Print Batubara
Print Batubara
(BCL),
Langkah pertama adalah memisahkan air secara efisien dari batubara yang berkualitas
rendah. Langkah kedua melakukan proses pencairan di mana hasil produksi minyak yang
dicairkan ditingkatkan dengan menggunakan katalisator, kemudian dilanjutkan dengan
proses hidrogenasi di mana heteroatom (campuran sulfur-laden, campuran nitrogen-laden,
dan lain lain) pada minyak batubara cair dipisahkan untuk memperoleh bahan bakar
bermutu tinggi, kerosin, dan bahan bakar lainnya. Kemudian sisa dari proses tersebut (debu
dan unsur sisa produksi lainnya) dikeluarkan.
Kelebihan batu bara cair
1. Harga produksi lebih murah, yaitu setiap barel batu bara cair membutuhkan biaya
produksi yang tidak lebih dari US$15 per barel. Bandingkan dengan biaya produksi
rata-rata minyak bumi yang berlaku di dunia saat ini yang mencapai US$23 per barel.
2. Jenis batu bara yang dapat dipergunakan adalah batu bara yang berkalori rendah
(low rank coal), yakni kurang dari 5.100 kalori, yang selama ini kurang diminati
pasaran.
3. Setiap satu ton batu bara padat yang diolah dalam reaktor Bergius dapat
menghasilkan 6,2 barel bahan bakar minyak sintesis berkualitas tinggi. Bahan ini
dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti bahan bakar pesawat jet (jet fuel),
mesin diesel (diesel fuel), serta gasoline dan bahan bakar minyak biasa.
4. Teknologi pengolahannya juga lebih ramah lingkungan. Dari pasca produksinya tidak
ada proses pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2. Kalaupun menghasilkan
limbah (debu dan unsur sisa produksi lainnya), masih dapat dimanfaatkan untuk
bahan baku campuran pembuatan aspal. Bahkan sisa gas hidrogen masih laku dijual
untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar.
5. Bila teknologi dan biaya produksi batu bara cair tersebut dianggap tidak kompetitif
lagi, perusahaan dapat berkonsentrasi penuh memperoduksi gas hidrogen dan
tenaga listrik yang masih memiliki prospek sangat cerah. Karena dengan
memanfaatkan Panel Surya berteknologi tinggi (Photovoltaic), energi matahari yang
mampu ditangkap adalah 100 kali lipat dibandingkan dengan panel biasa. Setiap
panel dapat menghasilkan daya sebesar satu megawatt, dengan biayanya hanya US$
5 atau 100 kali lebih murah dibandingkan dengan menggunakan instalasi panel surya
yang biasa.
Penerapan Teknologi Bersih Setelah Proses Pembakaran
Batubara yang dibakar di boiler akan menghasilkan tenaga listrik serta menghasilkan emisi
seperti partikel, SO2, NOx, dan CO2. Emisi tersebut dapat dikurangi dengan menggunakan
teknologi seperti denitrifikasi, desulfurisasi, electrostratic precipitator (penyaring debu), dan
separator CO2. Kecuali teknologi separator CO2 yang masih dalam tahap penelitian,
teknologi lainnya merupakan teknologi konvensional yang saat ini sudah banyak diterapkan.
Teknologi Denitrifikasi
Teknologi ini digunakan untuk mengurangi emisi NOx. Penerapannya dapat berupa
perbaikan sistem boiler atau dengan memasang peralatan denitrifikasi pada saluran gas
buang. Boiler dapat dimodifikasi sehingga menjadi : 1. boiler dengan metoda pembakaran
dua tingkat, 2. boiler menggunakan alat pembakaran dengan NOx rendah, 3. boiler dengan
sirkulasi gas buang, dan 4. boiler yang menggunakan alat denitrifikasi di dalam ruang bakar.
