Anda di halaman 1dari 19

Ide Kebangsaan Gus Dur

Dalam rangka memperingati seribu hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid


(Gus Dur) adalah tepat jika dikaji tentang pemikirannya, terutama dalam
kehidupan bernegara. Di NU, terlebih Indonesia, ada begitu banyak insan
yang cerdas dan memiliki visi kepemimpinan yang bagus. Dari sederet
nama pemimpin, ada nama Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita
panggil Gus Dur. Hanya, Gus Dur bukan pemimpin biasa.
Gus Dur memiliki keunikan yang membedakannya dengan orang-orang
semacam itu.
Gus Dur adalah manusia multidimensional. Gus Dur tidak hanya melahap
pemikiran al-Ghazali sampai Ibn Rushd. Gus Dur juga mempunyai
semangat tinggi untuk berkawan dengan pemikiran orang-orang seperti alKindi, Ibn Sina, Ibn Bajah, dan Ibn Thufail, hingga para filosof Yunani
seperti Aristoteles dan Plato. Ia pun berkelana cukup jauh membaca karyakarya Karl Marx dan Fredrich Engels, juga Immanuel Kant dan
Bonaventura.
Sudah terlampau banyak penelitian tentang Gus Dur dalam berbagai
perspektif, mulai dari segi ilmiah hingga khazanah gaib. Puluhan atau
bahkan ratusan buku yang mengulas rinci noktah-noktah pemikiran Gus
Dur telah diterbitkan, baik tatkala Gus Dur masih hidup maupun ketika
sudah meninggal dunia.
Dari berbagai pemikiran Gus Dur, ada satu yang perlu kita selalu
dengungkan untuk mempertajam cinta kasih terhadap negara. Yaitu,
prinsip Gus Dur yang berkaitan dengan relasi antara Islam dan
kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus
didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan.
Komitmen Humanisme
Kini, di tengah masalah kebangsaan di Indonesia yang masih menghadapi
tantangan yang tidak ringan, perlu kiranya kita memahami akar pemikiran
Gus Dur. Memahami akar pemikiran Gus Dur adalah bentuk antisipasi
bersama untuk menyelamatkan Pancasila.
Akar pemikiran politik KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya didasarkan
pada komitmen kemanusiaan (humanism-insaniyah) dalam ajaran Islam.
Dalam pandangan Gus Dur, komit men kemanusiaan itu dapat digunakan
sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan persoalan utama kiprah politik
umat Islam dalam masyarakat modern dan pluralistik Indonesia.
Komitmen kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai sikap toleransi
dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan sosial. Menurut

Gus Dur, dua elemen asasi, yaitu humanisme dan toleransi dapat menjadi
dasar ideal modus keberadaan politik komunitas Islam di Indonesia.
Modus politik yang secara konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur adalah
komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang tidak sektarian
dan sekaligus mengangkat universalitas kemanusiaan. Platform kehidupan
umat Islam seharusnya diletakkan pada tiga prinsip persaudaraan, yaitu
ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah,
sebagaimana prinsip NU. Karena itu, di dalam politik Gus Dur selalu
menghindari formalitas Islam dalam negara.
Akar pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang lainnya adalah
penguatan civil society. Ia berpendapat, paradigma baru yang harus
dikembangkan oleh umat Islam adalah mengambil titik masuk strategis,
yaitu
pembentukan civil
society (pemberdayaan
rakyat
bawah).
Pengembangan orientasi civil society ini sejalan dengan NU setelah
kembali ke Khittah 1926.
Civil society sejalan dengan NU dikarenakan; pertama, NU tak lagi hanya
membatasi diri pada upaya pemecahan masalah-masalah yang
menyangkut kepentingan warga Nahdliyin, tetapi diperluas hingga
menyangkut kepentingan bangsa. Kedua, NU mengakui bahwa wilayah
esensi bagi sebuah civil society yang mandiri kini menjadi komitmen utama
perjuangannya. Ketiga, NU pascaKhittah berniat menitikberatkan geraknya
pada level masyarakat untuk memperkuat kemandirian dan kepercayaan
dirinya.
Pancasila dan Islam
Kajian ini mendapat perhatian dikarenakan masih banyak pemikir Islam
dan literatur Islam yang mendikotomikan negara Pancasila dan negara
Islam. Ketegangan antara umat Islam dan pemerintah dapat dilihat ketika
kebijakan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh
organisasi sosial politik dan sosial keagamaan.
Mulai saat itu kajian tentang Pancasila dalam perspektif Islam berlangsung
sangat intens dan baru mulai reda ketika NU, yang memaknainya atas
dasar-dasar pemikiran keagamaan, menerima Pan casila sebagai asas
organisasi pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Dalam pandangan Gus Dur,
Pancasila adalah sebuah ke sepakatan politik yang memberi peluang bagi
bangsa Indonesia untuk men gembangkan kehidupan nasional yang sehat
di dalam sebuah negara kesatuan.
Dalam pandangan Islam, meskipun negara Pancasila tidak secara tegas
sebagai negara agama, bukan berarti tidak mem perbolehkan umat Islam
men jalankan syariat agamanya. Bagi Gus Dur, agama mempunyai

peranan sebagai sumber pandangan hidup bangsa dan negara. Ini adalah
inti hubungan antara Islam dan Pancasila.
Namun, pada saat yang sama ideologi Pancasila menjamin kebebasan
pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya. Hubungan antara
keduanya dapat digambarkan sebagai agama berperan memotivasikan
kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur yang diserap oleh Pancasila dan
dituangkan dalam pa ndangan hidup bangsa.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika Gus Dur, pada suatu hari di
tahun 1992 berikrar: Pancasila adalah serangkaian prinsip yang bersifat
lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak
diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan
jiwa raga saya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau
dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam.
Tanpa Pancasila negara RI tidak akan pernah ada.
Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan Musyawarah
Nasional Alim Ulama NU 1983 di Situbondo, bahwa Indonesia yang
berasas Pancasila itu bersifat nal. Ini memang keputusan jamiyah NU,
dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun, tanpa mengecilkan
peranan tokoh yang lain, patut disadari Gus Dur merupakan salah satu
aktor kunci bagi lahirnya keputusan itu. Seribu hari Gus Dur berpulang,
rasanya kita me merlukan sentuhan aktor sekelas Gus Dur.

Pemikiran Gus Dur tentang kebangsaan


harus dilanjutkan
Ide dan pemikiran Gus Dur yang tajam dan cemerlang soal kebangsaan,
khususnya tentang Bhinneka Tunggal Ika, telah memberikan peranan
besar bagi perjalanan bangsa.
Oleh karena itu, ide, gagasan dan pemikiran Gus Dur tentang kebangsaan
dan persatuan harus dilanjutkan, demi kemajuan bangsa Indonesia.
Ulama, umaro dan pimpinan pesantren di sejumlah daerah di Indonesia
menilai sosok Gus Dur sebagai inspirasi bagi ulama dan santri.
Cucu pendiri NU, KH Hasyim Asyari, itu dinilai telah mengajarkan
pentingnya penghormatan atas perbedaan agama, suku, bangsa, dan nilainilai demokrasi.
Anggota Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Mustofa
Bisri atau Gus Mus, mengatakan bahwa keberlangsungan ide dan
pemikiran yang ditinggalkan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yaitu
gigih memperjuangkan demokrasi dan pluralisme, menjadi tanggung jawab
seluruh rakyat Indonesia.
Pemikiran Gus Dur yang tajam dan cemerlang soal kebangsaan,
khususnya tentang Bhinneka Tunggal Ika, telah memberikan peranan
besar bagi perjalanan bangsa.
Praktik yang dilakukan Gus Dur mengenai sikap saling menghormati
segala bentuk perbedaan demi tercapainya tatanan masyarakat yang
demokratis harus diteladani. Konsep kebangsaan Gus Dur itu kini
menghadapi banyak tantangan dan hambatan.
Pengasuh Pondok Pesantren Syalafiah As-Syafiiyah, Asembagus,
Situbondo, KH Fawaid Asad Samsul Arifin, mengatakan, saat ini yang
perlu dilakukan sepeninggal Gus Dur adalah melawan bibit-bibit
perpecahan bangsa.

Munculnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme agama yang


membahayakan persatuan perlu terus diwaspadai.
Generasi muda harus dibentengi dengan pemahaman tentang pemikiran
Gus Dur agar terhindar dari aliran keagamaan yang merusak.
Pengasuh Pondok Pesantren Salaf Asrama Perguruan Islam Tegalrejo,
Magelang, M Yusuf Chudlori, menilai Gus Dur adalah sumber motivasi dan
inspirasi bagi pesantren. Gus Dur telah menebarkan nilai-nilai demokrasi
kepada ulama dan santri. Gus Dur mampu membuka mata hati mereka
tentang keterkaitan antara Islam, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Pengajar Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Rembang, Bisri Adib
Hatani, menganggap Gus Dur sebagai sosok ideal negarawan produk
pendidikan pesantren. Pemikiran Gus Dur mengajarkan sekaligus
mencontohkan bagaimana ber-Islam
dalam konteks keindonesiaan. Gus Dur memandang dan meyakini
perbedaan adalah rahmat, sunnatullah (telah digariskan Allah).
Perbedaan itulah yang membentuk warga Indonesia menjadi bangsa yang
terhormat, mandiri, dan merdeka lahir batin.
Wakil Ketua Yayasan Buntet Pesantren, Cirebon, KH Wawan Arwani,
mengungkapkan, salah satu nilai yang ditularkan Gus Dur adalah
keterbukaan terhadap penganut agama atau kepercayaan lain. Cara hidup
bersama di negara multikultural itulah yang juga disebarkan kepada santri
Buntet Pesantren. Santri diajarkan untuk tidak menyelesaikan persoalan
dengan kekerasan dan menegaskan terorisme yang mengatasnamakan
jihad adalah haram.
Mengantarkan kepergian Gus Dur, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menegaskan, mendiang sebagai bapak pluralisme dan multikulturalisme di
Indonesia.
Gus Dur merupakan pejuang reformasi yang melembagakan
penghormatan pada kemajemukan ide dan identitas. Gus Dur
menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita pada
kemajemukan ide dan identitas yang bersumber dari perbedaan agama,
kepercayaan, etnik, dan kedaerahan. Disadari atau tidak oleh kita,

