Untuk menganalisis kestabilan lereng perlu terlebih dahulu diketahui sistim tegangan
yang bekerja pada tanah atau batuan serta sifat fisik dan mekanik dari tanah atau
batuan tersebut. Tegangan di dalam massa batuan dalam keadaan alamiahnya adalah
tegangan vertikal, tegangan horizontal, dan tekanan air pori.
Sedangkan sifat
mekanik yang mempengaruhi kestabilan suatu lereng adalah kohesi, sudut geser
dalam, dan bobot isi.
3-1
Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang
membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya yang menahan massa
batuan tersebut (gaya penahan). Suatu lereng akan longsor jika gaya penggeraknya
lebih besar dari gaya penahannya. Secara matematis, kestabilan suatu lereng dapat
dinyatakan dalam bentuk faktor keamanan (Fk), dimana:
Fk =
Gaya penahan
..................................................................................(3.1)
Gaya penggerak
Kondisi Beban
Dengan gempa
Tanpa gempa
Dengan gempa
Tanpa gempa
Dengan gempa
Tanpa gempa
Teliti
1.50
1.80
1.30
1.50
1.10
1.25
Maksimum
Kurang teliti
1.75
2.00
1.60
1.80
1.25
1.40
Teliti
1.35
1.60
1.20
1.35
1.00
1.10
Minimum
Kurang Teliti
1.50
1.80
1.40
1.50
1.10
1.20
3-2
3. Struktur Geologi
Struktur geologi adalah merupakan bidang lemah yang berkembang di dalam massa
batuan dan dapat menurunkan kestabilan suatu lereng.
4. Iklim
Berpengaruh
terhadap
kestabilan
lereng
karena
mempengaruhi
perubahan
temperatur. Perubahan temperatur yang cepat sekali berubah dalam waktu yang
singkat akan mempercepat proses pelapukan batuan.
5. Geometri Lereng
Geometri lereng meliputi tinggi lereng dan sudut kemiringan lereng. Lereng dengan
ketinggian yang lebih tinggi mempunyai kestabilan yang lebih kecil dibandingkan
lereng yang lebih rendah. Demikian juga untuk lereng dengan sudut lereng yang
lebih besar mempunyai kestabilan yang lebih kecil dibandingkan lereng dengan
sudut lereng lebih kecil. Kandungan air tanah juga akan mempengaruhi kestabilan
suatu lereng. Lereng dengan muka air tanah yang lebih tinggi akan mempunyai
kestabilan yang lebih kecil dibandingkan lereng dengan muka air tanah yang lebih
rendah.
3-3
6. Gaya Luar
Gaya luar seperti getaran yang ditimbulkan oleh peledakan ataupun kendaraan akan
dapat mempengaruhi kestabilan suatu lereng.
Terzaghi dan Peck (1967) menyatakan bahwa longsoran dapat terjadi pada hampir
setiap kemungkinan, perlahan-lahan ataupun secara tiba-tiba dan dengan atau tanpa
adanya suatu peringatan yang nyata
Berdasarkan kedudukan bidang lemah pada batuan, longsoran yang sering terjadi
adalah longsoran busur (circular failure) yaitu longsoran yang berbentuk busur
biasanya terbentuk pada material yang umumnya homogen sedangkan pada material
dengan heterogenitas kompleks sering terjadi longsoran bidang(plane failure),
longsoran baji (wedge failure) dan juga longsoran toppling. (lihat Gambar 3.1)
Longsoran pada tanah diasumsikan terjadi pada suatu massa tanah yang homogen
dan kontinu, sehingga bentuk/geometri dari longsoran tersebut berupa busur
lingkaran atau paling tidak mendekati/dapat dianggap sebagai busur lingkaran.
Dalam hal ini parameter-parameter sifat fisik maupun sifat mekanik tanah dianggap
sama dan merata di semua bagian tubuh tanah tersebut. Sedangkan pada batuan
keras, untuk batuan yang utuh (intact) sifatnya juga homogen dan kontinyu seperti
pada tanah, tetapi karena batuan utuh tersebut sangat kuat maka umumnya tidak ada
masalah mengenai kemantapan lerengnya. Masalah kemantapan lereng akan muncul
apabila batuan keras tersebut mempunyai bidang-bidang lemah (discontinuities).
3-4
Gambar 3.1. Hubungan Bidang Diskontinuitas dan Jenis Longsoran (Hoek dan Bray,
1980)
3-5
Salah satu metode yang kini banyak diterapkan pada suatu analisis kestabilan lereng
adalah metode kesetimbangan batas yang secara umum mensyaratkan pembagian
massa tanah menjadi beberapa irisan. Arah-arah gaya yang bekerja pada setiap irisan
selanjutnya diasumsikan. Asumsi inilah yang membedakan satu metode dengan
metode lainnya. Selain itu, metode ini memerlukan pendefinisian permukaan longsor
yang digunakan untuk perhitungan faktor keamanan minimum.
Pada metode Bishop, besarnya P (gaya normal pada dasar irisan) diperoleh dengan
menguraikan gaya-gaya yang bekerja pada irisan dalam arah gaya berat (W) atau
semua resultan gaya pada batas vertikal irisan bekerja dalam arah horizontal, untuk
menghitung besarnya faktor keamanan dapat dilihat pada Gambar 3.2.
3-6
P
s
S= C+P tan
S = sl
P
l
En
Cl
f
Xn+1
xn
w
En+1
P
P
X=Xn+1
S
Ptan
F
u
E=En+1
Gambar 3.2. Gaya-gaya yang bekerja pada irisisan dengan Bishop Simplified
Keterangan:
S : kekuatan geser efektif
s : kekuatan geser yang ada
c : kohesi efektif
P : gaya normal efektif pada dasar irisan
3-7
tan
c' l sin
sin +
= (W + X n X n +1 )
F
F
tan
c' l sin
sin = ( W + X n X n +1 )
u l cos
F
F
tan
c' sin
sin ) = (W + X n X n +1 ) l (
u cos )
F
F
(P-ul) (cos +
( P ul ) =
c' sin
] + u cos )
F
. ............................................................... (3.2)
tan '
cos +
sin ]
F
W l ([
Nilai Faktor Keamanan (F) dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :
1
F=
W . sin
Jika 1 =
c'1 +
c'1sin
] tan '
F
...................................... (3.3)
tan '. tan
cos [1 +
]
F
[W 1 cos
b
maka :
cos
1
F=
WSin
Sec
C ' b + (W b) tan ' ) 1 + tan . tan
.. ........................... (3.4)
Nilai F pada persamaan 3.4 terdapat pada sisi kiri dan kanan, karena itu untuk
menghitung besarnya nilai F harus digunakan cara yaitu diambil nilai F sembarang
3-8
sebagai percobaan, kemudian nilai F yang diperoleh dimasukkan lagi pada ruas
kanan dan seterusnya sampai didapat F ruas kanan sama dengan ruas kiri (iterasi).
Longsoran bidang bila dibandingkan dengan jenis longsoran yang lain merupakan
longsoran yang relatif jarang terjadi. Namun bila kondisi yang menunjang terjadinya
longsoran bidang ada, maka longsoran yang terjadi mungkin akan lebih besar secara
volume daripada longsoran lainnya.
Longsoran bidang akan terjadi bila seluruh kondisi di bawah ini terpenuhi:
1. Bidang gelincir mempunyai arah jurus (strike) sejajar atau hampir sejajar
dengan arah jurus muka lereng dengan perbedaan maksimal 20o.
2. Kemiringan bidang gelincir harus lebih kecil daripada kemiringan muka
lereng (p < f)
3. Kemiringan bidang gelincir harus lebih besar daripada sudut geser dalam (p
> ).
4. Harus terdapat bidang bebas (release) yang menjadi pembatas di kiri dan
kanan blok yang menggelincir.
