok
II.1.1 Definisi Rokok
Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan
untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok
kretek, rokok putih, cerutu, atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari
tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau
sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa
bahan tambahan (Peraturan Pemerintah RI, 2012).
II.1.2 Jenis Rokok
Terdapat dua tipe jenis rokok, yaitu filter dan non filter. Jenis rokok
filter merupakan rokok yang pada pangkalnya terdapat gabus. Jenis rokok
non filter merupakan rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat
gabus (Yuwon HS, 2010). Rokok filter bertujuan untuk mengurangi
jumlah tar yang dihisap (Hastrup, et al., 2001). Hasil penelitian
Framingham menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara
perokok filter dan non filter berisiko terserang PJK.
Bagi orang yang merokok dapat dikatagorikan menjadi perokok
aktif dan pasif. Perokok aktif ringan adalah orang yang menghisap 1 9
rokok dalam satu hari. Perokok pasif atau bukan perokok adalah orang
yang tidak merokok, menghisap pipa, dan memiliki serum cotinine < 14,1
ng / ml10 (Whincup, et al., 2004). Perokok pasif dapat meningkatkan risiko
terserang penyakit jantung hingga 30% (Goldman dan Schafer, 2011).
II.1.3 Kandungan Rokok
Di dalam asap rokok terdapat lebih dari 4000 zat kimia berbahaya,
salah satunya adalah nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat
karsinogenik. Asap pembakaran rokok juga mengandung gas beracun
seperti karbon monoksida (Peraturan Pemerintah RI, 2012). Beberapa

bahan yang lain seperti 1,3-butadine, acetalehyde, acrolein, chlorinated


dioxines

dan

furans,

m+p+o

cresol,

hydrogen

cyanide,

N-

nitrosonornicotine, N-nitrosodimethylamine, dan N-nitrosopyrrolidine juga


terdapat di dalam sebatang rokok (Fowles, et al., 2003). Tanaman
tembakau diketahui dapat menyerap berbagai macam zat dari tanah dan
menyimpannya dalam jumlah besar di dalam daunnya. Hasil penelitian
Musharraf dkk pada tahun 2012 menyatakan bahwa terdapat berbagai
macam unsur logam di dalam rokok. Beberapa unsur logam tersebut
adalah Fe, Al, Mn, Zn, Cu, Ni, Cr, Pb, Co, As, Se, dan Cd dengan nilai
korelasi untuk masing-masing unsur tersebut adalah 1 > r > 0.999. Kadar
Cadmium (Cd) yang tinggi berhubungan dengan penyakit jantung
(Musharraf, et al., 2012).
II.1.4 Efek Rokok Terhadap Biomarker Darah
Penelitian yang dilakukan oleh Indian Academy of Clinical
medicine pada perokok dan bukan perokok menemukan penurunan kadar
HDL-C serta peningkatan kolestrol total, LDL-C, VLDL-C, dan
trigliserida. LDL-C dan kadar rendah HDL-C dapat meningkatkan risiko
pembentukan plak pada pembuluh darah koroner (Bisanovic, Mehic, dan
Sivic, 2011). Gejala resistensi insulin diduga menyebabkan peningkatan
LDL, trigliserida, dan penurunan HDL pada perokok (Chiolero, Faeh,
Paccaud, dan Cornuz, 2008). Studi cross sectional di Amerika dilakukan
kepada remaja usia 12 19 tahun menyimpulkan gejala resistensi insulin
meningkat pada remaja yang terpapar rokok dengan hasil sebanyak 1,2%
tidak pernah terpapar asap rokok, 5,4% terpapar asap rokok, dan 8,7%
pada remaja yang merokok (Weitzman M, et al., 2005). Sebuah penelitian
lain yang dilakukan pada 3053 pekerja Jepang menunjukkan peningkatan
pada Hb, Ht, dan eritrosit sebesar 1,1 kali serta leukosit sebesar 1,2 kali
lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok
(Kumea, Kumeb, Masuda, Shibuya, dan Yamazaki, 2009).

II.1.5 Efek Rokok Terhadap Pembuluh Darah


Terdapat zat pada serum perokok yang dapat menginduksi reactive
oxygen species (ROS) yang dihasilkan melalui ekspresi NADPH oxidase
dan cyclooxygenase (COX)-2 melalui aktivasi dari jalur p38MAPK/Akt di
dalam sel endotel. Peningkatan ROS juga disebabkan oleh adanya tobacco
smoke extract (TSE). Proses ini menyebabkan stres oksidatif dan
menyebabkan penurunan bioavibilitas dari nitric oxide (NO) pada
vaskular. Selain menyebabkan penurunan NO, efek yang lain adalah
terjadinya peradangan vaskular karena terjadi peningkatan leukosit perifer
sekitar 20% (Ichiki, 2011). NO memiliki fungsi sebagai vasodilator,
antiproliferasi otot polos pembuluh darah, dan antiagregasi trombosit.
Peningkatan ROS dapat mengurangi efek dari NO pada pembuluh darah
(Vasamsetti dan Kotamraju, 2011). Rokok juga dapat menyebabkan
meningkatnya kadar osteopontin terlarut pada darah yang dapat
menyebabkan terjadinya stres oksidatif pada pembuluh darah (Bishop,
Thephilus, dan Fearon, 2012). Peningkatan aktivitas jalur Mitogenactivated protein kinase (MAPK) menyebabkan peningkatan kadar
endotelin-1 (ET-1) pada plasma darah dan peningkatan regulasi reseptor
endotelin-1 (ET-A dan ET-B) terlihat pada tikus percobaan dan manusia
yang terpapar oleh asap rokok. Hal ini dapat menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah karena endotelin merupakan vasokonstriktor yang kuat
(Zhang, Edvinsson, dan Cang, 2010). Selain itu, rokok menyebabkan
terjadinya penurunan pelepasan prostasiklin dari endotel pembuluh darah
arteri (Louise Edvinsson, Andersson, Cang, dan Edvinsson, 2008).
II.1.6 Efek Rokok Terhadap Kesehatan Jantung
Nikotin dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan
menyebabkan tekanan darah meningkat (Fahim, Nemmar, Singh, dan
Hassan, 2011). Satu batang rokok dapat meningkatkan aktivitas trombosit
yang dapat memicu sumbatan pada pembuluh darah jantung (Pamukcu, et
al., 2011). Afinitas karbon monoksida yang 240 kali lebih kuat daripada
oksigen pada hemoglobin dapat menyebabkan otot jantung kekurangan

oksigen sehingga dapat menyebabkan jantung melakukan metabolisme


anaerob sehingga menghasilkan asam laktat yang dapat menstimulasi
ujung saraf otot jantung dan menimbulkan sensasi nyeri (Sherwood,
2008). Perokok mempunyai risiko 2 4 kali lipat untuk terkena PJK dan
risiko lebih tinggi untuk kematian mendadak (Peraturan Pemerintah RI,
2012). Paparan asap rokok pada perokok pasif dapat menyebabkan
kerusakan sel endotel pembuluh darah koroner dan juga meningkatkan
risiko untuk terserang penyakit jantung koroner. Risiko seseorang untuk
menderita penyakit jantung koroner juga meningkat dengan jumlah batang
rokok yang dikonsumsi sehari-hari (Libby, Bonow, Mann, dan Zipes,
2007). Kadar Cd yang tinggi berhubungan dengan penyakit jantung
(Musharraf, et al., 2012). Mekanisme Cd dapat menyebabkan penyakit
jantung masih belum sepenuhnya dipahami tetapi diduga Cd dapat
memicu

terjadinya

aterosklerosis

dan

menginduksi

perubahan

metabolisme pada jantung. Sebuah penelitian dilakukan kepada 471 pasien


gagal jantung dan didapatkan hasil kadar Cd pada penderita gagal jantung
20% lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang sehat (Peters, Perlstein,
Perry, McNeely, dan Weuve, 2012).
Risiko seseorang untuk mengalami penyakit jantung akan
meningkat dengan jumlah batang rokok yang dikonsumsi sehari-hari
(Libby, Bonow, Mann, dan Zipes, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh
Aksoy dkk pada tahun 2012. Penelitian tersebut dilakukan kepada 42
subjek berusia < 35 tahun yang didiagnosis Acute Miokard Infark dan 28
subjek sehat sebagai variabel kontrol. Hasil penelitian menyebutkan
sebanyak 79% pasien merupakan perokok aktif dan berat. Dalam
penelitian ini juga menyatakan kadar Total Oxidant Status (TOS) dan
Oxidatives Stress Index (OSI) pada perokok lebih tinggi dibandingkan
dengan orang yang sehat (Aksoy, et al., 2012).