sesungguhnya beliau adalah bapak pluralisme dan multikulturalisme di


Indonesia.
Almarhum Gus Dur, adalah salah satu pemimpin dan pemikir Islam yang
sangat dihormati, baik di Indonesia maupun di dunia. Gus Dur meyakini
Islam sebagai sumber universal bagi kemanusiaan, keselamatan,
perdamaian, keadilan, dan toleransi.
Gus Dur menetapkan berbagai kebijakan untuk mengakhiri diskriminasi
dan untuk menegaskan bahwa negara memuliakan berbagai bentuk
kemajemukan.
Mari kita teladani gaya kepemimpinan dan kehidupan Gus Dur, terutama
upaya mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam
kerangka NKRI.

Oleh: Muhammad Rasyid Ridha Saragih*


KATAGORI PESERTA LOMBA
Mahasiswa

Pendahuluan
Peta kehidupan berbangsa di Indonesia sangat mengalami perubahan
yang signifikan ketika keran demokrasi reformasi dibuka. Jika pada era
Orde Baru, kita melihat suasana penyeragaman yang kolektif, terutama
dalam hal ideologi, maka ketika era reformasi, semua elemen masyarakat
dibebaskan untuk mengekspresikan ideologinya masing-masing.
Kehidupan reformasi seperti ini merupakan konsekuensi akan kehidupan
demokrasi yang subtansial, yakni kebebasan ekspresi bagi semua
golongan secara setara dan bertanggung jawab.
Figur Gus Dur sebagai tokoh bangsa sudah tidak diragukan lagi. Pasca
naiknya ia menjadi Ketua PBNU di tahun 1984, Gus Dur mulai
menampilkan potensi leadership kebangsaan yang sangat progresif. Ini
bisa dilihat dalam cara pandangnya mengenai pemahaman keagamaan,
civil society yang berbasis intelektualisme kepesantrenan, dan penyikapan
terhadap keberagaman. Pada era akhir Orde Baru itu, Gus Dur pun sempat
bersiteru dengan Soeharto, karena lontaran-lontaran Gus Dur yang
dianggap membahayakan fondasi kepolitikannya Orde Baru.
Ketika era reformasi dibuka, Gus Dur pun tak mau ketinggalan untuk
menuntaskan agenda politik kebangsaannya. Dengan kontribusi dan aksi
nyatanya pada pengawalan kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa, Gus Dur
mulai banyak menuai simpati yang sangat banyak sekali, dan terutamanya
dari golongan santri muda Indonesia hingga masyarakat lintas
etnis/golongan, sehingga yang seperti ini jugalah yang mengantarkan Gus
Dur ke lingkaran eksekutif Pemerintahan Republik Indonesia.
Sejumlah kebijakan yang ditelurkan oleh Gus Dur ketika menjadi Presiden
di era reformasi bisa dibilang cukup kontroversial, karena setelah sekian
lama Orde Baru menganggapnya sebagai tabu bagi masyarakat, namun

pada saat itu Gus Dur mencoba mengangkatnya kembali. Ini bisa dilihat
dari kebijakan Gus Dur dalam hal penyetaraan kehidupan etnis Tionghoa di
Indonesia, pencabutan peraturan terkait pelarangan beberapa organisasiorganisasi oleh Presiden Soekarno ketika era tahun 1960-an, lalu rencana
pembukaan hubungan diplomasi dengan Israel, hingga pada rencana
pencabutan TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966, dan yang lainnya.
Bagi golongan-golongan yang diluar visi kebangsaan seorang Gus Dur,
rencana-rencana dan kebijakan yang dipopulerkan oleh Gus Dur terlihat
sangat asing di telinga. Selain terlihat kontroversial (bahkan beberapa
golongan menolak mati-matian dengan memakai argumen teologis),
kebijakan seperti ini seolah-olah berusaha meruntuhkan kemapanan
monopoli visi kebangsaan yang dipropagandakan oleh rezim Orde Baru.
Namun patut diingat, bahwa Gus Dur terlahir dari kalangan santri baru
(Zainuddin Maliki, 2004), maka disini kita bisa melihat bahwa konstruk
berpikir yang dipakai oleh Gus Dur merupakan hubungan dialektika
multikultur yang sudah diajarkan oleh ayahnya Wahid Hasyim dalam
berkehidupan sehari-hari.
Kemungkinan Politik Emansipasi Pasca-Gus Dur
Ditengah-tengah carut marutnya politik kekinian, kita perlu merumuskan
agenda high-politics yang jauh melihat kepada visi kedepan. Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai penerus agenda kebangsaan
Gus Dur perlu menekankan kembali visi-misi politik yang segar. Disinilah
kita bisa melihat, bahwa seorang Subjek yang Radikal perlu diciptakan
demi melaksanakan agenda politik emansipasi Pasca Gus Dur. Jadi
pembentukan Subjek itu sendiri harus selalu melalui dan berada dalam
ruang dialektika. Selaras dalam hal ini, Slavoj Zizek, seorang Filsuf
Slovenia menekankan bahwa inti Subjek itu sendiri merupakan negativitas
dan kosong, yang artinya bahwa isi subtansialnya diumpan ke dalam
determinasi predikatnya: dalam Subjektivisasi Substansi, keringkasan pada
dirinya sendiri terlebur pada bagian-bagian partikular, beragam ada bagi
Yang Lain, dan Subyek itu sendiri kosong seperti wadah yang sesudah itu
substansinya dipartikulasi/disubjetivisasi (Robertus Robet, 2010).
Radikal dalam pengertian disini yakni bahwa subjek itu mampu membawa
semangat ruh politik yang emansipasitif juga berangkat dari subjek
bernegativitas, sehingga ia bukan hanya sebuah Yang Simbolik, namun ia
menjadi Yang Riil, karena Yang Simbolik itu merupakan realitas yang

