Anda di halaman 1dari 15

Pengembangan Inovasi Pertanian 3(3), 2010: 184-198

PENGEMBANGAN INDUSTRI HASIL HORTIKULTURA


MELALUI INOVASI TEKNOLOGI
PROSES MINIMAL1)
Imam Muhadjir
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Jalan Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114
Telp. (0251) 8321762, 8350920, Faks. (0251) 8321762
e-mail: bb_pascapanen@litbang.deptan.go.id

PENDAHULUAN
Memasuki era perdagangan bebas dan desentralisasi, pembangunan pertanian
menghadapi berbagai tantangan, yaitu pemenuhan kecukupan pangan, peningkatan
kesejahteraan petani, serta penyediaan lapangan kerja. Pembangunan pertanian
harus dilakukan secara komprehensif
menuju pertanian industrial. Budaya sistem dan usaha agribisnis perlu ditumbuhkan untuk menggantikan sistem pertanian
subsisten. Sistem dan usaha agribisnis terdiri atas empat subsistem, yaitu: (1) pengadaan input, (2) produksi on farm, (3) penanganan hasil panen dan pascapanen,
serta (4) distribusi dan pemasaran.
Harga suatu produk dari usaha agribisnis ditentukan oleh penanganan hasil
panen dan pascapanen, di samping sistem
produksi dengan menerapkan Good Agricultural Practices (GAP). Oleh karena itu,
penerapan inovasi teknologi pascapanen
menjadi sangat penting karena fluktuasi
harga produk, selain ditentukan oleh mekanisme pasar, juga bergantung pada mutu
produk itu sendiri.

1)

Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor


Riset yang disampaikan pada tanggal 31 Juli
2007 di Bogor.

Strategi dan pengembangan pascapanen harus difokuskan pada dua lingkup


kegiatan, yaitu: (1) fresh handling (penanganan segar) atau pascapanen primer
dan (2) pengolahan hasil atau pascapanen
sekunder. Program utama penanganan
pascapanen ditekankan pada peningkatan
mutu produk yang masih rendah serta
penekanan kehilangan hasil setelah panen
yang masih cukup tinggi. Hal ini antara lain
disebabkan oleh penggunaan teknologi
pascapanen yang belum memadai.
Rekayasa teknologi pascapanen yang
mencakup teknologi saat panen yang tepat, cara pemanenan, penanganan segar,
pengolahan, dan penyimpanan akan memperkecil kehilangan hasil, sedangkan pengembangan produk dapat memperluas
pemasaran dan menciptakan nilai tambah
ekonomi (Muhadjir 1989a,1989b,1989c).
Selain itu, teknologi pascapanen juga
dilakukan untuk mengendalikan hama dan
penyakit dengan tujuan: (1) menghindari
kerusakan atau mengontrol produk, (2)
melindungi konsumen, dan (3) mengamankan lingkungan. Demikian pula rekayasa
teknologi untuk memperpanjang masa
simpan segar hasil pertanian perlu dikembangkan, seperti teknologi pengemasan
dan penyimpanan yang ramah lingkungan
dan aman bagi kesehatan masyarakat (Muhadjir dan Wardah 1992). Upaya yang perlu

dilakukan adalah menghasilkan rakitan


teknologi proses minimal guna meningkatkan nilai tambah, memperbaiki mutu,
mengurangi susut hasil, serta mengembangkan diversifikasi produk dengan memperkenalkan produk siap saji. Salah satu
inovasi yang murah dan ramah lingkungan
adalah teknologi proses minimal yang merupakan kombinasi antara teknologi penanganan segar dan pengolahan minimal
(Muhadjir 1999a).

DINAMIKA PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI PASCAPANEN
HORTIKULTURA
Teknologi pascapanen mempunyai lingkup
kegiatan yang luas, meliputi: (1) teknologi
penanganan segar atau teknologi lepas
panen (fresh handling) atau sering disebut
teknologi pascapanen primer dan (2) teknologi pengolahan hasil (processing) atau
sering disebut teknologi pascapanen sekunder. Ruang lingkup teknologi pengolahan hasil meliputi: teknologi pengolahan basah (wet process) dan teknologi
pengolahan kering (dry process).
Penelitian tentang hubungan antara
penanganan segar dan pengolahan hasil
produk hortikultura (buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias), dilakukan berdasarkan fakta bahwa mutu segar sangat
berpengaruh terhadap mutu olahan produk
(Muhadjir 1975a). Sebagai contoh adalah
ekstraksi bunga untuk mendapatkan minyak atsiri (Muhadjir dan Suyanti 1990),
serta teknologi pengemasan dan pengawetan untuk mempertahankan daya simpan selama transportasi ekspor (Muhadjir
2000a). Untuk pengolahan, bahan segar
diolah lebih lanjut menjadi produk olahan
sehingga proses fisiologisnya sudah tidak
berjalan lagi karena produk sudah terdis-

integrasi, yaitu jaringan sel produk telah


terlepas atau hancur akibat proses pengolahan. Pada teknologi proses minimal,
kerusakan sifat fisik dan kimia produk harus sekecil mungkin karena perubahan
mutu bahan segar sangat berpengaruh terhadap mutu hasil olahan (Muhadjir dan
Wardah 1992).
Ke depan, kegiatan penelitian yang
menghubungkan antara penelitian prapanen, pascapanen, dan pengolahan produk,
khususnya hubungan antara pascapanen
primer dan pascapanen sekunder sangat
diperlukan. Hal ini karena mutu hasil prapanen akan memengaruhi mutu hasil penanganan segar dan selanjutnya akan menentukan mutu hasil olahan (Muhadjir dan
Wardah 1998).
Strategi penerapan teknologi pascapanen pertanian sangat menentukan dan
memengaruhi volume ekspor produk hortikultura Indonesia. Menurut Muhadjir
(2000a), subsistem pascapanen dan pemasaran memberikan kontribusi harga akhir
di tingkat konsumen antara 80-85%. Untuk
kegiatan penanganan hasil panen dan
pascapanen, kontribusinya adalah panen
10-30% serta sortasi dan disposisi hasil,
termasuk transportasi lokal dan ekspor 4045%. Distribusi atau pengeceran memiliki
kontribusi yang lebih besar dalam subsistem pascapanen dan pemasaran. Hal ini
mengakibatkan investasi dan minat usaha
pada kegiatan tersebut lebih banyak
dibandingkan dengan kegiatan prapanen.
Ketidakseimbangan ini dapat dipahami
karena kesalahan teknologi yang terjadi
akan mengakibatkan kerusakan dalam
waktu singkat dan tidak dapat diperbaiki
(irrecoverable). Di samping itu, produk
hortikultura pada umumnya mudah rusak
(perishable). Ini berarti bahwa sistem
agribisnis maupun agroindustri produk
hortikultura akan sangat dipengaruhi oleh

teknologi pascapanen yang modern, tangguh, dan efisien.


