Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA

Disusun oleh :
Nick Yuangga N. (6312010003)

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO PROGRAM STUDI


TEKNIK LISTIK INDUSTRI
POLITEKNIK NEGERI JAKARTA BBPLKLN CEVEST BEKASI
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Hubungan Gereja dan Negara. Makalah ini
diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Kristen.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
menyempurnakan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Terima kasih.

Bekasi, Desember 2014

Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Agama memberikan peran sangat penting dalam kehidupan masyarakat serta dalam
pengembangan berbagai sektor kehidupan. Dalam kenyataannya, agama dan Negara memiki
hubungan yang saling terkait satu sama lain. Agama juga mengajarkan bagaimana kita
berperilaku dalam suatu Negara. Di sini pemahaman agama menurut Perjanjian Lama menjadi
suatu kebutuhan. dan kemudian menawarkan hubungan yang lebih tepat antara negara dan
agama serta bagaimana aplikasinya dalam konteks Indonesia.
Melihat efek negatif dari pemahaman yang tidak utuh tentang negara yang dihasilkan
melalui data yang tidak lengkap, karena hanya dari PB (Perjanjian Baru), demikian sebaliknya.
Namun karena pembenaran tentang hubungan agama dan negara yang menyertai kesadaran baru
dalam peran politik Kristen saat ini adalah PL (Perjanjian Lama), maka penulis merasa perlu
untuk mengangkat kembali berita PL (Perjanjian Lama) untuk dapat memberikan dasar-dasar
konseptual yang kuat tentang negara menurut Alkitab. Dengan demikian orang Kristen dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam hal keterlibatannya bagi negara, secara khusus di bumi
Indonesia yang masih bebenah diri untuk menuntaskan tuntutan reformasi di segala bidang.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dalam makalah ini akan membahas tentang :
1. Teokrasi dalam Bangsa Israel
2. Kegagalan Teokrasi Israel dan Munculnya Negara Sekular
3. Sisi Negatif dari Negara
4. Pemisahan Negara dari Agama
5. POLA-POLA HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA
6. Pandangan Roma Katholik
7. Pandangan Marthin Luther
8. Pandangan John Calvin
9. TERAPAN DALAM KONTEKS INDONESIA
10. Ketidakabsahan suatu Negara Agama di Negara Pancasila
11. Prinsip Hubungan Negara dan Agama di Indonesia

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Teokrasi dalam Bangsa Israel


Pada waktu manusia diciptakan kemudian ditempatkan dalam taman Eden, di sana tidak
dilaporkan ada negara serta perlunya negara untuk mengatur umat manusia yang niscaya akan
mengalami perkembangan. Pada waktu Allah memerintahkan manusia untuk berkembang biak
dan memenuhi bumi, Allah tidak memerintahkan manusia untuk membangun negara bila jumlah
manusia telah cukup dan membutuhkan suatu negara dalam pengorganisasian manusia.
Mengenai keberadaan manusia sebelum jatuh dalam dosa yang tidak memerlukan negara Kuyper
menjelaskan seperti berikut ini.
Sebab sesungguhnya tanpa dosa pasti tidak akan ada tatanan penguasa dan negara; tetapi
kehidupan politik, dalam keseluruhannya akan berevolusi sendiri, menurut pola patriark, yaitu
dari kehidupan keluarga. Tidak ada system peradilan, polisi, tentara, angkatan laut, yang perlu
diberlakukan dalam dunia yang tanpa dosa; dan dengan demikian, setiap peraturan dan hukum
akan ditinggalkan, bahkan semua kendali dan penegasan kekuasaan penguasa akan lenyap, dan
kehidupan berkembang dengan sendirinya, secara normal dan tanpa hambatan, dari dorongan
organiknya sendiri. Siapa yang perlu mengikat jika tidak ada perpecahan? Siapa yang
memerlukan tongkat jika tangan dan kaki bekerja dengan sehat?
Manusia adalah mahkluk sosial, hal tersebut nyata dalam penciptaan manusia yang tak
terpisah dengan manusia lainnya, kecuali Adam. Allah memberi mandat kepada manusia untuk
hidup dalam kebersamaan, melalui penciptaan manusia yang tak terpisah. Setelah Adam dan
hawa diciptakan, Allah memerintahkan mereka untuk berkembang biak, bertambah banyak.
Perkembangan manusia terjadi dalam komunitas, dan setiap manusia lahir, dibesarkan dalam
komunitas, berarti manusia adalah mahkluk sosial. Kehidupan sosial ini dapat berjalan tanpa
negara, karena Allah yang menjadi raja. Allah yang bebas, merdeka, tidak pernah melanggar
hukum-hukumnya sendiri pada waktu Allah melaksanakan kebebasannya, demikian juga
manusia yang total bergantung kepada Tuhan. Namun sejak kejatuhan, manusia tidak lagi total
bergantung dengan Tuhan. Manusia tidak lagi mampu menggunakan kebebasannya tanpa
mengganggu hak-hak orang lain, bahkan sering kali membinasakan pesaingnya, khususnya sejak
pembunuhan Habel.

Manusia terus bertambah jahat. Mengenai kejahatan manusia Alkitab mencatat demikian:
"Adapun bumi itu telah rusak dihadapan Allah dan penuh dengan kekerasan. Allah menilik bumi
itu dan sungguhlah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi."
(Kejadian 6:11-12). Setelah air bah Allah membuat perjanjian dengan Nuh; Allah
mendelegasikan kepada Nuh kuasa untuk memelihara masyarakat dengan menghukum pelaku
kejahatan, "...dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesamanya. Siapa yang
menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat
manusia itu menurut gambar-Nya sendiri (Kejadian 9:5-6)". Perintah Allah kepada Nuh ini
merupakan `pemerintahan manusia' yang diberikan legitimasi ilahi. Dan perintah ini tidak
dibatasi pada Nuh, tetapi juga hingga saat ini, karena perjanjian Allah dengan Nuh ini merupakan
perjanjian yang kekal (Kejadian 9:16), kebenaran ini harus juga diterapkan oleh orang Kristen
pada saat ini, yaitu memberikan hukuman yang sebanding dengan tingkat kejahatan.
Implikasinya penegakkan hukum menjadi keharusan yang tidak dapat ditolak oleh pemerintahan
negara.
Setelah tindakan Allah yang mencerai-beraikan manusia, maka Allah melakukan
intervensi dalam menciptakan negara untuk pemeliharaan bumi. Dengan diawali pemanggilan
Abraham, yang kemudian melahirkan bangsa Israel, yaitu bangsa pilihan. Bangsa Israel yang
dipilih Tuhan untuk menjadi negara yang memuliakan Tuhan. Allah menjanjikan Israel sebagai
bangsa dan akan memiliki daerah kekuasaan yaitu seluruh tanah Kanaan, Israel harus
membaktikan hidupnya kepada Allah untuk menjadi negara yang menjalankan mandat Allah
dalam memelihara dunia ciptaan Tuhan. Sebagai negara, Israel telah lengkap karena memiliki:
Raja (Tuhan), Rakyat (bangsa Israel, dan wilayah (Kanaan). Pemerintahan Allah atas Israel
bertujuan untuk menjadikan bangsa dan/negra Israel sebagai saksi bagi bangsa-bangsa lain, Allah
Israel adalah Allah yang hidup, pencipta langit dan Bumi.

Rencana Allah yang mulia kepada Israel, tidak dapat dinikmati oleh Israel, karena kitab
Hakim-hakim melaporkan ketidaktaatan Israel. Israel membiarkan rakyat bangsa-bangsa lain
tetap tinggal di wilayah kerajaan yang diberikan Allah. Bahkan Israel mengijinkan bangsabangsa lain untuk tetap ada dan tunduk pada kerajaan Israel. Akibatnya mereka tidak memiliki
kemampuan untuk memiliki otoritas atas wilayah yang diberikan Allah, di mana Allah bertahta di
tengah-tengah mereka. Setelah kegagalan Israel mentaati Allah dalam kitab hakim-hakim, maka
kitab Samuel dan kitab Raja-raja, melaporkan juga kegagalan Israel tersebut. Pembuangan
bangsa Israel merupakan bukti kegagalan Israel sebagai bangsa untuk mentaati Allah.

2.2 Kegagalan Teokrasi Israel dan Munculnya Negara Sekular


Israel sebagi negara teokrasi telah gagal, Israel adalah "negara gagal" Israel sebagai
negara baru muncul kembali pada abad 20 M, namun negara Israel yang ada sekarang berbeda
dengan Israel dalam Perjanjian Lama. Setelah kegagalan Israel, Allah menunjukan pemeliharaanNya pada alam semesta melalui pemerintahn sekuler. Namun tidak berarti sebelum Israel sebagai
negara mengalami kegagalan, Allah tidak melakukan pemeliharaan dunia melalui raja-raja di luar
Israel. Sebelumnya Allah hanya memfokuskan pada Israel, karena Israel yang akan menyatukan
semua bangsa di bumi. Karena kegagalam Israel maka tujuan Allah atas Israel tidak digenapi
dalam Israel, tetapi hal ini bukan berarti kegagalan Allah.
Perlidungan Allah atas Israel melalui pemerintahan bangsa lain adalah nyata dalam
Alkitab. Jadi dalam negara di mana rakyat kerajaan itu tidak mengakui Allah sebagai raja, Allah
tetap raja yang berdaulat. Karena ketuhanan Allah tidak bergantung pada pengakuan manusia,
Allah tetap Allah yang berdaulat, baik dengan pengakuan maupun tanpa pengakuan.
Pemeliharaan Allah terhadap dunia yang diciptakannya dapat juga melalui pemerintahan bangsa
non Israel (sekular). Di sini terlihat bahwa Allah juga memakai `pemerintahan sekuler.' Intervensi
Allah secara langsung dengan pemerintah yang berasal dari Allah, yaitu bersikap adil terhadap
semua individu dalam kerajaannya. Daniel, Sadrak, Mesak dan Abednego terlibat aktif dalam
pemerintahan raja Nebukadnezar. Bahkan sebelum pembuangan Allah memerintahkan Israel
melalui Yeremia untuk mengusahakan kesejahteraan daerah di mana umat Allah berada.

Dalam pimpinan Ezra, kerajaan Israel berusaha dibangunkan kembali. yaitu kerajaan
Israel yang memuliakan Allah. Penulisan kitab Tawarikh menceritakan kegemilangan kerajaan
Israel dibuat Ezra untuk menyadarkan Israel tentang pentingnya hidup sebagai bangsa pilihan
Allah .3 Usaha Ezra mentransformasikan hukum-hukum Allah dalam peraturan hidup sehari-hari
secara lebih rinci merupakan wujud kerinduan Ezra untuk membangun kerajaan Israel yang telah
hancur. Namun, sejarah PL melaporkan bahwa Israel adalah negara gagal, dan negara sekuler
dipakai Allah sebagai alat untuk memelihara ciptaan-Nya.

2.3 Sisi Negatif dari Negara


Dalam Perjanjian Lama jelas dilaporkan bahwa negara tidak berada dalam ordo
penciptaan, melainkan dalam ordo pemeliharaan. Sebelum kejatuhan tidak ada negara.
Pemahaman ini menjadi landasan pemikiran Luther dan Calvin dalam hubungan gereja dan
negara walaupun keduanya memiliki perbedaan. Calvin memiliki pandangan yang lebih positif
tentang negara dibandingkan Luther. Pada mulanya manusia tidak memerlukan negara, karena
semua manusia dapat total bergantung dengan Tuhan dalam menjalankan kebebasannya, namun
setelah manusia jatuh ke dalam dosa dan tidak seorangpun manusia yang hidup tanpa dosa, maka
negara dibutuhkan untuk menahan kejahatan manusia. Karena itu manusia berdosa harus
ditolong oleh hukum-hukum agar dapat memperbaiki kesesatannya.
Berdasarkan perjanjian Nuh, di mana Allah memberikan legitimasi kewenangan untuk
menghukum manusia yang berbuat kejahatan. Hal itu merupakan `gambaran' pemerintah yang
menyandang pedang atau negara. Pemberian sangsi untuk menimbulkan efek jera membutuhkan
negara, walaupun negara yang dipimpin oleh manusia yang telah jatuh juga dan cenderung
menyeleweng, sebagaimana terjadi dalam sejarah raja-raja Israel. Sebelum Allah mengabulkan
permintaan Israel untuk seorang raja yang memimpin Israel, Allah telah mengingatkan bahwa
raja yang diharapkan akan menolong mereka akan cenderung menyusahkan mereka (1Samuel 8).
Namun tidak berarti bahwa negara tidak diperlukan, karena negara adalah alat Tuhan dalam
pemeliharaan dunia. Kemampuan negara untuk mengurangi kejahatan sebagai hakim antar
individu memungkinkan terjaganya hak-hak individu, di sini negara sangat berarti bagi manusia.
Keberadaan negara yang berada dalam kelemahan manusia ini karena dosa.

Pentingnya negara juga dapat dilihat pada pemberian hukum Tuhan (Taurat). Hukum
Tuhan yang berfungsi untuk mengarahkan manusia pada kehendak Tuhan dengan disertai
pemberian sangsi hukuman; jadi hukum merupakan alat negara untuk menjalankan
kewenangannya. Hukum Allah tidak eksklusif, tetapi ia adalah untuk semua, orang Kristen yang
mengerti hukum adalah perintah Allah untuk pemeliharaan dunia, dan hukum ini adalah alat
negara untuk menjalankan wewenangnya, akan terlibat mengawal kebijakan negara. Jadi hukum
Allah adalah untuk semua, yaitu sebagai perintah Allah untuk pemeliharaan dunia, dan juga
adalah alat dari negara untuk menjalankan kewenangannya. Dengan demikian orang Kristen
harus terlibat dalam mengawal kebijakan negara.
Manusia yang telah jatuh dalam dosa memerlukan hukum, bukan hanya untuk
mengarahkan pada kebenaran, namun juga untuk memberikan efek jera ketika manusia
melanggar hukum. Pemberian 10 hukum di Sinai sebagai UUD Israel merupakan persiapan
lahirnya kerajaan Israel. Hukum yang diterapkan oleh negara/kerajaan yang menjalankan
wewenang yang berasal dari Allah akan menekan kejahatan. Karena hukum yang Allah berikan
adalah berisi perintah Allah kepada manusia, sehingga semua manusia harus melaksanakannya.
Hukum adalah untuk semua, pemerintah yang adalah wakil Allah wajib untuk menegakkan
hukum Allah dalam pemerintahan. Negara walaupun dalam kelemahan tetap berguna untuk
mengurangi kejahatan. Negara dapat menghindari anarkisme, sebagaimana ditekankan oleh
Luther, lebih baik ada pemerintahan tirani dibandingkan dengan anarkisme.
Fakta mengenai pentingnya negara terlihat dalam sejarah kerajaan Israel, bahkan dimulai
dengan hakim-hakim. Tidak adanya pemimpin yang menegakkan kebenaran membuat individuindividu berbuat sekehendak hatinya. Bahkan fakta pembuangan membuktikan bahwa adanya
negara lebih baik dibandingkan tanpa negara. Pemerintahan sekuler tetap merupakan wakil Allah
dalam pemeliharaan dunia, intervensi Allah tetap ada secara langsung, menyiratkan bahwa
adanya negara, lebih baik bagi orang Israel dalam pembuangan dibanding tanpa negara.
Tindakan raja yang menghukum kejahatan adalah memberikan efek jera kepada pembuat
kejahatan, sehingga dapat mengurangi kejahatan. Negara sekuler tidak berdasarkan agama tetapi
menghargai keberagamaan rakyat, sebagaimana terjadi dalam pemerintahan Nebukadnezar.

2.4 Pemisahan Negara dari Agama

Sebelum raja Saul, Israel dipimpin oleh hakim-hakim, jabatan hakim adalah berbeda
dengan jabatan nabi dan imam. Imam hanya dari suku Lewi, tetapi hakim-hakim dari suku-suku
lain. Jarang sekali ada individu memegang dua jabatan secara bersamaan yaitu imam dan hakim
dan memiliki karunia Nabi, kecuali Musa dan Samuel. Namun dalam pengembangan kerajaan
Israel, perbedaan antara agama dan negara menjadi jelas. Raja selalu datang dari suku Yehuda,
sedang Imam dari suku Lewi. Raja tidak dapat menjadi Imam demikian juga sebaliknya, Imam
tidak dapat menjadi raja. Jika terjadi pelanggaran Allah akan menghukumnya, karena itu berarti
pelanggaran wewenang. Dalam Perjanjian Lama Raja cenderung menguasai bidang agama (tugas
Imam). Tindakan raja yang melampaui wewenangnya, dilakukan oleh Saul. Pelanggaran yang
dilakukannya adalah mempersembahkan korban yang adalah tugas Imam. Atas tindakan Saul
tersebut, Allah memutuskan Saul dari garis kerajaan (1 Samuel 13). Pelanggaran yang sama juga
dilakukan oleh Uzia. Pelanggaran tersebut lahir karena Uzia sombong dan mencoba untuk
melakukan tugas imam (2 Tawarikh 26:16-21) yang bukan menjadi wewenangnya, Uzia
dihukum Tuhan dengan penyakit kusta.
Kerajaan Israel adalah pemerintahan teokrasi, namun tidak dapat diartikan bahwa PL
melegitimasikan gereja untuk menguasai negara. Teokrasi harus diartikan sebagai pemerintahan
atau masyarakat yang diatur oleh Tuhan. Perjanjian lama memang tidak melaksanakan
pemisahan agama dan negara, namun tidak berarti agama boleh menguasai negara atau
sebaliknya. Pada waktu Elia membunuh Imam-Imam Baal (1 Raja-raja 18:40). Elia tidak kuatir
tentang hak kebebasannya untuk melaksanakan agamanya.
Jadi konsep pemisahan antara agama dan negara berakar dalam Perjanjian Lama.4
Perjanjian Lama jelas memisahkan antara wewenang agama dan negara, walaupun keduanya
berasal dari Allah, namun keduanya mempunyai hubungan koordinasi, sebagaiman pemikiran
Calvin. Agama tetap bertanggung jawab mengingatkan negara untuk menjalankan wewenangnya
dengan baik, namun agama atau gereja tidak boleh menguasai negara, karena bukan wewenang
gereja.