(telah) terbahasakan dan kerangka impersonal dalam masyarakat,


sehingga ia merupakan penjara bagi Subjek, berbeda dengan Yang Riil,
yakni bagian yang tak tertangkap oleh bahasa, sehingga ia mencakup
pada dimensi keabadian (Slavoj Zizek, 1989). Pada dasar filosofi disinilah
kita melihat, bahwa politik emansipasi tidak terlepas dari keterkaitan
Subjek, wilayah simbolik, hingga wilayah riil. Entah wilayah simbolik dan
Riil ini bercampur padu, namun pada kenyataannya ide-ide Gus Dur yang
terkadang dilontarkan dengan banyolan-banyolan konyol segar terlihat
semakin hari semakin terlihat relevansinya. Disini kita melihat bahwa
wilayah Subjek Gus Dur sudah berada pada daerah persimpangan antara
Yang Simbolik dan Yang Riil, karena ide-ide Gus Dur terlihat semakin
menggaung dan semi-abadi.
Namun kita juga perlu melihat bahwa pembentukan Subjek yang
sedemikian radikal pada diri Gus Dur tak semerta-merta terjadi dengan
instan. Namun disini kita yakin, bahwa pengalamannya dengan berbagai
macam komunitas masyarakat dan banyaknya literatur yang ia lahap
merupakan bagian yang fundamental dalam pembentukan subjek seorang
Gus Dur. Keterkaitan Gus Dur dengan tradisi Islam sudah tidak bisa
diragukan lagi, karena tradisi Islam juga merupakan tradisi teks turats,
maka sekalipun sudah banyak Gus Dur membaca tulisan-tulisan ilmu
agama, namun ia terus selalu menafsir ulang teks keislaman. Bentuk tafsir
keislaman yang sudah mapan, terkadang didekontruksi sedemikian rupa
oleh seorang Gus Dur. Gus Dur sangat yakin, bahwa teks itu harus
dibebaskan dari kebekuannya dengan adanya penafsiran, sehingga
pluralitas penafsiran teks menjadi sunnatullah. Meminjam istilahnya
Gustavo Gutierrez (seorang pioneer dalam ide mengenai Teologi
Pembebasan di Amerika Latin), senada juga dengan ide-ide Asghar AliEngineer, Gus Dur yakin bahwa Agama seharusnya bersifat kemanusiaan
dan membebaskan manusia dari ketertindasan. Sehingga dimensi sosial
pada Agama justru menjadi yang terpenting dan bersifat antroposentris,
bukan hanya soal teologi saja yang bersifat teosentris. Lebih-lebih ajaran
agama yang terlihat dimensi sosialnya seperti zakat, Gus Dur melihat
bahwa ini juga fondasi utama membangun masyarakat madani.
Masyarakat madani tentunya bisa diciptakan dengan menjamin kesetaraan
dan memberantas diskriminasi.
Apa yang diharapkan oleh Gus Dur pasca reformasi ini adalah selain
kehidupan kesetaraan dalam keberagaman, yakni pemberantasan sikap
yang tidak baik dalam perpolitikan yang didalamnya termasuk juga

kekerasan dan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Rasionalitas dalam