II.2

Angina Pektoris
II.2.1 Definisi Angina Pektoris
Angina pektoris adalah rasa nyeri atau tidak nyaman pada dada
karena otot jantung kekurangan oksigen (Libby, Bonow, Mann, dan Zipes,
2007).
II.2.2 Anatomi dan Fisiologi Jantung
Jantung terletak di rongga toraks sekitar garis tengah antara
sternum di sebelah anterior dan vertebra di sebelah posterior. Dinding
jantung terdiri dari tiga lapisan berbeda, yaitu endokardium, miokardium,
dan epikardium (Sherwood, 2008). Berat jantung wanita dewasa rata-rata
adalah 255 gram dan pria dewasa sekitar 310 gram.
Otot jantung diperdarahi oleh arteri koronaria kanan dan kiri yang
berasal dari aorta di dekat katup aorta. Kedua pembuluh darah ini
mengelilingi jantung melalui sulkus atrioventrikular. Arteri koronaria kiri
bercabang menjadi arteri anterior interventrikuler yang memperdarahi
kedua ventrikel dan arteri sirkumfleksa yang memperdarahi atrium kiri dan
ventrikel kanan. Arteri koronaria kanan bercabang menjadi arteri
marginalis kanan yang memperdarahi atrium kanan dan ventrikel kanan
serta arteri interventrikuler posterior yang memperdarahi kedua ventrikel.
Jantung dipersarafi oleh saraf simpatis yang berasal dari ganglia simpatis
torakalis dan saraf parasimpatis yang berasal dari saraf vagus. Di dalam
jantung terdapat juga nodus sinoatrial yang dikenal sebagai pacemaker,
nodus atrioventrikular, serabut his, dan serat purkinje. Melalui nodusnodus inilah jantung dapat berdetak secara mandiri tanpa pengaruh dari
saraf pusat. (Van de Graff, 2001).
Fungsi utama jantung adalah mendorong darah agar dapat mengalir
dengan lancar di dalam pembuluh pada sistem sirkulasi ke seluruh tubuh.
Aliran darah pada sistem sirkulasi menghantarkan nutrisi dan oksigen ke
jaringan dan membawa sisa-sisa metabolisme sel di jaringan ke tempat
pembuangan.

Tanpa

(Herman, 2009).

nutrisi

dan

oksigen,

jaringan

akan

mati

Dalam keadaan istirahat, setiap menitnya jantung orang dewasa


harus memompakan darah ke seluruh tubuhnya kira-kira 5 liter dan dapat
bertambah dengan meningkatnya aktivitas (Herman, 2009). Jantung hanya
menerima sekitar 3% dari seluruh total darah yang dipompa untuk
kebutuhan jaringan, untuk memenuhi aktivitasnya (Sherwood, 2008).
II.2.3 Klasifikasi
Canadian Cardiovascular Society (CCS) mengklasifikasikan
angina pektoris dari ringan (kelas I: angina hanya timbul pada saat
aktivitas fisik yang berat atau lama) hingga berat (kelas IV:
ketidakmampuan melakukan aktivitas tanpa angina, atau munculnya
angina pada saat istirahat). CCS mempermudah klinisi membagi angina
pektoris pasien menjadi angina pektoris stabil, CCS kelas I dan kelas II,
dan angina pektoris tak stabil, CCS kelas III dan kelas IV (Goldman dan
Schafer, 2011).
Terdapat sebuah keadaan yang dinamakan angina prinzmetal
dimana keadaan ini berhubungan dengan nyeri pada saat istirahat yang
umumnya terjadi pada pagi hari, terdapatnya ST-Elevasi, spasme arteri
koronaria pada arteriografi, dan membaik dengan pemberian nitroglicerin
(Longo, et al., 2011)
II.2.3.1 Angina Pektoris Stabil
Angina pektoris stabil merupakan sindrom klinis dengan
karakteristik rasa tidak nyaman di dada, rahang, bahu, pungung,
atau lengan, yang biasanya dipicu oleh aktivitas atau stres
emosional dan membaik dengan istirahat atau mengkonsumsi
nitrogliserin (Fox, et al.,2006). Angina pektoris stabil biasanya
disebabkan oleh penyempitan aterosklerotik tetap (biasanya 75%
atau lebih) satu atau lebih arteri koronaria (Kumar, Cotran, dan
Robbins, 2007)

