Anda di halaman 1dari 17

Tidak adanya sistem orientasi murid baru yang macam-macam seperti di kota besar mungkin satu-satunya hal

yang dapat disyukuri di sma ini. Orientasi berlangsung hanya sampai tengah hari pertama. Namun entah di
mana ia berada sekarang, nama-nama tempatnya begitu asing. Perlu berganti pesawat dua kali, kemudian
kapal, dan terakhir kereta kuda untuk mencapai tempat ini. Remuk letih masih tersisa membebani punggung
dan kelopak mata. Sementara itu, seakan tak peduli pada terik yang menyiksa, kepala sekolah tak kunjung
menghentikan pidato penutupannya. Tak kuat lagi, Gea melangkah keluar dari barisan di lapangan. Terhuyung
tersandung mencoba mencapai ruang UKS.
Ia tidak ingat membuka pintu. Namun sekarang sudah berada di dalam ruangan. Mungkin karena pening
dan lelah otaknya jadi agak kacau. Maka ia coba singkirkan angan-angan macam-macam. Duduk di kursi
empuk, bersandar, memicingkan mata. Kesilauan. Ada sembilan lampu. Sepertinya terlalu banyak untuk satu
ruangan. Tapi tetap saja ada kelam yang seperti menenggelamkan. Membelenggu, membebani mata kaki.
Bayangan hitam menjulang tinggi besar di pojokan. Merayap perlahan. Napasnya terdengar sangat
keras. Ketika ia mengeluarkan suara, getarannya mengejutkan punggung dan menggelitik jantung.
Kamu letih?
Setelah mengedipkan mata tiga kali, sosok yang ia lihat tadi kini tampak terlihat lebih jelas.
TI. TIYA, jawab Gea dengan agak tercekik. Kedua tangannya tertangkup pada mulut. Kepalanya
tertunduk. Mencoba menyembunyikan rona hangat pada pipi. Dari balik rambut yang tergerai, ia melirik tanpa
berkedip. Mencoba merekam setiap detil sosok pria di hadapannya. Alis tebal tajam menyertai tatapan agak
sayu tapi kuat. Rahang dan tulang pipi yang berani. Sosok yang tinggi, bersih, dan bugar berbalut kemeja dan
celana panjang formal sederhana. Imajinasi Gea langsung liar membayangkan bagaimana jika pria itu
mengenakan pakaian-pakaian lain seperti jaket kulit, sweater, jas hitam, dan juga bagaimana jika pria itu
mengendarai motor atau mobil sport dengan mengenakan kacamata hitam, bagaimana jika pria itu
menggendong bayi dengan kedua tangannya yang kekar namun berperangai lembut, dan seterusnya sampai
kemudian pintu ruangan terbanting terbuka.
Sesaat Gea merinding.
Seorang siswi masuk.Dia bukan anak baru. Ovi namanya. Sudah kelas tiga. Tapi Gea cukup tahu
tentangnya dari mencuri dengar obrolan-obrolan para siswa. Mereka bilang banyak siswa yang tergila-gila pada
Ovi. Bahkan seorang guru olahraga yang sudah berkeluarga pernah mengungkapkan ketertarikannya di depan
umum.
Gea belum pernah mengamati Ovi sedekat dan selekat ini. Apa yang membuat Ovi begitu spesial? Tidak
ada! Menurut Gea, Ovi ini berpenampilan keterlaluan sederhana, bahkan cenderung lusuh dan tidak rapi.

Rambutnya pendek, kusam, dan bercabang. Kacamatanya retak dan menguning. Tubuhnya pendek dan bulu
kakinya tidak dicukur.
Tapi.
Danu. Siapa dia?
Suara Ovi merambat di udara dan menari di gendang telinganya. Badai cemburu dan iri yang tersimpul
dalam kepasrahan mengamuk memuai dalam diri Gea. Suara yang seharusnya sinis dan membangkitkan
sikap antipati, justru terdengar sangat merdu. Gea terpikat. Terjerat. Ia benci hal ini. Kenapa suara-suara dua
manusia yang baru saja ia temui ini bisa begitu luar biasa membekas indah dalam dirinya?
Gea. Nama saya Gea. Anak baru Kak. Tadi enggak kuat kepanasan. Jadi ke sini.
Ovi membanting pintu hingga tertutup. Ia menggelengkan kepala. Menggigit bibir. Menatap Danu. Lalu
mengeluh merdu.
Lagi? Ini bahaya. Jadwal buka tutup Tirai semakin kacau.
Gea mengernyit. Berkedip-kedip. Bola matanya bergerak-gerak memutar mengamati sudut-sudut ruang.
Tingkat penerangan berkurang sedikit. Atau tidak? Gea tidak yakin. Kekelaman yang seakan menggelayuti
kakinya tiba-tiba terasa semakin lengket. Ia membungkuk untuk meraba mengamati kakinya yang terlihat masih
normal dan bersih. Ada apa gerangan?
Danu menyentuh dagunya. Alisnya terangkat sebelah. Pupilnya mengecil. Sembari memiringkan leher ke
kiri, ia berbicara, Berdayakan saja. Aku yak
Beberapa lampu pecah. Gea jatuh tersungkur. Kepalanya berdarah terbentur kaki sebuah meja. Dindingdinding retak dan jebol. Semua itu terjadi setelah terdengar sebuah dentuman yang bercampur raungan
melengking. Kekelaman pekat memaksa masuk pada lubang hidung, mulut, mata, telinga, pori-pori, luka, dan
lainnya. Sesak. Iamerasa tenggelam.
Melalui pandangan yang mulai kabur, Gea sempat melihat melalui pintu yang terbuka dan gorden-gorden
yang tersibak rusak. Merah. Segalanya yang ada di luar itu bernuansa merah pedih, berhias bercak-bercak
hitam melayang-layang acak.
Hanya sampai situ saja yang dapat diingat Gea. Sekembalinya ia ke rumah lalu melanjutkan hari-harinya
di SMA, ia hanya dapat bertanya-tanya tanpa pernah menemukan jawabannya.