Denitrifikasi dilakukan dengan menginjeksi amonia ke dalam peralatan denitrifikasi. Gas NOx
di dalam gas buang akan bereaksi dengan amonia (dengan bantuan katalis) sehingga emisi
NOx akan berkurang. Peralatan denitrifikasi sering disebut selective catalytic reduction
(SCR). Dengan peralatan ini, NOx dalam gas buang dapat
dikurangi sebesar 80-90 %.
Teknologi Dedusting
Teknologi dedusting digunakan untuk mengurangi partikel yang berupa debu. Peralatan ini
dipasang setelah peralatan denitrifikasi. Salah satu jenis peralatan ini adalah electrostatic
precipitator (ESP). ESP berupa elektroda yang ditempatkan pada aliran gas buang. Elektroda
diberi tegangan antara 40-60 kV DC sehingga dalam elektroda akan timbul medan magnet.
Partikel debu dalam gas buang yang melewati medan magnet akan terionisasi dan akan
berinteraksi dengan elektrode yang mengakibatkan debu akan terkumpul pada lempeng
pengumpul. Lempeng pengumpul digetarkan untuk membuang debu yang sudah terkumpul.
Efisiensi ESP untuk menghilangkan debu sangat besar yaitu mencapai 99,9 %.
Teknologi Desulfurisasi
Teknologi ini digunakan untuk mengurangi emisi SO2. Nama yang umum untuk peralatan
desulfurisasi adalah flue gas desulfurization (FGD). Ada dua tipe FGD yaitu FGD basah dan
FGD kering. Pada FGD basah, campuran air dan gamping disemprotkan dalam gas buang.
Cara ini dapat mengurangi emisi SO2 sampai 70-95 %. Hasil samping adalah gypsum dalam
bentuk cairan. FGD kering menggunakan campuran air dan batu kapur atau gamping yang
diinjeksikan ke dalam ruang bakar. Cara ini dapat mengurangi emisi SO2 sampai 70-97 %.
FGD kering menghasilkan produk sampingan gypsum yang bercampur dengan limbah
lainnya.
Teknologi CO2 Removal
Beberapa negara maju seperti Jepang telah melakukan riset untuk memisahkan gas CO2
dari gas buang dengan menggunakan cara seperti pada pengurangan emisi SO2 dan NOx.
Pemisahan ini mengggunakan bahan kimia amino dan memerlukan energi sebesar
seperempat dari energy listrik yang dihasilkan. Cara ini belum efisien dan masih perlu
disempurnakan. Gas CO2 yang telah dipisahkan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk
industri atau dibuang ke dalam laut atau ke bekas tempat penambangan.
Penerapan Teknologi Bersih Sebelum Proses Pembakaran
Pengurangan emisi pada tahapan setelah pembakaran batubara banyak memerlukan energy
listrik sehingga kurang efisien dalam penggunaan energi. Cara yang lebih efisien adalah bila
pengurangan emisi dilakukan pada tahap sebelum pembakaran dan sering disebut teknologi
batubara bersih. Teknologi batubara bersih yang dibahas dalam makalah ini diantaranya
adalah teknologi fluidized bed combustion (FBC), gasifikasi batubara, magneto
hydrodynamic (MHD) dan kombinasi IGCC dengan fuel cell.
Teknologi FBC
Ada dua macam teknologi FBC yaitu atmospheric fuidized bed combustion (AFBC) dan
pressurized fuidized bed combustion (PFBC). Teknologi PFBC lebih cepat berkembang dari
pada AFBC karena mempunyai efisiensi yang lebih tinggi. Pada proses PFBC, batubara
sebelum dimasukkan ke dalam boiler dihaluskan hingga ukuran 6-20 mm. Batubara
dimasukkan dengan cara diinjeksikan melalui lubang yang berada sedikit di atas distributor
udara. Bersamaan dengan batubara diinjeksikan juga batu kapur yang sudah dihaluskan
sehingga terjadi proses desulfurisasi. Pembakaran dalam boiler berlangsung pada suhu yang
relatif rendah yaitu sekitar 800 oC. Suhu yang relatif rendah ini akan mengurangi emisi NOx
yang dihasilkan. Dengan menggunaan teknologi PFBC, emisi SO2 dapat dikurangi 90-95 %
sedangkan emisi NOx dapat dikurangi 70-80 %. Gas hasil pembakaran mempunyai tekanan
yang cukup tinggi dan bersih sehingga bisa digunakan untuk menggerakkan turbin gas.
Disamping itu gabungan uap yang dihasilkan dari pembakaran dengan uap hasil HRSG (Heat
Recovery Steam Generator) dapat digunakan untuk menggerakkan turbin uap. Dengan
demikian dapat diperoleh siklus ganda sehingga akan menaikkan total efisiensinya. Efisiensi
dari sistem ini berkisar antara 40-44 %.
Teknologi Gasifikasi Batubara
Teknologi ini merupakan inovasi terbaru dalam memperbaiki metoda pembakaran batubara.
Batubara diubah bentuk dari padat menjadi gas. Perubahan bentuk ini meningkatkan
efisiensi, yaitu dengan memperlakuan gas hasil gasifikasi seperti penggunaan gas alam. Gas
tersebut bias dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin gas. Gas buang dari turbin gas yang
masih mempunyai suhu yang cukup tinggi dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin uap
dengan menggunakan HRSG. Siklus kombinasi ini sering dinamakan IGCC (Integrated
Gasification Combined Cycle) . Gasifikasi dilakukan pada tahap awal proses, yaitu setelah
proses menghalusan atau pembentukan slurry. Gasifikasi dilakukan pada suhu yang cukup
tinggi yaitu sekitar 1400-1500 oC. Abu sisa pembakaran akan meleleh pada suhu tersebut.
Gas hasil gasifikasi sebelum masuk turbin gas dibersihkan dengan menggunakan ESP dan
desulfurisasi. Proses desulfurisasi ini akan menghasilkan belerang murni yang mempunyai
nilai jual tinggi. Denitrifikasi dilakukan setelah HRSG. Teknologi IGCC masih dalam tahap
pengembangan dan diperkirakan dalam 2-5 tahun mendatang dapat beroperasi secara
komersial. Efisiensi IGCC dapat mencapai 43-47 %. Emisi SO2 dan NOx dapat dikurangi
masing-masing sekitar 95-99 % dan 40-95 %.
Teknologi MHD
MHD bekerja berdasarkan efek Faraday yaitu arus listrik DC akan timbul bila ada konduktor
yang bergerak melewati medan magnet. Untuk mendapatkan efek ini, batubara dibakar di
ruang bakar hingga temperatur mencapai 2630 oC. Pada temperatur ini fluida kerja
potassium dapat terionisasi menjadi gas yang berperan sebagai konduktor. Gas akan
melewati medan magnet dan menghasilkan tegangan listrik DC. Tegangan DC diubah
menjadi tegangan AC dengan menggunakan inverter Gas buang setelah melewati MHD
masih dapat digunakan untuk menghasilkan uap dengan bantuan HRSG. Uap akan
menggerakan turbin uap dan menghasilkan energi listrik. Dengan siklus kombinasi ini,
efisiensi total dapat mencapai 55-60%. Pengurangan emisi SO2 dalam MHD terjadi secara
alami. Potassium sebagai fluida kerja akan bereaksi dengan belerang dari batubara
danmembentuk potassium sulfate yang terkondensasi. Fluida ini kemudian dipisahkan dari
belerang dan diinjeksikan ulang ke dalam ruang bakar. Pengurangan emisi NOx dilakukan
dengan metode pembakaran dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada ruang bakar dan
tahap kedua dilakukan di HRSG. Emisi partikel dapat dikurangi dengan menggunakan
peralatan konvensional ESP. Sedangkan emisi CO2 akan berkurang karena meningkatnya
total efisiensi.