Teknologi proses minimal dapat menghasilkan produk siap saji. Pascapanen
primer seperti packing house operation
(PHO) dengan proses minimal serta pascapanen sekunder baik melalui proses basah
maupun kering dapat menjadi satu kesatuan proses penanganan dan pengolahan
hasil. Langkah awal dari penerapan teknologi pascapanen yang sangat menentukan
mutu hasil adalah penentuan derajat kematangan atau waktu petik yang tepat
(Muhadjir et al. 2003a, 2003b, 2003c).

Dasar Ilmiah Penanganan


Pascapanen
Teknologi pascapanen merupakan proses
yang sangat panjang, mulai dari penentuan
tingkat ketuaan (degree of maturity), tingkat kematangan (degree of ripening), pemanenan (harvesting), sortasi, pengkelasan (grading), precooling, penyimpanan, PHO, dan lain-lain (Pantastico
1985). Sifat ilmu pengetahuan dan teknologi penanganan segar sangat luas karena tidak hanya mengintegrasikan ilmu
pengetahuan dan teknologi tentang penanganan hasil, tetapi juga dilandasi ilmu
dasar, terutama fisiologi pascapanen (Muhadjir 1989a, 1989b) serta ilmu hama dan
penyakit pascapanen (Muhadjir dan Murtiningsih 1991).
Fisiologi pascapanen berbeda dengan
fisiologi prapanen yang umumnya dikenal
sebagai fisiologi tanaman utuh atau ekofisiologi. Fisiologi pascapanen adalah fisiologi bagian tanaman secara parsial, seperti buah, daun, bunga, dan bulir padi,
yang proses fisiologisnya atau proses metabolismenya masih berlangsung setelah

panen sehingga masih mungkin terjadi


perubahan kandungan kimia akibat proses
biokimia. Oleh karena itu, fisiologi hasil termasuk dalam proses pascapanen primer
atau tahap penanganan segar yang merupakan bagian dari teknologi pascapanen
secara utuh.
Proses fisiologis pada hakekatnya adalah proses biokimia sehingga jika panen
harus diketahui tingkat ketuaan buahbuahan atau kemekaran tanaman hias atau
sayuran. Secara umum, mutu pascapanen
sangat dipengaruhi oleh mutu prapanen,
atau lebih khusus mutu penanganan segar
akan memengaruhi mutu hasil olahan. Karbit apabila diberi air akan menghasilkan
asetilen. Asetilen adalah hormon pematang, sedangkan etilen merupakan hormon
yang selain berfungsi sebagai pematang
(ripening hormone), juga sebagai hormon
pembungaan (flowering hormone)
(OConnor-Shaw et al. 1994).
Ilmu hama dan penyakit pascapanen
berbeda dengan ilmu hama dan penyakit
prapanen. Serangan hama dan penyakit
pascapanen terjadi selama tahap penanganan segar, misalnya pengemasan dan
penyimpanan (Muhadjir dan Wardah
1992). Kerusakan dapat pula terjadi akibat
infeksi laten, yaitu infeksi hama dan
penyakit terjadi pada tahap prapanen,
seperti jamur, Anthracnose dan lalat buah
(Muhadjir 1994), tetapi gejalanya baru
muncul setelah panen atau pada tahap
pascapanen. Anthracnose dan lalat buah
menyebabkan bercak-bercak, seperti pada
daging buah mangga dan pisang, yang
pencegahannya dapat dilakukan dengan
pembrongsongan (bagging) (Muhadjir
1999a). Berdasarkan uraian kedua sifat ilmu
pengetahuan dan teknologi fisiologi hasil
serta hama dan penyakit pascapanen maka
bidang keilmuan tersebut harus diletakkan

secara proporsional pada wilayah implikasi


ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan disiplin ilmunya masingmasing (Liu 1990).
Tahap awal dari penanganan segar hasil
hortikultura adalah pemanenan. Dalam
pemanenan berperan ilmu fisiologi pemanenan yang berhubungan dengan tingkat
ketuaan (Muhadjir 1990), tingkat kematangan (Muhadjir 1989a, 1989b), dan tingkat kemekaran (degree of blooming), sesuai jenis komoditasnya (Muhadjir dan
Sitorus 1998). Fisiologi ketuaan menerangkan translokasi hasil metabolisme dari
daun ke buah, yang terjadi pada malam hari
sebagai hasil dari proses fotosintesis pada
siang hari, sehingga buah berubah dari
kecil menjadi besar atau dari muda menjadi
tua. Fisiologi pematangan menerangkan
proses biosintesis, yaitu perubahan fotosintat karbohidrat menjadi gula atau protopektin menjadi pektin sehingga buah
menjadi lebih manis dan lebih lunak atau
matang.

Teknologi Penanganan Segar


Salah satu indikasi bahwa bahan baku
olahan bermutu baik adalah derajat kematangan bahan baku tersebut seragam.
Hal ini sulit dicapai untuk pemanenan dalam jumlah besar dengan tanaman yang
berbeda dan kebun yang berbeda pula.
Cara yang efektif, murah, dan mudah dilaksanakan oleh petani untuk menyeragamkan kematangan buah adalah melakukan pemeraman menggunakan etrel 100500 ppm dalam ruangan bersuhu rendah di
dalam bangsal pemeraman (ventilation
evaporation cooling storage room,
VECSR). Prinsipnya adalah etrel mengandung bahan aktif etepon yang apabila di-

larutkan dalam air akan terhidrolisis menjadi asetilen, yang seterusnya teroksidasi
di udara menjadi etilen yang merupakan
hormon pematangan. Kondisi ruangan
yang sejuk antara 22-27oC tercipta karena
air yang menetes pada goni yang menjadi
dinding ruang pemeram, menguap karena
panas yang dikeluarkan oleh produk sebagai hasil proses respirasi. Air menguap
melalui lubang ventilasi ruang pemeram
sehingga suhu komoditas menjadi sejuk,
proses pematangan menjadi seragam karena metabolisme dan sintesis klorofil menjadi antosianin terjadi secara merata dan
seragam. Jika bahan baku bermutu baik
dengan tingkat kematangan dan keseragaman yang optimum maka mutu hasil
olahannya pun optimum. Bangsal pemeram
juga berfungsi sebagai penyimpan karena
umur simpan (shelf-life) produk menjadi
lebih panjang.
Bangsal pengemasan sangat dibutuhkan dalam menyiapkan bahan baku yang
bermutu dan dikonsumsi dalam keadaan
segar (Muhadjir dan Sitorus 1998). Proses
yang dilaksanakan dalam bangsal pengemasan meliputi pencucian, sortasi, pengkelasan, perendaman, serta pengemasan
dengan berbagai metode, seperti sistem
kendali atmosfir (CA) dan modifikasi
atmosfir (MA). Biosida kalium permanganat dapat digunakan untuk mempertahankan mutu dan kesegaran buah rambutan Rapiah dan Lebak Bulus sampai 2
minggu. Pelapisan lilin Carnauba pada
buah pepaya Meksiko juga dapat mempertahankan mutu dan kesegaran buah
sampai 2 minggu (Muhadjir 1982a, 1982b).
Untuk tanaman hias, perlakuan precooling dapat mengurangi aktivitas metabolisme bunga setelah panen. Formulasi
larutan pulsing (larutan perendam dalam
vas bunga) sebagai penyegar telah dikem-

bangkan menjadi bentuk serbuk sehingga


penggunaannya lebih mudah, baik untuk
petani, pengumpul, pengusaha maupun
ibu rumah tangga.
VECSR sangat bermanfaat digunakan
di sentra produksi hortikultura, mudah dan
murah sebagai pengganti cool storage terutama apabila terjadi kelebihan produksi.
Pemasaran dapat ditunda 1-2 hari karena
komoditas hortikultura sangat rentan terhadap cekaman lingkungan. Pada penanganan fisiologi lepas panen bunga mawar, sedap malam dan krisan, mempertahankan komposisi bioaktif wewangian
(fragrans) merupakan hal yang sangat
fundamental untuk menjamin mutu segarnya (Muhadjir dan Sitorus 1998; Muhadjir
2000a, 2000b).

Teknologi
Pengolahan Basah
Teknologi pengolahan basah adalah teknologi pengolahan bahan yang diolah
maupun hasilnya masih mengandung
kadar air yang tinggi. Sebagai contoh adalah pengawetan produk holtikultura menggunakan larutan gula, asam maupun garam
konsentrasi tinggi. Contoh lainnya adalah
pengolahan buah menjadi puree, acar (sayuran dalam larutan cuka), asinan (sayuran
dalam larutan garam), aseman (sayuran
dalam larutan asam), manisan (buahbuahan dalam larutan gula) melalui proses
fermentasi dan aging (Kamariyani dan
Tjitrosoepomo 1970). Penerapan teknologi
pengolahan basah juga bertujuan mempertahankan warna aslinya, seperti acar bawang merah, acar mentimun, dan acar terong asin pada waktu simpan yang berbeda (Muhadjir 1973, 1974a, 1974b).

Satu hal penting dan perlu dikaji adalah


pemanfaatan teknologi step up osmotic
dehydration. Prinsip dasar teknologi ini
adalah pengawetan dengan penarikan
kadar air secara osmosis dari suatu komoditas dengan menggunakan larutan gula
yang konsentrasinya terus ditingkatkan.
Teknik hardening dalam pengolahan basah sangat membantu petani kecil dalam
mengembangkan industri rumah tangga.

Teknologi
Pengolahan Kering
Pengolahan kering seperti pembuatan
manisan kering, keripik, dan gabah kering
dapat menggunakan beberapa teknik,
antara lain pengeringan dalam ruang
tertutup (cabinet drying), pengeringan
dengan aliran udara panas (flow air
drying), pengeringan pada suhu beku
(freeze drying), pengeringan dalam kondisi
vakum (vacuum drying), pengeringan
menggunakan cahaya FIR (far infra red
drying), pengeringan dengan cahaya NIR
(near infra red drying), dan pengeringan
dengan cahaya matahari (Manjrekal et al.
1975; Muhadjir dan Suyanti 1990).
Teknologi pengolahan proses kering
adalah teknologi pengolahan bahan dengan kadar air sangat rendah atau dalam
keadaan kering melalui berbagai proses
pengeringan, seperti penjemuran, penggunaan aliran udara panas, dan pengeringan
dalam ruang tertutup. Contoh hasil penerapan teknologi ini adalah keripik pisang
serta dodol nangka, pepaya, dan pisang
(Muhadjir 1975a, 1975b, 1978a, 1978b).
Penggunaan penutup berupa plastik
transparan dalam pengeringan dengan
dijemur dapat menghindarkan produk dari

debu dan kontaminan lainnya serta mudah


dilakukan petani (Muhadjir 1990).

TEKNOLOGI PROSES MINIMAL


DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
INDUSTRI HORTIKULTURA
Teknologi Proses Minimal
Teknologi proses minimal adalah teknologi
pengolahan atau teknologi pascapanen sekunder hasil pertanian yang dilaksanakan
secara terbatas, di mana produk atau
bahan baku yang diproses belum mengalami disintegrasi jaringan karena proses
fisiologisnya masih berlangsung. Proses
pengolahannya dilaksanakan secara minimal seperti pengupasan (trimming), pemotongan (cutting), dan perendaman
(dipping) untuk berbagai keperluan seperti
aplikasi disinfektan, karbonasi, edible
coating, serta pengemasan menggunakan
sistem modifikasi atmosfir (Role dan Chism
1987; Muhadjir et al. 1999b).
Penanganan segar dilandaskan pada
dasar ilmiah teknologi pascapanen primer,
sedangkan pengolahan minimal mengacu
pada teknologi pascapanen sekunder,
yang erat kaitannya dengan teknologi
proses minimal. Oleh karena itu, teknologi
pascapanen primer dan sekunder sangat
terkait dengan ilmu fisiologi hasil. Produk
yang dihasilkan sangat menjanjikan dalam
memenuhi kebutuhan konsumen yang
sangat dinamis di era global (Cantwell 1992;
Howard et al. 1994; Muhadjir et al. 2003a,
2003b, 2003c). Teknologi proses minimal
yang ideal tidak hanya dimulai dari proses
pemetikan, seperti waktu petik, cara pemetikan sampai proses pemeraman, tetapi juga
proses lainnya, seperti sortasi, pengke-

lasan, piling, pemotongan, sanitasi, edible


coating, PHO, penyimpanan dan transportasi (Muhadjir 1999b, 2000a).
Proses sortasi bertujuan memilih produk yang tidak rusak atau cacat serta tingkat kematangan, bentuk, warna, dan ukurannya seragam. Buah-buahan sangat peka
terhadap benturan. Benturan akibat penanganan yang kasar dapat mengakibatkan
memar dan perubahan bentuk yang tidak
semestinya. Penanganan produk hortikultura harus dilakukan dengan menganut
filosofi tender, loving and care. Pengkelasan bertujuan mengelompokkan produk sesuai dengan kebutuhan pasar, seperti kelas A untuk ekspor, kelas B untuk
pasar swalayan, kelas C untuk pasar induk,
dan kelas asalan untuk pengecer. Proses
pengupasan bertujuan menghilangkan
kulit atau membuang bagian yang tidak
diperlukan seperti tangkai. Proses pemotongan dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
Sanitasi tidak hanya dilakukan terhadap wadah, tetapi juga semua peralatan
yang akan digunakan. Sanitasi harus memenuhi persyaratan, ramah lingkungan,
serta tidak berbahaya bagi konsumen. Perlakuan edible coating bertujuan agar penampilan produk lebih menarik, segar, bermutu, alami, selain meningkatkan gizi.
Semua proses tersebut serta pengemasan
yang sedemikian rupa dilakukan dalam
PHO dan bertujuan meyakinkan konsumen
bahwa produk yang dihasilkan bermutu.
Penanganan segar merupakan kelompok pascapanen primer. Kegiatan atau
proses yang termasuk kelompok penanganan segar meliputi pemanenan hasil,
penentuan derajat kematangan, pemetikan,
operasi bangsal pengemasan, penyimpanan, serta pengangkutan. Pengolahan hasil

meliputi pengolahan basah, seperti pengolahan puree, sari buah dan turunannya
(berbagai jenis jus, cidar dan anggur), buah
dalam sirop, jam, jeli, dan nata; serta
pengolahan kering seperti pengolahan
sale, manisan kering, dan keripik, yang
termasuk kelompok pascapanen sekunder
(Cantwell 1992; Muhadjir dan Wardah
1998; Muhadjir et al. 2003a).

Prospek dan Peluang


Bergesernya selera masyarakat pada produk hortikultura segar yang praktis dan
cepat saji telah membuka peluang penerapan teknologi proses minimal yang makin
luas, seperti menghilangkan bagian yang
tidak dimakan dan memperkecil ukuran
sehingga penyajiannya lebih cepat. Produk hortikultura segar proses minimal
diperoleh melalui proses sortasi, pembersihan, dan pencucian.
Untuk mengefisienkan proses pencucian, biasanya ditambahkan disinfektan
klorin dalam larutan pencuci untuk menghilangkan kotoran atau mematikan jasad
renik penyebab kontaminasi. Pengupasan,
pemotongan, dan pengirisan menjadi bagian lebih kecil dengan bentuk spesifik dilakukan sesuai dengan jenis komoditasnya. Dengan perlakuan tersebut, bahan segar terolah minimal memiliki penampakan
segar dan dapat disajikan secara cepat. Selain itu, buah segar terolah minimal lebih
terjamin kualitasnya dibandingkan buah
utuh karena konsumen dapat melihat langsung kondisi jaringan buah.
Produk yang terolah minimal dan terlapis bahan yang dapat dimakan (edible) dikemas dalam kondisi atmosfir termodifikasi. Keunggulannya, di samping produk
lebih menarik penampilannya dan terhindar
dari kontaminan, kesegaran produk dapat

dipertahankan karena permeabilitas jenis


pengemas sesuai dengan udara sehingga
respirasi dan metabolisme terhambat. Prosedur proses minimal dan pembuatan
edible coating dapat mengikuti Standard
Operational Procedure (SOP), namun
masih banyak faktor penentu mutu dari
produk tersebut. Pengemasan dengan sistem modifikasi atmosfir dalam plastik
transparan yang sederhana dapat memberikan kesan bahwa produk dalam keadaan segar dan dapat dilihat secara langsung, apalagi bila dilengkapi dengan logo
yang menarik, seperti produk fresh cut
processing (Shewfeit 1987; Muhadjir et al.
1999a, 1999b).
Teknologi proses minimal dalam agribisnis pasta cabai dan tomat telah diimplementasikan di Garut pada tahun 2002
sampai sekarang melalui program peningkatan daya saing hasil pertanian dengan
inovasi teknologi pascapanen. Kegiatan
tersebut dikemas dalam bentuk pengembangan teknologi pengolahan pasta cabai
dan tomat skala agroindustri mendukung
agribisnis sayuran. Kegiatan dimulai dengan menyusun rakitan teknologi pascapanen dan pola pengembangan yang tepat. Paket teknologi meliputi persiapan panen yang tepat, dilanjutkan dengan pemeraman agar produk pasta alami (tanpa bahan pewarna dan pengawet sintetis). Kemudian dilanjutkan ke tahap proses minimal, meliputi sortasi, pengkelasan, pengupasan, pemotongan bagian yang tidak
berguna, perendaman, dan pengemasan.
Agar tercapai pola pengembangan yang
tepat, juga dilaksanakan survei di sentra
produksi dan kelembagaan agribisnis (Muhadjir et al. 2003b, 2003c; Muhadjir 2004,
2005).
Model agroindustri proses minimal tersebut diminati pengusaha di daerah melalui
pola kerja sama. Model teknologi ini telah

diadopsi dan dioperasionalkan oleh pengusaha swasta di Kabupaten Garut yang


merupakan sentra produksi cabai dan
tomat. Teknologi proses minimal ini sekaligus mempersiapkan pengembangan
pengolahan pasta cabai dan tomat sebagai
produk antara dalam pengolahan lebih
lanjut menjadi saus alami. Dari segi efisiensi, dirasa perlu melakukan modifikasi
karena adanya kenaikan harga BBM terutama gas LPG. Salah satu percontohan pengolahan menggunakan energi gas, namun
dalam pelaksanaannya ada permintaan
agar energi gas dapat diganti dengan minyak tanah dan modifikasi itu sudah terlaksana dengan baik (Muhadjir 2004).
Percontohan ini kemudian dipindahkan
dari kelompok pengusaha daerah ke kelompok tani pada Balai Penyuluhan Pertanian Pasirwangi Kabupaten Garut dengan
harapan teknologi tersebut dapat menyebar luas. Dengan demikian dapat dilaksanakan pelatihan kepada para penyuluh
pertanian, petani, dan pengusaha setempat. Model agroindustri proses minimal
serta pengolahan pasta cabai dan tomat
mulai berkembang ke arah pola kerja sama
kemitraan yang diberi nama pola kerja sama
kemitraan kooperasional (Muhadjir 2005).

Kendala dan Tantangan


Masalah yang dihadapi dalam pengolahan
minimal bahan segar adalah terjadinya perubahan fisiologis yang tidak diinginkan
karena berkurangnya keutuhan sel produk
akibat pengupasan dan pemotongan. Hal
ini mengakibatkan terjadinya peningkatan
laju respirasi, laju produksi etilen, degradasi membran lipid, reaksi pencoklatan, dan
laju penguapan air. Selain itu, permukaan
buah yang dipotong merupakan media
yang baik bagi perkembangan mikro-

organisme yang membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, sanitasi dalam


pengolahan minimal bahan segar, baik
terhadap alat, bahan, tempat maupun operator perlu diperhatikan, misalnya dengan
menggunakan air yang telah diberi klorin
untuk pencucian dan pisau yang steril.
SOP untuk pengolahan minimal produk
hortikultura telah tersedia (Sapers et al.
1991; Muhadjir 2005). Produk terolah
minimal dikemas dalam kemasan yang
menarik agar memberikan nilai tambah,
misalnya menggunakan piring styrofoam
yang dibungkus dengan stretch film.
Pengolahan tanaman hias terutama
bunga potong diantaranya adalah pengolahan menjadi bunga kering atau ekstraksi
minyak atsiri. Proses minimal bunga potong ditekankan pada pengeringan dengan
menerapkan teknologi stres metabolisme.
Bunga potong pada tingkat metabolisme
optimum dimasukkan ke dalam ruangan
yang dilengkapi dengan alat pembeku atau
pengering vakum dalam waktu singkat.
Perlakuan ini untuk memberikan stres pada
bunga sehingga metabolismenya terhenti
secara tiba-tiba dan bunga tetap segar dalam kondisi puncak metabolismenya secara alami. Jika proses pengeringan yang
sesungguhnya membutuhkan waktu yang
lama, dengan teknologi stres metabolisme,
bunga diproses minimal dalam waktu beberapa detik saja (Howard et al. 1994).
Kesibukan yang sangat dinamis dari
keluarga modern menimbulkan pergeseran
pilihan terhadap bunga potong segar siap
saji karena pemanfaatannya lebih cepat
dan efisien setelah ditransportasikan dari
sentra produksi. Kesegaran bunga dipengaruhi oleh sistem pengemasan serta
transportasi yang tepat. Pengemasan berperan dalam mencegah kerusakan mekanis
karena daya tahan bunga sangat lemah.
Oleh karena itu, dibutuhkan cara pe-

ngemasan menggunakan atmosfer termodifikasi untuk menghambat metabolisme


dan proses pelayuan sehingga kesegaran
bunga dapat diperpanjang (Bolin dan
Huxsoll 1991).
Buah-buahan dan sayuran segar terolah minimal perlu mendapat perlakuan
pascaproses untuk memperpanjang kesegaran dan menjaga kestabilan produk. Perlakuan pascaproses seperti pengemasan
primer, pengemasan sekunder, penyimpanan pada suhu rendah atau atmosfir
termodifikasi, reduksi aktivasi air, iradiasi
ringan, penggunaan bahan aktif dan penggunaan film edible sangat membantu kelancaran pemasaran buah dan sayuran
segar terolah minimal. Pemilihan kultivar
yang tepat bagi buah/sayuran segar yang
diproses minimal perlu pula dilakukan.
Pengemasan primer atau penggunaan film
edible sangat menentukan keberhasilan
upaya mempertahankan kesegaran dan
kualitas buah/sayuran segar terolah minimal (Brecht 1995). Film edible adalah
lapisan tipis dan kotinu yang dibuat dari
bahan yang dapat dimakan, digunakan
pada makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan atau penyemprotan. Film
edible berfungsi sebagai barrier terhadap
transfer massa, carrier bahan makanan dan
aditif, serta untuk memudahkan penanganan makanan (Wong et al. 1994).
Pektin merupakan polimer yang tersusun dari asam poligalakturonat yang
teresterifikasi sebagian. Berdasarkan derajat esterifikasinya, pektin dibedakan
menjadi low methoxypectin dan high
methoxypectin. Penambahan lemak ke
dalamnya dapat meningkatkan resistensi
bahan pelapis terhadap laju transmisi uap
air. Ke dalam film edible untuk bahan segar
terolah minimal dapat ditambahkan pengawet untuk menekan pertumbuhan kapang,

jamur, dan bakteri selama penyimpanan dan


distribusi, seperti antioksidan untuk mencegah oxydative rancidity, degradation
dan discolorization serta garam kalsium
klorida untuk memperbaiki tekstur dan
warna produk. Komponen tambahan yang
cukup besar dari film edible adalah
plasticizer untuk mengatasi sifat rapuh,
memberikan jaringan matriks dan bersifat
dihidrofilik seperti gliserol, dan meningkatkan permeabilitas uap air, laju transmisi
gas dan uap air. Film edible dapat diaplikasikan dengan berbagai cara seperti pencelupan, penyemprotan, penetesan, dan
pembuihan (Zevalos et al. 1997).