***

Salah satu dampak sering pindah sekolah adalah membuat Gea mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.
Tak butuh waktu lama baginya untuk merangkul telapak-telapak tangan yang ramah untuk tertawa bersama.
Mereka bepergian, belajar, bergunjing, dan bertukar duka. Hal itu cukup menyibukkan Gea sehingga ia dapat
mengubur pertanyaannya sementara.
Salah satu dampak lain dari sering pindah sekolah adalah membuat Gea merasa perlu untuk selalu
membangun jarak. Ketika sudah merasa terlalu dekat, ia akan mengambil langkah menjauhi teman-temannya.
Ini dilakukan demi mempersiapkan diri akan rasa sakit perpisahan yang suatu saat dapat datang bersama
dengan surat keputusan mutasi ayahnya. Pada saat-saat menjaga jarak inilah pertanyaan itu mulai terpikir
kembali.
Waktu itu ia sudah naik kelas dua masuk jurusan IPA. Gea mencabut masa jaga jaraknya dan menemui
kembali teman-temannya untuk bertanya kepada mereka tentang Ovi dan Danu.
Tidak ada yang mengaku pernah mengetahui Ovi sama sekali. Bahkan para siswa lain yang dahulu
bergunjing tentang Ovi juga mengaku tidak pernah tahu. Guru, satpam, staf kebersihan, semua menggeleng.
Seakan seluruh keberadaan Ovi dicabut dari dunia. Sewaktu Gea masuk, Ovi sudah kelas tiga, sekarang saat
Gea kelas dua, berarti Ovi sudah lulus. Lalu, apakah berarti setelah lulus keberadaannya hilang? Atau ini
korelasi kebetulan belaka?
Danu berhasil ia lacak. Rupanya pria itu adalah pegawai honorer di bagian tata usaha. Gea sering
berupaya mencoba menemuinya, namun Danu selalu tidak ada di tempat. Gea hendak terus mencoba namun
ia malu karena takut menimbulkan isu-isu tidak baik. Seorang siswi mengejar-ngejar pegawai tata usaha?
Kenapa waktu itu pegawai tata usaha berada di UKS? Apa waktu itu ia sedang sakit? Tapi apakah benar
waktu itu ruang UKS? Satu hal yang sangat jelas-jelas ganjil adalah perbedaan jumlah lampu. Waktu itu ada
sembilan. Namun sekarang setiap kali ia ke ruang UKS, hanya ada satu. Petugas medis yang menjaga ruang
itu sampai hafal dengan Gea yang sering pura-pura mengeluh sakit kepala supaya diberi izin istirahat di
sanademi menanti sesuatu yang tak lazim kembali terjadi. Ke mana raungan melengking itu? Di mana
kekelaman yang memaku kaki? Apa yang terjadi pada Ovi? Bagaimana Danu selalu dapat berhasil menghindar
dari Gea?
Bersama dengan gerutu pintu kayu, dua siswa kelas satu masuk ke dalam ruang UKS. Waktu itu Gea
sedang sangat mengantuk dan nyaris tertidur, jadi ia tidak begitu jelas memperhatikan entah apa urusan

mereka. Obrolan dua siswa itupun hanya terdengar samar-samar. Ketika mereka telah pergi beberapa menit,
Gea baru menyadari sesuatu. Untuk memastikannya, ia segera bangkit bertanya ke petugas medis.
Mbak, apa tadi mereka tanya tentang jumlah lampu?
Sebelum sempat menerima jawaban, Gea terus beranjak terburu-buru meninggalkan ruang UKS. Murid
berlalu-lalang menghalangi pandangannya karena ini jam istirahat. Setelah mengusir sepasang murid yang
sedang pacaran,ia lalu berdiri naik ke atas kursi. Ia berhasil melacak mereka di antara kepala-kepala yang
berseliweran, namun keduanya baru saja berbelok masuk ke dalam kamar mandi cowok.

Gea sempat ragu sejenak. Meremas-remas jemarinya sendiri sembari menginjak-injak kursi. Ia tidak tahu
bahwa kepala sekolah sedang memperhatikannya dari jauh. Ketika akhirnya Gea melompat melesat menuju
kamar mandi cowok, kepala sekolah menepuk kening dan bergeleng-geleng.
Tepat sebelum masuk ke dalam kamar mandi cowok itu, Gea sempat mendengar suara yang tidak asing
menyusup ke dalam benaknya.
Gea! Jangan! Hentikan langkahmu! Berbaliklah segera.
Itu adalah suara salah satu teman dekatnya, Nina. Layaknya sebuah panggilan telepon, Gea mencoba
menyambut suatu posisi abstrak dalam benaknya untuk membalas Nina.
What the hell Nin! Ini apa? Kok bisa? Kamu bisa telepati?
Pokoknya dengarkan aku Ge, balik. Cepat. Kamu, dan kalian yang belum terjebak, masih punya hidup
yang cukup menyenangkan dan patut disyukuri. Urungkan niatmu untuk masuk ke sana. Pertanyaanmu tidak
akan pernah terjawab. Bahkan justru akan terus bertambah berlipat ganda dan disertai keresahan, ketakutan,
kegilaan, dan segala yang sebaiknya kamu hindari.
Heh! Bicara apa? Jangan-jangan kamu tahu sesuatu soal Kak Ovi dan Mas Danu? Kenapa enggak
bilang dari dulu.
Awas Ge! Mas Danu datang. LARI.
Kepercayaan Gea ternodai setelah tahu Nina selama ini menyembunyikan sesuatu. Tapi mau tidak mau
segala yang diberitahukannya barusan membuat Gea bimbang akan keputusan apa yang harus diambil. Nina
berbicara seolah Danu adalah suatu ancaman. Namun cara Nina menyebut Danu dengan panggilan Mas juga

menunjukkan suatu rasa hormat. Membingungkan. Sekarang, apa yang harus Gea perbuat? Masuk ke kamar
mandi menyusul dua siswa tadi? Menemui Danu yang selama ini susah ia temui? Atau lari?
Tapi bagaimanapun, Nina tetap temannya. Ia turuti peringatannya.
Sayangnya ia sudah terlambat.
Sesak.
Baru beberapa meter, lari Gea melambat. Dunia seakan bergerak menjadi lebih cepat. Rasanya seperti
setiap detik yang ia lalui sudah dilalui selama beberapa detik oleh orang lain. Gea mencoba berkomunikasi
dengan Nina, namun yang ia dengar hanyalah suara-suara seperti suatu rekaman yang di-fastforward.
Paniknya semakin menjadi ketika kepala Gea tersentak ke belakang sehingga ia jatuh telentang. Sesuatu
menjambak rambutnya. Menyeret tubuhnya ke suatu tempat.
Gea memejamkan mata dan menangis.

***

Dengan jambakan rambut yang kasar, Danu memaksa Gea bangun berdiri.
Perhatikan baik-baik. Ini ruangan apa?
Danu terdengar begitu kasar dan marah. Gea melangkah mundur. Punggungnya menyentuh pojokkan
dinding dingin yang kotor. Dari balik sisa-sisa air mata ia melihat deretan bilik-bilik tempat buang air kecil untuk
pria.
Ini ... toilet cowok?
Ya dan tidak. Perhatikan ini. Tiba-tiba suara Danu melembut.
Danu mengangkat kedua tangan kekarnya. Jemarinya meremas mengepal. Kemudian penerangan
meredup. Lampu satu-satu mati. Semakin gelap ruangan, semakin dapat dengan samar Gea menyaksikan
bercak-bercak merah yang meliuk ganjil tersebar di seluruh ruangan. Ketika seluruh lampu mati, dapat terlihat
jelas dua bercak merah yang menyerupai bentuk manusia, tergeletak di tengah ruangan. Kemudian Danu
menatap Gea dengan ekspresi sedih seakan sedang memohon maaf.

Mereka tidak seberuntung kamu. Dua bocah itu. Meskipun tidak ada serangan. Tidak ada kebocoran
juga. Tapi mereka gagal bertahan, dan ini sesungguhnya adalah hal yang wajar. Tirai kacau lagi.
Kenapa mereka mati?
Gergasi Merah mencoba membuat mereka menjadi merah, namun mereka terlalu lemah. Kini mereka
musnah. Segala kenyataan dan ingatan tentang mereka akan hilang dari dunia ini. Tapi kita akan tetap dapat
mengingat mereka. Karena kita telah menyaksikan warna mereka.
Gea tak mampu menyerap seluruh informasi ini dengan kondisinya yang masih takut, terkejut, dan cukup
kacau. Otaknya menyingkirkan unsur Gergasi, dan fokus pada apa-apa yang mungkin lebih mudah ia mengerti.
Warna apa maksudnya?
Warna. Hanya warna. Maaf. Aku tidak tahu sesungguhnya. Pemahamanku hanya sebatas dari
menyimpulkan hubungan-hubungan pola yang terlihat kasat mata. Kulitnya saja. Aku tidak tahu warna itu apa
maksudnya. Apakah itu semacam akumulasi identitas sewaktu hidup? Apakah itu radiasi jiwa? Apakah itu
hanya cerminan mata dari yang melihat? Coba beritahu aku, apa kau melihat merah juga?
Ya Mas. Merah.
Bagus, ujar Danu sembari menjentikkan jari. Semua lampu menyala. Bercak merah kembali tak terlihat.
Tapi kegelapan tidak begitu saja menyingkir. Cahaya lampu seakan perlu bersusah payah untuk mendorong
kekelaman menjauh sampai mereka hanya menjadi sebatas bayangan.
Danu melangkah mendekati Gea yang terpojok. Ia meraih pergelangan tangan Gea. Berlutut. Lalu
mengecup jari manisnya. Dengan mata berkaca-kaca, Danu membuka mulut membiarkan suara kasarnya
beraksi memanjakan gendang telinga Gea.
Maukah kamu memberikan aku pertolongan menghadapi dunia ini?
Apa Gea benar-benar punya pilihan untuk menolak? Ini adalah pria yang barusan menjambak dan
menyeretnya. Kemungkinan ia berbuat lebih keji lagi nanti tidaklah kecil. Namun ada siraman menjijikkan dari
dalam dirinya yang mencoba melunakkan keengganannya sendiri saat tatapannya terkunci dengan Danu. Tak
mampu bernapas!
Dalam keadaan bimbang itulah sesuatu yang membuat Gea terbelalak tanpa dapat berpikir apa-apa
terjadi.

Dari punggung tangan Gea, muncul sebuah kepala. Kepala itu menggigit bibir Danu hingga sobek dan
bergelayutan menjijikkan. Danu terlonjak-lonjak menjerit-jerit dengan darah berkucuran.
Danu bajingan. Warnamu hitam. Bukan merah. Bangsat! Seru kepala itu sebelum menengok
memperlihatkan wajahnya, Jangan takut Gea. Itu wajah Ovi. Tapi. Posisi mata, hidung, telinga, mulut, dan
rambutnya agak berantakan.
Aku bersamamu. Kita sama-sama merah. Juga beberapa rekan merah yang dulu ada sebelum mereka
celaka karena diperdaya olehnya. Akupun juga nyaris celaka waktu itu. Untung ada kamu. Aku jadi tidak
musnah. Kegelapan yang hendak memusnahkanku terserapmu Gea. Lalu warnaku juga. Jadilah kamu merah.
Bukan seperti itu! Geram Danu. Wajahnya kini terselimuti bercak hitam yang bergulung-gulung
berpusar-pusar menjilat-jilat. Kemudian ia melanjutkan dengan suara lemah lembut seperti masih berusaha
membuat Gea untuk luluh, Ovi salah paham saja. Aku ini tak berdosa. Para Warna Liarlah yang mencelakai
para merah. Maaf jika aku memang ternyata bukan merah. Aku menyusup kelompok warnamu karena aku
tidak kuat sendirian dalam hitam sementara yang lain berkelompok-kelompok.
Tapi kamu hitam. Kamu gegabah. Kamu nekat. Kamu tak terkendali. Dan kamu yang membawa Warna
Liar ke sisi merah waktu itu.
Pernahkah kamu melukis dengan crayon sewaktu kecil? Kamu menumpuk warna-warna hingga
akhirnya menjadi hitam. Pernahkah kamu bermain lilin sewaktu kecil? Bongkah-bongkah warna-warninya kamu
campur-campur sampai menjadi hitam! Tahukah kamu bahwa cat merah dilihat dalam cahaya biru akan terlihat
hitam?
Apa maksudmu aku sudah tidak peduli lagi. Yang aku peduli adalah kematian rekan-rekan merahku.
Bersama mereka saja aku hampir menyerah. Lalu bagaimana aku bisa mengarungi sisa kegilaan ini tanpa
mereka?
Terserah kalau tidak percaya, Gea dapat mendengar nada ketakutan dalam jawaban Danu.
Ovi menjerit. Lampu memancarkan cahaya merah. Awalnya ke segala arah. Namun kemudian menjadi
fokus yang memburu Danu. Seperti tombak dari neraka.
Kamu akan menyesali ini Vi. Kamu termakan emosimu dan tidak dapat berpikir jernih. Kita bisa
mencapai sesuatu jika bekerja sama.
Danu dengan lihai menghindar melarikan diri ke luar ruangan. Ovi bersumpah serapah. Lalu setelah
tenang, ia menoleh menatap Gea. Gea tidak kuat menatap kengerian wajah itu sehingga ia menutup mata.

Danu salah. Bukan hitam. Ehm, tentang crayon dan lilin itu. Sesungguhnya lebih ke warna cokelat
lumpur gelap. Tapi bukan hitam. Danu salah.
Ovi terus mengucapkan Danu salah berulang-ulang bersamaan dengan proses melebur dirinya ke dalam
Gea.
Terduduk. Terlelap sekejap. Bangun. Suasana toilet kotor, namun nampak normal. Tak ada kekelaman. Tak ada
lampu berlebih. Namun di hadapannya ada seorang siswa yang tampak kebingungan.
Gea? Gea? Gea? Di sini toilet cowok!

***

Ia jadi mulai paham mengapa dilarang ada kegiatan ekstrakurikuler sama sekali di sekolah, bahkan pada sabtu
minggu. Juga tentang mengapa jadwal sekolah ini aneh, masuknya jam 5 pagi pulangnya jam 12 siang.
Padahal temannya yang bersekolah di ibukota masuk jam 7 pagi pulang jam 3 sore. Semuanya karena yang
Nina sebut sebagai Tirai.
Jadi pihak sekolah tahu tentang Tirai itu? Kepala sekolah tahu? Dinas pendidikan tahu?
Mulut manusia berkicauan. Ada candaan kasar khas anak sekolahan terlempar ke sana ke sini. Ada
senyum-senyum malu dan ada cengar-cengir memalukan. Ada lirikan syarat hasrat ingin memiliki dan ada
lirikan benci mengumpat mati. Para pelajar berjejer-jejer, bergugus-gugus, memainkan musik sendok garpu
piring dan kecap-kecap lidah di atas meja-meja kayu dan kursi-kursi plastik kusam, lengkap dengan tempelantempelan kotoran hidung dan permen karetnya. Di salah satu pojok kantin, pada meja dan kursi yang lumayan
bersih, Gea dan Nina berdiskusi serius sembari sesekali menenggak es teh manis.
Kami sudah coba menyelidiki, tapi semua bungkam. Namun ada satu hal yang menarik. Dari segala
macam orang yang terjerat Tirai, dari yang muda sampai yang tua, tak pernah ada guru di antara mereka.
Bisakah aku lepas dari Tirai setelah aku lulus? Bisakah aku pindah sekolah saja?
Sulit. Mas Danu itu alumni sekolah ini. Warna menghantuinya, hingga akhirnya ia tidak kuat. Ia
meninggalkan kuliahnya lalu memohon-mohon masuk kerja sebagai pegawai honorer di sini.