Teknologi Kombinasi IGCC dan Fuel Cell
Pada IGCC dapat ditambah satu proses lagi yaitu menggunakan teknologi fuel cell.
Konfigurasi ini menghasilkan tiga buah gabungan pembangkit listrik. Saat ini fuel cell yang
sudah digunakan untuk temperatur tinggi adalah tipe molten carbonate fuel cell (MCFC) dan
solid electrolytic fuel cell (SOFC). Tipe MCFC beroperasi pada suhu sekitar 650 oC sedangkan
tipe SOFC dapat mencapai 1000 oC. Total efisiensi dari sistem ini diperkirakan 50-55 %.
proses pirolisis akan didapatkan residu padat berupa tar yang berkadar karbon tinggi serta
minyak dan gas berkadar hidrogen tinggi yang akan digunakan untuk mengkonversi menjadi
bahan bakar cair.(hidayat, 1995)
3. Hidroliquefaksi (Direct coal liquefaction)
Proses hidroliquefaksi disebut juga sebagai proses hidrogenasi katalitik atau proses
pencairan batubara dengan hidrogenasi batubara dalam larutan donor hidrogen dengan
bantuan katalistis oksida besi pada tekanan antara 35-275 atmosfir dan temperature sekitar
375-4500 C. tekanan dan temperatur tinggi digunakan untuk memecahkan batubara
menjadi fragmen-fragmen reaktif yang disebut radikal bebas (hidayat, 1995). Agar
menghasilkan konversi cair yang cukup tinggi diperlukan stabilisasi terhadap radikal bebas,
sekaligus mencegah terjadinya polimerisasi menjadi produk tak larut dan tak reaktif.
Menurut berkowist, N. transformasi batubara menjadi minyak sintetis merupakan proses
hidrogenasi yang melalui tahap-tahap sebagai berikut:
Batubara
presasfalten
asfalten
minyak.
Dari ketiga sistem proses pencairan batubara diatas maka dengan mempertimbangkan
kondisi batubara indonesia serta beragamnya hasil yang didapatkan maka teknologi yang
tepat digunakan untuk pencairan yaitu pirolisis. Teknologi pirolisis dapat menghasilkan asap
cair (minyak berat), briket (kokas), serta gas metana yang berguna untuk gas kota. Selain
itu proses pirolisis sangat sederhana dan tidak membutuhkan dana yang besar serta dapat
di kombinasikan dengan sistem pembangkit tenaga listrik dimana batubara kelas tinggi
menjadi sumber energi untuk memanaskan rekator pirolisis dan boiler yang digunakan untuk
memanaskan uap air.
Pembangkit tenaga listrik
Batubara saat ini telah digunakan secara besar-besaran untuk pembangkit tenaga listrik,
Saat ini batu bara memberikan pasokan sebesar 39% bagi listrik dunia. Di banyak negara,
peran batu bara jauh lebih tinggi. Ketersediaan pasokan batu baradengan biaya rendah baik
di negara maju maupun di negara berkembang sangat vital untuk mendapatkan tingkat
pemasangan listrik yang tinggi. Contohnya di Cina, 700 juta orang telah memiliki sistem
listrik selama lebih dri 15 tahun yang lalu. Kini 99% dari negara tersebut telah memiliki
sambungan listrik, dimana sekitar 77% dari listrik tersebut dihasilkan oleh pusat pembangkit
listrik tenaga uap.(WCI, 2005). Indonesia sendiri Tercatat dari seluruh konsumsi batubara
dalam negeri pada tahun 2005 sebesar 35,341 juta ton, 25,132 juta ton atau sekitar 71,11%
di antaranya digunakan oleh PLTU. Hingga saat ini, PLTU berbahan bakar batubara, baik milik
Perusahaan Listrik Negara maupun yang dikelola swasta, ada 9 PLTU, dengan total kapasitas
saat ini sebesar 7.550 MW dan mengkonsumsi batubara sekitar 25,1 juta ton per tahun.
(Nugraha, 2009). Batubara digunakan sebagai bahan bakar dalam pembangkit tenaga listrik
uap, dimana energi panas yang dikeluarkan oleh batubara mampu memanaskan air yang
terdapat di dalam boiler yang menghasilkan steam atau uap panas, Jika air didihkan sampai
menjadi steam, volumenya akan meningkat sampai 1600 kali, menghasilkan tenaga yang
menyerupai bubuk mesiu yang mudah meledak. Energi yang terdapat pada uap panas ini
digunakan untuk memutar turbin dan generator akan berputar dengan sendirinya sehingga
menghasilkan arus listrik. Secara garis besar pembangkit tenaga listrik uap terdiri atas
komponen: boiler, reactor pembakaran, kondensor, dan turbin uap. Keempat komponen
tersebut saling terhubung dan membentuk suatu siklus, seperti gambar dibawah ini:
dimana pada suhu tersebut dengan waktu 3-7 jam dapat berubah menjadi steam atau uap
panas.
Sistem pirolisis
Pada sistem pirolisis digunakan reaktor yang tertutup rapat atau tidak bersentuhan dengan
udara luar agar tidak ada oksigen yang masuk dalam reaktor sehingga pirolisis dapat
berjalan dengan baik dan bisa menghasilkan gas dan asap yang akan dicairkan oleh
kondensor dan akan menjadi bahan bakar cair berupa alkohol dan lain-lain, selain itu pirolisis
juga digunakan untuk menghasilkan gas metana dari pembakaran batubara kelas rendah
sampai menengah. reaktor yang digunakan sama dengan ruang pembakaran yaitu yang
mampu menghantarkan panas yang baik sehingga efisiensi panas yang diberi oleh bahan
bakar pada ruang pembakaran mencapai maksimal. Bahan yang akan dibakar pada reaktor
pirolisis ini merupakan batubara dari kelas lignit sampai dengan sub-bitumius yang bernilai
kalori rendah dari 5100-6100 kal/gr. Umumnya batubara kelas ini memiliki kandungan gas
metana serta zat pengotor yang tinggi maka dengan pirolisis zat pengotor dapat dipisahkan
dari batubara tersebut serta gas metana yang berguna untuk gas kota dan polusi dari
pembakaran batubara tersebut dapat dicegah. Panas yang dihasilkan dari ruang
pembakaran akan memanaskan batubara yang terdapat pada reaktor pirolisis dan pada
suhu 450-6000C yang ada di reaktor akan berubah menjadi gas dan padatan-padatan arang
serta asap cair. Umumnya pirolisis batubara pada suhu 450-6000C menghasilkan beberapa
produk yaitu arang, gas metana, CO, CO2, NOx, SOx, H2 serta residu padat berupa tar.
Arang dapat digunakan untuk pembriketan batubara serta bernilai kalori tinggi, gas metana
yang dihasilkan dapat digunakan untuk gas kota, serta komponen gas asap akan dicairkan
oleh kondensor dan akan menghasilkan asap cair sementara residu padat yang terbawa
bersama gas akan mengendap pada tempat penampungan thar. Tar dan asap cair keduanya
dapat dijadikan bahan bakar cair dengan bantuan katalis.
Sistem uap panas
Pada sistem ini berhubungan dengan menguapkan air yang berada pada reaktor uap,
banyaknya air tergantung pada besarnya energi yang diberikan oleh ruang pembakaran.
Panas yang berasal dari ruang pembakaran akan mencapai suhu lebih dari 1000C dimana
pada suhu ini air akan menguap, dan uap ini dalam bentuk uap panas yang memiliki
tekanan yang tinggi sehingga mampu memberikan gaya dorong terhadap suatu benda.
Gaya dorong ini akan diberikan ke turbin uap yang terpasangkan kegenerator yang akan
menghasilkan arus listrik yang dapat dimanfaatkan untuk listrik.