Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

STRIKTUR URETRA

oleh:

Pembimbing:

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM RSUD ULIN
BANJARMASIN
Oktober, 2009

BAB I
Pendahuluan
Retensi urin akut adalah ketidakmampuan secara mendadak untuk urinasi (miksi)
dan biasanya merupakan kondisi simptomatik dari prekursor kondisi lain yang
memerlukan penanganan medis yang segera. Kateterisasi uretra adalah prosedur medis
rutin yang memfasilitasi drainase langsung dari kandung kemih. 1 Pemasangan kateter
uretra menjadi terapi akut pada pasien yang mengalami retensi urin akut.
Salah satu penyebab striktur uretra adalah pemasangan kateter dalam waktu yang
cukup lama. Pola penyakit striktur uretra yang ditemukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung menyebutkan sebagian besar pasien (82%) masuk dengan retensi urin.
Penyebab utama terjadinya striktur adalah manipulasi uretra (44%) dan trauma (33%). 5
Salah satu manipulasi uretra adalah pemasangan kateter Folley.
Studi yang dilakukan di India menyebutkan penyebab dari striktur uretra meliputi
trauma pelvis (54%), post-kateterisasi (21,1%), infeksi (15,2%), dan post-instrument
(5,6%). Study ini menunjukkan kesimpulan bahwa etiologi diatas menentukan prognosis
dari penatalaksanaan striktur uretra.6 Studi yang dilakukan oleh Lumen,et all juga
mendapatkan hasil7 sebanyak 45,5% striktur uretra disebabkan iatrogenik yang
didalamnya termasuk reseksi transuretral, kateterisasi uretra, cystoscopy, prostatectomy,
brachytherapy, dan pembedahan hypospadia.8 Penelitian ini menjadi penting mengingat
prosedur pemasangan kateter uretra merupakan prosedur rutin pada penanganan kasus
retensi urin akut seperti benign prostat hiperplasia, adanya bekuan darah, urethritis,

kronik obstruksi yang menyebabkan hidronefrosis, dan dekompresi kantung kemih akibat
permasalahan saraf.17
Keteterisasi urin merupakan salah satu tindakan yang membantu eliminasi urin
maupun ketidakmampuan melakukan urinasi. Prosedur pemasangan kateter uretra
merupakan tindakan invasif. Pasien akan dipasangkan sejenis alat yang disebut kateter
Dower pada muara uretra. Dalam melakukan prosedur ini diperlukan keprofesionalan.
Banyak pasien merasa cemas, takut akan rasa nyeri, dan tidak nyaman pada saat
dilakukan kataterisasi uretra. Hasil studi11 dari Mushhab,2006 menunjukkan ada
hubungan yang signifikan antara lama waktu terpasang kateter dengan tingkat kecemasan
pada pasien yang terpasang kateter uretra.

BAB II
LAPORAN KASUS
I.1

Identitas

I.2

Nama

: Tn. M

Umur

: 80 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Status

: Menikah

Agama

: Islam

Bangsa

: Indonesia

Alamat

: jl.padat karya rt.09 barito selatan

Pekerjaan

: swasta

MRS

: 25 februari 2015

Anamnesis
Keluhan Utama:
Tidak bisa buang air kecil (BAK)
Riwayat Penyakit sekarang:
Satu Hari sebelum SMRS pasien tidak bisa BAK, sebelum sudah 3 bulan
pasien menngalamikencing tidak tempias selala mentes saat terakhir
kencing. Pasien juga mengeluh tidak bisa menahan kencing dulu tapi pasien
menyanggkal ad kencing darah dan keluar batu tpi sebelum menurut pasien
dia pernah mengalami hal serupa di tahun 2010 dan menurut pasien pada
saat itu dia dilakukan operasi, pasien pada saat di IGD di coba dipasang
kateter dari kemaluan namun gagal, kateter tidak bisa masuk.
Riwayat Penyakit Dahulu:
-

Riwayat sakit kencing manis (-)

Riwayat hipertensi (-)

Riwayat trauma tidak ada

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal

I.3

Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Pernafasan

: 20x/ menit

Nadi

: 82x/menit

Suhu

: 36,8 0C

Kepala

: konjungtiva pucat (-), sclera ikterik (-/-)

Leher

: Tidak ada kelainan

Pupil

: Isokor/ Reflek Cahaya +/+

KGB

: Tidak ada kelainan

Thorax

: Tidak ada kelainan

Abdomen

: Lihat status urologikus

Genitalia Eksterna

: Lihat status urologikus

Ektremitas atas dan bawah

: Tidak ada kelainan

B. Status Urologikus
Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) dextra et sinistra:
Inspeksi

: Bulging (-)

