Anda di halaman 1dari 11

RANGKUMAN

FILSAFAT PENDIDIKAN BARAT DAN ALIRANNYA


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu : Ibu Sri Susilaningsih

Disusun oleh :
Mulya Citra Devi

1401411125

Nailis Saadah

1401411132

Muhammad Yusuf Bahtiar

1401411201

Rini Susanti

1401411218
Rombel 6

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013

FILSAFAT PENDIDIKAN BARAT DAN ALIRANNYA

Filsafat pendidikan merupakan hasil pikir manusia tentang realitas, pengetahuan, dan
nilai, khususnya yang berkaitan dengan praktik pelaksanaan pendidikan. Dalam filsafat
terdapat berbagai madzhab, aliran-aliran, seperti materialisasi, idealisme, realisasi,
pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat,
sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan
temukan berbagai aliran. Di antaranya esensialisme, progressivisme, perenialisme, dan
rekontruksionisme, serta eksistensialisme. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai
aliran-aliran filsafat tersebut.
1. Aliran Progressivisme
Aliran progressivisme disebut juga dengan nama yang berbeda-beda seperti aliran
naturalisme

dan

eksperimentalisme,

instrumentalisme,

environmentalisme,

dan

pragmatisme. Progressivisme disebut sebagai naturalisme mempunyai pandangan bahwa


kenyataan yang sebenarnya adalah alam semseta ini. Progressivisme identi dengan
eksperimentalisme, yang berarti aliran ini menyadari dan mempraktikan eksperimen
adalah alat untuk menguji kebenaran suatu teori dan ilmu pengetahuan. Disebut juga
sebagai instrumentalisme karena aliran ini menganggap bahwa potensi intelegensi
manusia sebagai kekuatan utama untuk menghadapi dan memecahkan probem kehidupan
manusia. Dengan sebutan lain yakni environmentalisme, karena aliran ini menganggap
lingkungan hidup sebagai medan berjuang menghadapi tantangan dalam hidup.
Sedangkan disebut sebagai aliran pragmatisme karena aliran ini dianggap sebagai
pelaksana pendidikan agar lebih maju dari sebelumnya.
Progressivisme menganggap pendidikan sebagai cultural transition. Ini berarti
bahwa pendidikan dianggap mampu merubah dalam arti membina kebudayaan baru yang
dapat menyelamatkan manusia bagi hari depan yang makin kompleks dan menantang.
Karena pendidikan adalah lembaga yang mampu membina manusia untuk menyesuaikan
diri dengan perubahan-perubahan cultural dan tantangan-tantangan zaman, demi survivenya manusia.
A. Ciri-ciri Utama Aliran Progressivisme
Progressivisme mempunyai ciri utama, yakni mempercayai manusia sebagai subyek
yang memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya yang
multi kompleks dengan skill dan kekuatan sendiri. Pendidikan dianggap mampu
mengubah dan menyelamatkan manusia demi masa depan. Namun, aliran ini kurang

menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoritas dan absolut dalam segala
bentuk.
Aliran Progressivisme ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal. The
Liberal road to culture yang dimaksudkan dengan ini adalah pandangan hidup yang
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: fleksibel (tidak kaku, tidak menolak
perubahan, tidak terikat oleh sesuatu doktrin tertentu), carious (ingin mengetahui,
ingin menyelidiki) tolerant dan open minded (mempunyai hati terbuka).
B. Progressivisme dan Perkembangannya
Meskipun Progresivisme dianggap sebagai aliran pikiran yang baru muncul
dengan jelas pada pertengahan abad ke-19, akan tetapi garis perkembangannya dapat
ditarik jauh kebelakang sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya Hiraclitus (544
484 SM), Socrates (469 399 SM), Protagoras (480 410 SM), dan Aristoteles.
Mereka pernah mengemukakan pendapat yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur
yang ikut menyebabkan sikap jiwa yang disebut pragmatisme-Progresivisme.
Heraclitus mengemukakan bahwa sifat yang utama dari realita ialah perubahan.
Tidak ada sesuatu yang tetap didunia ini, semuanya berubah-ubah, kecuali asa
perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epsitemologi dan aksiologi.
Ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat
dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman
bagi manusia untuk melakukan kebajikan. Ia percaya bahwa manusia sanggup
melakukan baik. Protagoras mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai
tidak bersifat mutlak, melainkan relatif, yaitu bergantung pada waktu dan tempat.
Sedangkan Aristoteles menyarankan moderasi dan kompromi (jalan tengah bukan
jalan ekstrim) dalam kehidupan.
Kemudian sejak abad ke-16, Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant, dan
Hegel dapat disebut sebagai penyumbang pikiran-pikiran munculnya aliran
Progresivisme.

Francis

Bacon

memberikan

sumbangan

dengaan

usahanya

memperbaiki dan memperhalus metode ilmiah dalam pengetahuan alam. Locke


dengan ajarannya tentang kebebasan politik. Rousseau dengan keyakinannya bahwa
kebaikan berada didalam manusia karena kodrat yang baik dari para manusia. Kant
memuliakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian manusia, memberi
martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan bahwa alam dan
masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan bergerak, dalam
proses

perubahan

dan

penyesuaian

yang

tak

ada

hentinya.

Dalam abad ke- 19 dan ke-20, tokoh-tokoh Progresivisme banyak terdapat di

Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada
Progresivisme karena kepercayaan mereka pada demokrasi dan penolakan terhadap
sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan teori
tentang pikiran dan hal berfikir pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila
pikiran itu bekerja yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berfikir
adalah membiasakan manusia untuk berbuat . perasaan dan gerak jasmaniah adalah
manifestasi dari aktifitas manusia dan keduanya itu tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan berfikir.
C. Prinsip Prinsip Pendidikan Menurut Aliran Progresivisme
Prinsip prinsip pendidikan yang didasarkan pada aliran progresivisme antara lain :
1

Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup. Kehidupan
yang baik adalah kehidupan yang intelegen yaitu kehidupan yang mencakup
interpretasi dan rekonstruksi pengalaman. Tidak ada tujuan pendidikan umum
atau akhir pendidikan. Pendidikan adalah pertumbuhan untuk menghasilkan
pertumbuhan berikutnya.

Pendidikan harus berhubungan secara langsung dengan minat anak yang


dijadikan sebagai dasar motivasi belajar, sekolah menjadi child centered dimana
proses belajar ditentukan terutama oleh anak.

Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi preseden pemberian subjek


materi. Jadi belajar harus dapat memecahkan masalah yang penting dan
bermanfaat bagi kehidupan anak.

Peranan guru tidak langsung, melainkan memberikan petunjuk kepada peserta


didik. Peserta didik hendaknya diberi kebebasan merencanakan perkembangan
diri mereka, dan pendidik hendaknya membimbing kegiatan mereka

Sekolah

harus

memberikan

semangat

untuk

bekerja

sama,

bukan

mengembangkan persaingan. Progresif berpandangan bahwa kasih sayang dan


persaudaraan lebih berharga bagi kehidupan dari pada persaingan dan usaha
pribadi.
6

Kehidupan yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi


pertumbuhan. Demokrasi, pertumbuhan, dan pendidikan saling berhubungan.
Untuk mengajar demokrasi, sekolah itu sendiri harus demokratis.

Para pendidik aliran ini sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya
dalam lima hal: 1. guru yang otoriter, 2. terlampau mengandalkan metode berbasis

buku teks, 3. pembelajaran pasif dengan mengingat fakta, 4. filsafat empat tembok,
yakni terisolasinya pendidikan dari kehidupan nyata, dan 5. penggunaan rasa takut
atau hukuman badan sebagai alat untuk menanamkan disiplin pada siswa.
2. Aliran Essensialisme
Esensialisme muncul pada zaman renaissans, dengan ciri-ciri utamanya yang
berbeda dengan progressivisme. Perbedaan ini terutama dalam memberikan dasar
berpijak mengenai pendidikan yang penuh fleksibilitas, dimana serba terbuka untuk
perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Bagi esensialisme,
pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah goyah dan kurang terarah.
Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai
yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang
jelas.
Esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealisme dan realisme,
sehingga aliran ini nampak lebih mantap dan kaya dengan ide-ide dibanding jika hanya
mengambil dari salah satu aliran atau posisi sepihak saja. Atau pertemuan antara bersifat
elektrik, yakni keduanya sebagai pendukung namun tidak melebur diri menjadi satu, atau
tidak melepaskan identitas atau ciri masing-masing aliran.
Menurut aliran ini education as cultural conservation, pendidikan sebagai
pemelihara kebudayaan. Karena dalil ini maka aliran esensialisme dianggap para ahli
sebagai conservative roat to culture yakni aliran ini ingin kembali kepada kebudayaan
lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya dalam kehidupan
manusia.
Esensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang mereka
wariskan kepada kita hingga sekarang, telah teruji oleh segala zaman, kondisi dan
sejarah. Kebudayaan demikian, ialah essensia yang mampu pula mengemban hari kini
dan masa depan manusia.
A. Ciri-ciri Utama Aliran Essensialisme
Aliran essensialisme memandang bahwa pendidikan bertumpu pada dasar pandangan
fleksibilitas dalam segala bentuk menjadi sumber timbulnya pandangan yang
berubah, mudah goyah, kurang terarah, dan tidak menentu serta kurang stabil. Karena
itu, pendidikan harus pmempunyai dasar pijakan di atas nilai yang dapat
mendatangkan kestabilan, telah teruji oleh waktu, tahan lama, dan nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan terseleksi.
B. Pola Dasar Pendidikan Essensialisme

Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap


hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah dan materialistik. Selain itu
juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealisme dan
realisme. Tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran aliran esensialisme
diantaranya sebagai berikut:
1) Desiderius Erasmus, merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup
yang berpijak pada dunia lain, Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat
internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
2) Johann Amos Comenius, berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan
membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada hakekatnya dunia
adalah dinamis dan bertujuan.
3) John Locke, berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan
situasi dan kondisi. Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
4) Johann Henrich Pestalozzi. Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat
alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat
kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia mempunyai keyakinan bahwa
manusia juga mempunyai hubungan transedental langsung dengan Tuhan.
5) William T. Harris, tugas pendidikan baginya adalah mengizinkan terbukanya
realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual.
Kedudukan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang
telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.
C. Prinsip-prinsip Pendidikan Essensialisme
1) Belajar pada dasarnya melibatkan kerja keras dan kadang-kadang dapat
menimbulkan keseganan dan menekankan pentingnya prinsip disiplin.
2) Inisiatif dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik (guru) bukan pada
anak.
3) Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari subyek materi yang telah
ditentukan.
4) Sekolah harus mempertahankan metode-metode tradisional yang bertautan
dengan disiplin mental.
5) Tujuan akhir dari pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum,
karena dianggap merupakan tuntutan demokrasi yang nyata
3. Aliran Perenialisme
Perennial merupakan asal kata perenialisme yang berarti abadi atau kekal. Secara
maknawi aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada
nilai-nilai dan norma yang bersifat kekal dan abadi.
Aliran perenialisme dianggap sebagai regressive road to culture yakni jalan kembali,
mundur kepada kebudayaan masa lampau. Perenialisme menghadapi kenyataan dalam

kebudayaan manusia sekarang, sebagai satu krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia
modern. Untuk menghadapi situasi krisis itu, perenialisme memberikan pemecahan
dengan jalan kembali kepada kebudayaan masa lampau. Sikap ini bukanlah nostalgia
(rindu hal-hal yang sudah lampau saja) tetapi telah berdasarkan keyakinan.
A. Ciri-ciri Utama Aliran Perenialisme
Aliran ini memandang keadaan sekarang sebagai zaman yang sedang ditimpa krisis
kebudayaan kerana kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Untuk mengatasi
gangguan kebudayaan diperlukan usaha untuk menemukan dan mengamankan
lingkungan sosiokultural, intelektual, dan moral.
B. Prinsip-prinsip Pendidikan Perenialisme
Plato menguraikan ilmu pengetahuan dan nilai sebagai manifestasi dan hukum
universal yang abadi dan ideal. Sehingga, ketertiban sosial hanya akan mungkin bila
ide itu menjadi tolok ukur yang memiliki asas normatif tersebut dalam semua aspek
kehidupan.
Manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan akal. Program
pendidikan yang ideal adalah berorientasi pada ketiga potensi itu agar kebutuhan
dapat terpenuhi. Dengan demikian, peranan guru terutama mengajar dalam arti
memberi bantuan pada anak untuk berpikir jelas dan mampu mengembangkan
potensi yang ada pada diri anak.
4. Aliran Rekontruksionisme
Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern.
Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perenialisme bahwa ada
kebutuhan anak mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman
modern sekarang (hendak menyatakan krisis kebudayaan modern), yang sekarang
mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan. Tetapi aliran rekonstruksionisme
tidak sependapat dengan cara dan jalan pemecahan yang ditempuh filsafat perenialisme.
Aliran perenialisme memilih jalan kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan.
Sementara itu aliran rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsensus yang paling
luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan
semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata hidup manusia dalam
suatu tatanan baru seluruh lingkungannya, maka melalui lembaga dan proses pendidikan.
Rekonstruksionisme ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang sama sekali baru.
A. Pandangan rekonstruksionisme dan penerapannya di bidang pendidikan

Aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia
yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasasi
oleh golongan tertentu. sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi
mesti menjadi kenyataan sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensipotensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan
kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,
keturuanan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan
masyarakat baru secara keseluruhan, dan kesukuan (rasialisme). Masyarakat yang
menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar merupakan
tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan
rekonstruksi sosial dari pada pendidikan hanya mempertahankan status qua dengan
ketidaksamaan-ketidaksamaan dan masalah-masalah yang terpendam di dalamnya.
B. Teori Pendidikan Rekonstruksionisme
1) Pendidikan harus di laksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan
tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras
dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat
modern.
2) Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati dimana sumber
dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
3) Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan
sosial.
4) Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensi dirinnya dengan cara
bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis
5) Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan
untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya
dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial yang
mendorong kita untuk menemukan nilali-nilai dimana manusia percaya atau tidak
bahwa nilai-nilai itu bersifat universal.
6) meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai,
struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.
5. Aliran Eksistensialisme
A. Sejarah dan Pengertian Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger
(1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya
berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938).
Munculnya

eksistensialisme

berawal

dari

ahli

filsafat

Kieggard

dan

Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab


pertanyaan Bagaimanakah aku menjadi seorang individu). Hal ini terjadi karena
pada

saat

itu

terjadi

krisis

eksistensial (manusia

melupakan

individualitasnya). Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia


(aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan
komitmen pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan
filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimana caranya menjadi manusia
unggul. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi
dan pengalaman manusia dengan metedologi fenomenologi, atau cara manusia berada.
Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat
materialisme bahwa manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia
adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut
idealisme adalah manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran.
Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan
eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang
kongkrit.
Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks bearti keluar, sintesi berarti berdiri.
Jadi ektensi berarti berdiri sebagai diri sendiri.
B. Eksistensialisme dalam Pendidikan
Menurut penjelasan di atas eksistensialisme adalah paham yang berkaitan tentang
individu atau diri pribadi seseorang, untuk eksis/bisa menjadi seorang manusia.
Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang
menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard
(1813 1915), Nietzsche (1811 1900) dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah
respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi.
Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap
individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek.
Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will)
dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam
terhadap komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator
untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai

bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari
nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk
manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan
itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih
siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan
ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu
merupakan alat untuk memungkinkan siswa berfilsafat ihwal makna dari
pengalaman hidup, cinta dan kematian.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar
reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua.
Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat
yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan
hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham
Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri,
sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: filsafat
yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu
penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah.
Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian aliran
ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah
yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta
spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang
tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan
hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut
aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan
untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya

tentang pendidikan,

Morris dalam Existentialism

and

disimpulkan

Education, bahwa

oleh Van
Eksistensialisme

Cleve
tidak

menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu
Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang
ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan
oleh Morris sebagai Eksistensialismes concept of freedom in education, menurut

Bruce

F.

Baker,

tidak

memberikan

kejelasan.

Barangkali Ivan

Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli
pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran
Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.

Daftar Pustaka
Burhanudin Salam, Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu Mrndidik), Rineka Cipta,
Jakarta, 1997.
Djumransjah. 2004. Filsafat Pendidikan.Malang: Bayumedia Publishing
Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2003
Syadzali, Ahmad, dkk, 1997. Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai