Islam, Kekerasan Dan Kedamaian
Islam, Kekerasan Dan Kedamaian
perdamaian. Realitas seperti ini bisa kita lihat dalam sejarah, hampir
setiap negara yang penduduknya mayoritas muslim tidak luput
yang namanya konflik. Misalnya konflik Sahabat Ali bin Abi Thalib
dengan Aisyah pada era Khulafa al-Rasyidin (Philip K. Hitti: 2010,
222). Di Pakistan yang terjadi pada tahun 1953 yang menelan
banyak korban, baik harta maupun nyawa manusia (Djohan Effendy:
2011, 130). Dalam konteks Indonesia, lebih banyak lagi, diantaranya
penyerbuan aliran Ahmadiyah, tindakan yang dilakukan oleh Front
Pembela Islam (FPI) yang sering melakukan aksi-aksi penertiban
terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap maksiat dan sebagainya.
Dari sekian banyak konflik sosial yang berlatar belakang
agama, tidak lain disebabkan oleh perbedaan pemahaman terhadap
memahami agama. Bagi golongan Islam garis menghendaki adanya
perdamaian dengan jalan aksi penertiban. Tak ayal apabila dalam
setiap aksinya terdapat kerusuhan mau kekerasan. Ironis lagi ketika
dalam melakukan gerakan protes disertai dengan radikal dan
anarkis, ditopang oleh cara pandang keagamaan yang skripturalistik
(Hasani, ed.; 2010, 25). Sehingga dalam kondisi yang demikian
seakan agama menyerukan untuk melakukan tindakan radikal.
Berbagai pergolakan dalam kancah agama Islam, para pemikir
golongan lupa akan kenyataan yang oleh Emert Gellner sebagai
kenyataan oposisi binner (Ernest Gellner: 1994, 11). Kenyataan ini
pun berakibat di antara umat Islam sendiri, mereka terjebak dalam
perdebatan. Bahkan tidak jarang dalam konteks praksisnya,
perdebatan tersebut menuju pada tindakan nyata dan saling
meneror, baik berupa tindakan fisik maupun non fisik.
Kekhalifahan dan Keretakan Islam
Sosok Nabi Muhammad adalah seseorang yang menawarkan
secercah harapan abadi tentang obat atas segala penyakit
kemanusiaan yang ada dan telah ada sejak masa hidupnya.
Mahatma Gandhi pernah berkomentar tentang Nabi Muhammad, di
Jurnal Young India, "Pernah saya bertanya-tanya siapakah tokoh
yang paling mempengaruhi manusia? Saya lebih dari yakin bahwa
bukan pedanglah yang memberikan kebesaran pada Islam pada
masanya. Tapi ia datang dari kesederhanaan, kebersahajaan, kehatihatian Muhammad, serta pengabdian luar biasa kepada teman dan
pengikutnya, tekadnya, keberaniannya, serta keyakinannya pada
Tuhan dan tugasnya.
Sehingga ketika Beliau wafat, maka semua umat Islam
khususnya mengalami kesedihan. Dalam kondisi seperti ini,
masyarakat madinah disibukkan memikirkan pengganti sebagai
pengayom seluruh masyarakat Madinah pada saat itu. Tidak adanya
mekanisme yang diwariskan oleh Nabi tentang kelanjutan
identitas anda yang juga perlu dan patut kita hargai, yang
bagaimanapun juga berbeda dengan kita.
Adapun identitas kita adalah sebuah perumusan dari pada
derivasi dari kepribadian seseorang terhadap masa depan
kehidupan kita bersama, yaitu kemakmuran bersama yang
didasarkan pada kepentingan bersama. Pandangan seperti ini
menyangkut konsep integrasi yang mencakup identitas ku dan
identitas anda dan juga mencakup nasib umat manusia, begitu
umat Islam.
