Anda di halaman 1dari 14

PEMIKIRAN POLITIK HASAN MUHAMMAD DI TIRO

TENTANG KONSEPSI NEGARA BANGSA


Zulfiadi, Effendi Hasan
Ilmu Politik , FISIP, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia
E-mail: joel.ahmedy@live.com
ABSTRAK
Pemikiran Politik Hasan Muhammad di Tiro Tentang Konsepsi Negara Bangsa merupakan ide-ide yang
dikemukakan oleh Hasan Muhammad di Tiro bagaimana membentuk negara yang ideal dari sebuah entitas yang
sama. Yang pada dasarnya Aceh merupakan bekas Kerajaan Aceh Darussalam yang pernah berdaulat dan diakui
oleh Internasional. Ini yang ingin diwujudkan kembali oleh Hasan Muhammad di Tiro dalam Negara Sambungan
dari Aceh Darussalam. Pemikiran Hasan Muhammad di Tiro kemudian memberikan arti penting dari sejarah
bangsa Aceh dan menumbuh kembangkan kembali rasa nasionalisme orang Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pemikiran politik Hasan Muhammad di Tiro tentang konsepsi negara bangsa, dan mengetahui
pengaruh pemikiran politik Hasan Muhammad di Tiro tentang konsepsi negara bangsa terhadap perjuangan
Gerakan Aceh Merdeka. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian keperpustakaan
dan penelitian lapangan. Penelitian keperpustakaan untuk mendapatkan data sekunder, dengan mempelajari dan
mengkaji karya tokoh, pendapat ahli dalam bentuk buku-buku, jurnal, melalui konsepsi ilmuan lainnya dan
media internet. Sedangkan penelitian lapangan untuk mendapatkan data primer dengan cara mewawancarai
responden dan informan. Hasil penelitian menunjukkan pemikiran Hasan Muhammad di Tiro bahwa Aceh
merupakan satu negara bangsa yang berdaulat dan diakui dunia Internasional sejak pada abad 15. Hasan
Muhammad di Tiro menggugat penyerahan kekuasaan Hindia Belanda kepada RIS dengan memasukkan Aceh di
dalamnya, kemudian diperkuat dengan Resolusi PBB No: 1514 - XV yang dihasilkan pada 14 Desember 1960.
Selanjutnya Hasan Muhammad di Tiro menempatkan Islam sebagai ideologi negara. Dampak dari pemikiran
Hasan Muhammad di Tiro tersebut telah berpengaruh pada bangkitnya kesadaran nasionalisme Aceh dan
timbulnya penentangan rakyat Aceh terhadap Indonesia. Diharapkan kepada Pemerintah Aceh dapat
mengaktualisasikan semangat pemikiran Hasan Muhammad di Tiro untuk membangun Aceh yang lebih
bermartabat, aman, adil dan sejahtera. Serta menjunjung tinggi tatanan kehidupan lokal dalam perspektif asal
usul sejarah dan kekayaan sosio kultural dari masing-masing daerah yang ada dalam Indonesia.
Kata kunci: Pemikiran Politik, Hasan Muhammad di Tiro, Negara Bangsa.

ABSTRAC
Hasan Muhammad di Tiros political idea about Nation State Conception constitute ideas that interposed by
Hasan Muhammad di Tiro how to form an ideal state of same basis. On basically Acheh constitutes ex Acheh
Darussalam Monarchy that have sovereign and avowed by International. This one wants to be rendered by Hasan
Muhammad di Tiro in a Succecor State of Acheh Darussalam. Hasan Muhammad di Tiros idea then gives
importance of Acheh national history and develops nationalism taste of Achenese. This research intent for
analizing of Hasan Muhammad di Tiros political idea about nation state conception, and knows political idea
influence of Hasan Muhammad di Tiro about nation state conception to Independent Acheh Movements
struggle. Datas collecting in observational it is done through library research and field research. Library
Research to get secondary data, by studies and analize figure opus, opinion a great hand at book forms, journal,
via another scientist's conception and Internet media. Meanwhile field research to get primary data by interviews
respondent and informan. Result observationaling to point out of Hasan Muhammad di Tiros political idea is
that Acheh constitutes a sovereign nation state and avowed international world since on 15th century. Hasan
Muhammad di Tiro litigates Hindia's power hand over Dutch to RIS by inserts Acheh in it, then strengthened by
United Nations resolution number 1514-XV was resulted on 14th December 1960 . Then Hasan Muhammad di
Tiro places Islam as ideology of state. Impact of Hasan Muhammad di Tiros idea that was influential on arouses
it Acheh nationalism consciousness and arises it Acheh people contradiction to Indonesian. Expected to Acheh
Government can actualize Hasan Muhammad di Tiros idea spirit to build Acheh gets dignity then ever, safe and
fair. Then respect of to high local life society in history derivation perspective and socio cultural's wealth of each
aught region in Indonesian.
Keyword: Political Idea, Hasan Muhammad di Tiro, Nation State.

1.

(UII) Yogyakarta dan kemudian mendapat beasiswa


Colombo Plan ke Amerika, dan Hasan Muhammad
Di Tiro pernah bekerja pada Kedutaan Indonesia.
Artinya, pada suatu periode Hasan Muhammad di
Tiro pernah menaruh harapan pada Indonesia (Isa
Sulaiman, 2000: 12).
Pada Januari 1965, Hasan Muhammad di Tiro
menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka.
Menurut Isa Sulaiman, apa yang dilakukannya
dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka
pada 4 Desember 1976 hanyalah kristalisasi dari ide
yang sudah disosialisasikannya sejak 1965. Ide Aceh
Sumatra diambil Hasan Muhammad di Tiro dari
wilayah Kesultanan Iskandar Muda. Pada masa
jayanya kerajaan Aceh memang pernah sampai
menguasai Sumatra dan sebagian wilayah Malaysia.
Kelahiran dan perjuangan GAM di Aceh
selama 30 tahun hakikatnya adalah manifestasi dari
pemikiran Hasan Muhammmad di Tiro. Tujuan
perjuangan GAM untuk mewujudkan negara
bersambung (successor state) dari kerajaan Aceh
tempo dulu sebagai satu Kerajaan yang pernah ada
dalam catatan sejarah negara-negara di dunia.
Menurut B.J. Boland (1971), seorang pengarang
berkebangsaan Belanda, karena Aceh masih sebagai
sebuah negara yang merdeka dan berdaulat dan tidak
pernah menyerahkan kedaulatannya pada Belanda,
maka Belanda tidak menginvasi Aceh melalui agresi
militernya baik yang pertama maupun yang kedua
pada 1947-1948. Akan tetapi pada 27 Desember
1949 ketika Belanda menandatangani suatu
perjanjian pemindahan kedaulatan dari Belanda
kepada Republik Indonesia Serikat, Republik
Indonesia Serikat mengklaim bahwa semua daerah
jajahan Hindia Belanda di Nusantara menjadi daerah
kekuasaan RIS, termasuk kerajaan Aceh di
dalamnya, walaupun pada dasarnya Aceh tidak
pernah ditaklukkan oleh Belanda. Perjanjian antara
Belanda dan daerah jajahan inilah yang menjadi alat
pemindahan kekuasaan Belanda kepada RIS, dan
menjadi sumber kekuasaan RIS atas dunia Melayu.
Menurut Hasan Muhammad di Tiro, pemindahan
kuasa Belanda atas Indonesia bertentangan dengan
prinsip dekolonialisasi sebuah negara, sebagaimana
telah diatur dalam beberapa resolusi PBB, yaitu
Resolusi PBB No. 1514 XV, 2625 XXV, 2621
XXV dan beberapa konvensi PBB. Oleh karena
Belanda sebagai penjajah tidak mempunyai hak
hukum atas tanah yang dirampas, maka Indonesia
pun tidak mempunyai hak legalitas hukum apapun
atas kepulauan Melayu yang masing-masing adalah
milik rakyatnya, termasuk Aceh (Munawar A. Djalil,
2009: 40).
Realita ini menurut Hasan Muhammad di
Tiro merupakan fakta sejarah yang tidak boleh
dinafikan. Ini adalah perkara sebuah negara bangsa
yang hingga kini masih diakui oleh hukum
internasional sebagai sebuah negara berdaulat.
Kenyataan inilah yang mendorong kemunculan
pemikiran politik Hasan Muhammad di Tiro untuk

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Hasan Muhammad di Tiro merupakan
deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4
Desember 1976 di kawasan gunung Halimon Pidie.
Hasan Muhammad di Tiro ikut keluar-masuk hutan
bersama
pasukannya
sejak
1976
untuk
memperjuangkan pemisahan Aceh dari Indonesia.
Perjuangannya secara bergerilya dalam belantara
hutan Aceh itu hanya berlangsung tiga tahun.
Kemudian pada 28 Maret 1979 Hasan Muhammad
di Tiro hijrah ke Malaysia melalui Batee Iliek
menggunakan perahu nelayan. Bermuara pada
permintaan suaka politik pada Swedia sebelum
akhirnya menetap di Stockholm, ibukota Swedia.
Dari perjalanannya itu kemudian memulai
membangun jaringan GAM di luar negeri, mencari
dukungan
internasional
dan
juga
untuk
menyelamatkan perjuangan GAM secara ideologis.
Bahkan Hasan Muhammad di Tiro juga pernah
mengirimkan surat Gerakan Aceh Merdeka kepada
Sekretaris Jenderal Kofi Annan PBB pada 25 Januari
1999 (Mukhlis, 2011: 14).
Sejak mendeklarasikan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), pengakuan orang Aceh terhadap
Hasan Muhammad di Tiro bukan hanya karena
perjuangannya. Dalam tubuhnya mengalir darah biru
para pejuang Aceh. Hasan Muhammad Di Tiro lahir
di Pidie, Aceh, pada 25 September 1925 tepatnya di
Kampung Tanjong Bungong Lameulo, sekitar 20 km
dari Sigli. Hasan Muhammad di Tiro adalah
keturunan ketiga dari Tengku Syik Muhammad
Saman di Tiro. Hasan Muhammad di Tiro
merupakan anak kedua pasangan Tengku Pocut
Fatimah dan Tengku Muhammad Hasan. Tengku
Pocut inilah cucu perempuan Tengku Muhammad
Saman di Tiro. Karena posisinya sebagai keturunan
Tengku Saman di Tiro itulah Hasan Muhammad di
Tiro dihormati oleh pejuang Gerakan Aceh Merdeka
dan memegang kendali Gerakan Aceh Merdeka
(Munawwar A. Djalil, 2009: 3). Darah biru itu
kemudian diperkaya dengan ilmu hukum
internasional yang ditimbanya di Universitas
Colombia, Amerika Serikat, hingga meraih gelar
Doktor.
Sikap keras Hasan Muhammad di Tiro
menolak Indonesia merupakan perubahan besar
dibanding era sebelumnya. Sebelum berangkat ke
Amerika pada 1950, Hasan Muhammad di Tiro
terlibat aktif dalam berbagai organisasi keIndonesiaan. Bersama abangnya, Zainul Abidin di
Tiro, Hasan Muhammad di Tiro aktif dalam Pemuda
Republik Indonesia (PRI). Hasan Muhammad di
Tiro bahkan pernah menjabat Ketua Muda PRI di
Pidie pada 1945. Ketika Wakil Perdana Menteri II
dijabat
Syafruddin
Prawiranegara,
Hasan
Muhammad Di Tiro pernah menjadi stafnya. Atas
jasa Syafruddin jugalah melalui rekomendasi Tgk
Daud Beureueh Hasan Muhammad di Tiro kuliah
pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

mendeklarasikan kembali kedaulatan Aceh yang


didasari pada hukum internasional. Maka sebagai
satu peristiwa sejarah dan politik, gagasan Hasan
Muhammad Di Tiro yang berwujud dalam sebuah
Gerakan Aceh Merdeka patut terus dilakukan
pengkajian yang lebih mendalam.

Konsep Negara Bangsa (Nation State) adalah


konsep tentang negara modern yang terkait erat
dengan paham kebangsaan atau nasionalisme
(Rosyada, 2005: 24). Dalam Wikipedia disebutkan
bahwa negara bangsa ialah satu konsep atau bentuk
kenegaraan yang memperoleh pengesahan politiknya
dengan menjadi sebuah entitas berdaulat bagi bangsa
menjadi sebagai sebuah unit wilayah yang berdaulat.
Negara (atau negeri) adalah entitas politik dan
geopolitik, manakala bangsa adalah entitas budaya
dan/atau etnik. Istilah negara bangsa menandakan
bahwa keduanya adalah
sama, dan ini
membedakannya dengan bentuk kenegaraan yang
lain, yang telah ada sebelumnya. Pengertian negara
bangsa ini menandakan bahwa rakyatnya bersatu
untuk satu bahasa, budaya, dan nilai. Ciri-ciri ini
bukan merupakan ciri-ciri negara yang telah ada
sebelumnya. Sebuah dunia dengan negara-negara
bangsa juga akan melaksanakan tuntutan terhadap
penentuan nasib sendiri dan otonomi bagi setiap
bangsa, yang menjadi fokus utama paham
nasionalisme (http://ms.wikipedia.org, diakses pada
25 April 2012). Semua pendapat menyebutkan
bahwa kemudian konsep negara bangsa lebih pada
pendominasian perkembangan nasionalisme, dan
sehingga lebih populer dengan istilah nasionalisme.
Konsep Negara Bangsa (Nation State) adalah
konsep tentang negara modern yang terkait erat
dengan paham kebangsaan atau nasionalisme. Pada
abad 12 nasionalisme muncul dan berkembang
menjadi sebuah paham (isme) yang dijadikan
sebagai landasan hidup bernegara, bermasyarakat
dan berbudaya dipengaruhi oleh kondisi histori dan
dinamika socio cultural yang ada di masing-masing
negara (www.wikipedia.org, diakses pada 13 Maret
2012).
Dalam perkembangannya, nasionalisme yang
muncul secara tidak langsung mengilhami bentukbentuk ideologi sekaligus dijadikan sebagai falsafah
kenegaraan. Sehingga cinta tanah air tidak hanya
sebatas merebut dan mempertahankan kemerdekaan
melainkan juga mempunyai banyak nilai nilai
luhur yang bernilai pendidikan. Dengan adanya akar
nasionalisme sebagai rasa cinta tanah air, maka di
situ pula akan tumbuh sikap patriotisme, rasa
kebersamaan,
kebebasan,
kemanusiaan
dan
sebagainya. Karena nasionalisme dibangun oleh
kesadaran sejarah, cinta tanah air, dan cita-cita
politik. Nasionalisme menjadi faktor penentu yang
mengikat
semangat
serta
loyalitas
untuk
mewujudkan cita-cita setiap negara.
Pada
mulanya
unsur-unsur
pokok
nasionalisme itu terdiri atas persamaan-persamaan
darah (keturunan), suku bangsa, daerah tempat
tinggal, kepercayaan agama, bahasa dan
kebudayaan. Nasionalisme akan muncul ketika suatu
kelompok suku yang hidup di suatu wilayah tertentu
dan masih bersifat primordial berhadapan dengan
manusia-manusia yang berasal dari luar wilayah
kehidupan mereka. Lambat laun ada unsur

1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka memunculkan beberapa pokok permasalahan
antara lain adalah:
1. Bagaimana
pemikiran
politik
Hasan
Muhammad Di Tiro tentang konsep negara
bangsa?
2. Bagaimana pengaruh pemikiran konsep
negara bangsa Hasan Muhammad Di Tiro
terhadap perjuangan Gerakan Aceh Merdeka?
1.3.

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
menjelaskan pemikiran politik Hasan Muhammad Di
Tiro tentang konsepsi negara bangsa dan untuk
menganalisis
pengaruh
pemikiran
Hasan
Muhammad di Tiro terhadap perjuangan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) di Aceh.
1.4.

Tinjauan Teori
Negara bangsa adalah suatu gagasan tentang
negara yang didirikan untuk seluruh bangsa atau
untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan
bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual
dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang
mengadakan kesepakatan itu, di dalamnya terdapat
sebuah prinsip kerohanian, dengan landasan
nasionalisme yang merupakan suatu paham yang
berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi harus
diserahkan kepada negara kebangsaan yang di
dalamnya terdapat unsur etnisitas, bahasa dan agama
sebagai identitas bersama (common identity)
(Nurcholis Madjid, 2004: hal. 42-43). Negara
Bangsa merupakan hasil sejarah alamiah yang semi
kontraktual di mana nasionalisme merupakan
landasan
bangunannya
yang paling
kuat.
Nasionalisme dapat dikatakakan sebagai sebuah
situasi kejiwaan di mana kesetiaan seseorang secara
total diabdikan langsung kepada negara bangsa atas
nama sebuah bangsa. Dalam situasi perjuangan
kemerdekaan, dibutuhkan suatu konsep sebagai
dasar pembenaran rasional dari tuntunan terhadap
penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat
keikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa.
Dasar pembenaran tersebut, selanjutnya mengkristal
dalam konsep paham ideologi kebangsaan yang
biasa disebut dengan nasionalisme. Dari sinilah
kemudian lahir konsep-konsep turunannya seperti
bangsa (nation), negara (state) dan gabungan
keduanya menjadi konsep negara bangsa (nation
state)
sebagai
komponen-komponen
yang
membentuk identitas nasional atau kebangsaan
(Rasyid, 1999: 3).

tambahan, yaitu dengan adanya persamaan hak bagi


setiap orang untuk memegang peranan dalam
kelompok atau masyarakat (demokrasi politik dan
demokrasi sosial) serta adanya persamaan
kepentingan ekonomi. Inilah yang kemudian dikenal
dengan istilah nasionalisme modern.
Nasionalisme dapat mempengaruhi orang
untuk bertindak lebih kuat dibandingkan aliran
politik lainnya. Semua ideologi dapat mempengaruhi
individu secara emosional, dan masing-masing
ideologi punya simbol kekuatan tertentu yang
menghasilkan satu reaksi bagi mereka yang percaya.
Tapi nasionalisme kadang kala juga menghasilkan
reaksi pada mereka yang tidak percaya. Hal ini
sangat mempengaruhi individu dan memerlukan
penguatan reaksi lebih besar dibandingkan ideologi
lain. Ideologi lain mungkin menjadi kaku dalam
sebuah perspektif individu, sehingga mereka terlihat
kurang mengambil sebuah tindakan. (Lyman Tower
Sargent, 1987: 17). Maka nasionalisme merupakan
ideologi paling kuat untuk membentuk sebuah
gerakan reaktif atas aksi yang timbul dalam sebuah
komunitas politik. Seorang penasihat politik
Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter (1977-981)
yaitu Zbigniew Brzezinski mengemukakan bahwa
ideologi adalah ceases to be intelectual abstraction
and becomes an active social agent, or an ideology,
when it is applied to concrete situations and
becomes a guide to action, menurut pandangan ini,
ideologi merupakan abstraksi intelektual dan
menjadi agen sosial aktif ketika diterapkan dalam
situasi nyata dan menjadi patokan-patokan tindakan
(Hitchner, 1967: 24).

2.

METODE PENELITIAN

2.1.

Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai sejak bulan Juli 2012
sampai dengan Desember 2012. Dalam rentang
waktu tersebut dilakukan penelitian berupa
penelaahan buku dan karya lain dari Hasan
Muhammad di Tiro sendiri, buku-buku lainnya serta
artikel para pengamat dan referensi lainnya yang
mendukung penelitian tersebut. Kemudian juga
dilakukan penelitian berupa wawancara dengan
responden dan informan untuk memperkuat hasil
penelitian tersebut.
2.2.

Jenis Penelitian
Salah satu jenis penelitian pemikiran politik
adalah (penelitian biografi atau studi tokoh) yaitu
penelitian terhadap kehidupan seseorang tokoh
dalam hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat,
watak, pemikiran dan ide serta pengaruh
pemikirannya dan idenya dalam perkembangan
sejarah. Penelitian studi tokoh dikategorikan ke
dalam jenis penelitian kualitatif, yaitu suatu
penelitian yang membahas tentang konsep-konsep,
ide dan pemikiran dari suatu masalah yang akan di
bahas (Arief Furchan dan Agus Maimun, 2005: 16).
Metode kualitatif adalah suatu proses
penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada
metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial
dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti
membuat suatu gambaran kompleks, meneliti katakata, laporan terinci dari pandangan responden, dan
melakukan studi pada situasi yang alami (John W.
Creswell, 2008:15). Strauss dan Corbin mengatakan
bahwa penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian
yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui
prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya
(Anselm Strauss and Juliet Corbin, 1990: 27). Data
kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan
deskripsi keadaan, kejadian, interaksi, dan kegiatan.
Dengan menggunakan jenis data kualitatif,
memungkinkan peneliti mendekati data sehingga
mampu mengembangkan komponen-komponen
keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris
dari data itu sendiri. Selanjutnya, penyusunan hasil
penelitian dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif; yaitu berusaha memberikan gambaran
secara jelas tentang kenyataan-kenyataan yang di
temukan dalam praktek dan memaparkan hasil
penelitian lapangan disertai dengan uraian dasar
teori yang ada dan mengaitkannya dengan data
kepustakaan.

1.5.

Sistematika Penulisan
Penulisan jurnal ini secara keseluruhan
disusun berdasarkan per bagian. Jurnal ini akan
dibagi dalam lima bagian.
Bagian I, berisikan pendahuluan yang
menjelaskan latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, teori dan sistematika
penulisan.
Bagian II, berisikan metode penelitian yang
menjelaskan waktu penelitian, jenis penelitian,
teknik pengumpulan data dan analisis data.
Bagian III, berisikan hasil penelitian dan
pembahasan yang membahas pemikiran politik
Hasan Muhammad Di Tiro tentang konsep negara
bangsa dan pengaruh pemikiran Hasan Muhammad
Di Tiro tentang negara bangsa terhadap perjuangan
Gerakan Aceh Merdeka.
Bagian IV, berisikan penutup yang
menjelaskan kesimpulan.

2.3.

Teknik Pengumpulan Data


Data dalam penelitian ini diperoleh dengan
melakukan penelitian kepustakaan (library research)
dan penelitian lapangan (field research).
a. Penelitian kepustakaan (library research),
yaitu penelaahan terhadap dokumen tertulis,
penelitian ini dilakukan untuk memperoleh
data sekunder. Data yang diperoleh dari

metode ini berupa cuplikan, kutipan, atau


penggalan-penggalan dari catatan tokoh,
organisasi
atau program; momerandummomerandum dan korenspondensi; terbitan
dan laporan resmi; buku harian pribadi dan
jawaban tertulis yang terbuka terhadap
kuesioner dan survei.
b. Penelitian
lapangan
(field
research),
penelitian
lapangan
dilakukan
untuk
memperoleh data primer, dan hal ini
dilakukan dengan wawancara. Peneliti akan
mewawancarai pihak-pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan penelitian. Untuk
memperoleh
informasi
yang
sangat
mendalam, menyeluruh dan seobjektif
mungkin wawancara ini dilakukan dengan
sebebas-bebasnya dan tidak terlalu formal
tetapi tetap mengacu pada prosedur yang
berlaku untuk mendapatkan informasi.

d. Kesinambungan historis, dalam melakukan


analisis diperhatikan benang merah yang
menghubungkan
pemikiran-pemikirannya,
baik lingkungan historis dan pengaruhpengaruh
yang
dialaminya
maupun
perjalanan hidupnya sendiri, karena seorang
tokoh adalah anak zamannya. Untuk melihat
latar belakang internal, diperiksa riwayat
hidup tokoh, pendidikannya, pengaruh yang
diterimanya, relasi dengan pemikir-pemikir
sezamannya, dan segala macam yang
membentuk pengalamannya. Demikian juga
diperhatikan perkembangan intern dalam
tahap-tahap pemikirannya. Untuk melihat
latar belakang eksternal, diselidiki keadaan
khusus zaman yang dialami tokoh, dari segi
ekonomi politik budaya dan intelektual
(Syahrin Harahap, 2006: 59-64).

2.4.

Teknik Analisis Data


Setelah data dikumpulkan, maka selanjutnya
data tersebut akan dianalisis. Analisis data adalah
proses
menyeleksi,
menyederhanakan,
memfokuskan,
mengabstraksikan,
mengorganisasikan data secara sistematis dan
rasional sesuai dengan tujuan penelitian (Rianto Adi,
2004; 117). Adapun metode yang digunakan dalam
analisis data adalah:
a. Interpretasi, dimaksudkan sebagai upaya
tercapainya pemahaman yang benar terhadap
fakta, data dan gejala. Interpretasi merupakan
landasan bagi hermeneutika. Zygmunt
Bauman menjelaskan bahwa hermeneutik
adalah upaya menjelaskan dan menelusuri
pesan dan pengertian dasar dari sebuah
ucapan dan tulisan yang tidak jelas,
multitafsir
dan
kontradiksi,
sehingga
menimbulkan keraguan dan kebingungan
pendengar atau pembaca (Zygmunt Bauman,
1978; 7).
b. Induksi dan deduksi. Induksi secara umum
dapat diartikan sebagai generalisasi kasuskasus dan unsur-unsur pemikiran tokoh
dianalisis, kemudian pemahaman yang
ditemukan di dalamnya dirumuskan dalam
statemen umum (generalisasi). Sedangkan
deduksi dipahami sebagai upaya eksplisitasi
dan penerapan pikiran-pikiran seorang tokoh
yang bersifat umum.
c. Koherensi intern, Agar pemikiran tokoh
dapat dipahami secara tepat, maka seluruh
konsep dan aspek-aspek pemikirannya dilihat
menurut keselarasannya satu dengan yang
lain. Selain itu ditetapkan pula inti pikirannya
yang paling mendasar dan topik-topik yang
paling sentral. Demikian juga diteliti susunan
logis sistematis dalam pemikirannya agar
ditemukan subtansi dari muatan pemikiran
tokoh.

3.
3.1.

HASIL PENELITIAN DAN


PEMBAHASAN

Pemikiran Politik Hasan Muhammad Di


Tiro Tentang Konsepsi Negara Bangsa
Pemikiran politik tidak terlepas dari kajian
mengenai institusi sebuah negara, karena pemikiran
politik merupakan satu kesatuan yang terjalin antara
ide, doktrin, konsep dan teori tentang eksistensi
negara. Pemikiran Hasan Muhammad di Tiro
mengenai negara bangsa adalah mengenai pendirian
negara sambungan Kerajaan Aceh yang berdasarkan
dari sebuah ikatan bersama sebagai sebuah kesatuan
yaitu Islam. Di mana Aceh adalah sebuah negara
yang merdeka dan berdaulat sejak ratusan tahun
silam. Hasan Muhammad di Tiro menggugat
penyerahan kedaulatan Aceh kepada RIS oleh
Belanda serta memperkuat landasan gugatannya
dengan hukum Internasional. Hasan Muhammad di
Tiro mengemukakan pemikirannya tentang konsep
ini dalam berbagai karyanya.
Karya-karya
yang
dihasilkan
Hasan
Muhammad di Tiro membuktikan bahwa Hasan
Muhammad di Tiro begitu paham tentang Aceh,
dimulai dari tugas akhir Hasan Muhammad di Tiro
pada Universitas Islam Indonesia pada 1949 dengan
judul Perang Atjeh 1873-1927. Kemudian
dilanjutkan dengan disertasi Doktor pada Universitas
Columbia, Amerika Serikat yang berjudul
Konstitusionalisme Kesultanan Aceh. Banyak
karya hasil pemikiran Hasan Muhammad di Tiro,
antara lain Demokrasi Untuk Indonesia, Atjeh Bak
Mata Donya, Indonesia Nationalism, A Westtern
Invention To Subvert Islam And To Prevent

pembatasan wilayah atau daerah, dan pembatasan


siapa-siapa yang dapat ikut setia. Tetapi
"nasionalisme Indonesia" bermakna penguasaan
wilayah atau daerah, dan penghancuran bangsabangsa yang memiliki wilayah atau daerah itu.
Teranglah sudah bahwa "nasionalisme Indonesia"
bermakna perluasan wilayah atau daerah, dan
penghancuran bangsa-bangsa yang memiliki wilayah
atau daerah itu. Maka jelas sudah bahwa
"nasionalisme indonesia" tersebut pada awalnya
diadakan untuk memelihara kesatuan Hindia
Belanda, dan sekarang untuk membenarkan
penjajahan Jawa. Sekarang ini "nasionalisme
Indonesia" sudah dijadikan dasar ideologi negara
untuk menjamin atau membenarkan penguasaan
bangsa Jawa atas tanah air bangsa-bangsa lain di
luar pulau Jawa.
Kemudian Hasan Muhammad di Tiro
mengemukakan ide yang lebih primordialis, yaitu
menempatkan pemikirannya ke nasionalisme Aceh.
Pada 1965, karyanya yang berjudul Masa Depan
Politik Dunia Melayu menolak ide Republik
Indonesia. Digambarkan pada halaman 6 buku ini
bahwa Indonesia adalah dari proyek kolonialisme
Jawa, dan warisan yang tidak sah dari perang
kolonial Belanda. Dalam karya ini Hasan
mengutarakan bahwa Indonesia saat ini telah
dikuasai oleh suku Jawa, pendominasian Jawaisme
ini telah menyebar dalam segala tingkatan
kehidupan di Indonesia. Banyak timbul masalah
ketika negara majemuk dikuasai oleh sebuah suku
Jawa, akan terjadi kolusi politik dengan jumlah
besar, semakin besar terjadinya kesenjangan sosial,
politik keuangan dikontrol oleh orang-orang kaya,
tidak ada lagi toleransi beragama dan kebebasan
berbicara serta penguasaan sumber daya alam (SDA)
sebuah daerah. Kemudian Hasan mengajak para
pemuda setiap bangsa Melayu untuk merebut
kembali kekuasaan dan kehormatan masing-masing
bangsa Melayu yang telah dihancurkan oleh bangsa
Jawa sejak tahun 1945. Bahkan dalam bukunya
Sumatra Siapa Punya yang terbit tahun 1991, pada
epilognya Hasan Muhammad di Tiro menyebutkan
bahwa pilihan politik untuk kembali kepada asal (the
origins) sebagai dasar argumen bagi wacana Negara
Aceh mau pun gagasan konfederasi Sumatera,
mengandung konsekuensi di mana Hasan
Muhammad di Tiro harus menyebut para aristokrat
lokal Sumatera sebagai pahlawan Nasional
Sumatera. Seperti T. Mansyur, pemimpin Negara
Sumatera Timur (yang tergabung dalam Republik
Indonesia Serikat buatan Belanda), bagi Hasan
Muhammad di Tiro justru tokoh semacam T
Mansyur
disebutnya
sebagai
putra-putra
Sumatera yang tahu siapa diri mereka, apa
kepentingan Nasional Sumatera mereka, dan
menghormati diri dan nenek moyang mereka.
Kemudian Hasan Muhammad di Tiro dalam
tulisannya The Legal Status Of Acheh Sumatra
Under International Law yang terbit pada 1980

Decolonization Of The Dutch East Indies, Masa


Depan Politik Dunia Melayu, dll.
3.1.1. Kedaulatan Aceh
Pada tahun 1958, Hasan Muhammad di Tiro
menuangkan pemikirannya dalam buku berjudul
Demokrasi untuk Indonesia dalam bahasa Melayu
dan Inggris. Dalam buku ini digambarkan secara
umum bahwa Indonesia berusaha menemukan
konsep yang pas untuk sebuah negara yang ideal
dengan dasar di mana Indonesia yang tidak memiliki
sejarah persatuan yang kuat antar etnik. Indonesia
yang memiliki keberagaman paham dan agama.
Indonesia yang setiap jengkal tanah airnya memiliki
kekayaan alam yang berlimpah. Indonesia
memerlukan sebuah tatanan ekonomi politik yang
memiliki kekhususan di mana semua perbedaan
yang ada dapat dikelola serta bisa menumbuh
kembangkan negara yang baru tumbuh tanpa perlu
memberangus perbedaan yang ada.
Menurutnya masing-masing wilayah tak
mungkin disatukan dan kemudian dipimpin oleh
sebuah suku dominan. Negara harus menghormati
kekhasan wilayah seperti Papua, Maluku, Sulawesi,
Kalimantan, Sumatera dan Aceh, sebagian wilayah
itu malah perlu diizinkan menjadi Negara sendiri.
Kemudian dengan hal tersebut di atas, maka
demokrasi hasil pemikiran Hasan Muhammad di
Tiro akan menutup peluang suku bangsa mayoritas
di Indonesia dapat berkuasa penuh hanya karena
jumlah penduduk mereka lebih ramai dari yang lain.
Dan konsep ini menurut Hasan Muhammad di Tiro,
sistem federal adalah yang paling tepat untuk
pengelolaan negara keberagaman seperti Indonesia.
Keleluasaan pengelolaan sumber daya alam dan
demokrasi lokal menjadi kekuatan utama yang
membuat negara ini maju. Kemudian Hasan
Muhammad di Tiro mengkritik pemahaman
Soekarno mengenai konsep kebangsaan, demokrasi,
dan Pancasila. Menurut Hasan Muhammad di Tiro,
Indonesia adalah nama yang muncul pada abad XIX.
Jauh sebelumnya di Nusantara sudah lahir kerajaankerajaan berdaulat. Berbeda dengan Soekarno yang
menganggap apa yang ada dalam angan-angannya
mengenai suatu bangsa bernama Indonesia adalah
kenyataan. Maka bukan hal mengejutkan jika
Pemerintah RI begitu gampangnya melakukan
pemberangusan terhadap etnisitas yang ada di
Nusantara. Padahal jika bangsa Indonesia
merupakan sesuatu yang nyata, peristiwa ini akan
membangkitkan solidaritas. Lagi pula tidak ada
Pemerintah di dunia ini yang tega membantai
bangsanya sendiri, kecuali terhadap bangsa lain.
Lebih lanjut pemikiran Hasan Muhammad di
Tiro menyebutkan bahwa Nasionalisme Indonesia
bukan "nasionalisme", tetapi imperialisme untuk
membenarkan penjajahan baru, yaitu penjajahan
oleh bangsa yang menguasai pusat pemerintahan di
pulau Jawa. Nasionalisme yang sebenarnya berarti

menyebutkan bahwa, ratusan tahun sebelum


Indonesia terbentuk, Aceh telah menjadi sebuah
entitas politik sendiri, yang bukan saja besar dan
makmur, tetapi juga diakui dunia internasional.
Dalam karya lainnya yang berjudul Indonesian
Nationalism: A Westren Invention To Subvert Islam
And To Prevent Decolonialization Of Tthe Dutch
East Indies yang terbit pada 1985, pada awal
tulisannya Hasan Muhammad di Tiro mengatakan
bahwa nasionalisme Indonesia tidak dapat dipahami
sebagai satu kesatuan dari sebuah sejarah
penderitaan yang sama akibat penjajahan Belanda
yang didasarkan pada letak geografis Nusantara.
Pemerintah Hindia Belanda ini bukanlah satu
kesatuan yang telah ada menurut ilmu bumi geo
politik. Karena di Nusantara terdapat banyak bangsa
yang telah besar dan berdaulat sebelum Belanda
datang, seperti bangsa Melayu. Kemudian seluruh
wilayah kepulauan Melayu dipaksakan tunduk
dalam sebuah negara kolonial Belanda dan akhirnya
diserahkan pada Indonesia dalam sebuah perjanjian
dengan suku Jawa. Maka dari hal ini dapat dikatakan
bahwa tunduknya Melayu tidak dapat dibenarkan
karena Melayu mempunyai sejarah kedaulatan
sendiri. Dalam karya ini Hasan Muhammad di Tiro
mengutip pendapat mantan menteri luar negeri
Amerika Serikat pada 1973-1977, yaitu Herry
Kissinger: Indonesian was nothing but a
geographic expression until the dutch found out in
more effecient to unite the island of the indies under
a single administration (Indonesia tidaklah berarti
apa-apa melainkan sebagai satu gambaran pada
sebuah peta saja, sampai waktu Belanda mengetahui
bahwa lebih baik untuknya menciptakan perpaduan
di seluruh kepulauan melayu dalam satu
pemerintahan).
Kemudian Hasan Muhammad di Tiro
menjelajahi sejarah, menulis sekian pandangan
tentang nasionalisme Aceh. Sebuah karyanya yang
lain, Atjeh Bak Mata Donja (Aceh di Mata Dunia)
yang ditulis dalam bahasa Aceh dan dicetak
sebanyak tiga kali, pertama di New York pada 15
Maret 1968, kedua di Glee Mamplam pada 1977 dan
yang ketiga di Stockholm pada 1984. Hasan
Muhammad di Tiro menguraikan kausalitas
hilangnya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh
setelah Perang Belanda. Hasan Muhammad di Tiro
mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi
kembali segala upaya integrasi dengan Republik.
Dalam tulisan ini pula Hasan Muhammad di Tiro
menjelaskan tentang peperangan Aceh dengan
Belanda dengan tiga fase peperangan, yang pertama
pada 5-23 April 1873, kemudian pada Desember
1873 sampai Desember 1911 dan yang terakhir pada
1911 sampai dengan Maret 1942. Selama
peperangan ini Aceh tidak pernah mengalami
kekalahan dan Sultan Aceh tidak pernah
menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda
walaupun Sultan Aceh sudah tertangkap Belanda.
Dalam tulisan ini Hasan Muhammad di Tiro

menanamkan rasa nasionalisme ke-Aceh-an,


membuka kembali sejarah bahwa Aceh adalah
bangsa besar yang diakui kedaulatannya oleh dunia.
Aceh adalah suatu bangsa di dunia seperti bangsa
lain juga, mempunyai sejarah, dan bahasa sendiri.
Sejak tahun 1873 lebih dari ratusan ribu rakyat Aceh
kehilangan nyawanya dalam usaha mengusir
kolonialis Belanda dari Aceh. Bagi pendukung
kemerdekaan Aceh ketika ini, pengorbanan itu
merupakan tindakan memerdekakan diri dari
penjajah Belanda, bukan merupakan perjuangan
untuk memerdekakan Indonesia seperti yang yang
dikatakan nasionalis Indonesia. Sementara para
pakar sejarah Indonesia melihat sebagai sebuah
dukungan dan persetujuan atas dasar kehendaknya
sendiri untuk bergabung dengan Indonesia, karena
sama-sama mengusir kolonialis Belanda dari
Nusantara.
Hasan
Muhammad
di
Tiro
mengemukakan bahwa perjuangan rakyat Aceh
dalam mengusir Kolonialis Belanda pada masa itu
bukan sebagai perjuangan memerdekan Indonesia,
namun perjuangan mempertahankan marwah, harga
diri dan kedaulatan bangsa Aceh. Nasionalisme keAcehan sangat ditegaskan oleh Hasan Muhammad di
Tiro dalam tulisan ini, pemikirannya mempengaruhi
kejiwaaan rakyat Aceh sehingga menumbuhkan
kembangkan kembali semangat rakyat Aceh tentang
mempertahankan harga diri dan kehormatan Aceh
sebagai bangsa yang besar dan pernah diakui dunia.
3.1.2. Legalitas Aceh dalam Indonesia
Ketika Hindia Belanda berubah menjadi
Indonesia, Aceh tidak secara otomatis menjadi
wilayah yang diserahkan Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat (RIS). RIS adalah negara-negara
federasi yang dibentuk Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Hubertus. J. Van Mook, yaitu wilayahwilayah yang telah takluk kepada Pemerintah
Belanda, dan wilayah Aceh ketika itu tidak bisa
dikuasai Belanda. RIS terbentuk hasil kesepakatan
tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag yaitu Republik Indonesia, Bijeekomst
Voor Federaal Overleg (BFO) dan Belanda yang
disaksikan oleh United Nations Commission For
Indonesia (UNCI). Aceh tidak pernah disebut dalam
Undang-Undang Dasar Negara RIS (Republik
Indonesia Serikat) 14 Desember 1949. Dalam pasal
2 Undang-undang Dasar RIS tidak menyebutkan
Aceh sebagai bagian dari RIS ataupun negara bagian
Indonesia. Menurut pasal 65 UUD RIS, suatu
wilayah dianggap sebagai bagian daripada suatu
negara mesti ada kontrak antara keduanya.
Aceh tidak pernah ada kontrak yang sah
dengan negara bagian Indonesia. Berbeda dengan
Kesultanan Yogjakarta dan Paku Alam. Pecahan
kerajaan Jawa Mataram itu, pada tanggal 19 Agustus
1945 yang mengadakan sidang Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) yang ketika itu bernama Yogjakarta
Kooti Kokootai. Di situlah diputuskan bahwa
wilayah Jogjakarta dan Paku Alam sebagai bagian

