Anda di halaman 1dari 20

PRESENTASI KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Pembimbing:
dr. Aditiawarman, Sp. PD
Disusun oleh :
Novia Mantari
Dera Fakhrunnisa
Zuldi Erdiansyah

G1A212102
G1A212103
G1A212109

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Disusun Oleh :
Novia Mantari
G1A212102
Dera Fakhrunnisa
G1A212103

Zuldi Erdiansyah

G1A212109

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di


bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal : 1 Juni 2013

Dokter Pembimbing :

dr. Aditiawarman, Sp. PD


STATUS PENDERITA
A. Identitas Penderita
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Agama
Status
Pekerjaan
Tanggal masuk RSMS
Tanggal periksa
No.CM

: Tn. K
: 56 tahun
: Laki-laki
: Klampok RT 2 RW 2, Banjarnegara
: Islam
: Menikah
: Tidak bekerja
: 21 Mei 2013
: 27 Mei 2012
:272639

B. Anamnesis
Keluhan utama
: Sesak napas.
Keluhan tambahan
Kaki tangan membengkak dan perut membesar, mual.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan sesak nafas sejak 2 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Sesak yang dialami pasien membuat pasien
sering terbangun pada malam hari dan pasien juga merasa aktivitasnya
menjadi terbatas. Keluhan dirasakan pasien semakin berat jika pasien

beraktivitas seperti naik tangga dan berjalan agak jauh. Pasien merasa
keluhannya berkurang jika pasien beristirahat serta tidur dengan posisi
setengah berbaring dengan diganjal menggunakan 3 bantal untuk mengurangi
keluhan sesak pada malam harinya. Selain sesak nafas, pasien juga
mengeluhkan perut mual tetapi tidak muntah, kaki, tangan membengkak, dan
perutnya membesar sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, semakin hari
pasien merasa kaki, tangannya membengkak dan perutnya semakin membesar
dan tidak membaik sehingga pasien memutuskan untuk pergi ke RSMS.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama
2. Riwayat hipertensi
3. Riwayat DM
4. Riwayat penyakit jantung
5. Riwayat alergi
6. Riwayat mondok
7. Riwayat Pengobatan

: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Tidak ada

Riwayat penyakit keluarga


1. Riwayat keluhan yang sama
2. Riwayat sakit kuning
3. Riwayat hipertensi
4. Riwayat DM
5. Riwayat penyakit jantung
6. Riwayat penyakit ginjal

: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal

Riwayat sosial ekonomi


1. Occupational
Saat ini pasien sudah tidak bekerja, sebelumnya pasien bekerja sebagai
pengrajin keramik.
2. Diet
Pasien jarang mengonsumsi air putih dan lebih suka meminum minuman
berenergi sejak usia 20 tahunan. Setiap hari pasien meminum 2-3 sachet
minuman berenergi
3. Drug
Pasien merokok sebanyak 4-6 batang per hari sejak usia 20tahunan.
Pasien tidak mengonsumsi alkohol
C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di bangsal Mawar kamar 3 RSMS, 27 Mei 2013.
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran
: Compos Mentis

3. Vital sign
Tekanan Darah
: 160/100 mmHg
Nadi
: 100 x/menit
Respiration Rate
: 24 x/menit
Suhu
: 36,1 0C
4. Berat badan
: 68 kg
5. Tinggi badan
: 160 cm
6. Indeks Massa Tubuh
: 26,56 (overweight)
7. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (+)
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+3 cm
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi
: Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi

kiri, kelainan bentuk dada (-)


: Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
: Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
: Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus -/Ronki basah kasar -/Wheezing -/: Ictus Cordis tampak di SIV V 2 jari lateral LMCS
: Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari lateral LMCS
dan kuat angkat (-)
: Batas atas kanan
: SIC II LPSD
Batas atas kiri
: SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri
: SIC VI 2 jari lateral LMCS
: S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)

d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi
: Cembung
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: Timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi
: Nyeri tekan (-), undulasi (+)
Hepar
: Tidak teraba
Lien
: Tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan

Edema
Sianosis
Akral dingin
Reflek fisiologis
Reflek patologis

Ekstremitas

Ekstremitas inferior

superior
Dextra Sinistra
+
+
+
+
-

Dextra
+
+
-

Sinistra
+
+
-

D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 23 Mei 2013
Hematologi
Darah Lengkap
Hemoglobin
: 8,8 g/dl
Leukosit
: 6190/uL
Hematokrit
: 26 %

Eritrosit
: 3,1x106/ul
Trombosit
: 190.000/ul
MCV
: 82.3 fL
MCH
: 28.3pg
MCHC
: 34.4 %
RDW
: 17.8 %

MPV
: 9.4 fL
Hitung Jenis
Basofil
: 0.0%
Eosinofil
: 0.0%

Batang
: 0.00%

Segmen
: 92.3%

Limfosit
: 3.7%

Monosit
: 4.0%
Kimia Klinik
Ureum darah
: 179.7 mg/dl
Kreatinin darah
: 10.63 mg/dl
Gula darah sewaktu : 126 mg/dl
E. Resume
1. Anamnesis

(14 18 g/dl)
(4800 10800/ul)
(42 52 %)
(4,7 6,1 x 106/ul)
(150.000 400.000/ul)
(79 99 fL)
(27 31 pg)
(33 37 %)
(11,5 14,5 %)
(7.2 11.1 fL)
(0.00 1.00 %)
(2.00 4.00 %)
(2.00 5.00 %)
(40.0 70.0 %)
(25.0 40.0 %)
(2.00 8.00 %)

(14.90 30.52 mg/dl)


(0.00 1.30 mg/dl)
( 200 mg/dl)

a. Sesak napas
b. Kaki, tangan bengkak dan perut membesar
c. Mual
2. Pemeriksaan fisik
a. Vital sign : TD: 160/100 mmHg
b. Leher
: JVP 5+3 cm
c. Pemeriksaan toraks
Perkusi Cor: Batas bawah kiri SIC VI 2 jari lateral LMCS
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi
: Cembung
Perkusi
: Timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi
: Undulasi (+)
e. Ekstremitas
Ekstremitas superior dan inferior dextra et sinistra terdapat edema
3. Pemeriksaan Penunjang
Ureum darah
: 179.7 mg/dl
(14.90 30.52 mg/dl)
Kreatinin darah
: 10.63 mg/dl
(0.00 1.30 mg/dl)
(14056)
x 68 x 1=7,46
LFG
:
72 x 10,63
F. Diagnosis
CKD Grade V
Hipertensi Grade II
G. Usulan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan X Foto Thoraks
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan USG Abdomen
H. Penatalaksanaan
Non Farmakologi
1. Pembatasan cairan
2. Hemodialisa rutin
Farmakologi :
1.
2.
3.
4.
5.

O2 3 L/mnt
IVFD D5% 16 tpm
Inj. Furosemide 3 amp. iv. / 8 jam.
Inj. Bicnat 1 amp. / drip.
Amlodipine 1x10 mg p.o.

Monitoring
1. Balance cairan (output urin dan intake cairan)
2. Takanan darah

3. Ureum, Kreatinin, Hb, dan Gula darah


I. Prognosis
Ad vitam
Ad sanationam
Ad functionam

: dubia ad malam
: dubia ad malam
: dubia ad malam

BAB I
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan fungsi ginjal ireversibel
yang memberikan efek pada hampir seluruh sistem organ (McCance dan Sue,
2006). Kidney Disease Quality Outcome Initiative (K/DOQI) mendefinisikan
CKD sebagai kerusakan ginjal atau Glomerular Filtration Rate (GFR) < 60
mL/min//1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih (Levey et., al., 2005). Pasien dengan
CKD akan memiliki perjalanan penyakit yang progresif menuju End Stage Renal
Disease (ESRD) (McCance dan Sue, 2006).
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit
dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin
buruk (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005). Tanda dan gejala yang muncul pada
CKD sering dideskripsikan sebagai uremia. Uremia merupakan beberapa gejala
yang muncul dikarenakan terganggunya fungsi ginjal disertai akumulasi toksin
pada plasma darah.
CKD merupakan keadaan gangguan fungsi ginjal progresif yang dapat
disebabkan oleh banyak faktor, namun hipertensi dan diabetes mellitus merupakan
2 buah penyebab yang paling sering mendasari terjadinya CKD (McCance dan
Sue, 2006). Penyebab lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal
progresif adalah reduksi massa ginjal dan obstruksi ginjal (Lopez-Novoa et., al.,
2010).
Pasien CKD harus mendapatkan monitoring terhadap kemungkinan
adanya DM, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, kanker, dan penyakit kronis
lainnya pada pasien tersebut. Monitoring tersebut penting untuk dilakukan karena
keadaan gagal ginjal dapat memperburuk progresifitas penyakit yang ada dan
sebaliknya (Eknoyan, 2009).