Dalam konteks keberagaman ini, agama berperan penting
untuk memberikan sebuah spirit untuk menyatukan dalam
keberagaman yang kemudian menjadi sebuah perdamaian bersama
meskipun berbeda. Karena keberagaman atau multikulturalisme
merupakan sesuatu yang niscaya dan dikehendaki adanya oleh
Tuhan.
Namun pada persoalan keberagaman ini, bagi golongan
radikalisme sering sekali mengabaikan spirit perdamaian yang
dibawa oleh agama dan multikulturalisme yang menjadi
keniscayaan. Bagi golongan radikal, dengan bermodalkan cara tafsir
yang bersifat literal terhadap al-Quran dan hadits, kalangan
radikalisme secara tegas memposisikan cita-cita perjuangannya
untuk menggantikan total sistem yang dipandang gagal dengan
sebuah sistem kenegaraan dan kemasyarakatan, yang menurut
mereka lebih Islami. Bagi mereka, Islam tidak hanya agama yang
mengajarkan ritual dan kesalehan pribadi. Pada titik inilah yang
secara tidak sadar mereka tidak membedakan antara agama dan
kekuasaan politik. Mereka justru bertumpu pada upaya menyatukan
politik dengan agama (Ismail Hasani: 2010, 16). Penyatuan politik
dan agama inilah yang menjadikan agama dalam konteks ini
adalah agama Islam- yang seakan menjadi pemicu timbulnya
kekerasan.
Penyatuan agama dan politik inilah yang ditakutkan oleh
intelektual muslim Mesir, Mohammad Said al-Asynawi, dalam
bukunya Al-Islam As-Siyasi. Menurutnya menyatakan bahwa
mencampuradukkan agama dan politik seperti yang terlihat di masa
lalu hanya melahirkan kegagalan dan kemunduran Islam itu sendiri.
Bahkan
ia
mengkritik
terhadap
para
radikalisme
yang
mengatasnamakan syariat Islam untuk pembenaran aksi-aksinya
hanyalah penonjolan diri dan keangkuhan yang justru mendistorsi
Islam itu sendiri. Dengan berani ia mengatakan: Allah bermaksud
menjadikan Islam sebagai sebuah agama, tetapi orang-orang
memahaminya bermakna politik (Bisri Effendy: 2010, xxi). Bahkan
Djohan Effendy memposisikan agama hanyalah urusan keluarga
atau individu, bukan urusan publik dan sama sekali tidak perlu
diurus oleh negara. Agama sebagai inspirator sekaligus peneguh
bagi setiap pemeluknya untuk memikirkan dan memberlakukan
segala kegiatan hidup bermasyarakat atas dasar basic human rights
dan basic human needs (Djohan Effendy: 2011, xxi).
Karenanya umat beragama dan pemimpin agama dituntut
harus memiliki pengetahuan yang empiris tentang realitas
kehidupan masyarakat dan sebisa mungkin memahami makna
agama dan beragama dalam realitas. Agama perlu dijadikan dasar
untuk merumuskan dan memberlakukan praktik basic human rights
dan basic human needs yang senyata-nyatanya, tidak sebagai
dogma, doktrin atau simbol dan alat penguat yang berkaitan
dengan berbagai kepentingan sesaat dan karena itu mudah
disatukan dengan kekerasan.
Antara Kekerasan dan Perdamaian
Melihat fenomena agama yang seakan dijadikan sebagai
kendaraan dalam melaksanakan tindakan, maka kita teringat
dengan pernyataan Karl Marx agama itu cantu. Karl Marx
menyatakan demikian karena pada wal abad 19 kondisi agama
agama Kristen- sering dijadikan kendaraan politik, bahkan sebagai
alat kekuasaan untuk melakukan penindasan dan pembohongan
terhadap publik. Meskipun demikian, pada saat itu agama begitu
digandrungi tanpa alasan, walaupun efeknya secara sosial jelas
tampak buruk. Maka fenomena ketidaksadaran manusia yang
akibatkan oleh doktrin agama bagi Karl Marx disebut sebagai candu.
Hal ini memperlihatkan bahwa agama seperti pisau yang
tajam, tergantung siapa yang memegang tersebut. Pada hal ini juga,
Agama yang seharusnya memberikan ketenangan dan kedamaian
bagi umatnya, namun justru terkadang memperlihatkan wajah
bengisnya ketika ditopang kepentingan. Pandangan ini tidak jauh
berbeda dengan Jose Casanova. Ia pernah mengatakan bahwa
ambivalensi dalam penampakan agama pada ranah publik sebagai
bermuka dua. Di satu sisi terkadang agama menampilkan wajah
garang yang begitu bengis dan pada di sisi yang lain agama
menampakkan wajah anggun perdamaiannya.
Merujuk pada pandangan para tokoh di atas, pernyataannya
kemudian sesuatu yang kontradiktif seperti inikah yang ada dalam
agama Islam? Dalam satu kesempatan al-Quran menyebutkan
bahwa agama Islam rahmatan lil alamin, namun pada kesempatan
lain al-Quran juga menyebutkan tentang ayat jihad atau perang.
Memang dalam al-Quran menyebutkan tentang konsep jihad,
namun hal itu dilakukan secara temporal dan dilakukan oleh umat
untuk melawan musuh. Dalam konteks ini, perang dilakukan ketika
ketuhanan
dan
berbagai
kaitan-Nya. Kedua, teologi
Islam
kontemporer praktik. Disiplin ilmu ini, secara praktik membahas
ayat-ayat Tuhan dan sunnah-sunnah Rasul-Nya yang nilai doktrinnya
mengadvokasi
berbagai
ketimpangan
sosial.
Dari
teologi
kontemporer ini muncullah teologi lingkungan, teologi pembebasan
dan teologi sosial.
Teologi ini diciptakan untuk memberikan sebuah spirit bahwa
agama Islam itu menghendaki adanya sebuah perdamaian. Secara
normatif banyak sekali dalil-dalil dalam al-Quran dan Hadits yang
dijadikan landasan normatif. Selain itu, Nabi berjuang menciptakan
keamanan dan kedamaian bagi seluruh penduduk Madinah tanpa
melihat perbedaan suku, bangsa dan agama. Karena itulah Piagam
Madinah ini menjamin hak semua kelompok sosial dengan prinsip
kesetaraan dalam masalah kesejahteraan umum, sosial dan politik
(J. Suyuthi Pulungan: 1996, 32). Hal ini bisa kita lihat dalam
peristiwa besar ketika Nabi di Arafah pada haji wadha (haji
perpisahan), berkhutbah bahwa sesungguhnya darah kalian dan
harta kalian adalah terhormat sebagaimana terhormatnya hari
kalian ini, pada bulan muliamu ini di negaramu yang mulia ini. Dan
ingatlah bahwa tradisi jahiliyah sudah tidak berlaku lagi, tuntutan
balas yang ada dalam masyarakat jahiliyah juga tidak berlaku
( harus berhenti), begitu pula riba juga harus berhenti (Said bin Abd
al-Qadir: 2002, 315).
Berangkat dari landasan normatif, maka untuk membangun
paradigma perdamaian sebagai Teologi Islam sudah menjadi
keharusan bersama. Dengan Teologi Islam yang dapat menjadi
driving force bagi terwujudnya perdamaian dapat diwujudkan
dengan cara mengedepankan misi Islam sebagai rahmatan lil
alamin. Misi agama bukanlah kekerasan, namun perdamaian. Ketika
ada yang melakukan tindak kekerasan mengatasnamakan agama
atau bahkan Allah, maka sesungguhnya bukan karena itu ia
melakukan.
Tidak ada salahnya kalau kita memperhatikan kaidah yang
terdapat Dalam al-qawaid al-fiqhiyah, kaidah tersebut berbunyi aldlarar la yuzal bi al-darar (kemudaratan tak boleh dihilangkan
dengan kemudaratan yang lain).