Anda di halaman 1dari 16

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Pendahuluan
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang
bersifat persisten dan irreversible. Proses kerusakan pada ginjal ini terjadi dalam
rentang waktu lebih dari 3 bulan (Levin et al., 2008). Penyakit ini merupakan
penyakit yang tidak dapat pulih, yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal
secara progresif dan mengarah pada penyakit ginjal tahap akhir dan kematian
(Levey et al., 2009).
PGK merupakan suatu problem kesehatan yang serius pada 2 abad terakhir
dan merupakan suatu masalah yang berakibat fatal (USRDS, 2010). Secara global,
insidensi PGK pada anak-anak dilaporkan sekitar 12,1 kasus per satu juta anakanak (Ardissino et al., 2003). Data tersebut jauh lebih rendah dari pada prevalensi
pada orang dewasa. PGK telah menyebabkan angka kesakitan yaitu sekitar 5-10
% dari populasi dewasa penduduk Amerika (Coresh et al. 2007) dan 1,9-2,3 juta
penduduk Kanada (Stigant et al., 2003). Pada tahun 2000 estimasi kematian yang
diakibatkan oleh PGK adalah sekitar 19,5 % dari jumlah kesakitan (Reddan et al.,
2003). Studi lain pada tahun 1999-2004 menunjukan angka kejadian PGK adalah
sekitar 6,71 % penduduk dunia (Stevens et al., 2011).
Indonesia merupakan negara yang sangat luas. Kejadian PGK di Indonesia
diduga masih sangat tinggi. Namun data nasional mengenai PGK masih belum
ada. Studi mengenai prevalensi PGK di Indonesia pada tahun 2003 dan 2004
mendapatkan hasil bahwa jumlah penduduk Indonesia yang menderita PGK
berjumlah 3640 penduduk. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah penderita
PGK tertinggi yaitu di Jawa Tengah, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali
(Prodjosudjadi, 2006). Banyak penderita PGK meninggal lebih awal. Namun,
seringkali penyebab kematian itu tidak terkait langsung dengan masalah ginjal.
Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa hampir setengah dari jumlah
kematian pada penderita PGK diakibatkan oleh PGK yang telah berkomplikasi
1

pada penyakit arteri koroner (Reddan et al., 2003). Namun, studi lain yang pernah
dilakukan menunjukkan hanya terdapat perbedaan yang sedikit atau tidak berbeda
secara

signifikan

pada

semua

penyebab

kematian

termasuk

penyakit

kardiovaskuler dalam pengaturan ringan sampai sedang PGK (Garg et al., 2002).
Komplikasi PGK terjadi dimungkinkan karena penanganan penderita PGK yang
lambat. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa sekitar 64 % penderita
PGK memiliki resiko kematian yang tinggi karena penanganan yang lambat.
Lebih jelasnya, penanganan penderita PGK secara cepat di Rumah Sakit dapat
memperbaiki keadaan penderita dan mencegah terjadinya komplikasi PGK
(Sprangers et al. 2006). Hal ini juga didukung oleh studi lain yang pernah
dilakukan yang menunjukkan bahwa penggunaan sistem rujukan yang cepat dan
segera melakukan rawat inap pada penderita PGK dapat menurunkan resiko
kematian (Chan et al., 2007). Oleh karena itu, pada tulisan ini akan ditinjau
mengenai PGK dengan tujuan didapatkan pemahaman yang baik mengenai PGK
termasuk penanganan PGK. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat
mencegah terjadinya komplikasi PGK termasuk kematian penderita PGK.

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA

1.2. Definisi Penyakit Ginjal Kronik


Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kondisi dimana terjadi kerusakan
permanen pada ginjal. Ginjal tidak mampu melakukan fungsinya untuk
membuang

sampah

sisa

metabolisme

dalam

tubuh,

mempertahankan

keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa dalam tubuh. PGK dapat
berkembang cepat yaitu dalam kurun waktu 2-3 bulan dan dapat pula berkembang
dalam waktu yang sangat lama yaitu dalam kurun waktu 30-40 tahun (Levin et al.,
2008; Levey et al., 2009).
1.3. Stadium Penyakit Ginjal Kronik
PGK terdiri dari 5 stadium berdasarkan GFR ml/mnt/1,73 m2, yaitu
sebagai berikut:
1. Adanya sedikit kerusakan fungsi ginjal dengan filtrasi yang normal atau
meningkat, GFR >90
2. Adanya kerusakan fungsi ginjal ringan atau insufisiensi renal, GFR= 60 -89
3. Adanya kerusakan fungsi ginjal sedang, GFR= 30 -59
4. Kerusakan ginjal yang parah, GFR= 15 29
5. Gagal ginjal atau end stage renal disease (ESRD), GFR <15 (URSD, 2010).
1.4. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik
Meskipun PGK dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit dari ginjal
itu sendiri, namun klasifikasi penyakit ginjal kronik dapat dibagi berdasarkan atas
dasar diagnosis etiologi, yaitu:
Penyakit
Penyakit ginjal diabetes
Penyakit ginjal non diabetes

Tipe mayor (contoh)


Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik,
obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
Penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi mikroangiopati)
3

Penyakit tubulointerstisial
(pielonefritis kronik, batu, ostruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik
(ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi
Rejeksi kronik
Keracunan
obat
(siklosproin,
takrolismus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
Tabel 1.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (Dikutip dari Sudoyo et al., 2006)
1.5. Patogenesis Penyakit Ginjal Kronik
Dasar patogenesis PGK adalah penurunan fungsi ginjal. Hal ini akan
mengakibatkan produk akhir metabolisme protein yang normalnya dieksresikan
ke dalam urin tertimbun dalam darah, terjadi uremia dan menyebabkan efek
sistemik dalam tubuh. Sebagai akibatnya, banyak masalah akan muncul sebagai
akibat dari penurunan fungsi glomerulus. Hal ini akan menyebabkan penurunan
klirens dan substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal (Nitta, 2011).
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya filtrasi glomerulus diakibatkan tidak
berfungsinya glomerulus. Hal ini akan mengakibatkan penurunan klirens kreatinin
dan peningkatan kadar kreatinin serum. Kreatinin serum merupakan indikator
yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara
konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tetapi
dipengaruhi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme jaringan, dan
medikasi seperti steroid. Retensi cairan dan natrium terjadi akibat ginjal tidak
mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal. Pada
penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal terhadap perubahan masukan cairan dan
elektrolit tidak terjadi. Hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivitas
aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya serta peningkatan eksresi
aldosteron. Pasien dengan PGK memiliki kecenderungan untuk kehilangan garam,
mencetuskan risiko hipertensi dan hipovolemi, episode muntah dan diare. Hal ini

akan menyebabkan penipisan jumlah air dan natrium yang semakin memperburuk
status uremik (Nitta, 2011).
Asidosis metabolik merupakan akibat dari penurunan fungsi ginjal. Hal ini
karena

ketidakmampuan

ginjal

mengekskresikan

muatan

asam

(H +)

yang belebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus


ginjal untuk mensekresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat.
Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Amonia terjadi
sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia
sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecendrungan untuk mengalami perdarahan
akibat status anemia pasien, terutama dari saluran gastrointestinal, eritropoetin
menurun dan anemia berat terjadi distensi, keletihan, angina, dan sesak nafas. Hal
ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan kalsium dan fosfat. Abnormalitas
utama yang lain pada PGK adalah gangguan metabolisme kalsium dan posfat.
Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah
satunya meningkat maka yang lainnya akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi
glomerulus ginjal terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya
penurunan kadar serum kalsium akan mengakibatkan sekresi parat hormon dari
kelenjar paratiroid. Namun demikian pada gagal ginjal, tubuh tidak berespon
secara normal terhadap peningkatan sekresi parat hormon. Sebagai akibatnya
kalsium di tulang menurun dan menyebabkan perubahan pada tulang (penyakit
tulang uremik atau osteo distropi renal). Proses perubahan pada tulang yang
direlasikan pada keseimbangan fosfat dapat dilihat pada gambar 1.1. Selain itu
metabolik aktif vitamin D (1,25dihidrokolekalsitriol) pada ginjal menurun seiring
dengan berkembangnya gagal ginjal (Nitta, 2011).

Gambar 1.1. Proses regulasi keseimbangan fosfat pada PGK. Adanya suatu
hubungan yang erat antara absorbsi kalsium dan PO4. Penurunan absorbsi
kalsium dan hipokalsemia merangsang sekresi hormon paratiroid. Absorbsi PO4
disimpan dalam tulang melalui pembentukan tulang atau diekskresikan oleh
ginjal. Adanya peran dari osteosit dalam pembentukan tulang, dan ketika PO4
melebihi jumlah yang diperlukan dalam pembentukan tulang, maka akan
dikeluarkan FGF23 yang akan menstimulasi ginjal untuk mengekskresikan
kelebihan PO4. Pada PGK, ekskresi PO4 pada ginjal gagal untuk menjaga
keseimbangan PO4, meskipun adanya stimulasi dari PTH dan FGF23 untuk
mengekskresikan PO4 (panah kuning). Hal ini mengakibatkan peningkatan PO4
dalam serum. Ini adalah proses mineralisasi heterotopik (panah merah dan
kalsifikasi vaskular sebagai bentuk mineralisasi heterotopik) (Hruska et al.,
2009).
Selain itu, terdapat hubungan yang erat antara sindrom metabolik dengan
kejadian PGK . Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian PGK
lebih besar pada sindrom metabolik dibandingkan dengan diabetes mellitus
(Kurella et al., 2005). Mikroalbuminuria merupakan manifestasi awal pada
sindroma metabolik yang dikaitkan dengan PGK. Selanjutnya mikroalbuminuria
ini akan menyebabkan hiperfiltrasi glomerulus. Sindroma metabolik sering
dikaitkan dengan peningkatan aktivitas renin plasma, angiotensin converting
enzyme, angiotensin II, dan angiotensinogen. Keadaan ini bersama dengan
hiperinsulinemia pada resistensi insulin merupakan aktivator terhadap faktor 1.
Faktor 1 merupakan sitokin fibrogenik yang berperan dalam proses injuri
glomerulus. Hiperinsulinemia pada resistensi insulin dimediasi oleh TNF-
6

(Dandona et al., 2005). Selain itu, pada sindroma metabolik juga terjadi
peningkatan jaringan adipose dan penurunan adinopektin. Jaringan adipose akan
mensekresi sitokin yang berlebihan yaitu adipokin seperti TNF-, IL-6, dan
resistin dimana sitokin ini akan meningkatkan terjadinya inflamasi. Adinopektin
merupakan agen protektif pada kardiorenal (Kershaw dan Klier, 2004). Penurunan
adinopektin mengindikasikan terjadinya kerusakan kardiorenal dikarenakan
disfungsi vaskuler. Lebih jelasnya, proses kerusakan kardiorenal pada PGK dapat
dilihat pada gambar 1.2. Sementara peningkatan aktivitas sistem renin
angiotensisn aldosteron akan meningkatkan volume ekstraseluler. Hal ini
mengindikasikan terjadinya edema. Peningkatan sistem renin angiotensin
aldosteron diduga karena perubahan hemodinamik (aliran darah renal), stimulus
simpatetik (hiperleptinemia dan hiperinsulinemia), dan sintesis protein pada
sistem renin angiotensin aldosteron oleh jaringan lemak (Engeli et al., 2003).

Gambar 1.2. Patogenesis Chronic kidney disease dan komplikasinya terhadap


sistem kardiovaskuler. Pada PGK stage 1 dan 2 terdapat hubungan yang erat
antara merokok, obesitas, hipertensi, dislipidemia, homocysteinemia, inflamasi
kronik dengan faktor resiko, nefropati primer, dan diabetes mellitus. Hal ini dapat
menyebabkan suatu inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler. PGK yang
memburuk dimana telah terjadi kerusakan glumerulus atau jaringan interstisial
7

disebut dengan PGK stage 3-4. Pada keadaan ini akan terjadi anemia, toksin
uremik, abnormalitas dari kalsium dan fosfat, dan overload natrium dan air. Hal
ini juga dapat menyebabkan inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler. Pada
PGK stage 5 terjadi sklerosis dan fibrosis pada glomerulus. Hal ini dapat
meningkatkan terjadinya inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler dan
stimulasi monosit. Hal ini akan meningkatkan resistensi insulin, metabolisme otot,
dan adipositokin. Selain itu, stimulasi monosit juga akan menyebabkan reaktan
fase akut, menurunkan appetite, remodeling tulang, dan disfungsi endotel
(Dikutip dari Nitta, 2011).
Selain itu, hipertensi juga merupakan faktor yang sangat penting dalam
terjadinya PGK. Hipertensi memalui angiotensin II akan menyebabkan
peningkatan tekanan glomerulus, proteinuria, dan menginduksi sitokin inflamasi
intrarenal. Hal ini akan meningkatkan terjadinya kerusakan pada ginjal (Nitta,
2011; Ruster dan Wolf, 2006).

1.6. Tanda dan Gejala Penyakit Ginjal Kronik


Ginjal

mempunyai

kemampuan

untuk

mengkompensasi

terhadap

kerusakan fungsi yang ringan. Oleh karena itu, PGK dapat berkembang tanpa
gejala dalam waktu yang lama sampai fungsi ginjal yang normal hanya tinggal
beberapa persen (sangat minim). Ada beberapa gejala yang umum ditemukan pada
pasien dengan PGK yaitu:
1. Fatigue dan lemah (akibat anemia dan akumulasi dari produk sisa metabolisme)
2. Loss of appetite, nausea, dan vomiting
3. Edema
4. Gatal, mear, dan kulit pucat
5. Sakit kepala, peripheral neurophaty, gangguan tidur, dan gangguan status
mental (encephalopaty karena uremia)
6. hipertensi
7. Edema pulmonal sehingga timbul sesak nafas
8. Nyeri sendi, tulang, dan fraktur
9. Disfungsi seksual (URSD, 2010).
1.7. Pemeriksaan Penunjang Chronic Kidney Disease

Pada PGK stadium awal biasanya tanpa gejala, sehingga hanya


pemerikasaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium yang dapat mendeteksi
adanya masalah tersebut. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk mengetahui perkembangan PGK adalah sebagai berikut:
1. Urine test: protein urin, sel darah merah, easts dan kristal, dan CCT
2. Blood test: kreatinin, ureum, BUN, elektrolit (K, P, Ca), asam basa, dan Hb
3. Ultrasound: untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, kristal, batu ginjal,
dan mengkaji aliran urin dalam ginjal
4. Biopsi (Johnson, 2011).
1.8. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik
Penatalaksanaan pada PGK bersifat konservatif. Penatalaksanaan ini lebih
bermanfaat bila penurunan fungsi ginjal masih ringan. Pengobatan konservatif ini
terdiri dari 4 strategi, yaitu:
1. Memperlambat laju penurunan fungsi ginjal
a. Pengobatan hipertensi. Target penurunan tekanan darah yang dianjurkan
adalah kurang dari 130/80 mmHg.
b. Pembatasan asupan protein, bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus dengan demikian diharapkan progresifitas akan diperlambat.
c. Retriksi fosfor dengan tujuan untuk mencegah hiperparatirodisme sekunder.
d. Mengurangi proteinuria. Terdapat korelasi antara proteinuria dan penurunan
fungsi ginjal terutama pada glomerulonefritis kronik dan diabetes. Dalam
hal ini ACE inhibitor biasanya digunakan. Jika terdapat intolensi terhadap
ACE inhibitor maka dapat digunakan angiotensin receptor blocker.
e. Mengendalikan hiperlipidemia. Telah terbukti bahwa hiperlipidemia yang
tidak terkendali dapat mempercepat progresifitas gagal ginjal. Pengobatan
meliputi diet dan olahraga. Pada peningkatan yang berlebihan diberikan
obat-obat penurun lemak darah. Pedoman dari Asosiasi Diabetes Kanada
menyarankan hemoglobin A1c < 7,0% dan fasting plasma glucose 47
mmol/L.
2. Mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut
a. Pencegahan kekurangan cairan
9

Dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat menyebabkan gangguan


prarenal yang masih dapat diperbaiki. Oleh sebab itu perlu ditanyakan
mengenai keseimbangnan cairan (muntah, keringat, diare, asupan cairan
sehari- hari), penggunaan obat (diuretik, manitol, fenasetin), dan penyakit
lain (DM, kelainan gastrointestinal, dan ginjal polikistik)
b. Sepsis
Sepsis dapat disebabkan berbagai macam infeksi, terutama infeksi saluran
kemih. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengkoreksi kelainan urologi
dan antibiotik yg telah terpilih untuk mengobati infeksi.
c. Hipertensi yang tidak terkendali
Tekanan darah umumnya meningkat sesuai dengan perburukan fungsi
ginjal. Kenaikan tekanan darah ini akan menurunkan fungsi ginjal. Akan
tetapi penurunan tekanan darah yang berlebihan juga akan menyebabkan
perfusi ginjal menurun. Obat yang dapat diberikan adalah furosemid, beta
blocker, vasodilator, kalsium antagonis dan alfa blocker. Golongan tiazid
kurang bermanfaat. Spironolakton tidak dapat digunakan karena
meningkatkan kalium.
d. Obat-obat nefrotoksik
Obat-obat aminoglikosida, OAINS, kontras radiologi, dan obat-obat yang
dapat menyebabkan nefritis interstitialis harus dihindari.
e. Kehamilan
Kehamilan dapat memperburuk fungsi ginjal, hipertensi meningkatkan
terjadinya eklamsia dan menyebabkan retardasi pertumbuhan intrauterine.
3. Pengelolaan uremia dan komplikasinya
a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pasien dengan PGKsering mengalami peningkatan jumlah cairan
ekstrasel karenan retensi cairan dan natrium. Peningkatan cairan
intravaskular menyebabkan hipertensi, sementara ekspansi cairan ke
interstitial menyebabkan edema. Hiponatremia sering juga dijumpai.
Penatalaksanaan yang tepat meliputi retriksi asupan cairan dan natrium,
dan pemberian terapi diuretik. Asupan cairan dibatasi < 1 liter/hari, pada
keadaan berat < 500ml/hari. Natrium diberikan <2-4 gr/hari, tergantung
10

dari beratnya edema. Jenis diuretik yang menjadi pilihan adalah


furosemid karena efek furosemid tergantung dari sekresi aktifnya di
tubulus proksimal. Pasien dengan PGK umumnya membutuhkan dosis
yang tinggi (300-500 mg), namun hati-hati terhadap efek sampinya.
Apabila tindakan ini tidak membantu harus dilakukan dialisis.
b. Asidosis metabolik
Penurunan kemampuan sekresi acid load pada PGK menyebabkan
terjadinya asidosis metabolik. Hal ini umumnya bila GFR < 25 ml/mnt.
Diet rendah protein 0.6 gr/hr dapat membantu mengurangi asidosis. Bila
bikarbonat turun sampai < 15-17 mEq/L harus diberikan subtitusi alkali.
c. Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia kordis yang fatal. Untuk
mengatasi ini, dapat diberikan: kalsium glukonas 10% 10 ml dalam 10
menit IV, bikarbonas natrikus 50-150 IV dalam 15-30 menit, insulin dan
glukosa 6U, insulin dan glukosa 50g dalam waktu 1 jam, kayexalate
(resin pengikat kalium) 25-50 gr oral atau rektal. Bila hiperkalemia tidak
dapat diatasi, maka sudah merupakan indikasi untuk dialisis
d. Diet rendah protein
Diet rendah protein dianggap akan mengurangi akumulasi hasil akhir
metabolisme protein yaitu ureum dan toksik uremik lainya. Selain itu,
telah terbukti bahwa diet tinggi protein akan mempercepat timbulnya
glomerulosklerosis sebagai akibat meningkatnya beban kerja glomerulus
dan fibrosis interstitial. Kebutuhan kalori harus dipenuhi supaya tidak
terjadi pemecahan protein dan merangsang pengeluaran insulin. Kalori
yang diberikan adalah sekitar 35 kal/kgBB, protein 0,6gr/ kgBB/ hari
dengan nilai biologis tinggi (40% asam amino esensial).
e. Anemia
Penyebab utama anemia pada PGK adalah terjadinya defisiensi
eritropoeitin. Penyebab lainya adalah perdarahan gastrointestinal, umur
eritrosit yang pendek, serta adanya faktor yang menghambat eritropoiesis
(toksin uremia), malnutrisi dan defisiensi besi. Transfusi darah hanya
diberikan bila perlu dan apabila trasnfusi tersebut dapat memperbaiki
11

keadaan klinis secara nyata.Terapi terbaik apabila Hb <8 g% adalah


pemberian eritropoietin, tetapi pengobatan ini masih terbatas karena
mahal. Target pemberian eritropoietin adalah Hb > 11 g%. Jika tidak
diberikan eritropoietin maka bisa diberikan terapi iron.
f. Kalsium dan fosfor
Terdapat 3 mekanisme yang saling berhubungan yaitu hipokalsemia
dengan hipoparatiroid sekunder, retensi fosfor oleh ginjal, dan gangguan
pembentukan 1,25 dihidroksikalsiferol metabolit aktif vitamin D. Pada
keadaan ini dengan GFR < 30 mL/mnt diperlukan pemberian fosfor
seperti kalsium bikarbonat atau kalsium asetat yang diberikan pada saat
makan. Pemberian vitamin D juga perlu diberikan untuk meningkatkan
absorbsi kalsium di usus. Diet rendah fosfat dilakukan untuk menjaga
hiperfosfatemia. Jika diet rendah fosfat gagal, dapat diberikan calciumcontaining phosphate binders. Namun jika terdapat hiperkalemia maka
dosis calcium-containing phosphate binders atau vitamin D harus
dikurangi. Hipokalsemia harus dikoreksi jika pasien menunjukkan gejala
atau tanda peningkatan level parat hormon.
g. Hiperurisemia
Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg, apabila kadar asam urat >
10 mg/dl atau apabila terdapat riwayat gout.
4. Inisiasi dialisis
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan
dialisi tetap atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10 ml/mnt.
Dialisis juga diiperlukan bila:
a. Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
b. Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
c. Overload cairan (edema paru)
d. Ensefalopati uremik dan penurunan kesadaran
e. Efusi perikardial
f. Sindrom uremia (mual,muntah, anoreksia, dan neuropati) yang memburuk
(Levin et al., 2008).
1.9. Prognosis Penyakit Ginjal Kronik
12

Prognosis pasien dengan PGK menurut data epidemiologi menunjukkan


bahwa PGK sering menyebabkan kematian. Tingkat kematian secara keseluruhan
meningkat oleh karena penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama kematian pada
pasien dengan PGK adalah penyakit jantung. Hal ini lebih sering karena
perkembangan PGK ke tahap 5 (Perazella dan khan, 2006).
Sementara terapi transplantasi ginjal dapat mempertahankan kondisi
pasien dan memperpanjang kehidupan dan kualitas hidup. Transplantasi ginjal
dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan PGK stadium 5 secara
signifikan bila dibandingkan dengan terapi pilihan lain. Namun, hal ini dapat
meningkatkan mortalitas jangka pendek. Hal ini lebih sering terjadi akibat
komplikasi dari operasi transplantasi ginjal tersebut (Giri, 2004). Pilihan terapi
lain seperti home hemodialysis menunjukkan peningkatan kehidupan dan kualitas
hidup dibandingkan dengan hemodialisis secara konvensional (3 kali dalam
seminggu) dan peritoneal dialysis (Pierratos et al., 2005).

13

DAFTAR PUSTAKA

Ardissino, G., Dacco, V., Testa, S., Bonaudo, R., Claris-Appiani, A., Taioli, E.,
Marra, G., Edefonti, A., dan Sereni, F. 2003. Epidemiology of chronic
renal failure in children: data from the ItalKid project. Pediatrics. 111(4 Pt
1): e382-7.
Chan, M.R., Dall, A.T., Fletcher, K.E., Lu, N., dan Trivedi, H. 2007. Outcomes
in patients with chronic kidney disease referred late to nephrologists: a
meta-analysis. Am J Med. 120(12):1063-70.
Coresh J, Selvin E, Stevens LA, Manzi J, Kusek JW, Eggers P, Van Lente F,
Levey AS. 2007. Prevalence of chronic kidney disease in the United
States. JAMA. 298: 2038-2047.
Dandona, P., Aljada, A., Chaudhuri, A., Mohanty, P., dan Garg, R. 2005.
Metabolic syndrome: a comprehensive perspective based on interactions
between obesity, diabetes, and inflammation. Circulation, 111(11): 14481454.
Engeli, S., Schling, P., Gorzelniak, K. 2003. The adipose-tissue renin-angiotensinaldosterone system: role in the metabolic syndrome? Int J Biochem Cell
Biol.35(6):807-825.
Garg AX, Clark WF, Haynes B, House AA. 2002. Moderate renal insufficiency
and the risk of cardiovascular mortality: Results from the NHANES I.
Kidney Int. 61: 1486-1494.
14

Giri, M. 2004. Choice of renal replacement therapy in patients with diabetic end
stage renal disease. Edtna Erca J. 30 (3): 138-42.
Johnson, D. 2011. Chapter 4: CKD Screening and Management: Overview.
In Daugirdas, J. Handbook of Chronic Kidney Disease Management.
Lippincott Williams and Wilkins. pp. 32-43.
Kershaw, E.E. dan Flier, J.S. 2004. Adipose tissue as an endocrine organ. J Clin
Endocrinol Metabolism. 89(6): 2548-2556.
Kurella, M., Lo, J.C., dan Chertow, G.M. 2005. The metabolic syndrome and the
risk for chronic kidney disease among nondiabetic adults. J Am Soc
Nephrol. 16: 2134-2140.
Levey, A.S., Stevens, L.A., Schmid, C.H., Zhang,Y. Castro, A.F., Feldman, H.I.,
Kusek, J.W., Eggers, P., Lente, F.V., Greene, T., dan Coresh, J. 2009. A
New Equation to Estimate Glomerular Filtration Rate. Ann Intern Med.
150(9): 604-612.
Levin, A., Hemmelgarn, B., Culleton, B., Tobe, S., McFarlane, P., Ruzicka, M.,
Burns, K., Manns, B, White, C, Madore, F., Moist, L., Klarenbach, S.,
Barrett, B, Foley, R, Jindal, K., Senior, P., Pannu, N., Shurraw, S, Akbari,
A., Cohn, A., Reslerova, M., Deved, V., Mendelssohn, D., Nesrallah, G.,
Kappel, J., Tonelli, M., dan Canadian Society of Nephrology. 2008.
Guidelines for the management of chronic kidney disease. CMAJ. 179(11):
1154-1162.
Nitta, K. 2011. Review Article: Possible Link betweenMetabolic Syndrome and
Chronic Kidney Disease in the Development of Cardiovascular Disease.
Cardiol Res Pract. 10: 1-7.
Perazella, M.A. dan Khan, S. 2006. Increased mortality in chronic kidney disease:
a call to action. Am. J. Med. Sci. 331 (3): 150-3.
Pierratos, A., McFarlane, P., dan Chan, C.T. 2005. Quotidian dialysis--update
2005. Curr. Opin. Nephrol. Hypertens. 14 (2): 119-24.
Prodjosudjadi, W. 2006. Incidence, prevalence, treatment and cost of end-stage
renal disease In Indonesia. Ethnic Dis. 16: S214-S216.
Reddan, D.N., Szczech, L.A., Tuttle, R.H., Shaw, L.K., Jones, R.H., Schwab, S.J.,
Smith, M.S., Califf, R.M., Mark, D.B.,dan Owen Jr, W.F. 2003. Chronic
Kidney Disease, Mortality, and Treatment Strategies among Patients with
Clinically Significant Coronary Artery Disease. J Am Soc Nephrol.
14:2373-2380.
Ruster, C. dan Wolf, G. 2006. Renin-angiotensin-aldosterone system and
progression of renal disease. J Americ Soc Nephrol. 17(11): 2985-2991.
15

Sprangers, B., Evenepoel, P., dan Vanrenterghem, Y. 2006. Late Referral of


Patients With Chronic Kidney Disease: No Time to Waste. Mayo Clin
Proc. 81(11):1487-1494.
Stevens, L.A., Viswanathan, G., dan Weiner, D.E. 2011. CKD and ESRD in the
Elderly: Current Prevalence, Future Projections, and Clinical Significance.
Adv Chronic Kidney Dis. 17(4): 293-301.
Stigant C, Stevens L, Levin A. Nephrology. 2003. Strategies for the care of adults
with chronic kidney disease. CMAJ. 168:1553-60.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
US Renal Data System (USRDS). 2010. Annual Data Report: Atlas of Chronic
Kidney Disease and End-Stage Renal Disease in the United States.
Bethesda, Md: National Institutes of Health, National Institute of Diabetes
and Digestive and Kidney Diseases. Hyperlink Available at:
http://www.usrds.org/adr.htm.

16

Anda mungkin juga menyukai