Anda di halaman 1dari 12

FRAKTUR MUKA BAGIAN TENGAH

Pendahuluan
Trauma yang mengenai muka dapat mengakibatkan fraktur pada tulangtulang yang membentuk wajah. Trauma pada regio muka bagian tengah melibatkan
jaringan lunak dan komponen tulang muka seperti maksila, zygoma, kompleks
nasoorbital-ethmoid, dan struktur supraorbital.
Regio muka bagian tengah dibatasi pada bagian atas oleh garis yang
menghubungkan dua sutura zygomaticofrontal, melewati sutura frontomaxillary dan
sutura frontonasalis dan bagian bawah dibatasi dataran oklusal gigi geligi rahang
atas (Williams, 1994).
Perawatan fraktur muka bagian tengah meliputi perawatan kedaruratan,
evaluasi jenis fraktur, pemeriksaan radiografis, dan perawatan bedah untuk
mengembalikan anatomi dan fungsinya ke keadaan normal. Pada makalah ini
terutama akan dibahas mengenai fraktur muka bagian tengah regio maksila.
Klasifikasi
A. Fraktur tidak melibatkan oklusi
1. Regio sentral
a. fraktur tulang nasal dan/atau septum nasal
(i) nasal lateral
(ii)nasal anterior
b. fraktur frontal prosesus maksilaris
c. fraktur tipe (a) dan (b) yang meliputi tulang ethmoid (nasoethmoid)
c. fraktur tipe (a), (b), dan (c) yang meliputi tulang frontal
(fronto-orbito-nasal dislocation)
2. Regio lateral
Fraktur yang meliputi tulang zygomatic, arcus zygomatic, dan maksila di
luar dentoalveolar.

B. Fraktur melibatkan oklusi


1. Fraktur dentoalveolar
2. Subzygomatic
a. Le Fort I (low-level atau Guerin)
b. Le Fort II (piramidal)
3. Suprazygomatic
Le Fort III (high-level atau craniofacial dysjunction)
Fraktur di atas dapat terjadi unilateral maupun bilateral, dapat pula terjadi pemisahan
garis tengah (mid-line) maksila dan perluasan fraktur sampai tulang frontal atau
temporal.
Anatomi
Tulang-tulang yang membentuk muka bagian tengah meliputi (Gambar 1):
1. dua tulang maksila
2. dua tulang palatum
3. dua tulang zygoma
4. dua prosesus zygoma pada tulang temporal
5. dua tulang nasal
6. dua tulang lakrimal
7. vomer
8. tulang ethmoid
9. tulang sphenoid

Gambar 1. Anatomi tulang pembentuk muka (Rohen, 1984)


Anatomi Tulang Maksila
Dua buah tulang maksila atau biasa disebut rahang atas merupakan tulang
yang pada bagian atas membentuk segitiga dengan dinding tengah membentuk
ketebalan tulang nasal lateral. Pada bagian bawah dibatasi prosesus alveolaris dan
bagian atas dibatasi lempeng orbita pada tulang maksila (Gambar 2).

Gambar 2. Anatomi Maksila (Rohen, 1984)

Fraktur Le Fort
Fraktur Le Fort I (Guerins fracture)
Garis fraktur berjalan horisontal setinggi dasar hidung meliputi palatum,
prosesus alveolaris maksila, dan bagian bawah prosesu pterygoideus dan tulang
sphenoid (Gambar 3).

Gambar 3. Garis fraktur Le Fort I (Fonseca, 1997)


Fraktur Le Fort II
Garis fraktur berjalan dari tulang nasal ke tulang lakrimal kemudian
menyeberang ke bagian bawah orbita dan melewati foramen infraorbital. Garis
fraktur melewati sutura zygomaticomaxillary terus ke bagian bawah sesuai dinding
lateral maksila melewati pterygoid plate berbentuk piramid (Gambar 4).
Fraktur Le Fort III
Garis fraktur berjalan paralel terhadap dasar tengkorak, memisahkan seluruh
tulang bagian tengah terhadap dasar kranium. Fraktur meliputi tulang nasal ke arah
belakang melewati tulang ethmoid kemudian menyeberang ke tulang sphenoid dan
ke bawah melewati pterygomaxillary fissure dan fossa sphenopalatinus (Gambar 5).

Gambar 4. Garis fraktur Le Fort II (Fonseca, 1997)

Gambar 5. Garis fraktur Le Fort III (Fonseca, 1997)

Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan sebagai berikut (Peterson,
2003):
1. Riwayat penyakit
Perlu dilakukan anamnesa mengenai bagaimana terjadinya trauma, kapan
terjadinya trauma, apa yang menyebabkan trauma dan arah trauma, apakah terjadi
kehilangan kesadaran, gejala apa yang sekarang dirasakan.
2. Pemeriksaan fisik
Dilakukan setelah keadaan umum pasien stabil. Inspeksi dilakukan dengan
melihat adanya laserasi, kontusio jaringan, edema atau hematom, dan kemungkinan
perubahan kontur wajah. Periorbital ecchymosis sering merupakan indikasi adanya
fraktur kompleks zygomatik.
Pemeriksaan muka bagian tengah dilakukan melalui penilaian kegoyangan
maksila. Kepala pasien distabilisasi menggunakan satu tangan kemudian ibu jari dan
telunjuk tangan lainnya memegang maksila. Dilakukan tekanan untuk mengetahui
kegoyangan maksila (Gambar 6).
Perlu dilakukan palpasi untuk megetahui adanya deformitas regio nasal,
orbital, dan zygoma. Dilakukan juga pemeriksaan intra oral untuk melihat laserasi
ataupun ecchymosis pada vestibulum bukalis atau palatum serta melihat oklusi.

Gambar 6. Pemeriksaan kegoyangan maksila (Peterson, 2003)

3. Pemeriksaan radiografi
Pemeriksaan dilakukan dengan melihat Ro Waters view, foto lateral, PA,
submental vertex serta pemeriksaan CT scan (Gambar 7).

Gambar 7.

A. Waters view
B. Foto lateral
C. Submental vertex

Perawatan
Perawatan fraktur muka bagian tengah dapat dibagi menjadi 4 tahap
perawatan yaitu:
1. perawatan kedaruratan dan stabilisasi
2. penilaian awal
3. perawatan definitif
4. perawatan lanjutan (rehabilitasi)

1. Perawatan kedaruratan dan stabilisasi


Perawatan pasien trauma dilakukan sesegera mungkin untuk mengembalikan
dan mempertahankan jalan napas. Intubasi oral atau nasal perlu dilakukan serta
mengontrol perdarahan yang terjadi baik di nasal ataupun intra oral.
2. Penilaian awal
Setelah keadaan umum pasien stabil, selanjutnya dilakukan penilaian awal
yaitu anamnesa dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan penunjang. Dilakukan
pencatatan mengenai riwayat terjadinya trauma dan riwayat trauma sebelumnya
ataupun perawatan yang pernah dilakukan sebelumnya yang berguna untuk evaluasi
pra bedah. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan laserasi ektra oral, hilangnya
jaringan lunak, dan pemeriksaan intra oral. Pemeriksaan radiografi sangat penting
untuk membantu menegakkan diagnosa fraktur. Pemeriksaan radiografi meliputi
pemeriksaan foto P-A, Occipitomental, dan foto lateral. Informasi tambahan dapat
diperoleh melalui pemeriksaan CT scan.
Penilaian tanda-tanda vital dan derajat kesadaran pada pasien dengan trauma
kepala dilihat dari Glasgow Coma Score (GCS) yaitu:
a. trauma kepala berat jika GCS 8
b. trauma kepala sedang jika GCS 9 12
c. trauma kepala ringan jika GCS 13
Glasgow Coma Score
Fungsi
MATA