Nina, kamu temanku dari kelas satu dan kamu tahu aku tidak suka seni. Apalagi seni rupa. Gambar?
Cuih. Tapi belakangan ini tanganku selalu gatal ingin melukis, menghias, pada bentuk dan benda apapun,
dengan merah, dan menjadikan merah. Apa seperti ini maksudnya dengan warna yang menghantui?
Tepat sekali.
Tapi kenapa hal ini terjadi? Apa sebabnya?
Nina menghela napas. Teh manisnya sudah habis. Dengan sendok ia memasukkan sebongkah es batu
ke dalam mulut lalu mengunyahnya. Gea menanti jawaban Nina, tapi yang terdengar hanya gemeretak es batu.
Nina memejamkan mata dan mengernyitkan kening.
Sebuah suara kasar sekaligus lembut yang tidak asing lagi di telinga Gea tiba-tiba menyambar bak
halilintar.
Kenapa kamu hidup? Kenapa kamu dilahirkan sebagai manusia oleh manusia juga? Kenapa bukannya
jadi kucing? Atau anjing? Kamu mau jika nanti keturunanmu bukan manusia?
Gea dan Nina terbelalak saat sadar bahwa Danu yang mengucapkannya. Ia duduk di meja sebelah
dengan semangkuk bubur ayam dan segelas es jeruk. Tanpa perlu mengiriminya telepati, Gea sudah paham
dengan gerak mata Nina yang mengajak untuk segera pergi. Nina sudah berdiri, namun Gea terpaku. Bagian
belakang kepalanya berdenyut, mengingat rasa sakit saat dijambak sampai jatuh terjengkang. Namun dadanya
juga berdesir hangat, bagai disihir oleh getaran suara Danu, dan diperdaya oleh berbagai imajinasi Gea
sendiri. Mengapa ia begitu tertarik atas apa-apa yang mungkin sangat berbahaya baginya?
Nina menarik tangan Gea. Ia kini setengah berdiri. Matanya berkedip-kedip gelisah berhiaskan bimbang.
Matanya tertuju pada bibir Danu yang sudah kembali seperti semula. Gea menunjuknya dengan jari sambil
bertanya, Sudah sembuh Mas? Pertanyaan itu dijawab dengan seringai dan pelototan tidak waras yang justru
membuat Gea semakin terpesona enggan pergi. Tapi tarikkan tangan Nina juga semakin kuat sehingga Gea
akhirnya meninggalkan kantin dengan berat hati.
Mungkin ia tahu jawabnya?
Tidak Gea. Tidak ada yang tahu apa-apa tentang tirai.
Tapi kamu tahu banyak. Mungkin ada yang tahu lebih banyak. Kenapa menutup kemungkinan?
Sebagian besar yang kubilang, Nina tertawa kering, hanyalah sesuatu yang diberitahu orang lain Ge.
Aku dari tadi berpikir, mungkin sebaiknya kamu kuajak menemui dia sekarang juga. Tapi dia tidak di sini.

Jangan bilang dia di balik Tirai.


Nina mengangguk, Dia berada di sana untuk memantau buka tutup Tirai, dan juga mengawasi Gergasi
Warna, gadis itu menyentuh pelipisnya, mengedipkan satu mata kepada Gea, Sebentar Ge, sudah
tersambung.
Nina berdiam diri kira-kira selama lima menit. Terdapat perubahan ekspresi. Kecemasan mendera.
Setelah usai, Nina, menatap Gea dan mendesah, Ini masih jam 9 pagi dan jadwal Tirai kacau lagi. Akan ada
banyak siswa-siswa yang terjerat. Sesuai ikrar persaudaraan Biruku, aku harus berbuat sesuatu untuk
mencoba mengurangi sebanyak-banyaknya pihak yang terlibat jerat Tirai.
Aku akan coba bantu. Tapi sebelumnya tolong jawab dulu beberapa pertanyaanku lagi ya.
Bisa nanti saja Ge? Aku rasatidak ada banyak waktu untukku.
Sekarang, atau akan kutanyakan pada Danu.
Oke. Silakan.
Aku menangkap sebuah pola kecil. Suara keduanya, Ovi, Merah, dan Danu, Hitam yang bisa
menyamar jadi merah, sama-sama memiliki daya tarik mengerikan. Kamu, Nina, Biru, telepati. Apa ini memang
terkait warna? Apa ini semacam konsekuensi dari jerat Tirai? Apa hanya ada merah dan biru dan hitam.
Berdasarkan dari apa-apa yang diberitahu kepadaku, anugerah merah adalah suara yang meluluhkan,
bahkan melumpuhkan. Biru dapat berkomunikasi langsung melalui benak. Satu warna lagi, Hijau, sulit dilacak,
sulit diketahui, anugerah mereka adalah membuat orang lain menjauhi mereka, melupakan mereka, membenci
mereka. Aku bahkan tidak pernah mengidentifikasi satupun secara langsung di sini, hanya pernah melihat jejak
warna mereka di balik Tirai. Sementara Hitam. Tidak ada, tidak tahu, selama sejarah Tirai, baru ada Danu.
Hitam yang selama ini ada hanyalah hitam ketidaksengajaan ulah para Warna Liar. Entah.
Karena aku merah, apa suaraku terdengar indah di telingamu?
Sangat. Jika kamu memperhatikan, dari dulu aku dan teman-teman yang lain sebenarnya lebih sering
memancingmu bercerita, lalu kami akan diam menikmati surga.
Gea tersipu. Menutup hidungnya dengan punggung tangan. Senyumnya melengkung sampai terbentuk
kerut di samping mata.
Benarkah? Kenapa aku tidak menyadarinya ya? Sebenarnya masih banyak yang ingin kutanya, namun
sementara cukup. Apa ada yang bisa kubantu?

Nilai larimu sewaktu pelajaran olahraga dulu dapat 9 kan Ge?


Bukan 9. Tapi 10. Rekor tercepat berturut-turut lho. Jangan lupa!
Bagus. Sekarang kamu lari secepatnya naik ke lantai tiga. Nanti akan kuinstruksikan dari sini sisanya.
Aku dan biru yang lain akan mengurus lantai-lantai di bawah lantaimu.
Siap!
Setelah Gea berlari meninggalkan Nina. Nina mengirim pesan kepada seseorang yang berada di balik
Tirai.

Ia sudah menuju tempat yang ditentukan. Bersiaplah untuk merobek Tirai. Tidak akan ada lagi merah. Ia
akan pudar jadi violet. Lalu tenggelam terkubur biru.

***

Lantai tiga. Cukup ramai. Siswa-siswi berjejer melihat-lihat ke bawah sambil bercengkrama; tentang sifat-sifat
guru, tentang pekerjaan rumah yang belum dikerjakan, tentang remedial, tentang siapa suka siapa. Padahal
ada peraturan dilarang membawa makanan ke lantai atas, namun plastik-plastik berisi gorengan terlihat angkuh
di tangan mereka. Seorang siswa gemuk berkacamata menyapa Gea yang terlihat ngos-ngosan, Olahraga
Ge?Gea hendak membalas sapaan siswa bernama Aldi itu namun Nina tiba-tiba menghubunginya.
Sudah sampai di atas?
Sudah
Berdiamlah sebentar dan saksikan
Seluruh siswa di lantai itu menggigil bersamaan. Penglihatan pada mata Gea mulai bernuansa biru.
Ada rasa muak menyeruak. Gea mengambil satu langkah mundur. Lalu tiga langkah maju. Kakinya gatal ingin
bergerak. Jiwanya tergerak untuk melawan segala biru. Ia ingin sekali menyiram segalanya menjadi merah.
Mengepalkan tangan terlalu kuat, sehingga kuku-kuku menyobek telapak tangan. Darah. Merah.
Apa ini?

Mereka yang tidak berpotensi terjerat tirai akan segera berusaha segera turun menjauhi tempat ini.
Kamu harus cari siapa-siapa yang justru terlihat semakin penasaran. Warnanya akan bergolak. Kamu pasti
tahu. Raih tangannya, lalu seret ia turun.
Melangkah gemetaran menembus arus siswa yang berbondong-bondong mencoba meninggalkan
lantai tiga. Menatap bias-bias cahaya mencurigakan di sudut-sudut mata. Menghadapi rasa mual dan gejolak
hasrat. Gea mengayunkan langkahnya pelan, ia menggunakan tangan kanannya untuk bertumpu pada dinding.
Sekaligus menodai dinding tersebut dengan darahnya.
Dari balik desak-desakan siswa, Gea melihat sosok Aldi. Siswa itu berhiaskan warna biru laut kehijauan
yang membumbung bagai asap keluar dari lubang telinganya; ia berlari menembus pintu ruang OSIS tanpa
perlu membuka dan menutup pintu sama sekali. Melihat kejadian itu Gea segera teringat peristiwa saat ia
pertama masuk ruang UKS dulu. Seperti mendapat sebuah suntikan energi, Gea melonjak menerjang
desakkan siswa dengan tanpa ampun sehingga banyak yang berjatuhan tersingkir. Gea sendiri tak sadar
bahwa ia meninggalkan jejak bernuansa merah.
Gea pernah beberapa kali masuk ke ruang OSIS karena memiliki teman-teman anggota OSIS
--termasuk Nina--. Namun ruangan ini sungguh berbeda. Bahkan bisa dibilang ini nyaris tidak mungkin lagi
dapat disebut sebagai ruangan yang ada di sekolah. Langit-langitnya sedalam biru genangan laut. Lantainya
selembut biru muda awan. Terdapat beberapa obyek mirip bulan yang bergerak melayang-layang memantulkan
cahaya kebiruan. Sesekali bermacam-macam ikan melompat ke bawah menerjang dari laut di atas lalu kembali
tercebur ke atas. Ceburannya meneteskan air yang mungkin seharusnya bening, namun terlihat sangat biru,
yang jatuh menciptakan lubang-lubang pada awan di bawah. Pada suatu sudut, muncul goresan-goresan
cahaya; sebuah pintu terbuka.
Aldi melongokkan kepalanya dari pintu. Wajahnya penuh keringat. Ia seperti hendak berteriak tapi
kesulitan membuka mulut. Ketika akhirnya terbuka, sesosok tangan warna-warni keluar dari lubang mulut Aldi.
Kuku pada telunjuk dan jari tengah menikam mata, kuku pada jempol dan kelingking menancap pada telinga.
Lalu adi meledak menjadi gumpalan warna-warni. Kemudian bermacam-macam goresan cahaya yang menjadi
pintu bermunculan di sekeliling ruangan. Terbuka, puluhan makhluk mengerikan warna-warni menerjang
masuk, mengepung menyerbu.
Warna Liar! Seru kepala Ovi seraya muncul dari leher Gea.
Sekujur tubuhnya menegang. Gemetaran. Berlumur merah. Berselimut merah. Tertelan merah. Ia merelakan
Ovi menguasainya, lalu memperhatikan dengan kesadaran yang samar-samar nyaris menghilang.
Tangan Gea terasa patah, sangat lemas, tapi bergerak, tergiling, tergerus, lalu merah-merah bergulunggulung bagai puyuh dan ombak bersatu berputar mengoyak laut, awan, dan bulan-bulan. Kantuk semakin

menjadi, namun begitu juga dengan aksi-aksi yang terjadi; kaki-kaki merah panjangnya melecut-lecut berputar,
makhluk-makhluk warna-warni tercincang terpental; berlompatan ke segala arah, menghabisi makhluk-makhluk
tersebut satu persatu, memenggal, membelah dua, menelan ke dalam merah, menembak, meledakkan.
Tinggal dua Warna Liar lagi yang tersisa, namun Gea sudah tidak kuat lagi dan akhirnya jatuh tertidur; saatsaat terakhir yang ia saksikan adalah ketika tubuhnya mengejar, menerjang suatu pintu ke luar.

***

Seharusnya sangat berisik. Hal yang pertama disaksikan Gea ketika ia terbangun adalah pertempuran besarbesaran di bawah sana. Warna-warna bercipratan bercampur aduk saling timpa menjadi warna-warna baru.
Dari atas sini, ia seperti sedang menyaksikan sebuah proses melukis abstrak. Gelombang-gelombang garisgaris biru bergerak-gerak gemulai harmonis bagai ombak, bertemu dengan ledakan pusaran-pusaran pelangi
yang mengepung dari segala arah.
Saat hendak berdiri, barulah Gea sadar bahwa dirinya terkurung dalam sebuah bola cairan kental yang
sangat biru. Ia mencoba berbicara namun yang keluar hanyalah gelembung-gelembung udara yang tak
berdaya.
Gea terlonjak kaget begitu sadar bahwa bola biru tempatnya terkurung berada di ujung sebuah tanduk.
Tanduk dari makhluk raksasa yang berbentuk mirip ikan paus biru berduri, yang diorbit oleh ratusan bulanbulan benderang.
Itu adalah Gergasi Biru
Suara akrab Nina terdengar bergema dalam benaknya. Gea menoleh. Merangkul leher temannya yang
melongok ke dalam bola itu. Ia terlihat gagah berbalut lapisan bercak-bercak biru yang tebal dan menyalanyala.
Maaf aku telat mencegah Aldi terjerat tirai.
Tidak. Aku. Maksudku. Kami yang seharusnya meminta maaf. Sepertinya karma menimpa kami. Segala
rencana berantakan. Warna Liar muncul tanpa henti. Kami bisa habis di sini. Tapi mungkin itu bisa disebut
sebagai akhir yang pasti. Cepat atau lambat. Sungguh tidak ada jawaban.
Mungkin aku, maksudku Ovi bisa membantu. Sekali lagi maaf soal Aldi.

Ovi telah tiada. Ia merah terakhir. Kehilangan Aldi adalah sesuatu yang benar-benar di luar perhitungan.
Lalu Gea sadar, bahwa Nina menjebak dirinya untuk menumpas Ovi. Ada kemungkinan juga bahwa
Aldi hanya menjadi umpan demi rencana ini. Ada sebuah rasa benci yang hendak meledak, namun ia berhasil
meredamnya untuk sementara.
Di luar perhitungan? Jadi Aldi hanyalah umpan? Merah terakhir? Tapi Ovi bilang bahwa aku merah
seperti dia.
Aldi memang umpan. Tapi ia bukan sekadar umpan. Ia anggota kami. Ia yang mengajukan diri. Kami
percaya pada kemampuannya. Tapi Warna Liar yang terhasut benaknya datang terlalu banyak. Sementara itu
Ge, kamu bukan merah. Yang tersisa hanya biru dan hijau. Juga mungkin hitamnya Danu. Coba tengok ke
sebelah sana. Lihat bintang laut raksasa bersayap itu. Itu dahulu adalah Gergasi Merah. Setelah seluruh
merah musnah, ia kini hanya segunung sampah nyaris transparan. Sementara di sebelah sana. Lihat laba-laba
raksasabercangkang itu? Gergasi Hijau. Masih sangat sehat dan bugar.
Apa gerangan yang sedang terjadi? Sejauh yang Gea pahami, ada tiga warna utama, merah, biru,
hijau. Biru memiliki pemahaman dan jaringan yang sepertinya paling teratur, bahkan berhasil menghapus
merah. Sementara itu ada hijau dan hitam yang misterius. Namun intinya, warna-warna ini berupaya untuk
saling menguasai satu sama lain.
Lalu apa warnaku? Mengapa kalian bertikai seperti ini? Mengapa tidak bekerja sama, mungkin akan jadi
suatu rangkaian warna yang indah sehingga dunia di balik tirai ini jadi bermanfaat?
Aku sebenarnya tidak boleh memberitahu ini, tapi ya, karena ada kemungkinan segalanya akan hancur
sebentar lagi, aku pikir kamu pantas tahu. Jadi, sebenarnya kami pikir kamu memang merah juga, tapi ternyata
tidak. Konflik ini tidak bisa dihindari, dunia ini hanya pantas diisi berbagai biru, warna lain itu menjijikkan,
bukankah kamu juga sudah mengalami dihantui warna? Entah apalah warnamu, tapi kami pikir mungkin kamu
akan berguna suatu saat, jadi sementara kami akan mengamankanmu di sini. Hah. Hah. Mengamankan
sepertinya bukan pilihan kata yang cocok ya dengan situasi saat ini?
Seusai mengirimkan pesan benak tersebut, sebuah cakar berwarna ungu berlapis kuning, oranye, dan
cokelat mengoyak menghancurkan tubuh Nina. Sisa kepalanya yang masih melongok dalam bola biru itu kini
perlahan melayang jatuh ke kaki Gea. Ia segera memungut kepala itu, memeluknya, dan menangis sekuatkuatnya. Warna Liar telah mengerubungi Gergasi Biru, lalu mengepung dan mencoba menghancurkan bola
birunya.
Gea!
Hah? Nina? Kamu masih hidup?

Ya. Luar biasa. Aku berada di dalam dirimu. Oh, jadi ini yang terjadi pada Ovi?
Aku tidak tahu apapun soal bagaimana dan mengapa.
Kamu biru Gea. Ya. Aku melihatmu dari dalam dan yang aku lihat adalah biru.
Tapi Ovi bilang aku merah. Sepertinya orang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Mereka ingin
orang menjadi sama seperti mereka.
Tapi kamu memang biru. Sangat biru. Biru yang terbaik. Terkuat. Tercemerlang. Oh aku ingin berada di
sini selamanya.
Nina! Tolong!
Bola biru pecah. Namun Gea di dalam sudah siap. Dirinya dilindungi berlapis-lapis macam-macam
warna biru. Lalu dengan sedikit hempasan, pisau-pisau biru memancar bercabang mencabik menodai warnawarna pada para Warna Liar.
Gergasi Biru yang sedari tadi diam kini tiba-tiba menggeram. Dari lubang udara di punggungnya keluar
bunyi nyaring. Bulan-bulan yang mengorbitnya meledak lalu berubah menjadi bintang-bintang biru. Para Warna
Liar lari ketakutan. Gea yang diselimuti biru dengan mudah melompat-lompat memenggal mereka satu per satu
dari belakang, lalu menelan mereka ke dalam biru.
Ada apa dengan paus raksasa bertanduk ini?
Ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Nina! Nina! Nina!
Apa?
Tolong!
Kenapa?
Aku tenggelam!
Ah! Gea! Gea! Gea!
Nina!

Aku juga tenggelam!


Sudah muak dengan warna biru dan berbagai variasinya. Namun apa boleh buat. Gea tenggelam di
dalamnya. Tertelan. Melebur jadi satu dengan Gergasi Biru. Hubungan benak dengan temannya terputus. Ia
sendiri dalam kebiruan yang tanpa ampun.
Banyak suara terdengar dari berbagai arah. Mereka menggemakan kata-kata yang sama. Bevariasi cara
bicaranya. Ada yang berbisik. Ada yang merintih. Juga menjerit. Ada yang lancar, lantang, lambat, terbata-bata,
bahkan gagap. Namun semuanya sama-sama terdengar terpaksa. Sebuah keenganan yang padu. Padu dalam
siksa.
KAMU ADALAH KUAS.
KAMU AKAN MENJADI JAWABAN.
PADA BENAK PENASARAN YANG TAK PERNAH PUAS.
PADA WARNA YANG TERSESAT DALAM RASA KEHILANGAN.
Di antara gemuruh berbagai suara itu, Gea dapat merasakan tusukan tajam getaran Danu.
Apakah benar tidak ada jawaban sama sekali? Apakah setiap makhluk berlomba-lomba mewarnai dunia
dengan warnanya supaya mereka merasa menang, merasa aman, merasa tak lagi perlu adanya jawaban?
Apakah sedikit harapan, sedikit janji kejayaan, sedikit goda serunya kehidupan dapat membuat manusia terus
bernapas sampai akhir?
Aku tidak paham.
Kita tidak perlu paham.
Kita hanya perlu berpura-pura?
Jawaban bagus. Sekarang coba jawab yang ini. Apa warnamu?
Pink. Aku ingin jadi pink. Aku ingin menjadi pink yang digulung perak, emas, dan bertabur kuning!
Gea mendengar Danu tertawa. Kemudian ia turut terbahak. Sementara itu, sesuatu terjadi pada
Gergasi Biru yang kini tengah bertempur melawan Gergasi Hijau. Warna paus berduri bertanduk itu perlahan
berubah menjadi apa-apa yang dikhayalkan Gea. Kemudian terurai hancur bagai kaleng cat tumpah. Di antara

tumpahan warna itu, terdapatlah Gea dan Danu yang masih belum puas mengumbar tawa. Padahal Gergasi
Hijau bisa setiap saat melindas mereka berdua dengan kaki laba-laba penuh durinya.
Jadi, apa sebenarnya yang terjadi Mas?
Senang-senang. Jangan percaya.
Gila!
Terima kasih. Jangan percaya.
Bagaimana dengan laba-laba itu?
Kuserahkan padamu. Jangan percaya.
Aku tidak percaya.
Bagus.
Danu kemudian meledak menjadi bercak-bercak hitam. Mengejar memburu Gea. Gea memanjat duriduri kaki Gergasi Hijau. Jejak-jejak bekas panjatannya berubah warna menjadi pink. Pink yang kemudian
meleleh beterbangan menghadang bercak hitam Danu. Keseimbangan Gergasi Hijau itu jadi agak goyah,
sehingga terjadi guncangan. Kemudian terdengar seruan-seruan marah dari atas. Terdapat banyak anak-anak
sma yang jarang Gea lihat di sekolah kini sedang berlompatan, masing-masing menghunuskan tombak-tombak
dari bercak hijau.
Satu bercak hitam lolos dari hadangan warna pink. Bercak itu mewujud kepala Danu di hadapan Gea.
Gea menamparnya. Keduanya terkikik geli. Lalu bertukar cium.

Oleh Sasmito Yudha Husada / Chwilyswr / Smith61

Anda mungkin juga menyukai