Anda di halaman 1dari 106

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan nasional di segala bidang yang selama ini telah dilaksanakan
oleh pemerintah, telah mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara
umum antara lain dapat dilihat dari menurunnya angka kematian ibu dan bayi
serta meningkatnya angka umur harapan hidup. Jumlah usia lanjut pada tahun
2000 adalah 2,28% dan diproyeksikan pada tahun 2020 akan meningkat sebesar
11,34% (BPS, 1992). Dari data USA-Bureau of the Census Indonesia
diperkirakan akan mengalami peningkatan warga lansia sebesar 414% antara
tahun 1990-2025 yang merupakan sebuah peningkatan tertinggi di dunia
(Kinsella,1993).
Usia lanjut adalah suatu tahap terakhir dari siklus hidup manusia, merupakan
bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh
setiap individu. Kejadiannya pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai
usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun namun kemunduran
fungsi pada usia lanjut dapat dihambat.
Proses penuaan ( aging process ) merupakan suatu proses yang alami
ditandai dengan adanya penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis
maupun sosial dalam berinteraksi dengan orang lain. Proses menua akan terjadi
secara terus menerus secara alami mulai dari lahir sampai menjadi tua. Proses

menua bukan suatu penyakit tetapi merupakan proses menurunnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan internal dan eksternal tubuh ( Miller, 2004).
Pada umumnya warga lanjut usia dapat digolongkan menjadi kondisi menua
optimal ( optimal aging ) dan menua abnormal atau patologis (pathological
aging). Para pakar otak ( neuroscientist ) cenderung untuk lebih memperhatikan
dan mengkaji mereka yang dalam keadaan menua patologis yaitu dalam keadaan
abnormal, tidak sehat, dan berpenyakit. Padahal jumlahnya hanya 6-15 persen,
sisanya yang berjumlah 85-94 persen dari populasi lanjut usia yang dalam
keadaan sehat tidak cocok apabila dibandingkan dengan kondisi mereka yang
berkelainan, berpenyakit, dan mengalami kemunduran sumber daya otak atau
brain power ( Kusumoputro, 2003 ).
Pada tahun 1989, mantan Presiden Amerika Serikat George Bush
mencanangkan tahun 1990-an sebagai Decade of the Brain , kini setelah tahun
1990-an, penekanan dekade tersebut adalah pada proses informasi yang cepat
sebagai pola hidup dan bisnis. Dalam lingkungan yang penuh data informasi ini
orang membutuhkan peningkatan potensi dan sumber daya otak. Yang diperlukan
adalah kebugaran fisik dan kebugaran otak ( brain fitness ). Orang harus
mengikuti keadaan jaman, harus berpikir lebih cepat, lebih tajam, lebih efisien,
dan lebih kreatif. Orang harus belajar lebih cepat, lebih dalam, dan lebih luas,
orang tidak boleh dengan mudah mengabaikan dan melupakan sesuatu. Orang
yang tidak mengikuti upaya-upaya tersebut akan mengalami kemunduran sumber
daya otaknya dan orang tersebut akan tersisih dari lingkungannya. Keadaan itu
berlaku pula bagi mereka yang berusia setengah baya dan berusia lanjut

( Kusumoputro, 2003 ).
Kini setelah Indonesia mengalami era pembangunan terutama setelah
dilaksanakannya program peningkatan kegiatan dalam bidang kesehatan, keluarga
berencana, kebersihan lingkungan,

olahraga dan lain-lainnya maka apa yang

menjadi harapan hidup (life expectancy) bangsa Indonesia menjadi meningkat


sehingga angka kematian sebelum masa usia lanjut dapat diperkecil dan
sebaliknya mereka yang telah melampaui usia di atas 60 tahun jumlahnya semakin
besar. Pematangan jaringan yang biasanya dipakai sebagai indeks umur biologis.
Hal ini dapat menerangkan, mengapa orang-orang berumur kronologis sama
mempunyai penampilan fisik dan mental berbeda. Untuk tampak awet muda,
proses biologis ini yang dicegah. Dalam Geriatri ( Ilmu Kesehatan Lanjut Usia )
yang dianggap penting adalah usia biologik seseorang bukan usia kronologiknya
( Aswin 2003 ) dimana sering kita melihat seorang muda usia yang kelihatan
sudah tua dan sebaliknya orang yang usianya tua terlihat masih segar bugar
jasmaninya.
Pada lansia seiring dengan berjalannya waktu, akan terjadi penurunan
berbagai fungsi organ tubuh. Penurunan fungsi ini disebabkan karena
berkurangnya jumlah sel secara anatomis. Selain itu berkurangnya aktivitas,
asupan nutrisi yang kurang, polusi, serta radikal bebas sangat mempengaruhi
penurunan fungsi organ-organ tubuh pada lansia. Suatu penelitian di Inggris
terhadap 10.255 orang lansia di atas usia 75 tahun, menunjukkan bahwa pada
lansia terdapat gangguan-gangguan fisik yaitu arthritis atau gangguan sendi
(55%), keseimbangan berdiri (50%), fungsi kognitif pada susunan saraf pusat

(45%), penglihatan (35%), pendengaran (35%), kelainan jantung (20%), sesak


napas (20%), serta gangguan miksi/ngompol (10%), dari sekian gangguan yang
mungkin akan terjadi pada lansia dapat mengakibatkan terganggunya atau
menurunnya kualitas hidup pada lansia sehingga usia harapan hidup (life
expectancy) juga akan menurun (Sulianti, 2000). Walaupun terjadi penurunan
fungsi pada lansia secara fisiologis, hal yang perlu diperhatikan kepada para lansia
adalah Quality of Life (kualitas hidup). Quality of life adalah kemampuan
seseorang dalam menjalankan kehidupannya baik di tingkat sosial, mental dan
mencapai kesejahteraan bukan hanya terhindar dari penyakit.
Menurunnya fungsi kognitif, gejala ringan adalah mudah lupa dan jika parah
akan menyebabkan kepikunan, sering kali dianggap sebagai masalah biasa dan
merupakan hal yang wajar terjadi pada mereka yang berusia lanjut. Padahal,
menurunnya kemampuan kognitif yang ditandai dengan banyak lupa merupakan
salah satu gejala awal kepikunan.
Kognitif adalah kemampuan pengenalan dan penafsiran seseorang terhadap
lingkungannya berupa perhatian, bahasa, memori, visuospasial, dan fungsi
memutuskan. Penurunan dari fungsi kognitif

biasanya berhubungan dengan

penurunan fungsi belahan kanan otak yang berlangsungnya lebih cepat daripada
yang kiri. Tidak heran bila pada para lansia terjadi penurunan berupa kemunduran
daya ingat visual (misalnya, mudah lupa wajah orang), sulit berkonsentrasi, cepat
beralih perhatian. Juga terjadi kelambanan pada tugas motorik sederhana seperti
berlari, mengetuk jari, kelambanan dalam persepsi sensoris serta dalam reaksi
tugas kompleks. Sifat gangguan ini sangat individual, tidak sama tingkatnya satu

orang dengan orang lain. Kemunduran yang paling dominan ditemui adalah
menurunnya kemampuan memori atau daya ingat ( Sulianti, 2000).
Namun, kebanyakan proses lanjut usia ini masih dalam batas-batas normal
berkat proses plastisitas. Proses ini adalah kemampuan sebuah struktur dan fungsi
otak yang terkait untuk tetap berkembang karena stimulasi. Sebab itu, agar tidak
cepat mundur proses plastisitas ini harus terus dipertahankan ( Kusumoputro,
2003 ).
Stimulasi untuk meningkatkan kemampuan belahan kanan perlu diberikan
porsi yang memadai, berupa latihan atau permainan yang prosedurnya
membutuhkan konsentrasi atau atensi, orientasi (tempat, waktu, dan situasi) dan
memori.
Usia bertambah tingkat kesegaran jasmani akan turun. Penurunan
kemampuan akan semakin terlihat setelah umur 40 tahun, sehingga saat usia lanjut
kemampuan akan turun antara 30-50%,( Kusmana, 1992 ).Oleh karena itu, bila
para usia lanjut ingin berolahraga atau meningkatkan kebugaran fisiknya harus
memilih jenis kegiatan olahraga yang sesuai dengan umurnya, dan kemungkinan
adanya suatu penyakit seperti aterosklerosis, arthritis dan osteoporosis dan
penyakit degeneratif lainnya.
Pemberian latihan olahraga pada usia lanjut dimulai dengan intensitas dan
waktu yang ringan kemudian meningkat secara pelahan-lahan serta tidak bersifat
kompetitif/ bertanding. Latihan olahraga bagi manula mempunyai manfaat besar
karena dapat meningkatkan kemampuan aerobik yaitu akan meningkatkan aliran
dan volume pasokan darah yang membawa oksigen ke organ-organ tubuh

terutama ke organ otak. Hal ini didukung oleh penelitian selama 10 tahun pada
pria usia lanjut berdasarkan data dari Finlandia, Italia dan Belanda oleh B. M. van
Gelder dan kawan-kawan (2004) tentang hubungan aktifitas fisik dengan
penurunan kognitif. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penurunan
intensitas dan durasi aktifitas akan mempercepat proses penurunan fungsi kognitif.
Potensi kerja otak selain dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
kebugaran fisik secara umum juga dapat dilakukan dengan pelatihan otak yang
bermanfaat untuk mempertahankan kekuatan otak agar kemampuannya tidak
menurun dengan merangsang otak setiap harinya sehingga diharapkan dapat
mempertahankan bahkan meningkatkan kemampuan fungsi kognitifnya.
Penelitian selama 1 (satu) tahun tentang kaitan latihan fisik terhadap fungsi
kognitif pada kelompok usia beresiko (70-89 tahun) oleh Williamson dan kawankawan (2008) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai
kognitif yang berasosiasi dengan peningkatan fungsi fisik. Secara spesifik,
penelitian Matthews dan kawan-kawan (2004) dengan latihan Tai Chi pada usia
68-84 tahun (mean rerata 76,6) menunjukan adanya hubungan yang positif.
Sebagai salah satu profesi kesehatan, fisioterapi mempunyai peranan penting
dalam penanganan peningkatan kualitas hidup pada lansia. Seperti yang
dicantumkan dalam Kepmenkes No.1363/Menkes/SK/XII/2001 pasal 1 ayat 2:
Bahwa Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan
gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan
penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis
dan mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi.

Sedangkan menurut WCPT 2007 Fisioterapi adalah:


Phisical Therapy is providing services to people and populations to develop,
maintain and restore maximum movement and functional ability throughout the
lifespan.Physical therapy includes the provision of services in circumstances
where movement and function are threatened by the prosess of ageing or that of
injury or disease.
Salah satu upaya untuk menghambat kemunduran kognitif akibat penuaan
yaitu dengan melakukan gerakan olahraga atau latihan fisik. Seseorang bukannya
tidak mau bergerak karena tua, tapi menjadi tua karena tidak mau bergerak.
Latihan yang dapat meningkatkan potensi kerja otak yakni meningkatkan
kebugaran fisik secara umum dalam bentuk melakukan senam otak ( Senam
Vitalisasi Otak ) yaitu kegiatan yang merangsang intelektual yang bertujuan
untuk mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerak badan ( Markam,
2006). Manfaat senam vitalisasi otak dapat meningkatkan kemampuan
kewaspadaan, pemusatan perhatian, daya ingat serta kemampuan eksekutif lansia.
Efek yang lain dengan senam vitalisasi otak para peserta menyatakan bisa
tidur lebih nyenyak, senam ini juga dapat menjaga pikiran tetap segar sehingga
para peserta dapat mempertahankan ingatan, makanya mereka tidak pikun terlebih
mereka yang setiap hari latihan, otomatis sering menghafal gerakan dan otak
bekerja terus secara beraturan ( Markam, 2006).
Sedangkan senam lansia, keuntungannya adalah melatih fisik, fokus utama
pada kekuatan tulang, melibatkan otot-otot besar dan latihannya ditambah
beberapa

bentuk

permainan-permainan

untuk

keseimbangan dan kelentukan ( Tilarso, 1988 ).

meningkatkan

koordinasi,

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan
mengkaji lebih dalam melalui penelitian dan dipaparkan dalam tesis dengan judul
Senam Vitalisasi Otak Lebih Meningkatkan Fungsi Kognitif Kelompok Lansia
daripada Senam Lansia di Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang seperti di atas, maka peneliti merumuskan
masalah yang diteliti adalah :
1. Apakah senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas
minggu dapat meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia di balai
perlindungan sosial propinsi Banten ?
2. Apakah senam lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu dapat
meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia di balai perlindungan
sosial propinsi Banten ?
3. Apakah senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas
minggu lebih meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia daripada
senam lansia di balai perlindungan sosial propinsi Banten ?
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
Tujuan umum:
Mendapatkan tipe pelatihan senam vitalisasi otak yang lebih baik
dalam meningkatkan fungsi kognitif pada kelompok lansia.

Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui peningkatan fungsi kognitif dengan senam
vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu pada
kelompok lansia di balai perlindungan sosial propinsi Banten.
2) Untuk mengetahui peningkatan fungsi kognitif dengan senam
lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu pada kelompok
lansia di balai perlindungan sosial propinsi Banten.
3) Untuk mengetahui bahwa pelatihan senam vitalisasi otak tiga kali
seminggu selama dua belas minggu lebih baik daripada pelatihan
senam lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu dalam
meningkatkan

fungsi

kognitif

kelompok

lansia

di

balai

perlindungan sosial propinsi Banten.


1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat untuk dunia pengetahuan
Temuan-temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat dipergunakan
sebagai sumbangan pemikiran bagi penentu kebijakan dalam meningkatkan
pelayanan kesehatan pada para lanjut usia dengan memberikan informasi dan
sosialisasi senam kebugaran fisik ( senam lansia ) dan senam vitalisasi otak pada
lanjut usia.
Manfaat untuk kepentingan masyarakat
Pelatihan ini bermanfaat bagi para lansia untuk menghambat kemunduran
fungsi kognitifnya sehingga berguna bagi aktifitas hidup sehari-hari, terutama
untuk kualitas kehidupan lanjut.

10

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Gerontologi
Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses ketuaan dan kaitannya,
berasal dari kata "Geras" dari bahasa yunani berarti umur tua dan "Logos"
pelajaran atau penjelasan tentang sesuatu. Istilah gerontologi mempunyai arti luas
karena menyangkut aspek-aspek psikologi, sosio ekonomi, fisiologi Khusus untuk
gerontologi yang menyangkut aspek kesehatan disebut geriatrik yang mempelajari
aspek-aspek medis dalam kehidupan tua. Geriatrik mendalami sebab-sebab dan
upaya perbaikan dari perubahan patologi faali pada orang-orang yang berumur
lanjut.
Dalam Simposium Geriatri (1978) di Jakarta telah diformulasikan mengenai
tujuan gerontologi/geriatri di Indonesia yaitu Mengadakan upaya dan tindakantindakan sehingga orang-orang usia lanjut selama mungkin tetap dalam keadaan
sehat, baik fisik, mental dan sosial sehingga masih berguna bagi masyarakat,
setidak-tidaknya sedikit mungkin merupakan beban bagi masyarakat Indonesia
( Darmojo, 1979 ). Pendapat ini di tunjang oleh Takemi (1977) Healthy aging
artinya menjadi tua dalam keadaan sehat yang pertama kali menyatakan
Gerontology is concend primarily with problem of healthy aging rather than the
preven tion of aging disini hanyalah mencegah agar proses menua tadi tidak
disertai dengan patologik sehingga timbullah model pencapaian healthy aging

11

yang dipengaruhi oleh faktor endogen ( kearah proses menuanya organ tubuh )
dan eksogen ( gaya hidup dan lingkungan ).
Secara pasti seseorang yang memasuki masa umur lanjut akan mengalami
kemunduran kemampuan fisik hal ini mempengaruhi kemampuan bergaul dengan
masyarakat luas dan perhatian masyarakat lingkungan dekatnyapun makin lama
makin turun maka pengaruh terhadap pribadinya makin kompleks.
Adapula golongan masyarakat di negara maju yang masih memperhatikan
penambahan pengetahuan pada golongan orang-orang yang berumur, golongan
orang-orang yang berumur masih mempunyai keinginan untuk mendalami dan
mempelajari sesuatu yang sesuai dengan pengalaman waktu muda. Sehingga
bermanfaat hingga timbul kegairahan mengisi sisa kehidupannya. Bagian dari
gerontologi ini disebut gerontologi pendidikan (educational gerontology) dengan
demikian mental dan sosial telah dipersiapkan menempuh masa pensiun.
2.2 Definisi proses penuaan
Penuaan ( = menjadi tua=aging ) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri
dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Constantinides, 1994). Definisi lain menyatakan bahwa penuaan adalah
suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus-menerus, dan
berkesinambungan.

Selanjutnya

akan menyebabkan

perubahan anatomis,

fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan memengaruhi fungsi dan
kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2002).

12

2.3 Batasan Usia Lanjut

Mengenai kapankah orang disebut lanjut usia, sulit dijawab secara


memuaskan. Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan
umur.
Batasan usia ini sampai sekarang belum memiliki kepastian referensi,
masih banyak yang berpendapat mengenai hal ini, beberapa pendapat mengenai
batasan usia ini antara lain;
a. WHO (1989) menetapkan batasan usia lansia adalah kelompok usia 45-59
tahun sebagai usia pertengahan ( middle/young elderly ) , orang dengan
usia 60-74 tahun disebut lansia (ederly), umur 75-90 tahun disebut tua
(old), umur di atas 90 tahun disebut sangat tua (very old).
b.

Undang-undang RI No.4 tahun 1965 menjelaskan bahwa seseorang


dikatakan sebagai lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55
tahun ke atas, tidak mampu mencari nafkah.

c. Menurut pasal 1 ayat 2,3,4 UU no. 13 tahun 1998 tentang kesehatan


dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia
lebih dari 60 tahun.
d.

Menurut Prof Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohamad Guru Besar pada
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada membagi perkembangan
manusia sebagai berikut 0-1 tahun masa bayi, 1-6 tahun masa prasekolah,
6-10 tahun masa sekolah, 10-20 tahun masa pubertas, 40-65 tahun masa
setengah umur/prasenium dan 65 tahun ke atas masa lanjut usia/ senium
( Bandiah S, 2009 ).

13

Dalam penelitian ini batasan usia lanjut yang dipakai sebagai subyek
penelitian adalah usia 60 - 74 tahun yang disebut lansia ( ederly )
2.4 Teori terjadinya proses penuaan
Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan strktural dan
fisiologis, begitu pula organ otak. Dalam hal perubahan fisiologis sampai
patologis telah dikenal tingkatan proses menua yang menggunakan istilah
senescence, senility dan demensia. Senescence menandakan perubahan penuaan
normal dan senility menandakan penuaan yang abnormal, tetapi batasnya masih
tidak jelas. Senility juga dipakai sebagai indikasi gangguan mental yang ringan
pada usia lanjut yang tidak mengalami demensia (Cummings, Benson, 1992).
Proses untuk menjadi tua ini memang sudah dimulai sebelum suatu
kelahiran terjadi, selama manusia hidup, akan terjadi suatu perubahan fungsi dan
struktur sel tubuh manusia. maturitas akan terjadi pada sekitar usia 20 atau 25
tahun. pertumbuhan akan berhenti, dan proses ketuaan akan mulai nampak usia 30
tahun ( Aswin, 2003 ) Proses ketuaan ditandai oleh menurunnya kemampuan
tubuh untuk beradaptasi atau pulih dari suatu rangsangan. Begitu pula orang tua
akan berkurang kemampuannya dalam melaksanakan kegiatan fisik.
Penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Bila seseorang
mengalami penuaan fisiologis (fisiological aging), maka mereka tua dalam
keadaan sehat (healthy aging). Penuaan dibagi menjadi 2, yaitu (1) penuaan sesuai
kronologis usia (penuaan primer) yang dipengaruhi oleh faktor endogen, dimana
perubahan dimulai dari sel, jaringan, organ dan sistem pada tubuh, (2) penuaan
sekunder yang dipengaruhi oleh faktor eksogen, yaitu lingkungan, sosial budaya/

14

gaya hidup dan lingkungan. Faktor eksogen dapat juga mempengaruhi faktor
endogen, sehingga dikenal faktor resiko. Faktor resiko

tersebut yang

menyebabkan penuaan patologis (pathological aging) (Pudjiastuti, Utomo, 2003).


Healthy aging akan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu endogenic dan exogenic
factor ( Darmojo , 2009 ). Endogenic factor yang dimulai dengan cellular aging,
lewat tissue dan anatomical aging ke arah proses menuanya organ tubuh. Proses
ini seperti jam yang terus berputar. Sedangkan Exogenic factor, yang dapat dibagi
dalam sebab lingkungan (environment ) dimana seseorang hidup dan faktor
sosiobudaya yang paling tepat disebut gaya hidup ( life style ). Faktor exogenic
aging tadi sekarang lebih dikenal dengan sebutan faktor resiko.

Gambar.2.1. Model Healthy Aging dengan faktor-faktornya


Sumber: Darmojo,2009

15

Menuju healthy aging ( menua sehat ) dapat dengan jalan 4P yaitu


peningkatan mutu ( promotion ), pencegahan penyakt ( prevention ), pengobatan
penyakit ( curative ), dan pemulihan ( rehabilitation ), sehingga keadaan
patologikpun dicoba untuk disembuhkan karena proses patologik akan
mempercepat jalannya jam waktu tadi, endogenic dan exogenic factors ini
seringkali sulit untuk dipisah-pisahkan karena saling mempengaruhi dengan erat
maka bila faktor-faktor tersebut tidak dapat dicegah terjadinya maka orang
tersebut akan lebih cepat meninggal.
Faktor endogenic dan exogenic ini lebih dikenal dengan sebutan faktor
resiko, hubungan antara faktor resiko dengan penyakit degeneratif pada para
lanjut usia dapat lebih jelas dilihat pada gambar menyerupai laba-laba di bawah
ini (Darmojo, 2009).

Gambar 2.2. Hubungan antara faktor resiko dengan penyakit degeneratif pada
para lanjut usia
Sumber: Darmojo,2009

16

Faktor resiko dan penyakit degeneratif seringkali bersamaan sehingga


memungkinkan terjadinya banyak penyakit pada satu penderita ( multi patologi )
maka faktor resiko tadi haruslah dicegah dan dikendalikan.
Dalam kaitan dengan proses penuaan, beberapa teori menjelaskan tentang hal
tersebut, antara lain :
2.4.1

Teori genetik
Teori genetik adalah menua telah terprogram secara genetik untuk spesies

tertentu, menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram
oleh molekul-molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami
mutasi suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi, jam ini akan
menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar. Jadi
menurut konsep ini bila jam itu berhenti akan meninggal dunia meskipun tanpa
disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit ( Darmojo, Martono,2000).
2.4.2

Teori mutasi somatic (error catastrophe),


Teori mutasi somatik dikatakan ada faktor-faktor lingkungan yang

menyebabkan terjadinya mutasi somatic, proses menua disebabkan oleh


kesalahan-kesalahan yang beruntun sepanjang kehidupan, setelah berlangsung
dalam waktu yang cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses transkripsi maupun
proses translasi, kesalahan tersebut menyebabkan terbentuknya enzim yang salah
dan akan menyebabkan reaksi metabolisme yang salah sehingga akan mengurangi
fungsional sel, maka akan terjadi kesalahan yang makin banyak sehingga
terjadilah catastrop (Suhana, 1994).

17

Salah satu hipotesis yang yang berhubungan dengan mutasi sel somatik
adalah hipotesis Error Castastrophe. Menurut teori tersebut menua diakibatkan
oleh menumpuknya berbagai macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia.
Akibat kesalahan tersebut akan berakibat kesalahan metabolisme yang dapat
mengakibatkan kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan (Martono, 2000 ).
2.4.3

Teori rusaknya sistem imun tubuh


Teori rusaknya sistem imun tubuh dimana mutasi yang berulang atau

perubahan protein pascatranslasi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan


sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi somatik menyebabkan
terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan
sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai
sel asing dan menghancurkannya.
Adanya kerusakan sistem imun tubuh berbentuk sebagai proses
heteroimunitas maupun auto imunitas. Mutasi yang berulang dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenai dirinya sendiri (self
recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen
permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap
sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.
Peristiwa

inilah

yang

menjadi

dasar

terjadinya

peristiwa

autonium

(Darmojo,2000).
2.4.4. Teori metabolisme
Teori metabolisme dikatakan bahwa pengurangan asupan kalori pada
rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur.

18

Pentingnya metabolisme sebagai faktor penghambat umur panjang dikemukakan


pula oleh Ballin dan Allen (1989), (dikutip oleh Suhana 1994). Menurut mereka
ada hubungan antara tingkat metabolism dengan panjang umur. Hewan-hewan di
alam bebas dikatakan lebih panjang umurnya daripada hewan laboratorium
(Suhana, 1994). Peristiwa menua akibat metabolisme badan sendiri, antara lain
karena kalori yang berlebihan, kurang aktivitas dan sebagainya (Darmojo, 2000).
2.4.5

Teori radikal bebas


Teori radikal bebas dikatakan radikal bebas dapat terbentuk dialam

bebas, dan didalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan
didalam rantai pernapasan mitokondria (Oen, 1993). Radikal bebas bersifat
merusak karena sangat reaktif sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein,
asam lemak tak jenuh, seperti dalam membrane sel dan dengan gugus SH.
Walaupun ada system penangkal namun sebagian radikal bebas tetap lolos,
bahkan makin lanjut usia makin banyak radikal bebas yang terbentuk sehingga
proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan organela sel makin lama makin
banyak dan akhirnya sel mati (Oen, 1993).Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak
dapat regenerasi
Dari penyebabpenyebab terjadinya proses menua tersebut ada beberapa
peluang untuk memungkinkan kita dapat mengintervensi, supaya proses menua
dapat diperlambat, pertama yang paling banyak kemungkinannya ialah radikal
bebas, kedua sistem imun tubuh, ketiga melalui metabolisme/ makanan dan
aktifitas fisik.

19

2.5 Faktor-faktor perubahan proses menua


Seperti diketahui healthy aging dipengaruhi oleh faktor endogenic dan
exogenic ( Darmojo, 2009 ). yang dapat diartikan sebagai faktor internal dan
faktor eksternal pada perubahan proses menua.
2.5.1 Faktor internal;
Pengaruh faktor-faktor internal seperti terjadinya penurunan anatomik,
fisiologik dan perubahan psikososial pada proses menua makin besar, penurunan
ini akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit dimana batas antara
penurunan tersebut dengan penyakit seringkali tidak begitu nyata (Darmojo,
Martono, 2000).
Penurunan anatomik dan fisiologik meliputi sistem otak dan syaraf otak,
sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem metabolisme, sistem ekskresi
dan sistem musculoskeletal serta penyakit-penyakit degeneratif, Proses menua
tidak

dengan

sendirinya

menyebabkan terjadinya

menyebabkan

terjadinya

demensia.

Penuaan

perubahan anatomi dan biokimiawi disusunan saraf

pusat.
Penurunan anatomik dan fisiologik dapat meliputi;
a. Sistem saraf pusat ( otak ) dan saraf otak
Berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10%-12% selama hidup,
perbandingan substansi kelabu : substansi putih pada umur 20 = 1,28 : 1,
pada umur 50 = 1,13 : 1 dan pada umur 100 = 1,55:1 ( Tilarso,1988 ).
Disamping itu meningen menebal, giri dan sulci otak berkurang
kedalamannya, kelainan ini tidak menyebabkan gangguan patologi yang

20

berarti. Pada pembuluh darah terjadi penebalan intima akibat proses


aterosklerosis dan tunika media berakibat terjadi gangguan vaskularisasi
otak yang dapat menyebabkan stroke dan demensia vaskuler sedangkan
pada daerah hipotalamus menyebabkan terjadinya gangguan saraf otak
akibat pengaruh berkurangnya berbagai neurotransmitter ( Martono,
2009 ).
Penurunan aliran darah pada umur 17-18 = 79,3 cc/menit/100gr jaringan
otak, umur 57-99 = 47,7cc/100gr jaringan otak ( Tilarso, 1988 ).
Pada beberapa penderita tua terjadi penurunan daya ingat dan gangguan
psikomotor yang masih wajar, disebut sebagai sifat pelupa benigna akibat
penuaan keadaan ini tidak menyebabkan gangguan pada aktifitas hidup
sehari-hari, biasanya dikenali oleh keluarga atau teman karena sering
mengulang pertanyaan yang sama atau lupa kejadian yang baru terjadi.
b. Sistem kardiovaskuler
Dinding ventrikel kiri sampai usia 80 tahun menjadi 25% lebih tebal dari
usia 30 tahun, cardiac output turun 40% atau kira-kira kurang dari 1%
per tahun, denyut jantung maksimal pada dewasa muda = 195x/menit,
pada 65 tahun= 170x/menit, tekanan darah rata-rata umur 20-24 tahun
pada wanita 116/70 pria 122/76 dan pada umur 60-64 tahun wanita
142/85 dan pria 140/85 ( Tilarso, 1988 ).
Walaupun tanpa adanya penyakit pada usia lanjut jantung sudah
menunjukkan penurunan kekuatan kontraksi, kecepatan kontraksi dan isi

21

sekuncup. Terjadi pula penurunan yang signifikan dari cadangan jantung


dan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan curah jantung
( Martono, 2009 ).
c. Sistem pernapasan
Sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 2025 tahun, setelah itu mulai menurun fungsinya, elastisitas paru menurun,
kekakuan dinding dada meningkat, kekuatan otot dada menurun. Semua
ini berakibat menurunnya rasio ventilasi-perfusi di bagian paru yang tak
bebas dan pelebaran gradient alveolar arteri untuk oksigen, disamping
itu ada penurunan gerak silia di dinding system pernapasan, penurunan
reflek batuk yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi akut pada
saluran pernapasan ( Martono, 2009 ).
Menurut Tilarso ( 1988 ), volume residual akan meningkat pada decade
ke 3 s/d 9, kapasitas vital turun 17-22 cc/tahun, pemakaian O2 max pada
keadaan stress turun 50% pada usia 80 tahun.
d. Sistem metabolisme
Pada sekitar 50% usia lanjut menunjukkan intoleransi glukosa dengan
kadar glukosa darah puasa yang normal, frekwensi hipertiroid tinggi
pada usia lanjut ( 25% ) sekitar 75%-nya mempunyai gejala/tanda klasik
sebagian lainnya disebut sebagai apathetic thyrotoxicosis, sedangkan
hipotiroid merupakan penyakit yang terutama terjadi antara usia 50-70
tahun dengan gejala yang tidak mencolok sehingga sering tidak
terdiagnosis ( Martono, 2009 ).

22

e. Sistem ekskresi
Berat ginjal pada usia 60 tahun = 250 gr, umur 70 tahun = 230 gr, umur
80 tahun = 190 gr sedangkan jumlah glomeruli per ginjal pada kelahiran
sampai 40 tahun 500.000 1.000.000, pada dekade 7 kurang dari 1/3-1/2
( Tilarso, 1988 ).
Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan yaitu terjadi penebalan
kapsula Bouwman dan gangguan permeabilitas terhadap zat yang akan
difiltrasi, nefron secara keseluruhan mengalami penurunan dan mulai
terlihat atropi, aliran darah di ginjal pada usia 75 tahun tinggal sekitar
50% dibanding usia muda tetapi fungsi ginjal dalam keadaan istirahat
tidak terlihat menurun, barulah apabila terjadi stress fisik ginjal tidak
dapat mengatasi peningkatan kebutuhan tersebut dan mudah terjadi
gagal ginjal ( Martono, 2009 ).
f. Sistem musculoskeletal
Menurut Tilarso ( 1988 ), jumlah sel-sel lurik akan turun 50% pada usia
\80 tahun, berat otot lurik pada 21 tahun = 45% dari berat badan dan
pada 70 tahun = 27% dari berat badan sedangkan pada tulang kecepatan
kehilangan massa tulang/decade pria 3% dan wanita 8%, rata-rata
kehilangan tinggi pada umur 65-74 = 1,5 inch ( 3,7 cm ), umur 85-94 = 3
inch ( 7,5 cm ).
Otot-otot mengalami atrofi disamping sebagai akibat berkurangnya
aktifitas juga akibat gangguan metabolic atau denervasi syaraf, hal ini
dapat diatasi dengan memperbaiki pola hidup ( olahraga atau aktifitas

23

yang terprogram ). Dengan bertambahnya usia proses perusakan dan


pembentukan tulang melambat terutama pembentukkannya hal ini akibat
menurunnya aktifitas tubuh juga akibat menurunnya hormone estrogen
pada wanita, vitamin D dan beberapa hormone lainnya
( parahormon dan kalsitonin ) trabekula tulang menjadi lebih berongga
berakibat sering mudah patah tulang akibat benturan ringan atau spontan
( Martono, 2009 ).
Kondisi psikososial meliputi perubahan kepribadian yang menjadi faktor
predisposisi yaitu, gangguan memori, cemas dan gangguan tidur yang dapat
mempengaruhi depresi pada lansia, Depresi pada lansia merupakan interaksi
faktor biologi, psikologik dan sosial, lansia mengalami kehilangan dan kerusakan
banyak sel-sel saraf pada lobus frontal dan lobus temporal yang berfungsi dalam
intelektual maupun zat neurotransmiter. Lansia menjadi lebih mudah tersinggung,
marah atau pendiam. Gangguan memori pada depresi sangat berhubungan dengan
cognitif impairment yang terjadi pada lansia. Gangguan tidur dapat terjadi sebagai
sebab atau akibat pada depresi Faktor predisposisi dapat diperberat dengan
perasaan kurang percaya diri, merasa diri menjadi beban orang lain, merasa
rendah diri, putus asa dan dukungan sosial yang kurang. Faktor sosial meliputi
perceraian, kematian, berkabung, kemiskinan, berkurangnya interaksi sosial
dalam kelompok lansia mempengaruhi terjadinya depresi. Respon prilaku
seseorang mempunyai hubungan dengan kontrol sosial yang berkaitan dengan
kesehatan (Tucker et al, 2006). Penelitian menyebutkan adanya hubungan
aktifitas interpersonal yang kurang dengan timbulnya stress, Mekanisme stress

24

dapat mempengaruhi proses neurodegeneratif khususnya di hipokampus dan


memegang peranan penting dalam proses memori diotak. Hipokampus mengatur
respon stress dan bekerja menghambat aksi stress. Kegiatan sosial adalah kegiatan
pendekatan sosial yang dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan
berinteraksi dengan lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita,
bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok seperti pengajian,
kesenian, kursus, olahraga dan lainnya merupakan implementasi dari pendekatan
ini agar lansia bersangkutan dapat berinteraksi dengan sesama lansia maupun
dengan petugas kesehatan. Semakin berkurangnya kegiatan sosial maka semakin
tidak berkembang dan kecil kesempatan lansia untuk mengaktualisasikan diri
( Hurlock,1996 ).
Umumnya pada lansia akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman,
pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku
lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi
hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan ( Psikologi
Lansia, 2009 ).
Frekuensi kontak sosial dan tingginya integrasi sosial dan keterikatan sosial
dapat mengurangi atau memperberat efek stress pada hipotalamus dan sistim saraf
pusat. Hubungan sosial ini dapat mengurangi kerusakan otak dan efek penuaan
(Zunzunegui et al, 2003). Makin banyaknya jumlah jaringan sosial pada usia

25

lanjut mempunyai hubungan dengan fungsi kognitif/mengurangi rata-rata


penurunan kognitif 39% (Barnes et. 2004 )
2.5.2 Faktor eksternal;
Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses menua antara
lain gaya hidup/life style, faktor lingkungan dan pekerjaan
Budaya gaya hidup yang mempercepat proses penuaan adalah jarang
beraktifitas fisik, perokok, kurang tidur dan nutrisi yang tidak teratur. Hal tersebut
dapat diatasi dengan strategi pencegahan yang diterapkan secara individual pada
usia lanjut yaitu dengan menghentikan merokok, seperti diketahui bahwa merokok
akan menyebabkan berbagai penyakit antara lain PPOM (penyakit paru obstruksi
kronis), kanker dan hipertensi, upaya penghentian merokok tetap bermanfaat
walaupun individu sudah berusia 60 tahun atau lebih.
Penelitian yang dilakukan oleh Harrington et al. (2000) menemukan bahwa
ada hubungan hipertensi dengan penurunan fungsi kognitif selama 4 tahun follow
up, karena diketahui peningkatan prevalensi penyakit asymtomatik serebral
menimbulkan gejala hipertensi dengan banyaknya infark kecil diotak seperti
pencetus timbulnya dimensia.
Faktor lingkungan, dimana lansia manjalani kehidupannya merupakan faktor
yang secara langsung dapat berpengaruh pada proses menua karena penurunan
kemampuan sel, faktor-faktor ini antara lain zat-zat radikal bebas seperti asap
kendaraan, asap rokok meningkatkan resiko penuaan dini, sinar ultraviolet
mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen sehingga kulit tampak lebih tua.

26

Pengaruh

dari

zat-zat

pengawet

makanan,

zat-zat

ini

sifatnya

beracun/karsinogenik yang dalam jangka waktu tertentu dapat memperpendek


usia walaupun ada penangkalnya seperti enzim katalase, vitamin C,A,E, namun
demikian radikal bebas ini tetap lolos dan sangat reaktif serta cepat bereaksi
terhadap protein, DNA, dan lemak tak jenuh menyebabkan kanker , semakin usia
lanjut radikal bebas semakin terbentuk yang mempercepat proses menua.
Radikal bebas diartikan sebagai molekul yang relatif tidak stabil mempunyai
satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan diorbit luarnya, molekul ini sangat
reaktif mencari pasangan elektronnya, jika terbentuk dalam tubuh maka akan
terjadi reaksi berantai yang menghasilkan radikal bebas baru dan terus bertambah.
dengan semakin banyaknya sel-sel yang rusak yang pada akhirnya sel tersebut
mati, adanya radikal bebas sel-sel tidak dapat regenerasi.Reaksi antara radikal
bebas dan molekul itu berujung pada timbulnya suat penyakit-penyakit
degeneratif seperti kardiovaskuler parkinson, alzheimer dan penuaan.
( Hardiwinoto dan Setiabudi, 2005 )
Faktor pekerjaan dapat mempercepat proses menua yaitu pada pekerja
keras/over working, seperti pada buruh kasar/petani. Pekerjaan orang dapat
mempengaruhi fungsi kognitifnya, dimana pekerjaan yang teru menerus melatih
kapasitas otak dapat membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif
dan mencegah dimensia ( Sidiarto, 1999 ).

27

2.6 Kognitif
2.6.1 Definisi kognitif
Kognitif adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan
dari proses berfikir. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan
memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisa, memahami,
menilai, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa
diartikan sebagai kecerdasan atau intelegensi ( Ramdhani. 2008 ).
2.6.2

Fungsi kognitif pada usia lanjut


Fungsi kognitif merupakan suatu proses mental manusia yang meliputi

perhatian persepsi, proses berpikir, pengetahuan dan memori. Sebanyak 75% dari
bagian otak besar merupakan area kognitif (Saladin, 2007). Kemampuan kognitif
seseorang berbeda dengan orang lain, dari hasil penelitian diketahuai bahwa
kemunduran sub sistem yang membangun proses memori dan belajar mengalami
tingkat kemunduran yang tidak sama. Memori merupakan proses yang rumit
karena menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang (Lumbantobing, 2006).
Prevalensi gangguan kognitif termasuk demensia meningkat sejalan
bertambahnya usia, kurang dari 3% terjadi pada kelompok usia 65-75 tahun dan
lebih dari 25% terjadi pada kelompok usia 85 tahun ke atas (WHO, 1998).
Proses penerimaan informasi diawali dengan diterimanya informasi melalui
penglihatan (visual input) atau pendengarannya (auditory input) kemudian
diteruskan oleh sensory register yang dipengaruhi oleh perhatian (attention), ini
merupakan bagian dari proses input. Setelah itu informasi akan diterima dan
masuk dalam ingatan jangka pendek (short term memory), bila menarik perhatian

28

dan minat maka akan disimpan dalam ingatan jangka panjang (long term
memory). Bila sewaktu-waktu diperlukan memori ini akan dipanggil kembali
(Ellis, 1993).
Diantara fungsi otak yang menurun secara linier ( seiring ) dengan
bertambahnya usia adalah fungsi memori (daya ingat) berupa kemunduran dalam
kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang
telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from
memory). Penurunan fungsi memori secara linier itu terjadi pada kemampuan
kognitif dan tidak mempengaruhi rentang hidup

yang normal (Strub,

Black,1992).
Perubahan atau gangguan memori pada penuaan otak hanya terjadi pada
aspek tertentu, sebagai contoh, memori primer (memori jangka pendek/

Short

term memory) relatif tidak mengalami perubahan pada penambahan usia,


sedangkan pada memori sekunder (memori jangka panjang/long term memory)
mengalami perubahan bermakna. Artinya kemampuan untuk mengirimkan
informasi dari memori jangka pendek ke jangka panjang mengalami kemunduran
dengan penambahan usia.
Dari sebuah penelitian pada orang dengan kognisi normal berusia 62-100
tahun, disimpulkan bahwa kemampuan proses belajar (learning) atau perolehan
(acquisition)

mengalami penurunan

yang sama secara

bermakna

pada

penambahan usia, tetapi tidak berhubungan dengan pendidikan, sedangkan


kemampuan ingatan tertunda (delayed recall atau forgetting) sedikit menurun

29

tetapi lazimnya tetap, terutama kalau faktor pembelajaran awal dipertimbangkan


(Petersen et al. 1992).
Petersen

juga

telah

berhasil

melakukan

penelitian

longitudinal

membandingkan kemampuan kognitif pada usia lanjut normal, gangguan kognitif


ringan (mild cognitive impairment/MCI) dan demensia Alzheimer ringan, telah
disimpulkan bahwa MCI merupakan keadaan transisi antara kognitif normal dan
demensia (terutama Alzheimer). Latar belakang penelitian Petersen adalah bahwa
subjek MCI mempunyai gangguan memori sesuai usia dan pendidikan tetapi tidak
ada demensia, sehingga diagnosis MCI dibuat pada pasien dengan kriteria berikut:
(a) ada keluhan memori, (b) aktifitas hidup sehari-hari normal, (c) fungsi kognisi
umum normal, (d) memori abnormal untuk usia, (e) tidak ada demensia.
2.7 Gangguan Fungsi Kognitif
Pengelompokkan tingkat gangguan fungsi kognitif dapat dibagi menjadi
beberapa kategori. Menurut Kurlowiez (1999), berdasarkan tingkat keparahan
(severity), gangguan fungsi dapat dibagi 3 yaitu : a) tidak ada gangguan fungsi
kognitif, b) gangguan kognitif ringan, dan c) gangguan kognitif berat.
2.8 Struktur dan Fungsi Otak
Di dalam otak manusia, diperkirakan terdapat 1 trilyun sel otak.
Sepersepuluh atau sebanyak 100 miliar sel otak tersebut adalah sel otak aktif
sementara sisanya adalah sel pendukung. Di dalam setiap sel otak (neuron)
memiliki cabang-cabang yang disebut dendrit. Setiap cabang besar dan panjang
yang dinamakan akson yang berfungsi sebagai jalan keluar utama dalam
menyebarkan informasi yang diterima oleh neuron. Sebenarnya, selain ditentukan

30

oleh jumlah sel otak yang dimiliki, kecerdasan seseorang juga ditentukan oleh
seberapa banyak koneksi yang biasanya terjadi diantara masing-masing sel otak
(neuron) kemungkinan koneksi yang dapat terjadi antara setiap sel otak mulai dari
1 hingga 20.000 koneksi inilah yang sebenarnya menentukan kecerdasan
seseorang, bagaimana cara kita untuk menambah jumlah koneksi antar sel otak
dengan cara menggunakan dan melatih otak sesering mungkin. Semakin sering
otak digunakan dan dilatih, semakin banyak koneksi yang terjadi.
Seiring dengan penambahan usia, manusia akan mengalami kemunduran
intelektual secara fisiologis, kemunduran dapat berupa mudah lupa sampai pada
kemunduran berupa kepikunan (demensia). Kenyataan menunjukkan bahwa otak
menua mengalami kemunduran dalam kemampuan daya ingat dan kemunduran
dalam fungsi belahan otak kanan yang terutama memantau kewaspadaan,
konsentrasi dan perhatian.
Otak manusia bukan terdiri dari gumpalan protein utuh, tetapi terdiri dari
berbagai bagian yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu, otak terdiri dari
otak besar (serebrum) dengan dua belahan (hemisfer) otak kanan dan kiri yang
masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda bahkan bertentangan satu dengan
yang lain, batang otak (brain stem) dan otak kecil (serebelum). Otak besar diliputi
pada permukaannya oleh kulit otak (kortek serebri) yang dikenal sebagai
thinking cup atau kopiah pintar karena memang di tempat itulah tersimpan
kemampuan intelektual manusia.
Otak terbagi dalam bagian-bagian yang disebut lobus dan mempunyai
fungsi-fungsi tertentu. Fungsi pancaindra seperti pusat penglihatan terletak di

31

lobus oksipitalis (belakang otak), pusat pendengaran di lobus temporalis (pelipis


otak ), pusat perabaan di lobus postsentral (atas otak), pusat penghidu di bagian
lobus temporalis, pusat pergerakan berada di lobus presentral (atas otak). Pusatpusat pancaindra tersebut dinamakan pusat sensoris dan masing-masing pusat
sensoris mempunyai area asosiasi untuk memahami rangsangan sensoris yang
masuk.
Sumber daya otak akan meningkat atau dengan kata lain kemampuan
kognitif akan bertambah secara optimal apabila bagian-bagian sensoris dan area
asosiasi tersebut bekerja secara integratif. Sebuah aksi (praksis) yang
menggunakan

intergrasi

antara

sensori

auditoris

(pendengaran),

visual

(penglihatan), perabaan, keseimbangan dan gerak akan menghasilkan peningkatan


fungsi kognitif seperti konsentrasi, percaya diri, kontrol diri, kemampuan
organisasi, kemampuan belajar akademis, kemampuan berpikir secara abstrak dan
memberi alasan serta penghayatan tentang kedua sisi otak dan tubuh (Ayres,
1979).
Berbagai kemampuan kognitif juga berada di berbagai lobus secara khusus
seperti perhatian atau konsentrasi berada di lobus frontalis (di bagian dahi)
terutama bagian otak sisi kanan, pusat berbahasa di lobus frontalis dan temporalis
terutama bagian otak sisi kiri, pusat visuospasial (persepsi dan orientasi) di lobus
parietal (di bagian atas otak) terutama bagian otak sisi kanan, pusat daya ingat di
lobus temporalis (di bagian pelipis otak), untuk daya ingat visual (apa yang
dilihat) di belahan otak sisi kanan.

32

Gambar 2.3 Belahan otak


Sumber: Cognitif Psychology, Robert J.Sternberg, hal.64
Edisi5. 2009
Lobus yang paling besar dan paling akhir berkembang adalah lobus frontalis
yang berada di daerah dahi, lobus ini merupakan pusat integrasi dari semua fungsi
lobus yang ada. Bersama dengan bagian lobus yang ada di depannya, lobus
prefrontal dan struktur lain mempunyai peran yang sangat penting dalam
kehidupan manusia yaitu kemampuan memori kerja (working memory) dan
kemampuan seseorang dalam pengorganisasian, perencanaan dan pelaksanaan
(executive function). Bagian-bagian otak tersebut berhubungan dengan struktur
yang berada di dalam otak yang disebut system limbic dan berpengaruh terhadap
kemampuan emosional.
Kedua belahan otak (hemisfer kanan dan kiri) disekat oleh sebuah struktur
yang disebut korpus kalosum dan komisura hipokampus yang merupakan
jembatan lintas yang menghubungkan kedua belahan otak tersebut. Khususnya
sel-sel otak di kulit permukaan kedua belahan otak (korteks serebri) saling
dihubungkan langsung oleh serabut saraf melalui korpus kalosum ini. Struktur ini
merupakan sarana untuk kerjasama kedua belah hemisfer dengan cara peralihan,
pergeseran dan integrasi fungsi kedua belahan otak dan struktur ini begitu

33

pentingnya sehingga disebut sebagai jembatan emas(golden bridge) struktur ini


mempunyai peranan yang amat penting bagi keberhasilan peningkatan sumber
daya otak, fungsinya menyalurkan stimulus dari belahan otak kanan ke kiri dan
sebaliknya.
Sagan ( dalam Springer/Deutsch,1981 ) menyatakan: We might say that the
human culture is the function of the corpus callosum (bahwa kebudayaan
manusia merupakan fungsi dari korpus kalosum), hal ini dibenarkan karena
korpus kalosum mengintegrasikan pola pikir analitis (belahan otak kiri) dengan
pola pikir intuitif (belahan otak kanan) dan mengintegrasikan setiap struktur
bagian otak sehingga mempunyai peranan dalam perilaku manusia (human
behavior) dan kebudayaan manusia (human culture) yang merupakan fungsi dari
perilaku manusia.
Hemisfer kanan mempunyai makna sangat penting bagi manusia karena
hemisfer ini merupakan pusat kecakapan hidup (life skills) yang berarti
keterampilan sosial, individual, proses berpikir dan akademik disebut sebagai
fluid intelligence, hemisfer ini juga berperan dalam kemampuan komunikasi
pragmatik, imajinasi, sosialisasi, spiritual, kesenian dan emosi.
2.9 Perkembangan Otak Menua Pasca-60-an
Pengkajian dan penelitian otak pada era pasca 1960 membuktikan hal yang
lain, bahkan sebaliknya. Perkembangan otak menjadi tua terbukti dapat berlanjut
terus sampai usia berapapun kalau saja otak memperoleh stimulasi yang terus
menerus, baik secara fisik dan mental ( Kusumoputro, 2003 ). Hal ini disebut
juga kemampuan plastisitas otak yang terjadi juga pada usia lanjut. Walaupun

34

jumlah sel-sel otak berkurang setiap hari dengan beberapa puluh ribu sehari, tetapi
pengurangan ini tidak bermakna bila dibandingkan jumlah sel yang masih ada
sebagai cadangan. Ditambah lagi bukti-bukti penelitian yang menunjukkan bahwa
pada stimulasi lingkungan yang kaya (enriched environment), jaringan antarsel
dalam permukaan otak (corteks serebri) bertambah terus jumlahnya sehingga
dampaknya sumber daya otak dan kemampuan kognitif usia lanjut dapat terus
berkembang.
Proses menua sehat (normal aging) secara fisiologi juga terjadi kemunduran
beberapa aspek kognitif seperti kemunduran daya ingat (memori) terutama
memori kerja (working memory) yang amat berperan dalam aktifitas hidup seharihari, hal ini menjelaskan mengapa pada sebagian lanjut usia menjadi pelupa.
Selain itu fungsi belahan otak sisi kanan (right brain) sebagai pusat
intelegensi dasar akan mengalami kemunduran lebih cepat daripada belahan otak
sisi kiri (left brain) sebagai pusat inteligensi kristal yang memantau pengetahuan.
Dampak dari kemunduran belahan otak sisi kanan pada lanjut usia antara lain
adalah kemunduran fungsi kewaspadaan dan perhatian (Katzman, 1992).

35

Tabel 2.1
Kemampuan hemisfer kanan dan kiri (Burns,1985 )
Kemampuan hemisfer kanan
-

Komunikasi nonverbal,
pragmatik
Visual, imajinatif
Pengenalan wajah
Konfigurasi eksternal
Susunan Spasial
Holistik-intuitif
Paralel
Difus
Persamaan
Tidak bergantung waktu
Spasial, global
Pola piker divergen

Kemampuan hemisfer kiri


-

Komunikasi verbal,
linguistic
Simbolik, proporsional
Praksis
Rincian internal
Proses aritmatik
Logis-analitis
Serial
Fokus
Perbedaan
Bergantung waktu
Segmental
Pola piker konvergen

Walaupun kedua belah hemisfer berbeda fungsi, tetapi setiap individu


mempunyai kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan salah satu belah
hemisfer dalam menyeleseikan masalah hidup dan pekerjaan, pada perkembangan
otak menjadi tua terjadi kemunduran fungsi hemisfer kanan lebih cepat daripada
hemisfer kiri maka mereka akan mengalami hambatan kemampuan vital seperti
tersebut di atas.
2.10 Pemeriksaan Status Mini Mental Pada Lansia
Pemeriksaan status mini mental (mini mental state examination) merupakan
suatu tes skreening yang valid terhadap gangguan kognitif. Tes tersebut
diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975 dan telah banyak digunakan di
seluruh dunia termasuk Indonesia serta telah direkomendasikan oleh kelompok
studi fungsi luhur PERDOSSI perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia
(Dahlan, 1999).

36

Mini-Mental State Exam (MMSE) dibuat khusus untuk pemeriksaan


standar status mental yang berfungsi untuk membedakan gangguan organik dan
fungsional pada pasien kejiwaan. Pengalaman penggunaan uji ini telah meningkat
selama beberapa tahun belakangan ini sehingga fungsi utamanya sekarang
ditetapkan untuk mendeteksi dan melacak progresi gangguan kognitif yang
disebabkan oleh gangguan neurodegenerative, seperti pada demensia Alzheimer.
Uji MMSE meliputi pertanyaan-pertanyaan sederhana dan pemecahan masalah
pada beberapa bidang yaitu waktu dan tempat tes, mengulangi kata, aritmatika,
penggunaan bahasa, dan kemampuan motorik dasar.
Penilaian mini mental status terdiri atas dua bagian, bagian pertama
merupakan respon fokal meliputi pemeriksaan orientasi, daya ingat dan perhatian
dengan jumlah skor 21. Bagian kedua meliputi kemampuan untuk menyebutkan
nama, mengikuti perintah. Verbal dan tulisan, menuliskan kalimat dan
menggambar polygon berupa Bender-Gestalt dengan jumlah skor 9 (sembilan).
Skor maksimal seluruhnya adalah 30 (tiga puluh), Pemeriksaan status mini mental
telah diuji oleh National Institute of Mental Health USA, terdapat korelasi yang
baik dengan nilai IQ pada RAIS ( TVechsler Adult Intelegence Scale) dan CT
Scan otak dan elektro enselografi dengan sensitivitas 87% dan spesifisitas 82%
untuk mendeteksi demensia (Setyopranoto, 1999).
Interpretasi tes adalah jika skor lebih atau sama dengan 25-30 poin berarti
normal (intak), gangguan sedang (20-25 poin), gangguan berat(10-20 poin),
gangguan intelektual total (0-10 poin). Poin yang sangat rendah mengindikasikan
demensia, meskipun gangguan mental lainnya juga dapat menyebabkan

37

rendahnya skor MMSE terlihat pada tabel 2.2. Terdapatnya masalah fisik murni
jelas

dapat

mengganggu

interpretasi,

misalnya

ketulian,

kebutaan dan

kelumpuhan, pada kondisi ini tes biasanya dikustomisasi.


Nilai skor dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti jenis kelamin, usia, dan
tingkat pendidikan. Berbagai faktor bias lain yang dapat mempengaruhi hasil tes
adalah status pernikahan dan pekerjaan yang pernah dialaminya, sikap kooperatif
dari pasien, masalah bahasa, dan operasional saat melakukan tes. Selain itu
dipengaruhi pula oleh situasi tes saat diselenggarakan (Turana, 2004) .
Faktor usia dapat berhubungan dengan fungsi kognitif

sesuai dengan

penelitian Lumbantobing (2006) yang menyatakan bahwa perubahan yang terjadi


pada otak akibat bertambahnya usia antara lain fungsi penyimpanan informasi
(storage) hanya mengalami sedikit perubahan. Sedangkan fungsi yang mengalami
penurunan yang terus menerus adalah kecepatan belajar, kecepatan memproses
informasi baru dan kecepatan beraksi terhadap rangsangan sederhana atau
kompleks, penurunan ini berbeda antar individu.
Pengaruh pendidikan yang telah dicapai seseorang atau lansia dapat
mempengaruhi secara tidak langsung terhadap fungsi kognitif seseorang,
termasuk pelatihan (direct training). Berdasarkan teori reorganisasi anatomis
menyatakan

bahwa

stimulus

eksternal

yang

berkesinambungan

akan

mempermudah reorganisasi internal dari otak (Sidiarto, 1999). Tingkat pendidikan


seseorang mempunyai pengaruh terhadap penurunan fungsi kognitifnya.
Pendidikan mempengaruhi kapasitas otak, dan berdampak pada tes kognitifnya.
Status pernikahan dapat mempengaruhi fungsi kognitif seseorang, Gelder

38

et al (2006) pada sebuah penelitiannya menemukan bahwa laki-laki usia lanjut


yang mengalami kehilangan pasangan atau belum pernah menikah/hidup sendiri,
dalam waktu lebih dari lima tahun akan mengalami penurunan fungsi kognitif dua
kali lebih sering dibandingkan laki-laki yang telah menikah, atau hidup dengan
seseorang/keluarga pada beberapa tahun. Faktor ini diduga karena dengan
memiliki pasangan, seseorang akan mendapatkan dukungan dari pasangannya
terutama saat mengalami tekanan emosi baik stress maupun gejala depresi yang
muncul karena perubahan pola hidup dan konflik (Hurlock, 1996).
Pekerjaan dapat mempercepat proses menua yaitu pada pekerja keras/over
working, seperti pada buruh kasar/petani. Pekerjaan orang dapat mempengaruhi
fungsi kognitifnya, dimana pekerjaan yang terus menerus melatih kapasitas otak
dapat membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif dan mencegah
dimensia ( Sidiarto, 1999 ).
Pengkajian fungsi mental kognitif merupakan hal yang menyokong dalam
mengevaluasi kesehatan lanjut usia, banyak bukti menunjukkan bahwa gangguan
mental kognitif seringkali tidak dikenali profesional kesehatan karena sering tidak
dilakukan pengujian status mental secara rutin. Diperkirakan 30% sampai 80%
lanjut usia yang mengalami demensia tidak terdiagnosis oleh dokter, melainkan
teridentifikasi melalui pemeriksaan status mini mental (Turana, 2004).
Menurut Dahlan (1999), interpretasi dari tes-tes dalam pemeriksaan status
mental mini antara lain: a) tes orientasi (orientation) untuk menilai kesadaran dan
daya ingat, b) tes registrasi (registration) untuk menilai fungsi memori, c) tes
perhatian dan penghitungan (attention and calculation), d) tes mengingat kembali

39

(recall) untuk menilai memori mengingat kembali, e) tes bahasa (language)


meliputi tes menyebutkan nama benda (naming) dan tes mengulangi kalimat
(repetition) dan tes penilaian bahasa komprehensif dengan melakukan tiga
perintah bertahap. Tes menulis kalimat spontan dan menyalin gambar pentagon,
untuk menilai fungsi eksekutif.
Interpretasi tes adalah; 1)skor 25-30 poin berarti normal (intak). 2)skor 20-25 poin
gangguan sedang. 3) skor 10-20 gangguan berat. 4) skor 0-10 poin gangguan
intelektual total.
Pengukuran MMSE dapat dilakukan setiap 6 ( enam ) minggu karena
adaptasi jaringan neuron saraf terjadi setelah 4-6 minggu dimana hubungan antara
latihan fisik dengan fungsi kognitif terjadi melalui kontraksi otot yang akan
memberikan pengaruh pada otak melalui jalur muscle spindle, adanya suatu
rangsangan yang terjadi pada golgi tendon organ akan diteruskan ke central
nervus system melalui jaras-jaras. Jaras-jaras ini yang menerima informasi berupa
sensoris dari perifer, sistem visual, sistem vestibular, muskulo skletal,
proprioseptik, dan lain-lain akan diproses dan diintegrasikan pada semua tingkat
sistem saraf, menurut Suhartono, 2005 dalam waktu singkat kurang lebih 150
mikro detik akan terbentuk suatu respon yang benar dan disimpan di otak.
Informasi yang diterima akan diintegrasikan di dalam sistem sensoris integrasi di
sub cortical dan disimpan oleh bagian memori yaitu corpus amigdale
diintegrasikan ke cortex cerebri centrum kognitif, supaya tidak menjadi memori
yang pendek / short term memory dilakukan secara berulang-ulang sehingga akan
menjadi long term memory.

40

2.11 Kebugaran fisik Pada Lansia


Kebugaran fisik bagi mereka yang berusia 60 tahun adalah kemampuan
seseorang untuk melaksanakan tugas sehari-hari tanpa mengalami kelelahan yang
berarti dan masih memiliki cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggangnya
dengan baik ( Pujiastuti, Utomo, 2003 ).
Beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai bagian dunia menunjukkan
bahwa latihan olah raga yang teratur pada populasi usia lanjut masih
memungkinkan perbaikan kapasitas aerobik, sirkulasi darah dan berbagai organorgan lain ( Williamson,1985). Hanya saja intensitas dan jenis latihan harus
disesuaikan secara individual.
Karena kemampuan kardiovaskuler orang tua menurun, dosis latihan untuk
orang tua akan berbeda dengan dewasa muda. Beban awal diberikan lebih ringan,
pemanasan (warming up) diberikan lebih lama, peningkatan pemberian beban
harus lebih lambat. Anjuran latihan yang diberikan juga harus disesuaikan dengan
kondisi masing-masing misalnya pada penderita diabetus, penyakit hipertensi,
arterosklerosis dan sebagainya. Whitehead,1995 menganjurkan agar pada setiap
lansia yang akan melakukan program latihan harus dilakukan evaluasi medis.
2.11.1. Tujuan program latihan untuk usia lanjut
Tujuan program latihan untuk usia lanjut diantaranya: (1) Meningkatkan
kemampuan dan kesanggupan untuk mengurus diri sendiri, (2) Meningkatkan
kekuatan otot dan daya tahan otot, (3) Meningkatkan atau mempertahankan
kelenturan, koordinasi dan keseimbangan tubuh, (4) Meningkatkan kontak sosial

41

dan kegairahan hidup, (5) Meningkatkan kontrol berat badan dan makanan, (6)
Meningkatkan relaksasi, (7) Meningkatkan kegairahan seksual.
Beberapa pertimbangan dalam memberikan latihan untuk usia lanjut
adalah menurunnya kapasitas kardiovaskuler, Menurunnya kemampuan kerja
pada intensitas tinggi dan sedang, Menurunnya kemampuan adaptasi terhadap
rangsangan-rangsangan luar (panas, dingin,latihan fisik ), Otot lemah dan lebih
cepat lelah, tulang dan tendo degenerasi, gangguan koordinasi neuromuskuler dan
keseimbangan, menurunnya penglihatan dan pandangan
Karena pertimbangan-pertimbangan diatas, pemberian dosis latihan untuk
orang tua harus lebih rendah. Program latihan dimulai dengan beban yang rendah
(ringan) misalnya untuk usia 60 tahun, beban dapat dimulai dengan 2-3 METs
(misalnya berjalan kaki 2-3 mph = 3,2- 4,8 Km/jam ) Intensitas dipertahankan
lama baru ditingkatkan misalnya 50-70% VO2 max. Smith dan Giligan
menetapkan 40-70% karena orang tua kurang cepat adaptasi dan menurun
pemulihannya terhadap reaksi luar, maka setiap perubahan harus berangsurangsur (meningkat/menurun ) jadi orang tua harus lebih lama pemanasan dan
pemulihan/ pendinginan. Lamanya minimal latihan kira-kira 30 menit. Latihanlatihan diberikan sebaiknya 3x seminggu.
Macamnya latihan yang diberikan umumnya bersifat lama dan melibatkan
otot besar tubuh dan latihan ditambah beberapa bentuk permainan-permainan
untuk meningkatkan koordinasi, keseimbangan dan kelenturan tubuh .

42

Orang tua berlatih tidak untuk menjadi atlet yang dipentingkan adalah
peningkatan/perbaikan secara faali dan psikologis. Hal ini dapat dicapai dengan
latihan yang sistimatis,progresif dan mempertimbangkan faktor lain.
Bagi mereka yang berusia lebih dari 60 tahun, selain melatih otak perlu
melaksanakan olahraga secara rutin untuk mempertahankan kebugaran jasmani,
memelihara serta mempertahankan kesehatan di hari tua.
Untuk memperoleh kesegaran jasmani yang baik, harus melatih semua
komponen dasar kesegaran jasmani yang terdiri atas (1) ketahanan jantung,
peredaran darah dan pernapasan, (2) ketahanan otot, (3) kekuatan otot serta
kelenturan tubuh. Manfaat kesegaran jasmani dapat dirasakan secara fisiologis,
psikologis dan sosial.
2.11.2 Manfaat kesehatan jasmani pada lanjut usia
2.11.2.1 Manfaat fisiologi
Dampak langsung dapat membantu Mengatur kadar gula darah,
merangsang adrenalin dan noradrenalin, Peningkatan kualitas dan kuantitas tidur.
Dampak jangka panjang dapat meningkatkan daya tahan aerobik/kardiovaskular,
kekuatan otot rangka dan kelenturan, keseimbangan dan koordinasi gerak serta
kelincahan
2.11.2.2 Manfaat psikologis
Dampak langsung dapat membantu memberi perasaan santai, mengurangi
ketegangan dan kecemasan, meningkatkan perasaan senang. Dampak jangka
panjang dapat meningkatkan kesegaran jasmani dan rohani secara utuh, kesehatan
jiwa, fungsi kognitif, penampilan dan fungsi motorik.

43

2.11.2.3 Manfaat sosial


Dampak langsung dapat membantu pemberdayaan lansia, peningkatan
integritas sosial dan kultur. Dampak jangka panjang dapat meningkatkan
keterpaduan dan kesetiakawanan.
Dengan olah raga teratur akan berdampak positif terhadap kelancaran
organ tubuh seperti jantung yang akan lancar memompa darah sehingga mampu
menghasilkan oxigen yang optimal menuju otak, paru-paru terlatih untuk
mengeluarkan gas sisa metabolisme tubuh. Mekanisme yang menjelaskan
hubungan antara aktifitas fisik dengan fungsi kognitif yaitu aktifitas fisik menjaga
dan mengatur vaskularisasi ke otak dengan menurunkan tekanan darah,
meningkatkan kadar lipoprotein, meningkatkan produksi endhotelial nitric oxide
dan menjamin perfusi jaringan otak yang kuat, efek langsung terhadap otak yaitu
memelihara sruktur saraf dan meningkatkan perluasan serabut saraf, sinap-sinap
dan kapilaris ( Weuve et al, 2004 ).
2.12 Senam/ Latihan Vitalisasi Otak Untuk Lansia
Definisi senam vitalisasi otak
Senam vitalisasi otak adalah senam yang bertujuan utama untuk
mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerakan badan.
Pada prinsipnya dasar latihan otak adalah ingin agar otak tetap bugar dan
mencegah kepikunan. Salah satu cara menjaga kebugaran otak adalah dengan
senam otak, salah satunya adalah latihan vitalisasi otak.
Latihan vitalisasi otak yang dimaksud adalah latihan yang dikembangkan
oleh Markam 2006 berdasarkan ide dari Adre Mayza, bekerjasama dengan Herry

44

Pujiastuti ahli fisioterapi yang gerakan-gerakannya didasari oleh gerakan silat dan
tarian di Indonesia, senam ini disusun terutama untuk para usia lanjut, oleh karena
itu gerakannya lambat disesuaikan dengan irama pernapasan sehingga tidak
meningkatkan frekuensi jantung dan tekanan darah, senam ini juga dapat
dilakukan oleh semua orang yang lebih muda.
Latihan vitalisasi otak merupakan produk latihan kebugaran fisik yang
mengkhususkan diri pada upaya mempertahankan kebugaran otak manusia,
latihan ini merupakan penyelarasan fungsi gerak, pernapasan, dan pusat berpikir
(memori, imajinasi). Rangkaian gerakan yang terangkum dalam latihan vitalisasi
otak tidak hanya melibatkan pusat-pusat gerakan otot-otot tertentu di otak dengan
korpus kalosum tetapi juga melibatkan beberapa pusat yang lebih tinggi di otak.
Gerakan-gerakan yang dilakukan dalam senam/latihan vitalisasi otak
merangsang kerjasama antar belahan otak dan antar bagian-bagian otak yang
diikuti dengan bertambahnya aliran darah ke dalam otak, gerakan yang dilakukan
juga lambat sehingga tidak akan membebani kerja jantung dan dapat disesuaikan
dengan pernapasan dimana dengan napas yang lebih dalam oksigen dari udara
akan terserap lebih banyak dan akan memperbaiki fungsi otak.
Latihan vitalisasi otak memiliki rangkaian gerak yang diolah sedemikian
rupa dengan memperhatikan konsep dan kaidah anatomi dan fisiologi otak
sehingga tampilan latihan ini memiliki beberapa prinsip;

45

1.

Lambat
Gerakan dilakukan dengan perlahan-lahan, penting untuk menyelaraskan pola
gerak otot, gerak pernapasan, dan metabolisme pada bagian-bagian otak yang
terstimulasi, gerakan yang lambat tidak member beban berat pada jantung

2. Dari bawah ke atas


Diupayakan sistematika gerak dari arah tubuh bagian bawah terus ke tubuh
bagian atas dengan tujuan untuk melatih bagian otot-otot yang lebih kecil
sampai otot yang lebih besar, hal ini dilakukan agar gangguan-gangguan
terutama pada gerakan halus dan gerakan kasar yang sering terjadi pada orang
tua dapat diatasi
3. Berulang-ulang
Gerakan dilakukan dengan beberapa kali pengulangan agar stimulasi gerak
dapat

terekam

dalam

otak

melalui

jaras

proprioseptif

(melatih

proprioseptif/rasa sendi)
4. Melibatkan pandangan mata
Setiap gerakan yang dilakukan senantiasa melibatkan pandangan mata, hal ini
dibutuhkan guna mengatasi masalah pada lanjut usia yang berhubungan
dengan gangguan konsentrasi visual dan kemampuan visiospasial (mengenal
ruang)
5. Gerak sendi penuh
Gerakan harus dilakukan sampai batas maksimal sendi karena latihan ini juga
untuk mencoba mengatasi permasalahan sendi yang dapat mengakibatkan
keterbatasan gerak, yang biasa terjadi pada para lanjut usia

46

6. Melibatkan pernapasan
Pernapasan senantiasa dilakukan secara teratur pada setiap gerakan, hal ini
penting guna mencapai upaya oksigenasi yang optimal menuju otak karena
permasalahan pada otak bisa muncul akibat kurangnya oksigen di otak.
Kontrol pernapasan ini juga sangat berguna untuk mencapai relaksasi
7. Diresapi
Peserta diharapkan untuk mencoba meresapi gerakan yang dilakukannya, hal
ini berguna un tuk mencapai harmonisasi antara gerak (otot dan sendi), otak,
dan emosi karena tujuan akhir dari latihan ini adalah tercapainya
keseimbangan antar fungsi otak, kerja otot, dan stabilitas emosi
Tujuan dari senam/latihan vitalisasi otak, adalah;
1. Upaya stimulasi dan pengaktifan otak menuju peningkatan kebugaran otak.
2. Melatih konsentrasi.
3. Maelatih visuo-spasial.
4. Meningkatkan keseimbangan.
5. Meningkatkan koordinasi.
6. Meningkatkan daya tahan.
7. Melatih pernapasan.
8. Mengurangi keluhan fisik sehubungan dengan kondisi degenerasi organ tubuh.
9. Kegiatan rekreatif dan menyenangkan.
10. Melakukan relaksasi dalam gerakan.
11. Merangsang cinta, kasih sayang terhadap sesama manusia.
12. Merasa bersyukur kepada Sang Pencipta Jagat Raya.

47

Gerakan-Gerakan Senam Vitalisasi Otak terdiri dari: Pemanasan : injitinjit, kepak kupu-kupu,menabur bunga,rangkaian bunga melati,rangkaian bunga
nusantara Latihan inti 1 : tapak menyusur, menata jejak, langkah pasti, rengkuhan,
menyentuh pelangi, kasih sayang. Latihan inti 2: kemenangan, kombinasi, ayunan,
keceriaan, salam. Latihan inti 3: memandang langit,memandangmu, lentik menari,
menjangkau harapan, menapak jejak, kepak pahlawan. Pendinginan: bersiul,
senyuman manis, mengangkat dan menurunkan alis,membuka dan menutup mata,
tatapan mata, menyentuh pelangi, kasih sayang, we love all of you
Dengan dosis terdiri dari : frekwensi 3x1 minggu, intensitas heart-rate/HR
mencapai 70% x HR max ( 220-umur). Time 20-30menit ( Tilarso, 1988 )
2.13 Latihan senam lanjut usia ( Senam lansia )
Definisi Senam Lansia
Senam lansia serangkaian gerak dengan nada yang teratur dan terarah serta
terencana yang diikuti oleh orang yang berusia diatas 60 tahun. Keuntungan utama
senam ini adalah melatih fisik, fokusnya utama pada kekuatan tulang, melibatkan
otot-otot besar dan latihannya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan
untuk meningkatkan koordinasi keseimbangan dan kelenturan. Senam lansia terdiri
dari latihan pemanasan, latihan inti dan diikuti dengan latihan pendinginan.
Dengan dosis terdiri dari : frekwensi 3x I minggu. intensitas HR mencapai 70% x
HR max (220- umur). Time 20-30 ( Tilarso, 1988 )

48

Untuk latihan inti terdiri dari :


Gerakan 1
Jalan ke samping bergandengan tangan, gerakan perdana ini berfungsi untuk
pemanasan sambil langkahkan kaki menyilang kesamping kanan dan kiri
bergantian masing-masing 4x hitungan.
Gerakan 2
Langkahkan kaki maju ke depan dengan langkah menyilang, kemudian tepuk
tangan di depan, lalu tarik tangan di belakang dan tepukkan tangan diatas pinggang
Gerakan 3
Tumpuan tumit kaki bergantian, langkahkan kaki kanan ke depan dengan bertumpu
pada tumit, angkat telapak kaki. Kaki kiri lurus ke belakang, ayun tangan ke atas
seiring gerakan kaki. Lakukan bergantian untuk kaki kiri dan kanan.
Gerakan 4
Kaki ke belakang diikuti gerakan tangan. Tarik kaki kanan ke belakang secara
ringan. Diikuti gerakan kedua tangan ditarik ke belakang. Gerakan ini juga dapat
dilakukan secara bergantian antara kaki kanan dan kiri
Gerakan 5
Kaki ke depan, tangan tarik keatas. Langkahkan kaki kanan ke depan dengan
ringan, kaki kiri lurus ke belakang. Tarik tangan kanan keatas dengan gerakan
seperti mengambil air dimulai dari bawah, tangan kiri letakkan di belakang
pinggang. Lakukan secara bergantian dengan kaki bagian kiri.

49

Gerakan 6
Melangkah pelan. Tarik kaki kiri untuk maju dengan posisi jalan pelan-pelan
sambil diikuti kaki kanan. Ayunkan tangan seirama gerakan kaki yang berjalan
ringan.
Gerakan 7
Mundur, buka dan silang. Selanjutnya, lakukan gerakan kaki kiri mundur ke
belakang, lalu buka ke samping dan silangkan. Saat kaki kiri dibuka ke samping,
tarik tangan kanan ke atas dan tangan kiri ke bawah.
Gerakan 8
Jalan ke samping. Langkahkan kaki menyilang ke samping badan kanan atau kiri
dengan posisi kedua tangan direnggangkan ke samping badan sebagai
penyeimbang.
Gerakan 9
Kaki melangkah maju mundur. Kaki kanan melakukan gerakan silang ke depan,
kaki kiri tarik mundur ke belakang dengan posisi agak ditekuk. Kedua tangan tarik
kebawah dengan telapak menghadap dibawah. Langkahkan kaki maju mundur
secara bergantian.

50

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS


3.1. Kerangka Berpikir
Disusun berkaitan dengan rumusan masalah dan kajian pustaka sebagai
berikut, bahwa proses menua sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan
faktor-faktor eksternal pada lansia bersangkutan.
Pengaruh faktor-faktor internal seperti terjadinya penurunan anatomik,
fisiologik dan perubahan psikososial pada proses menua makin besar, penurunan
ini akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit dimana batas antara
penurunan tersebut dengan penyakit seringkali tidak begitu nyata (Martono,
2009).
Penurunan anatomik dan fisiologik meliputi sistem otak dan saraf otak,
sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem metabolisme, sistem ekskresi
dan sistem musculoskeletal, sistim panca indra, serta penyakit-penyakit
degeneratif.
Pada beberapa penderita tua terjadi penurunan daya ingat dan gangguan
psikomotor yang masih wajar, disebut sebagai sifat pelupa benigna keadaan ini
tidak menyebabkan gangguan pada aktifitas hidup sehari-hari, biasanya dikenali
oleh keluarga atau teman karena sering mengulang pertanyaan yang sama atau
lupa kejadian yang baru terjadi. Perlu observasi beberapa bulan untuk
membedakannya dengan demensia yang sebenarnya. Bila gangguan daya ingat

51

bertambah progresif disertai gangguan intelektual yang lain maka kemungkinan


besar diagnosis demensia dapat ditegakkan.
Perubahan psikososial meliputi perubahan kepribadian yang menjadi faktor
predisposisi yaitu, gangguan memori, cemas dan gangguan tidur yang dapat
mempengaruhi proses ketuaan dengan adanya depresi pada lansia. Depresi pada
lansia merupakan interaksi faktor biologi, psikologik dan sosial, lansia mengalami
kehilangan dan kerusakan banyak sel-sel saraf pada lobus frontal dan lobus
temporal yang berfungsi dalam intelektual maupun zat neurotransmiter. Lansia
menjadi lebih mudah tersinggung, marah atau pendiam.
Faktor predisposisi ini dapat diperberat dengan perasaan kurang percaya
diri, merasa diri menjadi beban orang lain, merasa rendah diri, putus asa dan
dukungan

sosial

yang

kurang.

Faktor

sosial

meliputi

perceraian,

kematian,berkabung, kemiskinan, berkurangnya interaksi sosial dalam kelompok


lansia mempengaruhi terjadinya depresi.
Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses menua antara lain
gaya hidup/life style, faktor lingkungan .dan pekerjaan
Budaya gaya hidup yang mempercepat proses penuaan adalah jarang
beraktifitas fisik, perokok, kurang tidur dan nutrisi yang tidak teratur, hal tersebut
dapat diatasi dengan strategi pencegahan yang diterapkan secara individual pada
usia lanjut yaitu dengan menghentikan merokok, seperti diketahui bahwa merokok
akan menyebabkan berbagai penyakit antara lain PPOM (penyakit paru obstruksi
kronis), kanker dan hipertensi, upaya penghentian merokok tetap bermanfaat
walaupun individu sudah berusia 60 tahun atau lebih.

52

Faktor lingkungan, dimana lansia menjalani kehidupannya merupakan faktor


yang secara langsung dapat berpengaruh pada proses penuaan karena penurunan
kemampuan sel, faktor-faktor ini antara lain zat-zat radikal bebas seperti asap
kendaraan, asap rokok meningkatkan resiko penuaan dini, sinar ultraviolet
mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen sehingga kulit tampak lebih tua.
Pengaruh zat pengawet makanan, zat-zat ini sifatnya beracun/karsinogenik yang
dalam jangka waktu tertentu dapat memperpendek usia, semakin usia lanjut
radikal bebas semakin terbentuk yang mempercepat proses menua.
Faktor pekerjaan dapat mempercepat proses menua yaitu pada pekerja
keras/over working, seperti pada buruh kasar/petani. Pekerjaan orang dapat
mempengaruhi fungsi kognitifnya, dimana pekerjaan yang terus menerus melatih
kapasitas otak dapat membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif
dan mencegah dimensia ( Sidiarto, 1999 ).
Karena pada proses menua tingkat kesegaran jasmani akan turun, semakin
terlihat setelah usia 40 tahun, sehingga usia lanjut kemampuan akan turun 3050%, (Kusmana, 1992 ), maka untuk memperoleh kesegaran jasmani yang baik,
lansia harus melatih semua komponen dasar kesegaran jasmani yang terdiri dari
ketahanan jantung, peredaran darah, pernapasan, ketahanan dan kekuatan otot
serta kelenturan tubuh dengan cara melakukan olahraga yang disesuaikan dengan
kemampuan lansia tersebut, manfaat olahraga ini dapat dirasakan secara
fisiologis, psikologis dan sosial. Salah satu olahraga yang dianjurkan adalah
melakukan senam seperti senam vitalisasi otak dan senam lansia..

53

Senam atau latihan vitalisasi otak mempunyai perinsip dasar agar otak tetap
bugar dan mencegah kepikunan serta mempunyai tujuan utama untuk
mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerakan badan. Melakukan
senam vitalisasi otak diharapkan fungsi kognitif pada lansia dapat lebih baik lagi
dengan meningkatnya kerja pada belahan kanan otak. Kelebihan senam ini adalah
gerakan dilakukan dengan beberapa kali pengulangan diharapkan stimulasi gerak
dapat terekam dalam otak melalui jaras proprioseptif ( Markam, 2006 ).
Sedangkan pada senam lansia adalah latihan kebugaran jasmani bagi mereka
yang berusia lebih dari 60 tahun. Keuntungan utama senam ini adalah melatih
fisik, fokusnya utama pada kekuatan tulang, melibatkan otot-otot besar dan
latihannya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk meningkatkan
koordinasi keseimbangan dan kelenturan ( Tilarso, 1988 ).
Beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan hubungan antara aktifitas
fisik dengan fungsi kognitif yaitu aktifitas fisik menjaga dan mengatur
vaskularisasi keotak dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan kadar
lipoprotein, meningkatkan produksi endhotelial nitric oxide dan menjamin perfusi
jaringan otak, efek langsung terhadap otak yaitu memelihara struktur saraf dan
meningkatkan perluasan serabut saraf, sinap-sinap dan kapilaris ( Weuve et al,
2004 ).
Seperti diketahui pada lansia seiring dengan berjalannya waktu, akan terjadi
penurunan berbagai fungsi organ tubuh termasuk penurunan fungsi kognitif pada
susunan saraf pusat sebesar 45% ( penelitian di Inggris ), penurunan ini dapat
menyebabkan perubahan atau gangguan memori.

54

Gangguan memori pada penuaan otak hanya terjadi pada aspek tertentu,
sebagai contoh, memori primer (memori jangka pendek/Short term memory)
relatif tidak mengalami perubahan pada penambahan usia, sedangkan pada
memori sekunder (memori jangka panjang/long term memory) mengalami
perubahan bermakna. Artinya kemampuan untuk mengirimkan informasi dari
memori jangka pendek ke jangka panjang mengalami kemunduran dengan
penambahan usia.
Kerangka konsep pada penelitian ini adalah apakah dengan senam vitalisasi
otak akan lebih efektif dalam meningkatkan fungsi kognitif pada lansia.

Senam Vitalisasi Otak

Faktor Internal
Fisiologis
Psikososial

Faktor Eksternal
Gaya Hidup/Life style
Faktor Lingkungan
Faktor Pekerjaan

Kemunduran Kognitif

Gambar 3.1. Bagan Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Hipotesis
Berdasarkan pembahasan pada dasar teori, maka hipotesis yang akan diajukan
dalam penelitian ini adalah;
1. Senam vitalisasi otak meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia
2. Senam lansia meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia
3. Senam vitalisasi otak lebih meningkatkan fungsi kognitif kelompok
lansia daripada senam lansia

55

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian:
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian
yang digunakan menurut Bakta (1997), adalah randomise pre and post test
group design.

O1

P1

O2

R
P2

O3
Gambar 4.1. Rancangan penelitian.

Keterangan;
P = Populasi
S = Sampel
R = Randomisasi
P1 = Perlakuan dengan senam vitalisasi otak
O1 = Pre tes kelompok perlakuan dengan senam vitalisasi otak
O2 = Post tes kelompok perlakuan dengan senam vitalisasi otak
P2 = Perlakuan dengan senam lansia
O3 = Pre tes kelompok perlakuan dengan senam lansia
O4 = Post tes kelompok perlakuan dengan senam lansia

O4

56

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Penelitian dilakukan di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial
Propinsi Banten
2. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret

sampai September 2010,

dengan rincian sebagai berikut:


1. Pembuatan proposal dan seminar proposal; Maret Juni 2010
2. Pelaksanan penelitian; Juli-September 2010
3. Pemrosesan data hasil penelitian; Oktober 2010
4. Pembuatan laporan penelitian dan seminar hasil; Desember 2010
5. Ujian tesis akhir Januari 2011
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Variabilitas Populasi
4.3.1.1 Populasi target
Adalah sekelompok subyek yang menjadi sasaran penelitian, yaitu semua
lansia yang berada di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi
Banten.
4.3.1.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau adalah lansia usia dari 60-74 tahun,WHO (1989)yang berada
di Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten.
4.3.2

Sampel
Adalah jumlah subyek penelitian yang diambil dari populasi terjangkau,

disesuaikan dengan kriteria inklusi yang dibahas dalam kriteria eligibilitas.

57

4.3.3

Kriteria eligibilitas
Kriteria eligibilitas adalah kriteria pemilihan yang membatasi karakteristik

populasi terjangkau, yaitu:


4.3.3.1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Lansia bertempat tinggal dan terdaftar di Balai Perlindungan Sosial
(BPS) Dinas Sosial Propinsi Banten
2. Berusia lebih dari 60- 74 tahun
3. Laki-laki dan perempuan
4. Dapat mendengar dan melihat
5. Tidak memiliki gangguan jantung dan gangguan neurologi
6. Responden kooperatif
7. Tidak mengalami cacat fisik yang mengganggu aktifitas
8. Responden harus mengikuti program latihan secara teratur
9. Bersedia menjadi sampel dan menandatangani informed consent
4.3.3.2. Kriteria eksklusi
Adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi, karena sesuatu keadaan
dikeluarkan dari sampel, antara lain:
1. Lansia yang memenuhi kriteria inklusi tetapi tidak direkomendasikan
oleh petugas balai
2. Lansia yang sedang menjalani penelitian mengalami sakit atau jatuh

58

4.3.3.3. Kriteria pengguguran


Lansia yang tidak kooperatif, tidak mengikuti kegiatan secara penuh 2x
berturut-turut atau lebih dari 3x total sehingga tidak dapat mencukupi frekuensi
latihan selama waktu penelitian yang telah ditentukan yaitu 3x per minggu selama
12 minggu.
4.3.4 Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Pocock (2008) :

2 2
= ----------------- X (, )
(2 - 1)2

Keterangan :
n = Jumlah Subyek

= Simpang baku
= Tingkat kesalahan I /Significance Level (ditetapkan 0,05)
= Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,20)

( , ) = 7,9 (pada tabel Pocock)

1 = rerata nilai sebelum perlakuan

2 = rerata nilai harapan setelah perlakuan

Berdasarkan penelitian Kusumoputro (2003),

pada setiap kelompok

diperoleh data pada sampel kelompok perlakuan 1= 16,6 dan = 1,411 rerata
kelompok perlakuan 2= 15,4
Dengan mensubstitusikan data di atas ke persamaan ke rumus Pocock,
maka didapatkan nilai 21,8 yang dibulatkan menjadi 22. Untuk mencegah

59

kekurangan sampel akibat gugur, maka sampel ditambah menjadi 27. Penelitian
ini menggunakan dua kelompok maka diperlukan N = 54 responden.
4.3.5 Tehnik pengambilan sampel
Sampel penetilian ini adalah para lanjut usia yang memenuhi syarat
sebagai sampel penelitian, Yang diambil secara acak sederhana untuk
mendapatkan jumlah sampel. Sampel yang dipilih dibagi menjadi dua kelompok,
secara acak yang masing-masing terdiri dari 27 orang. Masing-masing kelompok
diberikan senam vitalisasi otak dan senam lansia sebagai kelompok perlakuan
4.4. Variabel Penelitian
4.4.1

Identifikasi variabel
Variabel yang akan diukur yaitu kemampuan fungsi kognitif pada lansia

setelah perlakuan.
4.4.2 Klasifikasi variabel
Penelitian ini memiliki beberapa klasifikasi variabel antara lain:
4.4.2.1 Variabel bebas :
adalah Senam vitalisasi otak dan Senam lansia
4.4.2.2 Variabel terikat :
kemampuan kognitif
4.4.2.3 Variabel Kontrol :
yaitu; umur, pendidikan, kegiatan sosial.

60

Lansia

Variabel Bebas
-Senam vitalisasi otak
-Senam lansia

Variabel Tergantung
Kemampuan kognitif

Variabel kontrol
-Umur
-pendidikan
-kegiatan sosial

Gambar 4.2 Skema Hubungan Variabel


4.4.3 Definisi Operasional Variabel
1. Lansia adalah golongan lanjut usia, adalah suatu tahap terakhir dari siklus
hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat
dihindarkan oleh setiap individu. Kejadiannya pasti akan dialami oleh semua
orang yang dikaruniai usia panjang.
Pada lansia seiring dengan berjalannya waktu, akan terjadi penurunan
berbagai fungsi organ tubuh termasuk fungsi cognitif Penurunan fungsi ini
disebabkan karena berkurangnya jumlah sel secara anatomis dan juga
berkurangnya aktivita fisik. namun kemunduran fungsi pada usia lanjut dapat
dihambat.
Menurunnya fungsi kognitif, gejala ringan adalah mudah lupa dan jika parah
akan menyebabkan kepikunan, sering kali dianggap sebagai masalah biasa dan
merupakan hal yang wajar terjadi pada mereka yang berusia lanjut(Sulianti,
2000).
2. Umur adalah usia dalam tahun berdasarkan tanggal bulan kelahiran yang
terdata di Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten berkisar 60-74 tahun
mengacu pada batasan usia lanjut menurut WHO (1989) disebut sebagai

61

lansia (ederly), Prevalensi gangguan kognitif termasuk demensia meningkat


sejalan bertambahnya usia, kurang dari 3% terjadi pada kelompok usia 65-75
tahun dan lebih dari 25% terjadi pada kelompok usia 85 tahun ke atas (WHO,
1998). Beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai bagian dunia
menunjukkan bahwa latihan olah raga yang teratur pada populasi usia lanjut
masih memungkinkan perbaikan kapasitas aerobik, sirkulasi darah dan
berbagai organ-organ lain ( Williamson,1985). Hanya saja intensitas dan jenis
latihan harus disesuaikan secara individual.
Faktor usia dapat berhubungan dengan fungsi kognitif

sesuai dengan

penelitian Lumbantobing (2006) yang menyatakan bahwa perubahan yang


terjadi pada otak akibat bertambahnya usia antara lain fungsi penyimpanan
informasi (storage) hanya mengalami sedikit perubahan. Sedangkan fungsi
yang mengalami penurunan yang terus menerus adalah kecepatan belajar,
kecepatan memproses informasi baru dan kecepatan beraksi terhadap
rangsangan sederhana atau kompleks, penurunan ini berbeda antar individu..
3. Pendidikan adalah tingkat pembelajaran yang dialami oleh lansia, golongan
lansia yang tak pernah mengenyam pendidikan formal mencapai 58%, 23%
tidak tamat SD, 13,5% lulus SD, sisanya berpendidikan lebih tinggi dari SLTP,
SLTA ke atas. ( BPS, 1990 ).
Pengaruh pendidikan yang telah dicapai seseorang atau lansia dapat
mempengaruhi secara tidak langsung terhadap fungsi kognitif seseorang,
termasuk pelatihan (direct training). Berdasarkan teori reorganisasi anatomis
menyatakan

bahwa

stimulus eksternal

yang

berkesinambungan akan

62

mempermudah reorganisasi internal dari otak (Sidiarto, 1999). Tingkat


pendidikan seseorang mempunyai pengaruh terhadap penurunan fungsi
kognitifnya. Pendidikan mempengaruhi kapasitas otak, dan berdampak pada
tes kognitifnya.
4. Kegiatan sosial adalah kegiatan pendekatan sosial yang dilaksanakan untuk
meningkatkan keterampilan berinteraksi dengan lingkungan. Mengadakan
diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan
kelompok seperti pengajian, kesenian, kursus, olahraga dan lainnya merupakan
implementasi dari pendekatan ini agar lansia bersangkutan dapat berinteraksi
dengan sesama lansia maupun dengan petugas kesehatan. Umumnya pada
lansia akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi
kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian
dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin
lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi,
yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan ( Psikologi lansia,2009 ).
Frekuensi kontak sosial dan tingginya integrasi sosial dan keterikatan sosial
dapat mengurangi atau memperberat efek stress pada hipotalamus dan sistim
saraf pusat. Hubungan sosial ini dapat mengurangi kerusakan otak dan efek
penuaan ( Zunzunegui et al, 2003 ). Makin banyaknya jumlah jaringan sosial
pada usia lanjut mempunyai hubungan dengan fungsi kognitif/mengurangi
rata-rata penurunan kognitif 39% (Barnes et al, 2004 )

63

5. Kemampuan kognitif adalah berpikir dan mengamati, yang mengakibatkan


orang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan
pengertian. Peningkatan fungsi kognitif pada lansi adalah meningkatnya
kemampuan kognitif yang diukur melalui uji MMSE yang menghasilkan
nilai ukur. Interpretasi tes adalah jika skor lebih atau sama dengan 25-30 poin
berarti normal (intak), gangguan sedang (20-25 poin), gangguan berat(10-20
poin), gangguan intelektual total (0-10 poin). Poin yang sangat rendah
mengindikasikan demensia, meskipun gangguan mental lainnya juga dapat
menyebabkan rendahnya skor MMSE. (Folsten, 1975).
MMSE adalah serangkaian uji khusus untuk pemeriksaan standar status mental
yang berfungsi untuk membedakan gangguan organik dan fungsional pada
pasien kejiwaan. Meliputi pertanyaan-pertanyaan sederhana dan pemecahan
masalah pada beberapa bidang yaitu waktu dan tempat tes, mengulangi kata,
aritmatika, penggunaan bahasa, dan kemampuan motorik dasar.
Tes status mini mental terdiri atas dua bagian, bagian pertama merupakan
respon fokal meliputi pemeriksaan orientasi, daya ingat dan perhatian dengan
jumlah skor 21. Bagian kedua meliputi kemampuan untuk menyebutkan nama,
mengikuti perintah. Verbal dan tulisan, menuliskan kalimat dan menggambar
polygon berupa Bender-Gestalt dengan jumlah skor 9 (sembilan). Skor
maksimal seluruhnya adalah 30 (tiga puluh), Pemeriksaan status mini mental
telah diuji oleh National Institute of Mental Health USA, terdapat korelasi yang
baik dengan nilai IQ pada RAIS ( TVechsler Adult Intelegence Scale) dan CT

64

Scan otak dan elektro enselografi dengan sensitivitas 87% dan spesifisitasnya
82% untuk mendeteksi demensia (Setyopranoto, 1999).
6. Senam vitalisasi otak

merupakan produk latihan kebugaran fisik yang

mengkhususkan diri pada upaya mempertahankan kebugaran otak manusia,


latihan

ini merupakan penyelarasan fungsi gerak, pernapasan, dan pusat

berpikir (memori, imajinasi). Rangkaian gerakan yang terangkum dalam


latihan vitalisasi otak tidak hanya melibatkan pusat-pusat gerakan otot-otot
tertentu di otak dengan korpus kalosum tetapi juga melibatkan beberapa pusat
yang lebih tinggi di otak yang bertujuan untuk upaya stimulasi otak, melatih
konsentrasi, koordinasi daya tahan dan keseimbangan,visual serta stabilisasi
emosi yang diperuntukkan untuk para lanjut usia, dengan gerakan yang lambat
tidak membebani kerja jantung dengan frekuensi pernafasan 16-24x/menit
( Markam, 2005 ) dengan dosis terdiri dari : frekwensi 1minggu 3x. intensitas
Harte-rate/HR mencapai 70% x HR max(220- umur). Time 20-30 menit terdiri
dari :1 Pemanasan dilakukan selama 5-7 menit.2. Latihan inti 10-15 menit. 3
Pendinginan, waktu 5-7 menit. Pelaksanaan selama duabelas minggu/tiga
bulan.
7. Senam lansia adalah latihan kebugaran jasmani bagi mereka yang berusia lebih
dari 60 tahun. Keuntungan utama senam ini adalah melatih fisik, fokusnya
utama pada kekuatan tulang, melibatkan otot-otot besar dan latihannya
ditambah

beberapa

bentuk

permainan-permainan

untuk

meningkatkan

koordinasi keseimbangan dan kelenturan bertujuan untuk meningkatkan


kemampuan untuk dapat mengurus diri sendiri serta meningkatkan kekuatan

65

otot,

daya

tahan

otot,

meningkatkan

kontak

sosial

sesama

lanjut

usia,pemeliharaan sistem kardiovaskuler, untuk kegairahan sexual serta


mempertahankan kesehatan di hari tua ( Pujiastuti dan utomo, 2003). Dengan
dosis terdiri dari : frekwensi 3x I minggu. Intensitas harte-rate/ HR mencapai
70% x HR max(220- umur). Time 20-30 menit. Terdiri dari Latihan pemanasan
5-7 menit Latihan inti 10-15 menit, latihan pendinginan 5-7 menit. Pelaksanaan
selama duabelas minggu/tiga bulan.
4.5 Instrumen Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain;
1. formulir MMSE untuk mengukur fungsi kognitif lansia pre dan post
perlakuan
2. tensimeter, untuk mengukur tekanan darah merk nova
3.

termometer, untuk mengukur suhu tubuh merk Ghea

4. timbangan , untuk mengukur berat badan merk Tanita


5. stetoskop, untuk pemeriksaan fisik; mengukur tekanan darah,
pemeriksaan jantung, paru-paru
6. DVD ,TV,CD untuk senam vitalisasi otak
7. tape recorder untuk senam lansia
4.6 Prosedur Penelitian
4.6.1 Prosedur administrasi penelitian
Menyelesaikan administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan
penelitian;

66

1) Menghadap

pimpinan

institusi

tempat

penelitian

Balai

Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi Banten untuk


mendapatkan ijin awal sebagai lokasi penelitian
2) Menyerahkan surat ijin penelitian resmi dari lembaga pendidikan
kepada institusi tempat penelitian
3) Memberikan penjelasan kepada pimpinan insitusi tempat penelitian
dan sampel penelitian tentang jadwal dan jalannya penelitian
4) Mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan untuk pelaksanaan
penelitian
4.6.2. Prosedur persiapan penelitian
4.6.2.1 Persiapan sumber daya manusia;
1) Menghubungi instruktur senam vitalisasi otak dan instruktur senam
lansia untuk bersedia memimpin pelaksanaan senam sesuai jadwal
yang telah ditentukan
2) Menghubungi Psikolog untuk pelaksanaan pengisian MMSE dan
persiapan psikologi sampel dalam penelitian ini
3) Menghubungi dokter umum dan paramedis untuk bersedia melakukan
pemeriksaan fisik sampel penelitian
4) Meminta kesediaan staf pengelola Balai Perlindungan Sosial (BPS)
Dinas Sosial

Propinsi Banten untuk ikut membantu mengawasi

pelaksanaan penelitian ini

67

4.6.2.2 Persiapan sarana dan prasarana;


1) Mempersiapkan ruang/tempat untuk administrasi dan pelaksanaan
kegiatan senam
2) Mempersiapkan alat-alat penunjang kegiatan administrasi ( ATK, dll )
dan senam ( alat-alat keperluan senam )
4.6.2.3 Persiapan konsumsi;
Konsumsi berupa minuman dan makanan kecil diberikan setelah
kegiatan senam
4.6.3. Prosedur pelaksanaan penelitian
1. Mencatat identitas lansia meliputi nama, umur, pendidikan, kegiatan
sosial dan lainnya
2. Populasi lansia akan menjalani serangkaian anamnesis dan tes
skrining/vital sign untuk kriteria inklusi dan esklusi setelah lulus dari
skrening, maka akan ditetapkan sebagai subyek penelitian atau sampel
dengan jumlah 54 sampel
3. Mengisi formulir informed consent sebagai tanda untuk bersedia
mengikuti penelitian
4. Dilakukan penelitian sampel untuk mengalokasikan subyek penelitian
kepada dua kelompok, berdasarkan acak sederhana/ simple random
sampling
5. Sampel yang sudah terpilih dilakukan pengukuran pretest dengan
MMSE untuk mendapatkan data kognitif awal oleh seorang psichologi.
obyek penelitian tidak diberitahu masuk kelompok satu atau dua.

68

6. Tiap kelompok diberikan perlakuan, Pada kelompok I diberikan


perlakuan senam vitalisasi otak dipimpin seorang instruktur dengan
menggunakan perangkat TV, DVD dan CD selama satu bulan supaya
dapat menghafal gerakan selanjutnya dicoba dengan panduan dari
instruktur senam. Perlakuan dilakukan di Balai Perlindungan sosial
( BPS).
Kelompok II diberikan perlakuan

senam

lansia dengan dipandu

instruktur dari senam lansia dengan menggunakan perangkat TAPE


RECORDER, Perlakuan dilakukan di Balai Perlindungan Sosial (BPS)
Tiap-tiap kelompok diberikan perlakuan 3 kali seminggu dengan urutan
senam terdiri dari pemanasan 5-7 menit, Latihan inti 10-15 menit dan
pendinginan 5-7 menit dilakukan sesuai jadwal

selama 12 minggu

7. Dilakukan pengukuran post test dengan MMSE pada dua kelompok


setiap 6 minggu sekali oleh seorang psichologi selama periode latihan
yaitu 3 bulan karena secara fisiologis proses adaptasi jaringan neuron
terjadi setelah 4-6 minggu tapi post test MMSE dilakukan tiap 2 minggu
sekali yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan kemajuan
kognitif
8. Setelah waktu yang ditentukan berakhir maka akan dilakukan
pengambilan data akhir atau post test
9. Dilakukan tabulasi data dan analisis statistik dengan menggunakan
software

69

10. Dari hasil analisis data dibuat kesimpulan hasil dan dilanjutkan dengan
penyusunan tesis
4.6.4. Kelemahan Penelitian
1. Para lansia peserta penelitian lemah dalam motivasi untuk pelaksanaan
senam yang diselenggarakan setiap 3 kali seminggu sehingga
memerlukan motivator baik dari peneliti maupun dari petugas BPS
2. Jenis senam yang dilakukan relatif baru sehingga memerlukan waktu
untuk penyesuaian gerakan-gerakannya yaitu 3 kali seminggu selama
12 minggu
3.

Penelitian ini tidak blinding dan berdampak pada internal validitas


yang perlu dilakukan dengan penelitian lain.

70

4.7 Alur Penelitian


POPULASI
K. Inklusi
K. Eksklusi

SAMPEL

Acak
Sederhana

Alokasi Acak Sederhana


TEST AWAL
Kelompok II

Kelompok I

Senam Vitalisasi otak


3xseminggu,selama 12
minggu

Senam Lansia
3xseminggu,selama
12 minggu

TES AKHIR

Analisis Data
Penyusunan tesis

Gambar 4.3 Alur penelitian

4.8 Analisis Data


Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Statistik deskriptif untuk menganalisis umur, tingkat pendidikan, kegiatan
sosial.
2. Uji normalitas data dengan Saphiro Wilk Test, bertujuan untuk mengetahui
distribusi data masing-masing kelompok perlakuan. Batas kemaknaan

71

yang digunakan adalah = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05 maka dikatakan
bahwa data berdistribusi normal dan apabila p < 0,05 menunjukkan bahwa
data tidak berdistribusi normal.
3. Uji homogenitas data dengan Levene,s Test, bertujuan untuk mengetahui
variasi data. Batas kemaknaan yang digunakan adalah = 0,05. Apabila
hasilnya p > 0,05 maka data homogen dan apabila p < 0,05 berarti data
tidak homogen.
4. Uji komparasi nilai MMSE sebelum dan setelah perlakuan pada masingmasing kelompok perlakuan dengan menggunakan uji komparasi Paired t
test apabila data berdistribusi normal. Bila tidak berdistribusi normal
digunakan uji non parametrik (wilcoxont -test). Uji ini bertujuan untuk
mengetahui efek dari perlakuan terhadap nilai MMSE setelah pelatihan
pada masing-masing kelompok perlakuan. Uji ini digunakan untuk
menguji hipotesis I dan II. Batas kemaknaan yang digunakan adalah =
0,05. Jika hasilnya p > 0,05, maka Ho diterima dan Ha ditolak (hipotesis
penelitian ditolak atau tidak ada perbedaan yang signifikan).
jika p < 0,05 maka Ho ditolak atau Ha diterima (hipotesis penelitian
diterima atau ada perbedaan yang signifikan).
5. Uji komparasi data nilai MMSE sebelum dan setelah perlakuan antara
kelompok I dan kelompok II dengan menggunakan uji komparasi non
parametrik Independent Samples t-Test. Apabila berdistribusi normal. Bila
tidak normal digunakan uji non parametrik Mann-Whitney U test. Uji ini
bertujuan untuk membandingkan efek dari perlakuan terhadap nilai MMSE

72

sebelum dan sesudah pelatihan antar kelompok I dan kelompok II. Uji ini
digunakan untuk menguji hipotesis III. Batas kemaknaan yang digunakan
adalah = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05 maka Ho diterima atau Ha ditolak
(hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada perbedaan yang signifikan) dan
apabila p < 0,05 maka Ho ditolak atau Ha diterima (hipotesis penelitian
diterima atau ada perbedaan yang signifikan)

73

BAB V
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui senam vitalisasi otak lebih


meningkatkan kognitif dari pada senam lansia pada kelompok lansia,
menggunakan rancangan penelitian eksperimental randomise pre and post test
group design.
Alat ukur yang digunakan Minimental Status Exam(MMSE) yang
digunakan untuk mengukur kognitif awal dan setiap dua minggu untuk melihat
perkembangan, untuk hasil akhir diambil sebelum dan sesudah pelatihan.
Subyek penelitian berasal dari Balai Perlindungan Sosial ( BPS ) Propinsi
Banten, Pelaksanaan selama 12 minggu, mulai bulan Juli 2010 sampai bulan
September 2010, dengan frekuensi 3x se-minggu.dengan jumlah sampel 54 orang,
terbagi dalam dua kelompok masing-masing 27 orang yang melakukan senam
vitalisasi otak dan 27 orang yang melakukan senam lansia, Usia subyek 60-74
tahun, Kemudian Lansia yang terpilih mendapat pengarahan terlebih dahulu
mengenai tujuan penelitian dan pengaruh dari pelatihan senam viatlisasi otak dan
senam lansia hubungannya dengan fungsi kognitif. Sampel terpilih diberikan form
informed consent untuk ditandatangani atau di cap jari dengan demikian yang
bersangkutan (sampel terpilih) telah mengerti tentang penjelasan yang diberikan
dan bersedia untuk menjadi sampel penelitian. Subyek diberikan program latihan
dengan dua metode senam yang berbeda. Pada Kelompok Perlakuan I diberikan
latihan metode senam vitalisasi otak, dan Kelompok Perlakuan II diberikan
latihan metode senam lansia masing-masing sebanyak 36 kali selama 12 minggu

74

dan kemudian dilakukan pengukuran test untuk menentukan dan mencatat data
akhir.
Hasil penelitian didapatkan beberapa data sebagai berikut;
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik sampel yang di deskriptifkan dalam penelitian pada
kelompok senam vitalisasi otak dan kelompok senam lansia antara lain: usia,
pendidikan dan kegiatan sosial.
Karakteristik subjek penelitian yang meliputi umur, tingkat pendidikan, kegiatan
sosial, dan gangguan kognitif. dilihat pada Tabel 5.1. berikut:
Tabel 5.1
Karakteristik Lansia yang Melakukan Senam Vitalisasi Otak dan
Senam Lansia Berdasarkan Usia
Karakteristik
subjek
Umur

Kelompok
I
65,96 4,80

MIN:MAK
60 : 74

Kelompok MIN:MAK
II
67,04 4,57
60 : 74

Sumber : Analisis Data Primer,2010


Pada tabel 5.1. di atas diketahui bahwa lansia yang melakukan senam vitalisasi
otak pada kelompok I memiliki rentang umur antara 60 hingga 74 tahun, dengan
rerata umur 65,96 tahun dan standar deviasi 4,80 tahun. Sedangkan Kelompok II
memiliki rentang umur antara 60 hingga 74 tahun, dengan rerata umur 67,04
tahun dan standar deviasi 4,57 tahun. artinya sebagian besar lansia yang
melakukan senam vitalisasi otak dan senam lansia berumur lebih dari 65 tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa usia bukan merupakan hambatan lansia untuk tetap
bersemangat dalam beraktivitas fisik. kedua kelompok memiliki karakteristik
umur yang homogen.

75

Tabel 5.2
Karakteristik Lansia yang Melakukan Senam Vitalisasi Otak dan
Senam Lansia Berdasarkan Pendidikan
Kelompok I
No.

Pendidikan

Jumlah

Kelompok II

Persentase

Jumlah

Persentase

1.

Tidak Sekolah

22,22%

11

40,74

2.

SD

29,63%

11

40,74

3.

SMP

13

48,15%

11.11

4.

SMA

7,41

Jumlah

27

100

27

100

Sumber : Analisis Data Primer,2010


Latar belakang pendidikan responden lansia yang menjadi objek penelitian
adalah responden pada kelompok I (melakukan senam vitalisasi otak) memiliki
pendidikan antara Tidak Sekolah sebanyak 6 orang dengan persentase 22,22%,
pendidikan SD sebanyak 8 orang atau 29,63%, dan pendidikan SMP sebanyak 13
orang atau 48,15%. Juga diketahui bahwa tidak ada lansia yang melanjutkan
pendidikan hingga SMU. Sedangkan Kelompok II Lansia yang tidak bersekolah
sebanyak 11 orang atau 40,74%, pendidikan SD sebanyak 11 orang atau 40,74%,
pendidikan SMP sebanyak 3 orang atau 11,11%, dan pendidikan SMU sebanyak 2
orang atau 7,41%. disimpulkan bahwa secara rata-rata dapat dikatakan bahwa
latar belakang pendidikan responden lansia pada kelompok I dan kelompok II
memiliki karakteristik yang relatif homogen.

76

Tabel 5.3
Karakteristik Lansia yang Melakukan Senam Vitalisasi Otak dan
Senam Lansia Berdasarkan yang Ikut Kegiatan Sosial
Kelompok I
No.

Kegiatan Sosial

Jumlah

Kelompok II

Persentase

Jumlah

Persentase

1.

Kejar paket A

20

74

14

51,85

2.

Wirausaha

10

37.04

29,63

3.

Robana

11

40.74

29,63

4.

Pengajian

25

92,59

24

88,89

Sumber : Analisis Data Primer,2010


Pada tabel 5.3 lansia yang mengikuti kegiatan kejar paket A pada kelompok
I sebanyak 20 orang atau 74,07%, wirausaha 10 orang atau 37,04%, Robana 11
orang atau 40,74% dan pengajian 25 orang atau 92,59%. Sedangkan pada
kelompok II kejar paket A sebanyak 14 orang atau 51,85%, wirausaha 8 orang
atau 29,63%, Robana 8 orang atau 29,63% dan pengajian 24 orang atau 88,89%.
Lansia yang tidak mengikuti kegiatan kejar paket A pada kelompok I
sebanyak 7 orang atau 25,93%, wirausaha 17 orang atau 62,96%, Robana 16
orang atau 59,26% dan pengajian 2 orang atau 7,41%. Sedangkan pada kelompok
II kejar paket A sebanyak 13 orang atau 48,15%, wirausaha 19 orang atau
70,37%, Robana 19 orang atau 70,37% dan pengajian 3 orang atau 11,11%.
Dari gambaran data kedua kelompok tersebut tersebut dapat disimpulkan
bahwa keduanya memiliki keaktifan responden yang hampir sama
5.2 Uji Persyaratan Analisis
Sebagai prasyarat untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan maka
dilakukan uji normalitas dan homogenitas data hasil test MMSE sebelum dan

77

sesudah pelatihan. Untuk semua variabel, baik variabel bebas, maupun variabel
tergantung pada kelompok perlakuan I dan II, penguji melakukan uji normalitas
dengan menggunakan uji Saphiro Wilk, sedangkan uji homogenitas menggunakan
Levene Test, dan hasilnya tertera pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4
Keputusan Uji Normalitas Data dan Homogenitas Data Nilai MMSE
Perlakuan

Shapiro Wilk Test


KLP I
KLP II
Nilai p
Nilai p

MMSE sebelum
0,221
pelatihan
MMSE sesudah
0,000
pelatihan
Selisih
0,077
Sumber : Analisis Data Primer, 2010

Levenes Test
Nilai p

0,228

0,971

0,006

0,097

0,240

0,063

Pada tabel 5.4 diperlihatkan bahwa hasil uji normalitas (Saphiro WilkTest). Dengan mengambil nilai = 0,05 maka untuk MMSE pada kelompok I
sebelum pelatihan diperoleh nilai p = 0,221 (p>0,05) atau data berdistribusi
normal,

sesudah pelatihan p=0,000

( p<0,05) atau data berdistribusi tidak

normal. Pada kelompok II sebelum pelatihan nilai p= 0,228 (p>0,05) atau data
berdistribusi normal,, sesudah pelatihan nilai p=0,006 ( p<0,05) atau data
berdistribusi tidak normal. Adapun data selisih MMSE sebelum dan sesudah
pelatihan, pada kelompok I diperoleh p = 0,077 (p>0,05) atau data berdistribusi
normal, dan pada kelompok II p = 0,240 (p>0,05) atau data berdistribusi normal.
Untuk uji homogenitas (Levenes-Test) data hasil MMSE

sebelum

pelatihan (0,971) dan sesudah pelatihan (0,097), serta selisih (0,063)


menunjukkan nilai p lebih besar dari =0,05 (p > 0,05), yang berarti tidak terdapat

78

perbedaan nilai varians MMSE sebelum dan sesudah Perlakuan serta selisihnya
antara kelompok perlakuan I dengan kelompok perlakuan II.
5.3 Uji Hipotesa
Berdasarkan hasil uji normalitas sesuai tabel 5.4, maka untuk uji hipotesa I
dan uji hipotesa II menggunakan uji non parametrik karena salah satu kelompok
datanya tidak berdistribusi normal, sedangkan untuk uji hipotesis III
menggunakan uji parametrik karena kedua kelompok datanya berdistribusi
normal.
Berdasarkan distribusi kelompok data seperti diuraikan di atas maka uji
signifikansi hipotesis dua sampel berpasangan pada kelompok perlakuan I (uji
hipotesis I ) digunakan uji wilcoxon-test. Demikian pula untuk uji signifikansi
hipotesis dua sampel berpasangan pada kelompok perlakuan II (uji hipotesis II)
juga menggunakan uji wilcoxon-test. Sedangkan uji beda (selisih) antara
kelompok perlakuan I dengan kelompok perlakuan II menggunakan uji
Independent samples t-test.( uji hipotesis III ).
Untuk mengetahui perbedaan rerata senam vitalisasi otak dan senam lansia
sebelum dan sesudah

pelatihan pada masing-masing kelompok digunakan

Wilcoxon test yang hasilnya tertera pada Tabel 5.5.

79

Tabel 5.5
Uji Beda Rerata (skor) Senam Vitalisasi Otak dan Senam Lansia Sebelum
dan Sesudah Pelatihan Pada Lansia di BPS Propinsi Banten
Sebelum
pelatihan

Setelah
pelatihan

Selisih

19,073,61

26,222,59

7,152,4

-4,558

0,000

Kelompok II
21,483,8
23,443,9
Sumber: Analisis data primer, 2010

1,961,7

-3,886

0,000

Kelompok I

1.

Pada kelompok perlakuan I dengan jumlah sampel 27 dan nilai rerata


sebelum pelatihan 19,07 standar deviasi 3,61 dan setelah pelatihan nilai rerata
26,22 standar deviasi 2,59. Dengan uji wilcoxon test diperoleh nilai p=0,000
(p < 0,05). Sehingga kesimpulannya Ho ditolak dan menerima Ha dengan
demikian hipotesis I Senam vitalisasi otak meningkatkan fungsi kognitif
kelompok lansia

2.

Pada kelompok perlakuan II dengan jumlah sampel 27 dan nilai rerata


sebelum pelatihan 21,48 standardeviasi 3,8 dan setelah pelatihan nilai rerata
23,44 standar deviasi 3,9 Dengan uji wilcoxon test diperoleh nilai p=0,000
(p<0,05). Sehingga kesimpulannya Ho ditolak dan menerima Ha dengan
demikian hipotesis II Senam lansia meningkatkan fungsi kognitif kelompok
lansia.

80

Grafik 5.1
Uji Beda Rerata Senam vitalisasi otak dan senam lansia
Sebelum dan Sesudah Pelatihan pada lansia di BPS Propinsi
Banten
5.4 Persentase peningkatan nilai MMSE sebelum dan sesudah pelatihan pada
lansia di BPS Propinsi Banten
Data persentase peningkatan nilai MMSE sebelum dan setelah pelatihan 3
x per minggu selama 12 minggu pada kedua kelompok pelatihan dapat disajikan
dalam Tabel 5.6.
Tabel 5.6
Data Peningkatan Nilai MMSE Sebelum dan Sesudah Pelatihan pada
Lansia Di BPS Propinsi Banten
Hasil Analisis
Nilai MMSE
awal

Nilai MMSE
akhir

Selisih nilai
MMSE

Persentase
Peningkatan (%)

Kelompok 1

19,07

26,22

7,15

37,49

Kelompok 2

21,48

23,44

1,96

9,12

Kelompok

Sumber: Analisis data primer, 2010


Untuk melihat persentase rerata peningkatan nilai MMSE sebelum dan setelah
pelatihan dari kedua kelompok dapat juga disajikan dalam bentuk Grafik 5.2

81

Grafik 5.2
Persentase peningkatan nilai MMSE sebelum dan sesudah pelatihan pada
lansia di BPS Propinsi Banten
Berdasarkan persentase rerata peningkatan MMSE sebelum dan setelah
pelatihan 3 x per minggu selama 12 minggu pada tabel 5.6 dan grafik 5.2
menunjukkan bahwa persentase rerata peningkatan nilai MMSE pada pelatihan
kelompok I ( 37,49% ) lebih besar dari kelompok II ( 9,12% ).

5.5 Uji Beda Rerata dan Selisih nilai MMSE Pada Kedua Kelompok
Uji beda ini bertujuan untuk membandingkan rerata nilai MMSE pada tes
awal (sebelum pelatihan) dan tes akhir (setelah pelatihan) antar kelompok pada
kedua kelompok yang diberikan perlakuan berupa pelatihan senam vitalisasi otak
pada kelompok I dan senam lansia pada kelompok II. Hasil analisis kemaknaan
dengan uji Independent Samples t-test disajikan pada Tabel 5.7

82

Tabel 5.7
Uji beda rerata dan selisih nilai MMSE Senam Vitalisasi Otak dan Senam
Lansia

Kelompok Subyek

Beda Rerata SB

Nilai MMSE
Sebelum
perlakuan
Sesudah
perlakuan
Selisih

Kelompok-1
Kelompok-2
Kelompok-1
Kelompok-2
Kelompok-1
Kelompok-2

27

19,07 3,61

27

21,48 3,89

27

26,22

27

23,44 3,95

27

7,15

27

1,96 1,72

2,59

2,46

0,022

0,004

0,000

Sumber: Analisis data primer, 2010


Uji Hipotesis III
Pada uji beda antara kedua kelompok sebelum perlakuan didapatkan hasil
p=0,022 yang berarti kedua kelompok berangkat dari keadaan yang tidak
homogen, sehingga untuk uji hipotesis III yang dianalisis adalah perbedaan selisih
antara kedua kelompok.
Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai skor setelah perlakuan untuk
Kelompok I skor MMSE mengalami peningkatan sebesar 7,15 dengan standar
deviasi 2,46 dan pada Kelompok II skor meningkat hanya sebesar 1,96 dengan
standar deviasi 1,72. Uji statistik Independents t-test menghasilkan nilai p=0,000
(p<0,05) berarti Ho ditolak dan Ha diterima, atau dapat disimpulkan bahwa
Senam vitalisasi otak memberikan hasil yang lebih baik dari pada senam lansia.

83

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 Kondisi subyek penelitian


Subyek penelitian adalah lanjut usia lanjut 60-74tahun yang berada di balai
perlindungan sosial propinsi banten dengan jumlah responden 54 orang terbagi
dalam dua kelompok masing-masing 27 orang yang melakukan senam vitalisasi
otak dan 27 orang yang melakukan senam lansia.dengan menggunakan alat ukur
MMSE untuk pengukuran kognitif.
Mengingat subyek adalah penghuni di BPS, Maka otomatis subyek sudah biasa
terhadap lingkungan atau dengan kata lain lingkungan yang dipakai pengambilan
data dan pada waktu pelatihan dalam keadaan nyaman. Lingkungan yang nyaman
akan mengurangi pengeluaran keringat berlebihan sehingga subjek dapat
menjalankan metode latihan senam yang maksimal dan dapat menghasilkan hasil
latihan yang maksimal pula.
Pada tabel 5.1, rerata umur subyek penelitian adalah 65,96 tahun pada
kelompok I dan 67,04 tahun pada kelompok II. Kelompok I memiliki umur relatif
lebih muda dibandingkan lansia yang berada pada kelompok II,dan akan
berpengaruh terhadap funfsi kognitifnya. penelitian Lumbatobing (2006) yang
menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada otak akibat bertambahnya usia
antara lain fungsi penyimpanan informasi (storage) hanya mengalami sedikit
perubahan. Sedangkan fungsi yang mengalami penurunan yang terus menerus
adalah kecepatan belajar, kecepatan memproses informasi baru dan kecepatan

84

beraksi terhadap rangsangan sederhana atau kompleks, penurunan ini berbeda


antar individu
Usia bertambah tingkat kesegaran jasmani akan turun. Penurunan
kemampuan akan semakin terlihat setelah umur 40 tahun, sehingga saat usia lanjut
kemampuan akan turun antara 30-50%,( Kusmana, 1992 ). Oleh karena itu, bila
para usia lanjut ingin berolahraga atau meningkatkan kebugaran fisiknya harus
memilih jenis kegiatan olahraga yang sesuai dengan umurnya Hal ini didukung
oleh penelitian selama 10 tahun pada pria usia lanjut berdasarkan data dari
Finlandia, Italia dan Belanda oleh

Gelder dan kawan-kawan (2004) tentang

hubungan aktifitas fisik dengan penurunan kognitif. Penelitian tersebut


menyimpulkan bahwa penurunan intensitas dan durasi aktifitas akan mempercepat
proses penurunan fungsi kognitif.
Dari tabel 5.2, pada kelompok 1 lansia yang tidak bersekolah sebanyak 6
orang dengan presentase 22,22%, Sedangkan Kelompok II Lansia yang tidak
bersekolah sebanyak 11 orang atau 40,74%,Lebih jauh dapat diartikan bahwa
kesadaran lansia dahulu terhadap pendidikan masih rendah, disamping adanya
keterbatasan sarana prasarana pendidikan pada saat itu. Pengaruh pendidikan yang
telah dicapai seseorang atau lansia dapat mempengaruhi secara tidak langsung
terhadap fungsi kognitif seseorang, termasuk pelatihan (direct training).
Berdasarkan teori reorganisasi anatomis menyatakan bahwa stimulus eksternal
yang berkesinambungan akan mempermudah reorganisasi internal dari otak
(Sidiarto, 1999). Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap penurunan
fungsi kognitifnya. Pendidikan mempengaruhi kapasitas otak, dan berdampak

85

pada tes kognitifnya. (Farmer et al. 1995). Kebanyakan proses lanjut usia ini
masih dalam batas-batas normal berkat proses plastisitas. Proses ini adalah
kemampuan sebuah struktur dan fungsi otak yang terkait untuk tetap berkembang
karena stimulasi. Sebab itu, agar tidak cepat mundur proses plastisitas ini harus
terus dipertahankan ( Kusumoputro, 2003 ).
Dari tabel 5.3, kegiatan sosial adalah kegiatan pendekatan sosial yang
dilaksanakan
lingkungan.

untuk

meningkatkan

keterampilan

berinteraksi

dengan

Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau

mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok seperti pengajian, kesenian, kursus,


olahraga dan lainnya merupakan implementasi dari pendekatan ini agar lansia
bersangkutan dapat berinteraksi dengan sesama lansia maupun dengan petugas
kesehatan. data kedua kelompok tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya
memiliki keaktifan responden yang hampir sama, walaupun terlihat bahwa
responden pada kelompok I cenderung sedikit lebih aktif dibanding kelompok II.
Semakin berkurangnya kegiatan sosial maka semakin tidak berkembang dan kecil
kesempatan lansia untuk mengaktualisasikan diri ( Hurlock,1996 ).
Frekuensi kontak sosial dan tingginya integrasi sosial dan keterikatan
sosial dapat mengurangi atau memperberat efek stress pada hipotalamus dan
sistim saraf pusat serta mengurangi kerusakan otak dan efek penuaan.
( Zunzunegui et al, 2003 ). Makin banyaknya jumlah jaringan sosial pada usia
lanjut, mengurangi rata-rata penurunan kognitif 39% dan tingkat keterikatan sosial
mengurangi rata-rata penurunan kognitif sebesar 91% ( Barnes et al. 2004).
Kegiatan Sosial Kejar Paket A banyak diminati lansia karena untuk meningkatkan

86

kemampuan kognitif lansia terutama pada bidang baca,tulis dan hitung


(calistung). Demikian pula dengan kegiatan wirausaha, berupa kegiatan
pembuatan keset, bunga kertas, menyulam, menjahit dilakukan dengan binaan dari
petugas balai. Selain untuk mengisi waktu luang juga digunakan sebagai sarana
bersosialisasi baik dengan sesama penghuni balai maupun dengan petugas
disamping untuk tetap mengasah kemampuan kognitif lansia. Sedangkan kegiatan
Robana merupakan kegiatan seni dan pengajian merupakan kegiatan kerohanian
atau keagamaan.
Hasil analisis karakteristik subjek penelitian pada kedua kelompok tidak
ada perbedaan bermakna, karena subjek telah dikontrol. Dengan demikian
karakteristik subjek penelitian yang meliputi : umur, pendidikan, kegiatan sosial,
pada kelompok senam vitalisasi otak dan kelompok senam lansia, kedua
kelompok pelatihan tersebut adalah sama. Apabila setelah pelatihan selama 12
minggu ada perbedaan hasil pada senam vitalisasi otak, hal ini diakibatkan dari
perlakuan yang diberikan pada masing-masing kelompok
6.2 Distribusi dan Varians Subyek Penelitian
Untuk menguji hasil nilai MMSE pada dua kelompok responden
penelitian digunakan software. Sebelumnya dilakukan uji kenormalan data dengan
menggunakan analisa Saphiro Wilk Test, dari tabel 5.4 dapat diartikan bahwa
nilai MMSE kelompok data setelah pelatihan berdistribusi tidak normal, baik
dengan senam vitalisasi otak maupun senam lansia, sedangkan kelompok data
sebelum pelatihan dan nilai selisih berdistribusi normal. Ini berarti untuk menguji
hipotesis I dan hipotesis II karena salah satu kelompok yang dibandingkan tidak

87

berdistribusi normal maka digunakan analisis Statistik Non Parametrik dengan


alat Uji Statistik Wilcoxon-test. Sedangkan untuk menguji hipotesis III karena
kedua

kelompok

data

yang

dibandingkan

berdistribusi

normal,

maka

menggunakan Analisis Statistik Parametrik dengan alat Uji Statistik Independent


Samples t-test. Homogenitas varians antara kedua
dengan Levene Test.

kelompok pelatihan diuji

Variabel yang diuji adalah nilai MMSE sebelum dan

sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok dan selisih nilai MMSE


sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan pada kedua kelompok. Hasil uji
homogenitas untuk semua variabel tersebut menunjukkan p > 0,05 yang berarti
data memiliki sebaran yang homogen.
6.3 Pengaruh Pelatihan senam vitalisasi otak dan senam lansia terhadap
fungsi kognitif lansia
Setelah pelatihan senam vitalisasi otak dan senam lansia 3 x per minggu
selama 12 minggu, diperoleh data nilai MMSE pada test awal dan test akhir pada
masing-masing kelompok dengan menggunakan uji wilcoxon test (Tabel 5.5),
pada kelompok I sebelum senam vitalisasi otak diperoleh rerata sebesar 19,07
dengan standar deviasi 3,61, sedangkan sesudah senam vitalisasi otak diperoleh
nilai rerata 26,22 dengan standar deviasi 2,59. Dari hasil di atas kemudian
dimasukkan data untuk dilakukan uji hipotesis I dengan menggunakan uji
wilcoxon test didapat hasil nilai z hitung sebesar -4,558 dibandingkan dengan nilai
Z tabel = -1,64 maka nilai z hitung berada di daerah penolakan, demikian pula
nilai p=0.000 < ( 0,05) berarti Ho ditolak dan menerima Ha bahwa adanya
perlakuan senam vitalisasi otak ternyata dapat meningkatkan kemampuan kognitif

88

lansia yang berada di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi
Banten.
Pada tabel 5.5 untuk kelompok II diperoleh hasil rerata sebelum senam
lansia 21,48 dengan standar deviasi 3,8, sedangkan sesudah senam lansia
menghasilkan rerata 23,44 dengan standar deviasi 3,9. Dari hasil di atas kemudian
dimasukkan data untuk melakukan uji hipotesis II dengan menggunakan uji
Wilcoxon didapatkan hasil nilai z hitung sebesar -3,886 dibandingkan dengan nilai
Z tabel = -1,64 maka nilai z hitung berada di daerah penolakan, demikian pula
nilai p = 0,000 < a (0,05). Ho ditolak dan menerima Ha, Hal ini berarti bahwa
dengan adanya senam lansia ternyata dapat meningkatkan kemampuan kognitif
kelompok lansia yang berada di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial
Propinsi Banten.
Dengan hasil ini dapat dikatakan bahwa kedua tipe pelatihan yang
diterapkan dapat meningkatkan fungsi kognitif secara bermakna. Berarti hipotesis
I yaitu Ho ditolak dan menerima Ha bahwa adanya perlakuan senam vitalisasi
otak ternyata dapat meningkatkan kemampuan kognitif lansia yang berada di Balai
Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi Banten. dan hipotesis II yaitu
Ho ditolak dan menerima Ha, Hal ini berarti bahwa dengan adanya senam lansia
ternyata dapat meningkatkan kemampuan kognitif lansia yang berada di Balai
Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial

Propinsi Banten. Peningkatan

kemampuan kognitif tersebut sesuai dengan pendapat Markam, (2006).


Salah satu upaya untuk menghambat kemunduran kognitif akibat penuaan
yaitu dengan melakukan gerakan olahraga atau latihan fisik, bahwa pelatihan yang

89

dilakukan selama 12 minggu akan memberikan efek yang cukup berarti yaitu
pemberian latihan olahraga pada usia lanjut dimulai dengan intensitas dan waktu
yang ringan kemudian meningkat secara pelahan-lahan serta tidak bersifat
kompetitif/

bertanding

serta

mempunyai

manfaat

besar

karena

dapat

meningkatkan kemampuan aerobik yaitu akan meningkatkan aliran dan volume


pasokan darah yang membawa oksigen ke organ-organ tubuh terutama ke organ
otak, karena berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10%-12% selama hidup.
Karena pertimbangan-pertimbangan diatas, pemberian dosis latihan untuk
orang tua harus lebih rendah. Program latihan dimulai dengan beban yang rendah
(ringan) misalnya untuk usia 60 tahun, beban dapat dimulai dengan 2-3 METs
(misalnya berjalan kaki 2-3 mph = 3,2- 4,8 Km/jam ) Intensitas dipertahankan
lama baru ditingkatkan misalnya 50-70% VO2 max. Smith dan Giligan
menetapkan 40-70% karena orang tua kurang cepat adaptasi dan menurun
pemulihannya terhadap reaksi luar, maka setiap perubahan harus berangsurangsur (meningkat/menurun ) jadi orang tua harus lebih lama pemanasan dan
pemulihan/ pendinginan. Lamanya minimal latihan kira-kira 30 menit. Latihanlatihan diberikan sebaiknya 3x seminggu.
Hal ini didukung oleh penelitian selama 10 tahun pada pria usia lanjut
berdasarkan data dari Finlandia, Italia dan Belanda oleh Gelder dan kawan-kawan
(2004) tentang hubungan aktifitas fisik dengan penurunan kognitif. Penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa penurunan intensitas dan durasi aktifitas akan
mempercepat proses penurunan fungsi kognitif. Tilarso( 1988 ) menyatakan
pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu adalah sesuai untuk lanjut usia dan

90

akan menghasilkan peningkatan yang berarti. mereka yang berusia lebih dari 60
tahun, selain melatih otak perlu melaksanakan olahraga secara rutin untuk
mempertahankan

kebugaran

jasmani,

memelihara

serta

mempertahankan

kesehatan di hari tua.


Manfaat

kesehatan jasmani pada lanjut usia secara fisiologi dampak

langsung dapat membantu Mengatur kadar gula darah, merangsang adrenalin dan
nor-adrenalin, Peningkatan kualitas dan kuantitas tidur. Dampak jangka panjang
dapat meningkatkan daya tahan aerobik/kardiovaskular, kekuatan otot rangka dan
kelenturan, keseimbangan dan koordinasi gerak serta kelincahan. Dampak secara
psikologis dapat membantu memberi perasaan santai, mengurangi ketegangan dan
kecemasan, meningkatkan perasaan senang. dampak jangka panjang dapat
meningkatkan kesegaran jasmani dan rohani secara utuh, kesehatan jiwa, fungsi
kognitif, penampilan dan fungsi motorik manfaat sosial dampak langsung dapat
membantu pemberdayaan lansia, peningkatan integritas sosial dan kultur. Dampak
jangka panjang dapat meningkatkan keterpaduan dan kesetiakawanan.
Selanjutnya ( Kusumoputro, 2003 ).menyatakan peningkatan potensi dan
sumber daya otak. Yang diperlukan adalah kebugaran fisik dan kebugaran otak
( brain fitness ). Orang harus mengikuti keadaan jaman, harus berpikir lebih cepat,
lebih tajam, lebih efisien, dan lebih kreatif. Orang harus belajar lebih cepat, lebih
dalam, dan lebih luas, orang tidak boleh dengan mudah mengabaikan dan
melupakan sesuatu. Orang yang tidak mengikuti upaya-upaya tersebut akan
mengalami kemunduran sumber daya otaknya dan orang tersebut akan tersisih
dari lingkungannya. Keadaan itu berlaku

pula bagi mereka yang berusia

91

setengah

baya dan

berusia lanjut

proses pelatihan yang dilakukan secara

sistematis, progresif, dan berulang-ulang akan memperbaiki sistem organ tubuh


serta daya ingat sehingga penampilan lanjut usia menjadi lebih baik Mekanisme
yang menjelaskan hubungan antara aktifitas fisik dengan fungsi kognitif yaitu
aktifitas fisik menjaga dan mengatur vaskularisasi ke otak dengan menurunkan
tekanan darah, meningkatkan kadar lipoprotein, meningkatkan produksi
endhotelial nitric oxide dan menjamin perfusi jaringan otak yang kuat,

efek

langsung terhadap otak yaitu memelihara sruktur saraf dan meningkatkan


perluasan serabut saraf, sinap-sinap dan kapilaris ( Weuve et al. 2004 ).
Pada penelitian ini uji MMSE dilakukan setiap 2 minggu untuk melihat
perkembangan nilai kognitif. Sedangkan untuk tabulasi data pada kelompok I dan
kelompok II dilakukan Pengukuran yang signifikan setiap 6 ( enam ) minggu
karena adaptasi jaringan saraf terjadi setelah 4-6 minggu.Sehingga dari hasil data
tersebut Pada kelompok 1 didapatkan hasil nilai yang termasuk kategori normal /
tidak ada gangguan sebanyak 23 orang atau 85%, gangguan kognitif ringan 3
orang atau 11,1% dan gangguan kognitif berat 1 orang atau 3,7%. Sedangkan
pada kelompok 11 yang tidak ada gangguan 13 orang atau 48,2%, gangguan
kognitif ringan 11 orang atau 40,7% dan gangguan kognitif berat sebesar 3 orang
atau 11,1%. Adapun terjadinya hubungan antara latihan fisik dengan fungsi
kognitif adalah melalui kontraksi otot yang akan memberikan pengaruh pada otak
melalui jalur muscle spindle, adanya suatu rangsangan yang terjadi pada golgi
tendon organ akan diteruskan ke central nervus system melalui jaras-jaras. Jarasjaras ini yang menerima informasi berupa sensoris dari perifer, sistem visual,

92

sistem vestibular, muskulo skletal, proprioseptik, dan lain-lain akan diproses dan
diintegrasikan pada semua tingkat sistem saraf, menurut Suhartono (2005), dalam
waktu singkat kurang lebih 150 mikro detik akan terbentuk suatu respon yang
benar dan disimpan di otak. Informasi yang diterima akan diintegrasikan di dalam
sistem sensoris integrasi di sub cortical dan disimpan oleh bagian memori yaitu
corpus amigdale diintegrasikan ke cortex cerebri centrum kognitif, supaya tidak
menjadi memori yang pendek / short term memory dilakukan secara berulangulang sehingga akan menjadi long term memory. Pada penelitian ini uji MMSE
dilakukan untuk setiap 2 minggu tetapi untuk mendapatkan data yang valid
terhadap perubahan yang terjadi sebelum diberikan perlakuan dan setelah selesei
perlakuan maka analisis data uji MMSE adalah untuk data pre test MMSE dan
post test MMSE setelah perlakuan selesei.
Ganong dikutip oleh Tirtayasa( 2001 ), menyatakan pengolahan informasi
pada sistem saraf pusat adalah memproses informasi yang masuk yang
menimbulkan respon motoris yang sesuai keperluan, kemudian sesudah informasi
yang penting diseleksi dan disalurkan kedaerah motoris yang sesuai otak sehingga
menyebabkan respon yang sesuai dengan kehendak. Sebagian besar dari
penyimpanan ini terjadi di kortex serebri tetapi tidak seluruhnya bisa didaerah
basal otak dan medula spinalis, disini menyimpan sedikit informasi, Penyimpanan
informasi proses yang disebut dengan memori.proses memori termasuk juga
fungsi sinaps (tempat terjadinya hubungan satu neuron dengan neuron lain,
peranannya sangat besar dalam mengontrol transmisi impuls ) Setiap impuls
sensoris melalui suatu rangkaian sinaps, maka masing-masing sinaps akan

93

menghantar impuls, yang disebut proses fasilitasi. Sesudah impuls melalui sinaps
berulang-ulang maka sinaps akan terfasilitasi, hal ini yang mengakibatkan
seseorang merasakan suatu persepsi.walaupun untuk menimbulkan hanyalah
berdassarkan sensasi dari memori. Sekali memori tersimpan dalam saraf, mereka
akan menjadi bagian dalam mekanisme pengolahan. Proses berfikir dalam otak
membandingkan pengalaman sensoris yang baru dengan memori yang tersimpan.
Memori akan membantu untuk memilih informasi yang baru dan penting dan
menyalurkannya kedaerah penyimpanan yang sesuai atau kehendah motoris yang
menyebabkan respon gerakan atau adanya aktifitas fisik yang dilakukan satu
minggu tiga kali dan ber ulang- ulang dengan tujuan upaya stimulasi dan
pengaktifan otak menuju peningkatan kebugaran otak atau stimulasi gerak dapat
terekam dalam otak melalui jaras proprioseptif(melatih propriosetif / rasa
sendi.Sehingga fungsi cognitif menjadi lebih baik.
Pada kelompok I terdapat peningkatan nilai MMSE yang sangat kecil yaitu
pada seorang wanita usia 60 tahun ( sampel no. 6 lampiran 12 ) hal tersebut di
karenakan responden memiliki riwayat belum pernah menikah, sekolah SR kelas
I, pekerjaan pembantu dan kegiatan sosialnya kurang yaitu lebih pendiam dan
tidak bersosialisasi, akibat hal tersebut fungsi dari kognitifnya sangat sedikit
dalam hal peningkatan. Sebaliknya ada responden yang menghasilkan nilai yang
sangat baik ( sampel no.14 lampiran 12 ) hal tersebut di karenakan responden
tersebut sangat aktif dalam lingkungan sekitar dan memiliki banyak kegiatan yang
akan menambah kemampuan kognitif responden tersebut. Otak merupakan sistem
utama dalam menyimpan memori. Semakin banyak otak digunakan dalam

94

berpikir maka semakin banyak pula impuls yang akan teraktivasi sehingga daya
ingat dari seseorang akan jauh lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak
terlalu aktif dalam berpikir.
Pada kelompok II, seorang wanita usia 70 tahun ( sampel no.19 lampiran
14 ) hal tersebut karena responden memiliki riwayat pendidikan rendah yaitu SR
kelas I, tidak menikah dan selama di BPS tidak ada kegiatan sehingga responden
sulit memahami dalam menjawab tes yang diberikan terutama dalam hal baca,
tulis, dan hitung, responden lain wanita berusia 70 tahun menunjukkan nilai
MMSE yang menurun ( sampel no.3 lampiran 14 ) ternyata yang bersangkutan
tidak sekolah, kurang termotivasi untuk mengikuti kegiatan senam, cenderung
pasif dan malas sehingga tidak berkonsentrasi sewaktu tes MMSE.
6.4 Perbedaan Pengaruh senam vitalisasi otak dan senam lansia Terhadap
fungsi kognitif
Selanjutnya Pada tabel 5.7 dilakukan uji hipotesis III perbandingan uji
analisis antara nilai MMSE senam vitalisasi otak dengan senam lansia
menggunakan uji statistik Independent Samples t-test.