Respons
Buka spontan
Buka diperintah
Buka dengan rangsang nyeri
Tidak ada respons

Skor
4
3
2
1

BICARA

Normal
Bingung
Kata-kata kacau

5
4
3

MOTORIK

Suara tak menentu


Diam

2
1

Dapat diperintah
Dapat menunjuk tempat nyeri
Fleksi normal terhadap nyeri
Fleksi abnormal terhadap nyeri
Ekstensi terhadap nyeri
Tak ada respons

6
5
4
3
2
1

Dilakukan persiapan pre-operative yang meliputi:


1. pertimbangan untuk melakukan trakeostomi
Hal ini perlu dilakukan kerjasama dengan bagian THT dan anestesi dengan
pertimbangan pembengkakan jaringan lunak atau penggunaan IMF.
2. metode reduksi tertutup atau reduksi terbuka
3. penggunaan intermaxillary fixation dan jenisnya
Jumlah dan keadaan gigi geligi, ada tidaknya fraktur alveolar atau palatum
merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan untuk penggunaan alat fiksasi
interdental, arch bar atau penggunaan splint. Metode fiksasi maksila dapat dibagi
sebagai berikut (Gambar 8):
a. Internal fixation:

i) mini plate and screws


ii) kawat:

- circumzygomatic
- circumpalatal
- infraorbital
- frontal-central atau lateral
- piriform aperture
- peralveolar

b. External fixation: i) craniomandibular


ii) craniomaxillary: supraorbital pins, zygomatic pins,
halo frame, Levant frame

Gambar 8. Macam fiksasi: A. kawat circumzygomatic


B. craniomaxillary
C. kawat infraorbital
D. kawat piriform aperture
3. Perawatan definitif
Tujuan perawatan definitif adalah untuk mengembalikan maksila pada posisi
anatomi normal baik terhadap mandibula maupun dasar kranium. Pengembalian

10

fraktur perlu mempertimbangkan ukuran tinggi vertikal maupun lebar wajah


(Gambar 9).

Gambar 9. Penggunaan Hayton-Williams forceps (kiri) dan Rowe forceps (kanan)


untuk mengembalikan posisi maksila (Williams, 1994)
Pembedahan dapat dilakukan melalui pendekatan:
a. insisi sublabial dari regio molar-molar
b. insisi blepharoplasty meliputi kelopak mata bagian bawah atau pendekatan
transconjunctival untuk akses ke daerah orbita
c. insisi bicoronal scalp sampai daerah telinga untuk akses ke frontal, nasoethmoid,
prosesus zigomatikus, tulang orbita dan arkus zigomatikus.
4. Perawatan lanjutan (rehabilitasi)
Dilakukan penilaian hasil perawatan, perbaikan tulang, penyembuhan
jaringan lunak, dan kemungkinan perawatan koreksi wajah.
Kesimpulan
Fraktur muka bagian tengah dapat menimbulkan efek samping yang
berbahaya karena mengenai struktur-struktur tulang yang vital sehingga perlu

11

penanganan sesegera mungkin. Perlu diperhatikan struktur anatomi normal tulangtulang wajah sehingga perawatan dapat dilakukan dengan baik.

Daftar Pustaka
Booth, Peter Ward. 2003. Maxillofacial Trauma and Esthetic Reconstruction.
Edinburgh. Churchill Livingstone.
Fonseca & Walker. 1997. Oral & Maxillofacial Trauma. 2nd ed. Philadelphia.
W.B.Saunders Company.
Pedersen. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta. EGC.
Peterson. 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4th ed. St.Louis.
Mosby.
Rohen, J.W., Yokochi. 1983. Anatomi Manusia. Jakarta. EGC.
Williams, J.LI. 1994.

Maxillofacial Injuries. 2nd ed. Edinburgh. Churchill

Livingstone.

12

Anda mungkin juga menyukai