Anda di halaman 1dari 15

Post Streptococcal Acute Glomerulonephritis

Pendahuluan
Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan proliferasi
sel glomerulus. Peradangan tersebut terutama disebabkan mekanisme imunologis yang
menimbulkan kelainan patologis glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas.
Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis akut adalah pasca infeksi, paling sering
infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A. Dari perkembangan teknik biopsi ginjal perkutan, pemeriksaan dengan mikroskop elektron dan imunofluoresen serta pemeriksaan
serologis, glomerulonefritis akut pasca streptokokus telah diketahui sebagai salah satu contoh
dari penyakit kompleks imun. Penyakit ini merupakan contoh klasik sindroma nefritik akut
dengan awitan gross hematuria, edema, hipertensi dan insufisiensi ginjal akut. Walaupun
penyakit ini dapat sembuh sendiri dengan kesembuhan yang sempurna, pada sebagian kecil
kasus dapat terjadi gagal ginjal akut sehingga memerlukan pemantauan.
Anamnesis
Berdasarkan keluhan yang dinyatakan oleh pasien 5 tahun tersebut, diketahui adanya
air seni yang berwarna gelap, bengkak di kedua mata, dan nafas pendek. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis didapatkan riwayat infeksi tenggorokan atau infeksi kulit sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik kecurigaan akan adanya GNAPS bila didapatkan tekanan
darah tinggi walaupun kadang dalam batas normal, adanya edema atau sembab pada daerah
wajah terutama daerah periorbital, skin rash, atau bisa ditemukan kelainan neurologi pada
kasus hipertensi malignant. Riwayat penyakit dahulu juga perlu dilacak seperti misalnya
riwayat adanya trauma ginjal, gangguan faal hemostasis, hematuria dalam keluarga.
Demikian pula adanya riwayat penyakit ginjal polikistik autosomal dominan pada keluarga.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi pada hampir semua pasien GNAPS,
biasanya ringan atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari.

Setelah itu tekanan darah menurun perlahan-lahan dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa
berupa wajah sembab, edem pretibial atau berupa gambaran sindrom nefrotik. Asites
dijumpai pada sekitar 35% pasien dengan edem. Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata
dengan takipne dan dispne. Gejala gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria karena
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).1
Pemeriksaan Penunjang
Urin
1. Proteinuria
Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang
terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan
adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif
proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2LPB/24 jam, tetapi pada keadaan
tertentu dapat melebihi 2 gram/m2LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu
bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya proteinuria
bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah gejala klinik
menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat
proteinuria disebut proteinuria menetap yang menunjukkan kemungkinan suatu
glomerulonefritis kronik yang memerlukan biopsi ginjal untuk membuktikannya.2

2. Hematuria Mikroskopik
Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena itu
adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk
melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan
torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus
GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada
kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu
peradangan glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit
ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut.2
Darah

1. Reaksi Serologis
Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap produkproduk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat
diukur, seperti antistreptolisin O (ASO), antihialuronidase (AH ase) dan
antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASO merupakan reaksi serologis yang
paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada
GNAPS. Sedangkan kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi,
hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan
titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan
mencapai puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan
ke-2 hingga 6. Titer ASO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran
pernapasan oleh streptokokus. Titer ASO bisa normal atau tidak meningkat akibat
pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer ASO.
Sebaliknya titer ASO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini diduga karena
adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi pembentukan antibodi
terhadap streptokokus sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar
50% kasus menyebabkan titer ASO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas
meningkat setelah infeksi melalui kulit.2

2. Aktivitas Komplemen
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta
berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang
nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3
(B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya
mudah.
Beberapa penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun.
Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama
perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya
gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih

rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada
glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus.2
3. Laju Endap Darah
LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik
menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter
kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi
walaupun gejala klinik sudah menghilang.2
Pencitraan
Gambaran radiologi dan USG pada penderita GNAPS tidak spesifik. Foto toraks
umumnya menggambarkan adanya kongesti vena sentral daerah hilus, dengan derajat yang
sesuai dengan meningkatnya volume cairan ekstraseluler. Sering terlihat adanya tanda-tanda
sembab paru (11.5%), efusi pleura (81.6%), kardiomegali ringan (80.2%), dan efusi
perikardial (81.6%). Foto abdomen dapat melihat adanya asites. Pada USG ginjal terlihat
besar dan ukuran ginjal yang biasanya normal. Bila terlihat ginjal yang kecil, mengkerut atau
berparut, kemungkinannya adalah penyakit ginjal kronik yang mengalami eksaserbasi akut.
Gambaran ginjal pada USG menunjukkan peningkatan echogenisitas yang setara dengan
echogenisitas parenkhim hepar. Gambaran tersebut tidak spesifik dan dapat ditemukan pada
penyakit ginjal lainnya.2

Biopsi Ginjal
Pada GNAPS biopsi ginjal tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan bila:

Gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas (berkembang menjadi

gagal ginjal atau sindrom nefrotik)


Tidak ada bukti infeksi streptokokus
Tidak terdapat penurunan kadar komplemen
Perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross hematuria
setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu, proteinuria yang menetap
setelah 6 bulan dan hematuria yang menetap setelah 12 bulan.2

Diagnosis

Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada


umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
Gejala bervariasi dari asimptomatik sampai berat:
1. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown case
dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang merupakan
gejala-gejala khas GNAPS.
2. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa adanya torak
eritrosit, hematuria & proteinuria.
3. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus hemolitikus
grup A. Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen
urin (hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan
penderita GNAPS.3
Diagnosis Kerja
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi
menunjukkan proliferasi & inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria,
edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.3

Manifestasi Klinis
GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang pada usia di
bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3
minggu pada pioderma. Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi
melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar 31,6%. Gejala
klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang khas.
Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun
epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama
hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik. 3
GNAPS Simtomatik

1. Periode Laten
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode
1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan
periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi
di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu,
maka harus dipikirkan kemungkinan.3
2. Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan
hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema
skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik. Distribusi edema bergantung pada 2
faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada
palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar
pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau
setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadangkadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru
diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan.
Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke
jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan
semula.3
3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS, sedangkan
hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian
multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%.
Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging
atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam
minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung
sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama,
umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai

hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah


sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun,
sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan
indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya
glomerulonefritis kronik.3
4. Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS.
Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai
hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu
diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah
akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan ensefalopati
hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral seperti sakit kepala,
muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang-kejang. Penelitian multisenter di
Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi berkisar 4-50%.3
5. Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi
urin kurang dari 350 ml/m2LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun
atau timbul kegagalan ginjal akut.
Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu
pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan
glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek.3
6. Gejala Kardiovaskular
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang
terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi
akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap
terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis.
Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis,
tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia.3
a. Edema paru
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat
secara radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis.
Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus.
Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-85,5% dari
kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama

dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik


lain. Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru
dan efusi pleura.3
7. Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan
anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat
edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.3
Diagnosis Banding
Nephrotic Syndrome
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia >200 mg/dL
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan
disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala
infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan
minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai
hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat
sementara.4
Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih adalah suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter, buli-buli,
ataupun uretra. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan
keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin.5
Gejala klinik ISK pada anak sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas reaksi
peradangan, letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan umur pasien. Sebagian ISK pada
anak merupakan ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada anak umur sekolah, terutama
anak perempuan dan biasanya ditemukan pada uji tapis (screening programs). ISK
asimtomatik umumnya tidak berlanjut menjadi pielonefritis dan prognosis jangka panjang

baik. Pada masa neonatus, gejala klinik tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia, ikterus
atau kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel, atau
distensi abdomen. Peningkatan suhu tidak begitu tinggi dan sering tidak terdeteksi. Kadangkadang gejala klinik hanya berupa apati dan warna kulit keabu-abuan (grayish colour). Pada
bayi sampai satu tahun, gejala klinik dapat berupa demam, penurunan berat badan, gagal
tumbuh, nafsu makan berkurang, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus, dan distensi
abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan. Demam yang tinggi dapat disertai
kejang. Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga
menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul dehidrasi. Pada anak besar
gejala klinik umum biasanya berkurang dan lebih ringan, mulai tampak gejala klinik lokal
saluran kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency, ngompol, sedangkan keluhan
sakit perut, sakit pinggang, atau pireksia lebih jarang ditemukan. Pada pielonefritis dapat
dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran cerna seperti mual, muntah, diare.
Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat ditemukan nyeri pinggang. Gejala
neurologis dapat berupa iritabel dan kejang.
Nefritis bakterial fokal akut adalah salah satu bentuk pielonefritis, yang merupakan
nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal sebagai nefropenia lobar. Pada sistitis, demam
jarang melebihi 38oC, biasanya ditandai dengan nyeri pada perut bagian bawah, serta
gangguan berkemih berupa frequensi, nyeri waktu berkemih, rasa diskomfort suprapubik,
urgensi, kesulitan berkemih, retensio urin, dan enuresis.5
Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin. ISK serangan pertama umumnya
menunjukkan gejala klinik yang lebih jelas dibandingkan dengan infeksi berikutnya.
Gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih, pola berkemih, dan aliran urin
dapat sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis. Demam merupakan gejala dan tanda
klinik yang sering ISK serangan pertama umumnya menunjukkan gejala klinik yang lebih
jelas dibandingkan dengan infeksi berikutnya. Gangguan kemampuan mengontrol kandung
kemih, pola berkemih, dan aliran urin dapat sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis.
Demam merupakan gejala dan tanda klinik yang sering dan kadang-kadang merupakan satusatunya gejala ISK pada anak. Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang
terpenting. Oleh sebab itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk
menegakkan diagnosis. American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi

bahwa pada bayi umur di bawah 2 bulan, setiap demam harus dipikirkan kemungkinan ISK
dan perlu dilakukan biakan urin. Pada anak umur 2 bulan sampai 2 tahun dengan demam
yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan ISK harus dipikirkan dan perlu dilakukan
biakan urin, dan anak ditata laksana sebagai pielonefritis. Untuk anak perempuan umur 2
bulan sampai 2 tahun, AAP membuat patokan sederhana berdasarkan 5 gejala klinik yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Suhu tubuh 39oC atau lebih


Demam berlangsung dua hari atau lebih
Ras kulit putih
Umur di bawah satu tahun
Tidak ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya

Bila ditemukan 2 atau lebih faktor risiko tersebut maka sensitivitas untuk kemungkinan
ISK mencapai 95% dengan spesifisitas 31%.5

Patogenesis
Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti. Faktor genetik diduga berperan
dalam terjadinya penyakit dengan ditemukannya HLA-D dan HLADR. Periode laten antara
infeksi streptokokus dengan kelainan glomerulus menunjukkan proses imunologis memegang
peran penting dalam mekanisme penyakit. Diduga respon yang berlebihan dari sistim imun
pejamu pada stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan
terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal glomerulus.
Disini terjadi aktivasi sistim komplemen yang melepas substansi yang akan menarik
neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas netrofil merupakan faktor responsif untuk merusak
glomerulus. Hipotesis lain adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus akan
mengubah IgG endogen menjadi autoantigen.
Terbentuknya autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut, mengakibatkan
pembentukan komplek imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal. Pada
kasus ringan, pemeriksaan dengan mikroskop cahaya menunjukkan kelainan minimal.
Biasanya terjadi proliferasi ringan sampai sedang dari sel mesangial dan matriks. Pada kasus
berat terjadi proliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel yang difus disertai infiltrasi sel
polimorfonuklear dan monosit, serta penyumbatan lumen kapiler. Glomerulonefritis
proliferatif eksudatif endokapiler difus digunakan untuk menggambarkan kelainan morfologi

penyakit ini. Bentuk bulan sabit dan inflamasi interstisial dapat dijumpai mulai dari yang
halus sampai kasar yang tipikal di dalam mesangium dan di sepanjang dinding kapiler.
Endapan imunoglobulin dalam kapiler glomerulus didominasi oleh Ig G dan sebagian kecil Ig
M atau Ig A yang dapat dilihat dengan mikroskop imunofluoresen. Mikroskop elektron
menunjukkan deposit padat elektron atau humps terletak di daerah subepitelial yang khas dan
akan beragregasi menjadi Ag-Ab kompleks.6
Etiologi
Organisme tersering yang berhubungan dengan GNAPS ialah Group A -hemolytic
streptococci. Penyebaran penyakit ini dapat melalui infeksi saluran napas atas
(tonsillitis/faringitis) atau kulit (piodermi), baik secara sporadik atau epidemiologik.
Meskipun demikian tidak semua GABHS menyebabkan penyakit ini, hanya 15%
mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut karena hanya serotipe tertentu dari GABHS yang
bersifat nefritogenik, yaitu yang dindingnya mengandung protein M atau T (terbanyak protein
tipe M).
Serotipe terbanyak pada faringitis

Serotipe terbanyak pada piodermi

Tipe M 1,3,4,12,25,49

2,49,55,57,60

Tabel 3. Serotipe GABHS yang berhubungan dengan GNAPS.6


Penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan 2 bentuk antigen yang berperan pada GNAPS
yaitu:
1. Nephritis associated plasmin receptor (NAPr)
NAPr dapat diisolasi dari streptokokus grup A yang terikat dengan plasmin. Antigen
nefritogenik ini dapat ditemukan pada jaringan hasil biopsi ginjal pada fase dini
penderita GNAPS. Ikatan dengan plasmin ini dapat meningkatkan proses inflamasi
yang pada gilirannya dapat merusak membran basalis glomerulus.
2. Streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB)
SPEB merupakan antigen nefritogenik yang dijumpai bersamasama dengan IgG
komplemen (C3) sebagai electron dense deposit subepithelial yang dikenal sebagai
HUMPS.6

Epidemiologi
GNAPS dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Biasanya kasus terjadi pada
kelompok sosioekonomi rendah, berkaitan dengan higiene yang kurang baik dan jauh dari
tempat pelayanan kesehatan. Risiko terjadinya nefritis 5% dari infeksi kuman streptokokus
beta hemolitikus grup A yang menyerang tenggorokan sampai 25% yang menyerang kulit
(pioderma), sedangkan tanpa melihat tempat infeksi risiko terjadinya nefritis 10-15%. Rasio
terjadinya GNAPS pada pria dibanding wanita adalah 2:1. Penyakit ini terutama menyerang
kelompok usia sekolah 5-15 tahun, pada anak <2 tahun kejadiannya kurang dari 5%.
Kejadian glomerulonefritis pasca streptokokus sudah mulai menurun pada negara maju,
namun masih terus berlanjut pada negara berkembang, penurunan kejadian GNAPS berkaitan
banyak faktor diantaranya penanganan infeksi streptokokus lebih awal dan lebih mudah oleh
pelayanan kesehatan yang kompeten. Di beberapa negara berkembang, glomerulonefritis
pasca streptokokus tetap menjadi bentuk sindroma nefritik yang paling sering ditemui. Attack
rate dari glomerulonefritis akut terlihat memiliki pola siklus, yaitu sekitar setiap 10 tahun.6
Komplikasi
Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari, terjadi sebagai akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia,
hiperkalemia, dan hiperfosfatemia. Walau oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada
anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan.
Hipertensi ensefalopati, didapatkan gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan
kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung dan
meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan
juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi
gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium. Anemia yang
timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang menurun.6
Penatalaksanaan
Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik. Perawatan dibutuhkan apabila
dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai berat (klirens kreatinin < 60 ml/1 menit/1,73
m2), BUN >50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah, letargi, hipertensi
ensefalopati, anuria atau oliguria menetap. Pasien hipertensi dapat diberi diuretik atau anti

hipertensi. Bila hipertensi ringan (tekanan darah sistolik 130 mmHg dan diastolik 90 mmHg)
umumnya diobservasi tanpa diberi terapi. Hipertensi sedang (tekanan darah sistolik >140
150 mmHg dan diastolik >100 mmHg) diobati dengan pemberian hidralazin oral atau
intramuskular (IM), nifedipin oral atau sublingual. Dalam prakteknya lebih baik merawat
inap pasien hipertensi 1-2 hari daripada memberi anti hipertensi yang lama. Pada hipertensi
berat diberikan hidralazin 0,15-0,30 mg/kbBB intravena, dapat diulang setiap 2-4 jam atau
reserpin 0,03-0,10 mg/kgBB (1-3 mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 1-8 m/kgBB/menit.
Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg atau diastolik >120 mmHg) diberi diazoxid 2-5
mg/kgBB iv secara cepat bersama furosemid 2 mg/kgBB iv. Pilihan lain, klonidin drip 0,002
mg/kgBB/kali, diulang setiap 4-6 jam atau diberi nifedipin sublingual 0,25-0,5 mg/kgBB dan
dapat diulang setiap 6 jam bila diperlukan. Retensi cairan ditangani dengan pembatasan
cairan dan natrium. Asupan cairan sebanding dengan invensible water loss (400-500 ml/m 2
luas permukaan tubuh/hari ) ditambah setengah atau kurang dari urin yang keluar. Bila berat
badan tidak berkurang diberi diuretik seperti furosemid 2mg/kgBB, 1-2 kali/hari. Pemakaian
antibiotik tidak mempengaruhi perjalanan penyakit.
Namun, pasien dengan biakan positif harus diberikan antibiotik untuk eradikasi
organisme dan mencegah penyebaran ke individu lain. Diberikan antimikroba berupa injeksi
benzathine penisilin 50.000 U/kg BB IM atau eritromisin oral 40 mg/kgBB/hari selama 10
hari bila pasien alergi penisilin. Pembatasan bahan makanan tergantung beratnya edem, gagal
ginjal, dan hipertensi. Protein tidak perlu dibatasi bila kadar urea N kurang dari 75 mg/dL
atau 100 mg/dL. Bila terjadi azotemia asupan protein dibatasi 0,5 g/kgBB/hari.
Pada edem berat dan bendungan sirkulasi dapat diberikan NaCl 300 mg/hari
sedangkan bila edem minimal dan hipertensi ringan diberikan 1-2 g/m2/ hari. Bila disertai
oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi. Anuria dan oliguria yang menetap, terjadi
pada 5-10 % anak. Penanganannya sama dengan GGA dengan berbagai penyebab dan jarang
menimbulkan kematian.7
Prognosis
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara lain
umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu, pola serangan
sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis glomerulus.
Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar atau orang
dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik glomerulus. Perbaikan

klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis yang baik. Insiden
gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10%;
sekitar 0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif dan dalam
beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal. Angka kematian pada
GNAPS bervariasi antara 0-7%. Melihat GNAPS masih sering dijumpai pada anak, maka
penyakit ini harus dicegah karena berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal. Pencegahan
dapat berupa perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, mengontrol dan mengobati
infeksi kulit. Pencegahan GNAPS berkontribusi menurunkan insiden penyakit ginjal dan
gagal ginjal di kemudian hari.7

Kesimpulan
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus ditandai oleh adanya kelainan klinis
akibat proliferasi dan inflamasi glomerulus yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus
beta hemolyticus grup A tipe nefritogenik. Adanya periode laten antara infeksi dan kelainankelainan glomerulus menunjukkan proses imunologis memegang peran penting dalam
mekanisme terjadinya penyakit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisis, bakteriologis, serologis, imunologis, dan histopatologis. Pengobatan hanya
bersifat suportif dan simtomatik. Prognosis umumnya baik, dapat sembuh sempurna pada
lebih dari 90% kasus. Observasi jangka panjang diperlukan untuk membuktikan
kemungkinan penyakit menjadi kronik.
Daftar Pustaka
1. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h.98-9.
2. Lumbanbatu, Sondang Maniur. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Jakarta:
Sari Pediatri; 2003.h.58-63.
3. Alpers, Ann. Buku ajar pediatri rudolph. Jakarta: EGC; 2006.h.1647-51.
4. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritis syndrome. New
York: Clinical Paediatric Nephrology; 2003.h.367-70.
5. Jones KV, Asscher AW. Urinary tract infection and vesico-ureteral reflux. Boston:
Little Brown; 2000.h.1943-45.

6. Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. Oxford: N Engl J Med;


2000.h.888-91.
7. Rodriguez B, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Berlin: Springer;
2009.h.743-47.

Anda mungkin juga menyukai