Ide Kebangsaan Gus Dur
Ide Kebangsaan Gus Dur
Gus Dur, dua elemen asasi, yaitu humanisme dan toleransi dapat menjadi
dasar ideal modus keberadaan politik komunitas Islam di Indonesia.
Modus politik yang secara konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur adalah
komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang tidak sektarian
dan sekaligus mengangkat universalitas kemanusiaan. Platform kehidupan
umat Islam seharusnya diletakkan pada tiga prinsip persaudaraan, yaitu
ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah,
sebagaimana prinsip NU. Karena itu, di dalam politik Gus Dur selalu
menghindari formalitas Islam dalam negara.
Akar pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang lainnya adalah
penguatan civil society. Ia berpendapat, paradigma baru yang harus
dikembangkan oleh umat Islam adalah mengambil titik masuk strategis,
yaitu
pembentukan civil
society (pemberdayaan
rakyat
bawah).
Pengembangan orientasi civil society ini sejalan dengan NU setelah
kembali ke Khittah 1926.
Civil society sejalan dengan NU dikarenakan; pertama, NU tak lagi hanya
membatasi diri pada upaya pemecahan masalah-masalah yang
menyangkut kepentingan warga Nahdliyin, tetapi diperluas hingga
menyangkut kepentingan bangsa. Kedua, NU mengakui bahwa wilayah
esensi bagi sebuah civil society yang mandiri kini menjadi komitmen utama
perjuangannya. Ketiga, NU pascaKhittah berniat menitikberatkan geraknya
pada level masyarakat untuk memperkuat kemandirian dan kepercayaan
dirinya.
Pancasila dan Islam
Kajian ini mendapat perhatian dikarenakan masih banyak pemikir Islam
dan literatur Islam yang mendikotomikan negara Pancasila dan negara
Islam. Ketegangan antara umat Islam dan pemerintah dapat dilihat ketika
kebijakan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh
organisasi sosial politik dan sosial keagamaan.
Mulai saat itu kajian tentang Pancasila dalam perspektif Islam berlangsung
sangat intens dan baru mulai reda ketika NU, yang memaknainya atas
dasar-dasar pemikiran keagamaan, menerima Pan casila sebagai asas
organisasi pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Dalam pandangan Gus Dur,
Pancasila adalah sebuah ke sepakatan politik yang memberi peluang bagi
bangsa Indonesia untuk men gembangkan kehidupan nasional yang sehat
di dalam sebuah negara kesatuan.
Dalam pandangan Islam, meskipun negara Pancasila tidak secara tegas
sebagai negara agama, bukan berarti tidak mem perbolehkan umat Islam
men jalankan syariat agamanya. Bagi Gus Dur, agama mempunyai
peranan sebagai sumber pandangan hidup bangsa dan negara. Ini adalah
inti hubungan antara Islam dan Pancasila.
Namun, pada saat yang sama ideologi Pancasila menjamin kebebasan
pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya. Hubungan antara
keduanya dapat digambarkan sebagai agama berperan memotivasikan
kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur yang diserap oleh Pancasila dan
dituangkan dalam pa ndangan hidup bangsa.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika Gus Dur, pada suatu hari di
tahun 1992 berikrar: Pancasila adalah serangkaian prinsip yang bersifat
lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak
diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan
jiwa raga saya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau
dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam.
Tanpa Pancasila negara RI tidak akan pernah ada.
Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan Musyawarah
Nasional Alim Ulama NU 1983 di Situbondo, bahwa Indonesia yang
berasas Pancasila itu bersifat nal. Ini memang keputusan jamiyah NU,
dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun, tanpa mengecilkan
peranan tokoh yang lain, patut disadari Gus Dur merupakan salah satu
aktor kunci bagi lahirnya keputusan itu. Seribu hari Gus Dur berpulang,
rasanya kita me merlukan sentuhan aktor sekelas Gus Dur.
Pendahuluan
Peta kehidupan berbangsa di Indonesia sangat mengalami perubahan
yang signifikan ketika keran demokrasi reformasi dibuka. Jika pada era
Orde Baru, kita melihat suasana penyeragaman yang kolektif, terutama
dalam hal ideologi, maka ketika era reformasi, semua elemen masyarakat
dibebaskan untuk mengekspresikan ideologinya masing-masing.
Kehidupan reformasi seperti ini merupakan konsekuensi akan kehidupan
demokrasi yang subtansial, yakni kebebasan ekspresi bagi semua
golongan secara setara dan bertanggung jawab.
Figur Gus Dur sebagai tokoh bangsa sudah tidak diragukan lagi. Pasca
naiknya ia menjadi Ketua PBNU di tahun 1984, Gus Dur mulai
menampilkan potensi leadership kebangsaan yang sangat progresif. Ini
bisa dilihat dalam cara pandangnya mengenai pemahaman keagamaan,
civil society yang berbasis intelektualisme kepesantrenan, dan penyikapan
terhadap keberagaman. Pada era akhir Orde Baru itu, Gus Dur pun sempat
bersiteru dengan Soeharto, karena lontaran-lontaran Gus Dur yang
dianggap membahayakan fondasi kepolitikannya Orde Baru.
Ketika era reformasi dibuka, Gus Dur pun tak mau ketinggalan untuk
menuntaskan agenda politik kebangsaannya. Dengan kontribusi dan aksi
nyatanya pada pengawalan kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa, Gus Dur
mulai banyak menuai simpati yang sangat banyak sekali, dan terutamanya
dari golongan santri muda Indonesia hingga masyarakat lintas
etnis/golongan, sehingga yang seperti ini jugalah yang mengantarkan Gus
Dur ke lingkaran eksekutif Pemerintahan Republik Indonesia.
Sejumlah kebijakan yang ditelurkan oleh Gus Dur ketika menjadi Presiden
di era reformasi bisa dibilang cukup kontroversial, karena setelah sekian
lama Orde Baru menganggapnya sebagai tabu bagi masyarakat, namun
pada saat itu Gus Dur mencoba mengangkatnya kembali. Ini bisa dilihat
dari kebijakan Gus Dur dalam hal penyetaraan kehidupan etnis Tionghoa di
Indonesia, pencabutan peraturan terkait pelarangan beberapa organisasiorganisasi oleh Presiden Soekarno ketika era tahun 1960-an, lalu rencana
pembukaan hubungan diplomasi dengan Israel, hingga pada rencana
pencabutan TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966, dan yang lainnya.
Bagi golongan-golongan yang diluar visi kebangsaan seorang Gus Dur,
rencana-rencana dan kebijakan yang dipopulerkan oleh Gus Dur terlihat
sangat asing di telinga. Selain terlihat kontroversial (bahkan beberapa
golongan menolak mati-matian dengan memakai argumen teologis),
kebijakan seperti ini seolah-olah berusaha meruntuhkan kemapanan
monopoli visi kebangsaan yang dipropagandakan oleh rezim Orde Baru.
Namun patut diingat, bahwa Gus Dur terlahir dari kalangan santri baru
(Zainuddin Maliki, 2004), maka disini kita bisa melihat bahwa konstruk
berpikir yang dipakai oleh Gus Dur merupakan hubungan dialektika
multikultur yang sudah diajarkan oleh ayahnya Wahid Hasyim dalam
berkehidupan sehari-hari.
Kemungkinan Politik Emansipasi Pasca-Gus Dur
Ditengah-tengah carut marutnya politik kekinian, kita perlu merumuskan
agenda high-politics yang jauh melihat kepada visi kedepan. Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai penerus agenda kebangsaan
Gus Dur perlu menekankan kembali visi-misi politik yang segar. Disinilah
kita bisa melihat, bahwa seorang Subjek yang Radikal perlu diciptakan
demi melaksanakan agenda politik emansipasi Pasca Gus Dur. Jadi
pembentukan Subjek itu sendiri harus selalu melalui dan berada dalam
ruang dialektika. Selaras dalam hal ini, Slavoj Zizek, seorang Filsuf
Slovenia menekankan bahwa inti Subjek itu sendiri merupakan negativitas
dan kosong, yang artinya bahwa isi subtansialnya diumpan ke dalam
determinasi predikatnya: dalam Subjektivisasi Substansi, keringkasan pada
dirinya sendiri terlebur pada bagian-bagian partikular, beragam ada bagi
Yang Lain, dan Subyek itu sendiri kosong seperti wadah yang sesudah itu
substansinya dipartikulasi/disubjetivisasi (Robertus Robet, 2010).
Radikal dalam pengertian disini yakni bahwa subjek itu mampu membawa
semangat ruh politik yang emansipasitif juga berangkat dari subjek
bernegativitas, sehingga ia bukan hanya sebuah Yang Simbolik, namun ia
menjadi Yang Riil, karena Yang Simbolik itu merupakan realitas yang
dengan nilai-nilai inklusif dan moderat. Inilah metode yang dipakai Gus Dur
dalam konsolidasi sosial dengan seluruh elemen nasional Indonesia.
Politik emansipasi yang digalakkan seorang Gus Dur kini sudah tercatat di
sejarah, dan kini kita pun menemui realitas yang berbeda sama sekali.
Dengan pembentukan Subjek Radikal yang terbaharui, politik emansipasi
masih mungkin dilakukan. PKB sebagai wadah politik kebangsaan dengan
tradisi moderatnya tentunya siap meneruskan agenda-agenda progresifnya
Gus Dur, yang tercakupi pada wilayah intrepretasi-dinamisasi penafsiran
keagamaan, Pancasila, hingga pada Pluralisme-Multikulturalisme.
Pembelaannya terhadap kaum-kaum tertindas/minoritas sudah menjadi ciri
khas tersendiri dalam politik kebangsaannya.
Pada wilayah Pluralisme-Multikulturalisme inilah, konsep high politics Gus
Dur yang paling fundamental. Meminjam istilahnya Hannah Arendt,
seorang pemikir politik, bahwa ruang dialog politik yang menjamin
Pluralisme dan Multikulturalisme yakni politik otentik, politik yang hanya
bisa didapat ketika individu yang berbeda-beda sekaligus setara bertindak
dan berbicara untuk memutuskan perkara bersama-sama secara
argumentatif-diskursif (Agus Sudibyo, 2012). Sudah menjadi tradisi awal
reformasi, PKB beserta kader-kadernya selalu siap untuk berduduk
bersama untuk bertindak dan memutuskan perkara bersama secara
argumentative, sehingga sangat disayangkan sekali tradisi yang sangat
bagus ini jika ditinggalkan begitu saja. Tradisi ini harus dipertahankan,
karena ini adalah modal utama untuk menjalankan agenda reformasi
Indonesia yang masih terus berlanjut. Mari jadikan hari ulang tahun yang
ke 15 PKB ini sebagai revitalisasi ideologi kebangsaan yang mewarisi
semangat ide-ide Gus Dur.
Dalam diskusi itu juga seorang kiai yang Menjabat Ketua Umum Lajnah
Tanfidziyah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan pembina Pertahanan
Ideologi Syarikat Islam (Perisai) K.H Muhammad E Irmansyah mengaku
sempat salah memahami Gus Dur.
Saya Muhammad Hermansyah, ketua syarekat Islam. Saya ingin
membuat pengakuan dosa. Saya pernah membenci Gus Dur. Saya kenal
dengan keluarga Gus Dur, tapi terus terang saya ada tabir dengan Gus Dur
karena ajaran pluralisme beliau, ungkapnya.
Ia mengaku pernah mendiskreditkan Gus Dur dalam sejumlah
ceramahnya. Sebagai pengamal syariah, ia pernah tak sepaham dengan
konsep pluralisme Gus Dur. Tapi setelah memahami lebih lanjut, bertahun
kemudian, ia mengaku terkesan dengan sikap dan ajaran Gus Dur. Saya
merasa berdosa. Ternyata pluralisme yang diajarkan Gus Dur tak
bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan itulah ajaran nabi yang
mengajarkan pentingnya kasih sayang bagi sesama. Ternyata yang tak
sepaham dengan Gus Dur, itu karena belum mencapai pada maqamnya
saja, katanya seraya mengutip beberapa hadist, dan ayat al-Quran yang
mendukung konsep pluralisme Gus Dur.
