BELLS PALSY
PENDAHULUAN
Bells palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer
yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis
fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles
Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya,
Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.1
Insidensi Bells palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000
orang. Insiden Bells palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan
tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bells palsy. Usia
mempengaruhi probabilitas kontraksi Bells palsy. Insiden paling tinggi pada orang
dengan usia antara 15-45 tahun. Bells palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia
di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.1
Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh,
namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan
gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang
ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan
psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas
fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi
lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan
perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan
fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot
wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara
dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu tersebut
menjadi tidak percaya diri.1,2
BAB II
2.1. Definisi
Kelumpuhan wajah adalah suatu bentuk kecacatan yang memberikan dampak
yang kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus facialis dapat disebabkan oleh bawaan
lahir (kongenital), neoplasma, trauma, infeksi, paparan toksik ataupun penyebab
iatrogenik. Yang paling sering menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah adalah
Bells palsy. Bells palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama Charles Bell.
Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan
idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer.1,2
2.2. Struktur anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :2,3
a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari
dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertamatama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda
timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus
traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui
2
nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar
melalui korda timpani.2,3
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral
nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena
posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII
dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk
ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke
depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini
(genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan
genu.3,4
Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum
untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus
superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius
yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui
foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima
3
Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan
pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut
tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan.
Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun.
Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus
fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut
korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.6
ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi
kerusakan.6,7,8
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur
masih baik.
b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan
gangguan salivasi.
c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan
kelenjar air mata (lakrimasi).
e. Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.
Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen
stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang sering
pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media perforata dan
mastoiditis.
2.7.Blink reflex
Afferen dari cabang N.V cabang oftalmicus dan efferen N.VII serabut motorik.
kontralateral dihasilkan dari jalur ascending yang menyilang di midline dari 1/3 bawah
MO.
Stimulasi pada daerah yang tidak sakit menghasilkan R1 dan R2 ipsilateral dan R2
kontralateral normal potensial.
Stimulasi daerah yang sakit keterlambatan atau tidak adanya R1 dan R2 ipsilateral
tetapi R2 kontralateral normal.
Lesi pontine unilateral mempengaruhi nukleus sensori V dan/ atau lesi interneuron
pontine ke nukleus fasialis ipsilateral.
Stimulasi daerah sakit delay atau absen R1 tapi ipsilateral dan contralateral R2
intak.
Stimulasi daerah yang normal normal R1 dan ipsilateral dan kontralateral R2.
Stimulasi daerah Normal normal R1 ipsilateral dan R2 tapi delay atau absen R2
kontralateral.
10
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnose Bells
palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasien-pasien
dengan Bells palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu.
Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin
akan membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya
Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma
maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan.
2.9. Diagnosa Banding
Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya
tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom),
penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid ataupun telinga tengah, Guillen
Barre syndrome.9
2.10. Penatalaksanaan
a. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan
efektifitas obat-obat antivirus pada Bells palsy, hampir semua ahli percaya pada
etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan
digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bells palsy. Oleh karena itu,
zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan
sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan
dalam penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3
hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus
Nama obat
Dosis dewasa
Dosis pediatrik
Kontraindikasi
Interaksi obat
Kehamilan
Perhatian
b. Kortikosteroid.
Pengobatan Bells palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan suatu
kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan
kerugian pemberian steroid pada Bells palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih
menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan
untuk menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison
dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan
perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya dimulai pada hari
kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan
pasien.
Nama obat
Dosis dewasa
Perhatian
krisis
adrenal;
hiperglikemia,
edema,
c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bells palsy. Sehingga pada
mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan
pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.8,9
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata
yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun jika
air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya adalah
pandangan kabur selama pasien terbangun.
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi
kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung
dengan kornea.
d. Konsultasi.
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan yang ketat.
Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan penyembuhan pasien.
Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi
untuk merujuk adalah sebagai berikut:
Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan
tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.
13
Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang
abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan
lanjutan.
Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan
otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.
Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang dianjurkan
untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah
pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan
pembedahan.
2.11. Komplikasi
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami
deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak
dapat diterima oleh pasien.
a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.
Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen yang
merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami
regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau beberapa
otot wajah tersebut.
Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air
mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.
Dysgeusia (gangguan rasa).
Ageusia (hilang rasa).
Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus
normal).
c. Reinervasi aberan dari nervus facialis.
Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan
regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan
lain dan dapat berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi
aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik yang tidak normal.
14
2.12. Prognosis
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah:10
a.
b.
c.
d.
e.
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur
60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi
meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki
perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.
Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala
sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.10
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23%
kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau
tumor kelenjar parotis.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Lancaster D.G, Crow W.T. Osteopathic Manipulative Treatment of a 26-Year-Old Woman
With
Bells
Palsy.
JAOA
Vol
106
No
http://www.jaoa.osteopathic.org/content/106/5/285.full.pdf+html.
2. Holland
J.
Bell's
palsy.
.
Clinical
Evidence
May
2006.
2008;01:1204.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2907944/pdf/2008-1204.pdf.
3. Gilden D.H. Bells Palsy. The new england journal of medicine. September 23, 2004, n
engl j med 351;13. http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp041120.
4. Sullivan F.M, Swan L.R, Donnan P.T, dkk. Early Treatment with Prednisolone or
Acyclovir in Bells Palsy. The new england journal of medicine. October 18, 2007, n
engl j med 357;16. http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMoa072006.
5. Nitish Garg K, Gupta K, Singh S. Bells Palsy : Aetiology, Classification, Differential
Diagnosis
and
Treatment
Consideration
Review.
Vol.
Issue
1.
http://www.journalofdentofacialsciences.com/journal/1/article1_new.pdf.
6. Zandian A, Osiro S, Hudson R, M. Ali I, Matusz P. The Neurologists Dilemma: A
Comprehensive Clinical Review of Bells palsy, With Emphasis on Current Management
Trends.
Medical
Science
Monitor.
Med
Sci
Monit,
2014;
20:
83-90.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3907546/pdf/medscimonit-20-83.pdf.
7. Metrovi T. Bell's Palsy Pathology. Sep 10, 2014. http://www.newsmedical.net/health/Bells-Palsy-Pathology.aspx.
8. Campbell K.E, F. Brundage J. Effects of Climate, Latitude, and Season on the Incidence
of Bells Palsy in the US Armed Forces, October 1997 to September 1999. March 14,
2001, Vol. 156, No. 1. http://aje.oxfordjournals.org/content/156/1/32.full.pdf+html.
9. Parjapati V, Modi M, Modi P, Dave V. Prospective Observational Study Of Bells Palsy.
Prajapati V et al NJIRM 2013; 4(2) : 162-168. http://www.scopemed.org/fulltextpdf.php?
mno=37474.
10. S Domanico. Bell's Palsy: A Case Study. The Internet Journal of Advanced Nursing
Practice. 1997 Volume 2. https://ispub.com/IJANP/2/1/13318.
16