10

II.2.3.2 Angina Pektoris Tidak Stabil


Angina pektoris tak stabil merupakan angina pektoris
dengan satu dari 3 kategori berikut, yaitu: muncul pada saat
istirahat, dan biasanya bertahan > 10 menit, onsetnya baru dan
berat, dan muncul dengan pola crescendo (Longo, et al., 2011).
Didapatkan bahwa terjadi peningkatan Glikoprotein V, subunit
reseptor untuk faktor von Willebrand dan trombin, pada serangan
klinis pasien angina pektoris tidak stabil dengan riwayat merokok
(Atalar, et al., 2005). Angina pektoris tak stabil merupakan tanda
awal iskemia miokardium yang lebih serius dan mungkin
ireversibel sehingga kadang-kadang disebut agina prainfark.
(Kumar, Cotran, dan Robbins, 2007)
II.2.3.3 Variant Angina / Angina Prinzmetal
Variant Angina atau Angina Prinzmetal adalah sebuah
keadaan yang berhubungan dengan nyeri dada pada saat istirahat
yang umumnya terjadi pada pagi hari, terdapatnya ST-Elevasi,
spasme arteri koronaria pada arteriografi, dan membaik dengan
pemberian nitrogliserin (Longo,et al., 2011). Spasme arteri
koronaria biasanya terjadi di dekat suatu plak aterosklerotik
(Kumar, Cotran, dan Robbin, 2007).
II.2.4 Epidemiologi
Hingga saat ini penyakit jantung koroner masih menjadi pembunuh
pertama di dunia dan tercatat hingga tahun 2008, penyakit jantung koroner
menempati urutan ke-1 dari 10 penyakit tersering yang menyebabkan
kematian. Hasil survei pada tahun 2008 menyatakan 12,8% atau sekitar
7,25 juta jiwa di dunia meninggal karena penyakit ini. Di negara maju
sekitar 15,6% atau sekitar 1,42 juta nyawa meninggal dan di negara
berkembang sekitar 13,7% atau 5,27 juta nyawa meninggal akibat
menderita penyakit jantung koroner (WHO, 2011). Dalam lima belas tahun
terakhir telah terjadi pergeseran urutan penyebab kematian terbanyak di

11

Indonesia yang semula PJK berada di urutan ke-11 pada tahun 1972
kemudian meningkat bertahap ke urutan ke-3 pada tahun 1996 dan
menempati posisi ke-1 pada tahun 2001 (KEMENKES, 2007). Gejala
klinis yang muncul salah satunya adalah angina pektoris atau nyeri dada
(Longo,et al., 2011). Di Amerika kurang lebih 9,8 juta penduduknya
pernah mengalami serangan angina, dengan 500 ribu kasus baru angina
setiap tahunnya (Lloyd-Jones D, et al., 2009). Angina pektoris lebih sering
muncul sebagai gejala PJK pada wanita dibandingkan pria (Hemingway H,
et al., 2008). Gambaran klinis aterosklerosis koroner dapat timbul pada
semua usia, tetapi paling sering pada orang berusia lanjut, dengan puncak
insidensi setelah 60 tahun pada laki-laki dan 70 tahun pada perempuan
(Kumar, Cotran, dan Robbins, 2007). Sebuah survei dilakukan kepada
sejumlah penderita penyakit jantung koroner dari usia 30 hingga 69 tahun
dan didapatkan hasil bahwa pasien yang mengalami angina pektoris
terbanyak berada pada usia di atas 60 tahun (Libby, Bonow, Mann, dan
Zipes, 2007). Di Indonesia terdapat 5% orang dengan gejala angina
pektoris dengan usia lebih dari 18 tahun (Delima, 2009).
II.2.5 Etiologi dan Patofisiologi
Beberapa penyebab tersering dari iskemia otot jantung adalah
aterosklerosis, stenosis aorta, dan dilatasi kardiomiopati (Fox, et al., 2006).
Bila terjadi penyempitan aterosklerotik lumen sebesar 75% atau lebih pada
satu atau lebih arteri koronaria besar, setiap peningkatan aliran darah
koroner

kompensatorik

akan

kurang

memadai

untuk

memenuhi

peningkatan kebutuhan oksigen miokardium sehingga timbul angina


pektoris klasik (Kumar, Cotran, dan Robbin, 2007). Sumber lain
mengatakan penyempitan lumen oleh plak aterosklerotik 40% aliran
darah masih dapat mencukupi kebutuhan metabolisme jantung tetapi jika
sudah mencapai 50%, maka aliran darah sudah tidak dapat mencukupi
kebutuhan metabolisme jantung dan dapat terjadi episode iskemia (Fox, et
al., 2006). Mekanisme dari angina pektoris belum sepenuhnya dimengerti.
Diduga angina pektoris merupakan hasil dari episodik iskemi yang