BAB II
ISI
A. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan fungsi ginjal
ireversibel yang memberikan efek pada hampir seluruh sistem organ. Kidney
Disease Quality Outcome Initiative (K/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai
kerusakan ginjal atau Glomerular Filtration Rate (GFR) < 60 mL/min//1.73
m2 selama 3 bulan atau lebih (Levey et., al., 2005). Pasien dengan CKD akan
memiliki perjalanan penyakit yang progresif menuju End Stage Renal
Disease (ESRD) (McCance dan Sue, 2006).
B. Klasifikasi
Chronic Kidney Disease diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang
dilihat dari derajat penyakit dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD
prognosis penyakit akan semakin buruk.
Tabel 1. Klasifikasi Chronic Kidney Disease
Derajat

Deskripsi

Kerusakan ginjal dengan


GFR Normal atau
meningkat
Kerusakan ginjal dengan
penurunan GFR ringan

2
3

Penurunan GFR sedang

Penurunan GFR berat

Gagal ginjal

Klasifikasi Berdasarkan Keparahan


GFR
mL/min/1.73
Keadaan Klinis
m2
Albuminuria,
90
proteinuria,
hematuria
Albuminuria,
60-89
proteinuria,
hematuria
Insufisiensi ginjal
30-59
kronik
Insufisiensi ginjal
15-29
kronik, pre-ESRD
< 15
Gagal ginjal,
Atau dialisis uremia, ESRD
(Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005)

C. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :
1. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa

a.
b.

a.
b.
c.

c. Lupus eritematous
2. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
3. Gangguan pembuluh darah ginjal
Arterisklerosis
Nefrosklerosis
4. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
5. Gangguan tubulus primer
Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
6. Obstruksi traktus urinarius
Batu ginjal
Hipertopi prostat
Konstriksi uretra
7. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik
b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia
renalis)

D. Epidemiologi
Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100
juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di
Malaysia, dan di negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar
40-60 kasis perjuta penduduk per tahun (Suwitra, 2007). Penyakit gagal ginjal
kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun lebih
sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.
Beberapa penyebab CKD yang menjalani hemodialisis di Indonesia
pada tahun 2000 antara lain Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes Mellitus
(18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), dan penyebab
yang lain dengan presentase sebesar (13,65%) (Murray et al, 2007).
E. Patofisiologi
CKD merupakan keadaan gangguan fungsi ginjal progresif yang dapat
disebabkan oleh banyak faktor, namun hipertensi dan diabetes mellitus
merupakan 2 buah penyebab yang paling sering mendasari terjadinya CKD
(McCance dan Sue, 2006). Penyebab lain yang dapat menyebabkan gangguan

fungsi ginjal progresif adalah reduksi massa ginjal dikarenakan infeksi dan
obstruksi ginjal (Lopez-Novoa et., al., 2010).
Nefropati Hipertensif
Hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya CKD melalui beberapa
mekanisme:
1. Vaskulopati ginjal yang terjadi pada arteri dan arteriol preglomerular.
Vaskulopati yang terjadi diakibatkan oleh aterosklerosis, disfungsi endotel,
penebalan dinding pembuluh darah, serta fibrosis pada hipertensi
2. Kerusakan mikrovaskuler pada kapiler glomerulus
3. Kerusakan barrier filtrasi (podosit, sel mesangial, dan membrana basalis)
di glomerulus karena glumerulosklerosis.
4. Fibrosis interstitial.
Hipertensi dapat meningkatkan aliran darah ginjal pada glomerulus yang
secara progresif akan menyebabkan kerusakan endotel dan barrier filtrasi
glomerulus. Kerusakan sel tersebut akan diikuti inflamasi yang menyebabkan
kematian sel podosit dan sel mesangial. Disfungsi endotel akan menyebabkan
vasokonstriksi sehingga mengurangi aliran darah ke glomerulus ginjal.
Penurunan aliran darah akan diikuti penurunan tekanan glomerulus yang
mengakibatkan penurunan pada GFR. Inflamasi dan kematia sel yang terjadi
akibat

kerusakan

glomerulosklerosis.

pada

ginjal

Fibrosis

dan

akan

menyebabkan

glomerulosklerosis

fibrosis

dan

menyebabkan

tereduksinya kemampuan ginjal untuk melakukan fungsinya. Keadaan ini


dikompensasi oleh tubuh dengan mengeluarkan zat vasoaktif dan growth
factor yang menyebabkan hipertrofi structural dari neuron yang tersisa. Usaha
tersebut dalam tujuan mengemablikan fungsi normal ginjal, dalam keadaan ini
LFG dapat normal atau bahkan meningkat. Hipertrofi ginjal secara progresif
akan berubah menjadi fungsi yang tidak sesuai oleh Karena tingginya beban
kerja yang harus ditanggung. Hipertrofi glomerulus berlanjut menjadi
glomerulosklerosis sehingga menurunkan aliran darah ginjal. Penurunan aliran
darah ginjal tersebut akan diikuti penurunan tekanan darah pada glomerulus
yang menyebabkan penurunan GFR (Lopez-Novoa et., al., 2010).

Perjalanan penyakit CKD secara umum terjadi dalam beberapa tahapan,


yaitu (McCance dan Sue, 2006):
1. Penurunan Fungsi Ginjal.
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR < 50%. Pada keadaan ini,
tanda dan gejala CKD belum muncul, namun sudah terdapat peningkatan
pada ureum dan kreatinin darah.
2. Insufisiensi Ginjal.
Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR mengalami
penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi ginjal yang
ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan
kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi
urin, nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjala saat stres dapat
terjadi pada tahapan ini.
3. Gagal Ginjal.
Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia, asidosis,
ketidakseimbangankonsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan elektrolit
(hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan gagal ginjal
terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek pada sistem
organ lain.
4. ESRD.
End Stage Renal Disease merupakan tahapan terakhir dari gangguan
fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang berat. GFR
hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi juga
terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi
cairan, dan gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan kardiovaskuler,
hematologi, neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan
tulang dan mineral juga dapat terjadi.
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran cerna,
mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular (Murray et al., 2007).
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien
gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal

lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
ataupun kronik (Suwitra, 2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL
atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity
(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al., 2007;
Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi
klinik adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007).
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis
mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah
yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus
halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang
setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada

pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas
dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan
gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit
biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea
pada kulit muka dan dinamakan urea frost (Kumar et al., 2007).
e. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat

kompleks.

Beberapa

faktor

seperti

anemia,

hipertensi,

aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien


gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.
G. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis CKD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
mengenai manifestasi klinis yang ada pada pasien dan dibantu hasil
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti DM, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus,
perikarditis, kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya, seperti anemia, asidosis metabolik, dan
sebagainya.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan
terdapat sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosi masih dalam
batas normal. Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi

glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5 ml/menit pada gagal ginjal
terminal. Dapat ditemukan proteinuria 200-1000mg/hari.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa penurunan ureum dan kreatinin serum,
dan penghitungan TKK
c. Kelainan biokimiawi darah seperti penurunan kadar hemoglobin dan
asam urat.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria dan leukosuria.
3. Gambaran radiologis;
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. USG bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
4. Biopsi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat dilakukan pada
penderita dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara invasif sulit ditegakkan (Suwitra, 2007).
H. Penatalaksanaan
Diagnosis CKD harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi dan
patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang tepat
untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan umum. Tujuan
dari terapi CKD adalah (K/DOQI, 2002):
1. Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 2030% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak
bermanfaat (Suwitra, 2006).
2. Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid
Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra,
2006).

3. Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2006):
a. Pembatasan asupan protein
Pembatasan mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit, sedangkan
di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di
antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah
asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak
dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion nonorganic lain juga
diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia,
dengan

demikian

pembatasan

protein

akan

mengakibatkan

berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan


protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
akan

meningkatkan

progresivitas

pemburukan

fungsi

ginjal.

Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan


fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia
(Suwitra, 2006).
b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus
Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrfi glomerulus. Selain itu, sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, karena

proteinuria merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi


ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama golongan ACE
inhibitormelalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006).
4. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular
40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan
terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, anemia, hperfosfatemia, dan terapi terhadap cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan terapi dan
pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan
(Suwitra, 2006).
5. Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi,
yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2006):
a. Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89
ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat
b. Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia,
hipokalsemia,

anemia,

hiperparatiroid,

hipertensi,

dan

hiperhomosisteinemia
c. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis
metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia
d. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
6. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra,
2006).
Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb, dan Gula
darah

juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas penyakit untuk

berkembang lebih cepat (K/DOQI, 2002).


I. Komplikasi
Pasien dengan CKD akan mengalami peningkatan kadar urea dan
serum darah karena gagalnya sekresi yang disebabkan oleh penurunan fungsi

filtrasi pada glomerulus. Kalium juga merupakan ion yang disekresikan


melalui ginjal. Pasien CKD akan mengalami keadaan hiperkalemia. Pasien
CKD dapat mengalami veskulopati serta retensi cairan dalam tubuh.
Vaskulopati

dapat

menyebabkan

kerusakan

endotel

serta

respon

vasokonstriksi pembuluh darah yang berujung pada keadaan hipertensi.


Retensi cairan yang terjadi dalam jangka waktu lama akan menyebabkan
overload cairan. Hasil limbah nitrogen (ureum dan kreatinin) dapat memicu
reaksi inflamasi pada organ organ di sekitar ginjal. Reaksi inflamasi pada
jantung yang diikuti dengan hipertensi dan overload cairan akan membebani
kerja jantung. Jantung yang tidak dapat mengkompensasi akibat dari CKD
dapat berakhir pada keadaan gagal jantung kongestif (CHF). CHF yang
berkelanjutan dapat mengakibatkan edema pulmo apabila tidak ditangani
(McCance dan Sue, 2006).
Pasien CKD harus mendapatkan monitoring terhadap kemungkinan
adanya DM, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, kanker, dan penyakit kronis
lainnya pada pasien tersebut. Monitoring tersebut penting untuk dilakukan
karena keadaan gagal ginjal dapat memperburuk progresifitas penyakit yang
ada dan sebaliknya (Eknoyan, 2009).
J. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium
terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis
yang mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing.
Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan
kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang
menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%),
infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%)
(Medscape, 2011).
K. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah
mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal
dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah

makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian berat badan.

DAFTAR PUSTAKA
Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney
Disease. US Nephrology: 13-7.
Kidney Disease Outcome Quality Initiative. 2002. Clinical Practice Guidelines
for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and
Stratification. New York: National Kidney Foundation.
Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. 2007. Robbins buku ajar
patologi volume 2 edisi 7. Jakarta: EGC.
Levey, Andrew S., Kai-Uwe E., Yusuke T., Adeera L., Josef C., Jerome R., Dick
DZ., Thomas H. H., Norbert L., Garabed E. 2005. Definition and
Classification of Chronic Kidney Disease: A Position Statement from
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). Kidney
International: 67; 2089-2100.
Lopez-Novoa, Jose M., Carlos MS., Ana B. RP., Francisco J. L. H. 2010.
Common Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease:
Therapeutic Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81.
McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease
in Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby.
Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of
Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,
Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. 2006. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia..
hlm 168-70.
Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses
perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid
I. Jakarta Balai Penerbit FKUI. p. 725 33 ; 766 71.
Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,
Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid
I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 570-3.

Anda mungkin juga menyukai