Anda di halaman 1dari 23

PENATALAKSANAAN FRAKTUR VERTEBRA CERVICALIS 3-4

DENGAN SPINAL SHOCK DI ICU


Abstrak
Telah dilakukan perawatan terhadap seorang pasien laki-laki umur 39 tahun dengan
diagnose Burst fraktur VC 3-4 dengan tetraparese, spinal shock. Pasien dirawat di ICU selama
4 hari dengan monitoring
oksimetri, monitor suhu

hemodinamik dengan Noninvasif Blood Pressure, EKG, pulse


dan pemasangan CVC. Pasien diposisikan in line mobilisasi,

Dilakukan pemasangan kateter urine dan NGT.


Dilakukan intubasi endotrecheal dengan mechanichal ventilation mode P-SIMV RR
14x/mnt,FiO2 40%,P-Control 10, PEEP 5. Support inotropik dengan noradrenalin 0,1
g/kgbb/mnt. Dengan Hemodinamik tekanan darah sistol 80-100 mmHg, tekanan darah
diastole 40-70 mmHg, heat rate 45-60 x/menit dan saturasi 96-100%. Dengan terapi suportif
injeksi metilprednisolon, ranitidine, ceftriaxon, fentanil, metilcobalamin, citikolin dan heparin
unfractioned.

Pendahuluan
Pasien dengan trauma medula spinalis mempunyai tantangan tersendiri bagi ahli anestesi.
Trauma pada vertebra servikalis memiliki banyak potensi masalah yang dapat timbul sebelum
operasi, pada saat operasi berlangsung dan setelah operasi. Semua potensi masalah tersebut
harus dapat diprediksi dan dilakukan langkah-langkah antisipasinya. Outcome tidak hanya
tergantung pada trauma primer yang terjadi tetapi juga tergantung pada menejemen yang benarbenar cermat dan teliti dalam proteksi medula spinalis selama resusitasi, periode perioperatif dan
selama perawatan di ICU.( Rao U, 2008; Bisri T et all, 1997; Patel D, 2009)
Berdasarkan database dari national spinal cord injury insidensi spinal cord injury
mencapai 40 kasus per juta kasus atau 12.000 pasien pertahun. Awalnya menyebabkan kematian
pada pasien spinal cord injury berdasarkan survival adanya gagal ginjal. Sekarang ini
menyebabkan kematian karena peneumonia, emboli paru atau septicemia. Harapan hidup pasien
dengan spinal cord injury terus meningkat tapi secara umum masih lebih rendah. Berdasarkan
tahun 2003 di US, kesehatan usia 20 tahun akan memiliki harapan hidup dibandingkan umur 78,
tahun, dimana quadriplegi pada trauma umur 20 tahun memiliki harapan hidup hanya 60%. Laki
laki dibanding perempuan 4 berbanding 1. Sejak 2005 rata-rata umur yang mengalami trauma
39,5 tahun, mencerminkan meningkatnya pada usia menengah berdasarkan populasi umum US.
1

SCI 3,5% terjadi pada anak umur 15 tahun, dimana akan meningkat insidensi spinal cord
injury pada usia lebih dari 60 tahun. Sejak 2005, penyebab spinal cord injury kecelakaan sepeda
motor (42%), jatuh dari ketinggian (27,1%), luka tembak (15,3) dan olah raga (7,4%).(Schreiber
D, 2009)

ANATOMI DAN FISIOLOGY


Kolumna vertebralis disusun oleh 33 tulang vertebra yang terbagi atas 7 vertebra
servikal, 12 vertebra thorakal, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sakral dan 4 tulang vertebra
coccygeal. Setiap tulang vertebra tersusun oleh corpus vertebra, pedicle, processus tranversus,
lamina dan processus spinosus. (Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)

Gambar 1. Tulang vertebra


Susunan tulang vertebra distabilkan oleh ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, ligamentum longitudinal posterior dan ligamentum
longitudinal anterior. Khusus daerah servikal ligamentum supraspinosum disebut ligamentum
nuchae. Ligamentum tersebut memberi fleksibilitas pada columna vertebralis dan sekaligus
membatasi gerakan berlebihan yang dapat menciderai medula spinalis. Ligamentum
longitudinalis anterior melekat pada bagian anterior korpus vertebra dan discus intervertebralis,
bagian anterior arkus tulang atlas selanjutnya berinsersi pada basis cranii sebagai ligamentum
atlantooccipitalis anterior. Ligamentum longitudinalis posterior melekat sepanjang bagian
posterior korpus vertebra dan diskus intervertebralis, bagian posterior aksis, odontoid,
selanjutnya berinsersi pada basis occiput sebagai membrana tectorial. (Neuwfield P, Cottrell JE,
2007)
Struktur artikulasi yang paling kompleks adalah Occipitoatlantoaxial yang fungsinya
untuk menyangga kepala dan melindungi medula spinalis dari gerakan fleksi, ekstensi dan rotasi
leher. Vertebra C1 disebut atlas bagian atasnya disebut konvek yaitu tempat artikulasi dengan
condilus occipitalis. Bagian inferiornya datar, berartikulasi dengan bagian superior sendi facet
2

dari vertebra C2, sedangkan vertebra C2 disebut axis. Hubungan antara korpus atlas dan axis
seperti pasak. Processus superoanterior C2 disebut processus odontoid atau dens. Tidak ada
diskus intervertebralis antara occiput dengan C1 dan antara C1 dan C2. (Neuwfield P, Cottrell
JE, 2007; Wise Y,2010 )
Tulang servikal C3-7 bentuknya hampir sama dan membentuk kanalis spinalis yang
melindungi medula spinalis selama gerakan fleksi, ekstensi dan rotasi leher. Prosessus tranversus
yang berada dibagian lateral sebagai tempat berjalannya arteri vertebralis. Diantara vertebra
terdapat discus intervertebralis yang berisi nukleus pulposus yang dilapisi oleh jaringan ikat
anulus fibrosus. (Neuwfield P, Cottrell JE, 2007; Wise Y, 2010 )
Dalam stabilitas columna vertebralis dikenal istilah Three Column Concept. Stabilitas
columna vertebralis ditentukan oleh vertebra itu sendiri, persendian dan disokong oleh beberapa
ligamentum. Yang dimaksud dengan stabilitas disini adalah kemampuan vertebra pada kondisi
fisiologis untuk mempertahankan hubungan diantara vertebra sehingga tidak terjadi kerusakan
struktur saraf yang ada dalam canalis spinalis. Tiga column yang dimaksud adalah column
anterior, middle dan posterior. Vertebra dikatakan tidak stabil apabila terjadi gangguan pada 2
atau lebih column tersebut.( Holwerda T, 2010)

Gambar 2. The Three Column Concept


Medula spinalis mendapatkan suplai darah dari arteri spinalis anterior, arteri spinalis
posterior dan arteri radikularis. Aliran darah medula spinalis ( Spinal Cord Blood Flow /SCBF)
diatur melalui mekanisme autoregulasi dengan cara mengubah resistensi vaskuler sebagai respon
adanya perubahan MAP. SCBF kira-kira 60 ml/100g/menit.(Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)
Autoregulasi berlangsung normal pada MAP antara 50-150 mmHg. Kegagalan
mekanisme autoregulasi akibat MAP kurang dari 50 mmHg mengakibatkan iskemi. Pada MAP
lebih dari 150 mmHg meningkatkan alirah darah dan menyebabkan edema jaringan. Perubahan
tekanan parsial CO2 dan tekanan parsial O2 akan mengganggu autoregulasi medula spinalis. Pada
tekanan antara 20-80 mmHg SCBF berhubungan linier dengan PaCO 2. SCBF terpelihara dengan
3

baik pada PaO2 diatas 50 mmHg, dibawah nilai tersebut SCBF akan meningkat karena
penurunan oksigenasi.( Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)

Spinal shock
Spinal shock adalah neurogenik shock yang terjadi pada sebagian besar SCI. Spinal
shock adalah hilangnya somatic motorik, sensorik, dan fungsi autonomic simpatis yang
berkaitan dengan SCI. SCI menjadi lebih berat dan jika tingkat injury lebih tinggi, keparahan
lebih besar, dan durasi spinal shock. Jadi spinal shock lebih berat pada complete cervical cord
injuri bagian atas, kurang berat pada thorak injury incomplete dan minimal pada lumbal cord
injuri. Bagian somatic motorik spinal shock terdiri dari paralisis, flaccid, dan tidak ada reflex
pada respon deep tendon reflexes dan cutaneous reflexes,dan komponen sensorik pada semua
modalitas matirasa. Komponen autonomic adalah hipotensi, kulit hyperemia dan hangat dan
bradikardi yang berkaitan dengan hilangnya fungsi simpatis tapi fungsi parasimpatis menetap
(vagotonia tidak dihambat). (Charles T, Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)
System nervus autonomic bekerja terus menerus, melewati divisi simpatis dan
parasimpatis untuk mempertahankan keseimbangan fungsi otot polos, otot jantung dan kelenjer.
Divisi simpatis memiliki hubungan dengan cord karena divisi simpatis berhubungan dengan
cabang nervus spinalis pada region thoracolumbal. Parasimpatis outflow, bagaimanapun juga
sebagian berhubungan dengan spinal cord karena parasimpatis outflow lebih tinggi dari
brainstem, melalui nervus cranialis dengan tempat bagian yang kecil pada region sacral cord
Parasimpatis outflow digambarkan sebagai craniosacral aotflow. Sampai 80 % parasimpatis
outflow berasal dari nervus cranialis X, nervus vagus. (Sheerin F, 2005)
Mekanisme spinal shock tidak diketahui secara pasti tapi kemugkinan karena effek local
pada penghantaran impuls yang bersifat sementara pada trauma spinal cord injury yang
menyebabkan perubahan neurotransmitter atau elektrolit. Pada beberapa jam pertama dan hari
setelah SCI, dimana seringkali dikombinasi dengan effek fisiologis sementara spinal shock dan
lebih banyak effek pathologi permanen dari cord injury. Ketika terjadi trauma medulla spinalis,
akan terjadi kehilangan hantaran perpindahan ion K dari intrasel ke extracellular. Keadaan ini
menyebabkan hilangnya aktifitas reflex somatic dan autonomic dibawah level saraf yang rusak.
sehingga menyebabkan: (Sheerin F, 2005)

Hipotensi akibat dilatasi pasif pembuluh darah yang disebabkan hilangnya simpatik tone dan
menurunnya cardiac output. Hipotensi sistemik didefinisikan tekanan darah sistolik (SBP)

kurang dari 90 mmHg.


Bradikardi, karena tidak adanya perlawanan stimulasi vagal terhadap jantung.
Kehilangan thermoregulasi, poikilothermal akibat dilatasi pasif pembuluh darah kulit dan
akibatnya ketidakmampuan mempertahankan panas tubuh dan kehilangan aktifitas kelenjer
keringat karena kelemahan persyarafan dikulit.
Kerusakan akut neuronal medula spinalis kemungkinan dapat disebabkan oleh dua

macam penyebab yaitu: 1) primary SCI merupakan akibat langsung dari trauma mekanis yang
menyebabkan gangguan dan kerusakan saraf, petechial hemorrhagese dan hematomyelia , 2)
sekondari SCI merupakan akibat perubahan biokimia, enzimatik dan proses pembuluh darah.
Kerusakan saraf disebabkan karena perdarahan banyak, nekrosis, hilangnya integrity membran
sel, odem, inflamasi, lepasnya asam arakhidonat, lipid peroxidase, kehilangan autoregulasi
pembuluh darah. ((Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)
Trauma medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi saraf secara komplet
maupun inkomplet. Defisit neurologis yang terjadi tergantung level medula spinalis yang
mengalami kelainan. (Bisri T et all, 1997)

(Sheerin. F, 2005, SPINAL CORD INJURY: CAUSATION AND PATHOPHYSIOLOGY)

Menifestassi klinis akibat spinal cord injury : ( Bennie W et all, 1996)


