Faktor janin penyebab keguguran adalah kelainan genetik, dan ini terjadi pada
50%-60% kasus keguguran.
1.3.2.2 Faktor ibu
1) Kelainan endokrin (hormonal) misalnya kekurangan tiroid, kencing manis.
2) Faktor kekebalan (imunologi), misalnya pada penyakit lupus, Antiphospholipid
syndrome.
3) Infeksi, diduga akibat beberapa virus seperti cacar air, campak jerman,
toksoplasma , herpes, klamidia.
4) Kelemahan otot leher rahim
5) Kelainan bentuk rahim.
1.3.2.3 Faktor Ayah
Kelainan kromosom dan infeksi sperma diduga dapat menyebabkan abortus.
1.3.3 Selain 3 faktor di atas, faktor penyebab lain dari kehamilan abortus adalah:
1.3.3.1 Faktor genetik
Sekitar 5 % abortus terjadi karena faktor genetik. Paling sering ditemukannya
kromosom trisomi dengan trisomi 16. Penyebab yang paling sering menimbulkan
abortus spontan adalah abnormalitas kromosom pada janin. Lebih dari 60%
abortus spontan yang terjadi pada trimester pertama menunjukkan beberapa tipe
abnormalitas genetik. Abnormalitas genetik yang paling sering terjadi adalah
aneuploidi (abnormalitas komposisi kromosom) contohnya trisomi autosom yang
menyebabkan lebih dari 50% abortus spontan. Poliploidi menyebabkan sekitar
22% dari abortus spontan yang terjadi akibat kelainan kromosom. Sekitar 3-5%
pasangan yang memiliki riwayat abortus spontan yang berulang salah satu dari
pasangan tersebut membawa sifat kromosom yang abnormal. Identifikasi dapat
pasien ini maka perlu dieksplorasi lebih jauh mengenai keluhan dan harus
dipastikan apakah mioma ini berhubungan langsung dengan adanya ROB pada
pasien ini. Hal ini penting karena mioma yang mengganggu mutlak dilakukan
operasi.
1.3.3.3 Faktor endokrin
1) Faktor endokrin berpotensial menyebabkan aborsi pada sekitar 10-20 % kasus.
2) Insufisiensi fase luteal ( fungsi corpus luteum yang abnormal dengan tidak
cukupnya produksi progesteron).
3) Hipotiroidisme, hipoprolaktinemia, diabetes dan sindrom polikistik ovarium
merupakan faktor kontribusi pada keguguran. Kenaikan insiden abortus bisa
disebabkan oleh hipertiroidismus, diabetes melitus dan defisisensi progesteron.
Hipotiroidismus tampaknya tidak berkaitan dengan kenaikan insiden abortus
(Sutherland dkk, 1981). Pengendalian glukosa yang tidak adekuat dapat
menaikkan insiden abortus (Sutherland dan Pritchard, 1986). Defisiensi
progesteron karena kurangnya sekresi hormon tersebut dari korpus luteum atau
plasenta, mempunyai kaitan dengan kenaikan insiden abortus. Karena progesteron
berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormon tersebut secara teoritis
akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan demikian turut berperan
dalam peristiwa kematiannya.
1.3.3.4 Faktor infeksi
Infeksi termasuk infeksi yang diakibatkan oleh TORC (Toksoplasma, Rubella,
Cytomegalovirus) dan malaria. Infeksi intrauterin sering dihubungkan dengan
abortus spontan berulang. Organisme-organisme yang sering diduga sebagai
dengan
pengeluaran
plasenta,
berdasarkan
proses
2)
3)
4)
1.7.2
Persiapan infus
Transfusi darah
Antibiotika
Persiapan kuretase (dengan narkosa)
Observasi kesadaran, perdarahan, infeksi, perforasi uteri, degenerasi
ganas.
6) Kontrol ulang seminggu kemudian.
1.8 Cara-cara melakukan abortus buatan
1.8.1 Dilatasi dan Kuretase (D&K)
Cara melakukan dilatasi dan kuretase abortus buatan sama saja dengan melakukan
terapi abortus dengan cara yang sama. Hanya pada abortus buatan sama sekali
belum ada pembukaan kanalis servikalis. Karena itu terlebih dahulu dilaukan
dilatasi serviks.
1.8.2
Dilatasi bertahap
Pada beberapa kasus diperlukan pembukaan kanalis servikalis yang lebih besar
(misalnya pada primigravida) untuk mengeluarkan hasil konsepsi. Tahap pertama
dengan menggunakan ganggang laminaria, bila pembukaan belum cukup besar
dapat dilakukan dilatasi dengan busi hegar sampai pembukaan yang dikehendaki
tercapai, kemudian dilakukan pengeluaran isi kavum uteri dengan cunam abortus
atau dengan alat kuret. Bahaya yang mungkin mengancam adalah infeksi atau
perdarahan. Jika rahim agak besar bisa terlebih dahulu diberikan uterus tonika
untuk mencegah perdarahan.
1.8.4
Cara ini biasanya dilakukan pada kehamilan diatas 16 minggu dimana rahim
sudah cukup besar. Secara transuterin atau amniosentesis, ke dalam kantong
amnion (yang sebelumnya cairan amnionya telah dikelurakan terlebih dahulu
dengan semprit) dimasukkan larutan garam hipertonik atau larutan gula hipertonik
(larutan garam 20% atau larutan glukosa 50%) sebagai iritan pada amnion, dengan
aharapan akan terjadi HIS. Sebaiknya diberikan oksitosin drip yaitu 10-20 satuan
oksitosin dalam 500 cc larutan dextrosa 5% dengan tetesan 15 sampai 25 tetes
permenit. Penderita diobservasi baik-baik. Diharapkan dalam waktu 24 jam
abortus akan berlangsung. Bila belum terjadi abortus, infus di stop dan penderita
tetap diawasi dengan baik.
1.8.5
Pemberian prostaglandin
1.8.6
Histerotomi
Pada beberapa keadaan, baik cara kerokan maupun cara pemberian larutan
hipertonik intrauterin tidak dapat dikerjakan. Misalnya pada pembukaan kanalis
servikalis yang kecil dan pada kehamilan 12-16minggu. Jika kehamilan harus
diterminasi karena indikasi medis untuk itu mempunyai alasan yang cukup kuat,
biasanya dikerjakan histerotomi.
Daftar Pustaka