3-9
Gambar 3.3. Kondisi umum longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1980)
Dalam analisis longsoran bidang perlu diperhatikan posisi rekahan tarik, apakah di
belakang crest lereng atau di muka lereng (Gambar 3.4). Sedangkan asumsi-asumsi
yang digunakan dalam analisis ini adalah:
3-10
1. Bidang gelincir dan rekahan tarik mempunyai arah jurus sejajar dengan arah
jurus lereng.
2. Rekahan tarik adalah bidang vertikal dan terisi air sedalam zw.
3. Air membasahi bidang gelincir melewati bagian bawah bidang rekahan tarik
dan merembes sampai di jejaknya pada muka lereng.
4. Gaya W (berat blok yang menggelincir), U (gaya angkat air), dan V (gaya
tekan air di dalam rekahan tarik) bekerja di titik pusat blok, sehingga
diasumsikan tidak ada momen penyebab rotasi.
5. Kuat geser () dari bidang gelincir adalah = c + tan, dimana c=kohesi,
=sudut geser dalam, dan =tegangan normal.
6. Terdapat bidang release di kiri dan kanan blok sehingga tidak ada hambatan
pada blok yang menggelincir.
Fk =
..............................................(3.5)
W sin p + V cos p
keterangan:
A = ( H z ) cos ec p
U=
V=
2 w z w (H
2 w zw
W=
2 H
W=
2 H
z ) cos ec p
( ) cot
1 z H
( ) cot (cot
1 z H
tan
3-11
Gambar 3.4. Posisi rekahan tarik pada lereng batuan (Hoek dan Bray, 1980)
Bila lereng tersebut berada di daerah rawan gempa dan percepatan yang ditimbulkan
oleh gempa dapat dimodelkan menjadi gaya statis W, maka perhitungan faktor
keamanan dapat dilakukan dengan memasukan pengaruh gempa sehingga persamaan
3.5. menjadi:
Fk =
...(3.6)
Longsoran baji terjadi jika terdapat 2 bidang lemah atau lebih berpotongan
sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng (Gambar 3.5).
Persyaratan lainnya yang harus dipenuhi untuk terjadinya longsoran baji adalah bila
sudut lereng lebih besar daripada sudut garis potong kedua bidang lemah tersebut (fi
> i), dan sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut geser
dalamnya.
3-12
Apabila ketahanan geser bidang gelincir dipengaruhi oleh kohesi dan dijumpai pula
adanya rembesan air di bidang-bidang lemah tersebut, maka penentuan faktor
keamanan harus mempertimbangkan kedua faktor tersebut. Dengan asumsi bahwa air
hanya masuk di sepanjang garis potong bidang lemah dengan muka atas lereng (garis
3 dan 4 pada Gambar 3.6) dan merembes keluar di sepanjang garis potong bidang
lemah dengan muka lereng (garis 1 dan 2 pada Gambar 3.6), serta baji berisifat
impermeable, maka persamaan yang digunakan untuk menentukan faktor keamanan
adalah:
Fk =
3
(c A X + c B Y ) + ( A w X ) tan A + ( B w Y ) tan B ...(3.7)
H
2
2
keterangan:
cA dan cB = kohesi bidang lemah A dan B
A dan B = sudut geser dalam bidang lemah A dan B
= Bobot isi batuan
w = Bobot isi air
H = Tinggi keseluruhan baji yang terbentuk (Gambar 3.5)
X = sin24/(sin45cos2.na)
Y = sin13/(sin35cos1.nb)
A = (cosa-cosbcosna.nb)/(sin5sin2na.nb)
B = (cosb-cosacosna.nb)/(sin5sin2na.nb)
a dan b = Dip bidang lemah A dan B
5 = plunge dari garis potong kedua bidang lemah (garis nomor 5)
24 dll = Sudut-sudut yang diperoleh dengan menggunakan streonet seperti telihat
pada Gambar 3.7.
3-13
3-14
Gambar 3.7. Stereoplot geometri baji untuk analisis kestabilan lereng (Hoek dan
Bray, 1980)
Analisis longsoran guling ini mengambil asumsi bahwa longsoran yang terjadi
mempunyai n buah blok yang berbentuk teratur dengan lebar x dan tinggi yn
(Gambar 3.8). Untuk keperluan analisis, penomoran blok dimulai dari bawah (toe) ke
atas. Sudut kemiringan lereng adalah dan kemiringan muka lereng adalah u,
sedangkan dip dari bidang-bidang lemah adalah 90-. Undak-undakan yang terjadi
akibat longsoran berbentuk teratur dan mempunyai kemiringan . Konstanta a1, a2,
dan b selanjutnya dihitung dengan persamaan 3.8.
3-15
a1 = x tan(-)
a2 = x tan(-u)
b1 = x tan(-) .(3.8)
Berdasarkan model pada Gambar 3.8, terdapat 3 kelompok blok dengan tingkat
kemantapan yang berbeda. yaitu:
-
Dengan geometri yang berbeda, mungkin saja blok yang mantap dan yang akan
tergelincir berubah menjadi terguling semua.
Gambar 3.8. Model longsoran guling untuk analisis kesetimbangan batas (Hoek dan
Bray, 1980)
3-16
: Mn = yn a2; Ln = yn-a1; Kn = 0
Sementara untuk gaya-gaya Qn, Qn-1, Rn, dan Sn dihitung dengan persamaan 3.11.
Qn = Pn tan
Qn-1 = Pn-1 tan
Rn = Wn cos +(Pn Pn-1) tan
Sn = Wn sin +(Pn Pn-1) tan .............................................................................(3.11)
dimana Wn = yn x
Gambar 3.9. Kondisi keseimbangan batas blok ke-n yang akan terguling dan
tergelincir (Hoek dan Bray, 1980)
3-17
Sedangkan untuk gaya-gaya Pn dan Pn-1, perhitungannya dibedakan untuk blok yang
terguling dan blok yang tergelincir.
Untuk blok ke-n yang terguling, dicirikan dengan yn/x > cot bila > , maka :
Pn-1,t
Untuk kontrol lebih lanjut bisa dilihat bahwa pada blok ini harga Rn > 0 dan |Sn| < Rn
tan.
Pn-1,s
3-18
Jika Po > 0, maka lereng berada dalam kondisi tidak mantap untuk nilai
yang diasumsikan. Disarankan untuk mengulang perhitungan dengan
meningkatkan nilai .
Jika Po > 0 tetapi cukup kecil, maka lereng berada dalam kondisi seimbang
untuk nilai yang diasumsikan. Nilai dipakai sebagai sudut geser dalam
pada keadaan kemantapan batas.
tan 1
.......................................................................................................(3.14)
tan 2
keterangan:
1 = sudut geser dalam sebenarnya di lapangan
2 = sudut geser dalam pada kemantapan batas
3-19
adalah klasifikasi massa batuan versi tahun 1989 (Bieniawski, 1989). 5 Parameter
utama dan 1 parameter kondisi yang digunakan dalam klasifikasi RMR yaitu:
1. Kuat tekan uniaxial batuan utuh.
2. Rock Quality Designatian (RQD).
3. Spasi bidang dikontinyu.
4. Kondisi bidang diskontinyu.
5. Kondisi air tanah.
6. Orientasi/arah bidang diskontinyu.
Pada penggunaan sistim klasifikasi ini, massa batuan dibagi kedalam daerah
struktural yang memiliki kesamaan sifat berdasarkan 6 parameter di atas dan
klasifikasi massa batuan untuk setiap daerah tersebut dibuat terpisah. Batas dari
daerah struktur tersebut biasanya disesuaikan dengan kenampakan perubahan
struktur geologi seperti patahan, perubahan kerapatan kekar, dan perubahan jenis
batuan.
Dalam klasifikasi massa batuan dengan Rock Mass Rating (RMR) system seperti
disajikan pada Tabel III.2., setiap parameter yang ditinjau mempunyai nilai rating
tersendiri. Nilai-nilai dari setiap parameter tersebut kemudian dijumlahkan untuk
memperoleh nilai RMR. Yang perlu mendapat perhatian pada penggunaan klasifikasi
massa batuan dengan sistim RMR ini adalah pada Bagian B yaitu pengaturan nilai
untuk orientasi bidang diskontinyu. Pada bagian tersebut penilaian rating dibagi ke
dalam 3 bagian yaitu: penilaian untuk terowongan, pondasi, dan lereng. Pada
penelitian ini, nilai rating yang digunakan adalah nilai rating untuk lereng.
3-20
Rock Mass Rating (RMR) diperkenalkan dan dikembangkan oleh Bieniawski (1973,
1984, 1989). RMR pertamakali dikembangkan untuk aplikasi pada terowongan dan
sangat baik untuk menggambarkan sifat massa batuan.
3-21
Romana (1985) memperkenalkan suatu penyesuaian pada konsep RMR khusus untuk
lereng yang dikenal dengan Slope Mass Rating (SMR).
Slope Mass Rating (SMR) diperoleh dari nilai RMR yang dikoreksi oleh faktorfaktor penyesuai yang tergantung kepada arah relative kekar dan lereng, dan metode
penggalian, yang diekpresikan dengan persamaan 3.15
SMR = RMR + ( F1 xF2 xF3 ) + F4 ...(3.15)
F1 tergantung kepada kesejajaran antara arah jurus (strike) kekar dan muka
lereng. Nilainya berkisar antara 1.00 hingga 0.15. Nilai tersebut dapat pula
diekpresikan ke dalam rumus: F1 = (1 - sin A)2, dimana A adalah sudut antara
arah jurus kekar dan muka lereng.
3-22
PARAMETER
UCS (Mpa) UNCONFINED
COMPRESSIVE STRENGTH OF
INTACT ROCK MATERIAL
<250
250 - 100
100 - 50
50 - 25
15
12
100 - 90
90 - 75
75 - 50
50 - 25
20
17
13
> 2000
2000 - 600
600 - 200
20
15
<1
< 25
3
< 60
SLICKENSIDED WALS
SOFT GOUGE >5mm, OR
OR GOUGE <5mm, OR
SEPARATION >5mm
SEPARATION 1-5mm
CONTINUOUS
CONTINUOUS
SLIGHTLY ROUGH,
SEPARATION <1mm,
HYGHLY WEATHERED
WALLS
25
20
10
10
30
GROUNDWATER IN JOINTS (PORE COMPLETELY DRY (NONE)
PRESSURE RATIO)
15
5-1
200 - 60
10
< 25
25-5
|js |=
TOPPLING FAILURE
|js-180|=
FAIR
UNFAVOURABLE
30o - 20o
20o - 10o
10o - 5o
<5o
0.15
0.40
0.70
0.85
1.00
F1 = (1 - SIN |js| )2
35o - 45o
30o - 35o
0.70
0.85
1.00
2
F2 = TAN j
10o - 0o
0o
0o - (-10o)
110o - 120o
>120o
-6
-25
-50
F3 = BIENIAWSKI ADJUSMENT RATINGS FOR JOINTS ORIENTATION, 1976
< 20o
0.15
| j |=
PLANE FAILURE - F2 VALUE
20o - 30o
0.40
RELATIONSHIP
js =
j + s =
VERY UNFAVOURABLE
FAVOURABLE
> 30o
RELATIONSHIP
TOPPLING FAILURE
s = DIP OF SLOPE
VERY FAVOURABLE
F1 VALUE
PLANE FAILURE
j = DIP OF JOINT,
> 10o
< 110o
0
F3 VALUE
RELATIONSHIP
> 45o
1.00
< (-10o)
-60
NATURAL SLOPE
15
PRESPLITING
10
SMOOTH BLASTING
8
DEFICIENT BLASTING
-8
CLASS
DESCRIPTION
STABILITY
Va
VERY BAD
COMPLETELY UNSTABLE
BAD
UNSTABLE
FAILURES
SUPPORT
RE-EXCAVATION
IMPORTANT/CORRECTIVE
IVb
IVa
IIIb
IIIa
FAIR
PARTIALLY STABLE
SOME JOINTS OR MANY
WEDGES
IIb
GOOD
STABLE
IIIb
IIIa
VERY GOOD
COMPLETELY STABLE
SOME BLOCKES
NONE
OCCASIONAL
NONE
SYSTEMATIC
IIa
VERY BIG
MAJOR
MANY
MAJOR
MINOR
15
20
NONE
NONE
POSSIBLE
10
NONE
VERY FEW
NONE
SOME
30
40
50
55
60
65
70
75
80
RE-EXCAVATION WALLS
SURFACE DRAINAGE, DEEP DRAINAGE
SHOTCRETE, DENTAL CONCRETE, RIBS, AND/OR BEAM S TOE WALLS
BOLTS ANCHORS
TOE DITCH, TOE OR SLOPE FENCES NETS
SCALING NONE
3-23
90
100
Gambar 3.10. Diagram idealisasi transisi dari batuan utuh ke massa batuan yang terkekarkan
(Hoek dan Brown, 1980)
3-24
'
1 dan 3 adalah tegangan efektif maksimum dan minimum pada saat runtuh, mb
konstanta Hoek-Brown m untuk massa batuan, s dan a adalah konstanta yang
tergantung kepada karakteristik massa batuan, dan ci adalah nilai kuat tekan batuan
utuh. Untuk batuan utuh, nilai s dan a ditetapkan 1 dan 0.5 sehingga rumusan HoekBrown untuk batuan utuh dihitung dengan persamaan 3.17.
'
'1 = '3 + ci mi 3 + 1
ci
0.5
..(3.17)
3.5.2. Geological Strength Index (GSI) dan Rock Mass Rating (RMR)
3-25
kekuatan massa batuan yang lebih besar dibandingkan dengan dengan blok batuan
yang membundar dan bidang permukaanya terlapukan.
Geological Strength Index (GSI) diperkenalkan oleh Hoek (1995) dan Hoek, Kaiser,
dan Bawden (1995) ditujukan untuk memperkirakan berkurangnya kekuatan suatu
massa batuan yang disebabkan oleh kondisi geologi yang berbeda. Sistem GSI ini
dapat dilihat pada Table III.4.
GSI 100
mb = mi exp
.....................................................................................(3.18)
28 14 D
GSI 100
s = exp
............................................................................................(3.19)
9 3D
a=
20
1 1 GSI / 15
+ e
e 3 ..................................................................................(3.20)
2 6
3-26
air tanah adalah 15 dan arah bidang diskontinyu adalah 0, sehingga rumusan di atas
dapat ditulis pula sebagai:
RMR 95
mb = mi exp
.....................................................................................(3.21)
28 14 D
RMR 95
s = exp
............................................................................................(3.22)
9 3D
a=
RMR
20
1 1 5 1
+ e
e 3 ..................................................................................(3.23)
2 6
'n =
.
d '1
2
2
+1
d ' 3
= ( '1 '3 )
d '1 / d '3
d '1 / d '3 +1
.................................................................................(3.25)
a 1
.................................................(3.26)
Parameter geoteknik yang banyak digunakan saat ini adalah berdasarkan kriteria
keruntuhan Mohr-Coulomb, sehingga perlu ditentukan kesetaraan nilai kohesi (c)
dan sudut geser dalam () untuk setiap massa batuan. Hal ini dilakukan dengan cara
mencocokan kurva hasil perhitungan kriteria keruntuhan Hoek-Brown untuk
berbagai nilai tegangan principal minimum seperti dapat dilihat pada Gambar 3.11.
3-27
3-28
6amb ( s + mb '3n ) a 1
...(3.27)
a 1
2(1 + a )(2 + a ) + 6amb ( s + mb '3n )
' = sin 1
c' =
(1 + a )(2 + a )
.......(3.28)
keterangan: 3n=3max/ci
' 3 max
'
= 0.47 cm
' cm
H
'3 max
'
= 0.72 cm
' cm
H
0.94
0.91
3-29
cm adalah kekuatan massa batuan global (global strength) yang dicari dengan
persamaan 3.31:
(m + 4s a(mb 8s))(mb / 4 + s )
2c' cos '
' cm =
atau ' cm = ci . b
1 sin '
2(1 + a )(2 + a )
a 1
(3.31)
Setelah semua parameter Mohr-Coulomb didapat, kriteria keruntuhan MohrCoulomb dapat ditulis dengan persamaan 3.32 dan 3.33:
'1 =
Mendesain suatu lereng pada suatu tambang terbuka dengan kriteria Hoek-Brown
dengan asumsi massa batuan insitu tidak terganggu (undisturb in-situ rock masses)
dimana D=0 adalah terlalu optimistic (Hoek 2002). Kerusakan massa batuan dapat
disebabkan oleh peledakan dan pelepasan tegangan (stress relief) akibat lepasnya
overburden. Oleh karena itu harus dipertimbangkan adanya faktor untuk
mempertimbangkan tingkat kerusakan massa batuan akibat proses tersebut di atas.
Untuk mengakomodasi hal tersebut, Hoek (2002) memperkenalkan faktor kerusakan
massa batuan (disturbance factor) D yang merupakan nilai tingkat kerusakan massa
batuan yang diakibatkan oleh peledakan maupun pelepasan tegangan. Pedoman
untuk menentukan besaran nilai D disajikan pada Tabel III.5.
3-30
Suggested
value of D
D = 0
D = 0
D = 0.5
N o invert
D = 0.8
D = 0.7
S m all scale blasting in civil engineering slopes results in
m odest rock m ass dam age, particularly if controlled blasting G ood blasting
is used as show n on the left hand side of the photograph.
D = 1.0
H ow ever, stress relief results in som e disturbance.
P oor blasting
D = 1.0
P roduction
blasting
D = 0.7
M echanical
excavation
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa kestabilan lereng dapat berubah terhadap
waktu. Perubahan kestabilan lereng terhadap waktu tersebut terutama disebabkan
oleh proses pelapukan yang terjadi secara intensif di daerah tropis seperti di
Indonesia.
3-31
Untuk
parameter
pembentuk lereng
yang
Perilaku terhadap waktu dari suatu material dapat didekati dengan kombinasi dua
model rheologi, yaitu Hooke dan Newton. Melihat persamaan dasar perilaku
terhadap waktu, terlihat bahwa tidak ada persamaan umum yang cukup untuk
mendefinisikan sifat rheologi suatu material.
Sejauh ini, uji rayapan uniaksial di laboratorium merupakan metode yang banyak
digunakan untuk menentukan perilaku terhadap waktu dari suatu material. Goodman
(1989) mengklasifikasikan rayapan uniaksial menjadi 4 tahap, yaitu: regangan elastik
seketika (o), rayapan primer (I), rayapan sekunder (II), dan rayapan tertier (III)
seperti dapat dilihat pada Gambar 3.12.
3-32
Regangan elastik seketika terjadi segera setelah tegangan diberikan pada contoh
batuan dan diikuti oleh rayapan primer. Pada tahap ini contoh akan kembali ke
keadaan semula jika tegangan yang bekerja dihilangkan (OQR). Rayapan sekunder
diindikasikan oleh regangan dengan kecepatan konstan dan ketika tegangan
dihentikan telah terjadi regangan permanen (TUV). Pada rayapan tersier, kecepatan
regangan elastik akan meningkat hingga contoh mengalami keruntuhan.
3-33
Tegangan yang dikenakan pada contoh batuan dalam uji rayapan biasanya lebih kecil
daripada tegangan yang dikenakan pada uji standar seperti uji tekan uniaksial, dan uji
geser langsung. Dengan memplot besarnya tegangan terhadap waktu keruntuhan,
kekuatan jangka panjang dari contoh batuan dapat diperkirakan seperti dapat dilihat
pada Gambar 3.13.
Uji rayapan dapat dilakukan berdasarkan pada beban tetap menerus (continuous
constant) ataupun beban banyak tahap (multistage loads). Pada beban tetap menerus
memerlukan banyak contoh batuan, sedangkan pada beban banyak tahap
memerlukan lebih sedikit contoh batuan walaupun beban yang diberikan telah
terpengaruh oleh beban sebelumnya.
3-34