1. Kardovasculer
Jejas dibawah level T6 variasi tingkat hipotensi tergantung pada fungsi simpatektomi. Pada
level diatas T6 terjadi gangguan cardiovasculer diantaranya bradikardi, hipotensi, ventrikuler
disfungsi, dan disarritmia yang sering dijumpai. Spinal shock sering akibat transaction anatomi
dan physiologi spinal cord diatas C7, menghasilkan kehilangan impuls dari pusat yang paling
tinggi seketika akibat injury. Spinal shock yang ditandai dengan flaccid paralysis, hilangnya
reflex dibawah level lesi, ileus paralitik dan hilangnya sensasi viceral dan sensorik, vascular
tone, dan reflek vasopressor. Sindroma ini juga ditandai disfungsi autonom dan hilangnya fungsi
sensorik dan motorik bertahan beberapa hari sampai minggu. Akibat neurogenik shock
menyebabkan hipotensi, bradikardi dan hipotermi.( Rao W,2008; Neuwfield P, Cottrell JE, 2007,
Samantaray, 2006 )
Efek trauma medula spinalis terhadap sistem kardiovaskuler tergantung pada level trauma.
Level dibawah T6 mengakibatkan hipotensi akibat sympatektomy. Diatas T6 abnormalitas
kardiovaskuler lebih berat dapat terjadi bradikardi, hipotensi, disfungsi ventrikel, dan disritmia.
Hilangnya inervasi simpatis pada jantung pada level T1-T4 mengakibatkan parasimpatis tidak
terkompensasi akibatnya terjadi bradikardi dan hipotensi. Pasien tidak dapat mempertahankan
curah jantung karena hilangnyan kemampuan mempertahankan tonus pembuluh darah arteri dan
kapasitans vena. Jantung kurang dapat menerima beban kenaikan venous return sehingga mudah
terjadi edema paru.( ( Bennie W et all, 1996, Rao W,2008; Neuwfield P, Cottrell JE, 2007,
Samantaray, 2006 )
2. Respirasi
Pasien dengan trauma kepala, multiple trauma dan penurunan tingkat kesadaran harus
dipertimbangkan sebagai spinal injury sampai dipastikan dengan radiography. Pasien dengan
tingkat kesadaran normal, gag reflex baik, dan jalan napas baik, dapat diberikan oksigen.
Terjadi kehilangan kemampuan ventilasi akibat paralisis diaphragma dan intercosta
menyebabkan menurunnya fungsional vital capacity dan expirasi flow rate, sehingga hampir
semua pasien perawatan dirumahs akit dengan akut servical pada SCI memerlukan ventilator
selama 24-48 jam. ( Bennie W et all, 1996, Rao W,2008)
SCI menyebabkan gannguan terhadap sistim respirasi tergantung level dan tingkat injury,
karena terjadi paralisis otot-otot abdomen, interkostal, diaphragm dan otot-otot napas tambahan.
Gagal napas, atelektasis lobus berulang, hipoventilasi, ventilasi perfusi missmach, odem pulmo

(neurogenik,cardiogenik), pneumonia bacterial, pneumonitis aspirasi dan coexisting trauma


tumpul dada. ( Bennie W et all, 1996, Rao W,2008)
Pusat respirasi di medula spinalis terdapat pada nukleus motorik C4 dan mendapat
kontribusi minimal dari C3 dan C5 kemudian keluar sebagai nervus phrenikus yang mensarafi
otot diafragma. Napas spontan masih bisa dilakukan dengan kapasitas vital 20-25 % normal
apabila C4 normal. Kelainan diatas C3 akan menyebabkan respiratory arrest. Kelainan dibawah
C5 akan terjadi penurunan fungsi respirasi karena kelemahan otot interkostalis. (Rao U, 2008;
Samantaray A, 2006)
3. Gastrointestinal
Selama stadium akut, SCI gastrointestinal tract kehilangan autonomic neural input dan
menjadi atoni. Ileus intestinal (khususnya setelah SCI pada thorak dan lumbal) dan gastric atony
dapat menyebabkan distensi gaster dan pasien beresiko terjadi aspirasi. Gastritis, ulcus gaster
dan perdarahan dapat terjadi setelah SCI, khususnya pasien yang membutuhkan mechanical
ventilasi atau karena mendapat terapi kortikosteroid. ( Bennie W et all, 1996, Rao W,2008)
4. Genitourinary
Kandung kemih mengalami flaccidity dan spasticity. Akibat abnormal pengosongan
kandung kemih menyebabkan infeksi kandung kemih yang berulang, batu kandung kemih,
nephrocalsinosin dan urosepsis berulang. Akut renal failure tidak tidak sering terjadi tapi dapat
terjadi jika terjadi akibat hipotensi, dehidrasi, sepsis dan trauma. ( Bennie W et all, 1996, Rao
W,2008)
5. Kontrol temperature
Temperature

tubuh mendekati

suhu lingkungan (poikilothermia)

oleh karena

ketidakmampuan untuk mempertahankan panas terhadap lingkungan dingin terus menerus,


vasokontriksi dan dan ketidakmampuan untuk berkeringat pada lingkungan yang panas.
Akibatnya pasien cenderung hipoterrmi jika temperature lingkungan sekitar lebih rendah
dibandingkan temperature tubuh. ( Bennie W et all, 1996, Rao W,2008)
6. Deep venous thrombosis
Pasien dengan spine dan spinal injurie memiliki resiko yang tinggi untuk tromboemboli vena
Tanpa profilaksis DVT setelah SCI akut, insidensi asymtomatik DVT mencapai 60%-100%. Dan
beresiko terjadi DVT dalam waktu 72 jam setelah terjadi injury. Tromboemboli vena pada
pasien dengan fraktur spine meningkat dua kali lipat dan SCI meningkat resiko sampai tiga kali
lipat. ( Ball PA, 2001)
7

