FGFR2 Dan Kontrasepsi Oral Terhadap Kejadian Kanker Payudara
FGFR2 Dan Kontrasepsi Oral Terhadap Kejadian Kanker Payudara
BAB II
KAJIAN JURNAL
A.
1.
Tinjauan Pustaka
Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan kanker pada wanita dengan jumlah penderita tertinggi.
Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) pada tahun 2008, pasien kanker payudara rawat
inap di RS seluruh Indonesia adalah sebesar 18,4% dan merupakan jumlah kasus yang tertinggi.
(Guidelines, 2011)
Kanker payudara merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, karena
mortalitas dan morbiditasnya yang tinggi. Jumlah kasus kanker payudara di dunia menduduki
peringkat kedua setelah kanker serviks, disamping itu kanker payudara menjadi salah satu
pembunuh utama wanita di dunia dan adanya kecenderungan peningkatan kasus baik di dunia
maupun di Indonesia. (Indarti, 2011)
Berdasarkan anatomi badan manusia, struktur payudara meliputi lobulus (kelenjar susu),
duktus (saluran susu), jaringan ikat, dan puting susu. Terjadinya kanker payudara dapat berasal
dari semua tipe jaringan ini, baik yang bersifat non-invasif (in situ) maupun invasif (menyebar).
Sebagian besar kanker payudara terjadi di jaringan duktus dan bersifat invasif. (Noviana, 2012)
Kanker payudara merupakan penyakit heterogen, dan faktor risiko yang terkait dengan
perkembangan subtipe tumor yang berbeda yang mewujudkan perilaku biologis yang berbeda
(Montserrat, 2008). Penyebab pasti kanker payudara belum diketahui, diperkirakan
multifaktorial. Untuk mendukung pandangan ini, ada bukti yang berkembang bahwa faktor risiko
kanker payudara diketahui bervariasi menurut status reseptor hormon dan karakteristik patologis
mungkin dari penyakit lain. (Winarni, 2011)
Kelebihan hormon estrogen endogen atau lebih tepatnya terjadi ketidakseimbangan
hormon terlihat sangat jelas pada kanker payudara. Epitel payudara normal memiliki reseptor
estrogen dan progesteron. Kedua reseptor ditemukan pada sebagian besar kanker payudara.
Berbagai bentuk growth promoters (transforming growth factor-alpha / epithelial growth factor,
pletelet derived growth factor), fibroblast growth factor dan growth inhibitor disekresi oleh sel
kanker payudara manusia. (Muchtar, 2008)
Banyak penelitian menyatakan bahwa growth promoters terlibat dalam mekanisme
autokrin dari tumor. Produksi GF tergantung pada hormon estrogen sehingga interaksi antara
hormon disirkulasi, reseptor hormon pada sel kanker dan GF autokrin merangsang sel tumor
menjadi lebih progresiif. (Muchtar, 2008)
Proses timbulnya kanker payudara merupakan kejadian kompleks yang melibatkan
berbagai faktor. Selain adanya defek pada gen BRCA1 dan BRCA2, masih banyak kelainan yang
pada prinsipnya meningkatkan aktivitas proliferasi sel serta kelainan yang menurunkan atau
menghilangkan regulasi kematian sel. (Indarti, 2011)
Karya terbaru dari studi consortial telah menemukan kerentanan lokus yang
menyebabkan kanker payudara berdasarkan genomic (CASP8, FGFR2, TNRC9, MAP3K1,
LSP1) dan daerah nongenomic (8q24, 2q35, 5p12), serta temuan substansial heterogenitas dari
karakteristik tumor. Secara khusus, lokus kerentanan pada FGFR2, TNRC9 8q24, 2q35, dan
5p12 memiliki hubungan yang kuat terhadap reseptor estrogen positif (ER +) daripada reseptor
estrogen negatif (ER-). Salah satu yang diduga merupakan faktor resiko terjadinya kanker
payudara adalah faktor penggunaan kontrasepsi oral terutama hormon estrogen (Montserrat,
2008).
2. Kontrasepsi Oral Kombinasi
a. Definisi
Kontrasepsi oral kombinasi merupakan pil kontrasepsi yang berisi hormon sintesis
estrogen dan progesteron. (Handayani, 2010, p.99).
Beberapa senyawa sintetik mempunyai aktivitas estrogenik dan satu atau lebih sifat
farmakologik yang menguntungkan. Sebagian besar modifikasi dirancang untuk memperlambat
metabolisme hati sehingga senyawa tersebut bisa diberikan per oral. Salah satu preparat yang
pertama dikembangkan adalah dietilstilbestrol. Contoh lain hormon steroid yang sudah
dimodifikasi ialah 17-etinil estradiol dan mestranol yang digunakan sebagai preparat
kontrasepsi oral. (Murray, 2011)
Estrogen merangsang perkembangan jaringan yang terlibat dalam reproduksi. Pada
umumnya hormon ini merangsang ukuran dan jumlah sel dengan meningkatkan kecepatan
sintesis protein, rRNA, tRNA, mRNA dan DNA. Dibawah rangsangan estrogen, duktus payudara
akan berproliferasi (Murray, 2011).
Di Amerika Serikat, satu-satunya estrogen yang tersedia adalah etinil estradiol dan
turunan 3-metil eter-nya, mestranol (Gambar 1). Agar menjadi bioaktif, gugus metil di karbon 3
mestranol harus dikeluarkan melalui konversi dihati menjadi etinil estradiol. Faktor konversi
untuk potensi etinil estradiol ke mestranol tidak diketahui secara pasti, tetapi mungkin 1,2
sampai 1,5. Di Amerika Serikat, sebagian besar resep kontrasepsi oral kombinasi adalah preparat
yang dosis estrogennya 35 g atau kurang, dan semuanya mengandung etinil estradiol.
(Cuningham, 2006)
Terpapar hormon estrogen berlebihan dan kumulatif, dianggap dapat meningkatkan risiko
terkena kanker payudara, dan kanker endometrium. (Gambar 2) Mekanisme klasik estrogen akan
berpengaruh terhadap laju lintasan mitosis dan apoptosis dan mengejawantah menjadi risiko
kanker payudara dengan memengaruhi pertumbuhan jaringan epitelial. Laju proliferasi sel yang
sangat cepat akan membuat sel menjadi rentan terhadap kesalahan genetika pada proses replikasi
DNA oleh senyawa spesi oksigen reaktif yang teraktivasi oleh metabolit estrogen. Walaupun
demikian, fitoestrogen dapat menurunkan risiko tersebut dengan kapasitasnya berkompetisi
dengan estrogen pada pencerapnya, sehingga menstimulasi produksi globulin pengusung hormon
seks dan menghambat aktvitas enzim pada lintasa sintesis estrogen (Chen, 2010).
2) Progestin
Sintesis senyawa yang mempunyai aktivitas progestin tetapi tanpa kerja estrogenik atau
androgenik, merupakan hal yang selama ini sulit dilakukan (Murray, 2011)
Semua progestin pada awalnya dipilih karena potensi progestasionalnya, tetapi sekarang
senyawa-senyawa ini diperbandingkan berdasarkan efek estrogenik, antiestrogenik, dan
androgeniknya. Dalam meresepkan kontrasepsi oral pada seorang wanita, efek-efek ini umumnya
dipertimbangkan.
Saat ini, baru turunan 19-nortestosteron yang digunakan untuk progestin karena turunan
17-asetoksiprogesteron dalam dosis tinggi menyebabkan tumor payudara pada anjing betina
(Cuningham, 2006). Derivat 19-nortestosteron yang tersubstitusi oleh gugus 17-alkil (misalnya
noretindron) mempunyai aktivitas androgenik yang minimal pada kebanyakan perempuan dan
dipakai sebagai preparat kontrasepsi oral. Preparat progestin yang poten lainnya adalah Medroksi
Progesteron Asetat (Provera). (Murray, 2011)
Dari senyawa-senyawa yang saat ini tersedia di Amerika Serikat, hanya norgestrel yang
memiliki 2 isomer. Levonogestrel adalah isomer bioaktif; nordette mengandung 0,15 mg
senyawa ini dan alesse mengandung 0,1 mg. Lo/ovral mengandung 0,3 mg dl-norgestrel)
kombinasi bentuk dekstro dan levo); hanya separuhnya yang berada dalam bentuk aktif levo.
Dua progestin yang lebih baru, desogestrel dan norgestimat, sekarang sudah tersedia. Progestin
ketiga, gestoden, sudah digunakan di Eropa (Gambar 3). Dosis rendah senyawa-senyawa ini
sudah menghasilkan pengendalian siklus yang sangat baik dan menyebabkan perubahan
metabolik minimal (Akerlund dkk, 2008). Beberapa progestin baru, dengan sifat androgenik
yang rendah dan efek pada lemak minimal, sekarang sedang dalam proses persetujuan dan
pemasaran di Amerika Serikat. (Cuningham, 2006)
Progestin umumnya memerlukan keberadaan estrogen pada saat sebelumnya atau pada
saat bersamaan, dan hal ini mungkin terjadi karena estrogen merangsang progesteron reseptor
progesteron. Kedua hormon ini acapkali bekerja secara sinergik sekalipun mereka dapat bersifat
antagonis. Sebagai contoh progestin akan mengurangi aktivitas proliferatif yang dimiliki hormon
estrogen. Progestin juga meningkatkan perkembangan bagian asinar kelenjar mammae setelah
estrogen merangsang perkembangan duktusnya. (Murray, 2011)
c.
Masih belum jelas apakah kontrasepsi oral berperan dalam dalam terbentuknya kanker
payudara. Pada sebuah study terbesar, tidak terbukti adanya peningkatan resiko kanker payudara
diantara pemakai kontrasepsi oral (Cancer and Steroid Hormone Study, 2006). Selain itu, resiko
tidak bervariasi menurut preparat atau lama pemakaian. Semantara study di Selandia Baru (Paul
dkk, 2008) mendukung temuan-temuan ini, suatu study di Swedia (Meirik dkk, 2008)
mengisyaratkan adanya sedikit peningkatan risiko kanker payudara pada wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral selama 12 tahun atau lebih. Gabrick dkk (2009) melaporkan
peningkatan resiko pada wanita dengan riwayat keluarga yang kuat, tetapi resiko ini berkaitan
dengan preparat-preparat yang lama yang dosis estrogennya tinggi.
Collaborative Group on Hormonal Factors in Breast Cancer (2009) meneliti lebih dari
53.000 wanita dengan kanker payudara. Mereka mendapatkan peningkatan risiko relatif kanker
payudara yang kecil tetapi bermakna pada wanita yang sedang menggunakan kontrasepsi oral
kombinasi atau dalam 10 tahun setelah menghentikannya. Untuk wanita yang sedang memakai
risikonya 1,24, dan 1,16 bagi mereka yang sudah berhenti 1 sampai 4 tahun serta 1,07 bagi
mereka yang telah berhenti 5 sampai 9 tahun..
Tumor-tumor yang ditemukan pada studi kolaboratif pada tahun 2009 tersebut dilaporkan
kurang agresif dan terdeteksi pada stadium lebih dini. Selain itu, resiko tidak dipengaruhi oleh
pemakaian yang lebih dini, lama pemakaian, pemakaian sebelum kehamilan, dosis, atau jenis
hormon yang digunakan karena kontrasepsi oral tampaknya tidak mengubah faktor-faktor resiko
pada wanita dengan atau tanpa riwayat kanker payudara dalam keluarga.
Belum pernah dilakukan studi-studi jangka panjang terhadap kontraspsi oral dosis rendah
yang lebih baru. Angka serangan kanker payudara yang besarnya 1 dalam 9 akan menyulitkan
deteksi peningkatan resiko yang kecil. Food and drugs administration (2008) belum mengubah
rekomendasi mereka mengenai peresepan kontrasepsi oral dan risiko untuk kanker payudara.
Speroff (2007) melakukan kajian ulang berbasis ilmiah terhadap 54 studi epidemiologis
yang membahas masalah ini. Ia menyimpulkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa kontrasepsi
oral, termasuk estrogen dan progesteron dosis tinggi, meningkatkan risiko kanker payudara
bahkan pada pemakaian lama.
3.
FGFR memegang berbagai peran dalam tubuh, seperti mengatur proliferasi sel, migrasi, dan
diferensiasi, khususnya selama perkembangan awal. Namun dalam keadaan dewasa FGFR
berfungsi terutama sebagai respons terhadap cedera seperti kerusakan jaringan, juga terbukti
penting dalam pengembangan sistem kerangka dan saraf pada mamalia. (Steadwards, 2010)
FGF dan reseptornya (FGFR) memiliki peran tidak hanya dalam pertumbuhan sel
normal, tetapi juga dalam pembentukan tumor. Dua kelompok FGFR yang ditemukan
adalah FGFR dengan afinitas tinggi dan FGFR dengan afinitas rendah. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa sisi pengikatan dengan afinitas rendah merpresentasikan heparan
sulphate proteoglycan molecules (HSPG) yang terdapat pada permukaan sel. Terdapat
empat jenis FGFR dengan afinitas tinggi, yaitu FGFR1 (flg), FGFR2 (bek), FGFR3 and
FGFR4. Pengikatan ligan pada FGFR menginduksi dimerisasi dan fosforilasi pada residu
tyrosin di sitoplasma, tetapi aktivasi penuh hanya dapat dicapai jika terdapat heparin.
Heparin mampu mengikat sejumlah monovalen FGF sehingga terbentuk oligomer reseptor
yang mengikat sekelompok FGF. (Sri Rahayu, 2009)
FGFR terdiri dari empat jenis, salah satu diantaranya yaitu FGFR2, dimana
FGFR2 diduga berhubungan dengan kanker payudara. FGFR2 adalah reseptor tirosin
kinase yang terlibat dalam sejumlah sinyal transduksi sel yang berkontribusi terhadap
pertumbuhan sel dan diferensiasi sel (Eswarakumar VP,2005). FGFR2 penting dalam
pengembangan sejumlah jaringan termasuk payudara dan ginjal (Bates CM, 2007 ; Parsa, 2008).
Meskipun FGFR2 dianggap sebagai reseptor permukaan sel, namun FGFR2 juga
ditemukan memiliki lokalisasi di sejumlah nukleus payudara dan terkait dengan kanker
payudara. (Martin, 2008)
Mutasi di FGFR2 baru-baru ini difokuskan pada Polimorfisme nukleotida tunggal (SNP)
di intron 2 dari FGFR2, termasuk rs2981582, yang berisiko tinggi membentuk haplotype yang
dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara. Risiko haplotype di FGFR2 dikaitkan
dengan reseptor estrogen positif (ER +) dan reseptor estrogen negatif (ER -) tumor, meskipun
hubungan dengan tumor ER + lebih kuat bila dibandingkan dengan tumor ER - (Easton DF, 2007
; Hunter DJ, 2007).
Bukti yang jelas tentang keterlibatan FGFR2 pada kanker payudara, dan asosiasi
polimorfisme dalam FGFR2 dengan kanker payudara masih belum jelas (Hunter, 2007 ; Easton,
2007).
C.
Pembahasan
Penelitian ini melibatkan keterkaitan SNP pada intron 2 dari gen, yang mana merupakan tempat
faktor transkripsi mengikat estrogen. Keterkaitan antara estrogen reseptor dan FGFR 2 pada
kanker payudara dapat digambarkan pada gambar 7 dibawah ini. (Hong Xu, 2010)
FGFR2 adalah anggota dari jalur sinyal RAS / RAF / MEK / ERK dan terlibat dalam
penyebab kanker payudara. Hal ini sehubungan dengan adanya mutasi pada genotip FGFR2 atau
keadaan overekspresi FGF. Overekspresi pada FGF diduga memberikan kontribusi 4 % - 12 %
terhadap kejadian kanker payudara. Keadaan overekspresi FGFR2 ini memberikan efek bagi
proses proliferasi sel yang berlebihan pula. (Hong Xu, 2010)
Keadaan mutasi ataupun overekspresi dari FGFR2 juga akan memberikan dampak yang
berarti terhadap kejadian apabila disertai dengan peningkatan estrogen pada tubuh yang
disebabkan karena penambahan estrogen dari luar yaitu kontrasepsi oral kombinasi. Seperti yang
kita ketahui bahwa reseptor estrogen dapat bekerja pada 2 jalur yaitu jalur genomik dan non
genomik. Pada jalur genomik estrogen reseptor melibatkan jalur PI3K dan RAS, yang mana jalur
ini pula dilibatkan oleh FGFR2. Sehingga dampak yang ditimbulkan adalah terjadinya prolifesari
sel epitel mamary yang berlebihan dan mengarah pada timbulnya kanker payudara.