Dengan menggunakan

software diperoleh hasil untuk kondisi sebelum kegiatan senam dilakukan nilai
signifikansi p=0.022 < (0,05) berarti Ho ditolak dan menerima Ha bahwa
adanya perbedaan peningkatan MMSE antara perlakuan I (senam vitalisasi otak)
dan perlakuan II (senam lansia). Sedangkan untuk kondisi setelah kegiatan senam
dilakukan diperoleh nilai signifikansi p=0.004 < (0,05) berarti Ho ditolak dan
menerima Ha, atau ada perbedaan signifikan antara peningkatan MMSE akibat
perlakuan I (senam vitalisasi otak) dibandingkan dengan perlakuan II (senam

95

lansia). Selanjutnya dari nilai selisih rata-rata nilai MMSE sebelum dan sesudah
perlakuan untuk masing-masing kelompok diperoleh nilai signifikansi p=0.000 <
(0,05) berarti Ho ditolak dan menerima Ha, atau ada perbedaan signifikan antara
selisih peningkatan MMSE akibat perlakuan I (senam vitalisasi otak) dengan
selisih peningkatan MMSE akibat perlakuan II (senam lansia). Dengan melihat
besarnya peningkatan nilai MMSE oleh senam vitalisasi otak sebesar 7,15 jauh
lebih besar dari peningkatan nilai MMSE akibat senam lansia sebesar 1,96, maka
dapat disimpulkan bahwa senam vitalisasi otak lebih baik dibandingkan dengan
senam lansia dalam meningkatkan kemampuan kognitif kelompok lansia.
Peningkatan hasil nilai kognitif pada senam vitalisasi otak tersebut sesuai
dengan pendapat Kusumoputro (2003), bahwa pelatihan yang dilakukan selama
12 minggu akan memberikan efek yang cukup berarti yaitu sebuah kenaikan
performa kognitif berupa meningkatnya kemampuan kewaspadaan, pemusatan
perhatian, daya ingat serta kemampuan eksekutif para lansia, sehingga pelatihan
ini sengaja diarahkan untuk para peserta usia lanjut yang memang pada umumnya
secara fisiologis mengalami kemunduran fungsi kognitifnya.sehingga dalam
praktek sehari-hari tentu kenaikan performa kognitif ini berguna bagi aktifitas
hidup sehari-hari, terutama untuk kualitas kehidupan lanjut. Sedangkan Markam
(2006), menyatakan, Pemeliharaan otak secara struktural memerlukan asupan
darah, oksigen dan energi yang cukup keotak hingga diharapkan struktur otak
akan terpelihara dan fungsi otak pun menjadi lebih optimal. Pemeliharaan
fungsional otak dapat dilakukan dengan proses belajar, diantaranya belajar gerak
/aktifitas fisik, belajar mengingat, belajar merasakan, belajar melihat dan lain-lain,

96

semua proses belajar akan merangsang pusat-pusat otak karena didalam otak
terdapat pusat-pusat yang mengurus berbagai fungsi tubuh, seperti gerakan, rasa
kulit, rasa sikap, berbahasa, baca, tulis, pusat penglihatan pendengaran dan lainlain sehingga makin banyak proses belajar maka makin banyak juluran sel saraf
dan sinap-sinap yang terjadi, ini berarti daya mengingat meningkat. Pada
pelatihan senam vitalisasi otak dan pelatihan senam lansia diperlukan waktu
keseluruhan 30 menit karena orang tua kurang cepat adaptasi dan menurun
pemulihannya terhadap reaksi luar, maka setiap perubahan harus berangsurangsur (meningkat/menurun ) jadi orang tua harus lebih lama pemanasan dan
pemulihan/ pendinginan. Lamanya minimal latihan kira-kira 30 menit.
Latihan vitalisasi otak merupakan penyelarasan fungsi gerak, pernapasan,
dan pusat pikir ( memori,imajinasi ), rangkaian gerakan yang terangkum tidak
hanya melibatkan gerakan otot-otot tertentu di otak ( homonculus) dengan corpus
kalosum ( gerakan menyilang ) tetapi juga melibatkan beberapa pusat yang lebih
tinggi di otak ( High cortical function ). Gerakan gerakan yang dilakukan dalam
senam/latihan vitalisasi otak merangsang kerjasama antar belahan otak dan antar
bagian-bagian otak yang diikuti dengan bertambahnya aliran darah ke dalam otak,
gerakan yang dilakukan juga lambat sehingga tidak akan membebani kerja
jantung dan dapat disesuaikan dengan pernapasan dimana dengan napas yang
lebih dalam oksigen dari udara akan terserap lebih banyak dan akan memperbaiki
fungsi otak. Latihan vitalisasi otak yaitu kegiatan yang merangsang intelektual
yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerak
badan memiliki rangkaian gerak yang diolah sedemikian rupa dengan

97

memperhatikan konsep dan kaidah anatomi dan fisiologi otak sehingga tampilan
latihan ini memiliki beberapa prinsip;lambat dan ber ulang- ulang dengan tujuan
upaya stimulasi dan pengaktifan otak menuju peningkatan kebugaran otak atau
stimulasi gerak dapat terekam dalam otak melalui jaras proprioseptif(melatih
propriosetif / rasa sendi. Markam (2006), perlakuan senam vitalisasi otak
dipimpin seorang instruktur dengan menggunakan perangkat TV, DVD dan CD
selama satu bulan supaya dapat menghafal gerakan selanjutnya dicoba dengan
panduan dari instruktur senam.Perlakuan dilakukan di Balai Perlindungan sosial
( BPS).
Berdasarkan perbedaan rerata nilai fungsi kognitif tersebut, dengan
persentase perbedaan rerata peningkatkan hasil nilai MMSE ( tabel 5.6 )
kelompok I sebesar 37,49 % dan kelompok II sebesar 9,12 %. Pelatihan yang
telah diterapkan selama 12 minggu dengan frekuensi 3 x per minggu pada kedua
kelompok perlakuan menghasilkan persentase peningkatan nilai MMSE yang
bermakna. Tabel 5.7 menunjukkan perbedaan rerata peningkatan nilai MMSE di
antara kedua kelompok diuji Independent Samples t-test

menghasilkan nilai

p=0,001 (p<0,05) dengan hasilnya menunjukkan persentase peningkatan nilai


sebelum dan sesudah pelatihan. Peningkatan rerata kelompok I

lebih besar

daripada kelompok II. Sehingga dapat dikatakan pelatihan kelompok I lebih baik
daripada kelompok II dalam meningkatkan fungsi kognitif. Dengan demikian
hipotesis III terbukti.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh kusumoputro
(2003) tentang pelatihan gerak dan latih otak dengan menghasilkan peningkatan

98

performa kognitif yang lebih baik. Penelitian pada warga usia lanjut di wilayah
DKI yang mengutamakan pada fungsi kewaspadaan, pemusatan perhatian, dan
daya ingat yang diukur dengan test kognitif yaitu nilai MMSE lebih baik
dibandingkan senam lansia yang dalam meningkatkan kognitif. Dimana pada
senam lansia hanya menfokuskan pada kekuatan tulang, melibatkan otot-otot
besar dan latihannya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk
meningkatkan koordinasi, keseimbangan dan kelentukan. ( Tilarso, 1988 ).

99

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

I. Simpulan
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa :
1. Senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu
meningkatkan kemampuan kognitif kelompok lansia di Balai
Perlindungan Sosial Propinsi Banten secara bermakna (p < 0,05)
sebesar 37,49%.
2. Senam lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu
meningkatkan kemampuan kognitif kelompok lansia di Balai
Perlindungan Sosial Propinsi Banten secara bermakna (p < 0,05)
sebesar 9,12%.
3. Senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu
lebih baik dibandingkan dengan senam lansia dalam meningkatkan
kemampuan kognitif kelompok lansia di Balai Perlindungan Sosial
Propinsi Banten secara bermakna (p < 0,05) Hal tersebut diketahui dari
selisih rerata nilai MMSE sebelum dan sesudah senam pada kedua
kelompok sebesar 5,19.

100

II. Saran
1. Kebugaran fisik terutama bagi mereka yang berusia 60 tahun perlu
dijaga dengan melakukan olah raga yang teratur karena akan dapat
berdampak positif terhadap kondisi fisik dan kemampuan kognitif.
2. Senam vitalisasi otak dan senam lansia pada lansia dapat dianjurkan
secara teratur dan terjadwal karena baru pertama kali dilakukan di
Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten
3. Bagi peneliti lain, mudah-mudahan tesis ini bermanfaat sebagai acuan
bila melakukan penelitian tentang senam vitalisasi otak atau senam
lansia

101

DAFTAR PUSTAKA

Aswin, S. 2003. Pengaruh Proses Menua Terhadap Sistem Muskuloskeletal


In W.Rochmah(ed): Naskah Lengkap Simposium Gangguan
Muskuloskeletal.Yogyakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Gajah
Mada.hal.3-4
Ayres, A.J. 1979. Sensory Integration and the Child: Western Psychological
Services.
Bandiah, S. 2009. Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Mulia
Medika
Barnes,L.K.,Leon,M.D.,Wilson R.S., Bienias,J.L and Evans,D.A.2004. Social
recourses and cognitive decline in a population of older Africans and
whites.Journal of Neurology,63(12):2322-2326
Biro Pusat Statistik. 1990. Statistical Yearbook 1990.
Burns, M. S. 1985. Treatment of Communication Problems in right Hemisphere
Damage.Maryland: Aspen System Corporation
Central Bureau of Statistics (Indonesia). 1992. Population Of Indonesia, Result Of
The 1990 Population Census. Biro Pusat Statistik. In H. Hadi Martomo
dan Kris Pranarka (eds.): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 3.
Cumming, J. L., D.F.Benson. 1992. Dementia A Clinical Approach.2nd
Ed.Butterworth-Heinemann. USA. In: Berkala NeuroSains Vol. 1 No. 1.
pp. 11-15.
Constantinides P. 1994. In General Pathobiology, Appleton &
Lange.Connecticut.In: H. Hadi Martomo dan Kris Pranarka (eds.): Buku
Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
pp. 3.
Dahlan, P. 1999. Definisi dan diagnosis banding sindroma demensia. Berkala
Neuro Sains, 1(1):39-43.
Darmojo, B. 1979. Masa Depan Geriatri di Indonesia.Acta Medica Indonesia
X,84-104 ( Simposium Geriatri ke-2,Jakarta).In:H.Hadi Martono dan Kris
Pranarka (eds): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi
4.jakarta:Balai Penerbit FKUI,pp.14.

102

Darmojo, B. 2009. Teori Proses Menua.In: H.Hadi Martono dan Kris Pranarka
(eds): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4.Jakarta:Balai
Penerbit FKUI,pp.3.
Darmojo, Martono. 2000. Mild Cognitive Impairment (MCI) gangguan kognitif
ringan. Berkala Neuro sains, 1(1):11-15
Ellis, H.C, Hunt, R. R. 1993. Fundamental of cognitive psychology. 5 th ed.United
States: Wm. C. Brown Communications, Inc.
Ganong, W. F. 1999. Fisiologi Kedokteran edisi 17. Dr. M. Djauhari
Widjajakusumah ( Editor bahasa Indonesia ). Penerbit buku kedokteran
EGC.
Gelder, B. M. et al .2004. Physical activity in relation to cognitif decline
elderly men.Neurology;63:2316-2321

in

Gelder, B. M., Tijhuis, M., Kalmijn, S., Giampaoli, S., Nissinen, A, Kromhout.
2006. Marital status and living situation during a 5-tahun period are
associated with a subsequent 10-tahun cognitive decline in older men: The
FINE Study. The Journal or Gerontology Series, 61:213-219.
Hardywinoto, Setiabudhi, T. 1999. Panduan Gerontology Tinjauan Dari Berbagai
Aspek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Harrington, F., Saxby, B., McKeith, I., Wesnes, K, Ford, A . 2000. Cognitive
performance in hypertensive and normotensive older subjects.
Hypertension, 36:1079-1082.
Hurlock, E. B. 1996 Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan, Edisi kelima. Maxsijabat, R.ed ; Jakarta.
Katzman, R., Rowe, J. W. 1992. Principles of Geriatric Neurology. Philadelphia:
FA Davis Company.
Kinsella K., Taeuber. 1993. An Aging World II, US Bureau of the Census,
International Population Report. In: H. Hadi Martomo dan Kris Pranarka
(eds.): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, pp. 3.
Kurlowicz L., Wallace M. 1999. The Mini Mental State Examination. Journal
geriatric nursing, 3(1):10-11.
Kusmana, D. 1992. Olahraga pada usia lanjut. Simposium Menuju Hidup Sehat
pada Usia Lanjut. Bogor 7 November.

103

Kusumoputro, S., Sidiarto, L. D., Sarmino, Munir, R., Nugroho, W. 2003. Kiat
Panjang Umur dengan Gerak dan Latih Otak, Jakarta: UI Press.
Lumbantobing, S. M. 2006. Kecerdasan pada usia lanjut dan demensia. Edisi 4.
Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Markam, S., Mayza, A., Pujiastuti, H., Erdat, M. S., Suwardhana, Solichien, A.
2006. Latihan Vitalisasi Otak. Jakarta: Grasindo.
Martono, H., Pranaka, K. 2009. Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ). Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Matthews, M., Williams H. 2004. Improvement in physical activity and cognitive
performance after a 10-week program in Tai Chi exercise. The
Gerontologist,.44 (1), 507
Miller, C. A. 2004. Nursing for wellness in older adult, Theory & Practice.
Philadelphia: JB.Lippincort.CO.
Nala, N. 1992. Kumpulan Tulisan Olahraga. Denpasar: Komite Olahraga
Nasional Indonesia Daerah Bali.
Oen L. H. 1993. Dasar Biomolekuler Proses Menua, Pidato Pengukuhan Guru
Besar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. In: H. Hadi
Martomo dan Kris Pranarka (eds.): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI
Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 9.
Poccok, S.J. 2008. Clinical Trials A Practical Approach. New York: A Willey
Medical Publication.
Petersen, R. C., Smith, M. D., Kokmen, E., Ivnik, R. J., Tangalos, E. G., 1992.
Memory Function In Normal Aging. Neurology. 42: 396-401. In: Berkala
NeuroSains Vol. 1 No. 1. pp. 11-15.
Psikologi Lansia, 2009. [ Cited 2009 December, 11 ] Available from: URL.
http://belajarpsikologi.com/psikologi-lansia
Pujiastuti, S. S., Utomo. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC.
Ramdhani, N. 2008. Sikap dan beberapa definisi untuk memahaminya. [ Cited
2010 Juli, 29 ] Available from:
URLhttp:/www.neila.staff.ugm.ac.id/wodrpress/2008/denifisi.
Saladin, K . 2007. Anatomy and physiology the unity of form and function. 4th ed.
New York: McGraw-Hill Companies inc:513-561.

104

Setyopranoto, I., Lamsudin, R, Dahlan, P. 2000. Peranan stroke iskhemik akut


terhadap timbulnya gangguan fungsi kognitif di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta. Berkala Neuro Sains, 2(1):227-234.
Sidiarto, L. D., Kusumoputro, S. Mild Cognitive Impairment (MCI) Gangguan
Kognitif Ringan. Berkala NeuroSains Vol.1.No.1,Oktober 1999.
Springer, Deutsch. 1981. Left Brain, Right Brain. San Francisco: W.H Freeman
and Company.
Strub, R. L., Black, W. 1992. Neurobehavioral disorders, A clinical approach.
Philadelphia: F.A.Davis Company.
Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian.Bandung: CV Alfabeta
Suhana N. 1994. Teori-Teori Tentang Proses Menua Ditinjau Dari Aspek Biologi
Dan Usaha-Usaha Penanggulangannya, Dalam Simposium Nasional
Gerontologi-Geriatri. Dewan Riset Nasional, Ed. Boedhi-Darmojo dkk,
16-39. In: H. Hadi Martomo dan Kris Pranarka (eds.): Buku Ajar BoedhiDarmojo GERIATRI Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 5.
Suhartono. 2005. Faktor-faktor Keseimbangan Pada Manusia Dan respon Umpan
Balik Sensori Integrasi. Jakarta : Unit Press
Sulianti, A. t.t. Pemanfaatan Momen 17-Agustusan Sebagai Sarana Latihan
Olahraga Rekreasi Terapeutik Untuk Lansia.Available from: URL:
http:/www.koni.or.id/files/documents/journal/2
Sunarto,2009.Himpunam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia
: Ikatan fisioterapi Indonesia.
Takemi,T. 1977. Aging of Population in Asia & Oceania and how the Physician is
to cope with this. Asian Med J
Tilarso, H. 1988. Latihan Fisik dan Usia Tua. Majalah Cermin Dunia Kedokteran
No.48
Tucker, J. S., Orlando, M., Elliott, M. N and Klein, D. J .2006. Affective and
behavioural responses to health-related social control. Health Psychology,
25(6):715-722.
Turana,Y., Mayza, A., Lumempouw, S. F. 2004. Pemeriksaan Status Mental
Mini pada Usia Lanjut di Jakarta, Medika.Vol.XXX, September, hal.
563.

105

Weuve, J., Kang, J. H., Manson, J. E., Breteler, M. B., Ware, J. H and Grodstein,
F.2004. Physical activity, including walking and cognitive function in
older women. JAMA, 292(12):1454-1461
Whitehead, J. B. 1995. Exercise in ederly. In Reichel, W (ed) Care of the ederly,
clinical aspects of aging, William and Wilkins.
WHO. 1989. Health of the Ederly. Geneva: WHO.
Williamson, J. 1985. Preventive aspects of Geriatric medicine. In Patty, JS (ed)
Principles and Practice of Geriatric Medicine, John Wilwy and Sons,
Chichester-New York.
Zunzunegui, M. V., Alvarado, B. E., Del Ser, T, Otero, A . 2003. Social network,
special integration and social engagement determine cognitive decline in
community-dwellir,;g Spanish older adults. The Journal of Gerontology
Series, 58:33-100.

106

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai