Anda di halaman 1dari 2

Keluar dari Zona Nyaman

Mungkin inilah yang tidak banyak dimiliki SDM kita: kemampuan untuk keluar dari
zona nyaman. Tanpa keterampilan itu, perusahaan-perusahaan Indonesia akan
stuck in the middle, birokrasi kita sulit diajak berdansa menjelajahi dunia baru
yang penuh perubahan, dan kaum muda sulit memimpin pembaharuan.
Tidak hanya itu, orang-orang tua juga kesulitan mendidik anak-anaknya agar tabah
menghadapi kesulitan. Dengan memberikan pendidikan formal yang cukup atau
kehidupan yang nyaman tak berarti mereka menjadi manusia yang terlatih
menghadapi perubahan. Apa artinya bergelar S2 kalau penakut, jaringannya
terbatas, lembek, cepat menyerah dan gemar menyangkal.
Tetapi maaf, ketidakmampuan keluar dari zona nyaman ini bukanlah monopoli
kaum muda. Orang-orang tua yang hidupnya mapan dan merasa sudah pandai
pun terperangkap di sana. Seperti apakah gejala-gejalanya?
Saya Pikir
Saya pikir hidup yang nyaman, terlindungi, tercukupi adalah hidup yang aman,
begitu pemikiran banyak orang.
Kita berpikir, apa-apa yang kita kerjakan dan membuat kita mahir sehari-hari
sudah final. Dengan cara seperti itu maka kita akan melakukan hal yang sama
berulang-ulang sepanjang hari, melewati jalan atau cara-cara yang sama
sepanjang tahun.
Padahal segala sesuatu selalu berubah. Ilmu pengetahuan baru selalu
bermunculan dan saling menghancurkan. Teknologi baru berdatangan menuntut
ketrampilan baru. Demikian juga peraturan dan undang-undang. Pemimpin dan
generasi baru juga mengubah kebiasaan dan cara pandang. Ketika satu elemen
berubah, semua kebiasaan, struktur, pola, budaya kerja dan cara pengambilan
keputusan ikut berubah. Ilmu, keterampilan dan kebiasaan kita pun menjadi cepat
usang.
Jalan-jalan
yang
nyaman
kita
lewati
juga
cepat
berubah
amat crowded dan macet, sementara selalu saja ada jalan-jalan baru.

menjadi

Orang-orang yang terperangkap dalam zona nyaman biasanya takut mencari jalan,
tersasar atau tersesat di jalan buntu. Padahal solusinya mudah sekali: putar arah
saja, bedakan a dead enddengan detour.
Kalau bisa dikoreksi, mengapa konsep yang bagus dan sudah besar sunk cost-nya
harus diberangus dan dikutuk habis-habisan? Bukankah kita bisa mengoreksi
bagian-bagian yang salah? Orang-orang yang tak terbiasa keluar-masuk dari zona
nyaman punya kecenderungan mengutuk jalan buntu karena ia merasa tersesat di
sana. Ilmuwan saja, kalau kurang up to datesering melakukan hal itu, padahal
orang biasa yang terlatih keluar dari zona nyaman bisa melihat jalan keluar.
Ada rangkaian sirkuit dalam otak kita yang membentuk jalur tetap, sehingga
program diri dikuasa autopilot. Akibatnya, tanpa berpikir pun kita akan sampai di
tempat tujuan yang sama dengan yang kemarin kita tempuh. Dan ketika kita
keluar dari jalur itu, ada semacam inersia yang menarik kita kembali pada jalur
yang sudah kita kenal.
Kata orang bijak, keajaiban jarang terjadi pada mereka yang tak pernah keluar dari
"selimut rasa nyamannya." Keajaiban itu hanya ada di luar zona nyaman yang kita
sebut sebagai zona berbahaya (a danger zone). Zona berbahaya ini seringkali juga
dinamakan sebagai zona kepanikan (panic zone). Tetapi untuk menghindari
kepanikan, para penjelajah kehidupan telah menunjukkan adanya zona antara,
yaitu zona belajar (learning zone atau challenge zone).
Karena itulah, belajar tak boleh ada tamatnya. Sekolah pada lembaga formal bisa
menyesatkan kalau beranggapan selesai begitu gelar dan ijazah didapat. Apalagi
bila kemudian memunculkan sikap arogansi "saya sudah tahu" atau "mahatahu"

tentang
sesuatu
hal.
Saya sering membaca tulisan para ilmuwan yang memberikan tekanan pada
ijazahnya (yang memberi gelar) saat menggugat sebuah pendapat atau konsep.
Tentang hal ini saya hanya bergumam, mereka kurang terbuka, kurang mampu
melihat perspektif, tak kurang mau belajar lagi. Learning itu gabungan dari relearn
dan unlearn. Orang yang terbelenggu dalam zona nyaman kesulitan untuk belajar
lagi dan membuang pandangan-pandangan lamanya. Ia menjadi amat resisten dan
keras kepala.
Manusia belajar sepanjang masa melewati ujian demi ujian. Dan itu meletihkan,
bahkan kadang menakutkan, melewati proses kesalahan dan kegagalan, menemui
jalan buntu dan aneka krisis, kurang tidur.
Kadang kita menemukan guru yang baik dan pandai, tapi kadang bertemu guru
yang menjerumuskan dan menyesatkan. Tetapi mereka semua memberikan
pembelajaran.
Jadi bagaimana gejala orang yang kesulitan keluar-masuk zona nyaman? Saya
kira Anda sudah bisa melakukan introspeksi.
Hidup itu memang terdiri dari proses keluar-masuk. Kalau sudah nyaman, ingatlah
jalan ini akan crowded dan kelak menjadi kurang nyaman. Jangankan melewati
jalan raya, karier kita pun akan menjadi usang kalau tak berubah haluan
memperbaharui diri. Perusahaan lebih senang mendapatkan kaum muda yang
masih bisa dibentuk ketimbang kita yang lebih tua tapi sudah tak mau belajar lagi,
keras kepala pula.
Kalau kita berani melewati jalan tak nyaman, lambat laun kita pun bisa meraih
kemahiran. Kalau sudah mahir dan nyaman, jangan lupa cari jalan baru lagi.
Seorang climber, kata Paul Stoltz terus mencari tantangan baru. Ia bukanlah a
quiter atau a camper.
Siapa yang tak ingin hidup mapan dan nyaman? Kita bekerja keras untuk meraih
kenyamanan dan ketenangan hidup, tetapi para ahli mengingatkan itu semua
hanyalah ilusi. Dalam zona nyaman tak ada kenyamanan, tak ada mukjizat selain
mereka yang berani keluar dari selimut tidurnya.
Bagaimana Melatihnya?
Saya ingin mengatakan pada Anda, jangan terburu-buru mengatakan bahwa
manusia dewasa tak bisa berubah. Pengalaman saya menemukan banyak orang
dewasa yang bisa berubah. Yang tidak bisa berubah itu adalah manusia yang
sudah final.
Manusia yang sudah final itu biasanya pikirannya kaku seperti orang mati dan
merasa paling tahu. Tentang manusia yang arogan ini bukanlah tugas manusia
untuk mengubahnya, biarkan saja Tuhan yang memberikan solusinya. Hanya lewat
ujian beratlah mukjizat itu baru terjadi pada mereka.
Di Rumah Perubahan, kami biasa mendampingi dan memberikan pelatihan untuk
keluar dari zona nyaman ini. Biasanya setelah dilatih mereka malah justru menjadi
pembaharu yang progresif. Bahkan mereka menjadi teman para CEO yang sedang
memimpin transformasi untuk menghadapi para pemimpin pemberontakan yang
resisten terhadap perubahan, atau orang-orang arogan dan miskin perspektif,
termasuk para senior yang sudah final karena gelarnya sudah panjang.
Lain kali saya akan jelaskan apa yang harus dilakukan orangtua dan guru untuk
melatih anak-anaknya keluar dari zona nyaman.
(Prof. Rhenald Kasali)

Anda mungkin juga menyukai