Ia mengaku semakin terkesan kepada Gus Dur, ketika ia menemui Gus
Dur saat menjabat sebagai Presiden. Sikap sederhana Gus Dur masih
melekat dalam ingatannya hingga sekarang. Karenanya kemudian ia kini
berguru tasawwuf kepada K.H Lukman Hakim, yang notabene merupakan
murid Gus Dur. Saya pernah beberapa kali bertemu presiden, tapi belum
pernah bertemu presiden di kamar tidurnya. Saya merasa kecil sekali,
ketika Gus Dur dengan santai menerima saya di kamar tidurnya. Betapa
beliau telah menghilangkan sekat duniawi, tandasnya.
dibenturkan bukan kristen dengan Budha, akan tetapi Islam Vs Islam. Nah
inilah yang sebenarnya sangat berbahaya dan ini tidak banyak para elit
politik dan tokoh agama menyadari. Kasus Solo dan Sampang salah satu
realitas yang diperlihatkan oleh kaum kapitalis-materalis-modern bahwa
kontruksi kita dilumpuhkan pelan-pelan.
Skenario besar yang sedang dirancang untuk melumpuhkan bangsa.
Padahal kita tahu kewajiban negara adalah menjaga keamanan, menjaga
ketentraman, menjaga kedamaian, tapi mengapa seakan negara mati tak
berdaya. Ini salah satu bukti nyata bahwa sendi-sendi negara sedang ada
yang lumpuh. Lalu siapa yang bertanggungjawab atas semua itu? maka
penting bagi siapa pun termasuk aparat penegak hukum untuk mengerti
wawasan sosiologis. Kalau ini tidak diajarkan di dunia pendidikan tersebut
maka tidak heran kalau kita berfikir parsial, padahal ilmu harus ada korelasi
dengan ilmu-ilmu yang lain.
Karena ada indikasi negara gagal salah satunya adalah kontruksi
keamanan gagal, kontruksi ekonomi dan politik gagal, dan kontruksi sosial
gagal. Korporasi internasiolan sedang mengusai negara kita, akhirnya yang
terjadi adalah politik transaksional. Serangan yang sifatnya membunuh itu
merupakan dampak dari politik transaksional yang kini masih nyaris tak
bisa dibentung, karena dalam politik, siapa akan dikorbankan demi satu
kekuasan. Padahal gerakan pluralisme tidak harus ditampakkan. Maka
toleransi keberagaman adalah bagaimana kita langsung turun ke jalan,
kalau di Yogyakarta ada Romo Mangun turun ke Kali Code dan kiai
Krapyak turun mengayomi masyarakat dan tidak memandang agamamu
apa? Dan bagaimana kiai dahulu dalam membangun bangsa Indonesia ini.
Sekarang yang terjadi justeru memakai bendera-bendera sendiri.
Kebersamaan dalam satu tujuan untuk memberi pelajaran kepada
masyarakat nyaris tidak ada. Yang ada bagaimana mendapat keuntungan
dari masyarakat. Apakah ini memungkinkan terjadinya negara egoisme
atau agama egoisme?.
Mengapa kemudian orang-orang yang dihormati dan mengapa nilai
kemanusiaan semakin menurun? Apakah ada kontruksi yang didorong?,
Islam didorong untuk belajar agama an sich, sehingga lupa bahwa ada
perang politik dan ekonomi? Seharusnya orang-orang tua menjadi orang
bijak. Karena dalam satu negara dan bangsa pemimpin yang baik pasti
rakyatnya juga baik.
Akhirnya kontruksi perbudakan harus dibentengi oleh kita sebagai penerus
bangsa ini dengan pertama oleh budaya lokal harus diperkuat, kedua
hubungan kekerabatan harus dipertahankan, sekarang anak-anak muda
cenderung egois. Tidak heran kalau menjadi buruh di negeri sendiri. Maka
yang dibutuhkan sekarang adalah orang-orang biasa yang mampu
mengajarkan dan langsung turun lapangan (orang-orang yang mampu
mengayomi dan mengerti masyarakat).