Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap tanggal 1 Desember kita memperingati Hari Aids Sedunia.
Pada hari itu kita seolah diingatkan kembali pada bahaya penyakit hiv
aids. Penyakit ini telah menimbulkan banyak korban di seluruh dunia.
Begitupun penularan hiv aids cenderung makin cepat dan meningkat dari
waktu ke waktu, termasuk di Indonesia. Kurangnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat akan bahaya penyakit ini membuat penyebaran hiv
aids di Indonesia meluas dan tidak bisa dihentikan. umlah kasus HIV dan
AIDS setiap tahun bertambah. Berdasarkan data pada Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL),
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sejak tahun 1987 hingga
Maret tahun 2012, ada 82.870 kasus HIV dan 30.430 kasus AIDS.
Fakta yang didapat dari data tersebut, adalah penularan HIV dan
AIDS tidak lagi didominasi melalui penggunaan jarum suntik, tetapi
karena perilaku seksual berisiko yang dilakukan oleh pasangan
heteroseksual. Pengertian seks berisiko adalah seks yang berisiko
menularkan penyakit atau kehamilan yang tidak direncanakan. Kaitannya
dengan penularan HIV dan AIDS. seks berisiko meliputi, seks bebas
(perilaku seks tidak dengan satu pasangan yang berisiko tertular atau
menularkan HIV dan AIDS), penularan HIV dan AIDS melalui hubungan
seksual dari pengguna narkoba suntik (penasun) yang berisiko tinggi
terinfeksi HIV dan AIDS dan perilaku seks berisiko lainnya yang dapat
menyebabkan penularan penyakit kelamin maupun HIV dan AIDS. Fakta
Penularan HIV melalui hubungan seksual berisiko tidak hanya terjadi di
DIY, namun hampir di seluruh provinsi Indonesia.
HIV dan AIDS merupakan masalah global yang berkembang di
setiap negara termasuk Indonesia. Jumlah penderita terbanyak di Jakarta,
Papua dan Bali. Perkembangan penularan HIV/AIDS didukung oleh
semakin banyaknya seks bebas dan narkoba suntik. Paling tidak setengah

dari pengguna narkoba suntik yang menggunakan jarum secara bersamasama mengidap HIV. Perilaku seks beresiko juga menjadi penyebab
penularan utama HIV. Ini bisa dilihat dari perkembangan Penyakit
Menular Seksual yang sangat tinggi. Dibeberapa kota berdasarkan data
Depkes, PSK yang mengidap penyakit gonore dan klamidia mencapai 39%
sampai 61%, itu artinya 2 sampai 3 dari 5 orang PSK mengidap penyakit
tersebut. Itu belum termasuk penyakit menular seksual lainnya. Padahal
adanya PMS memudahkan penularan HIV. Angka ini merupakan tertinggi
di asia Pengidap HIV terbanyak ada di kalangan pria.
Dari tiga juta pria di Indonesia yang sering jajan PSK diperkirakan
setengahnya mengidap HIV. Kebanyakan dari mereka memiliki pasangan
tetap atau istri. Dari pria pengidap HIV ini bisa menularkan pada istrinya.
Jika wanita yang mengidap HIV mengandung maka beresiko menularkan
pada anaknya. Fenomena ini yang membuat jumlah penderita HIV
semakin tinggi dan menjadi epidemi. Kalau dulu HIV/AIDS terbanyak di
Jakarta sekarang polanya mulai meningkat di banyak daerah di Indonesia.
Prevalensi tertinggi berdasarkan data Ditjen PP & PL Kemenkes RI
tahun 2011 ada di Papua kemudian diikuti oleh Bali, Jakarta dan
Kalimantan barat. Pemerintah dan mitranya telah melakukan intervensi
untuk menekan angka penularan HIV/AIDS di Indonesia tetapi
cakupannya yang masih dibawah 50% masih belum cukup. Semakin
banyaknya anak muda sadar akan bahaya HIV sangat baik sebagai
pencegahan primer sedangkan penggunaan kondom merupakan solusi
terakhir jika perilaku seks beresiko sulit dikendalikan. Meskipun
ketersediaan obat ARV cukup tetapi masih banyak yang harus dibenahi.
Menurut Unicef Indonesia yang masih perlu dibenahi antara lain
kurangnya akses untuk konsultasi kesehatan reproduksi, mendapatkan
pelayanan keluarga berencana, pelayanan HIV untuk anak-anak, test HIV
secara sukarela serta pelayanan untuk mencegah transmisi virus dari ibu ke
anak (mother to child transmission) yang masih belum menjangkau
perempuan beresiko tinggi di usia produktif.

Di Indonesia, ada sekitar 230.000 WTS yang tersebar di seluruh


Indonesia, terutama daerah yang banyak memiliki pelabuhan dan wilayah
perbatasan. Pada setiap pelabuhan pasti ada daerah pelacuran. Dari daerah
tersebutlah banyak pria pelanggan WTS sehingga jumlahnya tinggi,
pelanggan WTS yang mencapai 6,7 juta dengan 75.000 di antaranya juga
menggunakan narkoba dengan suntik mengakibatkan sekitar 4,9 juta
wanita yang menikah dengan mereka sangat berisiko tertular HIV/AIDS.
Di Indonesia ada 4,9 juta wanita yang menikah dengan pria yang menjadi
menjadi pelanggan WTS, sehingga meski para istri tersebut tidak pernah
berhubungan dengan pria lain, tentu juga sangat berisiko tertular
HIV/AIDS. Laporan itu menyebutkan persentase kasus HIV tertinggi ada
pada kelompok umur 25-49 tahun sebanyak 73,7persen, kemudian
kelompok umur 20-24 tahun sebanyak 15 persen dan kelompok umur di
atas 50 tahun sebanyak 4,5 persen. Sulit tanggulangi HIV/AIDS,
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia menghadapi tantangan berat
antara lain dengan tingginya angka prostitusi dan penggunaan jarum suntik
secara bergantian di kalangan pengguna narkoba. "Bahkan, lima tahun
terakhir ini kenaikannya sangat tajam. Walau secara keseluruhan Indonesia
masih merupakan negara dengan prevalensi rendah, Indonesia mempunyai
potensi menjadi epidemi karena faktor risiko tinggi.
Fakta yang diungkapkan pada judul berita yaitu 240 pekerja seks
komersial (PSK) di Kalsel mengidap HIV/AIDS sama sekali tidak dibawa
ke realitas sosial terkait dengan penyebaran HIV/AIDS. Jumlah PSK yang
240 itu merupakan bagian dari 707 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kalsel
sampai Juni 2013 yaitu 33,9 persen dari kasus yang ada di Kalsel. Dari
240 PSK tsb. 222 HIV dan 18 AIDS. Secara medis seseorang terdeteksi
tertular HIV melalui tes HIV minimal sudah tertular tiga bulan. Maka,
dengan fakta ini ada 43.200 (240 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan
x 3 bulan) laki-laki dewasa penduduk Kalsel yang berisiko tertular HIV
yaitu laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa
kondom dengan PSK. Sedangkan yang berisiko tertular HIV berdasarkan

angka 18 PSK yang sudah masuk masa AIDS itu artinya mereka sudah
tertular antara 5-15 tahun sebelumnya. Maka, ada 64.000-194.400 laki-laki
dewasa yang berisiko tertular HIV yaitu laki-laki yang pernah atau sering
melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom. Dikabarkan
jumlah PSK yang mengidap HIV/AIDS tsb. terdeteksi karena program
penanggulangan yang intensif di lokalisasi pelacuran di kabupaten dan
kota di Kalsel.
Biarpun penjangkauan terhadap PSK gencar dilakukan, tapi kalau
laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak
diintervensi, maka penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di masyarakat, al.
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah yang
disebarkan oleh laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang
tertular HIV dari PSK. Penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di
masyarakat terbukti melalui kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu
rumah tangga yaitu 79 kasus, terdiri atas 27 HIV dan 52 AIDS, atau 11,2
persen dari kasus kumulatif HIV/AIDS di Kalsel. Semakin cepat
HIV/AIDS ditemukan pada PSK, maka penanganan dan pencegahan
penyebarannya juga akan semakin efektif. Persoalan bukan (lagi) pada
PSK, tapi laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang
tertular HIV dari PSK. Mereka inilah yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal.
Sebagai salah satu kelompok yang mendapat stigma jelek di mata
masyarakat, pekerja seks komersial (PSK) juga merupakan kelompok yang
rentan terhadap penyalahgunaan narkoba. Mulai dari jenis yang murah
sampai yang mahal disesuaikan dengan kelas dan pendapatan para PSK
atau di kalangan mana dia beraktifitas,Sebenarnya kebanyakan PSK
menggunakan narkoba karena permintaan dari konsumen. Permintaan ini
dengan tujuan mendapatkan pelayanan lebih hot dari si PSK. Sekali dua
kali mungkin bisa menolak, namun lama-lama ikut juga,
Seperti kita ketahui, penularan hiv aids bisa bersifat seksual
maupun non-seksual. Bersifat seksual artinya penularan tersebut melalui
hubungan intim dimana salah satu pihak sudah terkena virus hiv terlebih

dahulu. Dan bersifat non-seksual jika penularan itu terjadi selain lewat
hubungan intim, seperti transfusi darah, pemakaian jarum suntik bersama,
ataupun pada saat persalinan dari ibu yang terkena virus hiv kepada
bayinya.
Dari sekian banyaknya kasus hiv aids di Indonesia, maka 95 %
diantaranya disebabkan oleh hubungan seksual. Dari jumlah tersebut 65 %
merupakan hubungan heteroseksual dan 30 % homoseksual.

Yang

mengagetkan adalah baru-baru ini terungkap fakta bahwa penularan hiv


aids dikalangan ibu rumah tangga lebih tinggi dari pada penularan yang
terjadi pada pekerja seks komersial (PSK),
Masalah PSK dinegara tercinta ini khususnya didaerah-daerah kota
metropolitan seperti kota Jakarta, bandung, Surabaya, Medan dan lain
sebagainya sudah menjadi rahasia umum yang tidak bisa dielakkan dan
sudah menjadi lahan yang subur bagi sebahagian orang. Masalah Pekerja
Sek Komersial [PSK ] dinegara kita tercinta khususnya didaerah kota-kota
tidak hanya dijadikan sebagai tempat dan tidak hanya untuk mencari
hiburan semata melainkan untuk sebuah tuntutan hidup dan kebutuhan
fisiologis serta kebutuhan ekonomi dan lama-kelamaan akan terus
terkekang dan terjerumus dalam limbah yang nista, sangat disayangkan
yang banyak menjadi korban adalah anak usia remaja dan kita tidak bisa
menutup mata jika disemua tempat-tempat hiburan malam sangat identik
dengan hal-hal yang berbau sek, narkoba serta mabuk-mabukan dan
kebanyakan korbannya adalah usia remaja. Pada mulanya usia ini tadinya
hanya sekadar hura-hura ingin tahu dan ingin coba-coba lama kelamaan
menjadi terbiasa menginjakkan kaki ketempat hiburan malam, maka halhal yang berbau narkoba, miras dan sebagainya, sangatlah mudah timbul
akibat dari kebiasaan tersebut.
Kisah berbeda didapat dari komunitas Pekerja Seks Komersial
(PSK), komunitas yang tidak terpisahkan dari rantai penularan HIV dan
AIDS. Sebagian dari mereka yang positif HIV masih tetap beroperasi,
bekerja melayani kliennya, karena alasan tuntutan ekonomi. Para PSK
yang telah mendapatkan sosialisasi bahaya penularan HIV dan AIDS juga

semakin peduli untuk menyarankan pelanggan agar menggunakan


kondom, atau sama sekali tidak menggunakan jasa mereka. Namun
demikian masih saja ada PSK yang mau melayani pelanggan walaupun
tidak memakai kondom. Alasan yang selalu dipakai adalah, kembali lagi
pada soal ekonomi.
Sosialisasi penularan HIV dan AIDS dari PSK ke para pelanggan
pengguna jasa mereka, atau sebaliknya menuai antusiasme yang positif
karena mereka sadar akan risiko pekerjaan mereka. Imbasnya tentu pada
PSK sendiri apabila terinfeksi HIV. Namun berbeda pada PSK yang
mengeksklusifkan diri, misalnya PSK dari kalangan mahasiswa. Mereka
sulit diberi pemahaman untuk penyadarak rrsiko penularan HIV dan AIDS.
Ada penyangkalan dari PSK golongan elite ini bahwa mereka tidak
mungkin tertular HIV karena pelanggan dari kalangan menengah ke atas.
Padahal, masyarakat kalangan mana pun, bisa terifeksi HIV. Para PSK
kelompok ini yakin tidak tertular HIV karena secara kondisi fisik mereka
masih terlihat sehat, cantik, tidak ada tanda-tanda mengarah kepada
terinfeksi HIV dan AIDS. Sikap meng-ekslusifkan diri, dan cenderung
tertutup, menjadi kesulitan tersendiri dalam memberi sosialisasi.
Selain itu, para PSK kelompok elite ini tidak tertampung dalam
lokalisasi sebagai salah satu tempat transaksi seksual mereka dan
cenderung beroperasi terselubung atau personal sehingga sulit untuk
dipantau. Tidak jarang kemudian setelah masuk ada di antara mereka yang
terinfeksi HIV kemudian sudah masuk pada fase AIDS, menyadari atas
kelalaiannya, kemudian periksa dan berobat. Walaupun, sebernarnya
kesadaran tersebut datangnya terlambat.
Banyak praktek dari pelanggaran UU karena lemahnya dan kurang
kontrol sehingga sulit dilacak bagi pelanggar. Akibatnya prostitusi makin
menjamur di kalangan masyarakat, pemain baru makin berdatangan
berlomba-lomba mencari rezeki lewat jalan haram. Ini karena kurangnya
kontrol dari penegak hukum dan tidak ada kesadaran untuk mematuhi
hukum. Bisa dikatakan pemerintah gagal membangun mental bangsa. Ini
terlihat dari meningkatnya jumlah pelacur di tanah air. Lebih parahnya

lagi, jasa haram pelacuran juga sudah lama dinikmati kalangan pejabat.
Sudah jadi rahasia umum, tak sedikit pejabat yang mendapat gratifikasi
seksual berupa layanan pelacur. Ironinya, sampai saat ini belum ada
undang-undang yang dapat menjeratnya. Semua fakta itu adalah indikasi
hancurnya iman dan takwa bangsa yang mayoritas muslim ini. Masyarakat
dan penguasa pun menjadi manusia hedonis yang memburu kenikmatan
jasadiyah, termasuk berzina. Istlah haram dan dosa seolah hilang dari
kamus mereka. Resiko terkena penyakit kelamin, termasuk tertular
HIV/AIDS pun tak terpikirkan. Gaya hidup hedonis juga mendorong
sebagian perempuan melacur. Karena tuntutan gaya hidup, ingin punya
baju mahal, parfum bermerk, gadget canggih dan uang berlimpah.
Sebagian dari perempuan pelacur itu berasal dari kelompok ekonomi
mampu.
Meski demikian juga tidak bisa dipungkiri tidak sedikit perempuan
menjadi pelacur karena himpitan ekonomi. Mayoritas pelacur anak yang
menjadi korban trafficking berasal dari keluarga miskin di tanah air.
Sebagian malah dijual oleh ibu kandungnya sendiri, atau ada juga yang
dijual oleh suaminya sendiri. Terakhir, tidak bisa dibantah lagi maraknya
pelacuran di tanah air adalah karena rendahnya sanksi hukum dalam kasus
pelacuran. Banyak pelacur yang tertangkap hanya diberi peringatan, dibina
lalu dilepaskan lagi. Apalagi pria hidung belang para pelanggannya
mereka justru tidak mendapatkan sanksi sama sekali. Ratu mucikari yang
sudah jelas mengelola pelacuran hanya diberi sanksi 1 tahun oleh hakim.
Jaksa penuntut umum sendiri hanya menuntutnya penjara 14 bulan. Kalau
sudah begini, siapa yang takut melacur.

Anda mungkin juga menyukai