0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
25 tayangan3 halaman
Artikel ini terdapat dalam buku Manusia Paradoks: Esai-Esai Sumasno Hadi (Scripta Cendekia, 2014 ). Artikel ini sebelumnya terbit dalam rubrik Opini Radar Lampung edisi 18 September 2012.
Artikel ini terdapat dalam buku Manusia Paradoks: Esai-Esai Sumasno Hadi (Scripta Cendekia, 2014 ). Artikel ini sebelumnya terbit dalam rubrik Opini Radar Lampung edisi 18 September 2012.
Artikel ini terdapat dalam buku Manusia Paradoks: Esai-Esai Sumasno Hadi (Scripta Cendekia, 2014 ). Artikel ini sebelumnya terbit dalam rubrik Opini Radar Lampung edisi 18 September 2012.
perhelatan bertaraf internasional di Jawa Tengah. Adalah acara The 14th Merapi and Borobudur Seniors Amateur Golf Tournament Competing The Hamengku Buwono X Cup di kota Magelang. Dalam suasana itu muncul fenomena yang kontroversial, yakni ketika pentas kelompok seni tradisi Jaran Kepang (Kuda Lumping) asal Magelang dikomentari sebagai kesenian yang paling jelek di dunia. Tragisnya, komentar itu keluar dari Gubernur Jateng sendiri, Bibit Waluyo. Mungkin sang Gubernur mau mengkritikkalau tidak malah mencela dengan cara salah, atau mungkin sedikit mengoreksi sebuah pentas seni sebagai bagian dari kebudayaan? Berkaitan dengan judul yang saya pilih dalam tulisan ini, tentunya tidak dimaknai sebagai koreksi dalam artian mencari benar-salah layaknya seorang guru sekolah mengoreksi jawaban ujian soal pilihan berganda dari muridnya, bahkan komentar Gubernur Jateng. Lebih lentur dan kompromissebagaimana kebudayaan karena memberikan predikat benar dan salah secara sempit padanya merupakan hal yang malah kontra kebudayaan. Karena budaya lebih bersifat dinamis serta dialektis daripada sekedar untuk dibenarkan dan dipersalahkan. Sehingga menyalahkan atau membenarkan hanyalah dalam tataran relativisme subjektif dari sub-sub kebudayaan yang beragam. Maka dalam 46
Manusia Paradoks
memaknai koreksi kebudayaan, tentu melihat
kebudayaan yang dinamis itu menjadi penting. Motif dasar untuk menyelami kedalaman persoalan kebudayaandi mana asumsi dasar yang dijadikan sebagai keniscayaan kehidupan adalah keabadian persoalandapat memakai suatu pertanyaan dasar yang akan menjawab persoalan-persoalan kebudayaan, baik persoalan yang bernilai primer maupun sekunder. Pertanyaan sederhana namun utama misalnya adalah: kebudayaan seperti apakah yang menjadi model ideal? Mungkin saja pertanyaan tersebut sangat bernuansa abstrak dan absurd. Namun dari abstraksi idealitas sebagai tujuannya itu malah dapat dijadikan refleksi pemikiran dan tindakan manusia dalam menentukan gambaran problematika hidup, bahkan solusi terhadap kemungkinan-kemungkinan kebudayaan. Usaha merumuskan problematika kebudayaan dapat dimulai dari inventarisasi ide-ide, format-format, teoriteori atau wacana-wacana, yang kesemuanya itu menjadi bahan dasar untuk merumuskan kebudayaan sebagaimana idealitas yang dicita-citakan. Perlu disadari bahwa usaha tersebut merupakan tataran abstraksi yang menjadi titik-tolak menuju usaha solutif yang lebih bersifat praksis, juga pragmatis. Di samping usaha abstraksi pada perumusan idealitas kebudayaan, tataran praksisnya adalah dengan menghadapi dan melihat secara jernih problematika masyarakat dewasa ini. Fenomena kebudayaan seperti pada realitas masyarakat di mana bermacam-macam persoalan hidup manusia ternyata semakin menyebabkan manusia menjadi asing terhadap induk kebudayaannya, yaitu kemanusiaan. Hal tersebut merupakan tantangan nyata atas kedewasan kebudayaan. Pada suatu kondisi sosialmasyarakat yang sedemikian rupa terpuruk oleh kepicikan perilaku manusianya sendiriseperti sifat keserakahan dan ambisi kekuasaanmaka nilai-nilai kemanusiaan sudah tidak ditempatkan sebagai panglima Sumasno Hadi
47
hidupnya. Perilaku-perilaku semacam itu tak lain adalah
suatu alienasi kebudayaan, juga pengasingan dari hakikat kemanusiaan sebagai makhluk berbudaya. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang dipenuhi dengan makin masifnya kecurigaan antargolongan, egosentrisme antarkelompok dan individualisme yang merasuki gaya hidup modern juga suatu bentuk ancaman nyata yang akan membunuh manusia di kemudian hari. Pada akhirnya, bentuk-bentuk ancaman itu bagaikan penyakit serius yang akan menggeroggoti, kemudian menenggelamkan kebudayaan manusia yang kini terwujud sebagai sebuah bangsa, Indonesia. Pada konteks kekinianbangsa Indonesia khususnya,hiruk-pikuk dalam kehidupan politik nasional semakin membuat pusing rakyat kecil. Retorika-retorika para elit politik pemerintahan, celakanya tidak menyentuh dasar persoalan masyarakat. Belum lagi penegakan hukum yang terlihat seperti romantisme pasal-pasal hingga membuat muak rakyat. Dan diperparah oleh pendidikan sebagai jalan solusi yang diharapkan untuk meningkatkan martabat rakyat, malah seperti dongeng belaka. Ironi-ironi tersebut dapat dengan mudah disantap dalam keseharian. Memandang miris atas ironi bangsa hari ini, saya teringat jejak penyair besar Si Burung Merak, WS. Rendra. Dan nuansa ingatan itu menjadi semacam beban pemikiran yang menimbulkan kebutuhan argumentatif atas perjuangan Rendra selama hidupnya. Apakah sepeninggal Rendra sebagai penyair besar bangsa ini yang memiliki kritisisme, spirit dan pemikiran hebat itu telah dijadikan bangsa ini untuk memperbaiki diri? Sebagai bentuk nyata dan jawaban argumentatif yang diperlukan bangsa ini dalam memaknai perjuangan Rendra, salahsatunya adalah dengan langkah kecil untuk mengangkat kembali pemikiran-pemikirannya yang dapat dijadikan bahan reflektif untuk menghadapi problem-problem kebangsaan, dan menyikapi persoalan48
Manusia Paradoks
persoalaan kebudayaan. Langkah kecil ini saya lakukan
dengan melihat kembali langkah besar Rendra pada gagasan dan pemikirannya tentang kebudayaan. Adalah teks pidato kebudayaan Rendra yang berjudul Megat-Ruh yang dibacakannya pada perayaan HUT ke-29 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 10 November 1997. Ruh yang telah terpegat (terputus) sebagaimana judul pada pidato Rendra setahun sebelum lengsernya Soeharto itu merupakan gambaran terputusnya nilai-nilai kemanusiaan dari akarnya, dari manusianya sendiri. Kritik kebudayaan Rendra adalah suatu usaha reaktif menggedor pintu kekuasan pemerintahan Orde Baru yang sentralistik dan militeristik di kala itu. Rendra mengangkat kembali kesejarahan trans-budaya, seperti dalam komparasinya atas model pemerintahan raja-raja Jawa dengan raja-raja Inggrisdi mana kedaulatan manusia melalui hukum sudah dicontohkan oleh model pemerintahan monarki Inggris, namun berbeda dengan pemerintahan sentralistik raja Majapahit dan Mataram. Pada teks Megat-Ruh, Rendra juga menggambarkan kelebihan pemerintahan Demak yang telah mempraktikkan kedaulatan hukum dengan pengakuan kesetaraan manusia sebagai pengaruh dari nilai-nilai Islam yang mengajarkan bahwa manusia adalah khalifatullah di bumi. Berbeda dengan Demak, Rendra mengkritik pemerintahan Mataram terutama pada masa raja Amangkurat I dan II, dikatakan tidak melanjutkan model pemerintahan Demak yang menjunjung tinggi kedaulatan manusia, malahan Mataram di tangan Amangkurat II menjadi bersifat sentralistik. Dasar dari refleksi kebudayaan Rendra melalui kesejarahan pemerintahan raja-raja Jawa dan dibandingkan pula dengan pemerintahan raja di Inggris merupakan suatu refleksi sejarah, suatu penyadaran kembali atas prinsip kedaulatan rakyat sebagai inti dari kehidupan bernegara. Pengalaman sejarah sebagai koreksi Sumasno Hadi
49
kebudayaan itu sangat kita dibutuhkan untuk membuat
pikiran manusia lebih jernih dan tajam. Relevansinya terhadap problematika kebudayaan bangsa Indonesia kini adalah, bahwa nilai-nilai kemanusiaan merupakan dasar yang mutlak untuk dijadikan kesadaran akan pentingnya mewujudkan kedaulatan rakyat. Kesadaran tersebut menjadi kemungkinan untuk membangun suatu kebudayaan bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kesejahteraan rakyat, dan kesetaraan antarmanusia. Makanya, kesenian Jaran Kepang sebagai aset budaya nusantara juga sudah seharusnya dijunjung tinggi. Bukan malah direndahkan. []