dari Negara Indonesia. Bagaimanapun pada 27


Desember 1949, pihak Belanda yang tidak pernah
menaklukan Aceh telah menandatangani satu
perjanjian yaitu memberi hak kepada Indonesia
untuk menguasai Aceh dan wilayah-wilayah lain di
luar pulau Jawa.
Menurut pemikiran politik Teungku Hasan
Muhammad di Tiro, perjanjian antara Belanda dan
Jawa inilah yang menjadi alat pemindahan
kekuasaan Belanda kepada RIS, dan yang menjadi
sumber kekuasaan RIS terhadap Aceh. Hasan
Muhammad di Tiro berpendapat bahwa pemindahan
kekuasaan Belanda kepada Indonesia adalah
bertentangan dengan prinsip dekolonialisme sebuah
negara, sebagaimana yang telah diatur dalam
beberapa resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), yaitu resolusi PBB No. 1514 XV, 2625
XXV, 2621 XXV dan beberapa konvensi PBB
lainnya. Maka oleh karena itu menurut hukum
internasional pemindahan kekuasaan itu tidak sah
karena Belanda sebagai penjajah tidak mempunyai
hak hukum atas tanah-tanah yang dirampas, maka
Indonesia pun tidak mempunyai hak legalitas hukum
apa-apa atas wilayah kepulauan Melayu yang
masing-masing pulau itu adalah milik rakyatnya,
termasuk Aceh. Karena Aceh secara sejarah tidak
pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Hindia
Belanda sehingga Aceh sampai kini masih berdaulat.
Berdasarkan hal tersebut Hasan Muhammad di Tiro
menyangkal penyerahan kedaulatan dari Belanda
kepada Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka
harus dikembalikan kepada bangsa-bangsa seperti
Aceh dan bangsa-bangsa lain di Nusantara yang
memang sudah berdaulat sebelum Indonesia lahir.
Menurut Hasan Muhammad di Tiro realita ini
merupakan sebuah fakta sejarah yang tidak boleh
dinafikan. Kedudukan Aceh hingga kini masih
diakui oleh hukum internasional sebagai sebuah
negara berdaulat. Kenyataan sejarah inilah yang
melahirkan kemunculan pemikiran politik Hasan
Muhammad di Tiro untuk mendeklarasikan kembali
kedaulatan Aceh yang didasari pada hukum
internasional. Maka Hasan Muhammad di Tiro
berpendapat bahwa kolonialisme Belanda tidak
dihapuskan tetapi diteruskan dengan nama baru
(Hasan Muhammad Di Tiro, Masa Depan Politik
Dunia Melayu, 1965).
Dalam artikel-artikelnya yang ditulis sejak
kepergiannya dari Aceh pada 1979, Hasan
Muhammad di Tiro berkali-kali menegaskan bahwa
pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan yang
ilegal. Dalam artikelnya yang berjudul The Legal
Status Of Acheh Sumatra Under International Law
yang ditulisnya pada 1980, Hasan Muhammad
menggugat penyerahan kekuasaan dari Belanda ke
Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB)
di Deen Haag pada 1949 sebagai tindakan yang
sewenang-wenang. Kedaulatan menurut Hasan
Muhammad di Tiro dimiliki oleh bangsa Aceh dan
bukan Indonesia. Dan kemudian Hasan Muhammad

di Tiro menandai 1949 sebagai tahun dimulainya


penjajahan Indonesia/Jawa terhadap Aceh, hal ini
dikemukakan Hasan Muhammad di Tiro dalam
Perkara dan Alasan Perjuangan Aceh Sumatra
Merdeka di depan Scandinavian Association Of
Southeast Asian Social Studies Gteborg, Sweden,
pada 23 Agustus 1985.
Kemudian semua hal di atas tersebut oleh
Hasan Muhammad di Tiro diperkuat dengan hukum
internasional. Alasan yang didasarkan kepada
konvensi PBB Artikel 1, bagian 2 dan 55, Piagam
Hak Bangsa-bangsa (Universal Declaration of The
Rights of The People), pasal 5, 6 dan 11, Piagam
Hak-Hak Asasi Manusia, Piagam Hak Ekonomi,
Kemasyarakatan dan Kebudayaan (International
Covenant of Economic, Social and Cultural Rights),
dan menurut Piagam Hak Umum dan Politik
(International Covenant on Civil and Political
Rights), disebutkan semua bangsa di dunia
mempunyai hak menentukan nasib diri sendiri dan
hak kemerdekaan. Aceh berhak mendapatkan setiap
haknya seperti yang didasarkan pada resolusi PBB
No: 1514 - XV yang dihasilkan pada 14 Desember
1960 mengenai: Declaration of the Granting of
Independence to Colonial Countries and Peoples,
ada tiga perkara penting dalam resolusi itu;
Kedaulatan atas tanah jajahan tidak berada ditangan
penjajah, melainkan berada di tangan bangsa asli
dari jajahannya. Kedaulatan suatu negara tidak dapat
dipindah / diserahkan oleh penjajah kepada penjajah
yang lain. Semua kekuasaan wajib dikembalikan
oleh penjajah kepada bangsa asli dari tanah
jajahannya.
Berdasarkan keputusan Sidang Umum PBB
No. 2621-XXV, yang diambil pada 12 Oktober,
1970, yang berisi program lengkap untuk bertindak
guna
melaksanakan
Pernyataan
tentang
Kemerdekaan Declaration on Independence dengan tegas menamakan segala usaha untuk
membenarkan penjajahan /penguasaan oleh satu
bangsa atas bangsa yang lain sebagai "kejahatan".
Menurut Hasan Muhammad Di Tiro hal inilah yang
sekarang sedang dilakukan oleh Indonesia atas
bangsa Aceh, dan atas bangsa lain di dunia Melayu.
Keputusan PBB tersebut mengakui adanya "Hak
Mutlak dari pada bangsa-bangsa yang sudah dijajah
untuk berjuang dengan segala jalan yang diperlukan"
dalam melawan penjajah. Keputusan Sidang Umum
PBB No. 2711-XXV, yang diambil pada 14 Oktober
1970, mengakui kelegalan semua perjuangan
kemerdekaan, termasuk perjuangan bersenjata, yang
dilancarkan oleh bangsa-bangsa yang masih terjajah,
untuk mencapai kemerdekaan mereka dan
menghancurkan rezim penjajahan dan rezim asing
yang datang dari seberang lautan untuk menjajah
(Hasan Muhammad di Tiro, 1985). Sejak itu Hasan
Muhammad di Tiro berpendapat bahwa negara Aceh
adalah negara yang telah ada sejak dulu dan dengan
keluasan wilayah yang sama, menjalankan dasar

hukum yang sama, dengan sistem negara yang sama,


yaitu Islam.

dasar Islam, yang sejak masa kedatangannya yang


pertama kali sudah menjadi musuhnya yang nomor
satu. Maka secara mendasar, Belanda mewariskan
kepada Indonesia akan sebuah konsep konsep
perpecahan Islam dalam bangsa-bangsa di Dunia
Melayu, terutama di Aceh. Hasan Muhammad di
Tiro dalam tulisannya Nasionalisme Indonesia
yang ditulis pada 1989 menyinggung tentang
"Politik Islam" yang dirumuskan oleh Christian
Snouck Hurgronje. Konsep ini bertujuan untuk
memusuhi Islam, untuk dijalankan oleh Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda yang kemudian diwariskan
kepada Indonesia, garis besarnya sebagai berikut:
Islam sebagai agama politik harus dihancurkan sama
sekali, dengan cara perlahan-lahan dan tidak terangterangan, tegasnya dengan cara "bijaksana": segala
sesuatu di Hindia Belanda atau "Indonesia" harus
dipisahkan dari agama, untuk menghilangkan
pengaruh Islam, dan memasukkan pengaruh Barat
sehingga akhirnya kebudayaan penduduk Hindia
Belanda atau "Indonesia" akan sama dengan
kebudayaan bangsa Belanda. Atas dasar persamaan
kebudayaan itu nanti maka akan diadakan satu
"kesatuan" atau "uni", yaitu satu pemerintahan
bersama yang tetap dan kekal antara negeri Belanda
dan Hindia Belanda atau "Indonesia" dibawah
mahkota Belanda. Maka mekanisme menghancurkan
Aceh adalah melalui Islam. Karena negara Aceh
adalah negara yang telah ada sejak dulu dengan
keluasan wilayah yang sama, menjalankan dasar
hukum yang sama, dengan sistem negara yang sama,
yaitu Islam.
Bahkan Hasan Muhammad di Tiro
meletakkan Islam sebagai pondasi utama dalam
sistem ketatanegaraan Aceh yang disebutnya sebagai
succesor state. Al-Chaidar dalam bukunya GAM
Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam
pada halaman 190 yang terbit tahun 1999
berpendapat bahwa dasar Negara Aceh adalah AlQuran dan Al-Hadits. Karena Al-Quran Hadits telah
memuat berbagai hukum yang bisa menjamin
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Aceh
sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Kerajaan
Aceh Darussalam dulu. Ditambah dengan sosio
kultural Aceh yang telah hidup dalam Islam selama
berabad-abad, maka Islam sangat mudah dipahami
oleh masyarakat. Dan kemudian menjadi sebuah
kesatuan dalam berbagai tatanan kehidupan di Aceh.
Dalam mempertahankan Islam, bangsa Aceh rela
mengorbankan nyawa dan hartanya. Akan tetapi
kemudian pemaksaan Pancasila dan segala konsep
Nusantara merupakan cara pandang etnosentrisme
budaya Jawa yang direfleksikan dalam Indonesia
modern.
Di
sini
kemudian
menimbulkan
pertentangan nurani dan ideologi yang besar bagi
Aceh dan bangsa lainnya di Nusantara yang
menganut Islam.
Falsafah atau ideologi Pancasila tidak
mengakar kuat dalam benak rakyat Indonesia,
karena tidak dikenal sebelumnya. Sedangkan Islam

3.1.3. Islam Sebagai Ideologi Negara


Hasan Muhammad di Tiro merekonstruksi
sejarah Aceh dengan realitas bahwa Aceh telah
dilebur sebagai salah sebuah Provinsi dalam NKRI,
yang meski pun datang dari berbagai jalan sejarah
yang berbeda, bahkan juga semangat dan nilai
perjuangan yang tidak sepenuhnya sama, dipadukan
ke dalam satu kehendak untuk mempertahankan
sebuah warisan asal usul sejarah bangsa Aceh, atau
sebuah martabat yang di dalamnya ada unsur
religiusitas sekaligus kebanggaan sejarah dan etnis.
Kehendak bersama yang dirumuskan Hasan
Muhammad di Tiro tersebut, di sisi lain
diantagonisasikan dengan the imagined community
Indonesia, yang sebelumnya pernah terdapat harapan
besar bagi hadirnya kembali kejayaan suatu
kelompok bangsa-bangsa yang terbebas dari kolonial
Belanda. Namun persaudaraan horisontal (a
horizontal comradeship), meskipun berasal dari latar
belakang dan suku yang berbeda tetapi merasa
senasib karena pernah sama-sama ditindas kolonial
Belanda serta memiliki kesamaan agama, yakni
Islam di dalam sebuah collective imaginary yang
sama, yakni Indonesia.
Hasan Muhammad di Tiro berpendapat
bahwa Indonesia terlalu luas untuk diatur secara
sentralistik dari Jakarta. Pada tahun 1958, Hasan
Muhammad di Tiro menuangkan pemikiran dalam
buku berjudul Demokrasi untuk Indonesia dalam
bahasa Melayu dan Inggris. Buku ini menjelaskan
bagaimana pikiran Hasan Muhammad di Tiro
memaknai bahasa Bhineka Tunggal Ika. Pancasila
sebagai asas negara Indonesia bukanlah falsafah, ia
hanya sebagai lambang yang hidup dalam
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu Hasan
Muhammad di Tiro berpendapat bahwa Islamlah
yang dijadikan falsafah hidup dan ideologi negara
karena ia hidup dan berakar dalam masyarakat
Indonesia. Dengan mengakui Islam sebagai asas
persatuan Indonesia, tidaklah berarti menafikan
golongan rakyat Indonesia yang beragama nonmuslim.
Menurut Hasan Muhammad di Tiro,
pemikiran Soekarno mewakili apa yang disebut
sinkretisme Jawa. Salah satu produknya adalah
Pancasila, yang diklaim Soekarno digali dari nilainilai luhur bangsa Indonesia. Hasan Muhammad di
Tiro berkesimpulan, satu-satunya yang bisa
mengikat penduduk Nusantara dan melahirkan rasa
kebersamaan sebagai suatu bangsa adalah agama
Islam. Agama yang dianut mayoritas penduduk sejak
ratusan tahun silam. Karena hanya satu perkara saja
yang ada persamaan, yang dapat mempersatukan
berbagai bangsa yang menjadi penduduk Hindia
Belanda, yaitu Islam: yang menjadi agama 95% dari
mereka. Tetapi mustahil bagi Belanda untuk
mendasarkan persatuan penduduk jajahannya itu atas

sudah sangat dikenal dan diimplementasikan dalam


setiap tatanan kehidupan sebagian besar masyarakat
di Nusantara, bahkan jauh sebelum Indonesia ada.
Untuk itu, Hasan Muhammad di Tiro berpendapat
bahwa Islamlah sebagai falsafah dan ideologi
sekaligus agama yang sudah mengakar kuat dalam
masyarakat di Indonesia. Hasanuddin Yusuf Adan
dalam Aceh dan Inisiatif NKRI menyebutkan
bahwa apa yang telah ada dari berbagai bangsa yang
telah ada di nusantara, seperti sejarah, bahasa,
kepentingan ekonomi, politik dan adat istiadat tidak
dapat dipersatukan dalam sebuah kehidupan
berbangsa. Karena itu Islam mempunyai kedudukan
istimewa dalam kehidupan berbangsa, karena hanya
Islamlah yang mempunyai kekuatan yang mampu
mempersatukan sebagian besar dari bangsa-bangsa
yang ada di Nusantara.
Hal-hal tersebut dirumuskan secara rasional
oleh Hasan Muhammad di Tiro dan dituliskan secara
jelas maupun tersirat dalam berbagai tulisannya.
Kemudian dikemukakan dalam berbagai forum dan
disebarluaskan baik di Aceh maupun diluar Aceh,
terutama di dunia Internasional. Hal ini dilakukan
sebagai propaganda untuk membangkitkan semangat
orang Aceh agar mewujudkan negara sambungan
dari Kerajaan Aceh dan memperoleh simpati dunia
Internasional terhadap Aceh kontemporer.
Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya ketiga
sebab di atas tersebut adalah bentuk-bentuk
penjabaran yang lebih real tentang konsep negara
bangsa yang dipahami oleh Hasan Muhammad di
Tiro sendiri, hal ini kemudian melatar belakangi
perlawanan-perlawanan GAM untuk memerdekakan
Aceh dari Indonesia. Ditambah lagi rasa
nasionalisme orang Aceh sendiri yang kuat terhadap
ke-Acehannya, hanya saja Hasan Muhammad Di
Tiro merumuskan konsep negara bangsa atau
nasionalisme secara lebih ilmiah.

Muhammad Saman mewarisi mandat dari Sultan


Mahmud Syah. Sang Sultan mangkat pada 1874,
dan untuk menjalankan kedaulatan Aceh Teungku
Chik di Tiro diangkat sebagai Wali Neugara, sampai
Sultan berikutnya muncul. Keluarga Tiro
menjunjung mandat ini setelah pemimpin Tiro
terakhir Teungku Maat di Tiro gugur dalam
pertempuran Alue Bhot, Pidie, tanggal 3 Desember
1911. Lalu Hasan Muhammad di Tiro menampilkan
diri sebagai penyambung arus heroik sejarah ini, dan
menggagas Aceh Merdeka.
Antropolog James T. Siegel dalam epilognya
dari karya klasik tentang pergolakan Aceh The Rope
of God yang terbit pada tahun 1969, menyebut
keterlibatan Hasan sebagai urusan pribadi berubah
politik karena dirasuki pemahamannya sendiri
tentang sejarah Aceh. Dia merasa terpanggil
mewujudkan kembali Negara Penerus. Dia adalah
penerus sah itu, tahta Wali Nanggroe, setelah
keluarga di Tiro terakhir tamat dalam pertempuran
melawan Belanda. Kemudian Siegel menambahkan
bahwa Hasan Muhammad bukan hanya berjuang
dengan cara fisik tapi mensosialisasikan sejarah
Aceh. Supaya orang kampung, dan semua tingkatan
masyarakat paham tentang maksud sebuah negara
lanjutan. Dan Hasan Muhammad yakin bahwa
dengan doktrin seperti itulah orang mau merdeka.
Baginya yang sudah berlalu bukan sejarah, tapi
contoh dan hal tersebut akan kembali.
3.2.1. Bangkitnya Nasionalisme Aceh
Hasan Muhammad di Tiro berusaha
membangkitkan kembali kesadaran masyarakat
bahwa Aceh dalam sejarah adalah sebuah negara
berdaulat jauh sebelum Indonesia ada. Kekuasaan
Aceh meliputi hampir seluruh Sumatera dan
sebagian Malaysia. Kekuasaan yang demikian besar
sungguh tidak layak diturunkan menjadi hanya
sebagai sebuah daerah dalam negara lain. Aceh
seharusnya adalah sebuah negara dan daerah-daerah
lain adalah sebuah daerah taklukan yang sepenuhnya
berada di bawah kekuasaan Aceh. Hasan
Muhammad di Tiro mengatakan, sungguh sangat
hina jika saat ini Aceh diletakkan sebagai sebuah
Provinsi di bawah Indonesia yang baru lahir pada
tahun 1945. Bahkan Ahmad Taufan Damanik juga
memperkuat pendapat ini dalam bukunya Hasan
Tiro, Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi EtnoNasionalis pada halaman 51 yang terbit pada tahun
2010. Namun Damanik tidak mengemukakan
pendapat yang kuat terhadap teori Anderson tentang
Imagined Communities yang ditujukan pada negara
sambungan hasil pemikiran Hasan Muhammad di
Tiro. Yang pada faktanya bahwa Aceh sebagai
succecor state bukanlah imagined communities
seperti yang dikemukakan oleh Anderson. Karena
Aceh sudah pernah ada sebagai sebuah negara yang
merdeka dan berdaulat serta diakui dunia sejak
ratusan tahun yang lalu.

3.2.

Pengaruh Pemikiran Politik Konsep


Negara Bangsa Hasan Muhammad Di Tiro
Terhadap Perjuangan Gerakan Aceh
Merdeka
Tahun 1981 Hasan Muhammad di Tiro
menulis buku The Price of Freedom: The
Unfinished Diary of Teungku Hasan Tiro. Catatan
harian yang tak kunjung selesai itu ditulis selama
bergerilya di hutan Aceh. Menurutnya, hanya orang
gila yang mau melakukan itu, mengingat
sebelumnya berkehidupan mewah di New York.
Tafsirnya tentang sejarah Aceh membuatnya merasa
bertanggung jawab atas tugas sejarah keturunan
Tiro. Hasan adalah cicit dari pahlawan besar Aceh
Teungku Chik di Tiro. Banyak anggota keluarga
pejuang ini wafat dalam perang melawan Belanda.
Sebagai penerusnya, Hasan Muhammad memikul
kewajiban memelihara kesadaran politik rakyat
Aceh. Dalam penafsiran Hasan, peran keluarga
Tiro sangat penting. Teungku Chik di Tiro

10

Hasan Muhammad di Tiro menggalang


kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan
Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari
panggung politik Aceh. Hasan Muhammad
menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII
seperti Teungku Ilyas Leube dan Daud Paneuk yang
dikenal sebagai pengikut setia Daud Beureueh.
Sangat banyak orang Aceh yang terpengaruh dengan
ide-ide Hasan Muhammad di Tiro, lalu mereka ikut
mendukung dan bergabung dengan pergerakan Aceh
Merdeka.
Hasan
Muhammad
di
Tiro
membandingkan perjuangan bersenjata di berbagai
negara dan menyimpulkan bahwa stamina
separatisme ternyata jauh lebih kuat ketimbang
sekadar mengganti ideologi negara. Secara historis
dan kultural hal ini terbukti dalam perlawanan rakyat
Aceh terhadap kekuasaan kolonial belanda. Dua hal
ini menjadi sebuah satuan yang tak terpisahkan,
Hikayat Prang Sabi dan Separatisme. Namun hal
yang lebih penting dari senjata adalah
membangkitkan kesadaran melalui pendidikan dan
propaganda.
Dalam bukunya Price Of Freedom; The
Unfinished History Hasan Tiro Berkata: Saya sudah
lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan
Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4
Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu
adalah hari di mana Belanda menembak dan
membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku
Chik Maat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot,
tanggal 3 Desember 1911. Oleh karena itu Belanda
mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir
Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari
kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh
Sumatera. Dari situlah dasar Hasan Muhammad
mendeklarasikan Aceh Merdeka pada tanggal 4
Desember.
Sangat banyak tokoh pertama yang
bergabung dalam GAM adalah mantan pendukung
DI/TII. Seperti Teungku Ilyas Leube dan Daud
Husin alias Daud Paneuek. Ilyas adalah ulama yang
disegani di Aceh Tengah dan merupakan pendukung
setia Daud Beureueh. Dalam susunan kabinet GAM
pertama, Ilyas duduk sebagai Menteri Kehakiman,
sedangkan Daud Paneuek sebagai Panglima
Angkatan Bersenjata. Awal Juni 1977, Pemerintah
Indonesia semakin meningkatkan perang psikologis
untuk melawan Front Pembebasan Nasional Aceh
Sumatera (NLFAS) dan pemimpinnya di tengah
masyarakat. Sejumlah penangkapan terhadap para
pengikut NLFAS dilancarkan. Menurut Hasan Tiro,
ribuan orang, termasuk kaum wanita dan anak-anak,
ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa
lewat proses pengadilan. Banyak tahanan yang
disiksa. NLFAS yang oleh masyarakat dikenal
dengan sebutan Atjeh Meurdehka dicap sebagai
Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT) atau
Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Namun Hasan
Tiro seperti diakuinya dalam The Price Of Freedom
tidak merasa putus asa. Pemerintah Indonesia terus

melakukan perlawanan terhadap NLFAS. Foto-foto


pemimpin gerakan itu seperti Hasan Tiro, Dr.
Muchtar Hasbi, Daud Paneuek, Ir. Asnawi, Ilyas
Leube, Dr. Zaini Abdullah, Dr. Husaini Hasan, Amir
Ishak, dan Dr. Zubir Mahmud disebarkan ke penjuru
Aceh. Masyarakat diminta menangkap hidup atau
mati kesembilan tokoh itu. Hasan Muhammad di
Tiro menyebut mereka sebagai kaum nationalis
Aceh. Suatu kaum yang memiliki komitmen,
pemikiran dan aksi untuk mewujudkan nation-state
bagi orang-orang Aceh. Seorang pengamat Asia
Tenggara Tim Kell dalam bukunya The Roots of
Achehnese Rebellion menyebutkan bahwa kekuatan
kaum nationalis Aceh-lah yang pada akhirnya
menjadi substansi fundamental mengembalikan
kesadaran identitas (identity consciousness) dan
watak patriotik (patriot character) orang-orang
Aceh. Dari rasa rendah diri (inferior complex) yang
dialami orang-orang Aceh selama kurun masa
pendudukan atau integrasi ke Indonesia.
Pada 10 September 1977 diadakan sidang
kabinet. Mereka memutuskan untuk mendirikan
"Universitas Aceh" di pegunungan, tepatnya Gunung
Halimon (Teupin Raya). Tujuannya melatih kaderkader masa depan, Diputuskan pula rektor pertama
"Universitas Aceh" adalah Hasan Tiro. Ada
beberapa fakultas yang dibuka. Di antaranya
Administrasi Masyarakat, Hukum, Hubungan
Internasional, dan Akademi Militer. Kuliah pertama
diselenggarakan pada 20 September 1977 yang
diikuti sekitar 50-an mahasiswa. Mereka adalah 10
persen dokter, 10 persen insinyur, 15 persen ahli
hukum, 40 persen guru, 20 persen lulusan SMA, dan
5 persen dari kalangan nelayan dan pendaki gunung.
Mereka inilah yang akan menjadi kader NLFAS di
masa mendatang (wawancara dengan Tgk Wahab
Caleu pada 15 Oktober 2012). Hasan Tiro
mengorganisir kuliah dalam beberapa bagian:
Hubungan Internasional, Politik, Perbandingan
Pemerintahan, Sistem Ekonomi, dan Strategi
Pembebasan Nasional. Hubungan internasional
dibagi lagi dalam tiga bagian: hukum internasional,
organisasi internasional (yang mencakup PBB dan
bagian-bagiannya seperti Mahkamah Internasional,
UNHCR, dan lain- lain), dan sejarah diplomatik.
Politik mencakup soal pemikiran barat dan Islam.
Masalah perbandingan pemerintahan diajarkan
tentang AS, Rusia, dan beberapa negara lain
termasuk juga pemerintahan Aceh yang lebih
dikenal "Kode Iskandar Muda". Hal itu untuk
membuat mahasiswa mengerti akan bentuk-bentuk
pemerintahan di dunia. Sistem ekonomi yang
dipelajari adalah Kapitalis, Sosialis, dan Islam.
Namun, untuk "Negara Aceh" lebih difokuskan
kepada ekonomi Islam. Mahasiswa harus mampu
membedakan satu teori ekonomi dengan yang lain.
Itulah sebabnya diajarkan berbagai bentuk sistem
ekonomi. Sedangkan strategi pembebasan nasional
adalah berusaha mencarikan analisis untuk
mendapatkan dukungan dari perspektif Hukum

11

Internasional
dan
Organisasi-organisasi
Internasional.
Pada 1980-an, pergerakan Aceh Merdeka
mulai menyusut karena tekanan militer yang
dilancarkan oleh serdadu Indonesia, lalu Hasan
Muhammad
membangun
kembali
gerakan
bersenjatanya di luar Aceh. Hasan Muhammad
sendiri yang pada 1970-an menjadi pengusaha
sukses di New York. Hubungannya yang dekat
dengan pemimpin timur tengah ikut memperlancar
bisnisnya. Berkat hubungannya dengan Khadafy,
Pada 1986 Hasan Muhammad di Tiro dapat
mendatangkan pemuda Aceh mengikuti latihan
militer dan pendidikan peradaban di Libya. Dalam
prosesi pelatihan, Hasan Muhammad mengontrol
semuanya, kemudian menulis, membaca, dan
memberi ceramah. Kebanyakan pelajaran adalah
tentang sejarah Aceh dan segala ideologi yang
berkaitan dengan Aceh. Hasilnya, kesadaran politik
yang disuntikkannya berkembang hebat di Aceh.
Mereka yang dilatih di Libya pulang, dan
membangun unit-unit gerilya pada akhir 1989
(wawancara dengan Muzakkir Manaf pada 13
September 2012).
Hasan Muhammad di Tiro berbekal
pendidikan modern membangun GAM dengan
organisasi yang lebih disiplin. Memperketat
rekruitmen, merancang strategi gerilya yang modern,
mendoktrin pasukan dan platform tempur yang jelas,
serta desentralisasi kepemimpinan dalam struktur
GAM. Pada halaman 219 dalam buku Transformasi
Aceh Merdeka Dari Kotak Senjata Ke Kotak
Peluru, Linda Crishtanty menambahkan bahwa
terdapat dua hal yang menarik dari Hasan
Muhammad di Tiro, pertama, dia membagi GAM
dalam dua struktur, yakni GAM sebagai kekuatan
politik negara, hal ini dipimpinnya sendiri sebagai
Wali Nanggroe (pemimpin negara). Dalam konteks
ini, perjuangan politik Aceh sebagai negara
dikontrol melalui struktur pemerintahan sipil yang
dikendalikan dari Swedia. Kedua, GAM sebagai
kekuatan militer yang dikenal dengan nama TNA
(Teuntra Neugara Aceh) yang dipimpin oleh
panglima perang dengan rantai komando militer
modern. TNA mendapat kepercayaan penuh untuk
melakukan pertempuran di Aceh, namun keputusankeputusan politik hanya bisa dilakukan oleh Wali
Neugara di Swedia.
Strategi ini memberi energi perjuangan yang
besar terhadap GAM, kemungkinan untuk
pembelotan dan pengkhianatan pasukan sangat
minim, kalaupun ada tidak akan mempengaruhi
posisi politik GAM. Menurut Jurnalis Amerika yang
pernah meliput gerilya GAM Willian Nessen,
desentralisasi kepemimpinan membuat pasukan
GAM tidak mudah dipukul mundur hanya dengan
menangkap atau membunuh pimpinan pasukannya,
sebagaimana beberapa kali terjadi ketika DI/TII
dibawah Tgk. Daud Beurueh. Dalam beberapa
insiden penembakan terhadap panglima GAM, hal

ini tidak mempengaruhi struktur pasukan secara


keseluruhan. Keputusan politik yang dikendalikan
dari Swedia membuat pemerintah RI kesulitan
dalam meruntuhkan kekuatan politik GAM,
kemungkinan tindakan infiltrasi menjadi percuma
karena pasukan GAM di Aceh tidak berhak
mengambil keputusan politik (wawancara dengan
William Nessen via email pada 13 Februari 2012).
Banyak asumsi yang berkembang, terutama
tentang skala makin berkembangnya kekuatan
gerilyawan Aceh yang semakin kuat dan terorganisir
secara baik. Secara politik pula, kekuatan dan
dukungan rakyat makin kuat dan solid mendukung
gerakan itu. Dan secara ideologis bahwa kekuatan
pemberontak sanggup menggantikan ideologi NKRI.
Itu sama artinya dengan proses desintegrasi bangsa.
Pada kenyataannya bahwa Aceh Merdeka memiliki
dukungan kuat dari rakyat dan itu benar-benar
termanifestasikan ke dalam dukungan riil politik. Itu
pula yang menjadi kekuatan utama Hasan
Muhammad di Tiro untuk bersandar pada kenyataan
yang sesungguhnya.
3.2.2. Timbulnya
Penentangan
Terhadap
Jakarta
Masyarakat
Aceh
mengsinkronisasikan
pemikiran Hasan Muhammad di Tiro dengan
keadaan Aceh di mana potensi alam dan kekhasan
budaya Aceh dikhianati oleh Jakarta. Hasil kekayaan
alam Aceh yang ada selama ini semuanya diangkut
ke Jakarta. Pemerintah pusat menguras hasil alam
Aceh untuk kepentingan elit politiknya. Sementara
masyarakat Aceh sendiri yang seharusnya pemilik
kekayaan itu hanya melihat dan menyaksikan
kekayaan alam mereka diangkut ke Jakarta. Di
sinilah muncul sebuah adigium: Buya krueng teu
dong-dong, buya tamong meuraseuki. Ini semakin
diperburuk dengan kebijakan pemerintah yang tidak
peduli dengan beberapa janjinya untuk merealisasi
aspek keistimewaan tertentu yang ada di Aceh
setelah mereka menjanjikannya. Hasan menganggap
praktik ini adalah pengkhianatan dan pembohongan
yang dilakukan Pemerintah Indonesia kepada
masyarakat Aceh.
Penyebab utama konflik di Aceh mempunyai
akar sejarah panjang yang merupakan akumulasi
ketidakadilan dalam bidang politik, sosial-agama,
ekonomi dan HAM. Di era Sukarno, Aceh sebagai
"daerah
modal"
kemerdekaan
mengalami
kekecewaan melalui "degradasi politik" di mana
tidak dipenuhinya janji pemerintah Indonesia dengan
rakyat Aceh yang berupa pelaksanaan Syariat Islam
di Aceh serta penurunan status Propinsi Aceh.
Setelah itu janji perdamaian dengan keistimewaan
dalam agama dan pendidikan tidak pula
dilaksanakan.
Pada era Suharto Aceh telah berperan sebagai
"daerah modal" pembangunan. Pada masa Orde
Baru terjadi pemusatan pembangunan besar-besaran.
Konsep developmentalism dalam ekonomi menjadi

12

jargon utama di mana dalam tahapan-tahapan yang


hirarkis akan tercapai kemakmuran. Begitu pula
yang terjadi di Aceh. Selama masa Orde Baru terjadi
dua hal penting yang mempengaruhi tatanan
masyarakat Aceh yakni yang pertama terjadinya
proses birokratisasi yang menggeser tatanan
struktural tradisional sebelumnya, dan yang kedua
terjadinya ketimpangan dalam proses pembangunan
dalam kaitannya dengan proses tradisonal menuju
modernisasi. Kedua hal ini tentunya memiliki
keterikatan satu sama lain. Sejak adanya penempatan
para birokrat-birokrat pemerintahan, mulai terjadi
gesekan di mana para pamong-pamong termasuk di
dalamnya Teungku yang selama ini menjadi elit
masyarakat mulai terdesak fungsinya. Namun rakyat
Aceh sendiri masih mempercayakan kepada tatanan
tradisional (para Teungku) seperti yang sebelumnya
berjalan. Akhirnya terjadi kristalisasi situasional, di
mana satu sisi birokrat pemerintahan tidak
menyentuh fungsinya secara optimal di masyarakat
luas dan di sisi lain muncul polarisasi yang
memecah hubungan sosial dalam legitimasi
struktural. Sedangkan dalam sebuah negara,
regional, ataupun lingkup etnis hubungan timbal
balik ini sangat penting sebab akan memiliki
implikasi luas bagi hubungan daerah-pusat,
khususnya bagi sistem sentralisasi seperti Indonesia.
Proses ini cukup lama terjadi dan selama itu
Pemerintah Pusat tetap menjalankan kebijakannya
yang mengabaikan munculnya reaksi psikologis
historis-kultural
dan
tetap
bertahan
pada
pembangunan fisik semata. Dan disusul dengan
terjadinya kesenjangan sosial pada peningkatan
kualitas dan pemanfaatan sumber daya manusia
(SDM) lokal. Dari lapisan masyarakat, akhirnya
tumbuh kelompok-kelompok kecil yang reaktif
melihat situasi ini dan sekaligus memanfaatkannya.
Mereka pada hakikatnya berangkat dari fenomena
ketimpangan sosial murni, sehingga terjadi
kejahatan-kejahatan
di
pusat-pusat
wilayah
industrial. Namun karena banyak faktor yang
mendorong terjadinya diskomunikasi antara rakyat
Aceh dengan Pemerintah Pusat, dan juga kebijakan
berat sebelah yang juga mendapatkan respon yang
sebaliknya, maka akhirnya terjadi kebijakan yang
menggunakan pendekatan militeristik dalam
penyelesaian masalah ini.
Kemudian pemaksaan Pancasila dan segala
konsep Nusantara merupakan cara pandang
etnosentrisme budaya Jawa yang direfleksikan
dalam Indonesia modern. Hal ini mengakibatkan
budaya lokal hilang secara konstan, di mana sistem
pemerintahan lokal di Aceh disama ratakan seluruh
Indonesia. Selain dari pemaksaan kebijakan
Pemerintah Pusat agar menyeragamkan sistematika
adat-istidat, budaya kejawen Jawa yang masuk
melalui transmigrasi juga merusak budaya lokal
yang sangat Islami, sehingga dianggap meruntuhkan
syariat Islam di Aceh. Ini kemudian dipandang
sebagai jawanisasi oleh masyarakat Aceh melalui

pertentangan sudut pandang budaya di tingkat


bawah. Provokasi melalui budaya sangat berhasil
merusak tatanan kearifan lokal di Aceh. Dari sini
maka dipandang oleh rakyat sebagai salah satu
konspirasi Jakarta agar dapat menguasai Aceh.

4.

KESIMPULAN

Pemikiran Politik Hasan Muhammad di Tiro


tentang konsep negara bangsa adalah sebuah realitas
bahwa Aceh berdaulat sebagai sebuah negara
dengan entitas yang sama dan diakui oleh dunia
Internasional sejak abad 15. Lalu Hasan Muhammad
di Tiro menggugat perjanjian Konferensi Meja
Bundar di Den Haag pada 1949, di mana Aceh
diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS)
oleh Belanda, menurut Hasan Muhammad di Tiro
Belanda belum menguasai Aceh. Kemudian alasan
ini diperkuat dengan landasan hukum berupa
resolusi PBB No: 1514 - XV yang dihasilkan pada
14 Desember 1960 mengenai: Declaration of the
Granting of Independence to Colonial Countries and
Peoples. Ada tiga perkara penting dalam resolusi
itu; Kedaulatan atas tanah jajahan tidak berada di
tangan penjajah, melainkan berada di tangan bangsa
asli dari jajahannya. Kedaulatan suatu negara tidak
dapat dipindah / diserahkan oleh penjajah kepada
penjajah yang lain. Semua kekuasaan wajib
dikembalikan oleh penjajah kepada bangsa asli dari
tanah jajahannya. Kemudian Hasan Muhammad di
Tiro berpendapat bahwa Islamlah yang harus
dijadikan landasan berpikir sebagai ideologi dan
falsafah kebangsaan, karena Islam sudah kuat
mengakar dalam berbagai sendi kehidupan
masyarakat dalam bangsa-bangsa yang telah lama
ada di Nusantara.
Terdapat dua poin penting di mana pemikiran
Hasan Muhammad di Tiro berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat Aceh. Pertama, bangkitnya
nasionalisme bangsa Aceh. Kesadaran masyarakat
bahwa Aceh dalam sejarah adalah sebuah negara
berdaulat jauh sebelum Indonesia ada. Kekuasaan
Aceh meliputi hampir seluruh Sumatera dan negara
Malaysia sekarang ini. Kekuasaan yang demikian
besar sungguh tidak layak diturunkan menjadi hanya
sebagai sebuah daerah dalam negara lain. Kedua,
timbulnya penentangan terhadap Jakarta. Menurut
masyarakat Aceh, sinkronisasi pemikiran Hasan
Muhammad di Tiro sesuai dengan kondisi Aceh.
Potensi alam dan kekhasan budaya Aceh dikhianati
oleh Jakarta. Pemerintah pusat menguras hasil alam

13

Aceh untuk kepentingan elit politiknya. Sementara


masyarakat Aceh sendiri yang seharusnya pemilik
kekayaan itu hanya melihat dan menyaksikan
kekayaan alam mereka diangkut ke Jakarta.
Kemudian diikuti dengan pemaksaaan ideologi
Pancasila dalam setiap kehidupan yang berlawanan
dengan tatanan kehidupan Aceh yang Islami. Ini
semakin diperburuk dengan kebijakan pemerintah
yang tidak peduli dengan beberapa janjinya untuk
merealisasi aspek keistimewaan tertentu yang ada di
Aceh setelah mereka menjanjikannya. Hasan
menganggap praktik ini adalah pengkhianatan dan
pembohongan yang dilakukan pemerintah Jakarta
kepada masyarakat Aceh.

________. 1999. Demokrasi Untuk Indonesia .


Jakarta: Teplok Press
Hitchner, Dell G And Levine, Carol. 1967.
Comparative Government And Politics. USA:
Dodd, Mead and Company, Inc.
Isa Sulaiman. 2000. Aceh Merdeka; Ideologi,
Kepemimpinan dan Gerakan. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Munawar A Djalil. 2009. Hasan Tiro Berontak;
Antara Alasan Historis, Yuridis dan Realitas
Sosial. Banda Aceh: Adnin Foundation
Publisher.
Rianto Adi. 2004. Metodelogi Penelitian Sosial dan
Hukum; Edisi Pertama. Jakarta: Granit

DAFTAR PUSTAKA
Ryas Rasyid. 1999. Nasionalisme dan Demokrasi
Indonesia. Jakarta. Bumi Aksara

Adam Mukhlis Arifin. 2011. Demokrasi Aceh


Mengubur Ideologi. Takengon: The Gayo
Institute.

Siegel, James T. 1969. The Rope of God. Berkeley:


University of California Press.

Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communities:


Reflection on the Origin and Spread of
Nationalism. Yogyakarta: Pustaka Pelajar &
Insist Press.

Strauss, Anselm; Corbin, Juliet. 1998. Basics of


Qualitative Research Techniques and
Procedures for Developing Grounded Theory
(2nd edition). London: Sage Publications

Arief Furchan dan Agus Maimun 2005. Studi Tokoh,


Metode Penelitian Tokoh. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Syahrin Harahap. 2006. Metodologi Studi Tokoh


Pemikiran Islam. Jakarta: Istiqomah Mulya
Press

Bauman, Zygmunt. 1978. Hermeneutics and Social


Science. New York: Calubia University Press
Sumber Lain
Hasan Tiro. 1968. Atjeh Bak Mata Donja. Amerika
Serikat: Atjeh Institute

Teori dan Konsepsi Negara Bangsa (2008)


http://ms.wikipedia.org/wiki/Negara_bangsa diakses
pada 25 April 2012

________. 1980. The Legal Status of AchehSumatera


Under
International
Law.
Stockholm: ASNLF
________. 1984. Masa Depan Politik Dunia
Melayu. Stockholm: ASLNF
________. 1984. The Price of freedom: Unfinished
Diary. Stockholm: ASNLF
________. 1985. Indonesian Nationalism: A
Western Invention to Subvert Islam and to
Prevent Decolonization of the Dutch East
Indies. London: ASNLF
________. 1985. The Case and The Cause of Acheh
Sumatra Liberation. Stockholm: ASNLF
________. 1991. Sumatera Siapa Punya?.
Stockholm: Biro Penerangan ASNLF

14

Anda mungkin juga menyukai