Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pajak adalah istilah yang tidak asing lagi bagi kita, peranan pajak dalam
pengembangan suatu Negara juga sangat besar. Karena itu, di Indonesia banyak
Undang-Undang maupun peraturan perundang-undangan yang menjelaskan tentang
pajak. Dari periode ke periode peraturan tentang pajak selalu mengalami perubahan
dan tak jarang menimbulkan kontroversi antara Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dengan pelaksanaan atau kejadian dilapangan, seperti pada pasal 34 UU
KUP yang menimbulkan pertentangan.
Berdasarkan uraian diatas kami tertarik untuk membahas mengenai kasus
kontroversial yang terjadi dalam Pasal 34 UU KUP
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan kami menulis

makalah

dan

mengangkat

Tema

mengenai

KASUSKONTROVERSIAL DALAM KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA


PERPAJAKAN ini adalah guna memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Perpajakan.
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memperluas wawasan kami dan
pembaca tentang masalah Manajemen Perpajakan. Selain itu supaya ada kesadaran
pada diri kami dan pembaca untuk lebih peka mengenai permasalahan-permasalah
yang terjadi mengenai perpajakan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan


Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah UU No. 6 tahun 1983, sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 9 tahun 1994, dengan UU No. 16 tahun 2000, terakhir dengan
UU No. 28 tahun 2007. Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dilandasi falsafah Pancasila dan UUD 1945. UU No. 28 tahun 2007 pada
dasarnya mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, wewenang dan kewajiban aparat
pemungut pajak, serta sanksi perpajakan.
Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia adalah self assesment, yaitu Wajib
Pajak diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri, menghitung pajak yang terutang,
menyetornya, serta melaporkan penghitungan dan penyetoran pajak tersebut, sedangkan
fungsi Direktorat Jenderal pajak adalah melakukan pengawasan atas sistem self
assesment tersebut agar Wajib Pajak melaksanakannya sesuai dengan ketentuan undangundang perpajakan. Penghitungan pajak yang terutang diatur dalam undang-undang
material perpajakan sebagaimana tersebut dalam UU PPh dan UU PPN. Sementara itu
pendaftaran, penyetoran, dan pelaporan pajak, serta wewenang Direktorat Jenderal
pajak diatur dalam undang-undang formal perpajakan sebagaimana tercantum dalam
UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP),
yang mengatur tentang hak dan kewajiban Wajib Pajak serta wewenang Direktorat
Jenderal Pajak, termasuk sanksi perpajakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi
kewajiban perpajakan

B. Pasal 34 UU KUP
Pasal 34 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
menyebutkan:
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan
atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli
yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
adalah:
1. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam
sidang pengadilan; atau
2. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk
memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi
Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang
keuangan negara.

(3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis
kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti

tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata,
atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara
Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan
Wajib Pajak yang ada padanya.
(5) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama
tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara
pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
C. Kasus Kontroversial Pasal 34 UU KUP
BPK mendapat mandat untuk melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan
Pemerintah, termasuk di dalamnya penerimaan pajak. Dalam pelaksanaannya, BPK
mengalami hambatan dalam memeriksa penerimaan pajak, sehingga hambatan
tersebut dilaporkan dalam laporan BPK kepada DPR. Wakil Ketua BPK secara
resmi mengusulkan perubahan Pasal 34 ayat (2a) RUU tersebut melalui surat yang
ditujukan kepada Ketua DPR. Namun usul BPK tersebut tidak memperoleh
tanggapan, Pasal tersebut bahkan lebih ketat dan arogan karena secara terangterangan membatasi kewenangan BPK dengan hanya membolehkan BPK
memperoleh informasi dan dokumen perpajakan yang bersifat umum yang tanpa
perlu masuk ke Kantor Pajak pun masyarakat umum dapat memperolehnya. Semua
hambatan yang yang dialami BPK sudah dimasukkan dalam laporan BPK yang
disampaikan kepada DPR pada 2005. Karena usulan BPK tidak mendapat
tanggapan, maka BPK perlu melakukan Judicial Review. Ada empat alasan pokok
pengajuan Judicial Review tersebut. Yaitu pertama, ketentuan Pasal 34 ayat (2a)

huruf b beserta Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU KUP tersebut telah merugikan
kewenangan konstitusional BPK. Kedua, agar BPK dapat memeriksa kinerja
administrasi pajak dan ikut mendorong perbaikannya guna meningkatkan
penerimaan negara. Ketiga, pemeriksaan pajak yang transparan oleh BPK akan
dapat meningkatkan transparansi pengelolaan dan pertanggungjawaban Penerimaan
Pajak oleh Pemerintah khususnya Departemen Keuangan dan Direktorat Jenderal
Pajak. Keempat, pemeriksaan pajak akan memungkinkan BPK memberikan opini
terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) (jadi tidak disclaimer)
untuk menghindari jatuhnya kredibilitas Pemerintah dan dapat memelihara
stabilitas politik nasional.
Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan pendirian BPK sebagai lembaga
negara yang bebas dan mandiri hanya untuk satu tujuan saja, yaitu untuk memeriksa
setiap sen uang yang dipungut oleh negara, dari mana pun sumbernya, di mana pun
disimpan, dan untuk apa pun dipergunakan. UU KUP juga bertolak belakang dengan
ketiga Paket UU Keuangan Negara serta UU tentang BPK. Dalam praktiknya, proses
pemberian izin ataupun penetapan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) untuk pejabat atau
tenaga ahli pajak yang dapat memberikan keterangan/informasi kepada BPK dalam
rangka pemeriksaan pajak tidak berjalan dengan baik.

BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan
1. Berdasarkan Pasal 34 UU KUP, BPK dilarang mengaudit data wajib pajak tanpa
seizin dari Menkeu. Akibat ketentuan ini, laporan keuangan pemerintah pusat selalu
mendapatkan opini disclaimer (tidak memberikan pendapat) dari BPK.

2. Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU KUP menyatakan bahwa pejabat atau tenaga ahli
pajak dapat memberikan keterangan kepada lembaga negara yang memiliki
kewenangan pemeriksaan keuangan negara harus ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. Ketentuan itu secara jelas telah melecehkan kewenangan konstitusional
BPK-RI. Karena pada Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan pendirian
BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri hanya untuk satu tujuan saja,
yaitu untuk memeriksa setiap sen uang yang dipungut oleh negara, dari mana pun
sumbernya, di mana pun disimpan, dan untuk apa pun dipergunakan.

Anda mungkin juga menyukai