Syafii Dan Pemikiran Fikih Moderat - Sofi Mubarok
Syafii Dan Pemikiran Fikih Moderat - Sofi Mubarok
Oleh
Muhamad Sofi Mubarok, M.HI1
A. Pendahuluan
Membaca perjalanan panjang sejarah terbentuknya fikih Imam Syafii tidak
terlepas dari pembacaan atas sejarah munculnya ijtihad pada masa awal tabiin,
dimana Imam Syafii lahir dan terbentuk dalam ruang diskursus pemikiran fikih
yang sudah dapat dikatakan cukup mapan. Islam, yang pada masa itu mulai
muncul sebagai agama yang mapan secara intelektual dan mampu bersaing dalam
ranah kebudayaan serta memiliki sosio-kultural yang khas, menawarkan suatu
corak pemikiran keberagamaan yang mengejutkan banyak bangsa di dunia
lainnya.
Perkembangan intelektualitas umat Islam mengalami masa keemasan
ketika kekhilafahan Islam jatuh ke tangan Bani Abbasiyah. Kota Baghdad
dijadikan pusat pemerintahan dalam rangka menjadikan Baghdad sebagai pusat
peradaban dunia, namun tetap berada dalam kerangka mainset kaum Muktazilah
sebagai sekte Islam yang dijadikan madzhab resmi pemerintahan dinasti Bani
Abbasiyah.
Namun anehnya, corak yurisprudensi Islam tidak banyak terpengaruh
sebagaimana pengaruh pemikiran rasionalisme Muktazilah terhadap pemikiran
akidah dan filsafat Islam. Madzhab fikih senantiasa berada pada jalur yang
ditempuh para sahabat dan tabiin, yaitu berada dalam koridor yang lebih dulu
ditetapkan nabi dan para sahabat, terutama dalam menganalogikan suatu kejadian
baru yang tidak ditemukan landasannya dalam al-Quran maupun hadits nabi.
Tsabit, Abdullah bin Umar serta Abdullah bin Abbas, dan madzhab Irak yang
dipunggawai oleh Abdullah bin Masud.2
Dua kerangka besar inilah yang kemudian dijadikan tradisi paten bagi
generasi setelahnya, dan tidak banyak melakukan banyak perubahan paradigma.
Hanya saja, pergeseran metode sudah mulai banyak terjadi dalam kerangka fikih
tabiin namun tetap mengekor pada pendapat-pendapat sahabat nabi dalam
menetapkan sebuah hukum tertentu. Madzhab Irak, yang fatwa-fatwanya
mengikuti Abdullah bin Masud dan dalam putusan peradilannya mengikuti
pendapat Ali, diketuai oleh Ibrahim an-Nakhai. Sedangkan madzhab Madinah
lebih banyak terpengaruh pada pendapat-pendapat sahabat yang tinggal di
Madinah, dan mufti tabiin yang terkenal dengan madzhab ahli Madinah ialah
Said bin Musayab.
Namun ketika masa tabiin berlalu dan digantikan dengan masa para imam
mujtahid, pemikiran yurisprudensi Islam banyak mengalami pergeseran
metodologi. Penetapan metode (manhaj) mengalami perubahan menjadi polarisasi
madzhab fikih. Corak pemikiran fikih terbagi ke dalam madzhab-madzhab besar.
Abu Zahrah mencatat, setidaknya terjadi lima tahapan terbentuknya
madzhab fikih dalam khazanah Islam.3 Tahap yang pertama ialah masa dimana
muncul madzhab fikih dan mulai adanya kaitan antar corak pemikiran madzhab
fikih dengan kota tempat tinggal para pendirinya. Tahap pertama ini ditandai
dengan generasi awal munculnya pemikiran yang mengedepankan qiys (analogi)
yang diawali oleh Abu Hanifah, yang kemudian dikenal dengan madzhab Kufah,
dan madzhab Madinah yang diketuai oleh Imam Malik bin Anas yang lebih
banyak menetapkan madzhabnya berdasarkan hadits nabi. Kemudian di Syam
diketuai oleh Imam Al-Auzai, dan di Mesir dikepalai oleh Imam Al-Laits.
