Anda di halaman 1dari 3

Koreksi Kebudayaan:

Jaran Kepang Hingga


Kritik Rendra

Pada Minggu, 9 September 2012 diselenggarakanlah


perhelatan bertaraf internasional di Jawa Tengah. Adalah
acara The 14th Merapi and Borobudur Seniors Amateur Golf Tournament Competing The Hamengku Buwono
X Cup di kota Magelang. Dalam suasana itu muncul
fenomena yang kontroversial, yakni ketika pentas
kelompok seni tradisi Jaran Kepang (Kuda Lumping) asal
Magelang dikomentari sebagai kesenian yang paling jelek
di dunia. Tragisnya, komentar itu keluar dari Gubernur
Jateng sendiri, Bibit Waluyo. Mungkin sang Gubernur mau
mengkritikkalau tidak malah mencela dengan cara
salah, atau mungkin sedikit mengoreksi sebuah pentas
seni sebagai bagian dari kebudayaan?
Berkaitan dengan judul yang saya pilih dalam tulisan
ini, tentunya tidak dimaknai sebagai koreksi dalam artian
mencari benar-salah layaknya seorang guru sekolah
mengoreksi jawaban ujian soal pilihan berganda dari
muridnya, bahkan komentar Gubernur Jateng. Lebih
lentur dan kompromissebagaimana kebudayaan
karena memberikan predikat benar dan salah secara
sempit padanya merupakan hal yang malah kontra
kebudayaan. Karena budaya lebih bersifat dinamis serta
dialektis daripada sekedar untuk dibenarkan dan
dipersalahkan. Sehingga menyalahkan atau membenarkan hanyalah dalam tataran relativisme subjektif dari
sub-sub kebudayaan yang beragam. Maka dalam
46

Manusia Paradoks

memaknai koreksi kebudayaan, tentu melihat


kebudayaan yang dinamis itu menjadi penting.
Motif dasar untuk menyelami kedalaman persoalan
kebudayaandi mana asumsi dasar yang dijadikan
sebagai keniscayaan kehidupan adalah keabadian
persoalandapat memakai suatu pertanyaan dasar yang
akan menjawab persoalan-persoalan kebudayaan, baik
persoalan yang bernilai primer maupun sekunder.
Pertanyaan sederhana namun utama misalnya adalah:
kebudayaan seperti apakah yang menjadi model ideal?
Mungkin saja pertanyaan tersebut sangat bernuansa
abstrak dan absurd. Namun dari abstraksi idealitas
sebagai tujuannya itu malah dapat dijadikan refleksi
pemikiran dan tindakan manusia dalam menentukan
gambaran problematika hidup, bahkan solusi terhadap
kemungkinan-kemungkinan kebudayaan.
Usaha merumuskan problematika kebudayaan dapat
dimulai dari inventarisasi ide-ide, format-format, teoriteori atau wacana-wacana, yang kesemuanya itu menjadi
bahan dasar untuk merumuskan kebudayaan sebagaimana idealitas yang dicita-citakan. Perlu disadari bahwa
usaha tersebut merupakan tataran abstraksi yang
menjadi titik-tolak menuju usaha solutif yang lebih
bersifat praksis, juga pragmatis. Di samping usaha
abstraksi pada perumusan idealitas kebudayaan, tataran
praksisnya adalah dengan menghadapi dan melihat
secara jernih problematika masyarakat dewasa ini.
Fenomena kebudayaan seperti pada realitas masyarakat di mana bermacam-macam persoalan hidup
manusia ternyata semakin menyebabkan manusia
menjadi asing terhadap induk kebudayaannya, yaitu
kemanusiaan. Hal tersebut merupakan tantangan nyata
atas kedewasan kebudayaan. Pada suatu kondisi sosialmasyarakat yang sedemikian rupa terpuruk oleh
kepicikan perilaku manusianya sendiriseperti sifat
keserakahan dan ambisi kekuasaanmaka nilai-nilai
kemanusiaan sudah tidak ditempatkan sebagai panglima
Sumasno Hadi

47

hidupnya. Perilaku-perilaku semacam itu tak lain adalah


suatu alienasi kebudayaan, juga pengasingan dari hakikat
kemanusiaan sebagai makhluk berbudaya.
Kehidupan berbangsa dan bernegara yang dipenuhi
dengan makin masifnya kecurigaan antargolongan,
egosentrisme antarkelompok dan individualisme yang
merasuki gaya hidup modern juga suatu bentuk ancaman
nyata yang akan membunuh manusia di kemudian hari.
Pada akhirnya, bentuk-bentuk ancaman itu bagaikan
penyakit serius yang akan menggeroggoti, kemudian
menenggelamkan kebudayaan manusia yang kini
terwujud sebagai sebuah bangsa, Indonesia.
Pada konteks kekinianbangsa Indonesia khususnya,hiruk-pikuk dalam kehidupan politik nasional
semakin membuat pusing rakyat kecil. Retorika-retorika
para elit politik pemerintahan, celakanya tidak menyentuh dasar persoalan masyarakat. Belum lagi penegakan
hukum yang terlihat seperti romantisme pasal-pasal
hingga membuat muak rakyat. Dan diperparah oleh
pendidikan sebagai jalan solusi yang diharapkan untuk
meningkatkan martabat rakyat, malah seperti dongeng
belaka. Ironi-ironi tersebut dapat dengan mudah disantap
dalam keseharian.
Memandang miris atas ironi bangsa hari ini, saya
teringat jejak penyair besar Si Burung Merak, WS. Rendra.
Dan nuansa ingatan itu menjadi semacam beban
pemikiran yang menimbulkan kebutuhan argumentatif
atas perjuangan Rendra selama hidupnya. Apakah
sepeninggal Rendra sebagai penyair besar bangsa ini yang
memiliki kritisisme, spirit dan pemikiran hebat itu telah
dijadikan bangsa ini untuk memperbaiki diri?
Sebagai bentuk nyata dan jawaban argumentatif yang
diperlukan bangsa ini dalam memaknai perjuangan
Rendra, salahsatunya adalah dengan langkah kecil untuk
mengangkat kembali pemikiran-pemikirannya yang
dapat dijadikan bahan reflektif untuk menghadapi problem-problem kebangsaan, dan menyikapi persoalan48

Manusia Paradoks

persoalaan kebudayaan. Langkah kecil ini saya lakukan


dengan melihat kembali langkah besar Rendra pada
gagasan dan pemikirannya tentang kebudayaan.
Adalah teks pidato kebudayaan Rendra yang
berjudul Megat-Ruh yang dibacakannya pada perayaan
HUT ke-29 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 10
November 1997. Ruh yang telah terpegat (terputus)
sebagaimana judul pada pidato Rendra setahun sebelum
lengsernya Soeharto itu merupakan gambaran
terputusnya nilai-nilai kemanusiaan dari akarnya, dari
manusianya sendiri.
Kritik kebudayaan Rendra adalah suatu usaha reaktif
menggedor pintu kekuasan pemerintahan Orde Baru
yang sentralistik dan militeristik di kala itu. Rendra
mengangkat kembali kesejarahan trans-budaya, seperti
dalam komparasinya atas model pemerintahan raja-raja
Jawa dengan raja-raja Inggrisdi mana kedaulatan
manusia melalui hukum sudah dicontohkan oleh model
pemerintahan monarki Inggris, namun berbeda dengan
pemerintahan sentralistik raja Majapahit dan Mataram.
Pada teks Megat-Ruh, Rendra juga menggambarkan
kelebihan pemerintahan Demak yang telah mempraktikkan kedaulatan hukum dengan pengakuan kesetaraan manusia sebagai pengaruh dari nilai-nilai Islam yang
mengajarkan bahwa manusia adalah khalifatullah di
bumi. Berbeda dengan Demak, Rendra mengkritik
pemerintahan Mataram terutama pada masa raja
Amangkurat I dan II, dikatakan tidak melanjutkan model
pemerintahan Demak yang menjunjung tinggi
kedaulatan manusia, malahan Mataram di tangan
Amangkurat II menjadi bersifat sentralistik.
Dasar dari refleksi kebudayaan Rendra melalui
kesejarahan pemerintahan raja-raja Jawa dan dibandingkan pula dengan pemerintahan raja di Inggris merupakan
suatu refleksi sejarah, suatu penyadaran kembali atas
prinsip kedaulatan rakyat sebagai inti dari kehidupan
bernegara. Pengalaman sejarah sebagai koreksi
Sumasno Hadi

49

kebudayaan itu sangat kita dibutuhkan untuk membuat


pikiran manusia lebih jernih dan tajam. Relevansinya
terhadap problematika kebudayaan bangsa Indonesia
kini adalah, bahwa nilai-nilai kemanusiaan merupakan
dasar yang mutlak untuk dijadikan kesadaran akan
pentingnya mewujudkan kedaulatan rakyat.
Kesadaran tersebut menjadi kemungkinan untuk
membangun suatu kebudayaan bangsa yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kesejahteraan rakyat, dan
kesetaraan antarmanusia. Makanya, kesenian Jaran
Kepang sebagai aset budaya nusantara juga sudah
seharusnya dijunjung tinggi. Bukan malah direndahkan.
[]

50

Manusia Paradoks

Anda mungkin juga menyukai