Unud 680 Tesisfinalhjstrohanaoke
Unud 680 Tesisfinalhjstrohanaoke
PENDAHULUAN
menua bukan suatu penyakit tetapi merupakan proses menurunnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan internal dan eksternal tubuh ( Miller, 2004).
Pada umumnya warga lanjut usia dapat digolongkan menjadi kondisi menua
optimal ( optimal aging ) dan menua abnormal atau patologis (pathological
aging). Para pakar otak ( neuroscientist ) cenderung untuk lebih memperhatikan
dan mengkaji mereka yang dalam keadaan menua patologis yaitu dalam keadaan
abnormal, tidak sehat, dan berpenyakit. Padahal jumlahnya hanya 6-15 persen,
sisanya yang berjumlah 85-94 persen dari populasi lanjut usia yang dalam
keadaan sehat tidak cocok apabila dibandingkan dengan kondisi mereka yang
berkelainan, berpenyakit, dan mengalami kemunduran sumber daya otak atau
brain power ( Kusumoputro, 2003 ).
Pada tahun 1989, mantan Presiden Amerika Serikat George Bush
mencanangkan tahun 1990-an sebagai Decade of the Brain , kini setelah tahun
1990-an, penekanan dekade tersebut adalah pada proses informasi yang cepat
sebagai pola hidup dan bisnis. Dalam lingkungan yang penuh data informasi ini
orang membutuhkan peningkatan potensi dan sumber daya otak. Yang diperlukan
adalah kebugaran fisik dan kebugaran otak ( brain fitness ). Orang harus
mengikuti keadaan jaman, harus berpikir lebih cepat, lebih tajam, lebih efisien,
dan lebih kreatif. Orang harus belajar lebih cepat, lebih dalam, dan lebih luas,
orang tidak boleh dengan mudah mengabaikan dan melupakan sesuatu. Orang
yang tidak mengikuti upaya-upaya tersebut akan mengalami kemunduran sumber
daya otaknya dan orang tersebut akan tersisih dari lingkungannya. Keadaan itu
berlaku pula bagi mereka yang berusia setengah baya dan berusia lanjut
( Kusumoputro, 2003 ).
Kini setelah Indonesia mengalami era pembangunan terutama setelah
dilaksanakannya program peningkatan kegiatan dalam bidang kesehatan, keluarga
berencana, kebersihan lingkungan,
penurunan fungsi belahan kanan otak yang berlangsungnya lebih cepat daripada
yang kiri. Tidak heran bila pada para lansia terjadi penurunan berupa kemunduran
daya ingat visual (misalnya, mudah lupa wajah orang), sulit berkonsentrasi, cepat
beralih perhatian. Juga terjadi kelambanan pada tugas motorik sederhana seperti
berlari, mengetuk jari, kelambanan dalam persepsi sensoris serta dalam reaksi
tugas kompleks. Sifat gangguan ini sangat individual, tidak sama tingkatnya satu
orang dengan orang lain. Kemunduran yang paling dominan ditemui adalah
menurunnya kemampuan memori atau daya ingat ( Sulianti, 2000).
Namun, kebanyakan proses lanjut usia ini masih dalam batas-batas normal
berkat proses plastisitas. Proses ini adalah kemampuan sebuah struktur dan fungsi
otak yang terkait untuk tetap berkembang karena stimulasi. Sebab itu, agar tidak
cepat mundur proses plastisitas ini harus terus dipertahankan ( Kusumoputro,
2003 ).
Stimulasi untuk meningkatkan kemampuan belahan kanan perlu diberikan
porsi yang memadai, berupa latihan atau permainan yang prosedurnya
membutuhkan konsentrasi atau atensi, orientasi (tempat, waktu, dan situasi) dan
memori.
Usia bertambah tingkat kesegaran jasmani akan turun. Penurunan
kemampuan akan semakin terlihat setelah umur 40 tahun, sehingga saat usia lanjut
kemampuan akan turun antara 30-50%,( Kusmana, 1992 ).Oleh karena itu, bila
para usia lanjut ingin berolahraga atau meningkatkan kebugaran fisiknya harus
memilih jenis kegiatan olahraga yang sesuai dengan umurnya, dan kemungkinan
adanya suatu penyakit seperti aterosklerosis, arthritis dan osteoporosis dan
penyakit degeneratif lainnya.
Pemberian latihan olahraga pada usia lanjut dimulai dengan intensitas dan
waktu yang ringan kemudian meningkat secara pelahan-lahan serta tidak bersifat
kompetitif/ bertanding. Latihan olahraga bagi manula mempunyai manfaat besar
karena dapat meningkatkan kemampuan aerobik yaitu akan meningkatkan aliran
dan volume pasokan darah yang membawa oksigen ke organ-organ tubuh
terutama ke organ otak. Hal ini didukung oleh penelitian selama 10 tahun pada
pria usia lanjut berdasarkan data dari Finlandia, Italia dan Belanda oleh B. M. van
Gelder dan kawan-kawan (2004) tentang hubungan aktifitas fisik dengan
penurunan kognitif. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penurunan
intensitas dan durasi aktifitas akan mempercepat proses penurunan fungsi kognitif.
Potensi kerja otak selain dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
kebugaran fisik secara umum juga dapat dilakukan dengan pelatihan otak yang
bermanfaat untuk mempertahankan kekuatan otak agar kemampuannya tidak
menurun dengan merangsang otak setiap harinya sehingga diharapkan dapat
mempertahankan bahkan meningkatkan kemampuan fungsi kognitifnya.
Penelitian selama 1 (satu) tahun tentang kaitan latihan fisik terhadap fungsi
kognitif pada kelompok usia beresiko (70-89 tahun) oleh Williamson dan kawankawan (2008) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai
kognitif yang berasosiasi dengan peningkatan fungsi fisik. Secara spesifik,
penelitian Matthews dan kawan-kawan (2004) dengan latihan Tai Chi pada usia
68-84 tahun (mean rerata 76,6) menunjukan adanya hubungan yang positif.
Sebagai salah satu profesi kesehatan, fisioterapi mempunyai peranan penting
dalam penanganan peningkatan kualitas hidup pada lansia. Seperti yang
dicantumkan dalam Kepmenkes No.1363/Menkes/SK/XII/2001 pasal 1 ayat 2:
Bahwa Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan
gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan
penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis
dan mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi.
bentuk
permainan-permainan
untuk
meningkatkan
koordinasi,
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan
mengkaji lebih dalam melalui penelitian dan dipaparkan dalam tesis dengan judul
Senam Vitalisasi Otak Lebih Meningkatkan Fungsi Kognitif Kelompok Lansia
daripada Senam Lansia di Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang seperti di atas, maka peneliti merumuskan
masalah yang diteliti adalah :
1. Apakah senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas
minggu dapat meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia di balai
perlindungan sosial propinsi Banten ?
2. Apakah senam lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu dapat
meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia di balai perlindungan
sosial propinsi Banten ?
3. Apakah senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas
minggu lebih meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia daripada
senam lansia di balai perlindungan sosial propinsi Banten ?
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
Tujuan umum:
Mendapatkan tipe pelatihan senam vitalisasi otak yang lebih baik
dalam meningkatkan fungsi kognitif pada kelompok lansia.
Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui peningkatan fungsi kognitif dengan senam
vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu pada
kelompok lansia di balai perlindungan sosial propinsi Banten.
2) Untuk mengetahui peningkatan fungsi kognitif dengan senam
lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu pada kelompok
lansia di balai perlindungan sosial propinsi Banten.
3) Untuk mengetahui bahwa pelatihan senam vitalisasi otak tiga kali
seminggu selama dua belas minggu lebih baik daripada pelatihan
senam lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu dalam
meningkatkan
fungsi
kognitif
kelompok
lansia
di
balai
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Gerontologi
Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses ketuaan dan kaitannya,
berasal dari kata "Geras" dari bahasa yunani berarti umur tua dan "Logos"
pelajaran atau penjelasan tentang sesuatu. Istilah gerontologi mempunyai arti luas
karena menyangkut aspek-aspek psikologi, sosio ekonomi, fisiologi Khusus untuk
gerontologi yang menyangkut aspek kesehatan disebut geriatrik yang mempelajari
aspek-aspek medis dalam kehidupan tua. Geriatrik mendalami sebab-sebab dan
upaya perbaikan dari perubahan patologi faali pada orang-orang yang berumur
lanjut.
Dalam Simposium Geriatri (1978) di Jakarta telah diformulasikan mengenai
tujuan gerontologi/geriatri di Indonesia yaitu Mengadakan upaya dan tindakantindakan sehingga orang-orang usia lanjut selama mungkin tetap dalam keadaan
sehat, baik fisik, mental dan sosial sehingga masih berguna bagi masyarakat,
setidak-tidaknya sedikit mungkin merupakan beban bagi masyarakat Indonesia
( Darmojo, 1979 ). Pendapat ini di tunjang oleh Takemi (1977) Healthy aging
artinya menjadi tua dalam keadaan sehat yang pertama kali menyatakan
Gerontology is concend primarily with problem of healthy aging rather than the
preven tion of aging disini hanyalah mencegah agar proses menua tadi tidak
disertai dengan patologik sehingga timbullah model pencapaian healthy aging
11
yang dipengaruhi oleh faktor endogen ( kearah proses menuanya organ tubuh )
dan eksogen ( gaya hidup dan lingkungan ).
Secara pasti seseorang yang memasuki masa umur lanjut akan mengalami
kemunduran kemampuan fisik hal ini mempengaruhi kemampuan bergaul dengan
masyarakat luas dan perhatian masyarakat lingkungan dekatnyapun makin lama
makin turun maka pengaruh terhadap pribadinya makin kompleks.
Adapula golongan masyarakat di negara maju yang masih memperhatikan
penambahan pengetahuan pada golongan orang-orang yang berumur, golongan
orang-orang yang berumur masih mempunyai keinginan untuk mendalami dan
mempelajari sesuatu yang sesuai dengan pengalaman waktu muda. Sehingga
bermanfaat hingga timbul kegairahan mengisi sisa kehidupannya. Bagian dari
gerontologi ini disebut gerontologi pendidikan (educational gerontology) dengan
demikian mental dan sosial telah dipersiapkan menempuh masa pensiun.
2.2 Definisi proses penuaan
Penuaan ( = menjadi tua=aging ) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri
dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Constantinides, 1994). Definisi lain menyatakan bahwa penuaan adalah
suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus-menerus, dan
berkesinambungan.
Selanjutnya
akan menyebabkan
perubahan anatomis,
fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan memengaruhi fungsi dan
kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2002).
12
Menurut Prof Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohamad Guru Besar pada
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada membagi perkembangan
manusia sebagai berikut 0-1 tahun masa bayi, 1-6 tahun masa prasekolah,
6-10 tahun masa sekolah, 10-20 tahun masa pubertas, 40-65 tahun masa
setengah umur/prasenium dan 65 tahun ke atas masa lanjut usia/ senium
( Bandiah S, 2009 ).
13
Dalam penelitian ini batasan usia lanjut yang dipakai sebagai subyek
penelitian adalah usia 60 - 74 tahun yang disebut lansia ( ederly )
2.4 Teori terjadinya proses penuaan
Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan strktural dan
fisiologis, begitu pula organ otak. Dalam hal perubahan fisiologis sampai
patologis telah dikenal tingkatan proses menua yang menggunakan istilah
senescence, senility dan demensia. Senescence menandakan perubahan penuaan
normal dan senility menandakan penuaan yang abnormal, tetapi batasnya masih
tidak jelas. Senility juga dipakai sebagai indikasi gangguan mental yang ringan
pada usia lanjut yang tidak mengalami demensia (Cummings, Benson, 1992).
Proses untuk menjadi tua ini memang sudah dimulai sebelum suatu
kelahiran terjadi, selama manusia hidup, akan terjadi suatu perubahan fungsi dan
struktur sel tubuh manusia. maturitas akan terjadi pada sekitar usia 20 atau 25
tahun. pertumbuhan akan berhenti, dan proses ketuaan akan mulai nampak usia 30
tahun ( Aswin, 2003 ) Proses ketuaan ditandai oleh menurunnya kemampuan
tubuh untuk beradaptasi atau pulih dari suatu rangsangan. Begitu pula orang tua
akan berkurang kemampuannya dalam melaksanakan kegiatan fisik.
Penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Bila seseorang
mengalami penuaan fisiologis (fisiological aging), maka mereka tua dalam
keadaan sehat (healthy aging). Penuaan dibagi menjadi 2, yaitu (1) penuaan sesuai
kronologis usia (penuaan primer) yang dipengaruhi oleh faktor endogen, dimana
perubahan dimulai dari sel, jaringan, organ dan sistem pada tubuh, (2) penuaan
sekunder yang dipengaruhi oleh faktor eksogen, yaitu lingkungan, sosial budaya/
14
gaya hidup dan lingkungan. Faktor eksogen dapat juga mempengaruhi faktor
endogen, sehingga dikenal faktor resiko. Faktor resiko
tersebut yang
15
Gambar 2.2. Hubungan antara faktor resiko dengan penyakit degeneratif pada
para lanjut usia
Sumber: Darmojo,2009
16
Teori genetik
Teori genetik adalah menua telah terprogram secara genetik untuk spesies
tertentu, menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram
oleh molekul-molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami
mutasi suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi, jam ini akan
menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar. Jadi
menurut konsep ini bila jam itu berhenti akan meninggal dunia meskipun tanpa
disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit ( Darmojo, Martono,2000).
2.4.2
17
Salah satu hipotesis yang yang berhubungan dengan mutasi sel somatik
adalah hipotesis Error Castastrophe. Menurut teori tersebut menua diakibatkan
oleh menumpuknya berbagai macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia.
Akibat kesalahan tersebut akan berakibat kesalahan metabolisme yang dapat
mengakibatkan kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan (Martono, 2000 ).
2.4.3
inilah
yang
menjadi
dasar
terjadinya
peristiwa
autonium
(Darmojo,2000).
2.4.4. Teori metabolisme
Teori metabolisme dikatakan bahwa pengurangan asupan kalori pada
rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur.
18
bebas, dan didalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan
didalam rantai pernapasan mitokondria (Oen, 1993). Radikal bebas bersifat
merusak karena sangat reaktif sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein,
asam lemak tak jenuh, seperti dalam membrane sel dan dengan gugus SH.
Walaupun ada system penangkal namun sebagian radikal bebas tetap lolos,
bahkan makin lanjut usia makin banyak radikal bebas yang terbentuk sehingga
proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan organela sel makin lama makin
banyak dan akhirnya sel mati (Oen, 1993).Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak
dapat regenerasi
Dari penyebabpenyebab terjadinya proses menua tersebut ada beberapa
peluang untuk memungkinkan kita dapat mengintervensi, supaya proses menua
dapat diperlambat, pertama yang paling banyak kemungkinannya ialah radikal
bebas, kedua sistem imun tubuh, ketiga melalui metabolisme/ makanan dan
aktifitas fisik.
19
dengan
sendirinya
menyebabkan terjadinya
menyebabkan
terjadinya
demensia.
Penuaan
pusat.
Penurunan anatomik dan fisiologik dapat meliputi;
a. Sistem saraf pusat ( otak ) dan saraf otak
Berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10%-12% selama hidup,
perbandingan substansi kelabu : substansi putih pada umur 20 = 1,28 : 1,
pada umur 50 = 1,13 : 1 dan pada umur 100 = 1,55:1 ( Tilarso,1988 ).
Disamping itu meningen menebal, giri dan sulci otak berkurang
kedalamannya, kelainan ini tidak menyebabkan gangguan patologi yang
20
21
22
e. Sistem ekskresi
Berat ginjal pada usia 60 tahun = 250 gr, umur 70 tahun = 230 gr, umur
80 tahun = 190 gr sedangkan jumlah glomeruli per ginjal pada kelahiran
sampai 40 tahun 500.000 1.000.000, pada dekade 7 kurang dari 1/3-1/2
( Tilarso, 1988 ).
Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan yaitu terjadi penebalan
kapsula Bouwman dan gangguan permeabilitas terhadap zat yang akan
difiltrasi, nefron secara keseluruhan mengalami penurunan dan mulai
terlihat atropi, aliran darah di ginjal pada usia 75 tahun tinggal sekitar
50% dibanding usia muda tetapi fungsi ginjal dalam keadaan istirahat
tidak terlihat menurun, barulah apabila terjadi stress fisik ginjal tidak
dapat mengatasi peningkatan kebutuhan tersebut dan mudah terjadi
gagal ginjal ( Martono, 2009 ).
f. Sistem musculoskeletal
Menurut Tilarso ( 1988 ), jumlah sel-sel lurik akan turun 50% pada usia
\80 tahun, berat otot lurik pada 21 tahun = 45% dari berat badan dan
pada 70 tahun = 27% dari berat badan sedangkan pada tulang kecepatan
kehilangan massa tulang/decade pria 3% dan wanita 8%, rata-rata
kehilangan tinggi pada umur 65-74 = 1,5 inch ( 3,7 cm ), umur 85-94 = 3
inch ( 7,5 cm ).
Otot-otot mengalami atrofi disamping sebagai akibat berkurangnya
aktifitas juga akibat gangguan metabolic atau denervasi syaraf, hal ini
dapat diatasi dengan memperbaiki pola hidup ( olahraga atau aktifitas
23
24
25
26
Pengaruh
dari
zat-zat
pengawet
makanan,
zat-zat
ini
sifatnya
27
2.6 Kognitif
2.6.1 Definisi kognitif
Kognitif adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan
dari proses berfikir. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan
memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisa, memahami,
menilai, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa
diartikan sebagai kecerdasan atau intelegensi ( Ramdhani. 2008 ).
2.6.2
perhatian persepsi, proses berpikir, pengetahuan dan memori. Sebanyak 75% dari
bagian otak besar merupakan area kognitif (Saladin, 2007). Kemampuan kognitif
seseorang berbeda dengan orang lain, dari hasil penelitian diketahuai bahwa
kemunduran sub sistem yang membangun proses memori dan belajar mengalami
tingkat kemunduran yang tidak sama. Memori merupakan proses yang rumit
karena menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang (Lumbantobing, 2006).
Prevalensi gangguan kognitif termasuk demensia meningkat sejalan
bertambahnya usia, kurang dari 3% terjadi pada kelompok usia 65-75 tahun dan
lebih dari 25% terjadi pada kelompok usia 85 tahun ke atas (WHO, 1998).
Proses penerimaan informasi diawali dengan diterimanya informasi melalui
penglihatan (visual input) atau pendengarannya (auditory input) kemudian
diteruskan oleh sensory register yang dipengaruhi oleh perhatian (attention), ini
merupakan bagian dari proses input. Setelah itu informasi akan diterima dan
masuk dalam ingatan jangka pendek (short term memory), bila menarik perhatian
28
dan minat maka akan disimpan dalam ingatan jangka panjang (long term
memory). Bila sewaktu-waktu diperlukan memori ini akan dipanggil kembali
(Ellis, 1993).
Diantara fungsi otak yang menurun secara linier ( seiring ) dengan
bertambahnya usia adalah fungsi memori (daya ingat) berupa kemunduran dalam
kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang
telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from
memory). Penurunan fungsi memori secara linier itu terjadi pada kemampuan
kognitif dan tidak mempengaruhi rentang hidup
Black,1992).
Perubahan atau gangguan memori pada penuaan otak hanya terjadi pada
aspek tertentu, sebagai contoh, memori primer (memori jangka pendek/
Short
mengalami penurunan
bermakna
pada
29
juga
telah
berhasil
melakukan
penelitian
longitudinal
30
oleh jumlah sel otak yang dimiliki, kecerdasan seseorang juga ditentukan oleh
seberapa banyak koneksi yang biasanya terjadi diantara masing-masing sel otak
(neuron) kemungkinan koneksi yang dapat terjadi antara setiap sel otak mulai dari
1 hingga 20.000 koneksi inilah yang sebenarnya menentukan kecerdasan
seseorang, bagaimana cara kita untuk menambah jumlah koneksi antar sel otak
dengan cara menggunakan dan melatih otak sesering mungkin. Semakin sering
otak digunakan dan dilatih, semakin banyak koneksi yang terjadi.
Seiring dengan penambahan usia, manusia akan mengalami kemunduran
intelektual secara fisiologis, kemunduran dapat berupa mudah lupa sampai pada
kemunduran berupa kepikunan (demensia). Kenyataan menunjukkan bahwa otak
menua mengalami kemunduran dalam kemampuan daya ingat dan kemunduran
dalam fungsi belahan otak kanan yang terutama memantau kewaspadaan,
konsentrasi dan perhatian.
Otak manusia bukan terdiri dari gumpalan protein utuh, tetapi terdiri dari
berbagai bagian yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu, otak terdiri dari
otak besar (serebrum) dengan dua belahan (hemisfer) otak kanan dan kiri yang
masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda bahkan bertentangan satu dengan
yang lain, batang otak (brain stem) dan otak kecil (serebelum). Otak besar diliputi
pada permukaannya oleh kulit otak (kortek serebri) yang dikenal sebagai
thinking cup atau kopiah pintar karena memang di tempat itulah tersimpan
kemampuan intelektual manusia.
Otak terbagi dalam bagian-bagian yang disebut lobus dan mempunyai
fungsi-fungsi tertentu. Fungsi pancaindra seperti pusat penglihatan terletak di
31
intergrasi
antara
sensori
auditoris
(pendengaran),
visual
32
33
34
jumlah sel-sel otak berkurang setiap hari dengan beberapa puluh ribu sehari, tetapi
pengurangan ini tidak bermakna bila dibandingkan jumlah sel yang masih ada
sebagai cadangan. Ditambah lagi bukti-bukti penelitian yang menunjukkan bahwa
pada stimulasi lingkungan yang kaya (enriched environment), jaringan antarsel
dalam permukaan otak (corteks serebri) bertambah terus jumlahnya sehingga
dampaknya sumber daya otak dan kemampuan kognitif usia lanjut dapat terus
berkembang.
Proses menua sehat (normal aging) secara fisiologi juga terjadi kemunduran
beberapa aspek kognitif seperti kemunduran daya ingat (memori) terutama
memori kerja (working memory) yang amat berperan dalam aktifitas hidup seharihari, hal ini menjelaskan mengapa pada sebagian lanjut usia menjadi pelupa.
Selain itu fungsi belahan otak sisi kanan (right brain) sebagai pusat
intelegensi dasar akan mengalami kemunduran lebih cepat daripada belahan otak
sisi kiri (left brain) sebagai pusat inteligensi kristal yang memantau pengetahuan.
Dampak dari kemunduran belahan otak sisi kanan pada lanjut usia antara lain
adalah kemunduran fungsi kewaspadaan dan perhatian (Katzman, 1992).
35
Tabel 2.1
Kemampuan hemisfer kanan dan kiri (Burns,1985 )
Kemampuan hemisfer kanan
-
Komunikasi nonverbal,
pragmatik
Visual, imajinatif
Pengenalan wajah
Konfigurasi eksternal
Susunan Spasial
Holistik-intuitif
Paralel
Difus
Persamaan
Tidak bergantung waktu
Spasial, global
Pola piker divergen
Komunikasi verbal,
linguistic
Simbolik, proporsional
Praksis
Rincian internal
Proses aritmatik
Logis-analitis
Serial
Fokus
Perbedaan
Bergantung waktu
Segmental
Pola piker konvergen
36
37
rendahnya skor MMSE terlihat pada tabel 2.2. Terdapatnya masalah fisik murni
jelas
dapat
mengganggu
interpretasi,
misalnya
ketulian,
kebutaan dan
sesuai dengan
bahwa
stimulus
eksternal
yang
berkesinambungan
akan
38
39
40
41
dan kegairahan hidup, (5) Meningkatkan kontrol berat badan dan makanan, (6)
Meningkatkan relaksasi, (7) Meningkatkan kegairahan seksual.
Beberapa pertimbangan dalam memberikan latihan untuk usia lanjut
adalah menurunnya kapasitas kardiovaskuler, Menurunnya kemampuan kerja
pada intensitas tinggi dan sedang, Menurunnya kemampuan adaptasi terhadap
rangsangan-rangsangan luar (panas, dingin,latihan fisik ), Otot lemah dan lebih
cepat lelah, tulang dan tendo degenerasi, gangguan koordinasi neuromuskuler dan
keseimbangan, menurunnya penglihatan dan pandangan
Karena pertimbangan-pertimbangan diatas, pemberian dosis latihan untuk
orang tua harus lebih rendah. Program latihan dimulai dengan beban yang rendah
(ringan) misalnya untuk usia 60 tahun, beban dapat dimulai dengan 2-3 METs
(misalnya berjalan kaki 2-3 mph = 3,2- 4,8 Km/jam ) Intensitas dipertahankan
lama baru ditingkatkan misalnya 50-70% VO2 max. Smith dan Giligan
menetapkan 40-70% karena orang tua kurang cepat adaptasi dan menurun
pemulihannya terhadap reaksi luar, maka setiap perubahan harus berangsurangsur (meningkat/menurun ) jadi orang tua harus lebih lama pemanasan dan
pemulihan/ pendinginan. Lamanya minimal latihan kira-kira 30 menit. Latihanlatihan diberikan sebaiknya 3x seminggu.
Macamnya latihan yang diberikan umumnya bersifat lama dan melibatkan
otot besar tubuh dan latihan ditambah beberapa bentuk permainan-permainan
untuk meningkatkan koordinasi, keseimbangan dan kelenturan tubuh .
42
Orang tua berlatih tidak untuk menjadi atlet yang dipentingkan adalah
peningkatan/perbaikan secara faali dan psikologis. Hal ini dapat dicapai dengan
latihan yang sistimatis,progresif dan mempertimbangkan faktor lain.
Bagi mereka yang berusia lebih dari 60 tahun, selain melatih otak perlu
melaksanakan olahraga secara rutin untuk mempertahankan kebugaran jasmani,
memelihara serta mempertahankan kesehatan di hari tua.
Untuk memperoleh kesegaran jasmani yang baik, harus melatih semua
komponen dasar kesegaran jasmani yang terdiri atas (1) ketahanan jantung,
peredaran darah dan pernapasan, (2) ketahanan otot, (3) kekuatan otot serta
kelenturan tubuh. Manfaat kesegaran jasmani dapat dirasakan secara fisiologis,
psikologis dan sosial.
2.11.2 Manfaat kesehatan jasmani pada lanjut usia
2.11.2.1 Manfaat fisiologi
Dampak langsung dapat membantu Mengatur kadar gula darah,
merangsang adrenalin dan noradrenalin, Peningkatan kualitas dan kuantitas tidur.
Dampak jangka panjang dapat meningkatkan daya tahan aerobik/kardiovaskular,
kekuatan otot rangka dan kelenturan, keseimbangan dan koordinasi gerak serta
kelincahan
2.11.2.2 Manfaat psikologis
Dampak langsung dapat membantu memberi perasaan santai, mengurangi
ketegangan dan kecemasan, meningkatkan perasaan senang. Dampak jangka
panjang dapat meningkatkan kesegaran jasmani dan rohani secara utuh, kesehatan
jiwa, fungsi kognitif, penampilan dan fungsi motorik.
43
44
Pujiastuti ahli fisioterapi yang gerakan-gerakannya didasari oleh gerakan silat dan
tarian di Indonesia, senam ini disusun terutama untuk para usia lanjut, oleh karena
itu gerakannya lambat disesuaikan dengan irama pernapasan sehingga tidak
meningkatkan frekuensi jantung dan tekanan darah, senam ini juga dapat
dilakukan oleh semua orang yang lebih muda.
Latihan vitalisasi otak merupakan produk latihan kebugaran fisik yang
mengkhususkan diri pada upaya mempertahankan kebugaran otak manusia,
latihan ini merupakan penyelarasan fungsi gerak, pernapasan, dan pusat berpikir
(memori, imajinasi). Rangkaian gerakan yang terangkum dalam latihan vitalisasi
otak tidak hanya melibatkan pusat-pusat gerakan otot-otot tertentu di otak dengan
korpus kalosum tetapi juga melibatkan beberapa pusat yang lebih tinggi di otak.
Gerakan-gerakan yang dilakukan dalam senam/latihan vitalisasi otak
merangsang kerjasama antar belahan otak dan antar bagian-bagian otak yang
diikuti dengan bertambahnya aliran darah ke dalam otak, gerakan yang dilakukan
juga lambat sehingga tidak akan membebani kerja jantung dan dapat disesuaikan
dengan pernapasan dimana dengan napas yang lebih dalam oksigen dari udara
akan terserap lebih banyak dan akan memperbaiki fungsi otak.
Latihan vitalisasi otak memiliki rangkaian gerak yang diolah sedemikian
rupa dengan memperhatikan konsep dan kaidah anatomi dan fisiologi otak
sehingga tampilan latihan ini memiliki beberapa prinsip;
45
1.
Lambat
Gerakan dilakukan dengan perlahan-lahan, penting untuk menyelaraskan pola
gerak otot, gerak pernapasan, dan metabolisme pada bagian-bagian otak yang
terstimulasi, gerakan yang lambat tidak member beban berat pada jantung
terekam
dalam
otak
melalui
jaras
proprioseptif
(melatih
proprioseptif/rasa sendi)
4. Melibatkan pandangan mata
Setiap gerakan yang dilakukan senantiasa melibatkan pandangan mata, hal ini
dibutuhkan guna mengatasi masalah pada lanjut usia yang berhubungan
dengan gangguan konsentrasi visual dan kemampuan visiospasial (mengenal
ruang)
5. Gerak sendi penuh
Gerakan harus dilakukan sampai batas maksimal sendi karena latihan ini juga
untuk mencoba mengatasi permasalahan sendi yang dapat mengakibatkan
keterbatasan gerak, yang biasa terjadi pada para lanjut usia
46
6. Melibatkan pernapasan
Pernapasan senantiasa dilakukan secara teratur pada setiap gerakan, hal ini
penting guna mencapai upaya oksigenasi yang optimal menuju otak karena
permasalahan pada otak bisa muncul akibat kurangnya oksigen di otak.
Kontrol pernapasan ini juga sangat berguna untuk mencapai relaksasi
7. Diresapi
Peserta diharapkan untuk mencoba meresapi gerakan yang dilakukannya, hal
ini berguna un tuk mencapai harmonisasi antara gerak (otot dan sendi), otak,
dan emosi karena tujuan akhir dari latihan ini adalah tercapainya
keseimbangan antar fungsi otak, kerja otot, dan stabilitas emosi
Tujuan dari senam/latihan vitalisasi otak, adalah;
1. Upaya stimulasi dan pengaktifan otak menuju peningkatan kebugaran otak.
2. Melatih konsentrasi.
3. Maelatih visuo-spasial.
4. Meningkatkan keseimbangan.
5. Meningkatkan koordinasi.
6. Meningkatkan daya tahan.
7. Melatih pernapasan.
8. Mengurangi keluhan fisik sehubungan dengan kondisi degenerasi organ tubuh.
9. Kegiatan rekreatif dan menyenangkan.
10. Melakukan relaksasi dalam gerakan.
11. Merangsang cinta, kasih sayang terhadap sesama manusia.
12. Merasa bersyukur kepada Sang Pencipta Jagat Raya.
47
Gerakan-Gerakan Senam Vitalisasi Otak terdiri dari: Pemanasan : injitinjit, kepak kupu-kupu,menabur bunga,rangkaian bunga melati,rangkaian bunga
nusantara Latihan inti 1 : tapak menyusur, menata jejak, langkah pasti, rengkuhan,
menyentuh pelangi, kasih sayang. Latihan inti 2: kemenangan, kombinasi, ayunan,
keceriaan, salam. Latihan inti 3: memandang langit,memandangmu, lentik menari,
menjangkau harapan, menapak jejak, kepak pahlawan. Pendinginan: bersiul,
senyuman manis, mengangkat dan menurunkan alis,membuka dan menutup mata,
tatapan mata, menyentuh pelangi, kasih sayang, we love all of you
Dengan dosis terdiri dari : frekwensi 3x1 minggu, intensitas heart-rate/HR
mencapai 70% x HR max ( 220-umur). Time 20-30menit ( Tilarso, 1988 )
2.13 Latihan senam lanjut usia ( Senam lansia )
Definisi Senam Lansia
Senam lansia serangkaian gerak dengan nada yang teratur dan terarah serta
terencana yang diikuti oleh orang yang berusia diatas 60 tahun. Keuntungan utama
senam ini adalah melatih fisik, fokusnya utama pada kekuatan tulang, melibatkan
otot-otot besar dan latihannya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan
untuk meningkatkan koordinasi keseimbangan dan kelenturan. Senam lansia terdiri
dari latihan pemanasan, latihan inti dan diikuti dengan latihan pendinginan.
Dengan dosis terdiri dari : frekwensi 3x I minggu. intensitas HR mencapai 70% x
HR max (220- umur). Time 20-30 ( Tilarso, 1988 )
48
49
Gerakan 6
Melangkah pelan. Tarik kaki kiri untuk maju dengan posisi jalan pelan-pelan
sambil diikuti kaki kanan. Ayunkan tangan seirama gerakan kaki yang berjalan
ringan.
Gerakan 7
Mundur, buka dan silang. Selanjutnya, lakukan gerakan kaki kiri mundur ke
belakang, lalu buka ke samping dan silangkan. Saat kaki kiri dibuka ke samping,
tarik tangan kanan ke atas dan tangan kiri ke bawah.
Gerakan 8
Jalan ke samping. Langkahkan kaki menyilang ke samping badan kanan atau kiri
dengan posisi kedua tangan direnggangkan ke samping badan sebagai
penyeimbang.
Gerakan 9
Kaki melangkah maju mundur. Kaki kanan melakukan gerakan silang ke depan,
kaki kiri tarik mundur ke belakang dengan posisi agak ditekuk. Kedua tangan tarik
kebawah dengan telapak menghadap dibawah. Langkahkan kaki maju mundur
secara bergantian.
50
BAB III
51
sosial
yang
kurang.
Faktor
sosial
meliputi
perceraian,
52
53
Senam atau latihan vitalisasi otak mempunyai perinsip dasar agar otak tetap
bugar dan mencegah kepikunan serta mempunyai tujuan utama untuk
mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerakan badan. Melakukan
senam vitalisasi otak diharapkan fungsi kognitif pada lansia dapat lebih baik lagi
dengan meningkatnya kerja pada belahan kanan otak. Kelebihan senam ini adalah
gerakan dilakukan dengan beberapa kali pengulangan diharapkan stimulasi gerak
dapat terekam dalam otak melalui jaras proprioseptif ( Markam, 2006 ).
Sedangkan pada senam lansia adalah latihan kebugaran jasmani bagi mereka
yang berusia lebih dari 60 tahun. Keuntungan utama senam ini adalah melatih
fisik, fokusnya utama pada kekuatan tulang, melibatkan otot-otot besar dan
latihannya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk meningkatkan
koordinasi keseimbangan dan kelenturan ( Tilarso, 1988 ).
Beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan hubungan antara aktifitas
fisik dengan fungsi kognitif yaitu aktifitas fisik menjaga dan mengatur
vaskularisasi keotak dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan kadar
lipoprotein, meningkatkan produksi endhotelial nitric oxide dan menjamin perfusi
jaringan otak, efek langsung terhadap otak yaitu memelihara struktur saraf dan
meningkatkan perluasan serabut saraf, sinap-sinap dan kapilaris ( Weuve et al,
2004 ).
Seperti diketahui pada lansia seiring dengan berjalannya waktu, akan terjadi
penurunan berbagai fungsi organ tubuh termasuk penurunan fungsi kognitif pada
susunan saraf pusat sebesar 45% ( penelitian di Inggris ), penurunan ini dapat
menyebabkan perubahan atau gangguan memori.
54
Gangguan memori pada penuaan otak hanya terjadi pada aspek tertentu,
sebagai contoh, memori primer (memori jangka pendek/Short term memory)
relatif tidak mengalami perubahan pada penambahan usia, sedangkan pada
memori sekunder (memori jangka panjang/long term memory) mengalami
perubahan bermakna. Artinya kemampuan untuk mengirimkan informasi dari
memori jangka pendek ke jangka panjang mengalami kemunduran dengan
penambahan usia.
Kerangka konsep pada penelitian ini adalah apakah dengan senam vitalisasi
otak akan lebih efektif dalam meningkatkan fungsi kognitif pada lansia.
Faktor Internal
Fisiologis
Psikososial
Faktor Eksternal
Gaya Hidup/Life style
Faktor Lingkungan
Faktor Pekerjaan
Kemunduran Kognitif
3.2 Hipotesis
Berdasarkan pembahasan pada dasar teori, maka hipotesis yang akan diajukan
dalam penelitian ini adalah;
1. Senam vitalisasi otak meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia
2. Senam lansia meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia
3. Senam vitalisasi otak lebih meningkatkan fungsi kognitif kelompok
lansia daripada senam lansia
55
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian:
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian
yang digunakan menurut Bakta (1997), adalah randomise pre and post test
group design.
O1
P1
O2
R
P2
O3
Gambar 4.1. Rancangan penelitian.
Keterangan;
P = Populasi
S = Sampel
R = Randomisasi
P1 = Perlakuan dengan senam vitalisasi otak
O1 = Pre tes kelompok perlakuan dengan senam vitalisasi otak
O2 = Post tes kelompok perlakuan dengan senam vitalisasi otak
P2 = Perlakuan dengan senam lansia
O3 = Pre tes kelompok perlakuan dengan senam lansia
O4 = Post tes kelompok perlakuan dengan senam lansia
O4
56
Sampel
Adalah jumlah subyek penelitian yang diambil dari populasi terjangkau,
57
4.3.3
Kriteria eligibilitas
Kriteria eligibilitas adalah kriteria pemilihan yang membatasi karakteristik
58
2 2
= ----------------- X (, )
(2 - 1)2
Keterangan :
n = Jumlah Subyek
= Simpang baku
= Tingkat kesalahan I /Significance Level (ditetapkan 0,05)
= Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,20)
diperoleh data pada sampel kelompok perlakuan 1= 16,6 dan = 1,411 rerata
kelompok perlakuan 2= 15,4
Dengan mensubstitusikan data di atas ke persamaan ke rumus Pocock,
maka didapatkan nilai 21,8 yang dibulatkan menjadi 22. Untuk mencegah
59
kekurangan sampel akibat gugur, maka sampel ditambah menjadi 27. Penelitian
ini menggunakan dua kelompok maka diperlukan N = 54 responden.
4.3.5 Tehnik pengambilan sampel
Sampel penetilian ini adalah para lanjut usia yang memenuhi syarat
sebagai sampel penelitian, Yang diambil secara acak sederhana untuk
mendapatkan jumlah sampel. Sampel yang dipilih dibagi menjadi dua kelompok,
secara acak yang masing-masing terdiri dari 27 orang. Masing-masing kelompok
diberikan senam vitalisasi otak dan senam lansia sebagai kelompok perlakuan
4.4. Variabel Penelitian
4.4.1
Identifikasi variabel
Variabel yang akan diukur yaitu kemampuan fungsi kognitif pada lansia
setelah perlakuan.
4.4.2 Klasifikasi variabel
Penelitian ini memiliki beberapa klasifikasi variabel antara lain:
4.4.2.1 Variabel bebas :
adalah Senam vitalisasi otak dan Senam lansia
4.4.2.2 Variabel terikat :
kemampuan kognitif
4.4.2.3 Variabel Kontrol :
yaitu; umur, pendidikan, kegiatan sosial.
60
Lansia
Variabel Bebas
-Senam vitalisasi otak
-Senam lansia
Variabel Tergantung
Kemampuan kognitif
Variabel kontrol
-Umur
-pendidikan
-kegiatan sosial
61
sesuai dengan
bahwa
stimulus eksternal
yang
berkesinambungan akan
62
63
64
Scan otak dan elektro enselografi dengan sensitivitas 87% dan spesifisitasnya
82% untuk mendeteksi demensia (Setyopranoto, 1999).
6. Senam vitalisasi otak
beberapa
bentuk
permainan-permainan
untuk
meningkatkan
65
otot,
daya
tahan
otot,
meningkatkan
kontak
sosial
sesama
lanjut
66
1) Menghadap
pimpinan
institusi
tempat
penelitian
Balai
67
68
senam
selama 12 minggu
69
10. Dari hasil analisis data dibuat kesimpulan hasil dan dilanjutkan dengan
penyusunan tesis
4.6.4. Kelemahan Penelitian
1. Para lansia peserta penelitian lemah dalam motivasi untuk pelaksanaan
senam yang diselenggarakan setiap 3 kali seminggu sehingga
memerlukan motivator baik dari peneliti maupun dari petugas BPS
2. Jenis senam yang dilakukan relatif baru sehingga memerlukan waktu
untuk penyesuaian gerakan-gerakannya yaitu 3 kali seminggu selama
12 minggu
3.
70
SAMPEL
Acak
Sederhana
Kelompok I
Senam Lansia
3xseminggu,selama
12 minggu
TES AKHIR
Analisis Data
Penyusunan tesis
71
yang digunakan adalah = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05 maka dikatakan
bahwa data berdistribusi normal dan apabila p < 0,05 menunjukkan bahwa
data tidak berdistribusi normal.
3. Uji homogenitas data dengan Levene,s Test, bertujuan untuk mengetahui
variasi data. Batas kemaknaan yang digunakan adalah = 0,05. Apabila
hasilnya p > 0,05 maka data homogen dan apabila p < 0,05 berarti data
tidak homogen.
4. Uji komparasi nilai MMSE sebelum dan setelah perlakuan pada masingmasing kelompok perlakuan dengan menggunakan uji komparasi Paired t
test apabila data berdistribusi normal. Bila tidak berdistribusi normal
digunakan uji non parametrik (wilcoxont -test). Uji ini bertujuan untuk
mengetahui efek dari perlakuan terhadap nilai MMSE setelah pelatihan
pada masing-masing kelompok perlakuan. Uji ini digunakan untuk
menguji hipotesis I dan II. Batas kemaknaan yang digunakan adalah =
0,05. Jika hasilnya p > 0,05, maka Ho diterima dan Ha ditolak (hipotesis
penelitian ditolak atau tidak ada perbedaan yang signifikan).
jika p < 0,05 maka Ho ditolak atau Ha diterima (hipotesis penelitian
diterima atau ada perbedaan yang signifikan).
5. Uji komparasi data nilai MMSE sebelum dan setelah perlakuan antara
kelompok I dan kelompok II dengan menggunakan uji komparasi non
parametrik Independent Samples t-Test. Apabila berdistribusi normal. Bila
tidak normal digunakan uji non parametrik Mann-Whitney U test. Uji ini
bertujuan untuk membandingkan efek dari perlakuan terhadap nilai MMSE
72
sebelum dan sesudah pelatihan antar kelompok I dan kelompok II. Uji ini
digunakan untuk menguji hipotesis III. Batas kemaknaan yang digunakan
adalah = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05 maka Ho diterima atau Ha ditolak
(hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada perbedaan yang signifikan) dan
apabila p < 0,05 maka Ho ditolak atau Ha diterima (hipotesis penelitian
diterima atau ada perbedaan yang signifikan)
73
BAB V
HASIL PENELITIAN
74
dan kemudian dilakukan pengukuran test untuk menentukan dan mencatat data
akhir.
Hasil penelitian didapatkan beberapa data sebagai berikut;
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik sampel yang di deskriptifkan dalam penelitian pada
kelompok senam vitalisasi otak dan kelompok senam lansia antara lain: usia,
pendidikan dan kegiatan sosial.
Karakteristik subjek penelitian yang meliputi umur, tingkat pendidikan, kegiatan
sosial, dan gangguan kognitif. dilihat pada Tabel 5.1. berikut:
Tabel 5.1
Karakteristik Lansia yang Melakukan Senam Vitalisasi Otak dan
Senam Lansia Berdasarkan Usia
Karakteristik
subjek
Umur
Kelompok
I
65,96 4,80
MIN:MAK
60 : 74
Kelompok MIN:MAK
II
67,04 4,57
60 : 74
75
Tabel 5.2
Karakteristik Lansia yang Melakukan Senam Vitalisasi Otak dan
Senam Lansia Berdasarkan Pendidikan
Kelompok I
No.
Pendidikan
Jumlah
Kelompok II
Persentase
Jumlah
Persentase
1.
Tidak Sekolah
22,22%
11
40,74
2.
SD
29,63%
11
40,74
3.
SMP
13
48,15%
11.11
4.
SMA
7,41
Jumlah
27
100
27
100
76
Tabel 5.3
Karakteristik Lansia yang Melakukan Senam Vitalisasi Otak dan
Senam Lansia Berdasarkan yang Ikut Kegiatan Sosial
Kelompok I
No.
Kegiatan Sosial
Jumlah
Kelompok II
Persentase
Jumlah
Persentase
1.
Kejar paket A
20
74
14
51,85
2.
Wirausaha
10
37.04
29,63
3.
Robana
11
40.74
29,63
4.
Pengajian
25
92,59
24
88,89
77
sesudah pelatihan. Untuk semua variabel, baik variabel bebas, maupun variabel
tergantung pada kelompok perlakuan I dan II, penguji melakukan uji normalitas
dengan menggunakan uji Saphiro Wilk, sedangkan uji homogenitas menggunakan
Levene Test, dan hasilnya tertera pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4
Keputusan Uji Normalitas Data dan Homogenitas Data Nilai MMSE
Perlakuan
MMSE sebelum
0,221
pelatihan
MMSE sesudah
0,000
pelatihan
Selisih
0,077
Sumber : Analisis Data Primer, 2010
Levenes Test
Nilai p
0,228
0,971
0,006
0,097
0,240
0,063
Pada tabel 5.4 diperlihatkan bahwa hasil uji normalitas (Saphiro WilkTest). Dengan mengambil nilai = 0,05 maka untuk MMSE pada kelompok I
sebelum pelatihan diperoleh nilai p = 0,221 (p>0,05) atau data berdistribusi
normal,
normal. Pada kelompok II sebelum pelatihan nilai p= 0,228 (p>0,05) atau data
berdistribusi normal,, sesudah pelatihan nilai p=0,006 ( p<0,05) atau data
berdistribusi tidak normal. Adapun data selisih MMSE sebelum dan sesudah
pelatihan, pada kelompok I diperoleh p = 0,077 (p>0,05) atau data berdistribusi
normal, dan pada kelompok II p = 0,240 (p>0,05) atau data berdistribusi normal.
Untuk uji homogenitas (Levenes-Test) data hasil MMSE
sebelum
78
perbedaan nilai varians MMSE sebelum dan sesudah Perlakuan serta selisihnya
antara kelompok perlakuan I dengan kelompok perlakuan II.
5.3 Uji Hipotesa
Berdasarkan hasil uji normalitas sesuai tabel 5.4, maka untuk uji hipotesa I
dan uji hipotesa II menggunakan uji non parametrik karena salah satu kelompok
datanya tidak berdistribusi normal, sedangkan untuk uji hipotesis III
menggunakan uji parametrik karena kedua kelompok datanya berdistribusi
normal.
Berdasarkan distribusi kelompok data seperti diuraikan di atas maka uji
signifikansi hipotesis dua sampel berpasangan pada kelompok perlakuan I (uji
hipotesis I ) digunakan uji wilcoxon-test. Demikian pula untuk uji signifikansi
hipotesis dua sampel berpasangan pada kelompok perlakuan II (uji hipotesis II)
juga menggunakan uji wilcoxon-test. Sedangkan uji beda (selisih) antara
kelompok perlakuan I dengan kelompok perlakuan II menggunakan uji
Independent samples t-test.( uji hipotesis III ).
Untuk mengetahui perbedaan rerata senam vitalisasi otak dan senam lansia
sebelum dan sesudah
79
Tabel 5.5
Uji Beda Rerata (skor) Senam Vitalisasi Otak dan Senam Lansia Sebelum
dan Sesudah Pelatihan Pada Lansia di BPS Propinsi Banten
Sebelum
pelatihan
Setelah
pelatihan
Selisih
19,073,61
26,222,59
7,152,4
-4,558
0,000
Kelompok II
21,483,8
23,443,9
Sumber: Analisis data primer, 2010
1,961,7
-3,886
0,000
Kelompok I
1.
2.
80
Grafik 5.1
Uji Beda Rerata Senam vitalisasi otak dan senam lansia
Sebelum dan Sesudah Pelatihan pada lansia di BPS Propinsi
Banten
5.4 Persentase peningkatan nilai MMSE sebelum dan sesudah pelatihan pada
lansia di BPS Propinsi Banten
Data persentase peningkatan nilai MMSE sebelum dan setelah pelatihan 3
x per minggu selama 12 minggu pada kedua kelompok pelatihan dapat disajikan
dalam Tabel 5.6.
Tabel 5.6
Data Peningkatan Nilai MMSE Sebelum dan Sesudah Pelatihan pada
Lansia Di BPS Propinsi Banten
Hasil Analisis
Nilai MMSE
awal
Nilai MMSE
akhir
Selisih nilai
MMSE
Persentase
Peningkatan (%)
Kelompok 1
19,07
26,22
7,15
37,49
Kelompok 2
21,48
23,44
1,96
9,12
Kelompok
81
Grafik 5.2
Persentase peningkatan nilai MMSE sebelum dan sesudah pelatihan pada
lansia di BPS Propinsi Banten
Berdasarkan persentase rerata peningkatan MMSE sebelum dan setelah
pelatihan 3 x per minggu selama 12 minggu pada tabel 5.6 dan grafik 5.2
menunjukkan bahwa persentase rerata peningkatan nilai MMSE pada pelatihan
kelompok I ( 37,49% ) lebih besar dari kelompok II ( 9,12% ).
5.5 Uji Beda Rerata dan Selisih nilai MMSE Pada Kedua Kelompok
Uji beda ini bertujuan untuk membandingkan rerata nilai MMSE pada tes
awal (sebelum pelatihan) dan tes akhir (setelah pelatihan) antar kelompok pada
kedua kelompok yang diberikan perlakuan berupa pelatihan senam vitalisasi otak
pada kelompok I dan senam lansia pada kelompok II. Hasil analisis kemaknaan
dengan uji Independent Samples t-test disajikan pada Tabel 5.7
82
Tabel 5.7
Uji beda rerata dan selisih nilai MMSE Senam Vitalisasi Otak dan Senam
Lansia
Kelompok Subyek
Beda Rerata SB
Nilai MMSE
Sebelum
perlakuan
Sesudah
perlakuan
Selisih
Kelompok-1
Kelompok-2
Kelompok-1
Kelompok-2
Kelompok-1
Kelompok-2
27
19,07 3,61
27
21,48 3,89
27
26,22
27
23,44 3,95
27
7,15
27
1,96 1,72
2,59
2,46
0,022
0,004
0,000
83
BAB VI
PEMBAHASAN
84
85
pada tes kognitifnya. (Farmer et al. 1995). Kebanyakan proses lanjut usia ini
masih dalam batas-batas normal berkat proses plastisitas. Proses ini adalah
kemampuan sebuah struktur dan fungsi otak yang terkait untuk tetap berkembang
karena stimulasi. Sebab itu, agar tidak cepat mundur proses plastisitas ini harus
terus dipertahankan ( Kusumoputro, 2003 ).
Dari tabel 5.3, kegiatan sosial adalah kegiatan pendekatan sosial yang
dilaksanakan
lingkungan.
untuk
meningkatkan
keterampilan
berinteraksi
dengan
86
87
kelompok
data
yang
dibandingkan
berdistribusi
normal,
maka
88
lansia yang berada di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi
Banten.
Pada tabel 5.5 untuk kelompok II diperoleh hasil rerata sebelum senam
lansia 21,48 dengan standar deviasi 3,8, sedangkan sesudah senam lansia
menghasilkan rerata 23,44 dengan standar deviasi 3,9. Dari hasil di atas kemudian
dimasukkan data untuk melakukan uji hipotesis II dengan menggunakan uji
Wilcoxon didapatkan hasil nilai z hitung sebesar -3,886 dibandingkan dengan nilai
Z tabel = -1,64 maka nilai z hitung berada di daerah penolakan, demikian pula
nilai p = 0,000 < a (0,05). Ho ditolak dan menerima Ha, Hal ini berarti bahwa
dengan adanya senam lansia ternyata dapat meningkatkan kemampuan kognitif
kelompok lansia yang berada di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial
Propinsi Banten.
Dengan hasil ini dapat dikatakan bahwa kedua tipe pelatihan yang
diterapkan dapat meningkatkan fungsi kognitif secara bermakna. Berarti hipotesis
I yaitu Ho ditolak dan menerima Ha bahwa adanya perlakuan senam vitalisasi
otak ternyata dapat meningkatkan kemampuan kognitif lansia yang berada di Balai
Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial Propinsi Banten. dan hipotesis II yaitu
Ho ditolak dan menerima Ha, Hal ini berarti bahwa dengan adanya senam lansia
ternyata dapat meningkatkan kemampuan kognitif lansia yang berada di Balai
Perlindungan Sosial (BPS) Dinas Sosial
89
dilakukan selama 12 minggu akan memberikan efek yang cukup berarti yaitu
pemberian latihan olahraga pada usia lanjut dimulai dengan intensitas dan waktu
yang ringan kemudian meningkat secara pelahan-lahan serta tidak bersifat
kompetitif/
bertanding
serta
mempunyai
manfaat
besar
karena
dapat
90
akan menghasilkan peningkatan yang berarti. mereka yang berusia lebih dari 60
tahun, selain melatih otak perlu melaksanakan olahraga secara rutin untuk
mempertahankan
kebugaran
jasmani,
memelihara
serta
mempertahankan
langsung dapat membantu Mengatur kadar gula darah, merangsang adrenalin dan
nor-adrenalin, Peningkatan kualitas dan kuantitas tidur. Dampak jangka panjang
dapat meningkatkan daya tahan aerobik/kardiovaskular, kekuatan otot rangka dan
kelenturan, keseimbangan dan koordinasi gerak serta kelincahan. Dampak secara
psikologis dapat membantu memberi perasaan santai, mengurangi ketegangan dan
kecemasan, meningkatkan perasaan senang. dampak jangka panjang dapat
meningkatkan kesegaran jasmani dan rohani secara utuh, kesehatan jiwa, fungsi
kognitif, penampilan dan fungsi motorik manfaat sosial dampak langsung dapat
membantu pemberdayaan lansia, peningkatan integritas sosial dan kultur. Dampak
jangka panjang dapat meningkatkan keterpaduan dan kesetiakawanan.
Selanjutnya ( Kusumoputro, 2003 ).menyatakan peningkatan potensi dan
sumber daya otak. Yang diperlukan adalah kebugaran fisik dan kebugaran otak
( brain fitness ). Orang harus mengikuti keadaan jaman, harus berpikir lebih cepat,
lebih tajam, lebih efisien, dan lebih kreatif. Orang harus belajar lebih cepat, lebih
dalam, dan lebih luas, orang tidak boleh dengan mudah mengabaikan dan
melupakan sesuatu. Orang yang tidak mengikuti upaya-upaya tersebut akan
mengalami kemunduran sumber daya otaknya dan orang tersebut akan tersisih
dari lingkungannya. Keadaan itu berlaku
91
setengah
baya dan
berusia lanjut
efek
92
sistem vestibular, muskulo skletal, proprioseptik, dan lain-lain akan diproses dan
diintegrasikan pada semua tingkat sistem saraf, menurut Suhartono (2005), dalam
waktu singkat kurang lebih 150 mikro detik akan terbentuk suatu respon yang
benar dan disimpan di otak. Informasi yang diterima akan diintegrasikan di dalam
sistem sensoris integrasi di sub cortical dan disimpan oleh bagian memori yaitu
corpus amigdale diintegrasikan ke cortex cerebri centrum kognitif, supaya tidak
menjadi memori yang pendek / short term memory dilakukan secara berulangulang sehingga akan menjadi long term memory. Pada penelitian ini uji MMSE
dilakukan untuk setiap 2 minggu tetapi untuk mendapatkan data yang valid
terhadap perubahan yang terjadi sebelum diberikan perlakuan dan setelah selesei
perlakuan maka analisis data uji MMSE adalah untuk data pre test MMSE dan
post test MMSE setelah perlakuan selesei.
Ganong dikutip oleh Tirtayasa( 2001 ), menyatakan pengolahan informasi
pada sistem saraf pusat adalah memproses informasi yang masuk yang
menimbulkan respon motoris yang sesuai keperluan, kemudian sesudah informasi
yang penting diseleksi dan disalurkan kedaerah motoris yang sesuai otak sehingga
menyebabkan respon yang sesuai dengan kehendak. Sebagian besar dari
penyimpanan ini terjadi di kortex serebri tetapi tidak seluruhnya bisa didaerah
basal otak dan medula spinalis, disini menyimpan sedikit informasi, Penyimpanan
informasi proses yang disebut dengan memori.proses memori termasuk juga
fungsi sinaps (tempat terjadinya hubungan satu neuron dengan neuron lain,
peranannya sangat besar dalam mengontrol transmisi impuls ) Setiap impuls
sensoris melalui suatu rangkaian sinaps, maka masing-masing sinaps akan
93
menghantar impuls, yang disebut proses fasilitasi. Sesudah impuls melalui sinaps
berulang-ulang maka sinaps akan terfasilitasi, hal ini yang mengakibatkan
seseorang merasakan suatu persepsi.walaupun untuk menimbulkan hanyalah
berdassarkan sensasi dari memori. Sekali memori tersimpan dalam saraf, mereka
akan menjadi bagian dalam mekanisme pengolahan. Proses berfikir dalam otak
membandingkan pengalaman sensoris yang baru dengan memori yang tersimpan.
Memori akan membantu untuk memilih informasi yang baru dan penting dan
menyalurkannya kedaerah penyimpanan yang sesuai atau kehendah motoris yang
menyebabkan respon gerakan atau adanya aktifitas fisik yang dilakukan satu
minggu tiga kali dan ber ulang- ulang dengan tujuan upaya stimulasi dan
pengaktifan otak menuju peningkatan kebugaran otak atau stimulasi gerak dapat
terekam dalam otak melalui jaras proprioseptif(melatih propriosetif / rasa
sendi.Sehingga fungsi cognitif menjadi lebih baik.
Pada kelompok I terdapat peningkatan nilai MMSE yang sangat kecil yaitu
pada seorang wanita usia 60 tahun ( sampel no. 6 lampiran 12 ) hal tersebut di
karenakan responden memiliki riwayat belum pernah menikah, sekolah SR kelas
I, pekerjaan pembantu dan kegiatan sosialnya kurang yaitu lebih pendiam dan
tidak bersosialisasi, akibat hal tersebut fungsi dari kognitifnya sangat sedikit
dalam hal peningkatan. Sebaliknya ada responden yang menghasilkan nilai yang
sangat baik ( sampel no.14 lampiran 12 ) hal tersebut di karenakan responden
tersebut sangat aktif dalam lingkungan sekitar dan memiliki banyak kegiatan yang
akan menambah kemampuan kognitif responden tersebut. Otak merupakan sistem
utama dalam menyimpan memori. Semakin banyak otak digunakan dalam
94
berpikir maka semakin banyak pula impuls yang akan teraktivasi sehingga daya
ingat dari seseorang akan jauh lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak
terlalu aktif dalam berpikir.
Pada kelompok II, seorang wanita usia 70 tahun ( sampel no.19 lampiran
14 ) hal tersebut karena responden memiliki riwayat pendidikan rendah yaitu SR
kelas I, tidak menikah dan selama di BPS tidak ada kegiatan sehingga responden
sulit memahami dalam menjawab tes yang diberikan terutama dalam hal baca,
tulis, dan hitung, responden lain wanita berusia 70 tahun menunjukkan nilai
MMSE yang menurun ( sampel no.3 lampiran 14 ) ternyata yang bersangkutan
tidak sekolah, kurang termotivasi untuk mengikuti kegiatan senam, cenderung
pasif dan malas sehingga tidak berkonsentrasi sewaktu tes MMSE.
6.4 Perbedaan Pengaruh senam vitalisasi otak dan senam lansia Terhadap
fungsi kognitif
Selanjutnya Pada tabel 5.7 dilakukan uji hipotesis III perbandingan uji
analisis antara nilai MMSE senam vitalisasi otak dengan senam lansia
menggunakan uji statistik Independent Samples t-test.
Dengan menggunakan
software diperoleh hasil untuk kondisi sebelum kegiatan senam dilakukan nilai
signifikansi p=0.022 < (0,05) berarti Ho ditolak dan menerima Ha bahwa
adanya perbedaan peningkatan MMSE antara perlakuan I (senam vitalisasi otak)
dan perlakuan II (senam lansia). Sedangkan untuk kondisi setelah kegiatan senam
dilakukan diperoleh nilai signifikansi p=0.004 < (0,05) berarti Ho ditolak dan
menerima Ha, atau ada perbedaan signifikan antara peningkatan MMSE akibat
perlakuan I (senam vitalisasi otak) dibandingkan dengan perlakuan II (senam
95
lansia). Selanjutnya dari nilai selisih rata-rata nilai MMSE sebelum dan sesudah
perlakuan untuk masing-masing kelompok diperoleh nilai signifikansi p=0.000 <
(0,05) berarti Ho ditolak dan menerima Ha, atau ada perbedaan signifikan antara
selisih peningkatan MMSE akibat perlakuan I (senam vitalisasi otak) dengan
selisih peningkatan MMSE akibat perlakuan II (senam lansia). Dengan melihat
besarnya peningkatan nilai MMSE oleh senam vitalisasi otak sebesar 7,15 jauh
lebih besar dari peningkatan nilai MMSE akibat senam lansia sebesar 1,96, maka
dapat disimpulkan bahwa senam vitalisasi otak lebih baik dibandingkan dengan
senam lansia dalam meningkatkan kemampuan kognitif kelompok lansia.
Peningkatan hasil nilai kognitif pada senam vitalisasi otak tersebut sesuai
dengan pendapat Kusumoputro (2003), bahwa pelatihan yang dilakukan selama
12 minggu akan memberikan efek yang cukup berarti yaitu sebuah kenaikan
performa kognitif berupa meningkatnya kemampuan kewaspadaan, pemusatan
perhatian, daya ingat serta kemampuan eksekutif para lansia, sehingga pelatihan
ini sengaja diarahkan untuk para peserta usia lanjut yang memang pada umumnya
secara fisiologis mengalami kemunduran fungsi kognitifnya.sehingga dalam
praktek sehari-hari tentu kenaikan performa kognitif ini berguna bagi aktifitas
hidup sehari-hari, terutama untuk kualitas kehidupan lanjut. Sedangkan Markam
(2006), menyatakan, Pemeliharaan otak secara struktural memerlukan asupan
darah, oksigen dan energi yang cukup keotak hingga diharapkan struktur otak
akan terpelihara dan fungsi otak pun menjadi lebih optimal. Pemeliharaan
fungsional otak dapat dilakukan dengan proses belajar, diantaranya belajar gerak
/aktifitas fisik, belajar mengingat, belajar merasakan, belajar melihat dan lain-lain,
96
semua proses belajar akan merangsang pusat-pusat otak karena didalam otak
terdapat pusat-pusat yang mengurus berbagai fungsi tubuh, seperti gerakan, rasa
kulit, rasa sikap, berbahasa, baca, tulis, pusat penglihatan pendengaran dan lainlain sehingga makin banyak proses belajar maka makin banyak juluran sel saraf
dan sinap-sinap yang terjadi, ini berarti daya mengingat meningkat. Pada
pelatihan senam vitalisasi otak dan pelatihan senam lansia diperlukan waktu
keseluruhan 30 menit karena orang tua kurang cepat adaptasi dan menurun
pemulihannya terhadap reaksi luar, maka setiap perubahan harus berangsurangsur (meningkat/menurun ) jadi orang tua harus lebih lama pemanasan dan
pemulihan/ pendinginan. Lamanya minimal latihan kira-kira 30 menit.
Latihan vitalisasi otak merupakan penyelarasan fungsi gerak, pernapasan,
dan pusat pikir ( memori,imajinasi ), rangkaian gerakan yang terangkum tidak
hanya melibatkan gerakan otot-otot tertentu di otak ( homonculus) dengan corpus
kalosum ( gerakan menyilang ) tetapi juga melibatkan beberapa pusat yang lebih
tinggi di otak ( High cortical function ). Gerakan gerakan yang dilakukan dalam
senam/latihan vitalisasi otak merangsang kerjasama antar belahan otak dan antar
bagian-bagian otak yang diikuti dengan bertambahnya aliran darah ke dalam otak,
gerakan yang dilakukan juga lambat sehingga tidak akan membebani kerja
jantung dan dapat disesuaikan dengan pernapasan dimana dengan napas yang
lebih dalam oksigen dari udara akan terserap lebih banyak dan akan memperbaiki
fungsi otak. Latihan vitalisasi otak yaitu kegiatan yang merangsang intelektual
yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerak
badan memiliki rangkaian gerak yang diolah sedemikian rupa dengan
97
memperhatikan konsep dan kaidah anatomi dan fisiologi otak sehingga tampilan
latihan ini memiliki beberapa prinsip;lambat dan ber ulang- ulang dengan tujuan
upaya stimulasi dan pengaktifan otak menuju peningkatan kebugaran otak atau
stimulasi gerak dapat terekam dalam otak melalui jaras proprioseptif(melatih
propriosetif / rasa sendi. Markam (2006), perlakuan senam vitalisasi otak
dipimpin seorang instruktur dengan menggunakan perangkat TV, DVD dan CD
selama satu bulan supaya dapat menghafal gerakan selanjutnya dicoba dengan
panduan dari instruktur senam.Perlakuan dilakukan di Balai Perlindungan sosial
( BPS).
Berdasarkan perbedaan rerata nilai fungsi kognitif tersebut, dengan
persentase perbedaan rerata peningkatkan hasil nilai MMSE ( tabel 5.6 )
kelompok I sebesar 37,49 % dan kelompok II sebesar 9,12 %. Pelatihan yang
telah diterapkan selama 12 minggu dengan frekuensi 3 x per minggu pada kedua
kelompok perlakuan menghasilkan persentase peningkatan nilai MMSE yang
bermakna. Tabel 5.7 menunjukkan perbedaan rerata peningkatan nilai MMSE di
antara kedua kelompok diuji Independent Samples t-test
menghasilkan nilai
lebih besar
daripada kelompok II. Sehingga dapat dikatakan pelatihan kelompok I lebih baik
daripada kelompok II dalam meningkatkan fungsi kognitif. Dengan demikian
hipotesis III terbukti.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh kusumoputro
(2003) tentang pelatihan gerak dan latih otak dengan menghasilkan peningkatan
98
performa kognitif yang lebih baik. Penelitian pada warga usia lanjut di wilayah
DKI yang mengutamakan pada fungsi kewaspadaan, pemusatan perhatian, dan
daya ingat yang diukur dengan test kognitif yaitu nilai MMSE lebih baik
dibandingkan senam lansia yang dalam meningkatkan kognitif. Dimana pada
senam lansia hanya menfokuskan pada kekuatan tulang, melibatkan otot-otot
besar dan latihannya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk
meningkatkan koordinasi, keseimbangan dan kelentukan. ( Tilarso, 1988 ).
99
BAB VII
I. Simpulan
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa :
1. Senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu
meningkatkan kemampuan kognitif kelompok lansia di Balai
Perlindungan Sosial Propinsi Banten secara bermakna (p < 0,05)
sebesar 37,49%.
2. Senam lansia tiga kali seminggu selama dua belas minggu
meningkatkan kemampuan kognitif kelompok lansia di Balai
Perlindungan Sosial Propinsi Banten secara bermakna (p < 0,05)
sebesar 9,12%.
3. Senam vitalisasi otak tiga kali seminggu selama dua belas minggu
lebih baik dibandingkan dengan senam lansia dalam meningkatkan
kemampuan kognitif kelompok lansia di Balai Perlindungan Sosial
Propinsi Banten secara bermakna (p < 0,05) Hal tersebut diketahui dari
selisih rerata nilai MMSE sebelum dan sesudah senam pada kedua
kelompok sebesar 5,19.
100
II. Saran
1. Kebugaran fisik terutama bagi mereka yang berusia 60 tahun perlu
dijaga dengan melakukan olah raga yang teratur karena akan dapat
berdampak positif terhadap kondisi fisik dan kemampuan kognitif.
2. Senam vitalisasi otak dan senam lansia pada lansia dapat dianjurkan
secara teratur dan terjadwal karena baru pertama kali dilakukan di
Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten
3. Bagi peneliti lain, mudah-mudahan tesis ini bermanfaat sebagai acuan
bila melakukan penelitian tentang senam vitalisasi otak atau senam
lansia
101
DAFTAR PUSTAKA
102
Darmojo, B. 2009. Teori Proses Menua.In: H.Hadi Martono dan Kris Pranarka
(eds): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4.Jakarta:Balai
Penerbit FKUI,pp.3.
Darmojo, Martono. 2000. Mild Cognitive Impairment (MCI) gangguan kognitif
ringan. Berkala Neuro sains, 1(1):11-15
Ellis, H.C, Hunt, R. R. 1993. Fundamental of cognitive psychology. 5 th ed.United
States: Wm. C. Brown Communications, Inc.
Ganong, W. F. 1999. Fisiologi Kedokteran edisi 17. Dr. M. Djauhari
Widjajakusumah ( Editor bahasa Indonesia ). Penerbit buku kedokteran
EGC.
Gelder, B. M. et al .2004. Physical activity in relation to cognitif decline
elderly men.Neurology;63:2316-2321
in
Gelder, B. M., Tijhuis, M., Kalmijn, S., Giampaoli, S., Nissinen, A, Kromhout.
2006. Marital status and living situation during a 5-tahun period are
associated with a subsequent 10-tahun cognitive decline in older men: The
FINE Study. The Journal or Gerontology Series, 61:213-219.
Hardywinoto, Setiabudhi, T. 1999. Panduan Gerontology Tinjauan Dari Berbagai
Aspek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Harrington, F., Saxby, B., McKeith, I., Wesnes, K, Ford, A . 2000. Cognitive
performance in hypertensive and normotensive older subjects.
Hypertension, 36:1079-1082.
Hurlock, E. B. 1996 Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan, Edisi kelima. Maxsijabat, R.ed ; Jakarta.
Katzman, R., Rowe, J. W. 1992. Principles of Geriatric Neurology. Philadelphia:
FA Davis Company.
Kinsella K., Taeuber. 1993. An Aging World II, US Bureau of the Census,
International Population Report. In: H. Hadi Martomo dan Kris Pranarka
(eds.): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, pp. 3.
Kurlowicz L., Wallace M. 1999. The Mini Mental State Examination. Journal
geriatric nursing, 3(1):10-11.
Kusmana, D. 1992. Olahraga pada usia lanjut. Simposium Menuju Hidup Sehat
pada Usia Lanjut. Bogor 7 November.
103
Kusumoputro, S., Sidiarto, L. D., Sarmino, Munir, R., Nugroho, W. 2003. Kiat
Panjang Umur dengan Gerak dan Latih Otak, Jakarta: UI Press.
Lumbantobing, S. M. 2006. Kecerdasan pada usia lanjut dan demensia. Edisi 4.
Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Markam, S., Mayza, A., Pujiastuti, H., Erdat, M. S., Suwardhana, Solichien, A.
2006. Latihan Vitalisasi Otak. Jakarta: Grasindo.
Martono, H., Pranaka, K. 2009. Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ). Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Matthews, M., Williams H. 2004. Improvement in physical activity and cognitive
performance after a 10-week program in Tai Chi exercise. The
Gerontologist,.44 (1), 507
Miller, C. A. 2004. Nursing for wellness in older adult, Theory & Practice.
Philadelphia: JB.Lippincort.CO.
Nala, N. 1992. Kumpulan Tulisan Olahraga. Denpasar: Komite Olahraga
Nasional Indonesia Daerah Bali.
Oen L. H. 1993. Dasar Biomolekuler Proses Menua, Pidato Pengukuhan Guru
Besar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. In: H. Hadi
Martomo dan Kris Pranarka (eds.): Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI
Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 9.
Poccok, S.J. 2008. Clinical Trials A Practical Approach. New York: A Willey
Medical Publication.
Petersen, R. C., Smith, M. D., Kokmen, E., Ivnik, R. J., Tangalos, E. G., 1992.
Memory Function In Normal Aging. Neurology. 42: 396-401. In: Berkala
NeuroSains Vol. 1 No. 1. pp. 11-15.
Psikologi Lansia, 2009. [ Cited 2009 December, 11 ] Available from: URL.
http://belajarpsikologi.com/psikologi-lansia
Pujiastuti, S. S., Utomo. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC.
Ramdhani, N. 2008. Sikap dan beberapa definisi untuk memahaminya. [ Cited
2010 Juli, 29 ] Available from:
URLhttp:/www.neila.staff.ugm.ac.id/wodrpress/2008/denifisi.
Saladin, K . 2007. Anatomy and physiology the unity of form and function. 4th ed.
New York: McGraw-Hill Companies inc:513-561.
104
105
Weuve, J., Kang, J. H., Manson, J. E., Breteler, M. B., Ware, J. H and Grodstein,
F.2004. Physical activity, including walking and cognitive function in
older women. JAMA, 292(12):1454-1461
Whitehead, J. B. 1995. Exercise in ederly. In Reichel, W (ed) Care of the ederly,
clinical aspects of aging, William and Wilkins.
WHO. 1989. Health of the Ederly. Geneva: WHO.
Williamson, J. 1985. Preventive aspects of Geriatric medicine. In Patty, JS (ed)
Principles and Practice of Geriatric Medicine, John Wilwy and Sons,
Chichester-New York.
Zunzunegui, M. V., Alvarado, B. E., Del Ser, T, Otero, A . 2003. Social network,
special integration and social engagement determine cognitive decline in
community-dwellir,;g Spanish older adults. The Journal of Gerontology
Series, 58:33-100.
106
LAMPIRAN