Disusun oleh :
Mulya Citra Devi
1401411125
Nailis Saadah
1401411132
1401411201
Rini Susanti
1401411218
Rombel 6
Filsafat pendidikan merupakan hasil pikir manusia tentang realitas, pengetahuan, dan
nilai, khususnya yang berkaitan dengan praktik pelaksanaan pendidikan. Dalam filsafat
terdapat berbagai madzhab, aliran-aliran, seperti materialisasi, idealisme, realisasi,
pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat,
sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan
temukan berbagai aliran. Di antaranya esensialisme, progressivisme, perenialisme, dan
rekontruksionisme, serta eksistensialisme. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai
aliran-aliran filsafat tersebut.
1. Aliran Progressivisme
Aliran progressivisme disebut juga dengan nama yang berbeda-beda seperti aliran
naturalisme
dan
eksperimentalisme,
instrumentalisme,
environmentalisme,
dan
menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoritas dan absolut dalam segala
bentuk.
Aliran Progressivisme ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal. The
Liberal road to culture yang dimaksudkan dengan ini adalah pandangan hidup yang
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: fleksibel (tidak kaku, tidak menolak
perubahan, tidak terikat oleh sesuatu doktrin tertentu), carious (ingin mengetahui,
ingin menyelidiki) tolerant dan open minded (mempunyai hati terbuka).
B. Progressivisme dan Perkembangannya
Meskipun Progresivisme dianggap sebagai aliran pikiran yang baru muncul
dengan jelas pada pertengahan abad ke-19, akan tetapi garis perkembangannya dapat
ditarik jauh kebelakang sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya Hiraclitus (544
484 SM), Socrates (469 399 SM), Protagoras (480 410 SM), dan Aristoteles.
Mereka pernah mengemukakan pendapat yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur
yang ikut menyebabkan sikap jiwa yang disebut pragmatisme-Progresivisme.
Heraclitus mengemukakan bahwa sifat yang utama dari realita ialah perubahan.
Tidak ada sesuatu yang tetap didunia ini, semuanya berubah-ubah, kecuali asa
perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epsitemologi dan aksiologi.
Ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat
dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman
bagi manusia untuk melakukan kebajikan. Ia percaya bahwa manusia sanggup
melakukan baik. Protagoras mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai
tidak bersifat mutlak, melainkan relatif, yaitu bergantung pada waktu dan tempat.
Sedangkan Aristoteles menyarankan moderasi dan kompromi (jalan tengah bukan
jalan ekstrim) dalam kehidupan.
Kemudian sejak abad ke-16, Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant, dan
Hegel dapat disebut sebagai penyumbang pikiran-pikiran munculnya aliran
Progresivisme.
Francis
Bacon
memberikan
sumbangan
dengaan
usahanya
perubahan
dan
penyesuaian
yang
tak
ada
hentinya.
Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada
Progresivisme karena kepercayaan mereka pada demokrasi dan penolakan terhadap
sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan teori
tentang pikiran dan hal berfikir pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila
pikiran itu bekerja yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berfikir
adalah membiasakan manusia untuk berbuat . perasaan dan gerak jasmaniah adalah
manifestasi dari aktifitas manusia dan keduanya itu tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan berfikir.
C. Prinsip Prinsip Pendidikan Menurut Aliran Progresivisme
Prinsip prinsip pendidikan yang didasarkan pada aliran progresivisme antara lain :
1
Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup. Kehidupan
yang baik adalah kehidupan yang intelegen yaitu kehidupan yang mencakup
interpretasi dan rekonstruksi pengalaman. Tidak ada tujuan pendidikan umum
atau akhir pendidikan. Pendidikan adalah pertumbuhan untuk menghasilkan
pertumbuhan berikutnya.
Sekolah
harus
memberikan
semangat
untuk
bekerja
sama,
bukan
Para pendidik aliran ini sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya
dalam lima hal: 1. guru yang otoriter, 2. terlampau mengandalkan metode berbasis
buku teks, 3. pembelajaran pasif dengan mengingat fakta, 4. filsafat empat tembok,
yakni terisolasinya pendidikan dari kehidupan nyata, dan 5. penggunaan rasa takut
atau hukuman badan sebagai alat untuk menanamkan disiplin pada siswa.
2. Aliran Essensialisme
Esensialisme muncul pada zaman renaissans, dengan ciri-ciri utamanya yang
berbeda dengan progressivisme. Perbedaan ini terutama dalam memberikan dasar
berpijak mengenai pendidikan yang penuh fleksibilitas, dimana serba terbuka untuk
perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Bagi esensialisme,
pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah goyah dan kurang terarah.
Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai
yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang
jelas.
Esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealisme dan realisme,
sehingga aliran ini nampak lebih mantap dan kaya dengan ide-ide dibanding jika hanya
mengambil dari salah satu aliran atau posisi sepihak saja. Atau pertemuan antara bersifat
elektrik, yakni keduanya sebagai pendukung namun tidak melebur diri menjadi satu, atau
tidak melepaskan identitas atau ciri masing-masing aliran.
Menurut aliran ini education as cultural conservation, pendidikan sebagai
pemelihara kebudayaan. Karena dalil ini maka aliran esensialisme dianggap para ahli
sebagai conservative roat to culture yakni aliran ini ingin kembali kepada kebudayaan
lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya dalam kehidupan
manusia.
Esensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang mereka
wariskan kepada kita hingga sekarang, telah teruji oleh segala zaman, kondisi dan
sejarah. Kebudayaan demikian, ialah essensia yang mampu pula mengemban hari kini
dan masa depan manusia.
A. Ciri-ciri Utama Aliran Essensialisme
Aliran essensialisme memandang bahwa pendidikan bertumpu pada dasar pandangan
fleksibilitas dalam segala bentuk menjadi sumber timbulnya pandangan yang
berubah, mudah goyah, kurang terarah, dan tidak menentu serta kurang stabil. Karena
itu, pendidikan harus pmempunyai dasar pijakan di atas nilai yang dapat
mendatangkan kestabilan, telah teruji oleh waktu, tahan lama, dan nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan terseleksi.
B. Pola Dasar Pendidikan Essensialisme
kebudayaan manusia sekarang, sebagai satu krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia
modern. Untuk menghadapi situasi krisis itu, perenialisme memberikan pemecahan
dengan jalan kembali kepada kebudayaan masa lampau. Sikap ini bukanlah nostalgia
(rindu hal-hal yang sudah lampau saja) tetapi telah berdasarkan keyakinan.
A. Ciri-ciri Utama Aliran Perenialisme
Aliran ini memandang keadaan sekarang sebagai zaman yang sedang ditimpa krisis
kebudayaan kerana kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Untuk mengatasi
gangguan kebudayaan diperlukan usaha untuk menemukan dan mengamankan
lingkungan sosiokultural, intelektual, dan moral.
B. Prinsip-prinsip Pendidikan Perenialisme
Plato menguraikan ilmu pengetahuan dan nilai sebagai manifestasi dan hukum
universal yang abadi dan ideal. Sehingga, ketertiban sosial hanya akan mungkin bila
ide itu menjadi tolok ukur yang memiliki asas normatif tersebut dalam semua aspek
kehidupan.
Manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan akal. Program
pendidikan yang ideal adalah berorientasi pada ketiga potensi itu agar kebutuhan
dapat terpenuhi. Dengan demikian, peranan guru terutama mengajar dalam arti
memberi bantuan pada anak untuk berpikir jelas dan mampu mengembangkan
potensi yang ada pada diri anak.
4. Aliran Rekontruksionisme
Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern.
Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perenialisme bahwa ada
kebutuhan anak mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman
modern sekarang (hendak menyatakan krisis kebudayaan modern), yang sekarang
mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan. Tetapi aliran rekonstruksionisme
tidak sependapat dengan cara dan jalan pemecahan yang ditempuh filsafat perenialisme.
Aliran perenialisme memilih jalan kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan.
Sementara itu aliran rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsensus yang paling
luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan
semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata hidup manusia dalam
suatu tatanan baru seluruh lingkungannya, maka melalui lembaga dan proses pendidikan.
Rekonstruksionisme ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang sama sekali baru.
A. Pandangan rekonstruksionisme dan penerapannya di bidang pendidikan
Aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia
yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasasi
oleh golongan tertentu. sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi
mesti menjadi kenyataan sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensipotensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan
kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,
keturuanan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan
masyarakat baru secara keseluruhan, dan kesukuan (rasialisme). Masyarakat yang
menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar merupakan
tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan
rekonstruksi sosial dari pada pendidikan hanya mempertahankan status qua dengan
ketidaksamaan-ketidaksamaan dan masalah-masalah yang terpendam di dalamnya.
B. Teori Pendidikan Rekonstruksionisme
1) Pendidikan harus di laksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan
tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras
dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat
modern.
2) Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati dimana sumber
dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
3) Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan
sosial.
4) Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensi dirinnya dengan cara
bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis
5) Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan
untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya
dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial yang
mendorong kita untuk menemukan nilali-nilai dimana manusia percaya atau tidak
bahwa nilai-nilai itu bersifat universal.
6) meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai,
struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.
5. Aliran Eksistensialisme
A. Sejarah dan Pengertian Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger
(1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya
berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938).
Munculnya
eksistensialisme
berawal
dari
ahli
filsafat
Kieggard
dan
saat
itu
terjadi
krisis
eksistensial (manusia
melupakan
bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari
nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk
manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan
itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih
siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan
ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu
merupakan alat untuk memungkinkan siswa berfilsafat ihwal makna dari
pengalaman hidup, cinta dan kematian.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar
reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua.
Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat
yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan
hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham
Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri,
sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: filsafat
yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu
penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah.
Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian aliran
ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah
yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta
spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang
tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan
hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut
aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan
untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya
tentang pendidikan,
and
disimpulkan
Education, bahwa
oleh Van
Eksistensialisme
Cleve
tidak
menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu
Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang
ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan
oleh Morris sebagai Eksistensialismes concept of freedom in education, menurut
Bruce
F.
Baker,
tidak
memberikan
kejelasan.
Barangkali Ivan
Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli
pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran
Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.
Daftar Pustaka
Burhanudin Salam, Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu Mrndidik), Rineka Cipta,
Jakarta, 1997.
Djumransjah. 2004. Filsafat Pendidikan.Malang: Bayumedia Publishing
Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2003
Syadzali, Ahmad, dkk, 1997. Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia.