menjadikan nilai nilai kosmopolitan sebagai pijakan politik. Sehingga kebijakan ataupun
regulasi yang dibuat memperhatikan nilai nilai kemanusian, HAM, dan menjunjung harga
diri manusia. Karena kerap kali, negara malah menjadi penghalang bagi penegakan nilai-nilai
kemanusian. Misalnya negara melakukan tindakan represif terhadap warga negaranya. Mary
Kaldor sendiri berpendapat bahwa kosmopolitanisme dijadikan proyek politik dan bukan
hanya pijakan moral semata.
Kemunculan aktor-aktor transnasional juga mendukung terciptanya kondisi-kondisi
kosmopolitanisme. Misalnya dengan adanya kecanggihan teknologi dan informasi, semua
orang dapat saling berhubungan walau di negara yang sangat berjauhan sekalipun (kedaulatan
negara menjadi berkurang). Namun memang hal ini tidak secara otomatis mendukung secara
positif terciptanya kosmopolitanisme. Kondisi kosmopolitanisme dapat muncul misalnya
ketika terjadi kegagalan perlindungan HAM pada tingkat yang sangat parah, yang akhirnya
menimbulkan intervensi kemanusiaan untuk mencegah agar jumlah korban tidak semakin
besar. Namun muncul pertanyaan baru, negara manakah yang mau berkorban? Karena seperti
yang kita tahu, biaya untuk intervensi kemanusiaan pastilah sangat besar. Belum lagi ketika
ada kritik masyarakat di domestik negara tersebut terhadap intervensi kemanusiaan yang akan
dilakukan. Misalnya, daripada mengurusi negara lain, lebih baik biayanya dialihkan untuk
peningkatan kesejahteraan di dalam negeri. Hal ini tentu saja menimbulkan dilema bagi suatu
negara.
Seharusnya kosmopolitanisme bisa memungkinkan humanitarianisme untuk
berkembang, karena negara-bangsa sekarang belum mampu menunjang nilai
humanitarianisme. Negara tidak selamanya bisa melindungi warga negaranya. Di satu sisi,
identitas kebangsaan dan kenegaraan seseorang justru kadang menjadi 'pembeda' antara satu
manusia dengan manusia lain. Padahal, bagi kosmopolitanisme, manusia tidak dilihat hanya
dari negaranya, ras, suku, agama, dan berbagai identitas lainnya. Namun sama dengan 'isme'
lainnya, selalu ada yang menyetujui atau mengkritisi perspektif kosmopolitanisme ini.
Kosmopolitanisme merupakan sebuah ide yang menghendaki adanya universal civic
society. Kekuatan kosmopolitanisme ini terletak pada keyakinannya yang idealis tentang
perdamaian abadi. Sebenarnya dalam masa kekinian dapat digunakan karena menjunjung
pada kesetaraan HAM. Pandangan tentang negara dunia tanpa hegemoni dapat digunakan
untuk menyatukan dunia dan menciptakan perdamaian abadi tanpa senjata dan tentara.
mencegah sifat anarkis dan antagonis manusia dalam era yang semakin global. Namun
kelemahannya di sisi lain pandangan mengenai hegemoni negara dalam mewujudkan
perdamaian abadi terlalu idealis dan tidak lagi sesuai dengan kenyataan pada masa kekinian.
seperti yang kita ketahui pasca keruntuhan Uni Soviet dan terbentuknya sisitem
multilateralisme. Kekuatan hegemoni yang muncul semakin menunjukkan kekuatannya
sehingga memunculkan deterrence dan self defence bagi negara lain (melalui senjata dan
militer) untuk melindungi keamanan negaranya masing-masing. Perlombaan senjata justru
memungkinkan untuk memicu terjadinya perang. Sehingga ide kosmopolitanisme ini tidak
dapat menjadi pedoman sepenuhnya. Terlebih lagi tidak semua negara di dunia menganut
republikanisme & sistem federasi. Ketidaksepahaman justru akan menghambat tercapainya
universal civic society.
Kelemahan kosmopolitan adalah dianggap masih belum bisa dilakukan, karena nilai
yang dijunjung yaitu persamaan nilai manusia dianggap masih utopis. Dalam hal intervensi
misalnya, peran sebuah negara masih diperdebatkan, karena untuk mendapat sebuah
perdamaian dunia yang diinginkan dalam kosmopolitan pemenuhan nilai adalah yang paling
penting. Perdamaian abadi tidak dapat terwujud apabila masing-masing negara memiliki
kepentingan dan ideologi berbeda. Misalnya dalam pemikiran realis, negara berusaha matimatian dalam memperjuangkan kepentingannya untuk bertahan (survival). Kosmopolitan
juga dinilai terlalu normatif dengan melihat sifat dasar manusia adalah baik. Sehingga
tampaknya akan mudah untuk mewujudkan masyaarkat dunia yang toleran. Padahal, di sisi
lain banyak pandangan yang melihat bahwa manusia mempunyai naluri agresi untuk bisa
bertahan. Bahkan dalam teori negara Thomas Hobbes dikatakan bahwa manusia
menyerahkan kedaulatan individu kepada sebuah institusi bernama negara karena manusia
punya rasa takut dan keinginan untuk tetap survive, yang merupakan hal yang tidak bisa
dipungkiri jika menilik dari sisi individu maupun negara.
Pemikiran-pemikiran mengenai kosmopolitan tidak menggambarkan secara gamblang
negara sebagai institusi, akan tetapi sebagai fungsi dari negara itu sendiri. Jadi terwujudnya
negara dunia akan menciptakan dunia yang lebih bagi umat manusia ketika nilai-nilai
kemanusiaan menjadi nilai tertinggi dalam pelaksanaannya. Para pemikir-pemikir
kosmopolitan juga tidak memikirkan bagaimana bentuk negara dunia itu. Akan tetapi mereka
hanya mengkritisi dan mempertanyakan fungsi dan peran negara pada waktu itu yang justru
cenderung menjadi manusia sebagai instrumen. Yang muncul kemudian adalah dua aliran
dalam pemikiran kosmopolitan yang benar-benar menghilangkan peran negara sebelumnya
(Diogenes), atau tidak menghilangkan peran negara namun lebih menekan toleransi dan
empati terhadap manusia di manapun dia berada (Kant).
Kosmopolitanisme
menurut
Immanuel
Kant
sebenarnya
memungkinkan
humanitarianisme untuk berkembang, karena terdapat beberapa kesamaan tujuan. Kant dalam
salah satu rumusannya mengenai perdamaian abadi menjelaskan bahwa perdamaian abadi
dapat terwujud apabila negara melakukan penghapusan tentara (wajib militer) dan
menghentikan perlombaan senjata. Dengan demikian prinsip humanitarianisme yaitu jaminan
atas hidup seseorang dapat terjaga sehingga tidak terdapat ancaman bagi hak-hak
kemanusiaan atas kekuatan militer yang memungkinkan untuk adanya dominasi dan perang
diantaranya. Selain itu menurut Kant bahwa ide kosmopolitanisme berdasar pada hukum
alam di mana mengakui sikap anarkis dan antagonis pada manusia, sehingga diperlukan akal
pikiran manusia untuk menggunakannya atau tidak. Sekalipun perang harus dilakukan,
namun harus sesuai dengan hukum perang agar tidak terjadi penyebaran kebencian baru dan
perang yang semakin brutal. Pandangan tersebut tentunya memberi peluang besar bagi ide
kosmopolitanisme melalui pembentukan negara dunia yang bebas hegemoni dan menjunjung
kesetaraan HAM. Meskipun pada kenyataanya apabila berpedoman pada perdamaian abadi
menurut Kant, hal tersebut tidak mudah terwujud, karena masih terdapat hegemoni,
perlombaan senjata, dan wajib militer di beberapa negara.
Mungkin kosmopolitanisme bisa menawarkan dunia yang lebih baik dan less-anarchy
daripada konsep modern-state sekarang. Namun, tetap saja, karena pada dasarnya, meski
tanpa keberadaan negara-bangsa pun, manusia masih akan mendahulukan unsur-unsur
primordialnya: ras, suku, bahasa, agama, dll. Manusia secara alamiah memiliki
kecenderungan untuk berkumpul, atau secara bersama-sama hidup secara kolektif
berdasarkan persamaan tertentu. Kolektivitas ini sebenarnya juga untuk memenuhi kebutuhan
manusia akan rasa aman dari lingkungan sekitarnya. Antara ide untuk tetap menghormati
kelompok lain, mungkin bisa dilakukan. Namun pada prakteknya, tidak semua orang bisa
mempertahankan sikap tersebut. Sense of belonging terhadap kelompok, terkadang
mendominasi, sehingga bisa menimbulkan konflik. Dalam hal kecil saja, misalnya, karena
hubungan keluarga, ada rasa untuk lebih memilih keluarga sendiri daripada orang di luar
keluarga. Hal itu sebenarnya wajar dan natural, karena rasa nyaman manusia terhadap
kelompoknya. Jadi cepat atau lambat, akan selalu ada konflik atau kekerasan dan
menyebabkan perdamaian abadi sulit terwujud.
Kolektivitas dan juga national interest setiap negara bangsa masih menjadi penghalang
bagi terciptanya perdamaian abadi. Selain itu perdamaian abadi sangat sulit untuk terwujud
karena pada dasarnya konflik antar manusia pasti akan terus terjadi. Hal ini dikarenakan
sistem di dunia ini masih menciptakan celah untuk konflik terjadi, sedangkan sistem/konsep
yang ditawarkan oleh kosmopolitan mengenai global governance pun tidak dapat
diberlakukan seutuhnya pada saat ini. Misalnya saja setiap negara memiliki national interest
yang berbeda-beda sehingga perbedaan kepentingan tersebut akhirnya memicu konflik.
Konsep negara-bangsa ini tidak mungkin dapat dihilangkan seutuhnya dan digantikan dengan
konsep global governance yang dikemukakan oleh kosmopolitan. Namun di sisi lain
kosmopolitan menawarkan konsep yang baik mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap
yang bertujuan untuk mencegah konflik terjadi. Jika setiap kita dapat mengambil bagian
dalam proses perdamian setidaknya perang di dunia akan berkurang dan mencegah konflik
yang selama ini ada menjadi konflik terbuka.
Konsep global governance menurut Finkelstein adalah memerintah (governing), tanpa
otoritas kedaulatan, hubungan yang melampaui batas-batas nasional (Finkelstein, 1995:369).
Dapat dikatakan bahwa global governance merupakan bentuk pemerintahan internasional
yang tidak otoriter. Dalam memandang hal tersebut Finkelstein mengkaitkannya dengan
rezim-rezim internasional yang ada seperti Protocol Kyoto, UN Development Programme
(UNDP), International Monetary Fund (IMF), Global Envitonment Facility (GEF), dan lain
sebagainya. Dalam konteks ini, rezim internasional sekaligus mengadopsi nilai-nilai
kosmopolitan yang cenderung mengedepankan nilai dan kepentingan kemanusiaan. Isu-isu
spesifik yang diangkat pun berdasar atas kepentingan keberlangsungan hidup manusia di
masa sekarang dan masa yang akan datang. Menanggapi argumen Finkelstein di atas,
Dingwerth dan Pattberg memberikan satu pandangan lain yang menyatakan global
governance lebih dari sekedar institusi internasional. Definisinya memiliki empat elemen
konstitutif, yakni: sistem pengaturan, level dari aktivitas manusia, pengejaran terhadap
tujuan, dan reaksi transnasional (Dingwerth dan Pattberg, 2006:189). Mereka juga
menambahkan bahwa global governance merupakan perspektif multiaktor dalam dunia
politik serta terdapat suatu fenomena yang terinterdependensi yang terjadi di dalamnya.
Dengan memandang pemaparan definisi di atas, global governance dapat didefinisikan secara
umum sebagai sebuah struktur regulasi yang dapat berupa organisasi atau sebuah tatanan
yang dibentuk dengan kesepakatan, yang diberikan kewenangan untuk mengkoordinasikan
tiap aktor, mengontrol, dan memiliki otoritas penuh atas bidang yang disepakati dan
melaksanakan kebijakan. Dapat dikatakan juga sebagai regulasi yang mengatur hubungan
interdependen dalam ketiadaan otoritas dominan.
Mengutip dari "Bennington" Politik dan Persahabatan : Sebuah Diskusi dengan Jacques
Derrida (1997), sebuah negara lebih lanjut dari kosmopolitanisme terjadi setelah Perang
Dunia Kedua. Sebagai reaksi terhadap Holocaust dan pembantaian lain, konsep kejahatan
terhadap kemanusiaan menjadi kategori yang diterima secara umum dalam hukum
internasional. Ini jelas menunjukkan penampilan dan penerimaan gagasan tanggung jawab
individu yang dianggap ada terhadap semua umat manusia. Seperti yang dikutip dari jurnal
Global dan Strategis, dalam tulisan Cosmopolitanism and World Politics : Bringing the
Global World to International Relations, menurut Kleingeld dan Brown, nilai-nilai
kosmopolitan dapat dipahami secara positif dan negatif. Secara negatif, kosmopolitanisme
dipandang sebagai sebuah ide dimana warga negara kehilangan jiwa patriotisme,
nasionalisme serta menunjukan ketidaksetiaan pada negaranya. Pandangan ini berkembang
luas ketika masa kejayaan Hitler di Jerman dan Stalin di Uni Soviet. Namun, pandangan
positif mengenai kosmopolitanisme muncul pada pemikiran modern. Secara positif,
kosmopolitanisme ini dianggap sebagai kecenderungan positif akan terbukanya pikiran,
toleransi dan empati terhadap seluruh manusia. Kosmopolitanisme berpandangan bahwa
seluruh manusia merupakan suatu kesatuan kelompok yang harus diperlakukan sama tanpa
memandang status sosial dan politik mereka. Secara lebih kongkrit, hal ini berarti setiap
individu di suatu negara harus mendapatkan perlakuan yang sama seperti individu lain di
negara lain. Namun demikian, pada kenyataannya masih sangat jauh dari konsep dasar
kosmopolitanisme ini, karena perlakuan suatu negara terhadap warga negaranya maupun
warga negara asing di negaranya dapat berbeda-beda di tiap negara.
Menurut Ulf Hannerz setidaknya ada dua jenis kosmopolitan yang berpengaruh pada
dunia politik yakni kultural kosmopolitan kultural dan kosmopolitan politik. Kosmopolitan
kultural dimaknai sebagai penyetaraan terhadap orang-orang dari latar belakang yang
berbeda. Serta penerimaan terhadap perbedaan dari kultur yang berbeda dan mengedepankan
sikap non- diskriminasi dan toleransi. Sementara kosmopolitanisme politik dilihat sebagai
proyek politik yang bercita-cita untuk mengubah tatanan sosial yang diskriminatif. Di sini
terlihat bahwa kosmopolitanisme mengedepankan penghormatan pada manusia, tanpa
mengenyampingkan fakta bahwa setiap manusia adalah berbeda. Berbeda dengan
universalisme yang mengedepankan nilai yang sama bagi seluruh manusia. Kelebihan
kosmopolitan juga adalah memberikan penekanan pada negara. Jika realisme menilai
kedaulatan sebagai hak absolut. Sedangkan kosmopolitan melihat negara tidak hanya
memilik hak namun juga punya tanggung jawab (right and resposibility). Sehingga, negara
dalam membuat kebijakan tidak melulu tentang kepentingan nasional, tapi juga perlu
mempertimbangkan tanggung jawab terhadap manusia yang ada dalam naungannya.
Kedaulatan negara hendaklah dijadikan sebagai prinsip utama dalam menjalankan
responsibility to protect terhadap warga negara. Bukan hanya manusia yang ada di dalam
negeri, namun juga tanggung jawab apabila ada kejahatan kemanusian di luar negaranya.
Dua bentuk tersebut agaknya masih sulit tercapai karena dalam institusi internasional,
suatu negara cenderung membawa dan mengutamakan kepentingan negaranya terlebih
dahulu. Di lain sisi, nilai-nilai kosmopolitanisme budaya pun memiliki tantangan yang cukup
besar. Karena, manusia cenderung mengagungkan budaya milik mereka pribadi dan apabila
ada budaya yang bertolak belakang dengan budaya yang mereka miliki, maka akan mungkin
memicu terjadinya konflik. Dengan berdasarkan pada hal-hal diatas, ide kosmopolitanisme
masih agak utopis untuk diterapkan meskipun pesatnya globalisasi mendorong
berkembangnya interdependence dan interconnectedness.
Global governance merujuk pada hubungan antar aktor (baik negara maupun non
negara) yang lebih teratur dan tertib serta partisipasi luas antar aktor tersebut yang ruang
lingkupnya lebih ke arah jaringan dari pada hirarki. Kecenderungan perkembangan gagasan
mengenai global governance ini diyakini sebagai akibat dari perubahan dalam kondisi politik
dunia yang dipengaruhi oleh globalisasi, sehingga memunculkan sifat saling ketergantungan
(interdependence) dan saling terikat (interconnectedness) (Rosenau & Czempiel, 1992).
Muhadi (2012) menyatakan bahwa kekuatan kosmopolitanisme dan signifikasinya
dalam hubungan internasional tedapat pada dua hal yang merupakan karakteristiknya, yaitu
sebagai teori politik modern yang sangat sesuai serta sebagai rancangan politik.
Pertama, sebagai teori politik modern yang sesuai, kosmopolitan memandang dunia sebagai
ruang global yang memiliki identitas tunggal, yaitu manusia. Sementara kebanyakan teori
politik yang lain berpandangan bahwa dunia merupakan suatu tempat yang terdiri dari
negara-negara bangsa. Sebagai akibatnya, batasan yang memisahkan dan membedakan antara
manusia yang satu dengan yang lainnya karena entitas politik di negara-negara bangsa yang
berbeda-beda dianggap oleh kosmopolitanisme sebagai suatu hal yang tidak signifikan.
Aspek-aspek penting dalam hubungan sosial menurut kosmopolitanisme yaitu empati,
keadilan, etik, serta moral yang tidak dibatasi oleh batasan wilayah suatu negara (Jones 1999;
Pogge 2001; Tan 2004;Caney 2006;Brock 2009).
Kedua, sebagai rancangan politik (political project), kosmopolitanisme merupakan
penggunaan praktis terhadap kerangka analitik dan sebagai akibatnya, merupakan dasar untuk
rekomendasi kebijakan. Menurut Beck (2006) dan Held (2002), analisis dan rekomendasi
kebijakan dalam hubungan internasional berangkat dari gagasan-gagasan yang berpusat pada
negara yang selama ini terdapat banyak celah dan kekurangan. Akan tetapi, kekurangan-
kekurangan tersebut semakin tersingkap melaui transformasi kontemporer ke arah dunia yang
mengglobal, di mana peran dan posisi negara diyakini semakin berkurang. Kelemahannya,
seperti yang diutarakan oleh Kleingeld dan Brown bahwa nilai-nilai kosmopolitan di satu sisi
dipandang sebagai hal negatif di mana nilai-nilai tersebut bertentangan dengan nasionalisme
dan patriotisme. Selain itu, Hennerz juga menyampaikan mengenai dua bentuk
kosmopolitanisme dalam politik global kontemporer yaitu kosmopolitanisme politik dan
kosmopolitanisme budaya yang memiliki tantangan dalam penerapannya.
Memang rasanya utopis untuk menciptakan dunia tanpa kedaulatan, bagaimana
mungkin pemerintahan dunia (world government) bisa mengatur seluruh dunia? Dengan
begitu banyak perbedaan kepentingan berbagai negara di dunia, adakah jaminan bahwa world
government dapat menciptakan dunia yang lebih baik? Atau malah sebaliknya? Terciptanya
suatu kekacauan baru?
Sebenarnya, tidak ada jaminan bahwa world government akan menciptakan dunia yang
lebih baik. Seperti yang diungkapkan oleh Immanuel Kant bahwa tidak perlu keberadaan
suatu institusi, dengan negara yang memiliki semangat kosmopolitanisme saja itu sudah
cukup. Sementara itu, begitu banyak perubahan yang terjadi dalam dunia HI, termasuk
globalisasi yang semakin nyata, meningkatnya peran aktor non-negara, telah menciptakan
kondisi kosmopolitanisme. Kondisi yang didasarkan pada ide dan pemikiran
kosmopolitanisme, sebenarnya sedang kita terapkan. Munculnya konsep Responsibility to
Protect misalnya juga menjadi bukti bahwa sebenarnya kita sedang dalam tahap menuju
kosmopolitanisme. Meskipun baru pada ide dasarnya. Pelaksanaannya sendiri memang masih
jauh, di mana pelanggaran terhadap HAM dan kemanusiaan masih saja terjadi, terutama oleh
negara. Padahal, kosmopolitanisme menempatkan manusia sebagai nilai tertinggi. Jadi,
daripada berharap pada world government lebih baik memulai semangat kosmopolitanisme
tersebut di dalam diri sendiri meski tanpa institusi yang menaunginya.
Referensi :
Diskusi e-Lisa Humanitarianism in International Relations Theory - Cosmopolitanism (18-21
Nopember 2013)