12

merangsang kemosensitif dan mekanoreseptif di jantung. Stimulasi dari


reseptor-reseptor ini menghasilkan pelepasan adenosine, bradikinin, dan
substansi lain yang merangsang ujung saraf sensoris dari serat saraf
simpatis dan aferen vagus. Serat aferen melintasi saraf yang terhubung
dengan ganglia saraf simpatis torakal ke lima dan lima saraf torakal distal
di medula spinalis. Impuls ditransmisikan oleh medula spinalis menuju
talamus dan neokorteks. Data dari studi hewan telah mengidentifikasi
reseptor vanilloid 1 (VR1), sebuah nosiseptor yang penting dan diduga
berfungsi sebagai tranduser jaringan mikoard yang iskemik. Di dalam
medula spinalis, impuls aferen simpatis jantung dapat bertemu dengan
impuls dari struktur somatik torakal, yang mungkin saja menjadi dasar dari
nyeri alih. Sebagai perbandingan, serat saraf vagus jantung bersinaps di
nukleus traktus solitarius medula spinalis dan singgah untuk merangsang
spinotalamikus servikalis atas sehingga menghasilkan sensasi nyeri pada
rahang dan leher (Libby, Bonow, Mann, dan Zipes, 2007). Rasa nyeri
diduga adalah hasil dari stimulasi ujung saraf jantung oleh akumulasi dari
asam

laktat

ketika

jantung

melakukan

metabolisme

anaerobik

(Sherwood, 2008).
II.2.6 Gambaran Klinis
Pasien angina pektoris pada dasarnya merasakan tidak nyaman
pada retrosternal dan umumnya menjalar ke daerah ulnar tangan kiri
(Libby, Bonow, Mann, dan Zipes, 2007). Nyeri juga dapat menjalar ke
leher, rahang, bahu kiri, dan pundak kiri serta sifatnya yang tumpul dan
membuat pasien terasa tertindih atau diremas (Rahman, 2009).
Pada pasien angina pektoris stabil, nyeri dirasakan dengan pola
cresendo-decresendo dengan intensitas 5 10 menit (Longo, et al., 2011)
atau kurang dari 20 menit (Rahman, 2009). Apabila pasien merasakan
nyeri yang menetap dan bertambah parah yang lebih lama dari 20 menit,
muncul pada saat istirahat, tanpa bukti serologis adanya nekrosis otot
jantung

maka

dikatakan

(Goldman dan Schafer, 2011).

sebagai

angina

pektoris

tak

stabil

13

II.2.7 Diagnosis
Selain dari riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, diagnosis dapat
dilakukan dari pemeriksaan EKG, penilaian biokimia dan tanda reaksi
radang, dan uji diagnostik noninvasif (Goldman dan Schafer, 2011).
Tindakan diagnostik invasif dengan kateterisasi dan arteriografi koroner
tetap perlu dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti PJK (Libby,
Bonow, Mann, dan Zipes, 2007).
Untuk mendiagnosis angina pektoris melibatkan penilaian klinis, tes
laboratorium, dan investigasi jantung spesifik. Investigasi jantung spesifik
dapat bersifat invasif atau tidak invasif dan dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi iskemia pada pasien yang diduga angina pektoris stabil,
untuk mengidentifikasi atau menghilangkan kondisi atau faktor pencetus
yang berhubungan, stratifikasi faktor risiko, dan untuk mengevaluasi
pengobatan. Beberapa bentuk pemeriksaan investigasi jantung yang bersifat
tidak invasif adalah pemeriksaan laboratorium EKG pada saat istirahat,
EKG pada saat tes fisik, dan ekokardiografi pada saat istirahat sedangkan
yang bersifat invasif seperti ultrasonografi intravascular dan arteriografi
koroner (Fox, et al., 2006).
II.2.7.1 Pemeriksaan Jantung Tidak Invasif
a) Laboratorium
Pada tes laboratorium peningkatan kadar total kolestrol,
LDL, gula darah puasa dan C-Reactive Protein dalam fase akut
biasa ditemukan (Libby, Bonow, Mann, dan Zipes, 2007).
b)

EKG pada saat istirahat


Hal yang biasa ditemukan pada saat episode angina ketika

melakukan pemeriksaan EKG istirahat adalah ST depresi. Hal ini


biasa ditemukan pada 50% kasus angina (Libby, Bonow, Mann,
dan Zipes, 2007).
c) EKG stres fisik
Pemeriksaan EKG pada saat stres fisik untuk mengetahui
jantung dalam keadaan iskemia apabila terdapat ST depresi [1
mm (0,1 mV) selama 60 80 ms setelah komplek QRS] ketika

14

pasien mengalami nyeri dada yang muncul pada tahap awal dan
bertahan lebih dari 3 menit setelah latihan stres fisik selesai.
Latihan stres fisik harus dilakukan setelah pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan EKG pada saat istirahat (Fox, et al., 2006)
d) Ekokardiografi
Ekokardiografi dapat dilakukan pada saat istirahat dan pada
saat latihan stres fisik. Ekokardiografi pada saat latihan stres fisik
memiliki

sensitivitas

dan

spesifisitas

yang

lebih

tinggi

dibandingkan dengan pemeriksaan EKG pada saat latihan stres


fisik (Fox, et al., 2007).
II.2.7.2 Pemeriksaan Jantung Invasif
a)
Arteriografi koroner
Arteriografi koroner merupakan pedoman dasar untuk
menentukan apakah terdapat stenosis pada pembuluh darah
koroner, menentukan perlunya dilakukan revaskularisasi, dan
menentukan prognosis (Fox, et al., 2006).
b)

Ultrasonografi intravaskular
Ultrasonografi intravaskular

dilakukan

dengan

cara

memasukan kateter ultrasound ke dalam lumen pembuluh darah


koroner untuk menentukan diameter koroner, derajat lesi,
Glagovian remodelling, jumlah ateroma, dan deposisi kalsium.
Tindakan dapat memberikan informasi yang lebih rinci untuk
pemasangan stent, menentukan lokasi lesi, dan transplantasi
pembuluh darah koroner tetapi sebaiknya hanya dilakukan untuk
keperluan penelitian (Fox, et al., 2006).
II.2.8

Diagnosis banding

Diagnosis banding angina pektoris antara lain:


II.2.8.1 Gangguan Esofagus.
Gangguan esofagus seperti Gastro Esophageal Reflux
Disorder dapat menimbulkan sensasi seperti angina pektoris.
Namun pada nyeri esofagus biasanya dapat menghilang dengan
pemberian susu (Libby,Bonow, Mann, dan Zipes, 2007).

15

II.2.8.2 Kostokondritis
Kostokondritis juga dapat memberikan sensasi angina
pektoris akibat peradangan yang terjadi. Untuk membedakannya,
umumnya nyeri pada kostokondritis bersifat lokal dan pada palpasi
terdapat nyeri tekan pada otot dinding dada anterior (Goldman dan
Schafer, 2011)
II.2.8.3 Perikarditis
Yang membedakan perikarditis dari angina pektoris adalah
nyerinya yang bersifat tajam, menetap, dan tidak hilang dengan
pemberian nitrogliserin (Goldman dan Schafer, 2011).

16

II.3

Patofisiologi
Hipertensi

MEROKOK

Menghambat ikatan
O2 dengan Hb

Kardiomegali

Arteri koronaria
terjepit
Usia

HCO Meningkat

Menurunkan efek
Nitrit Oksida
Pembuluh darah cenderung
vasokonstriksi

Stres oksidatif
pembuluh darah

Radang
pembuluh darah
Peningkatan
agregasi
trombosit

Meningkatkan
aktivitas
trombosit
LDL meningkat
HDL menurun

Aliran darah tidak


lancar

Elastisitas
Pembuluh darah
berkurang

Otot jantung
kekurangan O2

Angina Pektoris

Plak aterom

II.4. Vitamin C
II.4.1

Definisi Vitamin C
Vitamin C atau asam ascorbat merupakan vitamin yang memiliki

struktur kimia C6H8O6 dan merupakan vitamin yang larut air. Vitamin C
merupakan kofaktor dari 8 reaksi enzimatik, termasuk pembentukan
kolagen.
II.4.2

Biosintesis
Pada tumbuh-tumbuhan, pembentukan vitamin c adalah melalui

proses perubahan mannose atau galaktosa menjadi asam ascorbat. Beberapa


hewan yang dapat membentuk vitamin C di dalam tubuhnya terjadi pada
hepar dan beberapa hewan lainnya membentuk vitamin c di ginjal. Manusia

17

tidak termasuk pada jenis makhluk hidup yang dapat mensintesis vitamin C
di dalam tubuhnya.
II.4.3

Absorpsi, Transport, dan Ekskresi


Asam ascrobat (vitamin C) diserap di dalam tubuh melalui

transport aktif dan difusi. Sodium Dependent Active Transport Sodium


Ascorbate Co-Transporters (SVCTs) dan Hexose Transporters (GLUTs)
merupakan 2 jenis transporter yang dibutuhkan dalam penyerapan Vit C.
Penyerapan vitamin C bervariasi dari 70 95%. Dalam asupan vit C dosis
tinggi (1.25 g), hanya 33% yang diserap oleh tubuh, sedangkan pada asupan
vit C dosis rendah (<200 mg), absropsi oleh tubuh dapat mencapai hingga
98%. Apabila konsentrasi vit C di dalam plasma telah mencapai batasnya
(pria 1.5 mg/dL dan wanita 1.3 mg/dL) akan segera di ekskresikan melalui
urin.
II.4.4

Efek Vitamin C Terhadap Stress Oksidatif Pembuluh Jantung


Vitamin C memiliki efek antioksidan. Sebuah percobaan dilakukan

untuk melihat efek dari vitamin C terhadap aliran darah koroner dan
diameter koroner yang diberikan stress oksidatif akut (Oksigen 100%).
Percobaan ini dilakukan pada 12 pasien penyakit jantung koroner dengan
angiografi kuantitatif dan Ultrasonografi Doppler Intrakoroner. Pada awal
percobaan, ke-12 pasien diberikan oksigen 100% lalu dilakukan pengukuran
diameter koroner dan kecepatan aliran darah koroner dengan menggunakan
angiografi kuantitatif dan ultrasonografi intrakoroner.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perubahan yang
signifikan pada aliran pembuluh darah dalam keadaan hiperoksia dan ketika
pemberian vitamin C. Dalam keadaan hiperoksia terjadi penurunan kecepata
aliran darah koroner dan debit aliran darah [26 3.0 menjadi 21.2 3.0
cm/s (p<0.01) dan 91 31 menjadi 73 28 cm 3/min (p<0.01)] Pemberian
vitamin C dapat meningkatkan aliran pembuluh darah pada daerah yang
mengalami stress oksidatif (21.2 3.0 cm/s vs 27.0 4.0 cm/s; p<0.01 ) dan
meningkatkan debit aliran darah (84 23 vs 97 28 cm 3/min) (McNulty, et

18

al., 2007). Penelitian serupa dilakukan 11 subjek perokok dan 8 subjek tidak
perokok untuk mengukur aliran koroner dengan positron emission
tomography dan didapatkan hasil bahwa pemberian vit C dapat
menormalkan kembali aliran koroner dengan nilai p < 0.05 (Kaufmann, et
al., 2000)

19

BAB III
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama yang
meningkatkan terjadinya penyakit jantung koroner. Selain itu peningkatan
jumlah rokok yang dikonsumsi setiap harinya akan meningkatkan risiko
seseorang untuk terserang penyakit jantung koroner pada usia yang lebih
muda. Vitamin C berfungsi sebagai antioksidan dan dalam mengatasi
stress oksidatif yang terjadi pada pembuluh darah koroner, vitamin C dapat
menormalkan atau mempertahankan

kembali kecepatan aliran darah

maupun debit aliran darah pembuluh koroner.


III.2. SARAN
Masyarakat diharapkan dapat memahami akan efek dari bahaya
merokok dan bagi para perokok agar dapat menghentikan atau mengurangi
kebiasaan merokoknya sedini mungkin. Dengan adanya artikel ini
diharapkan

agar

masyarakat

pada

umumnya

dapat

mulai

untuk

mengkonsumsi vitamin C dalam cara pemakaian yang tepat untuk


mengantisipasi terjadinya stress oksidatif pada sistem tubuh terutama pada
sistem kardiovaskular.

20

DAFTAR PUSTAKA
Atalar E, et al. 2005. Increased Soluable glycoprotein V concentration during
the acute onset of unstable angina pectoris in association with
chronic cigarette smoking. 16 (6): 329 333. Available from:
http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?
sid=f7a04e97-0f44-4525-b0bfec1b97813088%40sessionmgr104&vid=34&hid=113> (Diakses: 14
Desember 2013)
Aksoy S, Cam N, Gurkan U, Oz D, zden K, Altay S, Durmus G, Agirbasli
M. 2012. Oxidative Stress and Severity of Coronary Artery
Disease in Young Smokers With Acute Myocardial Infarction.
Bisanovic S, Mehic B, dan Sivic S. 2011. Status of Lipids and the Frequency
Diseases of cardiovascular origin in smokers according to the
lenght period of smoking and a number of cigarettes smoked
daily.2011; 11 (1): 46-51. Cited: 14 Desember 2013. Available
from:

http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?

vid=31&hid=113&sid=f7a04e97-0f44-4525-b0bfec1b97813088%40sessionmgr104
Bishop E, Theophilus EH, and Fearon IM. 2012. In Vitro and Clinical Studies
Examining the Expression of Osteopontin in Cigarette SmokeExposed Endothelial Cells and Cigarette Smokers. BMC
Cardiovascular Disorder. 2012; 12: 75. Cited 30 November 2013.
Available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3465212/pdf/1471
-2261-12-75.pdf
Chiolero A, Faeh D, Paccaud F, and Cornuz J. 2008. Consequences of
Smoking for Body Weight, Body Fat Distribution, and Insulin

21

Resistance. Am J Clin Nutr. April; 87(4): 801-809. Cited 30


November

2013.

Available

from:

http://ajcn.nutrition.org/content/87/4/801.full/pdf+html
Delima. 2009. Faktor Determinan Gejala Angina Pektoris pada Masyarakat
yang Belum Pernah Terdiagnosis Penyakit Jantung. 2009; 59 (11):
518 525. Cited: 6 November 2013. Available from:
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/view/
693/0
Fahim MA, Nemmar A, Singh S, Hassan MY. 2011. Antioxidant Aleviate
Nicotine-Induced Platelet Aggregation in Cerebral Arterioles of
Mice in Vivo. 2011; 60: 695-700. Cited: 6 November 2013.
Available

from:

http://www.biomed.cas.cz/physiolres/pdf/60/60_695.pdf
Fowles J, Philips D, dan Kaiserman M. 2003. Chemical Composition of
Tobacco and Cigarette Smoke in Two Brands of New Zealand
Cigarettes.2003: 4. Cited: 14 Desember 2013. Available from :
http://www.ndp.govt.nz/moh.nsf/pagescm/1005/$File/chemicalco
mpositioncigarettesbrands.pdf
Fox, et al. 2006. Guideline on The Management of Stable Angina
Pectoris.2006. Cited: 7 November 2013.

Available from:

http://www.escardio.org/guidelines-surveys/escguidelines/GuidelinesDocuments/guidelines-angina-FT.pdf
Goldman L dan Schafer AI. 2011. Goldmans Cecil Medicine. 24th ed.
Philadelphia : Elsevier-Saunders. pp: 412 - 425
.

22

Hastrup JL, Cummings KM, Swedrock T, Hayland A, dan Pauly JL. 2001.
Consumer Knowledge and Beliefs About the Safety of Cigarette
Filters, Tobacco control, (10): 84 86
Herman RB. 2009. Buku Ajar Fisiologi Jantung. Jakarta: EGC. hal: 1 - 2
Hemingway H. 2008. Prevalence of angina in women versus men: a systematic
review and meta-analysis of international variations across 31
countries.Ciruculation. Mar 25 2008; 117 (12) : 1526 36. Cited: 10
Desember

2013.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/150215-overview#a0199
Ichiki T. 2011. Collaboration between smokers and tobacco in endothelial
dysfunction.2011; 90 : 395-396. Cited: 14 Desember 2013. Available
from:http://cardiovascres.oxfordjournals.org/content/90/3/395.full.pdf
+html
Kaufmann PA, Gnecchi Ruscone T, Terlizzi M, Schafers KP, dan Luscher TF.
Coronary Heart Disease in Smokers: Vitamin C Restores Coronary
Microcirculatory Function. 2000; 102 : 1233 1238. Cited 16
Desember

2013.

Available

from:

http://circ.ahajournals.org/content/102/11/1233.full.pdf+html
Kemenkes. 2007. Pedoman Surveilans Epidemiologi Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah.
Kemenkes. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. hal: 27
Kumar V, Cotran RS, dan Robbins SL. 2007. Buku Ajar Patologi. ed.7. Vol.2.
Jakarta: EGC

23

Kume A, Kume T, Masuda K, Shibuya F, and Yamazaki H. 2009. Dosedependent Effects of Cigarette Smoke on Blood Biomarkers in
Healthy Japanese Volunteers: Observations from Smoking and
Non-smoking, 55(2), p. 259 - 264
Libby P, Bonow RO, Mann Douglas L, dan Zipes DP. Braunwalds Hearth
Disease, 2007. A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8th ed.
Philadelphia : Elsevier-Saunders
Mc Nulty PH, Robertson BJ, Tulll MA, Hess J, Harach LA, Scott S, dan Stnoway
LI. Effect of Hyperoxia and Vitamin C on Coronary Blood Flow in
Patients With Ischemic Heart Disease

Anda mungkin juga menyukai