STRATEGI DAN KEBIJAKAN


PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI PROSES MINIMAL
Strategi
Dalam upaya mempercepat penyebarluasan teknologi proses minimal diperlukan strategi pengembangan yang sesuai
mulai dari hulu sampai hilir. Tingkat adopsi
suatu inovasi teknologi ditentukan oleh
sumber teknologi, sistem penyampaian,
dan kondisi sosial ekonomi calon pengguna. Strategi untuk mempercepat adopsi
teknologi proses minimal memerlukan
upaya-upaya sebagai berikut: (1) costyield-quality measure, (2) timing knowhow, (3) partnership and net working,
serta (4) priority and focusing (Adnyana
2007).
1. Cost-yield-quality measure. Teknologi
proses minimal hendaknya mampu
menekan biaya produksi, memberikan
hasil (output) lebih tinggi dengan
kualitas yang lebih baik. Untuk mene-

kan biaya produksi, pemeraman buah


dapat menggunakan etrel, bukan gas
etilen karena harganya mahal. Etrel
dikombinasikan dengan waktu proses
pemeraman dan suhu sejuk dalam
ruang pemeraman VECSR. Ruang
pemeraman tersebut dapat dibuat dari
bahan yang ada di sentra produksi
seperti bambu dan karung goni sehingga harganya murah. Waktu yang
diperlukan untuk menerapkan teknologi proses minimal cukup singkat,
namun memberi hasil yang optimum.
Sasaran pengguna teknologi ini adalah
petani hortikultura yang memiliki modal
terbatas dan konsumen yang memerlukan produk hortikultura siap saji.
2. Timing-know-how. Agar proses adopsi dan difusi teknologi proses minimal
produk hortikultuta berjalan lancar,
diperlukan langkah-langkah seperti: (a)
target pengguna diketahui dengan jelas, yaitu kelompok tani di sentra produksi, (b) dilaksanakan pada musim
panen, dan (c) konsumen akhir memerlukan penanganan cepat produk hortikultura yang mereka sajikan.
3. Partnership and net working. Telah
ada bantuan permodalan melalui kemitraan dan kerja sama antara pemerintah daerah dan pusat. Targetnya
adalah kelompok tani di sentra produksi
yang telah mempunyai target konsumen, serta dapat diperluas ke pasar
swalayan atau ekspor. Hal ini dapat
ditempuh melalui subterminal agribisnis yang memiliki jaringan dengan
terminal agribisnis.
4. Priority and focusing. Teknologi proses minimal komoditas hortikultura

dapat mempertahankan mutu segar


produk siap saji yang sesuai dengan
konsumen yang makin sibuk dan dinamis di era global. Produk dapat pula
diproses lebih lanjut sebagai diversifikasi produk alami pada skala agribisnis untuk meningkatkan nilai tambah, melalui model kerja sama penelitian
kemitraan agribisnis komersial di tingkat nasional berdasarkan permintaan.

Kebijakan
Dalam upaya menyebarluaskan dan mempercepat pemanfaatan teknologi proses
minimal diperlukan kebijakan antara lain:
1. Peningkatan keamanan pangan dan
mutu produk. Untuk meningkatkan
keamanan pangan dan mutu produk
proses minimal, ada tiga unsur utama
yang terlibat. Pertama, sistem pengendalian yang berupa pengamanan sejak
tahap prapanen, pascapanen, penanganan dan pengolahan, serta pascaproduksi seperti penyimpanan, pengangkutan, pemasaran hingga produk
sampai ke tangan konsumen. Dalam
pelaksanaannya, sistem pengendalian
dilakukan melalui pengamanan (surveilance), pemantauan (monitoring), dan
pemeriksaan (inspection) terhadap
setiap mata rantai pengadaan produk
proses minimal. Kedua, pengendalian
insfrastruktur, akreditasi, dan sertifikasi. Ketiga, perangkat pendukung
seperti peraturan pemerintah atau pengaturan dan pelayanan yang relevan.
2. Pengawasan terhadap hazard. Untuk
membangun masyarakat yang sehat
melalui penyediaan produk pangan

terproses minimal yang aman dan


sehat, perlu pengawasan terhadap
hazard pada para produsen, pengumpul,dan pengecer bahan pangan
tersebut dengan menerapkan Hazard
Analysis Critical Control Point
(HACCP). Labelisasi produk proses
minimal juga diperlukan, baik untuk
konsumsi domestik maupun ekspor,
sebagai tanda keamanan pangan.
3. Diseminasi dan promosi. Hasil-hasil
penelitian dan pengembangan teknologi proses minimal, khususnya penanganan dan pengolahan, serta model
HACCP harus didiseminasikan dan
dipromosikan kepada stakeholders,
pelaku bisnis, dan lain-lain. Diseminasi
dapat dilakukan melalui penerbitan
jurnal, buletin, leaflet, petunjuk teknis,
seminar, penyuluhan, gelar teknologi,
dan media diseminasi lainnya.
4. Penelitian dan pengembangan. Industri
pangan khususnya penanganan dan
pengolahan produk proses minimal
berkembang pesat, terutama di negaranegara maju. Penemuan teknologi proses minimal, baik teknologi penanganan segar proses basah maupun
proses kering bertujuan meningkatkan
nilai tambah, baik nilai gizi, ekonomi,
sosial maupun keamanan pangan.
Indonesia akan menuju swasembada
produk hortikultura tanpa bergantung
pada produk impor yang makin marak
akhir-akhir ini. Kegiatan penelitian dan
pengembangan teknologi proses minimal serta penerapan HACCP dalam
rangka meningkatkan nilai tambah perlu
terus dikembangkan.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI


KEBIJAKAN
Kesimpulan
Teknologi proses minimal adalah teknologi
pascapanen penanganan segar yang melibatkan pula teknologi pengolahan hasil
secara minimal untuk mempertahankan
mutu segar produk. Produk yang dihasilkan
berupa produk siap saji yang dapat pula
diproses lebih lanjut sebagai diversifikasi
produk pada skala agribisnis untuk meningkatkan nilai tambah.
Kemudahan fasilitas perbankan pada
subsistem pascapanen akan mendorong
investasi dan minat pengusaha dan pengecer karena kontribusi harga akhir di tingkat
konsumen yang lebih besar pada subsistem ini. Dalam pengolahan pascapanen
dan pemasaran produk, kontribusi subsistem ini mencapai 80-85%. Hal ini merupakan salah satu bidang penelitian yang harus diperhatikan karena peran strategis
penelitian dan pengembangan teknologi
pascapanen primer, pascapanen sekunder,
dan proses minimal berkisar 70%.
Penelitian penanganan segar dan pengolahan proses basah maupun proses
kering harus mampu menjawab tantangan
penelitian yang berorientasi pada pembangunan dan ilmu pengetahuan yang bersifat up stream terhadap berbagai komoditas pertanian. Penelitian dan pengembangan pascapanen pertanian berbasis kemitraan, terutama untuk merakit teknologi
proses minimal yang efisien perlu mendapat prioritas yang lebih besar. Kerja sama
kemitraan komersial perlu terus dikembangkan untuk mengantisipasi kebutuhan
pasar.

