Pemerintah Aceh tidak secara tegas memberlakukan Hukum Pidana (Jinayat) bagi NonMuslim tetapi menawarkan ruang pilihan untuk bagi mereka menundukkan diri secara
sukarela. Sikap ini menimbulkan persepsi bahwa hukum berlaku secara diskriminatif bagi
mayoritas orang Aceh dengan memberikan hak istimewa agar tidak berlaku bagi NonMuslim.
Sejak era 1970-an, sebagian besar negara mayoritas muslim di dunia menghadapi tuntutan
agar syariah dapat diterapkan menjadi pranata hukum yang utama. Para cendekiawan telah
merekomendasikan agar penerapan syariah bisa dilaksanakan walaupun secara terbatas.
Untuk menguji perkembangannya selama 40 tahun terakhir, baru-baru ini sebuah survei
tahun 2013 berdasarkan pendapat 38.000 responden oleh Lembaga Penelitian PewForum
yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa dukungan
untuk membuat syariah menjadi hukum resmi suatu negara sangat tinggi.
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, syariah telah menjadi bagian
dari hukum perdata dan pidana di beberapa provinsi di Indonesia. Di Provinsi Aceh, syariah
pertama kali diadopsi sebagai hukum privat bagi umat Islam, namun pada tahun 2001,
syariah diperluas di tingkat provinsi menjadi hukum pidana primer, tapi hanya untuk umat
Islam.
Pada tahun 2014, Pemerintah Aceh akan memperluas jangkauan syariah ini,
menerapkannya kepada Non-Muslim. Ketentuan ini terdapat pada Qanun Pokok-Pokok
Syariat Islam. Penerapan Qanun ini telah menjadi fokus perhatian dan tindak kehati-hatian
agar tidak menimbulkan potensi konflik antar umat beragama. Pemerintah Aceh tidak secara
tegas memberlakukan Hukum Pidana (Jinayat) bagi Non-Muslim tetapi menawarkan ruang
pilihan bagi mereka untuk menundukkan diri secara sukarela. Sikap tidak tegas ini
menimbulkan persepsi bahwa hukum berlaku secara diskriminatif bagi mayoritas orang Aceh
dengan memberikan hak istimewa untuk tidak berlaku bagi Non-Muslim.
Syariah dan Perkembangannya
Pada zaman sebelum Nabi Muhammad SAW, syariah adalah konsep hukum dalam
menjalankan agama atau dikenal sebagai Hukum Tuhan. Bagi kaum Yahudi dan Kristiani
dalam bahasa Ibrani yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani istilah ini bisa ditemukan
pada bible, Kitab Perjanjian Lama (Romawi, 7:22). Secara etimologi, syariah berarti "jalan"
berasal dari Alquran, artinya: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
atas urusan itu, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui (Surat Al-Jatsiyah Ayat 18).
Praktek dalam kehidupan, Nabi Muhammad mencontohkan penerapannya dan kemudian
dilanjutkan pada masa kepemimpinan sahabatnya. Namun perkembangan zaman menuntut
syariat agar mampu menjawab masalah umat yang tidak tercakup oleh hukum Islam. Sejak
itu, dinamika masyarakat Islam telah memainkan peran yang berkelanjutan dalam
pengembangan syariah. Sejumlah konsep hukum dan lembaga resmi negara dikembangkan
oleh para ahli hukum selama periode klasik Islam, yang dikenal sebagai zaman keemasan
Islam sejak abad ke-7 hingga abad ke-13 masehi.
Non-Muslim dalam konteks syariat disebut dhimmah yang berarti warga negara bukan
muslim. Sebagai warga negara, mereka mendapatkan hak penuh atas perlindungan negara
bagi masyarakatnya. Dalam sejarah Islam, mereka adalah yahudi, kristen dan shabiin
(termasuk golongan shabiin adalah pengikut zoroaster, hindu, budha dll). Khusus di Aceh,
menurut data BPS Tahun 2011, total populasi mereka 1,19% dari total seluruh penduduk
Provinsi Aceh atau sekitar 50 ribu jiwa. Mereka teridentifikasi sebagai protestant, katolik,
hindu, budha dan konghucu. Pemerintah Aceh wajib melindungi mereka dengan beberapa
pertimbangan sebagai berikut:
1.
Ayat-ayat Alquran sebagai dasar kebijakan syariah bagi mereka, antara lain: Al
Baqarah ayat 256, "Janganlah ada paksaan dalam agama", ditafsirkan berarti
pengikut agama lain tidak boleh dipaksa untuk mengadopsi hukum dan akidah Islam.