OLEH
DEVI RETNOSARI
H14102093
RINGKASAN
OLEH
DEVI RETNOSARI
H14102093
Skripsi
Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi
Pada Departemen Ilmu Ekonomi
: Devi Retnosari
: Ilmu Ekonomi
Judul Penelitian
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
Devi Retnosari
NRP. H14102093
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karuniaNya yang sangat besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Penyusunan skripsi merupakan suatu syarat bagi penulis untuk mendapatkan
gelar Sarjana Ekonomi pada Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah
Analisis
Pengaruh
Ketimpangan
Distribusi
Pendapatan
Terhadap
menyadari
bahwa
penyusunan
skripsi
masih
jauh
dari
Devi Retnosari
H 14102093
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................1
1.1. Latar Belakang .........................................................................................1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................5
1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................................7
1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................................8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ..........................9
2.1. Distribusi Pendapatan ..............................................................................9
2.2. Pertumbuhan Ekonomi ............................................................................10
2.3. Pengaruh Ketimpangan Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ..12
2.4. Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Ekonomi Jawa Barat ................................................................................16
2.5. Otonomi Daerah.......................................................................................25
2.6. Kajian Penelitian Terdahulu ....................................................................27
2.7. Kerangka Konseptual Penelitian..............................................................29
2.8. Hipotesis Penelitian .................................................................................31.
III. METODE PENELITIAN................................................................................32
3.1. Jenis Dan Sumber Data............................................................................32
3.2. Lokasi Dan Waktu Pengumpulan Data....................................................32
3.3. Model Ekonometrika ...............................................................................33
3.4. Metode Analisis/ Pengolahan Data..........................................................34
3.5. Uji Kriteria Ekonomi dan Statistik ..........................................................34
3.6. Uji Ekonometrika.....................................................................................36
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT ....................................39
4.1. Wilayah dan Penduduk Jawa Barat .........................................................39
4.2. Keadaan Iklim da Geografi Jawa Barat ...................................................40
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu
dengan Provinsi DKI Jakarta. Daerah dengan kepadatan penduduk terbesar berada
di dekat DKI Jakarta. Bandung, ibukota Provinsi Jawa Barat merupakan kota
dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan
Surabaya.
Pelaksanaan pembangunan senantiasa diarahkan pada pencapaian tiga
sasaran pembangunan, ketiga sasaran tersebut dikenal dengan sebutan trilogi
pembangunan. Dalam Pelita I (1969-1974) prioritas pertama diarahkan pada
sasaran pemeliharaan stabilitas perekonomian, disusul oleh sasaran pencapaian
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Urutan ini
diubah dalam Pelita II yaitu sasaran pertumbuhan menempati prioritas pertama,
baru kemudian sasaran pemerataan dan sasaran stabilitas. Sejak Pelita III (19791984) hingga Repelita VI, urutan prioritasnya menjadi pemerataan, pertumbuhan,
dan stabilitas. Masalah mulai muncul jika terjadi perubahan ke arah ketimpangan
yang makin melebar antara golongan kaya dan golongan miskin.
Ketimpangan distribusi pendapatan pada daerah-daerah dapat disebabkan
oleh pertumbuhan dan keterbatasan yang dimiliki masing-masing daerah yang
berbeda-beda serta pembangunan yang cenderung terpusat pada daerah yang
sudah maju. Hal ini menyebabkan pola ketimpangan distribusi pendapatan daerah
dan merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya ketimpangan distribusi
pendapatan daerah semakin melebar.
Dalam GBHN telah dikemukakan bahwa tujuan pembangunan Indonesia
adalah pelaksanaan pembangunan disamping untuk meningkatkan pendapatan
nasional sekaligus juga harus menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi
Tabel 1.1. Distribusi Pendapatan Menurut Bank Dunia dan Rasio Gini
Indonesia Tahun 2002.
No
Provinsi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep.
Bangka
Belitung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa
Tenggara
Barat
Nusa
Tenggara
Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi
Tenggara
Gorontalo
Maluku
Maluku Utara
Papua
INDONESIA
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
40%
penduduk
dengan
pendapatan
rendah
22,57
23,74
22,47
24,36
23,97
25,53
25,57
25,53
40%
penduduk
dengan
pendapatan
menengah
39,42
38,46
38,76
39,31
35,77
37,33
38,03
38,26
20%
penduduk
dengan
pendapatan
tinggi
38,01
37,79
38,77
36,33
40,26
37,13
36,41
36,21
Rasio gini
0,288
0,268
0,292
0,260
0,291
0,253
0,254
0,247
19,48
22,29
24,07
19,03
22,34
20,08
21,55
25,00
39,67
38,79
36,82
34,47
37,01
38,31
39,99
37,11
40,85
38,92
39,11
46,51
40,65
41,61
38,46
37,88
0,322
0,289
0,284
0,367
0,311
0,330
0,298
0,266
22,70
37,87
39,43
0,292
23,10
24,64
36,49
40,39
40,41
34,97
0,301
0,245
22,09
39,14
38,77
0,292
21,51
23,18
23,67
23,27
23,76
38,48
39,16
37,91
36,38
39,41
40,01
37,67
38,42
40,35
36,83
0,304
0,270
0,283
0,301
0,270
24,50
20,92
40,22
36,89
35,28
42,19
0,241
0,329
1.2.
Perumusan Masalah
Ketimpangan pembangunan selama ini berlangsung dan berwujud dalam
berbagai bentuk, aspek, dan dimensi. Bukan hanya berupa ketimpangan hasil
pembangunan, misalnya dalam hal pendapatan per kapita atau pendapatan daerah,
tatapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan
pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah akan tetapi juga
berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional. Banyak bukti yang
menunjukkan betapa ketimpangan masih menjadi hal yang nyata. Munculnya
kawasan-kawasan kumuh (slumps) di tengah beberapa kota besar, serta sebaliknya
hadirnya kantong-kantong permukiman mewah ditepian kota atau bahkan
dipedesaan adalah satu bukti nyata ketimpangan yang terjadi.
Perbedaan gaya hidup masyarakat merupakan bukti lain dari ketimpangan
di Propinsi Jawa Barat pada saat globalisasi semakin meningkat, semangat
desentralisasi dari berbagai daerah muncul, terutama daerah-daerah yang
mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Kondisi ini dipicu oleh sistem
pemerintahan sentralistik yang diterapkan pada masa orde baru sehingga muncul
adanya rasa ketidakadilan dalam pembanguan antar daerah, dan ketika
pemerintahan orde baru berakhir semangat desentralisasi baik dari pemerintah
daerah maupun masyarakat semakin menguat, yang berujung pada diterapkannya
undang-undang tentang otonomi daerah, yang memberikan keleluasaan bagi
daerah untuk melakukan pembangunan daerahnya masing-masing. Di era otomoni
daerah sekarang ini setiap daerah dituntut untuk bisa mengembangkan
PDRB/kapita
1237645
1543733
1604362
1718502
1769080
1428230
1413173
1558058
1600442
1630771
1667439
1680012
1654232
Rasio Gini
0,312
0,301
0,305
0,299
0,292
0,289
0,279
0,263
0,241
0,235
0,201
0,189
0,194
semakin tinggi yang ditunjukkan oleh tingginya rasio Gini dan distribusi 20
persen penduduk yang berpendapatan tinggi, pertumbuhan ekonominya
mengalami penurunan dan sebaliknya.
Berdasarkan uraikan di atas, maka pembahasan penelitian ini akan dibatasi
pada beberapa pokok pembahasan yaitu:
1. Bagaimana pengaruh ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan
rasio gini terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat pada kurun
waktu 1992-2004?
2. Bagaimana pengaruh variabel lainnya yaitu jumlah penduduk, investasi dalam
negeri periode sebelumnnya, investasi luar negeri periode sebelumnya,
pengeluaran pemerintah, otonomi daerah dan masa krisis ekonomi terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat pada kurun waktu 1992-2004?
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dispesifikasikan sebagai berikut:
1.4.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:
2.1.
Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan pada dasarnya merupakan suatu konsep mengenai
pendapatan
perorangan
memberikan
gambaran
tentang
2.2.
Pertumbuhan Ekonomi
Teori Schumpeter (1934) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
Sukirno
(1985),
menyimpulkan
perbadaan
istilah
dari
dalam
pendapatan
perkapita
masyarakat,
yaitu
tingkat
Dalam upaya meningkatkan pendapatan perkapita daerah (PDRB per kapita) juga
harus dilibatkan berbagai faktor produksi (sumber-sumber ekonomi) dalam setiap
kegiatan produksi. Pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi faktor produksi
tenaga kerja, kapital, sumberdaya alam, teknologi dan faktor sosial (seperti adat
istiadat, keagamaan, sistem pemerintahan).
Menurut
Tarigan
(2004)
pertumbuhan
ekonomi
wilayah
adalah
2.3.
perluasan sektor modern. Koefisien Gini tampak seperti kurva berbentuk UTerbalik, seiring dengan naiknya PDRB, seperti terlihat pada gambar.
Koefisien Gini
tertentu, dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut terlihat pada nilai
PDRB-nya, sedangkan untuk golongan masyarakat tentunya adalah jumlah yang
diterimanya pula.
Ketimpangan pendapatan sebenarnya telah terjadi diseluruh negara di
dunia ini, baik negara yang sudah maju maupun negara-negara yang sedang
berkembang. Namun perbedaannya adalah ketimpangan pendapatan lebih besar
terjadi di negara-negara yang baru memulai pembagunannya, sedangkan bagi
negara maju atau lebih tinggi tingkat pendapatannya cenderung lebih merata atau
tingkat ketimpangannya rendah. Keadaan ini antara lain dijelaskan oleh Todaro
(1981),
bahwa
negara-negara
maju
secara
keseluruhan
memperlihatkan
manusia dari wilayah sekitar atau pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah
inti, sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah
pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan
wilayah inti.
Terjadinya ketimpangan regional menurut Mydral disebabkan oleh
besarnya pengaruh dari backwash effect dibandingkan dengan spread effect
dinegara-negara terbelakang. Perpindahan modal cenderung meningkatkan
ketimpangan regional, permintaan yang meningkat ke wilayah maju akan
merangsang investasi yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan yang
menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya, lingkup investasi yang
lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan
modal di wilayah terbelakang.
Persentase pendapatan
nasional
A
C
Persentase jumlah penduduk
Sumber: Pembangunan Ekonomi (2003)
Gambar 2. 2. Pengukuran Rasio Gini dengan menggunakan Kurva
Lorenz
Semakin kecil (semakin mendekati nol) koefisiennya, pertanda semakin
baik atau distribusi merata. Di lain pihak, koefisien yang kian besar (semakin
mendekati satu) mengisyaratkan distribusi yang kian timpang atau senjang. Angka
Rasio Gini dapat ditaksir secara visual langsung dari Kurva Lorenz, yaitu
perbandingan luas area yang terletak di antara Kurva Lorenz dan diagonal
terhadap luas area segitiga BCD. Semakin melengkung Kurva Lorenz akan
semakin luas area segitiga yang dibagi, rasio Gini-nya akan kian besar,
menyiratkan distribusi pendapatan yang kian timpang. Todaro (2003) memberikan
batasan bahwa negara-negara yang ketimpangannya tinggi maka koefisien Gininya terletak antara 0,50 sampai 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang
ketimpangannya relatif rendah atau merata koefisien Gini-nya terletak antara 0,20
sampai 0,35.
Rasio Gini juga dapat dihitung secara matematik dengan rumus :
n
G = 1 ( X i +1 X i )(Yi + Yi +1 )
1
G = 1 f i (Yi + Yi +1 )
0<G<1
Dimana :
G = Rasio Gini
fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas-i
Xi = Proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas-i
Yi = proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas-i
Adapun jumlah rumah tangga dapat dibagi menjadi lima kelas yaitu:
1. 20 persen rumah tangga termiskin
2. 20 persen rumah tangga kedua
3. 20 persen rumah tangga ketiga
memperkecil
pendapatan
perkapita
dan
menimbulkan
masalah
persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung atau tingkat
aritmetik.
Oleh karena pertumbuhan pengadaan pangan tidak dapat terpacu secara
memadai atau mengimbangi kecapatan pertambahan penduduk, maka pendapatan
perkapita cendrung terus mengalami penurunan sampai sedemikian rendahnya
sehingga segenap populasi harus bertahan pada kondisi sedikit diatas tingkat
subsisten (semua penghasilan hanya cukup dikonsumsi sendiri).
Investasi
Investasi
pada
hakekatnya
merupakan
langkah
awal
kegiatan
oleh warga negara dari beberapa negara lain. Penggunaan modal asing tidak hanya
mengatasi kekurangan modal tetapi juga keterbelakangan teknologi.
Investasi asing negara untuk mempercepat pembangunan ekonomi adalah
lebih penting dari pada modal asing swasta, karena kebutuhan keuangan negara
berkembang begitu basar sedangkan investasi asing swasta hanya mampu
menyelesaikan sebagian kecil saja. Investasi asing swasta tidak mau terlibat
dengan masalah pengeluaran sosial seperti bidang pendidikan, kesehatan
masyarakat, program medis, latihan teknis dan penelitian, dan sebagainya.
Sekalipun bidang-bidang tersebut secara tidak langsung meningkatkan efisiensi
ekonomi dan produktifitas perekonomian, tetapi dalam jangka panjang tidak
memberikan keuntungan langsung dan karena itu hanya dapat diandalkan pada
bantuan hibah negara maju. Investasi di bidang ini memerlukan jumlah dan resiko
yang besar di mana modal swasta tidak mampu melaksanakannya (Jhingan, 2004).
Argumen yang mendukung perlunya investasi untuk pertumbuhan
ekonomi di jelaskan menurut teori Harord Domar. Teori ini menekankan perlunya
investasi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, karena investasi menciptakan
pendapatan, dan memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara
meningkatkan stok modal. Kerena itu, selama investasi netto tetap berlangsung,
pendapatan nyata dan output akan senantiasa membesar. Namun demikian, untuk
mempertahankan tingkat ekuilibrium pendapatan pada pekerja penuh dari tahun
ketahun, baik pendapatan nyata maupun output tersebut keduanya harus
meningkat dalam laju yang sama pada saat kapasitas produktif modal meningkat.
Kalau tidak, setiap perbedaan antara keduanya akan menimbulkan kelebihan
S
S4
I1
I2
S3
S2
S1
B
A
Pendapatan
0
Y1
Y2 Y3
Y4
semakin besar juga tingkat kenaikan output, sehingga mengundang investasi yang
memadai untuk mempertahankan keseimbangan, jika koefisien investasi
disumsikan tidak berubah.
Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat.
Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran
menyatakan bahwa Y = C + I + G + (X-M). Variabel Y melambangkan
pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan
variabel-variabel diruas kanan disebut permintaan agragat. Variabel G
melambangkan pengeluaran pemerintah (Government expenditures). Dengan
membandingkan nilai G terhadap Y, serta mengamati dari waktu ke waktu dapat
diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan
permintaan agregat atau pendapatan nasional dan seberapa penting peranan
pemerintah dalam perekonomian nasional.
Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila
pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa,
maka pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut.
Teori Rostow dan Musgrave dalam Dumairy (1996) menghubungkan
perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan
ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut.
Dimana pada tiap tahap pemerintah berlaku sebagai penyedia infrastruktur
penunjang pembangunan. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase
investasi pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini
pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan,
transportasi, dan sebagainya. Pada tahap menengah perkembangan ekonomi,
investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
agar dapat tinggal landas, namun peranan investasi swasta sudah membesar. Tetap
besarnya peranan pemerintah adalah karena pada tahap ini banyak terjadi
kegagalan pasar yang ditimbulkan oleh perkembangan ekonomi itu sendiri.
Banyak terjadi kasus eksternalitas negatif, misalnya pencemaran lingkungan, yang
menuntut pemerintah untuk turun tangan mengatasinya. Rostow berpendapat
bahwa pada tahap lanjut pembangunan terjadi peralihan aktivitas pemerintah, dari
penyediaan prasarana ekonomi ke pengeluaran-pengeluaran untuk layanan sosial
seperti kesehatan dan pendidikan.
2.5.
Otonomi Daerah
Menurut UU No. 5 Tahun 1974 pasal 1 tentang Pokok-pokok
2.6.
(2005),
dalam
skripsinya
yang
berjudul
Analisis
korelasi
menunjukkan
terjadi
hubungan
negatif
antara
indeks
2.7.
dalam jangka panjang, dimana kenaikan tersebut harus lebih tinggi dari persentase
pertambahan jumlah penduduk dan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu
akan berlanjut yang melibatkan berbagai faktor produksi seperti tenaga kerja,
kapital, sumberdaya alam dan teknologi tetapi menurut beberapa pakar ekonomi
(Kuznet dan Kaldor) selain faktor produksi yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi, faktor lain yang tidak kalah penting adalah distribusi pendapatan
Kebijakan Otonomi
Daerah
Krisis Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi
Jawa Barat
Pertumbuhan Penduduk
Investasi Luar Negeri
Investasi Dalam Negeri
Pengeluaran Pemerintah
Distribusi
Pendapatan
2.8.
Hipotesis Penelitian
Penelitian yang berjudul Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi
3.1.
yang akan dipergunakan adalah data time series tahun 1992 sampai tahun 2004.
Data diperoleh dari berbagai sumber antara lain data dari BPS Jawa barat yang
berada di Bandung dan dinas-dinas lain yang terkait dalam wilayah Provinsi Jawa
Barat. Data dan sumber data yang dipakai dalam penelitian ini dapat adalah
seperti pada Tabel 3.1 berikut ini:
Tabel 3.1. Data Dan Sumber Data Yang Digunakan Dalam Penelitian
No
Data
Sumber Data
1
Pendapatan/kapita
BPS Jawa Barat
2
Jumlah Populasi
BPS Jawa Barat
3
Investasi Luar Negeri
Bank Indonesia
4
Investasi Dalam Negeri
Bank Indonesia
5
Pengeluaran Pemerintah
BPS Jawa Barat
6
Rasio Gini
BPS Jawa Barat
3.2.
Jawa dan DKI Jakarta, Provinsi Jawa Tengah, Samudra Indonesia, dan Selat
Sunda. Letak geografis Jawa Barat yang strategis ini merupakan keuntungan bagi
daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. (2) Adanya
Otonomi daerah memberikan wewenang dan hak kepada Kabupaten / Kota untuk
mengatur perekonomiannya sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan
penelitian dilakukan pada bulan Mei 2006.
3.3.
Model Ekonometrika
Model ekonometrika yang dipakai dalam menjelaskan penelitian mengenai
LPP
GE
IDN
ILN
RG
= Rasio Gini
DK
DOT
3.4.
= Intersep
1,.. 6
= Koefisien regresi.
3.5.
yang di estimasi, apakah sesuai dengan teori / keadaan atau tidak. Sedangkan uji
kriteria statistik dilakukan dengan: uji koefisien Determinasi (R2), uji t, dan uji F.
1. Uji Koefisien Determinasi (R2 / R2 adjusted)
Uji Koefisien Determinasi (R2 / R2 adjusted) digunakan untuk melihat
seberapa besar kemampuan variabel-variabel bebas dalam suatu model
untuk menjelaskan variabel terikatnya. Nilai R2 / R2 adjusted berkisar
antara 0 sampai dengan 1, semakin mendekati 1 maka model semakin
baik. Untuk menghitung koefisien determinasi adalah:
R2 =
2. Uji t
Uji t merupakan kriteria statistik untuk melihat signifikansi variabel bebas
tertentu mempengaruhi variabel terikatnya. Koefisien penduga ini (uji t)
perlu berbeda dari nol secara signifikan atau P-Valuenya sangat kecil.
Pengujian uji parsial ini (uji-t) dapat dilihat dari nilai probabilitas tstatistiknya.
Uji satu arah :
Ho : b1 = b2 .....= bi = 0
H1 : bi > 0 atau bi < 0
tolak H0 jika t hit
> t
pada taraf .
Uji dua arah :
H0 : b = b2 .....= bi = 0
H1 : minimal ada salah satu bi 0
tolak H0 jika t hit
>t
/2
pada taraf .
3. Uji F
Uji ini dilakukan untuk melihat apakah semua koefisien regresi berbeda
dengan nol atau dengan kata lain bahwa model tersebut dapat diterima.
Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan adalah variabel bebas
berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas.
Uji F hipotesis yang di uji adalah:
H0: b1 = b2 = b3 = ....= 0
H1: minimal ada salah satu bi 0
Uji F ini dilakukan dengan membandingkan nilai taraf nyata () yang di
tetapkan dan nilai probabilitas F-statistiknya. Dari uji F tersebut dapat
diketahui suatu model dapat diterima atau tidak.
Kriteria uji:
matrix, dimana batas tidak terjadi korelasi sesama variabel yaitu dengan uji Akar
Unit sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari 0.80 (Gujarati, 1997).
Melalui correlation matrix ini dapat pula digunakan Uji Klein dalam mendeteksi
multikolinearitas. Apabila terdapat nilai korelasi yang lebih dari 0.80, maka
menurut uji Klein multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut
tidak melebihi nilai R-squared (Adj) atau R2-nya.
2. Heteroskedastisitas
Kondisi heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi
dari regresi linear klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari
variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi dalam linear klasik
adalah mempunyai varian yang sama (konstan) / homoskedastisitas.
Pengujian masalah heteroskedasitas dilakukan dengan menggunakan uji
Kriteria uji:
Obs*R-squared-nya lebih kecil dari taraf nyata tertentu (terima H0) maka
persamaan itu mengalami autokorelasi.
4. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30. Uji
ini berguna untuk melihat error term terdistribusi secara normal. Uji ini disebut
uji Jarque-bera Test.
Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probality Jarque-bera Test.
H0 : error term terdistribusi normal
H1 : error term tidak terdistribusi normal
Kriteria uji:
4.1.
4.2.
luas tanahnya digunakan untuk pertanian. Hal ini menyebabkan Provinsi Jawa
Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional. Kondisi ini didukung pula
oleh iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu rata-rata perbulan
mencapai 189 mm.
Ciri utama daratan Jawa Barat adalah wilayah pegunungan curam di
selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah
lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100 s/d 1.500 m dpl, wilayah
dataran luas di utara ketinggian 0 s/d 10 m dpl, dan wilayah aliran sungai. Iklim di
Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 9C di Puncak Gunung Pangrango dan
34C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun
dibeberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun.
5.1.
1.
dua variabel bebas yang berkorelasi sempurna atau mendekati sempurna dengan
variabel bebas lainnya. Terjadinya multikolinearitas dapat dideteksi dengan
melihat correlation matrix, jika korelasi antar variabel bebas dalam persamaan
regresi kurang dari 0.8(rule of thumbs) maka disimpulkan bahwa dalam
persamaan regresi tidak terjadi gejala multikolinearitas, dan sebaliknya jika
coefficient matrix > dari 0.8 maka disimpulkan pada persamaan regresi terjadi
gejala multikolinearitas. Namun menurut uji klein bahwa gejala multikolinearitas
dimana coefficient matrix > rule of thumbs dapat diabaikan jika koefisien
determinasi > dari koefisien matrixnya. Dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa ada
coefisient matrix yang lebih besar dari rule of thumbs namun lebih kecil dari
koefisien determinasi model sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model
tersebut tidak mengalami masalah multikolinearitas.
Tabel 5.1. Uji Multikolinearitas
LPP
IDN
LPP
1.000.000
IDN
-0.336832
ILN
-0.090690
0.342083
GE
-0.120671
-0.470677 -0.267434
RG
-0.341977
0.715726
DOT
-0.088117
DK
0.710395
Sumber: Lampiran 4
ILN
GE
RG
DOT
DK
0.634973 -0.758221
0.325542
R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan ( = 10%) maka
disimpulkan bahwa model persamaan mempunyai variabel pengganggu yang
variannya sama (homoskedastisitas).
Tabel 5.2. Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
1.812960
Obs*R-squared
9.065477
Probability
Probability
0.189389
0.208743
Sumber: Lampiran 5
dari uji yang dilakukan dimana nilai dari probabilitas Obs* R-squared adalah
sebesar 0.208743, maka disimpulkan bahwa model persamaan tidak memiliki
masalah heteroskedastisitas.
Selanjutnya kriteria ekonomi yang perlu diuji adalah Autokorelasi
merupakan pelanggaran asumsi klasik yang menyatakan bahwa dalam
pengamatan-pengamatan yang berbeda terdapat korelasi antar error term.
Pengujian autokorelasi dengan menggunakan perangkat E.views 4.1 dapat
diketahui melalui serial correlation LM Test, dimana jika nilai probability obs*
R-Squared pada model lebih besar dari taraf nyata ( = 10%) yang digunakan
maka disimpulkan bahwa model persamaan tidak mengalami gejala autokorelasi,
dan sebaliknya jika probability obs* R-Squared lebih kecil dari taraf nyata yang
digunakan ( = 10%) maka model mengalami gejala autokorelasi.
Tabel 5.3. Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
1.783750 Probability
0.354261
Obs*R-squared
0.145724
4.453095
Probability
Sumber: Lampiran 6
Squared adalah sebesar 0.145724, lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
yaitu sebesar sepuluh persen ( = 10%). Oleh karena itu model persamaan yang
digunakan tidak mengalami gejala autokorelasi.
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah error term terdistribusi
secara normal dimana uji ini disebut uji Jarque Bera-Test, dimana jika nilai
probability Jarque_Bera pada model lebih besar dari taraf nyata ( = 10%) yang
digunakan maka disimpulkan bahwa model persamaan memiliki error term
terdistribusi normal, dan sebaliknya jika probability Jarque_Bera lebih kecil dari
taraf nyata yang digunakan ( = 10%) maka persamaan memiliki error term yang
tidak terdistribusi normal.
Tabel 5.4 Uji Normalitas
5
S e r ie s : R e s id u a ls
S a m p le 1 9 9 2 2 0 0 4
O b s e r v a t io n s 1 3
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
39990362
42091905
47341441
29367143
6828923.
-0.473252
1.674200
Jarque-Bera
Probability
1.326808
0.515095
0
30000000
35000000
sumber : Lampiran 7
40000000
45000000
Pada Tabel 5.4 terlihat bahwa nilai probabilitinya sebesar 0.515095 lebih
besar dari =10%, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam model OLS persamaan
tersebut tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi
normal.
2.
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
-5.750721
1.123413
-5.118973 0.0144*
-0.864896
1.571486
-0.550368 0.6204
10.96609
2.324458
4.717697 0.0180*
0.600155
0.106510
5.634712 0.0111*
0.025111
0.010114
2.482669 0.0891*
0.892442
0.201908
4.420031 0.0215*
-0.103453
0.074907
-1.381080 0.0261*
-83.22204
20.02101
-4.156736 0.0253*
19.01364
0.963138 Mean dependent var
0.098599
0.877126 S.D. dependent var
3.736845
0.034562 Akaike info criterion
3.447466
0.003584 Schwarz criterion
11.19777
28.55265 F-statistic
0.036363
2.444072 Prob(F-statistic)
Berdasarkan hasil pendugaan dari Tabel 5.5 diatas maka, model persamaan
memiliki koefisien determinasi (R-Square) sebesar 0.9631 artinya bahwa variasi
variabel endogennya (Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat) dapat dijelaskan secara
linear oleh variabel bebasnya di dalam persamaan sebesar 96.31 persen, dan
sisanya sebesar 3.69 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar persamaan.
pertumbuhan
penduduk
akan
membawa
masalah
baru
yakni
masalah
seperti
meningkatkan
pembangunan
dan
atau
perbaikan
infrastruktur
akan
distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat menurun sebesar satu persen maka
laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat turun sebesar 0.02 persen, asumsi cateris
pada
terhambatnya
pembangunan
ekonomi
Jawa
Barat.
paribus. Meningkatnya harga akan mengurangi daya beli masyarakat yang pada
akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
6. 1.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai Analisis Pengaruh ketimpangan distribusi
6. 2.
Saran
Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah:
1. Dari temuan empiris yang didapatkan dalam penelitian ini bahwa adanya
DAFTAR PUSTAKA
ILN
PDRB
RG
GE
PP
Dot DK
1992
1237645 142543
2546
46298829
0,312
894714
33584213 0
1993
1543733
11588
2494
54675361
0,301
1035306
34941063 0
1994
1604362
15863
4466
62400245
0,305
1195374
35252423 0
1995
1718502
19338
12445
76198179
0,299
1507228
35494829 0
1996
1769080
19213
7762
89405209
0,292
1622267
37285131 0
1997
1428230
37429
7966 101100563
0,289
1604888
39206787 0
1998
1413173
8117
5504 142763786
0,279
660000
40896320 0
1999
1558058
18342
1499 159349580
0,263
917771
42428584 0
2000
1600442
9742
3138 174649549
0,241
1159104
43553000 0
2001
1630771
7025
2780 193176425
0,235
2222994
36075355 1
2002
1667439
5587
1054 214302257
0,201
2368343
36914883 1
2003
1680012
5567
1294 270695000
0,189
3309049
37980422 1
2004
1654232
7556
2672 305305606
0,194
3514628
38611000 1
Keterangan
PDRB/kapita
IDN
ILN
PDRB
RG
GE
PP
Dot
DK
LKAP
LPP
RG
Dot
DK
1992
14.02872
17.32957
0,312
11,3391
30,7870
1,9325
1993
14.24971
17.36917
0,301
9,6247
21,1942
1,8936
1994
14.28824
17.37804
0,305
15,7455
25,4214
1,9157
1995
14.35696
17.38490
0,299
37,6952
25,3786
1,9780
1996
14.38597
17.43411
0,292
20,6888
21,4898
1,8145
1997
14.17195
17.48436
0,289
36,6387
37,0216
1,5874
1998
14.16135
17.52655
0,279
30,9389
5,6856
0,4623
1999
14.25895
17.56333
0,263
6,6649
11,5105
0,5759
2000
14.28579
17.58949
0,241
17,2397
5,5780
0,6637
2001
14.30456
17.40112
0,235
14,9666
3,6366
1,1508
2002
14.32680
17.42413
0,201
4,3969
2,6071
1,1051
2003
14.33431
17.45258
0,189
4,0465
2,0566
1,2224
2004
14.31885
17.46905
0,194
8,1305
2,4749
1,1512
Data : diolah
Keterangan
LKAP
LPP
RG
ILN_PDRB
IDN_PDRB
G_PDRB
Dot
Dk
Coefficient
-5.750721
-0.864896
10.96609
0.600155
Std. Error
1.123413
1.571486
2.324458
0.106510
t-Statistic
-5.118973
-0.550368
4.717697
5.634712
Prob.
0.0144
0.6204
0.0180
0.0111
RG
DOT
0.025111
0.892442
0.010114
0.201908
2.482669
4.420031
0.0891
0.0215
DK
C
-0.103453
-83.22204
0.074907
20.02101
-1.381080
-4.156736
0.0261
0.0253
R-squared
0.963138
19.01364
Adjusted R-squared
S.E. of regression
0.877126
0.034562
0.098599
-3.736845
0.003584
28.55265
2.444072
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
-3.447466
11.19777
0.036363
IDN
LPP
1.000.000
ILN
IDN
-0.336832
1.000.000 0.342083
GE
RG
DOT
DK
0.710395
-0.470677
0.715726
-0.614137 -0.524532
1.000.000 -0.267434
0.634973
-0.576193 -0.426931
ILN
-0.090690
0.342083
GE
-0.120671
-0.470677 -0.267434
RG
-0.341977
0.715726
0.634973
-0.758221
DOT
-0.088117
-0.614137 -0.576193
0.846573
-0.881134
DK
0.710395
-0.524532 -0.426931
0.325542
-0.740804
1.000.000 -0.758221
0.846573
0.325542
1.000.000
Probability
Probability
0.189389
0.208743
0.354261
Obs*R-squared
0.145724
4.453095
Probability
5
Series: Residuals
Sample 1992 2004
Observations 13
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
39990362
42091905
47341441
29367143
6828923.
-0.473252
1.674200
1
Jarque-Bera 1.326808
Probability 0.515095
0
30000000 35000000 40000000 45000000