Dalam penatalaksanaan pada pasien dengan lesi cervical, harus ditentukan berapa lama
lesi tersebut sudah berlangsung, karena penatalaksanaannya akan berbeda setiap fase. Masingmasing fase mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. (Heath KJ, 2000)
1. Fase akut (spinal shock), berlangsung kurang dari 3 hari
2. Fase intermediet, sudah lebih 3 hari sampai 3 bulan
3. Fase kronis, sudah lebih dari 3 bulan
Fase Akut
Heath,2000 mengungkapkan bahwa pada fase akut terjadi spinal shock, yaitu hilangnya
tonus simpatis setinggi lesi ke bawah, yang ditandai dengan hipotensi dan bradikardi. Lesi pada
cervical 3,4,5 menyebabkan disfungsi diafragma dan terjadi respiratory arrest. Lesi pada cervical
bawah dan daerah thorak juga terjadi gangguan respirasi dengan derajat yang lebih ringan,
karena disfungsi otot-otot interkosta. Bradikardi terjadi karena gangguan nervus cardia (T1-4).
Hilangnya impuls simpatis mengakibatkan vasodilatasi perifer dan hipotensi. Biasanya juga
disertai gangguan motilitas usus, berupa ileus, serta meningkatkan resiko aspirasi. (Heath KJ,
2000)
Fase Intermediet
Fase intermediet penting artinya bagi seorang anestesiolog, karena pada fase ini terjadi
peningkatan kalium serum. Sebaiknya hindari pemakaian succinyl choline untuk fasilitas
intubasi, karena terjadi eksodus sejumlah besar ion K+ keluar dari intra sel akibat depolarisasi.
Pada trauma medula spinalis terjadi denervasi otot dalam jumlah besar, usaha fisiologis tubuh
agar setiap impuls rangsangan mendapat jawaban, adalah dengan cara meningkatkan jumlah
reseptor postsinaptik dan juga meningkatkan sensitifitas reseptor tersebut. Akibatnya pemberian
succinyl choline akan sangat meningkatkan konsentrasi ion K+ dalam serum. Untuk itu
pemakaian succinyl choline tidak dianjurkan pada 1 hari sampai 1 tahun pasca trauma. (Heath
KJ, 2000)
Fase Kronis
Masalah pada fase kronis dan pasien paraplegia antara lain :

Hiperrefleksi otonom
Postural hypotension
Kontrol respirasi
Gangguan ginjal dan elektrolit
Kehilangan kontrol temperatur tubuh
Ulkus dekubitus dan tromboemboli

Hiperrefleksia otonom terjadi pada periode 3 bulan atau lebih setelah injury medula
spinalis diatas T7. Ditandai dengan adanya hiperrefleksia, spastisitas dan spasme otot secara
involunter. Hiperrefleksi ini terjadi karena hilangnya kontrol dari koordinasi simpatis pusat pada
hipotalamus terhadap sistem saraf simpatis spinal antara T1 L2. Stimulasi kandung kemih,
daerah genital, usus dan kulit daerah perineum, impuls akan dihantarkan melalui serabut saraf
sakralis dan menghasilkan sympathetic outflow yang berlebihan dari saraf simpatis diatas lesi.
Keadaan ini akan menyebabkan berkeringat dan vasokonstriksi pada bagian tubuh tersebut. Jika
lesi diatas T1-4, maka akan terjadi takikardia. (Heath KJ, 2000)
Penderita trauma medula spinalis pada fase kronis cenderung terjadi fraktur ekstremitas
pada saat gerakan dan penempatan posisi penderita untuk pembedahan. Setelah meredanya
spinal shock, bisa terjadi spasme otot atau kontraktur yang menambah kesulitan dalam
memposisikan penderita dan menetapkan lokasi infus pada saat akan dilakukan pembedahan.
Pasien akan mudah mengalami ulkus dekubitus karena posisi tirah baring lama dan jeleknya
perfusi kulit. (Heath KJ, 2000)
Kerusakan pada medula spinalis di atas T7 bisa merusak pusat berkeringat yang
menyebabkan beberapa penderita menjadi poikilotermi

oleh karena temperatur tubuhnya

tergantung pada suhu sekitarnya dan sering berkembang menjadi hipertermia yang disebabkan
penderita tidak mampu menurunkan suhu tubuh akibat terganggunya proses berkeringat. (Heath
KJ, 2000)

Penatalaksanaan
A. Spinal Immobilization
Pergerakan segmen yang mengalami trauma akan dapat menyebabkan
eksaserbasi trauma yang telah dialami. Sehingga strategi neuroproteksi yang sangat
penting adalah menghilangkan kompresi medula spinalis dan mencegah gangguan
neurologis lebih lanjut dengan jalan immobilisasi yang efektif sesegera mungkin baik
menggunakan tong atau halotraction. Kegagalan melakukan hal tersebut dapat
menyebabkan hilangnya fungsi neurologis yang masih ada atau bahkan naiknya level
trauma. (Schreiber D, 2009; Neuwfield P, Cottrell JE, 2007
Pasien dengan trauma yang tidak stabil dibaringkan dalam keadaan traksi untuk
meluruskan dan immobilisasi spine, dekompresi struktur sarafnya dan mencegah trauma
lebih lanjut. Dengan menghilangkan tekanan pada medula sinalis akan memperbaiki
sirkuasi mikrovaskuler yang akan mengurangi edema medula spinalis. Apabila tidak ada

instabilitas tulang maka traksi tidak diperlukan misalnya pada pasien dengan trauma
tembus.( Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)
B. Management Jalan Napas
Pasien dengan spinal cord injury sering mengalami hypoxemia akibat
hipoveltilasi atau aspirasi dari asam lambung. Pasien dengan hipoventilasi ringan dapat
diterapi dengan pemberian oksigen dengan nasal kanul. Pasien dengan spinal cord injuri
region cervical bagian atas membutuhkan intubasi dengan segera dan bantuan ventilator,
terutama dengan trauma wajah atau thorax. ( Berney S et all, 2011)
Teknik intubasi tergantung pada beratnya insufisiensi respirasi, kesulitan intubasi,
dan keahlian yang dimiliki. Tanpa mempertimbangkan keadaan atau teknik yang
digunakan, komplikasi neurologis dari intubasi jarang dengan ketentuan bahwa
ketidakstabilan immobilisasi tulang cervical selama mempertahankan jalan napas.
Idealnya intubasi harus menggunakan bronkoskopi fiberobtik. Jika intubasi emergency
harus dilakukan atau fasilitas untuk elektif, bronkoskopi fiberoptik membantu intubasi
tidak tersedia, nasotracheal atau orotracheal intubasi dengan melihat langsung vocal cord
dengan tepat. ( Berney S et all, 2011)
Cricothyroidektomi indikasi jika intubasi oral atau nasal tidak bisa, seperti pada
pasien dengan trauma wajah menghalangi intubasi, emergency intubasi jarang sekali
diperlukan. Setelah jalan napas dipertahankan, canul arteri harus dipasang untuk
memonitor tekanan arteri parsial oksigen dan carbondioksida. Pulse oksimetri harus
digunakan secara terus menerus untuk menilai adekuat saturasi oksigen arteri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Berney, waktu untuk melakukan tracheostomy
berbeda mulai hari ke 3 sampai ke 10 setelah trauma dan dilaporkan pada saat setelah
cervical spine anterior surgical stabilization. Pada kasus lain juga pernah dilaporkan
dilakukan tracheostomi sebelum hari ke 7 untuk mengurangi penggunaan mekanikal
ventilator dan lama tinggal di ICU. ( Berney S et all, 2011)
C. Resusitasi Cardiovascular
Hipotensi terjadi karena hilangnya kemampuan vasokontriksi arteriol perifer dan
pooling darah dipembuluh darah perifer. Terapi pertama adalah resusitasi cairan. Jika infus
cairan intravena 1 - 2 L gagal untuk mengembalikan tekanan darah kebatas normal,
dipertimbangkan untuk pemasangan pulmonary artery catheter. Kateterisasi arteri dan Vena
central sering kali dibutuhkan untuk monitoring adekuat, melalui tekanan pengisian, akibat
10