perpolitikan perlu dijadikan fondasi yang utama. Dengan demikian, agenda
politik emansipasi tidak didapatkan melalui kalkulus politik, namun ia hanya
didapatkan dalam wilayah kalkulasi dan keyakinan filosofis. Keyakinan
akan emansipasi ini tentunya hadir dengan cara mempersiapkan kerangka
metafisisnya,
yakni
subjektifitas,
imajinasi,
intervensi
kepada
takmungkinan, hingga kolektivitas (Robertus Robet, 2010). Sehingga,
emansipasi ini melampaui hukum, jabatan, dan institusi-institusi yang ada,
dan ini ditemukan dalam kebersamaan riil.
Langkah-langkah Gus Dur dalam hal semangatnya memberantas
ketidakadilan perlu diapresiasi, dan dalam hal yang spesifik, PKB sebagai
wadah penerus perjuangan politik kebangsaan Gus Dur harus selalu
menemukan idealismenya, baik dari internal partai hingga wilayah
parlemen. Di dalam PKB, moderasi antara pemahaman ideologi Pancasila,
Ke-Aswaja-an, hingga Keislaman harus selalu dikawal dan dipadukan
dengan agenda politik progesif kebangsaannya Gus Dur. Dengan begini,
dinamisasi ide-ide politik kebangsaan PKB akan selalu berjalan seiring
waktu, dan tidak mengalami stagnanisasi.
Etika-moral politik santri merupakan bagian terpenting dari PKB. Karena
etika-moral seperti ini jugalah yang turut membentuk diri seorang Gus Dur.
Walaupun banyak kader-kader PKB yang berasal dari lingkungan homogen
(satu jenis, yakni santri atau muslim semua), kader-kader PKB juga harus
memiliki visi kebangsaan yang pluralis dan inklusif. Sehingga PKB itu
sendiri bukanlah untuk satu golongan, tapi PKB itu untuk semua, yaitu
Indonesia. Karena visi santri seorang Gus Dur yang terpenting itu adalah
bahwa ia mampu menerima dan mengayomi multikulturalisme. Visi santri
seperti inilah yang kelak akan melahirkan subjek radikal yang mampu
membawa politik emansipasi kebangsaan.
Penutup
Dalam kehidupan pasca-reformasi ini, keterhubungan struktur kehidupan
sosial masyarakat semakin terbuka. Kehidupan yang awalnya cenderung
kolektif dan monopolitik, kini berubah menjadi lebih beragam dan lebih
kompleks. Permasalahan masyarakat semakin banyak, baik dalam aspek
ekonomi, keamanan, politik, dan sosial budaya. Terkait gejala
keberagaman inilah, ruang komunikasi publik harus sering digalakkan

dengan nilai-nilai inklusif dan moderat. Inilah metode yang dipakai Gus Dur
dalam konsolidasi sosial dengan seluruh elemen nasional Indonesia.
Politik emansipasi yang digalakkan seorang Gus Dur kini sudah tercatat di
sejarah, dan kini kita pun menemui realitas yang berbeda sama sekali.
Dengan pembentukan Subjek Radikal yang terbaharui, politik emansipasi
masih mungkin dilakukan. PKB sebagai wadah politik kebangsaan dengan
tradisi moderatnya tentunya siap meneruskan agenda-agenda progresifnya
Gus Dur, yang tercakupi pada wilayah intrepretasi-dinamisasi penafsiran
keagamaan, Pancasila, hingga pada Pluralisme-Multikulturalisme.
Pembelaannya terhadap kaum-kaum tertindas/minoritas sudah menjadi ciri
khas tersendiri dalam politik kebangsaannya.
Pada wilayah Pluralisme-Multikulturalisme inilah, konsep high politics Gus
Dur yang paling fundamental. Meminjam istilahnya Hannah Arendt,
seorang pemikir politik, bahwa ruang dialog politik yang menjamin
Pluralisme dan Multikulturalisme yakni politik otentik, politik yang hanya
bisa didapat ketika individu yang berbeda-beda sekaligus setara bertindak
dan berbicara untuk memutuskan perkara bersama-sama secara
argumentatif-diskursif (Agus Sudibyo, 2012). Sudah menjadi tradisi awal
reformasi, PKB beserta kader-kadernya selalu siap untuk berduduk
bersama untuk bertindak dan memutuskan perkara bersama secara
argumentative, sehingga sangat disayangkan sekali tradisi yang sangat
bagus ini jika ditinggalkan begitu saja. Tradisi ini harus dipertahankan,
karena ini adalah modal utama untuk menjalankan agenda reformasi
Indonesia yang masih terus berlanjut. Mari jadikan hari ulang tahun yang
ke 15 PKB ini sebagai revitalisasi ideologi kebangsaan yang mewarisi
semangat ide-ide Gus Dur.

Mengulas Sufisme Gus Dur


Dari Asketisme, Hingga Pengakuan Dosa dari Seorang yang Memusuhinya
Perdebatan tentang sufisme K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tak
hanya terjadi di kalangan muslim. Sejumlah kalangan non muslim juga
ternyata kerap berdebat tentang sikap hidup Gus Dur yang asketik,
egaliter, menebar kasih terhadap sesama dan kemungkinan surga
menerima beliau.
Abdul Malik Mughni (Tan Malika)
Jaya Suprana, seorang penulis, humorolog sekaligus antropolog yang
beragama keristen bercerita tentang perdebatan sejumlah pendeta pasca
wafatnya Gus Dur. Perdebatan sufisme meruncing ketika Gus Dur
meninggal. Saya bertanya pada pendeta, bisakah Gus Dur masuk surga?
kata Jaya dalam bedah buku Sang Zahid; Mengarungi Sufisme Gus Dur,
karya K.H Hussein Muhammad, di kantor Wahid Isntitute, Selasa (25/9).
Pendeta, kata Jaya, dengan tegas menjawab bahwa Gus Dur pasti masuk
neraka, sebab Gus Dur tak mengakui ketuhanan Yesus. Jaya dan sejumlah
pendeta lain sebenarnya tahu prasyarat masuk surga dalam agama kristen
adalah pengakuan terhadap Yesus. Tetapi Jaya mengaku penasaran.
Sebab selama hidupnya, Gus Dur mengamalkan ajaran kasih sayang
terhadap sesama. Pengorbanan Gus Dur bagi sesama, menurut Jaya,
sangatlah besar dan layak diganjar surga.
Pendeta tetap ngotot bahwa Gus Dur tak mungkin masuk surga. Maka
saya jawab. Baiklah kalau begitu, saya lebih baik masuk neraka menemani
Gus Dur, ketimbang masuk surga bersama kalian, tandas Jaya.
Pengakuan unik itu spontan membuat para hadirin tertawa, sekaligus
terharu.
Dalam kesempatan itu, Jaya juga mengungkap permohonan
penyesalannya atas kemunculan Film Innocence of Moslem, yang

menurutnya merupakan film tak berkualitas, dan menistakan kesucian Nabi


Muhammad.
Sebagai sahabat Gus Dur, Jaya mengaku sangat kehilangan sosok yang
selama ini dianggap sebagai guru dan teladan hidupnya. Tapi sebagai
humorolog, Jaya berhasil meramu kesedihannya dalam guyonan khas
Gusdurian. Saya kehilangan Gus Dur. Sebagai seorang guru, saya sering
bertanya pada Gus Dur, apa itu sufi. Maka ketika Gus Dur wafat, saya
bertanya-tanya. Jangan-jangan Gus Dur wafat karena saya terlalu sering
bertanya tentang apa itu sufi. Gus Dur mungkin tak mau kelihatan
kesufiannya, kata Jaya seraya mengungkap bahwa sufisme merupakan
pemahaman keagamaan yang melampaui agama itu sendiri. Beyond
religion.
Dalam bedah buku yang berlangsung selama tiga jam itu, Kiai Hussein,
sang penulis buku Sang Zahid, mengungkap sejumlah pengalamannya
berdekatan dengan Gus Dur. Bagi Hussein, sikap hidup Gus Dur layak
diteladani dan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad, yang menekankan
ummatnya untuk bersikap sederhana, dan tak menggantungkan diri pada
duniawi.
Gus Dur menghayati kesederhanaan dan mementingkan pemberian bagi
orang lain. Sebagai seorang yang zahid, Gus Dur
tak pernah
menceritakan kepada siapapun soal rizki yang sudah dibagikannya untuk
mereka yang memerlukannya, kecil maupun besar. Gus Dur, saya yakin,
selalu tak ingin membuat orang yang memintanya kecewa atau pulang ke
rumahnya dengan wajah duka dan tangan yang tak bawa apa-apa,
paparnya.
Sementara, K.H Lukman Hakim, Pemimpin Redaksi Majalah Sufi dalam
paparanya mengulas keberanian Gus Dur, dan berbagai wacana yang
dilontarkannya merupakan anugerah Allah. Kita Sebagai pengagum
beliau, mempelajari wacana beliau, sulit meneladani beliau seutuhnya.
Mengenai derajat wali adalah hak prerogatif Tuhan.
Tapi dalam hal zuhud, Gus Dur berhasil melepaskan diri dari cinta dunia,
ujarnya.

Dalam diskusi itu juga seorang kiai yang Menjabat Ketua Umum Lajnah
Tanfidziyah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan pembina Pertahanan
Ideologi Syarikat Islam (Perisai) K.H Muhammad E Irmansyah mengaku
sempat salah memahami Gus Dur.
Saya Muhammad Hermansyah, ketua syarekat Islam. Saya ingin
membuat pengakuan dosa. Saya pernah membenci Gus Dur. Saya kenal
dengan keluarga Gus Dur, tapi terus terang saya ada tabir dengan Gus Dur
karena ajaran pluralisme beliau, ungkapnya.
Ia mengaku pernah mendiskreditkan Gus Dur dalam sejumlah
ceramahnya. Sebagai pengamal syariah, ia pernah tak sepaham dengan
konsep pluralisme Gus Dur. Tapi setelah memahami lebih lanjut, bertahun
kemudian, ia mengaku terkesan dengan sikap dan ajaran Gus Dur. Saya
merasa berdosa. Ternyata pluralisme yang diajarkan Gus Dur tak
bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan itulah ajaran nabi yang
mengajarkan pentingnya kasih sayang bagi sesama. Ternyata yang tak
sepaham dengan Gus Dur, itu karena belum mencapai pada maqamnya
saja, katanya seraya mengutip beberapa hadist, dan ayat al-Quran yang
mendukung konsep pluralisme Gus Dur.
Ia mengaku semakin terkesan kepada Gus Dur, ketika ia menemui Gus
Dur saat menjabat sebagai Presiden. Sikap sederhana Gus Dur masih
melekat dalam ingatannya hingga sekarang. Karenanya kemudian ia kini
berguru tasawwuf kepada K.H Lukman Hakim, yang notabene merupakan
murid Gus Dur. Saya pernah beberapa kali bertemu presiden, tapi belum
pernah bertemu presiden di kamar tidurnya. Saya merasa kecil sekali,
ketika Gus Dur dengan santai menerima saya di kamar tidurnya. Betapa
beliau telah menghilangkan sekat duniawi, tandasnya.

PKB dan Spirit Politik Gus Dur


Oleh: Matroni Muserang*
Partai Kebangkitan Bangsa yang di singkat PKB menjadi jembatan dalam
percaturan politik di Indonesia. Sejak berdirinya PKB (baca;sejarah)
memang bertujuan untuk memberikan ide atau pemikiran dalam memaknai
politik di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya dengan tidak
lepas dari garis ahlus sunnah wal jamaah dan Gus Dur sebagai orang
nomor satu di Indonesia atau dengan bahasa lain Gus Dur menjadi
presiden Indonesia dengan membawa ide-ide segar yang sebenarnya
menjadi formula terhadap pemikiran politik Indonesia, akan tetapi ide-ide
segar yang di bawa Gus Dur tidak berjalan lama, karena ide-ide tersebut di
anggap tidak cocok dengan undang-undang dasar 1945.
Padahal kalau kita berpikir lebih dalam lagi, ide-ide yang di bawa Gus Dur
sebenarnya tidak bertentangan dengan alur demokrasi dan undangundang yang selama ini berjalan. Apa yang diwariskan dari K.H Hasyim
Asyari dijalankan oleh Gus Dur dalam mengatur rakyat Indonesia baik di
ranah agama, budaya, dan seni lebih-lebih di ranah politik dan ekonomi.
Hanya saja para elit politik belum mampu berpikir ke arah apa yang
dipikirkan Gus Dur. Jadi tidak heran kalau para elit politik menganggap Gus
Dur sebagai orang salah terhadap hukum dan undang-undang.
Lalu bagaimana peran PKB dan Gus Dur dalam menjalankan pemikirannya
untuk menata politik hubungannya dengan perkembangan masyarakat di
Indonesia? Spirit apa yang digunakan Gus Dur dan PKB dalam
menjalankan roda pemerintahannya? Pertanyaan inilah yang hendak saya
analisis dalam esai ini.
Pemikiran atau ide yang di bawa Gus Dur banyak orang mengatakan
terlalu ke depan dalam artian melampuai pemikiran rata-rata para elit politik
yang lain. Ini menjadi benar kalau Gus Dur di lihat dari kacamata seorang
ulama, tapi menjadi salah jika di lihat dari kacamata politik waktu itu yang

hanga mendepankan hal-hal yang sifatnya materi. Mengapa? Gus Dur


menjalankan roda pemerintahannya dengan menggunakan tiga cara
dengan rasionalitas, dialog dan spiritualitas.
Rasionalitas digunakan untuk memberi pengertian terhadap para elit politik
tentang makna politik yang sebenarnya, bagaimana berpolitik. Dialog
digunakan untuk memberikan kesempatan terhadap orang lain untuk saling
berpendapat dalam hal politik, agama, ekonomi, budaya, termasuk dalam
hal relasi dengan negara-negara lain. Dan spiritualitas digunakan sebagai
tempat pengaduan Gus Dur kepada para ulama, Habaib dan waliyullah
yang ada di Indonesia maupun di luar negeri.
Spirit Politik
Sebenarnya spirit politik Gus Dur lahir dari sosok figur K.H Hasyim AsyArie
yang sejak dulu memperjuangkan rakyat. Spirit itulah yang mengalir
terhadap Gus Dur sehingga perjuangan untuk rakyat tetap di lanjutkan Gus
Dur melalui jembatan partai politik yaitu PKB.
Bagi Gus Dur politik bukan dimaknai sebagai ajang untuk mencari duit
seperti yang sekarang terjadi terhadap koruptor, bukan dijadikan bisnis
jangka pangjang, akan tetapi politik dijadikan alat untuk memperbaiki
keadaan rakyat. Gus Dur lebih substansial dalam memaknai dan
menjalankan politik. PKB hanya sebuah alat untuk masuk ke ranah politik,
karena sulit bagi kita untuk menjadi tokoh politik Indonesia tanpa melalui
jalur partai, jadi PKB bukanlah bagian mutlak dari dari perjalanan politik
Gus Dur selama menjadi presiden.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah ada spirit itu hari ini?
Spirit yang diwariskan Gus Dur terhadap para generasi PKB? Pertanyaan
ini penting untuk kita refleksikan bersama, agar PKB dan Spirit Gus Dur
tidak menjadi hampa di mata pemuda PKB ke depan.
Karena kalau mau masuk dunia politik maka kita harus memiliki partai,
walau pun prosedur ini sangat formal, sebenarnya untuk menjadi pemimpin
tidak harus lewat partai, tapi apa mau di kata, ketika Indonesia sudah

demikian. Jadi bagaimana memperbaiki partai itu dengan memasukkan


spirit K.H. Hasyim AsyArie dan Gus Dur dan tokoh NU yang sejak dulu
memperjuangkan habis-habis untuk rakyat. Pertanyaanya apakah kita
mampu?
Kalau kita mau belajar dan mau untuk berpikir, spirit itu pasti di dapat dan
bisa dijadikan dasar pemikiran partai dalam menjalankan roda
pemerintahan, karena kalau PKB ingin lepas dari spirit itu, saya tidak yakin
generasi PKB mampu memberikan ide segar dan formula yang kontekstual
dalam menata rakyat dan bangsa yang sudah semraut ini.
Maka cara yang baik adalah melanjutkan ide atau pemikiran Gus Dur,
walau pun tidak menutup kemungkinan adanya formula baru atau
pemikiran baru untuk di masukkan ke ruang pemikiran pemerintahan demi
tercapainya cita-cita partai. Bukan waktunya kita mengedepankan duit,
terlalu sakit rakyat Indonesia, karena adanya ketidakadilan, koruptor, kasus
para pemimpin Indonesia, dan seks komersial yang terus terjadi bahkan
para pemimpin kita yang melakukan.
Ide yang segar sangat dibutuhkan saat ini untuk menyejukkan ladang
percaturan politik Indonesia. Untuk menyadarkan para elit politik yang
sejauh ini sudah jauh menyimpang dari Undang-Undang dan pancasila.
Maka formula untuk menyembuhkan penyakit ambisi kekuasaan dan
ambisi nikah diam-diam tidak terjadi lagi di dunia politik, karena kalau ini
terus-menerus terjadi jangan harap bangsa kita akan damai, makmur dan
sentosa.
Isu-isu gender, demokrasi yang kini masih menjadi wacana dan tak mampu
diselesaikan karena terlalu banyak kepentingan pribadi. Kalau boleh melirik
sejarah, bangsa kita mampu menaklukkan bangsa-bangsa yang lain di
dunia bukan karena demokrasi, tapi karena monarki.
Pancasila sebagai ideologi sebenarnya juga dilumpuhkan pelan-pelan,
karena Pancasila memiliki relasi yang kuat dan erat dengan keagamaan,
politik dan ekonomi. Bagaimana sendi-sendi ini hancur pelan-pelan. Ini di
sengaja ingin dihancurkan Pancasila melalui agama. Sehingga yang

dibenturkan bukan kristen dengan Budha, akan tetapi Islam Vs Islam. Nah
inilah yang sebenarnya sangat berbahaya dan ini tidak banyak para elit
politik dan tokoh agama menyadari. Kasus Solo dan Sampang salah satu
realitas yang diperlihatkan oleh kaum kapitalis-materalis-modern bahwa
kontruksi kita dilumpuhkan pelan-pelan.
Skenario besar yang sedang dirancang untuk melumpuhkan bangsa.
Padahal kita tahu kewajiban negara adalah menjaga keamanan, menjaga
ketentraman, menjaga kedamaian, tapi mengapa seakan negara mati tak
berdaya. Ini salah satu bukti nyata bahwa sendi-sendi negara sedang ada
yang lumpuh. Lalu siapa yang bertanggungjawab atas semua itu? maka
penting bagi siapa pun termasuk aparat penegak hukum untuk mengerti
wawasan sosiologis. Kalau ini tidak diajarkan di dunia pendidikan tersebut
maka tidak heran kalau kita berfikir parsial, padahal ilmu harus ada korelasi
dengan ilmu-ilmu yang lain.
Karena ada indikasi negara gagal salah satunya adalah kontruksi
keamanan gagal, kontruksi ekonomi dan politik gagal, dan kontruksi sosial
gagal. Korporasi internasiolan sedang mengusai negara kita, akhirnya yang
terjadi adalah politik transaksional. Serangan yang sifatnya membunuh itu
merupakan dampak dari politik transaksional yang kini masih nyaris tak
bisa dibentung, karena dalam politik, siapa akan dikorbankan demi satu
kekuasan. Padahal gerakan pluralisme tidak harus ditampakkan. Maka
toleransi keberagaman adalah bagaimana kita langsung turun ke jalan,
kalau di Yogyakarta ada Romo Mangun turun ke Kali Code dan kiai
Krapyak turun mengayomi masyarakat dan tidak memandang agamamu
apa? Dan bagaimana kiai dahulu dalam membangun bangsa Indonesia ini.
Sekarang yang terjadi justeru memakai bendera-bendera sendiri.
Kebersamaan dalam satu tujuan untuk memberi pelajaran kepada
masyarakat nyaris tidak ada. Yang ada bagaimana mendapat keuntungan
dari masyarakat. Apakah ini memungkinkan terjadinya negara egoisme
atau agama egoisme?.
Mengapa kemudian orang-orang yang dihormati dan mengapa nilai
kemanusiaan semakin menurun? Apakah ada kontruksi yang didorong?,

Islam didorong untuk belajar agama an sich, sehingga lupa bahwa ada
perang politik dan ekonomi? Seharusnya orang-orang tua menjadi orang
bijak. Karena dalam satu negara dan bangsa pemimpin yang baik pasti
rakyatnya juga baik.
Akhirnya kontruksi perbudakan harus dibentengi oleh kita sebagai penerus
bangsa ini dengan pertama oleh budaya lokal harus diperkuat, kedua
hubungan kekerabatan harus dipertahankan, sekarang anak-anak muda
cenderung egois. Tidak heran kalau menjadi buruh di negeri sendiri. Maka
yang dibutuhkan sekarang adalah orang-orang biasa yang mampu
mengajarkan dan langsung turun lapangan (orang-orang yang mampu
mengayomi dan mengerti masyarakat).

Anda mungkin juga menyukai