2.5 POLA-POLA HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA

Setidaknya ada tiga pola hubungan yang sampai saat ini masih mempengaruhi pemikiran
Kristen. Pertama, pemisahan mutlak antara agama dan negara. Kedua, menundukkan yang satu
dengan yang lainnya, dalam bentuk agama negara (agama tunduk kepada negara). Ketiga, dalam
bentuk negara agama (negara tunduk pada agama).5 Pola-pola ini sudah terjadi dalam perjalanan
sejarah gereja. Pola `gereja di atas negara' nampak dalam tradisi Katolik Roma yang memahami
eksistensi negara bersumber pada hukum alamiah; gereja dan negara adalah dua entitas yang
otonom, yang mana, baik gereja maupun negara mempunyai kekuasaan yang berbeda. Secara
institusional yang gereja dan negara terpisah; keduanya tidak saling menguasai namun sering kali
bersinggungan. Keduanya tidak mungkin terpisah secara total, karena orang-orang yang sama
adalah warga negara sekaligus juga warga Gereja. Dalam situasi tersebut muncu pertentangan
siapa yang memegang kekuasaan dalam masyarakat Kristen.
Warga gereja secara bersamaan adalah warga negara juga, jadi ada kepentingan gereja
terhadap isi hukum negara, maka gereja dapat menuntut kuasa atas negara. Gereja merasa lebih
tinggi dari negara sehingga gereja menundukkan negara di bawahnya.6 Kekuasaan gereja yang
berada di atas negara membuat kekuasaannya menjadi absolut dan harus mengabaikan semua hal
yang berbeda dengan gereja. Demi mempertahankan eksistensinya, gereja yang mempunyai
kepentingan dengan hukum negara. Kemudian hari, gereja terpikat untuk menguasai negara,
sehingga gereja sering kali harus terbenam dalam dunia politik. Kekuasaan gereja yang
melampaui batas wewenangnya ini dapat mengakibatkan terjadinya pengekangan terhadap
kebebasan manusia, seperti yang terjadi di dalam abad pertengahan.

2.6 Pandangan Roma Katholik

Pandangan yang optimis mengenai gereja menguasai negara tetap dipegang sampai saat
ini, walaupun abad pertengahan telah membuktikan pola hubungan ini sangat berbahaya bagi
kebebasan beragama. Dan hingga saat ini pola ini masih dianut oleh sebagian orang Kristen
Indonesia Pola inilah yang mendorong lahirnya partai-partai yang bernuansa agama Kristen di
Indonesia. Pola hubungan gereja menundukkan negara bukan hanya dianut oleh umat Katolik
pada abad pertengahan, tetapi juga ada pada kelompok/denominasi Kristen lainnya, walaupun
dasar berpijaknya berbeda.
Perubahan hubungan antara gereja dan negara sebagaimana ada pada pola hubungan
pertama diatas terjadi pada pemikiran Reformatoris. Jika tradisi Roma Katolik melihat eksistensi
negara bersumber dalam hukum kodrat, sebaliknya tradisi reformasi melihat negara dalam
perspektif kejatuhan manusia atau dalam usaha memelihara dunia yang telah jatuh ke dalam
dosa. Allah menciptakan institusi negara sebagai bagian dari ordo pemeliharaan. Jadi negara
tidak termasuk dalam ordo penciptaan, sehingga negara sebagaimana pandangan Agustinus
dilihat secara negatif, namun tidak boleh diartikan tidak berguna. Bagi Luther, institusi negara
dalam dirinya bersifat negatif, karena negara tidak menghasilkan kebaikan tetapi hanya untuk
mencegah kejahatan. Dan kekuasaan negara sering kali mudah untuk diselewengkan, namun
demikian negara perlu ada untuk menghindari anarkhi; karena bagi Luther tirani lebih baik dari
pada anarkhi.

2.7 Pandangan Marthin Luther

Dalam teori dua kerajaannya, Luther menggambarkan bahwa negara dan gereja memiliki
kewenangan yang berbeda. Negara mempunyai wewenang dalam urusan kesejahteraan, sedang
gereja dalam urusan-urusan rohaniah. Dan gereja tidak boleh melawan pemerintah, kecuali
negara mencampuri urusan gereja dalam wewenang spiritual. Dan pada waktu negara bertindak
sewenang-wenang dalam menjalankan kewajibannya, gereja dapat melawan Negara demi
ketaatan pada Allah; untuk itu gereja harus rela untuk menderita.
Dalam pandangan Luther, tampak kurang memperhatikan peran sosial gereja, bahkan
mengindikasikan pola pemisahan hubungan negara dan gereja secara total. Gereja menjadi pasif,
bahkan akibatnya gereja menjadi tidak peduli dengan hal-hal dunia, yang seharusnya menjadi
tanggung jawabnya juga. Pola hubungan ini memiliki sisi negatif ketika negara bertindak
melampaui daerah kekuasaannya (sewenang-wenang) dan "gereja harus tetap tunduk kepada
negara." Slogan ketundukan inilah yang banyak didengungkan pada rezim Orde Baru yang lalu.
Gereja kehilangan suara kenabiannya, dan gereja tidak merasa perlu aktif dalam dunia politik,
karena politik dianggap sebagai perjuangan orang tidak percaya, ironisnya gereja yang tidak
berpolitik dipakai untuk kepentingan politik rezim yang lalu juga.

2.8 Pandangan John Calvin

Pandangan yang lebih positif mengenai pola hubungan gereja dan negara disuarakan oleh
Calvin. Sebagaimana Luther, Calvin juga setuju untuk melihat negara dalam perspektif kejatuhan
manusia. Mengenai pandangan Calvin yang juga dipegang oleh Abraham Kuyper, sisi positifnya
seperti berikut.
Sebab sesungguhnya tanpa dosa pasti tidak akan ada tatanan penguasa dan negara, ...Dengan
demikian, semua konsepsi yang benar tentang natur negara dan tentang pengambil alihan
kekuasaan oleh pemerintah, dan di pihak lain, semua konsepsi yang benar tentang hak dan
kewajiban rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, bergantung pada apa yang telah
dikedepankan oleh Calvinisme sebagai kebenaran primordial bahwa Allah telah membentuk
orang-orang yang memerintah, karena alasan dosa... tanpa hukum dan pemerintahan, dan tanpa
otoritas yang berkuasa, akan sungguh-sungguh menjadi neraka di bumi, atau setidaknya
merupakan suatu pengulangan dari apa yang pernah ada di bumi ketika Allah
menenyelamkannya dalam air bah, ras pertama manusia yang bobrok.
Menurut pandangan Calvin negara ada karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, tanpa
dosa negara tidak perlu ada. Namun walaupun Calvin melihat negara secara negatif, tapi ia
percaya bahwa negara berguna untuk dapat mengatur kehidupan menjadi lebih baik. Calvin
melihat negara lebih positif dibandingkan Luther. Dalam pandangan Calvin, tanpa negara
kehidupan menjadi seperti neraka.
Walaupun Calvin mengakui ada kedaulatan yang berbeda antara negara dan agama
sebagaimana Luther, namun berbeda dengan Luther, Calvin berpendapat bahwa apabila negara
menyalah gunakan kekuasaannya, baik urusan spiritual maupun dunia, rakyat boleh
melawannya. Jadi Calvin tidak memisahkan negara dengan agama secara total, ia mengakui
pemisahan tetapi tidak ada keterpisahan. Tidak ada subordinasi atau separasi total, melainkan
yang terjadi adalah koordinasi."Kedaulatan negara dan kedaulatan Gereja berdiri berdampingan,
dan mereka saling membatasi satu dengan lainnya'. Pandangan Calvin ini didasarkan oleh
pemahaman bahwa gereja dan negara memperoleh wewenangnya dari Allah yang satu, bagi
dunia yang satu dan kemanusiaan yang satu. Bagi Calvin pemerintahan sipil merupakan sesuatu
yang dibutuhkan karena dosa masih merajalela. Negara ada karena manusia cenderung berbuat
kejahatan, bahkan didalam masyarakat Kristen sendiri banyak orang yang tidak menjadi Kristen
yang sejati. Karena wewenang negara berasal dari Allah, maka negara harus beralaskan pada

penghormatan dan kesusilaan. Negara bertanggung jawab terhadap kemajuan agama, untuk
menjaga kesusilaan, namun negara tidak diberi hak untuk mengatur apa yang terjadi dalam
Gereja.

2.9 TERAPAN DALAM KONTEKS INDONESIA


Pola hubungan gereja dan negara yang beragam di atas, akan memengaruhi sikap orang
Kristen terhadap Negara. Namun sebagaimana telah dijelaskan, Orang Kristen seharusnya berani
mengambil salah satu pola hubungan gereja dan negara yang Alkitabiah dan relevan untuk
konteks Indonesia. keputusan ini penting bagi maksimalisasi peran Kristen dalam negara
Republik Indonesia. Untuk itu, maka pengetahuan negara menurut Perjanjian Lama diharapkan
dapat menolong orang Kristen dalam memilih pola hubungan antara negara dan gereja dan
mencari relevansinya dalam konteks Indonesia.

2.10 Ketidakabsahan suatu Negara Agama di Negara Pancasila


Hubungan negara dan agama dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan
sesuatu yang terus mengalami perdebatan. Sejak awal kemerdekaan ada dua kekuatan yang terus
saling berusaha untuk menancapkan taring kekuasaannya atas negara. Pertama ada kelompok
yang menginginkan adanya pemisahan total antara agama dan negara, yang akan melahirkan
negara sekuler yang anti agama. Kedua, Keingina agama untuk mendominasi negara, menjadikan
nilai-nilai agama tertentu sebagai dasar bagi penyelenggaraan negara.
Untuk menghindari benturan keduanya, maka Pancasila menyatakan bahwa Indonesia
bukanlah negara agama, karena itu tidak ada satu agama pun yang boleh mendominasi negara.
Indonesia bukan negara sekuler, karena pendiri Indonesia adalah orang-orang yang beragama dan
menghimbau semua rakyat Indonesia supaya beragama. Pernyataan negara Indonesia bukan
negara sekuler juga ditegaskan dalam sila pertama dari Pancasila, yang menegaskan bahwa
negara Indonesia adalah negara yang berketuhanan. Penolakan terhadap negara sekuler juga
tidak berarti bahwa Indonesia bisa dibangun di atas dasar agama tertentu, karena agama-agama
lain, tentu saja tidak dapat menerimanya.

Misalnya, suatu usaha untuk menggantikan Pancasila dengan mendirikan negara Islam
telah terjadi berulang kali dan usaha-usaha tersebut selalu mengalami kegagalan. Mengenai
Islam yang tidak pernah berhasil mempersatukan Indonesia, Eka mengutip Simatupang sebagai
berikut:
"Tidak pernah ada sebuah kerajaan Islam yang mempersatukan seluruh Indonesia di bawah
kekuasaannya. Ada wilayah-wilayah yang tak pernah dicapai oleh Islam, dan di beberapa
wilayah Indonesia Lapisan pra-Islam tetap mempunyai pengaruh yang besar. Ketika Majapahit
sedang mundur dan Islam belum berhasil mencapai seluruh Indonesia, ketika itulah pengaruh
Barat diperkenalkan. Bersamaan dengan itu, kekristenan meluas dan menjadi agama dari
wilayah-wilayah yang belum dapat dicapai sebelumnya oleh pengaruh-pengaruh kultural dan
religius baik India maupun Islam".
Indonesia pantas disebut sebagai "bukan negara sekuler" karena rakyat yakin bahwa
kemerdekaan yang diperoleh 17 Agustus 195 semata-mata karunia Tuhan. Namun Indonesia juga
bukan negara agama, karena agama Islam yang terbesar sekalipun tidak pernah menyatukan
Indonesia, sehingga tidak mungkin menempatkan Indonesia sebagai negara agama. Selanjutnya
pemahaman Indonesia sebagai "bukan negara agama dan bukan negara sekuler" telah diakui
sejak lama. Namun dalam perjalanan sejarah, usaha untuk menjadikan Indonesia negara sekular
dan negara agama terus berlangsung. Munculnya partai-partai agama di Indonesia secara tidak
langsung juga merupakan usaha untuk menggantikan ideologi negara, walapun menyatakan diri
berazaskan Pancasila. Meski demikian, kerinduan untuk mendirikan partai-partai yang
bernafaskan keagamaan lebih didorong oleh semangat agama untuk menguasai negara. Hal ini
terlihat bahwa partai-partai keagamaan tersebut lebih memperjuangkan kelompok agama tertentu
serta mengabaikan nilai-nilai Pancasila.
Salah satu perjuangan partai keagamaan yang nyata-nyata berusaha untuk mewujudkan
nilai-nilai kelompok agama tertentu adalah partai Masyumi, sebagaimana diutarakan oleh Affan
Gaffar adalah Masyumi:
Masyumi merupakan partai politik terbesar yang terlihat dalam pemilihan umum 1955 dengan
memperoleh suara terbanyak, akan tetapi tidak berhasil membentuk koalisi yang menghasilkan
pemerintahan yang kuat sehingga agenda-agenda politik tidak dapat dijalankan, di samping
persoalan internal dalam tubuh partai itu sendiri. Sebagai partai Islam yang besar, Masyumi

mencoba memperjuangkan agar Islam merupakan nilai yang harus diwujudkan dalam
kehidupan bernegara di Indonesia melalui forum konstituante. Akan tetapi Masyumi mendapat
tantangan yang sangat kuat dari kalangan nasionalis, komunis, serta Kristen/Katolik.
Pengalaman Partai Masyumi tersebut telah memberikan gairah bagi tumbuhnya partaipartai keagamaan untuk mendapatkan suara dalam pemilu untuk mendapatkan kekuasaan.
Sayangnya, pengalaman Masyumi sebagai partai yang pernah meraih suara terbanyak namun
tidak berhasil melakukan penetrasi nilai-nilai Islam untuk menggantikan Pancasila sebagai
ideologi negara. Hal ini tidak pernah dijadikan pelajaran berharga oleh semua kelompok agama
yang ada di Indonesia. Sehingga motivasi pendirian partai-partai yang bernafaskan keagamaan
tetap sama hingga saat ini. Hal itu terlihat jelas dalam janjijanji kampanye yang diberikan.
Pernyataan bahwa negara Indonesia memisahkan antara negara dan agama merupakan
keputusan yang diambil founding fathers Indonesia. Jadi disamping Pancasila memisahkan
agama dari negara. Pancasila juga mengakui bahwa tidak ada satu agamapun yang dapat
dijadikan agama negara, yang akhirnya agama bisa meguasai negara. Pemisahan antara agama
dan negara dalam NKRI berarti bahwa negara dan agama diakui memiliki kodrat yang berbeda
sehingga negara tidak boleh mencampuri urusan negara dan agama tidak boleh menguasai
negara. Indonesia adalah "negara teis-demokratis." Negara yang berdasarkan ketuhanan,
sebagaimana dijelaskan dalam sila pertama dari Pancasila. Dan negara melindungi agama-agama
yang ada serta memberikan kesempatan yang sama.
Hubungan antara agama dan negara di Indonesia nampak telah dirumuskan dengan jelas.
Ungkapan Indonesia "bukan negara agama dan bukan negara sekuler" yang unik bukan
merupakan penyimpangan dari Pancasila. Namun adanya kecenderungan lain, bahwa di luar
Pancasila, hubungan antar agama dan negara tersebut menjadi kabur. Indonesia dengan
Pancasila-nya menyatakan diri sebagai "negara demokrasi" yang bukan negara agama dan bukan
negara sekuler. Mengenai keunikan Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini, Simatupang
menerangkan demikian:
Negara modern yang bukan negara sekuler, bukan negara agama, dalam arti diidentikkan
dengan salah satu agama, tetapi di mana dalam rangka Pancasila, beberapa agama mempunyai
kedudukan resmi dan hidup berdampingan bahkan memikul tanggung jawab bersama dalam
upaya untuk mendirikan suatu model yang tidak sekuler tetapi tetap menjunjung tinggi nilai

moral, etik dan spiritual. Eksperimen yang berlangsung di Indonesia ini tidak ada duanya di
negara lain dan sepanjang sejarah umat manusia, dan oleh sebab itu tidak usah mengherankan
bahwa upaya untuk menjalankan hal yang belum pernah terjadi itu, tidak selalu mudah. Pihakpihak yang bersangkutan sendiri yaitu golongan-golongan beragama dan berkepercayaan
terhadap Tuhan yang Maha Esa, kadang-kadang cenderung untuk kembali ke dalil-dalil yang
mereka bawa dari negara asalnya ke Indonesia dan menghadapi masalah-masalah baru.
Walaupun hubungan agama dan negara di Indonesia sangat jelas tetapi tetap timbul
keneragaman pandangan tentang hubungan agama dan negara. Perbedaan tafsir ini, menurut T.B.
Simatupang dikarenakan, agama-agama yang ada belum memahami konteks di mana mereka
berada, karena agama-agama yang ada, menurutnya, masih berpijak pada tempat asal di mana
agama itu berada sebelum di bawa ke Indonesia. Usaha tokoh-tokoh agama untuk memecahkan
masalah etika politik yang melanda Indonesia dengan mendirikan partai-partai agama bisa saja
didasarkan pada niat suci. Namun usaha tersebut tidak perlu ditunggangi oleh keinginan untuk
menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Ideologisasi agama jenis ini bisa jadi akan
menghantam balik agama-agama yang pada dasarnya memiliki niat suci tadi, jika nilai-nilai
agama yang dipenetrasikannya justru tidak dapat membawa Indonesia pada kehidupan yang
lebih baik. Kondisi ini akan membuat agama-agama kehilangan justifikasi moralnya.

2.11 Prinsip Hubungan Negara dan Agama di Indonesia


Dari sudut pandang Perjanjian Lama hubungan antara agama dan negara memiliki
hubungan yang jelas, yaitu negara dan agama merupakan kodrat yang berbeda, namun keduanya

berasal dari sumber yang sama. Wewenang negara dan agama (gereja) berasal dari Tuhan.
Karena itu keduanya harus diabdikan kepada kemanusiaan.
Prinsip Hubungan yang demikian memiliki relevansi dalam Pancasila. Mengenai
kesesuaian tersebut, Darmaputera seorang teolog Kristen yang banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Calvin menjelaskan demikian,
Negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui otonomi negara. Masing-masing tidak
mencampuri langsung urusan dan otoritas yang lain. Namun demikian, antara keduanya
terdapat keterkaitan fungsional. Tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan internal
keagamaan, negara mempunyai tanggung jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu
agar semua agama hidup dan berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan
hidup beragama. Di pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan kenegaraan
(termasuk di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa), agama mempunyai
tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah meletakkan kerangka landasan moral,
etik dan spiritual bagi, pembangunan nasional... artinya, kerangka landasan moral etik dan
spiritual itu tidak hanya kontribusi satu agama saja.
Agama dan negara berbeda, negara tidak boleh menguasai negara, demikian juga agama
tidak boleh menguasai negara. Agama dan negara mempunyai hubungan yang bersifat
koordinasi. Agama bertanggung jawab untuk mengingatkan negara pabila negara tidak
melakukan kewenangannya sebagaimana kodratnya. Karena agama-agama adalah pemberi
landasan moral, demikian juga pada waktu agama-agama dalam interpretasi praktis
keagamaannya melanggar undang-undang dan ketertiban umum. Maka negara wajib untuk
melakukan tindakan hukum untuk penertiban hubungan bersama antar agama dan kelompok
yang ada.
Agama harus senantiasa kritis terhadap negara, karena negara sebagai institusi yang
diciptakan setelah kejatuhan memiliki kelemahan. Pada saat negara tidak berjalan sesuai dengan
kewenangannya, bukan saja gereja tidak harus mentaatinya, tetapi gereja harus memberikan
kritik untuk mengembalikan negara pada kodratnya. Namun agama-agama tersebut tidak boleh
menguasai negara. Karena dominasi agama (tertentu) akan menimbulkan pemerintahan yang
otoriter kembali, yang tidak akan dapat menerima kritik dari agama-agama yang berbeda. Di sini
terjadilah hegemoni agama sekaligus diskriminasi terhadap agama-agama yang berbeda.

Dari sudut pandang Kristen (PL), perjuangan kelompok-kelompok seharusnya tetap


berpegang pada keadilan yang telah ditetapkan pada keputusan untuk memisahkan negara dan
agama. Pada hakekatnya, agama memiliki daerah kekuasaan yang berbeda dengan negara.
Walaupun agama-agama membutuhkan negara, kepentingan agama tidak boleh diwujudnyatakan
dengan memakai tangan negara. Dan perjuangan agama-agama untuk mendapatkan kedudukan
harus merupakan perjuangan universal tanpa diskriminasi. Jadi seorang Kristen yang menduduki
jabatan negara tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan agama atau
kelompoknya, walaupun ia dipilih dengan mendapatkan suara terbanyak yang berasal dari
kelompok tertentu. Siapa pun yang memegang kepemimpinan dalam pemerintahan harus
bersikap adil, karena perjuangannya adalah perjuangan demi menegakkan keadilan yang bersifat
universal, bukan kepentingan kelompok tertentu.
Umat Kristen juga harus mendorong umat beragama lain untuk menyumbangkan nilainilai yang inklusif dalam transformasi Pancasila. Nilai-nilai inklusif agama-agama ini akan
menjadi landasan moral bagi bangsa Indonesia. Bagi umat Kristen moralitas merupakan sesuatu
yang bersifat universal, karena itu penciptaan undang-undang yang berlandaskan moral yang
bersifat universal menjadi semangat kekristenan dalam partisipasi pambangunan bangsa.
Apabila agama tetap berada dalam kodratnya maka agama dalam dunia publik akan
sangat berperan bagi terciptanya negara yang berjalan sesuai dengan kodratnya. Mengenai peran
agama dalam negara Martin Lukito Sinaga mengutip rumusan Jose Casanova sebagai berikut: 1.
Agama memasuki dunia-dunia publik haruslah membela, tidak hanya kebebasannya, tetapi juga
kebebasan kelompok agama yang lain (jadi agama dihayati secara majemuk): dengan demikian
agama-agama akan mencegah juga lahirnya absolutisme negara. 2. Agama-agama tersebut secara
aktif mempersoalkan absolutisme otonomi sekuler, namun kali ini tidak dengan keinginan
menggantikan atau pun menetukan jalannya negara sedemikian (sebab nanti ia akan menjadi
absolut lagi), tetapi menggugat realitas secara etis. 3. Dalam ia membela traditional life world
terhadap penetrasi ataupun kolonialisasi dunia teknis dan administrasi negara modern (yang
anonim itu), ia tidak perlu melamun, mengimpikan suatu gemeinschaft negeri ideal agamanya
yang mau dibawa hadir saat ini, tetapi menjadikan "dunia' kehidupan tradisi yang khas agamis itu
sebagai sebuah wacana yang terbuka dan didebatkan secara publik: dan menjadikannya suatu
semangat dalam religious social movement.

Apabila agama-agama (khususnya umat kristiani) dapat berperan seperti yang dijelaskan
di atas, maka terbentuklah masyarakat sipil yang kuat yang mempunyai daerah kekuasaannya
sendiri. Pandangan Perjanjian Lama (Alkitab) tentang hubungan agama dan negara ini baik
untuk semua, karena dalam masyarakat sipil yang terbentuk ini diperjuangkan yang namanya
kedaulatan publik (public sphere). Di sini, opini yang berasal dari berbagai agama dibentuk dan
kemudian menimbulkan kedaulatan baru, yaitu daerah kedaulatan masyarakat sipil yang
merupakan syarat penting untuk adanya negara demokrasi.
Dengan adanya peran agama-agama dalam memberikan arah moral dan etika bagi negara
melalui pembentukan opini yang merupakan sumbangsih agama-agama, maka agama-agama
tidak akan melepaskan kontrolnya dari pemerintah. Dan pemerintah secara bersamaan juga harus
menjaga proses pembentukan masyarakat sipil tersebut berjalan dengan baik melalui proteksi
terhadap hak-hak sipil. Kemudian politisasi agama yang timbul karena diskriminasi agama dapat
ditekan. Pemakaian agama untuk mendapatkan kekuasaan pribadi juga akan menjadi sulit karena
agama-agama telah turut berperan dalam pembangunan bangsa. Jadi agama-agama menjadi
agama publik yang terbuka.
Pertimbangan, dilemparkannya agama dari dunia privat ke dalam dunia publik, untuk
Indonesia merupakan sesuatu yang amat penting. Setidaknya, agama-agama bisa saling
mengenal, sehingga menghapuskan kecurigaan antar umat beragama yang telah lama ditabur
dalam proses politisasi agama. Pengenalan yang lebih baik akan agama-agama lain, secara
khusus juga akan menolong agama-agama misioner dalam memahami misi agama-agama lain,
sehingga konflik dapat dihindari. Dengan pemahaman atas agama lain, usaha-usaha misi agamaagama dapat dijalankan secara kontekstual tanpa harus mengkompromikan ajaran agamanya.
Bagi penganut kepercayaan, hubungan antara agama dan negara menjadi penting, karena
di sini mereka juga dapat ikut serta dalam pembentukan opini publik yang dapat memberikan
tempat bagi eksistensi mereka, karena perlindungan hak-hak sipil memungkinkan mereka dapat
memberikan opininya. Demikian juga aliran `bidat' yang sering kali salah dimengerti oleh
banyak orang di Indonesia, karena yang mengetahui tentang bidat umumnya hanyalah tokohtokoh agama. Mereka dapat memberikan opini mereka bagi pembangunan bangsa. Di sini terjadi
interaksi sosial antara bidat dan agama-agama di dalam saling pengertian dan akhirnya memberi
tempat dalam pembentukan moral dan etika.

Umumnya `bidat' adalah kelompok-kelompok yang memisahkan diri dari agama karena
adanya hutang agama yang belum terpenuhi dalam mengemban tanggung jawab perwujudan
keyakinan agamanya. Demikian juga penyebutan agama mainstream (aliran yang baku) yang
menuntut hak monopoli atas kebenaran, tidak lagi mendapatkan tempat, karena hal itu sering kali
dipergunakan sebagai alat untuk menindas kepercayaan lain, yang berbeda dengan aliran utama
yang diakui sebagai "agama-agama resmi."
Apabila perjuangan semua rakyat Indonesia yang beragama adalah perjuangan untuk
pengamalan Pancasila yang murni dan konsekuen, dengan semangat yang inklusif bagi
terbentuknya demokrasi yang berkeadilan, maka peran agama-agama tidak akan berubah
menjadi usaha untuk saling menguasai dengan memakai negara sebagai senjata untuk meredam
sesamanya. Perjuangan tersebut seharusnya menjadi perjuangan bersama yang suci, untuk orang
Kristen perjuangan tersebut haruslah dilakukan dengan sungguh-sungguh karena hubungan
agama dan negara yang ada dalam NKRI sesuai dengan berita Alkitab. Bagi orang Kristen di
Indonesia, inilah perjuangan yang sesungguhnya, sebagaimana dikatakan oleh Darmaputera:
Kita seharusnya berjuang bagi pengamalan Pancasila yang murni dan konsekuen, yakni
pengamalan semangatnya yang inklusif dan non-diskriminasi itu, kita seharusnya berjuang bagi
kesatuan dalam keberagaman Indonesia dan seharusnya berjuang bagi terbentuknya dan
realisasi demokrasi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

KESIMPULAN
Hal yang menghambat aktivitas orang Kristen dalam negara adalah adanya penekanan
yang terlalu berlebihan mengenai kewarganegaraan surga. Tidak sedikit orang Kristen yang

berpikir bahwa karena mereka bukan warga negara dunia, bukan dari dunia, mereka adalah
warga negara surga, maka tidak perlu menghabiskan waktu untuk memberikan kontribusi positif
pada negara, cukup menjadi warga negara yang baik. Orang Kristen bahkan tidak sedikit yang
merasa tabu untuk turut serta dalam pembangunan negara secara khusus dalam politik praktis,
bagi mereka politik sering kali diidentikkan sebagai sesuatu yang tanpa moral atau menghalalkan
segala cara.
Mengabaikan Perjanjian Lama dalam memahami negara dari sudut iman kristiani akan
mengakibatkan lahirnya pemikiran yang sempit tentang negara. Realitas ini dapat dimengerti,
karena Perjanjian Baru tidak melaporkan secara menyeluruh mengenai konsep negara, dan
hubungannya dengan agama (gereja). Apalagi aktivitas orang Kristen dalam pemerintahan pada
jaman para Rasul sangat terbatas, sehingga tidaklah mengherankan sulit untuk mencari contoh
mengenai hubungan antara agama dan negara secara jelas dalam Perjanjian Baru. Akibatnya,
tanpa pemahaman Perjanjian Lama maka konsep hubungan antara agama dan negara menjadi
beragam, dan terus dipegang hingga saat ini.
Agama tidak dipisahkan total dari negara, namun agama tidak boleh berkeinginan
menguasai negara. Agama bukan hanya ada dalam dunia privat, tetapi ada dalam dunia publik,
yang memiliki peran dalam dunia publik. Untuk menghidupi `hubungan antara agama dan
negara' memang bukan merupakan suatu hal yang mudah. Kekerasan yang biasa menghiasi
hubungan dan kecurigaan antar pemeluk agama akan tantangan tersendiri. Oknum-oknum yang
terlalu lama menikmati kekuasaan dengan memanfaatkan agama-agama tidak dengan sendirinya
akan melepaskan nikmatnya kuasa tersebut. Namun perjuangan bangsa ini yang menyadari arti
pentingnya negara Indonesia bagi mereka akan menjadi modal dalam usaha mencapai Indonesia
yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai