Sistem pemberian obat transdermal cenderung untuk mendukung lalu lintas bahan obat dari permukaan kulit melalui bermacam-macam lapisan ke dalam sirkulasi sistemik. Ada dua tipe dasar pada sistem penyampaian obat secara transdermal; (1) yang dapat mengatur laju obat untuk diberikan pada kulit, dan (2) yang dapat memungkinkan kulit untuk mengatur absorpsi obat. Tipe kedua ini berguna untuk obat-obat yang daya cakupan konsentrasi plasmanya luas terhadap efektivitas obat ini, tapi tidak menjadi racun (Ansel,1989). Absorpsi perkutan obat dari sediaan topikal merupakan perjalanan melalui kulit yang meliputi disolusi obat dalam pembawanya, difusi obat terlarut dari pembawa ke permukaan kulit dan penetrasi obat melalui stratum korneum (Martin et al., 1993). Secara umum mekanisme transpor obat dari bentuk sediaan terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pelepasan obat dari pembawa dan tahap kedua adalah penetrasi melalui barier. Proses transpor terutama terjadi karena adanya gradien konsentrasi (Martin et al., 1993). Proses tranpor obat melalui barier didasari oleh hukum Fick 1, yaitu jumlah molekul senyawa yang melewati setiap unit barier dalam setiap satuan waktu, yang dinyatakan sebagai flux (J) (Martin et al., 1993). J=dM / S.dt dengan, J adalah fluks yaitu jumlah massa zat (M) yang berdifusi melalui satuan unit luas bidang difusi (A) persatuan waktu (t), dan besarnya fluks ini sebanding dengan konsentrasi gradien, dengan persamaan J= -D (dC/Dx) dengan D = koefisien difusi, C = konsentrasi dan x = jarak gerakan tegak lurus dari permukaan batas tersebut. Tanda negatif pada persamaan (2) menunjukkan difusi berjalan dengan arah berlawanan dengan naiknya konsentrasi, berarti difusi berjalan seiring dengan menurunnya konsentrasi (Martin et al., 1993)