Palpasi

: Ballotement (-)

Palpasi

: Nyeri ketok -/-

Regio Suprapubik:
Inspeksi

: Bulging (+), distensi (+)

Palpasi

: Nyeri tekan (+)

Regio Genitalia Eksterna :


Inspeksi

: bloody discharge (-)

Rectal Toucher (RT):


TSA baik, BCR (+), mukosa recti licn, teraba prostat tidak membesar,
konsistensi kenyal.
I.4

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin (25 februari 2015)
Hb

: 11,8 g/dl

(L: 14-18 g/dl)

Ht

: 35,5 vol%

(L: 40-48 vol%)

Leukosit

: 8.300/mm3

(L: 5000-10.000/mm3)

Trombosit

: 299.000/mm3

(200.000-500.000/mm3)

Kimia Klinik (5 Juli 2011)

I.5

BSS

: 176 mg/dl

Ureum

: 53 mg/dl

(15-39 mg/dl)

Creatinin

: 1,4 mg/dl

(L: 0,9-1,3 mg/dl P: 0,6-1,0 mg/dl)

Natrium

: 139,3 mmol/l

(135-155)

Kalium

: 4,3 mmol/l

(3,5-5,5)

Diagnosis Banding
Hiperplasia prostat

I.6

Diagnosis Kerja
Retensio urin et causa striktur uretra

I.7

Penatalaksanaan
-

I.8

Uretrotomi interna (Sachse)

Prognosis
Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad functionam

: Dubia ad bonam

Laporan operasi tanggal 25-02-2015


Dilakukan antiseptik pada daerah operasi
Indentifikasi fistula supra pubik
Insersi NGT no.3,5
Didapat urin keluar 200cc
Dilakukan fiksasi NGT dengan sika 10
Operasi selesai

Folow up pasien
25-02-2015

Pasien datang ke igd dengan keluhan tidak bisa BAK


Pasien di coba pemasakan kateter di IGD tapi gagal
Konsul ke konsulen untuk usul dilakukan sistotomi karena
didaptkan distensi pada area CVA

(18.30) Advice acc sistotomy tapi lakukan pemasangan NGT pada fistula kalau gagal
baru dilakukan sistostomy
TD

: 110/80

RR

: 22

nadi : 88 x/menit

Terapi : terapi post op pemasangan NGT


Obseevasi tanda vital
Cek EKG 12 sadapan
Oksigen 3 lpm
Cairan infus
Antibiotik
Analgetik
Inhibito H2

26-02-2015
Keluhan : nyeri daerah op sedikit
TD

: 130/80

RR

: 22x/menit

nadi : 90 x/menit

Terapi :
IVFD RL 20 Tpm
Inj Ceptriaxone 2x1mg
Antrai 2x1
Ranitidin 2x1
27-02-2015
Keluhan : nyeri daerah op sedikit
TD

: 130/80

RR

: 24x/menit

nadi : 85 x/menit

Terapi :
IVFD RL 20 Tpm
Inj Ceptriaxone 2x1mg
Antrai 2x1
Ranitidin 2x1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1

Pendahuluan
Uretra merupakan bagian terpenting dari saluran kemih. Pada pria dan wanita,

uretra mempunyai fungsi utama untuk mengalirkan urin keluar dari tubuh. Saluran uretra
juga penting dalam proses ejakulasi semen dari saluran reproduksi pria. Uretra pria
berbentuk pipa yang menyerupai alat penyiram bunga.
Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya
jaringan fibrotik pada dinding uretra. Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam
berkemih, mulai dari aliran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat
mengalirkan urin keluar dari tubuh. Urin yang tidak dapat keluar dari tubuh dapat

menyebabkan banyak komplikasi, dengan komplikasi terberat adalah gagal ginjal.


Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian dunia
tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena uretra pada
wanita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra dapat
menyebabkan striktur. Orang dapat terlahir dengan striktur uretra, meskipun hal itu jarang
terjadi.

II.2

Anatomi Uretra

Gambar 1. Anatomi Uretra


Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-buli
sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi. Uretra
pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretra
posterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra
anterior dibagi menjadi meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus uretra. Dalam keadaan

normal lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen
uretra laki-laki 7,2 mm dan wanita 9 mm.
1. Uretra bagian anterior
Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran ini
dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior ini
berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga kalau memerlukan
operasi atau reparasi relatif mudah.
2. Uretra bagian posterior
Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi). Uretra yang
dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian selanjutnya adalah
uretra membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua bagian uretra,
sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang membentuk sfingter.
Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan kemih dan berhenti
pada waku berkemih. Uretra membranacea terdapat dibawah dan dibelakang
simpisis pubis, sehingga trauma pada simpisis pubis dapat mencederai uretra
membranasea.

II.3

Etiologi
Striktur uretra dapat terjadi pada:
1. Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra posterior
2. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia
3. Trauma, misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars
membranasea; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang

mengenai uretra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan
kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai
sepeda pria; trauma langsung pada penis; instrumentasi transuretra yang kurang
hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter
yang salah.
4. Post operasi, beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur
uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
5. Infeksi, merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra,
seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika
atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya
namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur
ini terletak di pars membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain;
infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah
dengan

menghindari

kontak

dengan

individu

yang

terinfeksi

atau

menggunakan kondom.

II.4

Patofisiologi
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan

mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal.
Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna
epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.
Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara epimorfosis,
artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat) yang tidak sama

dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil
lumen uretra, sehinggaterjadi striktur uretra.

Gambar 2. Patofisiologi Striktur Uretra

II.5

Derajat Penyempitan
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga

tingkatan, yaitu derajat:


1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra
2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan diameter lumen uretra
3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari diameter lumen uretra

Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum
yang dikenal dengan spongiofibrosis.

II.6

Gambaran Klinis
Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni kecil dan

bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria,
inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis yang membengkak,
infiltrat, abses dan fistel. Gejala lebih lanjutnya adalah retensi urin.
1. Pemeriksaan Fisik
Anamnesa:
Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari penyebab
striktur uretra.
Pemeriksaan fisik dan lokal:
Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra,
infiltrat, abses atau fistula.
2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin.
Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses
miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada

wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal


menandakan ada obstruksi.
Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan
besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang
striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara
memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd
dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga
penting untuk perencanaan terapi atau operasi.

Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan
kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter dengan
ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli-buli. Apabila dengan kateter
ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra.
Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika diketemukan adanya
striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong
jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.

II.7

Diagnosis

Diagnosis striktur uretra dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik. Diagnosis
pasti striktur uretra didapat dari pemeriksaan radiologi, tentukan lokasi dan panjang
striktur serta derajat penyempitan dari lumen uretra.

II.8

Penatalaksanaan
Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan apapun. Pasien

yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik untuk
mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan pemberian
antibiotika. Pengobatan striktur uretra banyak pilihan dan bervariasi tergantung panjang
dan lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan lumen uretra.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1. Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan periksa adanya
glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie. Bougie bengkok
merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan kelengkungan uretra pria;
bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya
hanya sedikit melengkung; bougie filiformis mempunyai diameter yang lebih kecil dan
terbuat dari bahan yang lebih lunak. Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur
dan mulailah pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan
glans penis dan meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang
lembut. Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi
pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis. Apabila striktur sangat tidak
teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah bougie filiformis; biarkan bougie di dalam

uretra dan teruskan memasukkan bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati
striktur tersebut. Kemudian lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus.
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau lurus ukuran
sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya.
Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang
kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya
menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang bertugas di
pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk memasukkan bougie.
Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan bahkan dengan pembentukan
jalan yang salah (false passage). Perkecil kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi,
dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.
2. Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang memotong
jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, laser atau
elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian
distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada
wanita dengan striktur uretra. Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat
Sachse adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan
panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2-3 hari pasca
tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan
kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada
waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10 ml/det
dilakukan bouginasi.

3. Uretrotomi eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian
dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara ini
tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm. Cara Johansson; dilakukan bila
daerah striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik. Stadium I, daerah striktur disayat
longitudinal dengan menyertakan sedikit jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu
jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang kateter
selama 5-7 hari. Stadium II, beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah melunak,
dilakukan pembuatan uretra baru.
4. Uretroplasti
Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm atau
dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi Sachse. Operasi
uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah striktur di eksisi, uretra
diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan free graft atau pedikel graft
yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit penis dengan menyertakan
pembuluh darahnya.

II.9

Komplikasi

1. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel


Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka otot
kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat kemudian
akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal
terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi

timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah
penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan
divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan
mukosa keluar bulibuli tanpa dinding otot.
2. Residu urin
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak timbul
residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah keadaan
dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing. Dalam keadaan
normal residu ini tidak ada.
3. Refluks vesiko ureteral
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-buli
melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang
meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli
akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.
4. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh
mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat
mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi
maka akan timbul residu, akibatnya maka bulibuli mudah terkena infeksi. Adanya
kuman yang berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul
pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala
akibatnya.
5. Infiltrat urine, abses dan fistulasi

Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa
timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine
yang terinfeksi keluar dari buli buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat
urine, kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul
fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.

II.13 Prognosis
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani
pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah
dilakukan observasi selama satu tahun tidak menunjukkan tanda-tanda kekambuhan.

BAB III
ANALISIS KASUS

Dari kasus di atas, Tn. M usia 80 tahun datang dengan keluhan tidak bisa
buang air kecil (miksi) sejak 3 minggu yang lalu. Keadaan ini disebut sebagai
retensio urin yaitu suatu keadaan dimana penderita tidak dapat kencing padahal
kandung kemih penuh. Keadaan ini disebabkan oleh sumbatan mekanis pada uretra
atau gangguan fungsional kandung kemih dan sfingternya.
Dari anamnesa didapatkan keluhan berupa sulit BAK, BAK mengejan,
setelah BAK penderita merasa tidak puas dan diikuti oleh pancaran urine yang lemah,
dipertengahan

miksi

seringkali

miksi

berhenti

kemudian

memancar

lagi

(intermitensi). Keluhan ini merupakan gejala obstruktif saluran kemih. Jadi


kesimpulan yang diambil bahwa penderita mengalami suatu gejala obstruktif saluran
kemih. Dan juga ditemukan adanya keluhan sering berkemih (frequency) terutama
pada malam hari (nocturia), sehingga pasien ini disimpulkan mengalami gejala iritatif
dari saluran kemih. Berdasarkan kondisi faktual diatas pasien ini mengalami gejala
obstruktif dan gejala iritatif saluran kemih yang dikenal dengan LUTS (Lower
Urinary Tract Symptoms).
LUTS merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguan pada
saluran kemih bagian bawah yang meliputi gejala obstruktif dan iritatif pada saluran
kemih. Gejala obstruktif pada saluran kemih yaitu mengedan ketika miksi (straining),
menunggu pada awal miksi (hesitancy), pancaran melemah (weakness), miksi

terputus (intermitten), dan tidak lampias setelah miksi. Sedangkan gejala iritatif
meliputi rasa ingin miksi yang tidak bisa ditahan (urgency), sering miksi (frequency),
sering miksi pada malam hari (nocturia), dan nyeri ketika miksi (dysuria). Dari
keluhan utama dan anamnesis pada pasien ini terjadi suatu retentio urine yang
disebabkan adanya sumbatan pada saluran kemih bagian bawah yang bisa disebabkan
oleh gangguan pada vesika urinaria atau infravesika. Gangguan pada vesika urinaria
bisa berupa batu vesika atau gangguan neurogenic pada vesika. Sedangkan gangguan
infravesika berupa pembesaran prostat dan striktur uretra.
Kemudian pada riwayat penyakit dahulu, riwayat kencing manis dan riwayat
pernah trauma disangkal.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada status generalis didapatkan vital sign
dalam batas normal, konjungtiva tidak pucat dan sklera tidak ikterik. Pada inspeksi
regio CVA dan regio supra pubik didapatkan dalam keadaan distensi dan nyeri tekan,
regio genitalia externa tidak ditemukan bloody discharge. Pada pemeriksaan Digital
Rectal Examination (Rectal Toucher) didapatkan tonus spingter ani dalam keadaan
baik sehingga hal ini dapat menyingkirkan diagnosis bahwa retensio urine yang
terjadi diakibatkan oleh neurogenic bladder. Selain itu juga prostat dalam keadaan
normal, sehingga diagnosis retensio urine akibat hiperplasia prostat dapat
disingkirkan.
Pada pemeriksaan darah rutin yang dilakukan didapatkan kadar Hb
menurun. Pemeriksaan kimia klinik dalam batas normal.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka


pasien ini didiagnosa dengan Striktur Uretra.
Pada pasien ini memiliki akan ditatalaksana dengan pemberian antibiotik
dan analgetik untuk pengobatan secara simtomatik, kemudian rencana untuk
dilakukan uretrotomi interna dengan pisau sachse.

DAFTAR PUSTAKA

1. Syamsuhidayat, R. Wim de Jong. Buku ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta : 1997
2. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar urologi Edisi kedua. CV. Sagung Seto. Jakarta :
2003
3. Urethral Stricture Disease. http://www.urologyhealth.org/,.
4. Gousse, Angelo. Urethral Stricture, Male Workup.
http://www.emedicine.medscape.com.

Anda mungkin juga menyukai