Anda di halaman 1dari 4

CERITA 30 TAHUN YANG LALU

#sebuah kisah diatas tanah kami


Terik..
Matahari bersinar sangat cerah. Disini, diatas sepetak tanah yang memberiku
kehidupan ini, sepetak sawah yang tak seberapa namun begitu berharga. Ku
baringkan badanku diatas pondok kecil yang sengaja kubangun sebagai tempat
beirstirahat di saat-saat seperti ini. Pikiranku menerawang. Disini, ditanah yang tak
seberapa ini aku menyandar kehidupan di umur yang telah renta. Tanah yang tak
seberapa, namun bukan hal mudah untuk mendapatkannya. Butuh perjuangan yang
tidak mudah. Butuh kekuatan dan kesabaran untuk setidaknya mengambil tanah ini
lagi, setelah sekian tahun terusir dan terasing, serta hidup miskin diatas tanah yang
kaya ini. Ceritanya bermula 30 tahun yang lalu.
***
Kampungku ini hanya sebuah kecamatan kecil dibatas kabupaten. Tanahnya datar
menghampar. Selayaknya mayoritas rakyat bangsa ini, kami hidup dengan bertani.
Menyandarkan hidup kami diatas tanah. Dari sana kami menghidupi keluarga,
memenuhi kebutuhan sehari-hari, menyekolahkan anak-anak kami hingga mereka
cerdas, dll. Semua berjalan dengan sederhana, kami hidup berdampingan satu dan
lainnya, saling bahu-membahu dalam bekerja.
Namun, semua berubah pada suatu hari. Sekelompok orang disertai bapak kepala
desa datang ke rumah. Tepat setelah isya.
begini bapak, kami orang datang disini baik-baik mau bicarakan satu hal penting
sama bapak.., kata orang yang mengaku bernama Dominicus, dan bekerja di
sebuah perkebunan besar milik Negara.
oh iya, memang ada hal penting apa??? Kita ini cuma orang biasa bapak, atau kita
orang punya salah bapak???, Tanyaku sedikit cemas dengan kedatangan orang tak
diundang ini.
Setelah itu, dia mulai menjelaskan tentang keinginan perusahaannya untuk
menyewa tanah di kecamatan kami. Mereka ingin membuat sebuah perkebunan
kelapa sawit yang luas lengkap dengan pabriknya. Dia menggambarkan kalau di
kebun sawit itu nanti juga pasti akan mempekerjakan masyarakat desa kami, dia
bilang, lebih enak jadi buruh. Gajinya bulanan. Kalau bertani, gajinya hanya setiap
panen, itu pun kalau panen berhasil.
tenang bapak, ini cuma 25 tahun saja. Habis itu, bapak silahkan ambil lagi tanah
bapak. Dengan adanya pabrik ini, kita akan membangun kecamatan ini, bapak
sekalian bias kerja di kebun dan pabrik, dan dapat gaji setiap bulan, katanya

Dengan rayuan gombal yang seperti itu, sebagian besar masyarakat desa
menerimanya, walau pun ada juga yang menolak. Namun yang menolak tak
bertahan lama. Sebab, entah karena apa mereka tiba-tiba menerima. Ada yang
bilang mereka kena ancam oleh preman.
Demikian, tidak lama kemudian buldozer-buldozer itu datang meratakan sawah
tanah kami. Pabrik dibangun, bibit kelapa sawit ditanam. Tapi janji menjadikan kami
tenaga kerja tak kunjung datang. Setelah sekian lama, berhembus kabar bahwa
mereka cuma mengambil sebagian kecil masyarakat desa kami, itu pun hanya
dengan gaji yang sangat rendah, sehingga sebagian mereka memilih untuk
berhenti. Jelas, kami merasa tertipu. Sumber kehidupan kini hilang. Sebagian dari
kami untuk melangsungkan hidup memilih menjadi TKI atau buruh tambang diluar
kota. Sedang mereka yang bertaham, meyaambung hidup dengan mencari sayuran
digunung, lantas menjualnya dipasar untuk membeli beras. Padahal dahulu kami
tak perlu membeli beras. Anak-anak kami banyak yang putus sekolah. Mana mampu
kami membayar sekolah, sedang untuk makan dan hidup saja susah. Kalau pun ada
yang bersekolah, biayanya didapat dari hasil bekerja sebagai penambang atau
sebagai buruh bangunan. Tak ada kehidupan yang diberikan oleh perusahaan
kelapa sawit yang sebenarnya milik Negara itu. Minyak yang mereka hasilkan tiap
harinya hilang entah kemana. Kabar yang terdengar, minyak itu di ekspor sebab
minyak itu adalah minyak kualitas satu. Sedang yang kami dapat hanya minyak
kotor yang berwarna hitam dan tak layak pakai. Setiap hari, yang kami lihat hanya
truk-truk besar yang melintas depan rumah kami bermuatan buah sawit dang
diangkut dari kebun ke pabrik. Truk-truk besar yang merobohkan aspal depan
rumah kami, dan perusahaan sama sekali tak terlihat memiliki niat untuk
memperbaikinya. Truk-truk besar yang membawa kebisingan setiap mereka lewat.
Sangat jelas, bahwa kedatangan perusahaan ini bukan membawa berkah bagi kami,
namun membawa bencana. Tak ada kehidupan yang dia beri, hanya perampasan
yang tidak berakhir. Semua hendak mereka ambil, termasuk isi perut yang sudah
keroncongan karena lapar ini.
#25 tahun menjelang
Saat yang telah din anti-nanti telah tiba. Saat dimana kami dapat mengambil
kembali tanah-tanah kami. Teman-teman yang sempat merantau untuk memenuhi
kebutuhannya datang lagi untuk tanah mereka. Tapi apa yang terjadi, bukannya
pergi dari desa kami, perusahaan itu masih tetap saja berproduksi. Seolah-olah
tidak ada apa-apa. Kami yang bingung mendatangi pejabat desa, ternyata mereka
telah memperpanjang kembali masa sewa tanah kami. Jelas kami berang. Kami
tidak merasa memperpanjang sewa tanah itu, apalagi mendapat uang sewa. Emosi
meluap tak tertahan, kami bersama-sama mendatangi pejabaat perusahaan. Tapi
hasilnya nihil. Dengan segala cara kami mencoba menghalangi produksi, termasuk
dengan cara-cara yang sedikit keras. Hasilnya, tak lama kemudian brimob dan
kepolisian berdatangan. Mengamankan, setidaknya itu kata mereka, mungkin tepat
kalau yang mereka maksudkan adalah mengamankan kepentingan perusahaan.

Beberapa kali bentrok terjadi, tak terhitung beraapa butir peluru terlepas dari
senapan milik para brimob yang mengakibatkan teman-teman kami berjatuhan
bersimbah darah. Tak jarang kami harus bergerilya dan tidur di sawah atau kebun
sawit demi mengamankan diri dari preman dan briomob yang terus mengintimidasi.
Hal mencekam terus berlanjut, hingga suatu waktu ada beberapa orang yang
datang dari kota mengunjungi kami. Mereka bercerita pada kami tentang mengapa
persoalan yang kami alami ini bisa terjadi. Dan mereka menunjukkan kepada kami
tentang arti penting tanah dan perjuangan untuk merebut kembali dengan caracara yang juga pernah diguanakan oleh orang-orang lain dibeberapa daerah yang
mengalami hal yang sama seperti kami. Berorganisasi. Demikian yang mereka
inginkan untuk kami lakukan.
sudara-sudara sekalian, kita punya lawan, perusahaan sawit yang rampas kita
punya tanah itu punya Negara, mereka punya senjata, mereka punya organisasi
yang rapi untuk merampas dan mengambil sudara-sudara punya tanah. Lantas, jika
sudara-sudara sekalian berjuang carut marut tidak bersatu dan berorganisasi
seperti juga mereka, bagaimana bisa menang??? Walaupun mereka punya senjata,
tapi kalau kita bersatu dan berorganisasi, maka sudara-sudara pasti bisa ambil lagi
sudara-sudara punya tanah, kata Adrianus, pimpinan mereka.
Sebagian besar dari kami sepakat, sebagian lainnya tidak percaya. Setalah itu, kami
yang percaya pada akhirnya memilih membangun sebuah serikat tani sebagai
organisasi perjuangan kami. Organisasi yang akan jadi alat bagi kami untuk
merebut kembali tanah-tanah kami yang terampas, setidaknya itu yang Adrianus
katakan. Setelah itu, setiap pekan mereka datang untuk membantu kami dalam
kelola organisasi kami yang masih muda ini. Tapi bukan tanpa halangan, sebab
kabar serikat tani kami sampai juga ditelinga para pejabat pemerintah dan pabrik.
Maka seringkali aparat polisi mendatangi rumah datang untuk menyuruh kami
membubarkan organisasi kami, tidak jarang disertai dengan ancaman dan
intimidasi. Adrianus dkk mereka tuduh provokator. Namun, kami mempertahankan
mereka. Bagi kami, mereka lebih dari keluarga. Sebab, mereka mau berjuang
bersama kami walaupun mereka tak mendapat keuntungan apa-apa. Bahkan
sebaliknya, mereka malah mendapat intimidasi dan bahkan ada yang sempat
ditahan oleh aparat. Tapi, mereka tidak jera mendamping kami.
Sekian tahun berselang, organisasi kami menjadi semakin besar. Anggota organisasi
semakin banyak. Isu perampasan tanah kami pun sudah sampai dipemerintah
nasional, semua berkat aksi-aksi massa yang serikat tani lakukan, baik di
pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi. Buktinya, telah beberapa kali
dibentuk tim untuk penyelesaian konflik. Disaat yang sama, perusahaan juga
mengalami kesulitan finansial. Berkat organisasi, keyakinan untuk mendapat tanah
kami kembali semakin besar dan mulai muncul semakin nyata. Puncaknya, saat
pabrik melakukan peremajaan pohon sawit, dengan hasil kesepakatan serikat tani,
kami melakukan pengambil alihan lahan. Dan kembali menanam padi disana.

Beberapa kali masih juga terjadi intimidasi yang dilakukan oleh perusahaan dengan
memperhadapkan kami dengan buruh pabrik atau juga dengan aparat keamanan.
Terkadang juga kembali terjadi penembakan oleh aparat. Tapi isu itu malah menjadi
boomerang bagi perusahaan yang semakin mendapat tekanan berkat sokongan
teman-teman yang ada dikota.
***
Demikianlah, kisah perjuangan yang panjang demi sumber kehidupan ini.
Perjuangan yang panjang, namun belum usai. Sebab pabrik masih belum angkat
kaki dari sini. Mereka masih melakukan segala cara untuk mengambil kembali lahan
kami. Tapi kami tak gentar. Kami yakin, dengan berorganisasi kami mampu
melawan mereka. Sebab, dengan berorganisasi kami menjadi tak sendiri. Dan tanah
yang telah kami dapat dengan tetesan darah ini, tidak akan kami lepas apapun
yang terjadi. Pesan nenek moyang kami yang kami pegang teguh, lebih baik mati
berdarah dari pada mati kelaparan.
HIDUP PERJUANGAN RAKYAT..!!!!

Anda mungkin juga menyukai