resusitasi cairan yang agresif dan mempertahankan untuk mengontrol tekanan darah, dimana
sering kali membutuhkan terapi vasopresor. Pulmonary artery catheter digunakan untuk
mengukur adekuat penggantian volume dan mengukur pulmonary-artery wedge pressure,
cardiac output, tahanan pembuluh darah perifer. Pemilihan obat vasopressor sebaiknya
bekerja pada reseptor dan reseptor , seperti dopamine atau norepinefrin, untuk melawan
hilangnya tonus simpatis dan memberikan bantuan chronotropic pada jantung (table 1).
Kerja - adrenergic seperti pheyilephrine tidak memiliki efek chronotropic yang diperlukan
oleh jantung. Resolusi shock dan perbaikan perfusi jaringan ditandai dengan : urine output
yang adekuat, resolusi asidosis sistemik dan mentation normal. Tekanan darah dan cardiac
output dapat tercapai sesuai variasi pasien. Sasaran terapi hipotensi post SCI adalah
memperbaiki perfusi spinal cord, memperbaki mean arterial pressure (MAP) mencapai
normal atau sedikit dinaikan dari batas normal secepat mungkin setelah injury.
Direkomendasikan MAP antara 85-90 mmHg untuk 7 hari pertama setelah akut injury.
Hipertensi MAP berkisar diatas 100-110 harus dicegah karena secara teori beresiko
terjadinya perdarahan dan odem pada tingkat intramedullary. (Ball PA, 2001)
Standar terapi neurogenik shock adalah adekuat perfusi dengan parameter : (Bennie W et all,
1996)

Tekanan darah sistolik harus diatas 90-100mmHg (MAP 85-90 mmHg).


Yang terpenting terapi adalah mempertahankan adekuat oksigenisasi dan perfusi pada
spinal cord injury.
Laju jantung 60-100 x/mnt normal sinus ritme.
Urine output harus lebih dari 30 ml/jam.
Memasang Foley cateter untuk monitor urine output. Sebagai cadangan pada pasien
dengan penurunan urine output meskipun resusitasi cairan telah adekuat. Biasanya dosis

rendah dopamine 2-5 mcg/kg/min.


Cegah terjadi hipotermi
Pada fase akut dimana terjadi spinal shock, yaitu hilangnya tonus simpatis
setinggi lesi ke bawah, yang ditandai dengan hipotensi dan bradikardi terjadi karena
gangguan nervus cardia (T1-4). Hilangnya impuls simpatis mengakibatkan vasodilatasi
perifer dan hipotensi. Kondisi ini dapat diatasi dengan obat vagolitik sulfas atropin 0,01
0,02 mg/kgBB dan vasopresor seperti methoxamine, phenyleprine atau noradrenalin
(Heat,2000).

11

Biasanya juga disertai gangguan motilitas usus, berupa ileus, serta meningkatkan
resiko aspirasi. Untuk itu perlu diberikan H2 antagonis, pemasangan pipa nasogastrik
serta intubasi secara rapid sequence. (Heat,2000). Pasien harus mendapat profilaksis
ulcer dengan histamine H2 reseptor blocker intravena untuk mengurangi sekresi asam
lambung. PH lambung harus dinetralkan, dan antasida, sucralfate atau keduanya dapat
ditambahkan sesuai kebutuhan. ( Ball PA, 2001)

(Ball. Perry A, 2001, Critical Care of Spinal Cord Injury, SPINE , Volume 26, Lippincott Williams & Wilkins)

Pada fase intermediet dan kronik


Jika hiperfleksia terjadi, tahap pertama mengembalikan stimulasi. Seringkali
terapi farmakologi dibutuhkan karena peningkatan tekanan darah yang berlebihan.
Nipedipin sublingual atau obat golongan alpha blocker seperti phentolamine 2 10 mg
menjadi pertimbangan pertama. Karena risiko penurunan yang tiba-tiba mengarah ke
komplikasi

seperti

angina,

penggunaannya

dibatasi.

Anecdotal

melaporan

menggambarkan manfaat nitrogliserin, diazoxide, phenoxybenzamine, prazosin,


hydralazine dan clonidine. (Godim et all, 2004)
Atelektasis dan pneumonia terjadi pada beberapa pasien yang tidak bergerak.
Mobilisasi dini menjamin membersihkan sekresi jalan napas dan membersihkan
bronkhial dapat digunakan untuk meminimal atau mencegah terjadinya atelektasi dan
pneumonia. Hidrasi adekuat dapat memelihara secret lebih encer untuk memudahkan
pembersihan, dan bronkoskopi mungkin dibutuhkan untuk menyedot secret yang kental.
Ventilator tergantung kebutuhan pasien untuk mempertahankan paru tetap baik.
(Hausman KA, 2001)
12

Pasiem dengan SCI memiliki kebutuhan energy yang meningkat akibat stress
respon metabolic. Optimal nutrisi dibutuhkan untuk mencapai stabilisasi. Balance
nitrogen

negative

yang

besar

menyebabkan

kerusakan

kulit,

memperlambat

penyembuhan luka, dan kekurangan energy untuk usaha penyembuhan. Kalori yang
dibutuhkan harus dihitung untuk memastikan adekuat., tapi tidak berlebihan. Total
parenteral atau enteral nutrisi yang diberikan sampai pasien memiliki kemampuan untuk
makan peroral. (Hausman KA, 2001)
Hipotermi biasanya diatasi dengan menggunakan warmed blanked. Temperature
ruangan biasanya dipertahankan sesuai kenyamanan pasien. Elektrik heating blankets
atau air panas dalam botol berbahaya pada bagian tubuh karena tidak ada sensasi rasa.
Diusahakan menstabilkan pasien pada suhu diatas 96,5F (35,8C). idealnya pasien
ditempatkan pada ruangan yang khusus juga temperature ruangan. (Hausman KA, 2001)
Ketika terjadi penekanan dalam waktu lama, menyebabkan kerusakan sirkulasi
superficial dan jaringan, penekanan yang dalam waktu lama menyebabkan nekrosis dan
ulkus penetrasi jaring nekrotik lebih dalam sampai kekulit, jaringan subkutis subcutis,
ganggreng sampai ketulang. Sehingga penting pada pasien dilakukan perubahan posisi.
Pasien dirubah posisi minimal setiap 2 jam. Kondisi kulit pasien harus diperiksa sebelum
dan sesudah perubahan posisi. Terutama sekali pada daerah-daerah yang menonjol
seperti earlobes, belakang kepala, siku, bagian dalam lutut dan sacral. Dapat diberikan
lotion Moisturizing. (Hausman KA, 2001)
Khususnya selama fase akut SCI, emboli pulmonaly menjadi potensial masalah.
Pasien pasien terutama yang beresiko untuk emboli lemak karena fraktur tulang panjang.
Emboli yang dini dalam bentuk deep venous thrombosis (DVT). Pencegahan DVT
dengan pemberian low dose heparin atau low moleculer weight heparin dan
menggunakan antiembolic stokings. Standar mini dose heparin dua kali sehari, biasanya
dosis heparin dinaikkan dengan control partial tromboplastin time (PTT) dengan 1,5 dari
control masih efektif tapi memiliki resiko perdarahan. ( Ball PA, 2001)

D. Kortikosteroid

13

Pemberian kortikosteroid setelah trauma medula spinalis telah menjadi standar.


Steroid dapat menstabilkann struktur membran, menjaga barier darah medula spinalis,
meningkatkan SCBF, mengubah konsentrasi elektrolit pada daerah trauma, menghambat
lepasnya endorphin, radikal bebas scavenger dan menghambat respon inflamasi setelah
trauma. .(Schreiber D, 2009; Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)
Penggunaan dan dosis kortikosteroid berdasarkan pada penelitian National Acute
Spinal Cord Injury II Study (NASCIS) pada tahun 1990. Metilprednisolon diberikan
dalam 8 jam setelah trauma dengan dosis 30 mg/kg BB bolus intravena pada jam
pertama dan kemudian infus 5,4 mg/kgBB/jam dalam 23 jam berikutnya. Perbaikan
fungsi motorik dan sensasi dalam 6 bulan lebih baik dibandingkan naloxone dan
placebo. National Acute Spinal Cord Injury III Study (NASCIS) tahun 1997 melaporkan
bahwa metilprednisolon diberikan dalam 3 jam setelah trauma, dan steroid infus hanya
diberikan 24 jam paska truma. Apabila terapi dimulai pada 3-8 jam paska trauma infus
steroid diberikan selama 48 jam. Kedua penelitian tersebut juga menunjukkan
peningkatan resiko komplikasi pada pasien yang mendapatkan steroid. Waktu rawat di
rumah sakit yang lebih lama, meningkatnya infeksi luka dan meningkatnya insidensi
pneumonia, perdarahan gastrointestinal, dan sepsis.(Schreiber D, 2009; Neuwfield P,
Cottrell JE, 2007)
E. Obat lain
Pemberian manitol 0,25-1 g/kg BB untuk terapi edema medula spinalis.5 Saline
hipertonis penggunaannya baru dalam tahap eksperimental, diduga saline hipertonis
dapat meningkatkan delivery metilprednisolon dan mencegah imunosupresi. (Rao P,
2008)

Laporan kasus

14

Data pasien
Nama

: Tn. I

Jenis kelamin

: laki-laki

Umur

: 39 th 10 bln

Tgl masuk

: 29 juli 2014

Diagnose masuk

: Burst fraktur VC 3-4 dengan tetraparese, spinal shock

BB

: 60 kg

MR

: 01 69 29 87

Anamnesa
KU

: tidak bisa menggerakan anggota gerak

RPP

: 1 HSMRS os terjatuh dari pohon pada ketinggian 4 meter. Os jatuh dengan bahu
terlebih dahulu menghantam tanah. Tidak ada riwayat benturan kepala, mual/ muntah (-),
pingsan (-). Setelah trauma os tidak bisa merasakan dan menggerakan kedua tangan dan
kaki. Keinginan BAB dan BAK tidak bisa dirasakan.

Secondary survey
Kepala : konjungtiva tidak anemis, RC (+) pupil isokor 3 mm/mm,
Leher : terpasang collar neck, NRM O2 10 l/mnt
Terpasang NGT
GCS E4MxV5
Thorax : Breathing : spontan, RR 16-20 x/mnt, pola napas abdominal thorakal, ves +/+,
rhonki -/-, whizing -/-, saturasi 100%.
Circulasi : TD 92/46 mmHg, MAP 60 mmHg,HR 52 x/mnt, T/V cukup, akral hangat,
Abdomen : distensi (-) peristaltic (+) normal
Ginjal dan system uropoetika : terpasang kateter, jumlah urin minimal,
warna kuning jernih
Ekstremitas : tetraplegi, deficit neurologis kekuatan motorik 1, sensorik 0

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium

15

Hb

: 10,62

AGD jam 05.36

Ae

: 4,05

FiO2 0,8 l/mnt

Ht

: 34.1

PH

7,42

At

: 99

PCO2

27,9

Ppt

: 13,4 ( 13,8)

PO2

126,9

Aptt

: 28,5 (30,9)

SO2

99 %

INR

: 1,08

BE

-3,8

Alb

: 3,13

HCO3-

19,1

Bun

: 19,8

AaDO2

52,8

Cret

: 1,10

FiO2

0.8

SGOT : 82
SGPT : 46
GDS

: 139

Na

: 138

: 3,6

Cl

: 99

Ca

: 2,11

Ro cervical :

tampak Burst fraktur VC 3-4

Assessment :
-

Burst fraktur VC 3-4

Tetraplegi

spinal shock

Penatalaksanaan
-

Stabilisasi hemodinamik

Intubasi Endotracheal

Pemasangan CVC

Pembahasaan

16

Pasien datang dari RES dengan dengan diagnose fraktur vertebra cervicalis 3-4 dengan
tetraparese, spinal shock. Di ICU dilakukan monitoring EKG, noninvasive tekanan darah,
pulsasi oksimetri. Pada saat datang keadaan pasien dengan kesadaran compos mentis, jalan
napas clear terpasang binasal oksigen 3 l/menit. Saturasi oksigen 100%. Hemodinamik dengan
Tekanan darah 94/42 mmHg (MAP 62), HR 52 x/mnt. Terpasang inotropik noradrenalin titrasi
dengan syringe pump dengan dosis 0.1 g/kgBB/menit, dengan monitoring hemodinamik.
Pasien terpasang collar neck untuk mengurangi pergerakan kepala dan leher, dan
diposisikan in line mobilisasi dengan posisi kepala dan badan lebih tinggi dari kaki membentuk
sudut 30. Diharapkan pergerakan dada tidak terganggu karena penekanan dari abdomen.
Pada pasien ini terjadi fraktur cervicalis 3-4, dimana telah terjadi gangguan pola napas
dengan tipe pola pernapasan abdominal thorakal, bahwa telah terjadi paralise dari otot difragma
dan thorakal. Untuk melakukan intubasi pada pasien dengan dengan trauma cervicalis harus
dengan in line mobilisasi, atau awake intubasi atau menggunakan fiberoptik. Pada pasien dengan
dengan trauma cervicalis yang membutuhkan ventilator akan mengalami kesulitan weaning
ventilator.
Pada hari pertama dan kedua pasien oksigenisasi dengan NRM oksigen 8-10 l/mnt.
Oksigenisasi tetap dipertahankan dengan NRM, karena kebutuhan oksigen masih tercukupi dan
ini dikonfirmasi dengan hasil AGD masih dalam batas normal. Pada hari ke 3 pasien mengalami
ganguan ventilasi dan saturasi mulai turun sampai 95-98% sehingga di lakukan Intubasi
endotracheal dengan ventilator, dengan mode P(SIMV) 10 PEEP 5 FiO2 40 % RR 14x/mnt
Sasaran terapi hipotensi post SCI adalah memperbaiki perfusi spinal cord, memperbaki
mean arterial pressure (MAP) mencapai normal atau sedikit dinaikan dari batas normal secepat
mungkin setelah injury. Direkomendasikan MAP antara 85-90 mmHg untuk 7 hari pertama
setelah akut injury. Pada pasien ini terjadi spinal shock sehingga perlu dilakukan pemasangan
monitoring hemodinamik invasive seperti CVC. Pada pasien ini hanya dilakukan pemasangan
CVC untuk mengetahui kecukupan volume cairan intravascular. Pemasangan CVP diperlukan,
selain untuk menilai volume intravaskuler, dapat juga untuk pemberian nutrisi parenteral. Akses
untuk inotropik dan vasopressor juga direkomendasikan melalui kateter vena sentral. Pada
pasien ini dilakukan pemasangan CVC disubclavia sinistra dangan CVP awal 9 cmH2O. dengan
hemodinamik TD 98/46 mmHg, MAP 63 mmHg, heart rate 55 x/menit. Bahwa pasien ini
memiliki volume intravascular cukup, tetapi tekanan darah yang rendah karena spinal shock
sehingga diberikan initropik adrenalin dimulai dosis 0,1 g/kgBB/menit (3,75 cc/jam), dimana
tekanan darah sistol diatas 100 mmHg pertahankan (MAP berkisar 60-80 mmHg) dan heart rate
berkisar 45-60 x/menit. Dosis dinaikan sesuai respon hemodinamik pasien. Selama 2 hari
17

hemodinamik stabil dengan support inotropik noradrenalin 0,1 0,3 g/kgBB/menit. Juga
dilakukan monitoring suhu, dengan suhu pasien berkisar 36-39 C.
Pada pasien ini terpasang NGT selain untuk pemberian nutrisi enteral, juga untuk
mencegah distensi lambung dan usus serta ada resiko muntah karena gangguan passage. Pada
SCI fase akut juga beresiko untuk terjadinya perdarahan gastrointestinal karena penggunaan
steroid, sehingga pemberian H2 blocker direkomendasikan, dan diberikan ranitidine injeksi,
selain itu untuk mengurangi insidensi ulkus peptic. Oral hygiene dan suction saliva berkala
harus dilakukan, karena pasien ini tidak dapat batuk, mengurangi resiko aspirasi.
Pada hari ke 0 untuk uji nutrisi masih dilakukan uji air, kemudian hari pertama mulai
diberikan enteral, tetapi di awalnya masih terdapat residu dan peristaltic belum baik, hanya
masuk sekitar 600 cc, kemudian hari hari berikutnya semakin membaik. Jika terjadi gangguan
enteral, maka kita harus mengganti dengan parenteral sesuai kebutuhan energi yang kita
inginkan. Target kebutuhan energi adalah 30-50 kkal/ kg BB/ hari. Dan kita bisa memberikan
melalui akses vena sentral.
Dilakukan Pemasangan kateter urine untuk mencegah distensi kandung kemih dan
menilai urine output secara terus menerus karena terjadi atonia dan gangguan sistim otonom.
Pada pasien ini diuresis masih normal dengan urine output rata-rata 0,7 cc/ kgbb/jam.
Pada pasien post SCI resiko untuk terjadinya DVT, sehingga perlu pemberian
antikoagulasi seperti heparinisasi. Diberikan heparin unfractioned dengan dosis 5000 UI/12 jam.
Dengan monitoring dilakukan pemeriksaan partial tromboplastin time (PTT) setiap 2 hari sekali
untuk menilai fungsi koagulasi.
Pada hari ke 4 jam 16.00 pasien mulai mengalami penurunan kesadaran, dengan
hemodinamik Tekanan darah 80/30 mmHg, heart rate 45-50 x/menit, saturasi O2 85%.
Dilakukan evaluasi airway, memastikan ET tetap bersih tidak tertutup oleh secret dan diberikan
oksigen 100%. Dosis noradrenalin dinaikan menjadi 0,5 g/kgBB/jam. Saturasi naik menjadi
95% tapi tidak terjadi peningkatan tekanan darah, denyut jantung 45-55 x/menit. Setelah 30
menit terjadi bradikardi heart rate 40 x/menit, diberikan terapi SA 2 0,5 mg IV dan berikan 2 kali
selang waktu 5 menit. Kemudian terjadi henti jantung dan dilakukan resusitasi RJP , adrenalin,
dan SA dan ventilasi manual selama 30 menit. Jam 17.25 pasien dinyatakan meninggal dunia.

Kesimpulan

18

Trauma pada vertebra cervicalis 3-4 dengan spinal shock memiliki banyak potensi
masalah pada organ vital terutama terhadap cardiorespirasi sehingga memerlukan
perawatan yang intensif dengan monitoring non invasive dan invasive.
Monitoring dengan menggunakan NIBP, EKG, pulse oksimetri dan pemasangan CVC.
Dan dillakukan pemasangan kateter urine, NGT.
Spinal shock adalah hilangnya somatic motorik, sensorik, dan fungsi autonomic simpatis
yang menyebabkan Hipotensi, Bradikardi, dan Kehilangan thermoregulasi.
SCI menyebabkan gannguan terhadap sistim respirasi tergantung level dan tingkat injury,
karena terjadi paralisis otot-otot abdomen, interkostal, diaphragma dan otot-otot napas
tambahan. Sehingga dilakukan tracheostomi untuk mengurangi kebutuhan mekanikal
ventilator dan prolong penggunaan ventilator.
Managemen spinal shock dilakukan pemberian inotropik noradrenalin, dengan target
MAP antara 85-90 mmHg. Heart rate 80-90 x/mnt normal sinus ritme. Urine output
harus lebih dari 0,5cc/jam/KgBB dan pencegahan terjadi hipotermi.

Daftar Pustaka

19

Ball. Perry A, 2001, Critical Care of Spinal Cord Injury,in SPINE , Volume 26,
Lippincott Williams & Wilkins, pp S27S30. http://www.orthonurse.org/portals/0/critical
%20care%20spine.pdf, Accessed 25 april 2011

Berney. S, Bragge. P, Granger. C, Opdam. H, Denehy. L, 2011. The acute respiratory


management of cervical spinal cord injury in the first 6 weeks after injury: a systematic
review, International Spinal Cord Society, P.17-29,
http://www.nature.com/sc/journal/v49/n1/pdf/sc201039a.pdf, Accessed 25 april 2011

Bisri T, Wargahadibrata AH, Surahman E. 1997, Brain Protection. In: Neuroanestesi,


Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran , Bandung.

C. Bennie W, Hiles, Cooper. P R, 1996, Acute Spinal Injury, Review Article, The New
England Journal Of Medicine.

Charles. T, Clinical Manifestations Of Acute Spinal Cord Injury, Chapter 4,


http://www.spineuniverse.com/pdf/aans/p1_6aans_chapter.pdf . Accessed 25 april 2011

Gondim. FAA, Lopes. ACA, Oliveira. GR, Rodrigues. CL, Leal. PRL, Santos, 2004,
Cardiovascular Control After Spinal Cord Injury, Current Vascular Pharmacology, Vol. 2,
No. 1. http://www.fisiologia.ufc.br/Artigos/cardiovascularpharmacology.pdf, accessed 1

juni 2011
Hausman, Kathy A, 2001, Spinal Cord Injury in Nervus system, capter 37. P.861-889
http://www.medic94.com/CCEMTP/morton_ch37%5B1%5D.pdf accessed 2 april 2011

Heath, KJ, 2000: The anaesthetic management of spinal injuries and surgery to the
cervical spine. In Neuroanesthesia and Critical Care. GMM; 17:239-252.

Holwerda Teri,2010, Spinal Fractures: The Three-Column Concept, Spine Universe.


http://www.spineuniverse.com./displayarticl/article2718.html. Accessed 25 april 2011

Neuwfield P, Cottrell JE, 2007, Cerebral Protection and resuscitation. In Handbook of


neuroanesthesia, 4rd ed., Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins, p.55-88.

Neuwfield.Philippa, Cottrell. JE, 2007, Spinal Cord injury and procedures in Handbook
Neuroanesthesia, 4th edition, Lippincott Williams & Wilkins, p. 216-241

Patel PM, Drummond JC. Cerebral Physiology and the effects of Anesthetics and
techniques. in : Miller RD. eds. Miller`s Anesthesia 6ed. Philadelphia : Elsevier Churchill
Livingstone; 2005.

20

Rao, Umamaheswara, 2008, Anaesthetic and Intensive Care Management of Traumatic


Cervical Spine Injury. Indian Journal of Anaesthesia; 52 (1): 13-22.
http://medind.nic.in/iad/t08/i1/iadt08i1p13.pdf, accessed 25 April 2011

Samantaray A, 2006, Anesthesia for Spine Surgery, The Indian Anaesthetists Forum(www.theiaforum.org) Accessed 20 april 2011.
http://www.theiaforum.org/Article_Folder/anesthesia-for-spine-surgery.pdf

Schreiber

Donald,

2009,

Spinal

Cord

Injuri,

Treatment

&

Medication.

http://www.emedicine.com. Accessed 8 April 2011.

Sheerin. F, 2005, Spinal Cord Injury: causation and pathophysiology, In the second of
three articles on spinal cord injury, emergency nurse. P. 29-37

Wise Young, 2010, Spinal Cord Injury Levels & Classification, www.sci-info-pages.
http://www.sci-info-pages.com/levels.html . Accessed 2 April, 20011

Laporan kasus
21

September 2011

PENATALAKSANAAN FRAKTUR VERTEBRA CERVICALIS 3-4


DENGAN SPINAL SHOCK DI ICU

Oleh :
WAHYU NOEGROHO

Peserta PPDS-I Anesthesiologi dan Reanimasi


Fakultas Kedokteran UGM / RSUP DR. SARDJITO

Pembimbing

Moderator

Dr. Med. Untung Widodo Sp.An, KIC

Dr. Sudadi Sp.An, KNA, KAR

BAGIAN ANESTHESIOLOGI DAN REANIMASI


FK. UGM / RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA
2014

22

23

Anda mungkin juga menyukai