Sedangkan generasi berikutnya ditandai dengan munculnya Imam Syafii, Imam
Ahmad, Abu Daud. Tahap kedua ialah tahap dimana kecenderungan mengikuti
para imam madzhab semakin kental. Penamaan istilah mujtahid mutlak hilang
sehingga para imam tidak lagi berijtihad secara bebas, akan tetapi berijtihad
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib as-Siyasiyyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh
al-Madzahib al-Fiqhiyyah (Beirut: Darul Fikr al-Arabi, tt), vol. II, hal. 30.
3
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, hal. 56-57.
2
seputar madzhab tertentu yang ia ikuti. Tahap yang ketiga ialah masa terjadinya
pergeseran ijtihad seputar dasar-dasar suatu madzhab menjadi terikat dengan
madzhab tertentu. Ijtihad, pada tahapan ini, hanya bisa dilakukan pada hal-hal
yang yang belum ditetapkan oleh para imam madzhab. Tahap yang keempat ialah
terikatnya pendapat para imam pengikut madzahab tertentu dengan pendapat para
imam. Pada tahap ini, ijtihad sudah mulai berkurang, dan yang berkembang
hanyalah mengomentari dan menginterpretasikan pendapat para imam madzhab.4
Sedangkan tahap terakhir ialah munculnya fanatisme bermadzhab dan terjadinya
kejumudan dan statisme umat Islam atas ijtihad, sehingga berkembang suatu
paradigma di masyarakat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, dan berpegang pada
suatu madzhab merupakan suatu keharusan.
Di masa ini, karangan para imam pengikut madzhab fikih kebanyakan berkutat para
syarah dan hasyiyah atas karya para imam madzhab.
5
Fakhruddin Ar-Razi, Manaqib al-Imam as-Syafii (Kairo: Maktabah Al-Kuliyah AlAzhariyah, 1406 H/1986 M), hal. 34.
6
Ar-Razi, ibid., hal. 23.
mempelajari bahasa Arab dari orang-orang yang paling fasih dalam berbahasa
Arab; kaum Badui.7 Pada usia tujuh tahun, beliau sudah menghafal al-Quran, dan
tepat ketika berusia tiga belas tahun, beliau sudah mampu menghafal kitab hadits
Imam Malik, yaitu Muwaththa.8
Imam Syafii tergolong imam yang sangat mumpuni dalam keilmuan Islam,
sampai-sampai ketika berusia 15 tahun, beliau telah menjadi seorang mufti di
Mekah.9 Namun di usia yang relatif muda itu, Imam Syafii tidak serta merta
menyelesaikan studinya begitu saja. Hasrat untuk menimba ilmu lebih dalam
beliau tunjukkan dengan melakukan perjalanan ke Madinah, tempat dimana Imam
Malik, pengarang kitab hadits al-muwaththa yang terkenal itu tinggal. Selama
sembilan tahun Imam Syafii belajar kepada Imam Malik. Namun salah satu
riwayat yang cukup populer menyebutkan, beliau belajar kepada Imam Malik
selama kurang lebih 16 tahun hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H, dan
pada saat yang bersamaan beliau belajar kepada Ibrahim bin Saad al-Anshari dan
Muhamad bin Said.
Setelah mempelajari fikih dari Imam Malik, beliau melanjutkan studinya
ke Irak. Irak, yang sebagai pusat pemerintahan kekhilafahan Bani Abbasiyah
terkenal dengan fikih rasionalnya (rayi). Dalam pengembaraannya inilah beliau
memperdalam fikih rayi kepada para pengikut madzhab Abu Hanifah. Di
antaranya ialah Muhamad bin Hasan as-Syaibani (w. 189 H)10, salah satu murid
kesayangan Imam Abu Hanifah. Sejarah mencatat, setidaknya Imam Syafii
singgah ke Irak selama tiga kali. Yang pertama tepat adalah pada saat beliau
remaja, pada tahun 184 H saat pemerintahan Harun Ar-Rasyid, kemudian tahun
195 H dan sempat bermukim di sana selama dua tahun. Selama dua tahun
bermukimnya di Baghdad, beliau menulis kitab ar-Risalah dan menyebarkan
madzhab qadim-nya. Kemudian yang terakhir ialah 198 H dan tinggal selama
beberapa bulan.11 Tepat di kota inilah seorang ahli hadits besar berguru kepada
Imam SyafiI, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal.