Implikasi Kebijakan

DAFTAR PUSTAKA

Penerapan paket teknologi proses minimal


terpadu dalam agribisnis membutuhkan
strategi yang tepat dalam pemilihan model
teknologi agroindustri dan pengembangan
agribisnis. Ke depan, model kerja sama
penelitian kemitraan agribisnis dari operasional ke kooperasional yang telah berhasil di tingkat derah perlu dilanjutkan
dengan model kerja sama penelitian kemitraan agribisnis komersial di tingkat nasional.
Diseminasi dapat memacu proses alih
teknologi hasil litbang pascapanen pertanian dan memperoleh hak kekayaan intelektual. Hal ini dapat dipercepat melalui
koordinasi birokrasi yang efektif dan efisien. Keberhasilan penerapan inovasi teknologi tidak hanya diukur dari nilai tambah ekonomi, tetapi perlu pula mempertimbangkan peran dan fungsi nilai-nilai sosial budaya secara utuh.

Adnyana, M.O. 2007. Constraints of agricultural technology innovation at


unfavorable environment. Paper at Sixth
Steering Committee Meeting of Cure.
Vientiene, Laos, 21-23 February 2007.
Bolin, H.I. and C.C. Huxsoll. 1991. Control
of minimally process carrots surface
discoloration caused by abration
peeling. J. Food. Sci. 56(2): 416-418.
Brecht, J.K. 1995. Physiology of lightly
processed fruits and vegetable. J. Hort.
Sci. 30(1): 18-21.
Cantwell, M. 1992. Postharvest handling
system: Minimally processed fruits and
vegetables. p. 227-281. In A.A. Kader
(Ed.). Postharvest Technology of
Horticultural Crops. Division of Agricultural and Natural Resources Publication 331. University of California.
Howard, L.R., L.E. Griffin, and Y. Lee. 1994.
Steam treatment of minimally processed
carrot stick to control surface discoloration. J. Food Sci. 59(2): 356-358.
Kamariyani dan G. Tjitrosoepomo. 1970.
Fisiologi Pascapanen. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Liu, F. 1990. The Fruit and Vegetable
Science. New York State College of
Agriculture and Life Science, Cornell
University, Ithaca, USA.
Manjrekal, D.K. Salunkhe, and B.B. Desai.
1975. Postharvest Biotechnology of
Fruits and Vegetables. CRC Press, Inc.,
Boca Raton, Florida.
Muhadjir, I. 1973. Pengawetan bawang
merah untuk mempertahankan warna
aslinya sebagai acar. Laporan Akhir
Penelitian. Bagian Teknologi, Lembaga
Penelitian Hortikultura, Pasar Minggu,
Jakarta. 17 hlm.

PENUTUP
Penerapan teknologi pascapanen diisyaratkan sejak awal agar pandai-pandailah
dalam pengolahannya, sebagai salah satu
strategi alternatif untuk meningkatkan nilai
tambah. Penanganan hasil panen dan
pengolahan hasil melalui penerapan teknologi proses minimal kedengarannya
sederhana. Namun, di balik kesederhanaan tersebut terbuka peluang untuk menekan biaya penanganan hasil serta menghasilkan produk yang berkualitas baik.
Muara dari manfaat penerapan teknologi
proses minimal yaitu terciptanya nilai tambah ekonomi, baik bagi produsen maupun
konsumen.

Muhadjir, I. 1974a. Beberapa percobaan


tentang acar mentimun. Laporan Akhir
Penelitian. Bagian Teknologi, Lembaga
Penelitian Hortikultura, Pasar Minggu,
Jakarta. 17 hlm.
Muhadjir, I. 1974b. Pengujian kualitas acar
terong asin dari berbagai jenis terong
pada waktu simpan yang berbeda-beda.
Laporan Akhir Penelitian. Bagian Teknologi, Lembaga Penelitian Hortikultura, Pasar Minggu, Jakarta. 21 hlm.
Muhadjir, I. 1975a. Beberapa percobaan
tentang keripik pisang. Laporan Akhir
Penelitian. Bagian Teknologi, Lembaga
Penelitian Hortikultura, Pasar Minggu,
Jakarta. 22 hlm.
Muhadjir, I. 1975b. Beberapa percobaan
tentang dodol nangka, pepaya dan pisang. Laporan Akhir Penelitian. Bagian
Teknologi, Lembaga Penelitian Hortikultura, Pasar Minggu, Jakarta. 51 hlm.
Muhadjir, I. 1978a. Pengaruh jenis mentimun dan kadar CaCO3 terhadap mutu
acar mentimun. Laporan Akhir Penelitian. Subbalai Penelitian Hortikultura
Pasar Minggu, Jakarta. 7 hlm.
Muhadjir, I. 1978b. Pengeringan manisan
pepaya paris dengan menggunakan pengering tenaga surya. Laporan Akhir
Penelitian. Subbalai Penelitian Hortikultura Pasar Minggu, Jakarta. 18 hlm.
Muhadjir, I. 1982a. Effect of KMnO4 on the
keeping quality of Rapiah dan Lebak
Bulus rambutan variety. Asean-PHTRC
Department of Horticulture, UPBLP,
Philippines.
Muhadjir, I. 1982b. Pengaruh pelapisan lilin
pada buah pepaya Mexico terhadap
proses pematangannya. Laporan Akhir
Penelitian. Balai Penelitian Hortikultura
Pasar Minggu, Jakarta.
Muhadjir, I. 1989a. Pengaruh derajat ketuaan buah dan waktu simpan pada

suhu tinggi terhadap tingkat kelainan


fisiologis dan karakter proses pemasakan mangga. Hortikultura 26: 1-21.
Muhadjir, I. 1989b. Pengaruh kelainan
fisiologis mangga Carabau terhadap
hasil olahannya. Hortikultura 26: 30-34.
Muhadjir, I. 1989c. Pengaruh waktu pemeraman dan kadar oksigen pada suhu
tinggi terhadap tingkat kelainan fisiologis dan karakter proses pematangan
mangga Carabau. Hortikultura 26: 34-40.
Muhadjir, I. 1990. Pengaruh derajat ketuaan dan kenaikan suhu terhadap
perubahan fisik, kimia, fisiologis dan
mikrobiologis pisang ambon jepang.
Penelitian Hortikultura 5(10):47-59.
Muhadjir, I. dan Suyanti. 1990. Pengaruh
cara pengeringan terhadap mutu tepung beberapa varietas pisang. Penelitian Hortikultura 5(1): 92-99.
Muhadjir, I. dan Murtiningsih. 1991. Penyakit pascapanen pada buah pisang
raja sere, emas, dan lampung serta pengendaliannya. Jurnal Hortikultura
1(3): 35-39.
Muhadjir, I. dan Wardah. 1992. Pengaruh
cara pengemasan dan waktu simpan
terhadap mutu buah salak pinrang
segar. Laporan Akhir Penelitian. Subbalai Hortikultura Jeneponto.
Muhadjir, I. 1994. Manfaat pembrongsongan pisang ambon kuning mulai dari
pembentukan buah sampai siap panen
terhadap mutu segarnya. hlm. 948-960.
Prosiding Simposium Hortikultura Nasional, Malang, Buku II.
Muhadjir, I. dan E. Sitorus. 1998. Pengaruh
jenis bunga potong sedap malam dan
lama penyimpanan dalam ruang berventilasi evaporasi terhadap mutu selama peragaan. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Hias,
Jakarta. 56 hlm.

Muhadjir, I. dan Wardah. 1998. Pengaruh


derajat ketuaan dan derajat kematangan
serta waktu simpan terhadap mutu sari
buah sirsak segar. hlm. 459-469. Prosiding Seminar Hortikultura, Jeneponto.
Muhadjir, I. 1999a. Keragaan Teknologi
untuk Menunjang Pengembangan Pisang. Nomor Peki RIOP: 017/99. Balai
Penelitian Tanaman Hias Jakarta.
Muhadjir, I. 1999b. The technology of minimally processed and edible coated
film in modified atmosphere packing of
promising horticultural products. Seminar on Agro and Biotechnology
Broke Rage Event in Hilton Executive
Club, Jakarta, 16-17 December 1999.
Muhadjir, I., Suyanti, dan Murtiningsih.
1999a. Pengaruh waktu ekstraksi dan
tingkat kemekaran terhadap mutu minyak atsiri bunga sedap malam kultivar
tunggal. Laporan Akhir Penelitian.
Balai Penelitian Tanaman Hias Jakarta.
Muhadjir, I., M. Rusmono, N.K. Purwadaria, dan A.M. Syarief. 1999b. Model
simulasi penyimpanan salak pondoh
terolah minimal berlapis edibel dalam
kemasan atmosfir termodifikasi. Buletin
Penelitian Ilmu dan Teknologi Pangan.
hlm. 12.
Muhadjir, I. 2000a. Sumbangsih Karya Penelitian untuk Pembangunan Pertanian
dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
di Indonesia 1973-2000. Disampaikan
sebagai Penyajian Ilmiah tentang Karya
dan Sumbangsih Diri sebagai Peneliti
dalam Dunia Ilmu Pengetahuan dan
Pertanian sehingga Menjadi Ahli Peneliti Utama. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta.
Muhadjir, I. 2000b. Masalah dan upaya peningkatan mutu tanaman hias ditinjau
dari aspek fisiologi prapanen, pasca-

panen dan pascaproduksi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta.


Muhadjir, I., I. Agustinisari, dan K. Wulandari. 2003a. Aspek derajat ketuaan
terhadap mutu pasta cabai merah berdasarkan rakitan teknologi pengolahannya. Nomor PEKI RIOP: 035/03. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. 10
hlm.
Muhadjir, I., I. Agustinisari, dan I. Mulyawanti. 2003b. Aspek derajat ketuaan
terhadap mutu pasta kering cabai merah
berdasarkan rakitan teknologi pengolahannya. Nomor PEKI RIOP: 034/03.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
12 hlm.
Muhadjir, I., K. Wulandari, dan I. Agustinisari. 2003c. Aspek derajat ketuaan
terhadap mutu pasta basah tomat berdasarkan rakitan teknologi pengolahannya. Nomor PEKI RIOP: 046/03. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian, Bogor. 10 hlm.
Muhadjir, I. 2004. Pengembangan teknologi pengolahan pasta cabai dan tomat
skala agroindustri mendukung agribisnis sayuran. Laporan Akhir Penelitian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian,
Bogor.
Muhadjir, I. 2005. Pengembangan teknologi penanganan dan pengolahan cabai
dan tomat. Laporan Akhir Penelitian.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
OConnor-Shaw, R.E. Robert, A.L. Ford,
and S.M. Nottingham. 1994. Shelf-life
of minimally processed honeydew, kiwi
fruits, papaya, pineapple and cantaloupe. J. Food Sci. 59(6): 1202-1206.

Pantastico, E.B. 1985. Postharvest Physiology, Handling and Utilization of


Tropical and Sub-Tropical Fruits and
Vegetables. The AVI Pub. Co. Inc.,
Wesport, Connecticut.
Role, R.S. and G.W. Chism. 1987. Physiological consequences of minimally
processed fruits and vegetables. J.
Food Quality 10(3): 157-178.
Sapers, G.M., R.E. Miller, F.C. Miller, P.H.
Cooke, and S.W. Choi. 1991. Enzymatic
browning control in minimally processed mushroom. J. Food Sci. 59(5):
1042-1047.
Shewfeit, R.C. 1987. Quality of minimally
processed fruits and vegetable. J. Food
Quality 10(3): 143-156.

Wong, D.W.S., W.M. Camirand, and A.E.


Pavlath. 1994. Development of edible
coating for minimally processed fruits
and vegetables. In J.M. Krochta, E.A.
Baldwin, and M.O.Nisperos-Carriedo.
Edible Coating and Films to Improve
Food Quality. Technomic Pub. Co. Inc.,
Pensilvania, USA.
Zevalos, L.C., M.E. Salveit, and J.M.
Krochta. 1997. Hygroscopy coatings
control surface white discoloration of
peeled (minimally processed) carrots
during storage. J. Food Sci. 62(2): 1-4.

Anda mungkin juga menyukai