Anda di halaman 1dari 16

Diagnosis Insomnia dan Penangannya

Stacy Vania
102012043/ E4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510
Stacyvania@yahoo.co.id
Pendahuluan
Insomnia didefinisikan sebagai suatu persepsi sesorang merasa tidak cukup tidur atau kualitas tidurnya
buruk walaupun orang tersebut sebenarnya memiliki kesempatan tidur yang cukup sehingga
mengakibatkan perasaan yang tidak bugar sewaktu atau setelah bangun dari tidur. Siklus tidur bangun
diatur oleh hubungan timbal balik antara tiga sistem saraf yang berbeda di batang otak: 1
1. Arousal system, bagian dari reticular activating system
2. Pusat tidur gelombang lambat
3. Pusat tidur paradoksial
Aktivitas otak selama tidur dapat direkam menggunakan EEG. Terdapat dua jenis tidur yaitu tidur
gelombang lambat (tidur NREM) dan tidur paradoksial (tidur REM). Tidur NREM dibagi menjadi empat
stadium yaitu: 1
1. Stadium 1: seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata menutupi mata dan kedua bola mata
bergerak perlahan, pola EEG menunjukan penurunan voltase dengan gelombang alfa yang
frekuensinya semakin menurun.
2. Stadium 2: kedua bola mata berhenti bergerak tetapi tonus otot tetap terpelihara. Pola EEG
menunjukan adanya sleep spindle
3. Stadium 3: pola EEG menunjukan gelombang dasar yang lambat dengan amplitudo yang
meningkat
4. Stadium 4: tampak gelombang lambat saja tanpa sleep spindle. Pada tidur stadium 3 dan 4, tonus
otot menjadi sangat rendah.
Tidur REM ditandai oleh gerakan mata cepat (rapid eye movement) kecepatan denyut jantung dan
frekuensi pernapasan menjadi tidak teratur/ireguler dan tekanan darah berfluktual. Tidur REM
merupakan tahap tidur paling dalam. Kebanyakan orang dewasa tidur 7-8 jam dalam semalam. Pada bayi
dan orang tua terdapat frekuensi tidur bangun yang lebih sering. 1
Terdapat dua macam gangguan tidur yaitu gerakan tidur fungsional dan patologis. Gangguan tidur
fungsional terdiri dari somnabulisme, sleep automatism, kejang nokturnal, dan paralisis nokturnal.
Sedangkan hipersomnia (terlalu banyak tidur) dan insomnia (kurang tidur) merupakan bagian dari
gangguan tidur patologis. 1
Kasus

Pasien berusia 45 tahun mengalami sulit tidur.


Anamnesis
Terdapat hal-hal yang penting dalam melakukan anamnesis kepada pasien yang kesulitan tidur yaitu: 1
1. Rasa kantuk yang amat sangat pada siang hari (excessive daytime sleepiness), lelah, cemas dan
penurunan aktivitas
2. Gangguan tidur yang dirasakan pada saat apa. Lalu pada saat tidur apakah sering mengalami mimpi
buruk dan tidurnya tidak nyenyak (kuantitas dan kualitas tidur).
3. Apakah ada gejala gangguan psikis atau gangguan organic.
4. Tanyakan pula tentang kegiatan sehari-hari dari pasien terutama kegiatan yang dilakukan sebelum
tidur
5. Kumpulkan informasi dari teman tidurnya mengenai aktifitas pasien selama tidur misalnya
mendengkur atau menendang-nendang
6. Gangguan memori serta konsentrasi. Anamnesis merupakan bagian yang terpenting untuk
mengetahui riwaya tidur pasien yang lengkap, riwayat medis, riwayat sosial dan riwayat pemakaian
obat
Pemeriksaan Fisik
Pada pasien dengan keluhan sleep apnea, pemeriksaan kepala dan leher yang teliti sangat penting. Untuk
pasien dengan keluhan restless legs syndrome atau sindrom neurologik lain, pemeriksaan neurologi yang
teliti harus dilakukan. Pada pasien insomnia dengan penyebab medis, pemeriksaan organ yang mendasari
penyakit tersebut dapat membantu diagnosis. 1
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan di labolatorium tidur
pemeriksaan dilakukan selama tidur dengan alat polisomnogram dapat memberikan informasi yang
akurat mengenai pola tidur pasien sehingga dapat diketahui apakah pasien menderita OSA atau CSA.
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menghitung apneu-hipopneu index (AHI), yaitu menghitung
jumlah total episode apneu dan hipopnea dibagi dengan lama tidur. Jika AHI> 5 kali episode perjam
maka diagnose OSA bisa ditegakan. Hasil labolatorium ini dapat dibedakan menjadi 3 yaitu ringan
sedang dan berat dengan kriteria sebagai berikut: 2

Osa ringan bila terdapat 5-15 kali apnea per jam tidur pada waktu tidur

Osa sedang bila terdapat 15-30 kali apnea per jam tidur pada waktu tidur

Osa berat bila terdapat lebih dari 30 kali apnea perjam tidur pada waktu tidur

Gambar 1. Polisomnogram Menunjukan OSA dan CSA 2


2. Multiple Sleep Latency Test (MSLT)
MSLT dilakukan untuk pasien yang mengeluh terus sepanjang hari dengan riwayat GTGP tidak jelas.
Dengan alat polisomnogram, uji ini mengukur periode laten (waktu/kecepatan) dari saat masih
bangun sampai tertidur. Uji dilakukan berulang kali pada siang hari sesuai jadwal yang ditentukan.
Uji ini juga mencatat munculnya stadium REM. Adanya 2 atau lebih stadium REM saat uji ini
dilakukan, menunjukan pasien dalam kondisi narcolepsy. Narcolepsy adalah gangguan tidur yang
ditandai dengan 4 gejala,yaitu serangan mendadak tidur, katapleksi, paralisis sementara dan
halusinasi. MSLT dapat membantu diagnosis hipersomnia primer. Pemeriksaan mirip MSLT yang
disebut repeated test of sustained wakefulness (RTSW) juga mengukur periode laten tetapi
dengan perintah agar pasien mempertahankan agar tetap bangun selama uji dilakukan dan pasien di
tempatkan di ruang tenang dengan lampu temaram. 2
3. Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan ini hanya dilakukan dalam penelitian atau untuk mempersiap terapi pembedahan.
Pemeriksaan ini meliputi: reflek akustik yang digunakan untuk melihat dinamika jalan napas atas,
somnoflouroskopi digunakan untuk melihat kolapsnya jalan napas saat tidur, pemeriksaan radiologis
sefalometri untuk melihat defisiensi skeletor kraniofasial, CT-scan jalan napas atas diperlukan bila
ada tanda-tanda tumor dinasofaring/ orofaring posterior, magnetic resonance imaging pemeriksaan
yang menghasilkan resolusi bagus dari jalan napas, jaringan lunak, dan deposit lemak dileher. 2
Pada dasarnya pemeriksaan penunjang untuk insomnia hanya digunakan untuk pemeriksaan penyaring,
tidak untuk menegakan diagnostic tetapi hanyak untuk menyingkirkan differential diagnostic. Selain
pemeriksaan diatas bila diduga ada kelainan organic bisa dilakukan pemeriksaan darah lengkap misalnya
atau pemeriksaan fungsi orang yang terkait contohnya bila terlihat adanya gangguan fungsi ginjal, bisa
dilakukan pemeriksaan clearance creatinin maupun pemeriksaan GFR atau urinalisis.

Insomnia
Gangguan susah tidur atau insomnia menurut DSM ( Diagnostic and Statistical Manual of Mental
disordes) IV dibagi menjadi 4 tipe yaitu 1) Gangguan tidur yang berkolerasi dengan gangguan
mental lain, 2) gangguan tidur yang disebabkan gangguan medis umum, 3) gangguan tidur yang

diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu, 4) Gangguan tidur primer (gangguan yang tidak
berhubungan dengan kondisi mental, penyakit ataupun obat-obatan). Dalam ICD (International Code of
Diagnostic) insomnia dibagi menjadi 2 yaitu organic dan nonorganic. Untuk non organic dibagi lagi
menjadi 2 yaitu dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas, dan waktu tidur) dan parasomnias (terdapat
episode abnormal yang muncul pada waktu tidur seperti mimpi buruk, berjalan sambil tidur dan lainlain). Dalam ICD 10 tidak dibedakan insomnia primer maupun sekunder. Insomnia yang dimaksudkan
dalam ICD 10 asalah insomnia kronik yang sudah diderita lebih dari 1 bulan dan sudah
mengakibatkan gangguan fungsi dan sosial. 2
Faktor-faktor yang dapat Menyebabkan Insomnia
1. Faktor Psikologis
Perubahan psikologis yang terjadi pada seseorang dapat dihubungkan pula dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu yang terdiri atas
motivasi dan inteligensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari seseorang. Konsep diri yang
positif dapat menjadikan seorang manusia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai
yang ada ditunjang dengan status sosialnya. Kepribadian dasar seseorang amat ditentukan pada masa
kanak-kanak. Salah satunya adalah lingkungan sosial. Peristiwa tidak menyenangkan pada masa kecil
dapat mempengaruhi perilaku dan kepribadian seseorang ketika ia dewasa. Misalnya,
ketidakpedulian orangtua terhadap anak, juga tekanan dan penyiksaan yang dialaminya. Adanya
penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada
seseorang menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Dengan adanya penurunan
fungsi sistem sensorik maka akan terjadi pula penurunan kemampuan untuk menerima, memproses,
dan merespons stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus
yang ada. Kemampuan belajar yang menurun dapat terjadi karena banyak hal. Selain keadaan
fungsional organ otak, kurangnya motivasi pada diri juga berperan. Motivasi akan semakin menurun
dengan menganggap bahwa diri sendiri merupakan beban bagi orang lain dan keluarga. 3,4
2. Faktor Biologi
Sampai saat ini berbagai penelitian menunjukkan, penyebab gangguan tidur merupakan
gabungan banyak faktor, baik fisik, psikologis, pengaruh obat-obatan, kebiasaan tidur, maupun
penyakit penyerta lain yang diderita. Gangguan tidur primer terdiri atas gangguan tidur karena
gangguan pernapasan (sleep disoredered breathing), sindrom kaki kurang tenang (restless legs
syndrome) dan gangguan gerakan tungkai periodik (periodic limb movement disorder), dan
gangguan perilaku REM. Gangguan tidur karena gangguan pernapasan (GTGP) merupakan interaksi
komplek dari sistem saraf pusat dan perifer otot-otot saluran napas atas dan beberapa
neurotransmitter yang menghasilkan kolaps (collapse) sebagian atau seluruh lubang pernapasan atas
(faring) sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas dan hipoksia. Faktor dasar seperti anatomi
saluran napas (hipertrofi tonsil), obstruksi hidung, distribusi dan pengumpulan lemak tubuh, dan
tonus otot pernapasan atas, mungkin memegang peranan pada berat ringannya GTGP, baik sendirisendiri ataupun bersama-sama. Sindrom kaki kurang tenang (RLS) ditandai oleh rasa tidak enak yang

berlebihan terutama pada kaki selama malam saat pasien istirahat. Ini adalah bentuk dari akathisia,
sering disebut sebagai perasaan seperti dirayapi semut atau hewan kecil. 1
Gangguan gerakan tungkai yang periodik (PLMS), mungkin menyertai sindrom kaki kurang
tenang atau berdiri sendiri. PLMS ditandai oleh munculnya episode gerakan yang sama dan berulang,
biasanya pada kaki tapi tidak jarang muncul juga pada tangan. Gangguan perilaku REM (GPR)
sangat jarang, tetapi sering muncul pada usia lanjut. Proses yang mendasari terjadinya gangguan ini
adalah adanya disinhibisi transmisi aktivitas motorik saat bermimpi. Gangguan ini sering muncul
tengah malam saat periode REM terjadi. Beberapa laporan menunjukkan ada hubungan kejadian
GPR akut dengan pemakaian obat-obatan antidepresi seperti antidepresi trisiklik, floksetin, inhibitor
monoamin oksidase, dan ketagihan alkohol atau sedatif. GPR kronik dihubungkan dengan
narkolepsi dan beberapa penyakit neurodegeneratif idiopatik seperti demensia dan penyakit
Parkinson.1
3. Faktor Sosial
Faktor social merupakan salah satu factor yang dapat mengakibatkan seseorang mengalami
gangguan tidur. Bisa dikarenakan oleh kekuasaan dan prestisenya berkurang, sehingga menyebabkan
interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka
untuk mengikuti perintah. Kemiskinan yang diderita dan menurunnya derajat kesehatan
mengakibatkan seorang secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya. Proses
penyakit organic maupun psikologis juga dapat mengakibatkan interaksi sosial lansia mulai menurun,
baik secara kualitas maupun kuantitas. Semua orang mempunyai peran di dalam hidupnya baik itu
peran dalam pekerjaan maupun dalam keluarga atau masyarakat. Pada umumnya, pria kehilangan
peran hidup terutama terjadi pada masa pensiun. Sedangkan pada wanita terjadi pada masa ketika
peran dalam keluarga berkurang, misalnya saat anak menginjak dewasa serta meninggalkan rumah
untuk belajar dan menikah. Pada lansia juga terjadi kehilangan ganda (triple loss) yaitu kehilangan
peran (loss of roles), hambatan kontak sosial (restriction of contacts and relationships), serta
berkurangnya komitmen (reduced commitment to social morales and values). Tetapi selain hal-hal
diatas kehilangan peran juga dapat dirasakan seseorang contohnya bila dipecat dari pekerjaan, suami
mempunyai istri ke dua, merasa diri tidak berguna dan hanya menyusahkan dan keadaan social
maupun keadaan psikologis lainnya juga dapat memicu seseorang merasa kehilangan perannya. 4
Jenis-jenis Insomnia : Insomnia Primer
Insomnia primer adalah gangguan tidur yang tidak disebabkan oleh kondisi kesehatan, psikiatrik, atau
lingkungan. Kriteria diagnostik berdasarkan DSM IV: 1

Gejala yang predominan adalah kesulitan memulai dan mempertahankan tidur kurang lebih

1 bulan.
Gangguan tidur (atau kelelahan pada siang hari) menyebabkan distress yang signifikan terhadap

pekerjaan, atau gangguan fungsi penting lainnya.


Gangguan tidur tidak selalu muncul selama adanya narkolepsi, gangguan pernapasan saat
tidur, gangguan irama tidur atau parasomnia.

Gangguan tidur tidak selalu muncul selama adanya gangguan mental lainnya (gangguan

depresi, kecemasan, umum, dan delirium).


Gangguan tidak selalu berhubungan dengan penyalahgunaan obat atau zat atau kondisi
medis lainnya.

Ada 3 jenis insomnia primer yaitu :


1. Gangguan tidur karena gangguan pernapasan(GTGP)
Gangguan tidur karena gangguan pernapasan ditandai dengan mengorok pada waktu tidur,
tersedak, batuk-batuk pada manifestasi klinik yang berat sering terjadi gerakan-gerakan
seperti orang kehabisan napas, gambaran klinik seperti itu biasanya dilaporkan oleh teman
tidurnya. Yang dirasakan oleh pasien adalah sering terbangun tanpa sebab, nokturia, dan merasa
tidak tidur semalaman, dan pada pagi hari sering muncul keluhan sakit kepala dan mengantuk terus.
Patofisiologi. Gangguan tidur karena gangguan pernapasan ini merupakan interaksi kompleks dari
system saraf pusat dan perifer, otot-otot saluran napas atas dan beberapa neurotransmiter yang
menghasilkan kolaps sebagian atau seluruh saluran pernapasan atas, sehingga mengakibatkan
obstruksi jalan napas dan hipoksia. GTGP dibagi menjasi 3 jenis yaitu 1)Tipe obtruktif jalan napas 2)
gangguan tidur karna henti napas di bagian sentral 3) tipe kombinasi. Tipe obstruktif jalan napas
kemungkinan bisa disebabkan oleh Hipertrofi tonsil, obstruksi hidung, distribusi dan pengumpulan
lemak tubuh. Tipe henti napas karna proses sentral bisa dikarnakan ole penurunan kemampuan
atau tonus otot pernapasan yang dikarnakan gangguan rangsangan napas dimedula oblongata.
Gangguan rangsangan napas ini bisa diakibatkan trauma pada batang otak, disfungsi otonom, distrofi
otot pernapasan, pernapasan cheyne stokes dan idopatik. 2
Epidemiologi. Gangguan tidur tipe ini dialami oleh sekitar 28%-67% laki-laki berusia lanjut dan
20%-54% perempuan berusia lanjut. Yang menderita GTGP tipe henti napas karna obstrusi, dimana
pada pasien laki-laki 8 kali lebih berat manifestasinya dibandingkan dengan perempua. Dihongkong
ada 10% orang lanjut usia yang menderita insomnia karna obtruksi jalan napas ini. 2
2. Sindrom kaki kurang tenang dan gangguan gerakan tungkai periodic
Sindrom ini ditandai oleh rasa tidak enak yang berlebihan terutama pada kaki selama malam saat
pasien istirahat. Ini adalah bentuk akathisia, sering disebut perasaan dirayapi semut atau hewan kecil.
Perasaan ini mengakibatkan pasien menggerakan kakinya sehingga bangun lalu berjalan guna
menghilangkan rasa tidak enak ini. Biasanya gangguan gerakan tungkai periodic ini bisa berdiri
sendiri. Gerakan tungkai periodic ini ditandai dengan melakukan gerakan yanag sama berulag-ulang
biasanya pada kaki namun tidak menutup kemungkinan terjadi pada tangan. Biasanya pasangan
tidurnya akan melaporkan adanya gerakan menendang-nendang selama 20-40 detik saat tidur dan
muncul berulang ulang. Gerakan ini biasanya tidak membangunkan pasien, meskipun pasien
melakukannya 100 kali dalam semalaman. Tetapi tendangan dengan kekuatan yang tinggi dapat
membangunkan pasien. Pasien sering mengeluh rasa lelah yang berlebihan saat bangun tidur dan
tidur tidak nyenyak sehingga mengantuk sepanjang hari. Epidemiologi. Gangguan tidur akibat
sindrom kaki kurang tenang dan gerakan tungkai periodic ini meningkat sesuai dengan meningkatnya
usia. Prevalensi pada usia lanjut sekitar 45%, sedangkan pada dewasa muda 4-6%. Tidak ada

perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebagian besar kedua sindrom ini terjadi secara bersamaan,
tidak jarang pula pasien disertai atau menyertai GTGP. 2
Patofisiologi sampai saat ini belum jelas, hipotesis terbaru menyatakan mungkin gangguan system
dopamine dan opiate disistem saraf pusat yang mendasari kelainan ini. Hipotesis ini dibuat karna
dengan pemberian agonis dopamine memberikan hasil yang efektif untuk mengatasi ganguan tidur
ini. 2
Diagnosis kelainan ini dibuat berdasarkan gejala klinis seperti diatas dan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) pada otot tungkai atas di labolatorium tidur. 2
Terapi koservatif. Dilakukan dengan merendam kaki san tungkai atas dengan air hangat serta
olahraga ringan yang dilakukan teratur dapat membantu menghilangkan gejala kedua gangguan tidur
ini. Bila belum berhasi dapat digunakan obat anti parkinsonseperti karbidopa-levodopa 25-100 mg.
Hati-hati bila gejala gangguan ini muncu pada saat siang hari atau lebih awal, mungkin dapat
diakibatkan efeksamping obat, dosis harus diturunkan atau digabung dengan anti Parkinson lain
seperti bromokriptin, karbamazepin dan klonazepam. Atau dapat pula digunakan obat lain seperti
benzodiazepine (1kali saat ingin tidur).

3. Gangguan perilaku REM


Gangguan tidur ini sangat jarang ditemukan tapi sering muncul pada usia lanjut. Proses yang
mendasari gangguan tidur ini adalah adanya disinhibisi transmisi aktivitas motorik saat bermimpi.
Gangguan tidur ini sering muncul pada tengah malam saat periode REM terjadi. Bentuk gangguan
dapat berupa mengigau, bicara sambil tidur, berjalan, bahkan makan sambil tidur. Pasien sering jatuh
atau lompat dari tempat tidur sehingga banyak terjadi perlukaan. Pada kasus ini banyak penelitian
melaporkan prevalensi pada laki-laki lebih besar dari perempuan. Patofisiologi terjadi ganguan
perilaku REM sampai saat ini tidak diketahui,penelitian menunjukan adanya hubungan antara
ganguan perilaku REM dengan pemakaian obat-obat anti depresi, trisiklik, fluoksetin, inhibitor
monoamine oksidase, dan ketagihan alcohol atau zat sedative lainnya. Gangguan ini pada fase kronik
banyak dihubungkan dengan penyaki neurodegenerative idiopatik seperti demensia dan penyakit
Parkinson. 2
Jenis-jenis Insomnia : Insomnia Sekunder
1. Insomnia karena Gangguan Organik
Keadaan ini merupakan gangguan tidur atau insomnia yang berhubungan dengan factor organic.
Factor organic adalah badan atau fisik kita sebagai manusia. Gangguan fisik yang dapat terjai seperti
apne tidur, penyakit Parkinson, mioklonus, sindrom nyeri maupun zat psikoaktif. Menurut ASDC
(Association of sleep disorders Centers), kategori ini dibagi menjadi 1) sindrom apne tidur akibat
hilangnya pernapasan sentral atau obtruksi saluran napas bagian atas, sindrom hipoventilasi alveolar
3)insomnia yang berkaitan dengan mioklonus nocturnal atau tungkai yang resah. Rentang obatobatan yang luas dapat menyebabkan gangguan tidur, baik pada penggunaan jangka panjang maupun
pada saat proses penurunan dosis obat. Dalam hal ini termasuk obat-obatan kemoterapieutik kanker,
steroid, stimulant, depresan, antihipertensi, preparat tiroid, MAOI, kontrasepsi oral, antikonvulsi,

opiate dan halusinogen. Penggunaan alcohol jangka panjang juga dapat menimbulkan diintegrasi
berat arsitektur tidur dengan penurunan waktu tidur, serta fragmentasu dan penurunan tidur REM.
Contoh nya Selama penarikan diri dari alcohol pasien akan insomnia yang lama mungkin bermingguminggu. 5
2. Insomnia karena Gangguan Non-organik
Keadaan ini merupakan gangguan insomnia non organika Aksis I atau II. Depresi dan anxietas
merupakan gangguan penyerta yang paling lazim. Pada depresi mayor, insomnia terminal adalah
khas sebagai kelatenan REM yang diperpendek, periode REM pertama yang di perpanjang, dan
penurunan stadium 3 dan 4 tidur. Pasien manic dan hipomanik pada umunya tidak mengeluh masalah
tidur dan tampaknya mengalami penurunan sejati pada kebutuhan tidur. Yang penting adalah bahwa
ganguan tidur dapat menandai awitan dekompensasi psikotik. 2
1. Insomnia pada Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Diagnosis skizofrenia, menurut
sejarahnya, mengalami perubahan-perubahan. Ada beberapa cara untuk menegakkan diagnosis.
Pedoman untuk menegakkan diagnostik adalah DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) dan
PPDG2-III/ICD-X. Dalam DSM-IV terdapat kriteria objektif dan spesifik untuk mendefinisikan
skizofrenia. Belum ada penemuan yang patognomonik untuk skizofrenia. Diagnosis berdasarkan
gejala atau deskripsi klinis dan merupakan suatu sindrom. Untuk menegakkan diagnosis
skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria DSM-IV atau ICD X. Berdasarkan DSM-IV
kriterianya adalah: 6
1. Berlangsung paling sedikit enam bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan
interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi.
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode tersebut.
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor,
autisme, atau gangguan organik.
Insomnia pada skizofrenia merupakan salah satu gejala awal dari penyakit tersebut. Pada
dasarnya skizofrenia sama seperti penyakit-penyakit lain yang mempunyai gejala awal. Gejala
awalnya adalah peningkatan kegelisahan dan ketegangan, penurunan nafsu makan, depresi ringan
dan anhedonia, tidak bisa tidur, dan konsentrasi terganggu. 6
Umumnya pasien skizofren memiliki EEG normal tapi sebagian menunjukkan turunnya aktivitas
alfa dan naiknya aktivitas teta dan delta, gangguan paroksismal, dan naiknya kepekaan terhadap
prosedur aktivasi, misal deprivasi tidur. 6
2. Insomnia pada Gangguan Depresi
Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering menyerang orang usia lanjut atau pasien
yang berusia 60 tahun ke atas dan merupakan penyakit dengan tampilan tidak spesifik pada
pasien geriatric. Terdapat beberapa faktor biologi, fisis, psikologis dan sosial yang membuat
sesorang rentan terhadap depresi. Faktor psikososial juga berperan sebagai faktor presdiposisi
dari depresi. Orang tua sering kali mengalami periode kehilangan orang-orang yang dikasihinya.
Faktor kehilangan fisik juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap depresi dengan
berkurannya kemampuan merawat diri serta hilangnya kemandirian. Berkurangnya kapasitas
sensori akan mengakibatkan penderita merasa terisolasi dan berujung pada depresi.

Berkurangnya kemampuan daya ingat, fungsi intelektual, kehilangan pekerjaan, penghasilan dan
dukungan sosial sejalan dengan bertambahnya usia turut menjadi faktor predisposisi seseorang
berusia lanjut menderita depresi. Sedangkan prevalensi penyakit depresi pada usia lanjut lebih
sering terjadi di tempat perawatan seperti rumah sakit dan semakin lama perawatannya akan
semakin banyak kemungkinannya untuk mengalami depresi. 2
Depresi mungkin juga dapat menjadi gangguan penyerta yangpaling lazim. Pada penderita
depresi mayor, insomnia terminal adalah khas sebagai kelatenan REM yang di perpendek,
periode REM pertama yang diperpanjang. Pasien manic dan hipomanik umumnya tidak
mengeluh karena masalah tidur dan tampaknya mengalami penurunan sejati pada kebutuhan
akan tidur. Yang penting bahwa gangguan tidur dapat menandai dekompensasi psikotik. 2
Depresi adalah masalah besar karena penyakit depresinya sering tertutupi oleh penyakit somatic
yang dideritanya sehingga sulit diidentifikasi dan hal ini mengakibatkan terlambatnya terapi
untuk depresi tersebut. Selain dapat tertutupinya diagnosis untuk penyakit depresi karena
penyakit somatiknya, depresi juga dapat memperberat penyakit somatic yang diderita oleh pasien
tersebut dan juga sebaliknya. Oleh karena itu obat antidepresi yang efektif mempunyai potensi
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya serta menurunkan biaya perawatan.
3. Insomnia pada Gangguan Demensia

Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori, tetapi gejala awal juga
dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja, mengikuti perintah, menemukan kata,
atau mengemudi. 2
Riwayat adanya strok dengan progresi bertahap dan tidak teratur mengarah pada
demensia multi-infark. Demensia multi-infark umumnya terjadi pada pasien-pasien dengan
faktor risiko hipertensi, fibrilasi atrium, penyakit vaskular perifer, dan diabetes. Pada pasien yang
menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah
penyakit Alzheimer, demensia multi-infark, atau campuran keduanya. Bila dikaitkan dengan
berbagai penyebab penyakit demensia, maka anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai
faktor risiko seperti trauma kepala berulang, infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis
(neurosifilis), konsumsi alkohol berlebihan, intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik, serta
penggunaan obat-obat jangka panjang. Riwayat keluarga juga harus menjadi bagian dari evaluasi,
mengingat bahwa pada penyakit Alzheimer terdapat kecenderungan familial. Gejala depresi
seperti insomnia dan kehilangan berat badan sering tampak pada pseudodemensia akibat depresi,
yang dapat disebabkan oleh anggota keluarga yang baru-baru ini meninggal. 2
Pemerikasaan fisik yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan umum seperti pemeriksaan
tanda-tanda vital, selain itu dapat dilakukan juga pemerisaan fisiologis untuk mencari
keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan dengan
gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem
motorik kecuali pada tahap lanjut. Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan
pendengaran dan penglihatan yang menimbulkan disalahartikan sebagai demensia. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah Pemindaian MRI otak yang merupakan modalitas
pencitraan yang paling sensitif dalam mendiagnosis kelainan intrakranial.

Alzheimer mulanya dihubungkan dengan penurunan memori yang semakin lama semakin buruk.
Dari waktu ke waktu, pasien dengan Alzheimer dapat juga memperlihatkan kecemasan, depresi,
insomnia, agitasi, dan paranoia. Ketika penyakit itu berlangsung, pasien dengan Alzheimer
datang dengan membutuhkan bantuan dalam aktivitas sehari-hari, termasuk menggunakan maju,
mandi, dan ke toilet. Nantinya, kesulitan dalam berjalan dan menelan akan berkembang. Makan
dapat pula hanya menggunakan gastrointestinal tube, dan kesulitan menelan dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi.7
4. Insomnia karena Gangguan Fisiologis
Irama sirkadian tidur diatur oleh proses endogen berupa pengaturan temperature badan dan
pengeluaran hormon kortisol, hormone pertumbuhan dan melatonin yang dipicu oleh nucleus supra
chiasmatik dan proses eksogen berupa perubahan terang dan gelap. Pada bbeberapa orang dapat
terjadi gangguan irama sirkadian ini. Kelainan tersebut antara lain : 2
a. ketidaksingkronan respon proses endogen terhadap rangsangan eksogen, dimana terjadi
penurunan respon endogen terhadap perubahan siang dan malam, sehingga dapat terjadi tidur
bangun tak beraturan.
b. sindrom fase tidur cepat, gangguan berupa periode atau siklus tidue bangun lebih cepat/maju.
Misalnya tidurnya terlalu awal dan bangunnya terlalu awal. Gangguan terletak pada teperatur
badan, biasanya teperatur badan sudah turun pada pukul 6-7 sore dan sudah meningkat pada
pukul 2 atau 3.
Prevalensi gangguan

tidur tipe ini tidak jelas. Hal ini karena banyak orang usia lanjut yang

menderita namun tidak membutuhkan terapi karena menganggap perubahan ini adalah biasa. Paa usia
pertengahan prevalensi sindrom fase tidur lebih cepat sekitar 1% dari populasi di USA. 2
Diagnosis insomnia
Ada beberapa jenis ganguan jiwa (misalnya, gangguan mental organic) terdapat pelbagai tanda dan gejala
yang sangat luas. Pada beberapaganguan jika lainnya (sepertinya, ganguan cemas) hanya terdapat tanda
dan gejala yang dangat terbtas. Atas dasar ini, dilakukan suatu penyusunan urutan blok-blok diagnosis
yang terdapat dalam urutan hierarki yang lebih tinggi , mungkin mempunyai ciri-ciri dari gangguan yang
terletak dalam hierarki lebih rendah, tetapi tidak sebaliknya. Terdapatnya hubungan hirarki ini
memungkinkan untuk penyajian diagnosis banding dari berbagai gejala utama. 8
F0

: Gangguan mental organic dan simtomatik


: ciri khas etiologi organic/fisik jelas, primer/sekunder

F1

: Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif


: ciri khas etiologi organic/fisik jelas, primer/sekunder akibat penggunaan zat

F2

: Skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham


: cirri khas gejala psikotik, etiologi organic tidak jelas

F3

: Gangguan suasana perasaan (mood/afektif)


: cirri khas memiliki gejala gangguan afek (psikotik dan non psikotik)

F4

: Gangguan neurotic, somatoform, dan gangguan stress

: cirri khas gejala non psikotik dan etiologi non organic


F5

: Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan factor fisik
: cirri khas gejala disfungsional fisiologis, etiologi non organic

F50

: Gangguan makan

F51

: Gangguan tidur non organik


F51 Gangguan Tidur Non-Organik

Kelompok gangguan ini termasuk: 8


a. Dyssomnia, kondisi psikogenik dimana gangguan utamanya adalah jumlah, kualitas, atau waktu tidur
yang idsebabkan oleh hal-hal emosional misalnya insomnia, hipersomnia, gangguan jadwal tidur
jaga.
b. Parasomnia, peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama tidur (pada kanak-kanak ini terkait
dengan perkembangan anak, sedangkan pada dewasa terutama terpengaruh psikogenik).
Misalnya somnabulisme (sleepwalking) terror tidur (night terrors) mimpi buruk (nightmare).
Pada kebanyakan kasus gangguan tidur adalah salah satu gejala dari gangguan lainnya, baik mental atau
fisik. Walaupun gangguan tidur yang spesdifik terlihat secara klinis berdiri sendiri, sejumlah faktor
psikiatrik dan atau fisik yang terkait memberikan kontribusi pada kejadiannya. Secara umum adalah lebih
baik membuat diagnosis lain yang relevan untuk menjelaskan secara adekuat psikopatologi dan atau
patofisiologinya. 8
Pedoman diagnostik
Hal dibawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti: 8
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal satu bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan
memengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak menyebabkan diagnosis
insomnia diabaikan. Semua ko morbiditas harus dicantumkan karena membutuhkan terapi sendiri
Kriteria lama tidur tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi
inividual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria diatas (seperti pada transient insomnia) tidak
didiagnosis disini dapat dimasukan dalam reaksi stress akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2). 8

F51.1 Hipersomnia Non-organik


Gambaran klinis di bawah ini adalah sesnsial untuk diagnosis pasti: 8
a. Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya serangan tidur (sleep attacks) tidak
disebabkan jumlah tidur yang kurang atau transisi yang memanjang dari saat mulai bangun tidur
sampai tersadar sepenuhnya (sleep drunkenness)

b. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan atau berulang dengan kurun waktu yang
lebih pendek, menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan memengaruhi fungsi dalam sosial
pekerjaan
c. Tidak ada gejala tambahan narcolepsy (catapelxy, sleep paralysis, hypnagogic hallucination) atau
bukti klinis untuk sleep apnoe (nocturnal breath cessation, typical intermittent snoring sounds)
d. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukan gejala rasa kantuk pada siang hari
Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa lain misalnya gangguan afektif
maka diagnosis harus sesuai dengan gangguan yang mendasari. Diagnosis hipersomnia psikogenik harus
ditambahkan bila hipersomnia merupakan keluhan yang dominan dari penderita dengan gangguan jiwa
lainnya. 8
F51.2 Gangguan Jadwal Tidur Jaga Non-Organik
Pedoman diagnostic : 8
a. Pola tidur jaga dari individu tidak seirama dengan pola tidur jaga yang normal bagi masyarakat
setempat
b. Insomnia pada waktu orang-orang tidur dan hipersomnia pada waktu kebanyakan orang jaga,
yang dialami hampir setiap hari untuk sedikitnya 1 bulan atau berulang dengan kurun waktu yang
lebih pendek
c. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat
dan memengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
Adanya gejala gangguan lain seperti anxietas, depresi, hipomania, tidak menutup kemungkinan diagnosis
gangguan jadwal tidur jaga non organik yang penting adanya dominasi gambaran klinis gangguan ini
pada penderita. Apabila gejala gangguan jiwa lain cukup jelas dan menetap harus dibuat diagnosis
gangguan jiwa yang spesifik secara terpisah. 8
F51.3 Somnabulisme (sleepwalking)
Pedoman diagnosis : 8
a. Gejala yang utama adalah satu atau lebih episode bangun dari tempat tidur biasanya pada sepertiga
awal tidur malam dan terus berjalan-jalan (kesadaran berubah)
b. Selama satu episode, individu menunjukan wajah bengong relatif tak memberi respon terhadap upaya
orang lain untuk memengaruhi keadaan atau untuk berkomunikasi dengan penderita dan hanya dapat
disadarkan dari tidur dengan susah payah
c. Pada waktu sadar atau bangun (setelah satu episode atau besok paginya) individu tidak ingat apa
yang terjadi
d. Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode tersebut, tidak ada gangguan
aktivitas mental walaupun dapat dimulai dengan sedikit bingung dan disorientasi dalam waktu
singkat.
e. Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik
Somnabulisme harus dibedakan dari seranagn epilepsi psikomotor dan fugue disosiatif (F44.1). 8
F54.1 Teror Tidur (night terrors)
Pedoman diagnostik: 8
a. Gejala utama dalah satu atau lebih episode bangun dari tidur, mulai berteriak karena panik, disertai
anxietas yang hebat, seluruh tubuh gemetar, dan hiperaktivitas otonom seperti jantung berdebar,
nafas cepat, pupil melebar, dan berkeringat

b. Episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya berkisar 1-10 menit dan biasanya terjadi pada
sepertiga awal tidur malam
c. Secara relatif tidak bereaksi terhadap berbagai upaya orang lain untuk memengaruhi keadaan teror
tidurnya, dan kemudian dalam beberapa menit setelah bangun biasanya terjadi disorientasi dan
gerakan-gerakan berulang
d. Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik
Teror tidur harus dibedakan dari mimpi buruk (F51.5) yang biasanya terjadi setiap saat dalam tidur,
mudah dibaangunkan dan teringat dengan jelas kejadiannya. Teror tidur dan somnabulisme sangat
berhubungan erat, keduanya mempunyai karakteristik klinis dan patofisiologis yang sama. 8
F51.5 Mimpi Buruk (nightmares)
Pedoman diagnostik: 8
a. Terbangun dari tidur malam atau tidur saling berkaitan dengan mimpi yang menakutkan yang dapat
diingat kembali dengan rinci dan jelas (vivid) biasanya perihal ancaman kelangsungan hidup,
keamanan, atau harga diri. Terbangunnya dapat terjadi kapan saja selama periode tidur tetapi yang
khas adalah paruh kedua masa tidur
b. Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segera sadar penuh dan mampu mengenali
lingkungannya
c. Pengalaman mimpi itu dan akibat dari tidur yang terganggu menyebabkan penderitaan cukup berat
bagi individu
Sangat penting untuk membedakan mimpi buruk dari teror tidur dengan memperhatikan gambaran klinis
yang khas untuk masing-masing gangguan. 8
F51.8 Gangguan Tidur Non-Organik lainnya8
F51.9 Gangguan Tidur Non-Organik YTT8
Selain dengan menggunakan hirarki PPDGJ, kita juga mendiagnosis menggunakan Langkahlangkah yang umum penatalaksanaan gangguan tidur pada usia lanjut yang dapat dilihat pada algoritme.

Gambar 2. Algoritme untuk Penipisan Ganguan Tidur dan Pendekatan untuk Diagnosis dengan
Perawatan2
Terapi
a. Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan sesuai dengan penyebab yang mendasari terjadinya gangguan
tidur dan jenis gangguan tidur yang terjadi. Obat-obat seperti golongan benzodiazepine dapat
diberikan pada pasien insomnia akut, diberikan dosis kecil dan dalam waktu yang tidak lama.
Terapi terhadap penyakit organik yang diderita pasien juga harus dilakukan dengan
menghindarkan sebisa mungkin obat-obatan yang menyebabkan gangguan tidur. Melatonin
yang sedang marak dipakai sebagai obat tidur, sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang
memuaskan dalam mengatasi gangguan tidur. 2
Pada gangguan sindrom kaki kurang tenang dapat digunakan anti Parkinson karbidopalevodopa (25-100mg) dengan dosis awal 1 kali setengah tablet saat mau tidur dosis dapat
ditingkatkan setengah tablte tiap 3-4 hari nila belum membaik. Hati-hati bila gejala muncul lebih
awal atau pada siang hari mungkin ini efek samping dari obat, sehingga dosis harus diturunkan
atau harus digabungkan dengan obat anti Parkinson lain seperti bromokriptin,
karbamezepin, dan klonozepam. Obat lain yang dapat digunakan untuk sindrom kaki kurang
tenang dan gangguan perilaku rem adalah benzodiazepine (1 kali saat tidur ), kodein atau
oksikodon. 2

b. Non-Medikamentosa
Karena banyaknya penyebab gangguan tidur, maka penatalaksanaan gangguan tidur
harus dilakukan secara individual, dengan meneliti dan menilai gejala dan tanda yang ada pada
tiap pasien. Beberapa hal yang dapat diterapkan pada semua jenis gangguan tidur adalah
edukasi tidur, mengubah gaya hidup, psikoterapi, dan medikamentosa. 2
Edukasi tidur diberikan baik kepada pasien maupun keluarga atau care giver. Edukasi
tersebut meliputi: 2

Tunggu sampai terasa sangat mengantuk sebelum naik ke tempat tidur.


Bila dalam 20 menit berbaring belum bisa tidur maka lebih baik bangun lagi, lakukan
kegiatan lagi dengan tenang dan lakukan relaksasi. Bila mengantuk baru kembali ke tempat

tidur.
Hindarkan penggunaan kamar tidur untuk bekerja, membaca atau menonton televisi. Pada
gangguan perilaku rem lebih baik melakukan penataan ulang kamar tidur dan
sebaiknya tempat tidur tidak diletakan ditempat yang tinggi dan dianjurkan untuk
memasang teralis besi dan selalu dikunci pada waktu tidur untuk menjaga pasien tidak

keluar kamar pada fase berjalan sambil tidur (Somnabulisme) .


Bangun tidur pagi hari pada jam yang sama, tidak peduli sudah berapa lama ia tidur.
Hindarkan minum kopi atau atau merokok.
Lakukan olahraga ringan setiap pagi setelah bangun tidur.
Kurangi tidur siang,, lakukan kegiatan/hobi yang menyenangkan.

Kurangi jumlah minum setelah makan malam, hindari minum alcohol.


Pelajari teknik relaksasi atau lakukan meditasi.
Hindarkan gerakan badan berlebihan saat di tempat tidur.
Berdoa sebelum tidur. Mengubah gaya hidup (life style), diperlukan untuk memperbaiki
faktor fisis dan psikis yang mendasari terjadinya gangguan tidur. Perubahan tersebut
meliputi:
- Usaha menurunkan berat badan dengan memperbaiki pola makan pada pasien GTGP.
- Menghindari perjalanan jauh atau bekerja sampai malam hari (shift malam), agar
-

tidak terjadi jet lag.


Menghindari membaca atau menonton atau mendengarkan cerita-cerita yang

menakutkan atau sangat menyedihkan.


Bila memungkinkan buat suasana lingkungan rumah bersih dan menyenangkan. Perbaiki
hubungan antar anggota keluarga, tumbuhkan suasana aman dan penuh kasih antar

sesama penghuni rumah.


Lakukan aktivitas fisis, jangan duduk diam sepanjang hari

Psikoterapi perlu diberikan pada pasien gangguan tidur yang disebabkan oleh ansietas
dan depresi. Di samping psikoterapi dari seorang psikolog, psikoterapi berupa dorongan
dan penghiburan sebaiknya dilakukan oleh anak atau cucu pasien.

Kesimpulan
Dari pembahasan tentang kasus diatas, gangguan sulit tidur sangat banyak penyebabnya. Bisa disebabkan
oleh factor biologis, factor psikologis maupun factor social. Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang baik
dan menyeluruh pada pasien dengan gangguan tidur ini. Setelah melakukan pemeriksaan yang teliti dan
menyeluruh kita sebagai dokter dapat mendiagnosis penyakit apa yang sedang di derita dan dapat
memberikan terapi yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Daftar Pustaka
1. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK Unika Atmajaya; 2009. h. 188-193
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 25-7, 31-2, 757-8, 837-44, 1079.
3. Santoso H, Ismail A. Memahami krisis lanjut usia: uraian medis dan pedagogis-pastoral. Jakarta:
Gunung Mulia; 2009. h. 101-2.
4. Maryam RS, Ekasari MF, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I. Mengenal usia lanjut dan
perawatannya. Jakarta: Salemba Medika; 2008. h. 47-8.
5. Hoffman E, Rosenlicht N. Buku saku psikiatri. Jakarta: EGC; 1997. Bab 16.
6. Amir N. Skizofrenia. Dalam: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikiatri.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.h.170-85.
7. Alzheimer

Disease,

diunduh

dari:

overview#aw2aab6b2b6, 14 Desember 2013.

http://emedicine.medscape.com/article/1134817-

8. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa : Rujukan ringkasan dari PPDGJ III dan DSM 5. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya; 2013. h. 7-20.

Anda mungkin juga menyukai