Berguru kepada As-Syaibani membuat Imam Syafii banyak sekali
menyerap metodologi dan corak yurispruden Islam rasional (madzhab rayi).
Akan tetapi, bukan berarti Imam Syafii hanya mempelajari fikih rayi dan metode
qiys saja kepada As-Syaibani, akan tetapi juga mempelajari riwayat-riwayat yang
sudah dikenal oleh ulama-ulama Irak yang sebelumnya tidak dikenal sama sekali
oleh ulama Hijaz.12 Sembari mempelajari fikih dari as-Syaibani, Imam Syafii
menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan ulama Irak, terutama yang
menyangkut fikih mereka, yaitu fikih rayi seraya memperkenalkan dirinya
sebagai pengikut Imam Malik. Saat itu, bakat Imam Syafii dalam mengungkapkan
suatu metode tertentu belum ditunjukkan kepada ulama Irak. Meski banyak
mengkritik fikih rayi yang menjadi tradisi ulama Irak saat itu, Imam Syafii tidak
bersedia berdebat dengan orang-orang yang seusia dengan As-Syaibani, bahkan
tidak melakukan perdebatan dengan Imam Syaibani sendiri karena Imam Syafii
memandangnya sebagai seorang guru.13
Di pengembaraannya yang terakhir, Imam Syafii melabuhkan hidupnya di
kota suci umat Islam, yaitu Madinah. Di sinilah beliau melihat konsep baru yang
ditawarkan Imam Malik, yaitu diterimanya pendapat ahli Madinah meski
memiliki kontradiksi dengan hadits ahad dan tidak melalui jalur ananah sesuai
dengan metode kritik dalam ilmu hadits. Syafii melihat hal itu sebagai sebuah
krisis (azma). Dari sinilah kemudian Syafii membangun madzhabnya dengan
mencoba mensintesiskan kubu Abu Hanifah yang rasional dan Imam Malik yang
banyak menekankan hadits sebagai pondasi bermadzhab.
11
Muhamad bin Idris As-SyafiI, ar-Risalah, tahqiq Ahmad Muhamad Syakir (Beirut:
Dar al-Fikr, tt), dalam catatan kaki, hal. 6.
12
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, hal. 235.
13
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, hal. 236.
Sintesis antara Metode Imam Malik (Fikih Hadits) dan Imam Abu Hanifah
(Fikih Rayi)
Muhamad Al-Khatib As-Syarbini, al-Iqna fi Hall Alfadz Abi SyujaI, tahqiq Ali
Muhamad Muawad dan Adil Ahmad Abdul Maujud (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, cet. Ke-3, 2004
M), hal. 7.
15
Untuk lebih lengkap mengenai karangan Imam Syafii serta intisarinya, lihat kitab yang
membahas secara detail karya-karya turats Islam, Kasyfu adz-Dzunun, karangan Haji Khalifah..
16
Komentar yang diberikan oleh pentahqiq kitab ar-Risalah Imam Syafii, hal. 4.
17
Abu Hamid Al-Ghozali, Ihya Ulum ad-Din (Beirut: Dar al-Marifah, tt), juz. I, hal.
26.
14
tidak keliru dalam memformulasi suatu hukum. Oleh karenanya, kebenaran dalam
ijtihad merupakan suatu yang sangat diutamakan oleh Imam Syafii.18
Boleh jadi Imam Syafii adalah seorang motor penggerak bagi pemikiran
ijtihad. Semangatnya untuk mensintesiskan dua kubu besar pemikiran Islam
kemudian diadopsi oleh penerus-penerusnya.
10
Secara garais besar, menurut Imam Syafii, terdapat empar sumber utama
hukum Islam, yaitu al-Quran, hadits atau sunnah, ijma (konsensus) dan qiys
(analogi).
Al-Quran
Al-Quran mendapat tempat yang pertama sebagai sumber hukum Islam
dalam madzhab Imam Syafii. Menurutnya, sumber hukum yang mesti digali
pertama kali oleh seorang muslim ialah al-Quran, sebagaimana dikemukakan
oleh Imam Syafii dalam al-umm.20 Namun agar tidak terjerumus ke dalam
pemahaman keliru atas al-Quran, Imam Syafii mengatakan, masing-masing ayat
yang terdapat dalam suatu teks memiliki karakteristik masing-masing. Tiap-tiap
ayat berbeda satu dengan lainnya, sehingga melahirkan hukum yang berbeda-beda
pula.
Kaidah al-Quran ini, yang kemudian dikembangkan para pakar ilmu studi
al-Quran (ulum al-Quran) semisal As-Suyuthi dalam al-Itqannya menjadi
kaidah baku dalam memahami karakteristik dan kandungan al-Quran.
Penggunaan kaidah ini, walau bagaimanapun, oleh Imam Syafii bertujuan untuk
menghindari pemahaman literal atas al-Quran yang sangat kaya dengan
kandungan makna. Selain itu, faktor eksternal (sabab an-nuzul) dan kondisi sosiohistoris juga mutlak diperlukan, sehingga kebenaran al-Quran yang jauh dari
kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya terbukti.21
Hadits Nabi
Pada masa di mana Imam Syafii hidup, banyak sekte-sekte bermunculan.
Di antara sekte yang muncul, terdapat sebuah sekte yang yang menyerang
eksistensi dan keberadaan sunnah sebagai salah satu pijakan utama dalam
menetapkan hukum. Terdapat sebuah keterangan yang dikutip dari kitab Jama alIlmi, sekte ingkar sunah terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:22
a. Kelompok yang mengingkari sunah secara keseluruhan dan totalitas
20
As-SyafiI, ibid..
QS. An-Nisa/04: 82.
22
As-Syarbini, a-Iqna, vol. I, hal. 13-14.
21
11
23
Hadits otentik, yaitu hadits yang dapat dipastikan berasal dari nabi, karena
diriwayatkan berdasarkan jalur periwayatan yang banyak sekali, sehingga tidak ada celah pagi
seorangpun dari para periwayat hadits itu untuk berdusta.
24
Metode klarifikasi hadits ini kemudian dikenal dengan ilmu jarh wa at-tadil. Inti
pembahasan cabang keilmuan ini adalah menjelaskan kecacatan dan karakteristik seorang
periwayat hadits, dalam rangka meminimalisasi pemalsuan hadits dan menjaga otentisitas suatu
hadits yang disandarkan kepada nabi.
25
QS. Al-Anam/06: 38, dan QS. An-Nahl/16: 89.
12
menghafal wahyu hanya ditujukan kepada al-Quran,26 dan tidak untuk menghafal
hadits nabi. Ketiga, jika hadits/sunnah merupakan argumentasi bagi umat Islam,
maka nabi pasti akan memerintahkan para sahabat kala itu untuk menuliskan
hadits, dan sahabat pasti akan melakukan kodifikasi sunnah agar tidak terjadi
distorsi dan perubahan teks hadits. Sedangkan untuk menjaga otentisitas hadits,
satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan membukukannya.27
Dari tiga kelompok di atas, Imam Syafii menganggap dua dari tiga
kelompok yang berada di urutan yang pertama dan kedua sebagai kelompok yang
tidak dapat dijadikan sandaran untuk dipegang pendapat-pendapatnya karena
mendestruksi sunnah yang sudah disepakati oleh mayoritas ulama. Sedangkan
untuk menyanggah kelompok ingkar sunnah, beliau mengatakan bahwa
bagaimana mungkin umat Islam dapat melaksanakan tata cara sholat, zakat dan
manasik haji, misalnya, jika pendapat dari kelompok pertama dan kedua
dibenarkan, karena tata ritual peribadatan tidak dijelaskan secara terperinci dan
lebih spesifik oleh al-Quran, dan al-Quran sendiri telah menyerahkan
kewenangan untuk menjelaskannya kepada nabi melalui hadits-haditsnya.
Untuk kelompok yang tidak menerima selain hadits mutawatir, Imam
Syafii berpendapat demikian,
Dalam seruan dan ajakan terhadap ajaran Islam, terkadang Nabi
Muhamad mengirim beberapa orang utusan yang tidak sampai pada derajat
mutawatir. Seandainya konsep mutawatir itu merupakan suatu kebutuhan
aksioma (dloruriy), maka pasti beliau tidak akan mencukupkan untuk
mengirimkan satu atau dua orang utusan saja. Kemudian di sisi lain dapat
kita temukan bahwa nabi sering memutuskan persengketaan masalah harta,
hukum qishosh dengan hanya berpegang pada dua orang saksi saja. Dan
derajat khabar ini tidak mencapai derajat mutawatir. Atas dasar itulah
kemudian nabi menetapkan sebuah hukum syara. Sedangkan kritik yang
ketiga ialah Nabi Muhamad memperbolehkan sahabat yang mendengar
langsung suatu hadits dari nabi untuk kemudian diajarkan kembali kepada
sahabat lain yang belum mendengarnya, meskipun hanya satu orang.
Dalam sebuah hadits, beliau bersabda demikian:28
26
QS. Al-Hijr/15: 8.
Dr. Mushtafa as-SibaI, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri al-Islamiy
(Damaskus: Dar Al-Warraq, tt), hal. 176-177.
28
As-Syafii, al-Umm, Dalam As-Syarbini, al-Iqna, hal. 14.
27
13
:
29
Imam
Syafii
mengakui
banyaknya
hadits
yang
tidak
dapat
Ijma (Konsensus)
Ijma merupakan argumen selanjutnya yang digunakan Imam Syafii dan
para pengikutnya dalam menetapkan sebuah hukum. Ijma dalam pandangan
Imam Syafii merupakan argumen yang sangat penting setelah al-Quran dan
hadits dalam menetapkan sebuah hukum, jika argumen penetapan hukum tersebut
tidak ditemukan dari keduanya. Ijma yang dimaksud Imam Syafii pada mulanya
berasal dari kesepakatan yang terjadi di antara para sahabat30 setelah wafatnya
nabi, dengan mempertimbangkan ketiadaan rujukan bagi para sahabat dalam
menetapkan hukum dari al-Quran maupun hadits.
Pada dasarnya, ijma merupakan kesepakatan bersama para imam mujtahid
atas sebuah hukum syariah dalam kaitannya dengan realitas yang terjadi pada
periode setelah wafatnya Nabi Muhamad. Maksudnya ialah, jika ada satu kasus
terjadi dalam masyarakat, kemudian dihadapkan kepada para mujtahid dan
mereka berkonsensus atas hukum kasus tersebut, maka inilah yang kemudian
dinamakan ijma yang dapat dijadikan salah satu sumber hukum Islam.31
Akan tetapi terdapat tiga poin yang perlu dipertimbangkan di sini
mengenai teori ijma yang dikemukakan oleh Imam Syafii. Pertama, ijma yang
29
Muhamad bin Idris As-Syafii, Musnad as-Syafii (), vol. III, hal. 59, nomer hadits 1110,
tersedia dalam www.alsunnah.com
30
As-Syafii, ar-Risalah, hal. 597.
31
Abdul Wahab Kholaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010 M)
hal.34.
14
dapat dijadikan sandaran argumen hanyalah ijma yang tidak menyalahi ketetapan
yang sudah baku di dalam al-Quran dan hadits, sehingga apabila terjadi suatu
konsensus yang menyalahi keduanya, maka tidak dikategorikan ijma. kemudian
yang kedua adalah, Imam Syafii berbeda pandangan dengan gurunya sendiri,
Imam Malik yang menganggap konsensus penduduk Madinah sebagai sebuah
ijma. Meski demikian, dari persfektif praksis Imam Syafii mengakui bahwa
penduduk Madinah tidak menyepakati suatu hal kecuali jika hal demikian telah
disepakati oleh penduduk Islam di wilayah lain, seperti bilangan empat rokaat
dalam sholat dzuhur, dsb. Hal ini mengindikasikan kesamaan beliau dengan Imam
Malik dalam persfektif praksis, namun berbeda di ranah teoritis. Dan yang
terakhir, jika terdapat seorang mujtahid yang memperselisihkan ijma yang telah
disepakati mayoritas dan dengan tegas mujtahid tersebut menolaknya, maka ijma
yang dikemukakan oleh mayoritas menjadi batal. Sehingga realitas ijma yang
diharapkan oleh Imam Syafii sangat jarang sekali terjadi.32
Meski terkesan sangat sulit untuk dilaksanakan, teori ijma yang
dilontarkan Imam Syafii diikuti oleh pengikut madzhabnya. Meski pada dasarnya
ijma berasal dari rasio, akan tetapi kedudukannya menjadi sangat penting bila
dibandingkan dengan pendapat pribadi, karena pendapat mayoritas dan terjadinya
kesepakatan bersama lebih dekat kepada kebenaran dibandingkan dengan
pendapat personal. 33
32
15
Tidak ada sumber yang jelas tentang Imam Syafii dalam hal ini, baik yang
menyebutkannya sebagai pencetus term qiys atau hanya mengutip pendapat
imam lain. Hanya saja, patut diakui bahwa beliau adalah seorang mujtahid yang
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik atas makna teks-teks syariah,
atau melakukan tarjih (determinasi) terhadap suatu pendapat fikih para sahabat
maupun para ulama.
Sedangkan Imam Syafii merupakan seorang mujtahid dalam mengeluarkan
sebuah pendapat dengan metode qiys, atau yang disebutnya sebagai ijtihad.
Menurutnya, kedua kata tersebut memiliki esensi yang sama, sehingga Imam
Syafii tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama.
Tak seperti para pendahulunya, Imam Syafii berbeda dalam menerapkan
metode qiys. Ia lebih suka menjadi seorang madzhab tengah antara kubu Hanafi
dan Maliki.36 Teori qiys Imam Syafii didasarkan pada dua hal utama. Pertama,
pernyataannya dalam ar-Risalah, bahwa sejatinya segala sesuatu yang terjadi
dalam masyarakat sudah memiliki hukum pasti dan memiliki dalilnya tersendiri.
Apabila teks berbicara secara eksplisit tentang sebuah hukum, maka hukum
tersebut harus diikuti. Sedangkan apabila tidak ada dalil eksplisitnya, maka
seseorang mesti mencari dalilnya dengan cara ijtihad. Dan ijtihad inilah yang
kemudian dinamakan qiys.37 Dari pernyataan ini, ia menyatakan syariat Islam
memiliki dimensi yang sangat umum dan wilayah hukumnya tidak terbatas pada
hal-hal yang dijelaskan secara eksplisit saja, akan tetapi melampaui segala sesuatu
secara keseluruhan.
Yang kedua ialah, ilmu syariat yang terkait dengan hukum terbagi menjadi
dua kategori, ilmu qathi yang sudah memiliki argumentasi syari-nya dalam alQuran dan hadits secara mutlak dan pasti, dan ilmu dzanniy (spekulasi) yang
memiliki kekuatan dalil yang relatif dan nisbi. Dari sini beliau menyimpulkan
bahwa apabila ilmu qathi terputus, maka seorang mujtahid hendaknya
mengorientasilkan argumentasinya pada dalil-dalil relatif yang kuat.38 Imam
36
16
datang kemudian dapat begitu saja diqiyskan kepada hukum asal. Tentu ada
beberapa kriteria baku yang dijadikan sebagai standar seorang mujtahid dapat
menggunakan metode qiys untuk menetapkan sebuah hukum. Oleh sebab itulah
Imam Syafii menyanggah istihsan yang oleh pengikut madzhab Hanafi diakui dan
boleh dijadikan sumber hukum Islam.
Barang siapa menganggap sesuatu sebagai sebuah kebaikan, maka sesungguhnya
ia telah membuat syariat baru (heretik).
Pernyataan ini menunjukkan penolakan Imam Syafii atas metode yang
digunakan Imam Abu Hanifah yang banyak sekali mendasarkan fatwa dan
pendapat fikihnya dengan metode istihsan. Selain itu, Imam Syafii juga
menganggap istihsan sebagai salah satu argumen cacat yang tidak boleh dipakai
untuk menetapkan suatu hukum. Pendapat ini diikuti oleh sebagian besar ushuli,
karena istihsan merupakan bentuk mengambil kesenangan dan mendasarkan
hukum sesuai dengan keinginan sendiri.39
Berbeda dengan klaim yang dilontarkan oleh Imam Syafii, Istihsan dalam
pandangan penggagasnya ditekankan pada berpalingnya seorang mujtahid dari
analogi universal (qiys kulli) menuju analogi parsial (qiys juziy) dikarenakan
adanya illat (sebab) lain yang mengharuskan mujtahid untuk merubah qiys jaliy
39
17
menuju qiys khofiy.40 Maka sebenarnya terdapat titik temu antara penolakan
Imam Syafii terhadap istihsan yang beliau maksud, dengan istihsan menurut
Hanafiyah.
Tentu saja dalam pandangan Hanafiyah, istihsan bukanlah bentuk
mengambil suatu hukum berdasarkan kesenangan. Karena dengan beberapa
contoh yang dikemukakan, semua bentuk istihsan yang dipraktekkan oleh
Hanafiyah terjadi karena adanya kebutuhan yang mendesak. Di sinilah letak
persamaan antara Imam Syafii dan Hanafiyah.
Munculnya Qoul Qodim dan Qoul Hadits dalam Tradisi Madzhab Skolastik
Imam Syafii
Qoul qodim adalah fatwa-fatwa Imam Syafii yang beliau kemukakan
ketika beliau berada di Baghdad. Terdapat 24 fatwa yang yang dikenal dengan
qoul qodim. Para perawi dari qoul qodim Syafii itu ada empat, dan yang paling
masyhur ialah Ahmad bin Hanbal, Imam Al-Karobisi, Imam Zafaroni, dan juga
Imam Abu Tsaur. Sedangkan qoul jadid ialah fatwa-fatwa Syafii yang beliau
kemukakan di Mesir dan meralat kembali fatwa-fatwa yang telah beliau
kemukakan di Baghdad karena beliau menemukan kelemahan dalil-dalilnya. Di
antara para perawi qoul jadid beliau ialah Imam Al-Muzani, Imam Al-Buwaithi,
Imam Ar-Rabi Al-Jizi, dan Imam Imam Ar-Rabi bin Sulaiman Al-Murodi,
perawi kitab al-Ummnya Syafii.
Riwayat menyebutkan, Syafii meralat keseluruhan qoul qodim kecuali
pada 17 masalah, yang menurutnya masih berpegang pada dalil yang kuat. Namun
ada juga yang berpendapat, hanya 14 qoul qodim yang tidak dirubah, namun yang
jelas bilangannya lebih banyak dari pendapat-pendapat di atas, sesuai dengan
keterangan dalam berbagai kitab turats.41 Dari sinilah muncul pernyataan Imam
Syafii yang menyebutkan:
40
41
Hudlori Bik, Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, 2003 M), hal.
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib., vol. II, hal. 273.
18
Artinya: apabila (terdapat) sebuah hadits shohih, maka itulah
madzhabku.42
19
20
21
D. Penutup
Membicarakan Imam Syafii merupakan persoalan yang sangat kompleks.
Ini dikarenakan
22
Daftar Pustaka