Media Penilai September 2013
Media Penilai September 2013
Media Penilai
Media Penilai
Media Penilai
daftaR isi
alam dua edisi berturut-turut, kami menurunkan laporan tentang bisnis tambang.
Jika pada edisi sebelumnya Majalah Media Penilai mengangkat topik tentang bisnis
batu bara dan prospek jasa penilaiannya dalam rubrik Laporan Utama, kali ini yang
diangkat adalah bisnis tambang mineral dan prospek jasa penilaiannya pula.
Sengaja kami menurunkan laporan tentang bisnis tambang dalam edisi berurutan, mengingat baik bisnis tambang batu bara maupun tambang mineral telah berkembang sedemikian
rupa hingga menjadi peluang baru yang sangat potensial bagi usaha jasa penilai, terutama
dalam beberapa tahun ke depan.
Seperti halnya ketika mengangkat topik bisnis batu bara, dalam Laporan Utama kali ini
kami juga kami juga membahas secara luas dan mendalam perihal perkembangan, problematika, dan prospek bisnis tambang mineral. Lebih-lebih, sesuai dengan amanat UndangUndang tentang Mineral dan Batu Bara yang diterbitkan pada 2009, larangan ekspor barang
tambang mentah dan kewajiban mengolah semua barang tambang mineral di dalam negeri
efektif berlaku mulai tahun 2014.
Kalangan profesi penilai yang mulai banyak terlibat dalam kegiatan penilaian di sektor
pertambangan tentu harus memiliki referensi yang memadai akan seperti apa kondisi dan
perkembangan bisnis tambang mineral dalam beberapa tahun ke depan. Informasi penting
dan akurat sangat diperlukan agar para penilai dapat memberikan opini nilai yang tepat dan
akurat pula dalam penilaian di bisnis tambang.
Itulah alasan kenapa dalam dua edisi berturut-turut ini kami menurunkan laporan tentang
bisnis tambang batu bara dan disusul dengan laporan tentang bisnis tambang mineral.
Selain itu, kami juga menurunkan laporan penting dan tergolong baru bagi profesi penilai
dalam rubrik Laporan Khusus, yaitu tentang standar biaya teknik bangunan (BTB) serta
standar umur bahan bangunan dan umur ekonomis bangunan. Di negara-negara lain, standar
serupa sudah lama ada, dan para penilai memiliki panduan yang pasti dalam menjalankan
tugas profesionalnya.
Saat ini, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) tengah memfinalisasi standar BTB
dan umur bangunan dan umur ekonomis bangunan. Nanti, jika telah disahkan, para penilai anggota MAPPI akan memiliki standar yang sama dalam menilai BTB, umur bahan bangunan, dan
umur ekonomis bangunan. Dengan demikian, akan ada keseragaman standar yang, pada gilirannya, akan melahirkan opini nilai yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
Apa saja standarnya merupakan bagian terpenting dalam Laporan Khusus kali ini.
Seperti biasa, kami juga menurunkan sejumlah informasi penting berkaitan dengan
dinamika dunia profesi penilai dan sejumlah artikel yang berkaitan dengan profesi penilai.
Semoga semua informasi yang kami sajikan dalam menambah khasanah pengetahuan dan
memperkaya referensi bagi seluruh stake holder jasa penilaian. q
n LAPORAN UTAMA
5 12
13 14
Mengenal Karakter
Penilaian Bisnis Tambang
15 17
18 19
Rupiah Terpuruk,
Terbitlah Relaksasi
n WAWANCARA
20 24
n REGULASI
25 26
27 28
n ARTIKEL
29 35
36 46
n LAPORAN KHUSUS
47 48
49 51
n TEKNOLOGI
52 54
n INFO MAPPI
56
58
Pelindung: Pengurus Pusat MAPPI Pemimpin Redaksi: Ir. Karmanto, M.Ec. Dev, MAPPI
(Cert.) Sekretaris Redaksi: R.A. Dewi Kencanawati, SE, MAPPI (Cert.) Dewan Redaksi:
Ir. Karmanto, M.Ec. Dev, MAPPI (Cert.), Muhammad Adlan, M.Ec. Dev, SSi, MAPPI (Cert.),
R.A. Dewi Kencanawati, SE, MAPPI (Cert.), Ir. Budi Prasodjo, M.Ec. Dev. MAPPI (Cert.), Iwan
Bachron, SE, MAPPI (Cert.), Yudistira Ananda, SE, Ak MAPPI (Cert.), Bunga Budiarti, SE
Redaksi: Suharto, Mukhlisin Desain Grafis: Arif Maulana Distribusi: Sekretaris MAPPI
Alamat Redaksi: Wisma Penilai, Jl. Kalibata Raya No. 11-12 E Jakarta Selatan, Telp: 0217949079, Fax: 021-7949081 Website: www.mappi.or.id e-mail: media_penilai@yahoo.com
Majalah Penilai diterbitkan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI),
dibagikan secara gratis untuk kalangan anggota serta stakeholder profesi penilai
Redaksi Media Penilai menerima tulisan, artikel, pengalaman profesional serta informasi terkait dengan profesi penilai.
Diharapkan tulisan yang dikirim ke redaksi Media Penilai harap melampirkan identitas diri
beserta CV penulis. Terima kasih.
Media Penilai
Laporan Utama
alam suatu kesempatan, sembari bersungut-sungut Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Jero Wacik
mengungkapkan kemasygulannya. Dari
Laporan Utama
Jenis Komoditas Tambang Mineral Logam dan Bukan Logam Tertentu dan
Batuan yang Wajib Dilakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian:
I. Bijih:
a. tembaga; b. emas; c. perak d. timah; e. timbal dan seng; f. kromium; g. molibdenum;
h. platinum group metal; i. bauksit; j. bijih besi; k. pasir besi; 1. nikel danl atau kobalt;
m. mangan; dan n. antimon.
II. Jenis komoditas tambang mineral bukan logam tertentu:
a. kalsit (batu kapur/gamping); b. feldspar; c. kaolin; d. bentonit; e. zeolit; f. silika
(pasir kuarsa); g. zirkon; dan h. intan.
III. Jenis komoditas tambang batuan tertentu :
a. toseki; b. marmer; c. onik; d. perlit; e. slate (batu sabak); f. granit; g. granodiorit; h.
gabro; 1. peridotit; j. basalt; k. opal; l. kalsedon; m. chert (rijang); n. jasper; o. krisoprase; p. garnet; q. giok; r. agat; dan s. topas.
Media Penilai
Laporan Utama
Unit
Sumber Daya
Cadangan
Juta Ton Bijih : 1.878
Logam : 42
Bijih : 546,83
Logam : 8,7
Juta Ton Bijih : 95
Logam : 0,65
Bijih : 0,54
Logam : 0,33
Juta Ton Bijih : 726,58
Logam : 249,67 Bijih : 111,79
Logam : 65
Juta Ton Bijih : 2.384
Logam : 69,76
Bijih : 4.229
Logam : 42,85
Ribu Ton Bijih : 1.980.234,64 Logam : 4,2
Bijih : 5.117.034,40
Logam : 4,3
Ribu Ton Bijih : 1.668.652,45 Logam : 0,14
Bijih : 16.789
Logam : 0,0038
Juta Ton Bijih : 616,09
Logam : 0,5
Bijih : 4.773,06
Logam : 0,026
Juta Ton Bijih : 1.014,79
Logam : 132,91 Bijih : 4.732
Logam : 2,41
Juta Ton Bijih : 10,62
Logam : 5,78
Bijih : 0,93
Logam : 0,59
Ton
75,91
Juta Ton Bijih : 1.565,19
Logam : 631,6
Bijih : 80,640
Logam : 18,08
Juta Ton Bijih : 382,24
Logam : 198,62 Bijih : 1,85
Logam : 1,38
Juta Ton Bijih : 1.263,33
Logam : 1,4
Bijih : 152,86
Logam : 0,22
Juta Ton Bijih : 5,7
Logam : 2,4
-
Juta Ton Bijih : 1,6
Logam : 0,75
-
Juta Ton Bijih : 685
Logam : 0,21
-
Ribu Ton Bijih : 185,9
Logam : 10,5
Bijih : -
Logam : 2,7
Ribu Ton Bijih : 115.000
Logam : 13,03
-
Juta Ton Bijih : 586,9
Logam : 6,78
Bijih : 6,7
Logam : 0,97
Juta Ton Bijih : 74,9
Logam : 3,1
Bijih : 1,6
Logam : 0,12
Juta Ton Bijih : 741,2
Logam : 2,9
Bijih : 2,7
Logam : 0,026
Juta Ton Bijih : 71,3
Logam : 71,3
Bijih : 1,4
Logam : 0,11
Juta Ton Bijih : 23,7
Logam : 15,4
-
Sumber: Badan Geologi, 2010
Media Penilai
Laporan Utama
berusaha memperbesar ekspor. Tapi, yang
banyak bermain sekarang ini adalah para
pengusaha bermental dagang, semangatnya
hanya menjual, menjual, dan menjual tanpa
berpikir panjang. Yang penting untung besar. Mereka ini bukan penambang tulen,
ujarnya. Tidak salah memang, karena
aturannya masih memungkinkan. Tapi dalam
jangka panjang itu merugikan, imbuh Tedy
Badrujaman.
Hal yang tak jauh berbeda juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Masyarakat
Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) Arif
Zardi Dahlius. Arif Zardi yang juga seorang
pelaku usaha tambang mineral ini merasakan
bahwa dalam lima tahun terakhir, sejak UU
Minerba diundangkan, gairah ekspor barang
tambang mentah justru menguat. Diakui
Zardi, masa sebelum larangan ekspor ini
resmi diberlakukan benar-benar dimanfaatkan secara optimal oleh banyak pengusaha
tambang untuk menjual hasil tambangnya ke
berbagai negara tujuan. Terutama ke China,
India, Jepang, dan Korea Selatan.
Baik sebelum dan sesudah adanya kebijakan kuota ekspor dan bea keluar untuk barang tambang, menurut Zardi, kecenderungan
ekspor raw material tak pernah mengendur.
Semua berlomba-lomba mengekspor,
tandas Zardi. Seperti halnya Tedy Badrujaman, Zardi juga melihat adanya sejumlah
kemungkinan yang mendorong tingginya laju
ekspor barang tambang mentah ini. Pertama,
senyampang kebutuhan pasar ekspor akan
barang tambang mentah masih tinggi, para
pengusaha tambang memanfaatkan peluang
itu untuk berburu keuntungan semata.
Namun, lanjutnya, ada juga yang melakukan ekspor sebagai bagian dari rencana
perusahaan tambang untuk membangun
smelter. Pada umumnya, demikian Zardi,
pengusaha-pengusaha tambang yang mengajukan rekomendasi ke Kementerian ESDM
sejak diberlakukan kuota ekspor mendalilkan rencana pembangunan smelter sebagai
alasannya. Namun, dalam prakteknya di
lapangan sulit dipastikan apakah hasil ekspor
raw material tersebut benar-benar akan dimanfaatkan untuk membangun smelter atau
untuk kepentingan lain.
Buktinya, progresnya bagaimana?
Apakah sudah ada yang membangun smelter? Belum ada satu pun. Semua baru komitmen di atas kertas. Padahal, 2014 tinggal
beberapa bulan lagi. Belum ada yang siap,
Media Penilai
Zardi menjelaskan.
Dilema Hilirisasi
Bagi anggota Dewan Penasihat MGEI
Sukmandaru Prihatmoko, kebijakan larangan
ekspor yang dalam prakteknya diubah menjadi kuota ekspor, jika diterapkan secara kaku
akan berdampak sangat serius bagi bisnis
usaha tambang di Indonesia. Jika ekspor raw
material dihentikan begitu saja, menurutnya,
sangat banyak perusahaan tambang yang terpukul. Dampaknya, akan terjadi pengurangan
produksi besar-besaran, bahkan bisa jadi tak
sedikit perusahaan tambang yang berhenti
beroperasi.
Gejalanya sudah mulai terjadi di berbagai daerah, ujarnya. Menurut pengamatan
Sukmandaru, sudah banyak perusahaan
tambang yang mulai mengurangi produksi.
Dampak lanjutannya, imbuh Sukmandaru,
akan terjadi pemutusan hubungan kerja
(PHK) besar-besaran di sektor pertambangan
mineral. Program hilirisasi ini memang
dilema. Jika dipaksakan secara kaku, banyak
perusahaan tambang gulung tikar. Jika tidak
ada hilirisasi, cadangan tambang akan habis
tanpa memberi banyak nilai tambah, jelas
Sukmandaru.
Sukmandaru Prihatmoko
Menurut Tedy Badrujaman, jika pertambangan nasional ditata dan dikelola dengan
baik, maka Indonesia akan menjadi salah satu
negara terkuat dan terkaya di dunia. Sebab,
Indonesia memiliki kekayaan tambang yang
sangat besar dan beraneka ragam. Tinggal
bagaimana kita memanfaatkan kekayaan
tambang ini, ujarnya.
Unit
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Sumber Daya
551.1
1,959.40
18.9
7.4
90.2
3159
41.1
17,489.90
3.1
258.1
1
732.8
104.8
0.1
1.7
0.2
0.6
7,411.20
Sumber: Badan Geologi, 2010
Laporan Utama
Unit
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Juta Ton
Sumber Daya
621.4
253,585.60
370.6
75,244.10
1,943.70
7,629.30
8,336.90
52,468.80
371.00
436.10
3,885.80
29,517.90
66.80
1,205.60
224.40
4,124.30
0.008668
108.30
0.0006
Sumber: Badan Geologi, 2010
Laporan Utama
tambang lain seperti bauksit dan perak.
Sebagai contoh, sumber daya bijih bauksit
mencapai 726 juta ton dengan cadangan
111,79 juta ton. Sedangkan, sumber daya
bijih perak mencapai 616 juta ton dengan
cadangan sebesar 4.773 juta ton.
Diperlukan Grand Design
Dengan sumber daya dan cadangan yang
sangat besar, memang wajar jika volume
produksi tambang Indonesia dari tahun ke
tahun juga terus meningkat hingga menempatkan Indonesia menduduki peringkat atas
negara produsen berbagai barang tambang.
Hanya, yang menjadi masalah, seperti
diungkapkan Kepala Subdirektorat Pengawasan Produksi dan Pemasaran Mineral
Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara
Kementerian ESDM Harsonyo P Wibowo,
barang-barang tambang tersebut lebih banyak yang diekspor sebagai barang tambang
mentah tanpa melalui proses pengolahan
terlebih dahulu. Sehingga nilai tambahnya
rendah, katanya.
Karena itu, menurutnya, pemerintah
sudah komit untuk melakukan penataan
usaha tambang dengan menjalankan UU
Minerba beserta berbagai regulasi yang
mendukungnya. Hingga saat ini, kebijakan
masih mengacu pada UU Minerba. Mulai
Januari 2014, tidak diizinkan lagi ekspor
raw material. Semua harus diolah di dalam
negeri, tandas Harsonyo.
Ia optimis program hilirisasi akan berjalan sesuai rencana. Apalagi, imbuhnya, para
pengusaha tambang sudah diberi kesempatan
Harsonyo P Wibowo
Unit
ton
kg
kg
ton
mt
ton
wmt
mt
ton
wmt
ton
crt
2005
-
1,724
11,985
974
-
-
-
-
-
23,267
155,507
-
2006
-
1,882
12,967
1,927
-
-
-
-
-
6,051
455,778
-
2007
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
30,049
-
2008
216,761
15,216
58,392
747
-
-
-
-
-
-
-
-
2009
240,782
29,776
70,397
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2010
227,812
22,054
62,804
-
10
Media Penilai
Laporan Utama
Unit
ton
kg
kg
ton
mt
ton
wmt
mt
ton
wmt
ton
crt
2005
1,054,778
140,321
306,603
66,920
1,039,380
77,218
2,688,477
24,463
4,930
-
3,856,074
24,075
2006
816,181
85,176
244,144
61,422
1,536,542
72,879
4,309,134
-
13,389
-
5,160,623
47,039
2007
785,552
119,637
268,051
63,679
964,282
77,838
6,907,459
-
17,548
-
684,948
10,411
2008
450,661
57,475
172,484
50,198
893,088
74,030
5,342,924
-
17,025
-
-
32,748
2009
698,190
102,081
303,346
55,355
445,662
67,782
4,901,699
-
14,191
-
-
-
2010
597,231
76,421
197,212
208,473
164,498
77,035
2,760,344
9,303
-
Media Penilai
11
Laporan Utama
sumber energi, dalam hal ini listrik. Sebab,
demikian Zardi menggambarkan, kebanyakan wilayah tambang mineral berada di
remote area atau daerah yang jauh di pedalaman dengan dukungan infrastruktur nol.
Kalau pun ada yang membangun smelter,
menurut Zardi, bagaimana dengan pasokan
listriknya karena kebutuhan energinya sangat
besar. Pengalaman selama ini, PT Perusahaan
Listrik Negara (PLN) tidak sanggup menyuplai kebutuhan listrik untuk daerah-daerah
pertambangan. Selain kebutuhan energinya
sangat besar, lokasinya pun berada jauh di
luar jangkauan jaringan kelistrikan PLN.
Kalau untuk suplai energinya juga harus
membangun sendiri, beban terlalu berat dan
risikonya terlalu besar buat pengusaha,
ujar Zardi.
Ketidaksiapan infrastruktur tersebut,
Zardi menambahkan, menunjukkan dua hal.
Pertama, dukungan pemerintah belum maksimal. Kedua, belum adanya perencanaan yang
matang, baik secara khusus terkait program
hilirisasi tambang mineral maupun secara
umum dalam hal strategi pengembangan
industri pertamnbangan nasional ke depan.
Zardi menjelaskan lebih jauh, misal-
34 Juta
10 Juta
5 Juta
72 Ribu
19 Ribu
674 Ribu
66
250
12
Media Penilai
Konsentrat Konsentrat
Tin
Tembaga
(tonmetrik) (tonmetrik)
52 304 1 758 910
54 521 1 817 880
53 960
2 640 040
49 708
2 645 180
56 360
3 270 335
69 494
2 418 110
88 142
2 851 190
74 316
3 238 306
73 080
2 812 664
78 404
3 553 808
79 100
817 796
64 127
796 899
79 210
655 046
56 602
973 347
97 796
993 152
89 600 1 472 238
Laporan Utama
13
Laporan Utama
kan tahapan-tahapan tersebut, pungkas
Sukmandaru.
Pentingnya mengenali karakter usaha
tambang juga diungkapkan Panca Jatmika,
penilai anggota Masyarakat Profesi Penilai
Indonesia (MAPPI) yang sudah berpengalaman dalam melakukan kegiatan penilaian
sektor pertambangan. Pertama, penilai
memang harus mengenal betul karakter
usaha pertambangan. Menilai tambang itu
tidak mudah, karena tidak semua pendekatan dapat dilakukan. Pemilihan pendekatan
harus disesuaikan dengan tahapan dan proses
kegiatan penambangan, ujarnya.
Dia menjelaskan, di dalam pertambangan
dikenal adanya tahap eksplorasi, eksploitasi, dan produksi. Dengan demikian, di
tahap mana kegiatan tambang berada akan
menentukan pendekatan yang dipilih untuk
kegiatan penilaian; apakah akan menggunakan pendekatan pasar (market approach),
pendekatan biaya (cost approach), atau
pendekatan pendapatan (income approach).
Sebagai contoh, jika menilai sebuah perusahaan pada tahap eksplorasi, pendekatan
paling cocok menurut Panca adalah market
approach dan cost approach. Tidak pas
kalau menggunakan income approach,
ujar Panca.
Alasannya, pada tahap eksplorasi itu
belum bisa diperoleh laporan kandungan
mineral di dalam tanah seperti apa dan belum
teruji. Jika terpaksa harus menggunakan
pendekatan pendapatan, misalnya, Panca
mengingatkan agar penilai bertindak sangat
hati-hati karena penilai harus bermain dengan harga proyeksi. Sebaliknya, pendekatan
biaya dan pendekatan pasar lebih cocok
digunakan lantaran bisa memanfaatkan datadata dalam veasibility study tambang yang
bersangkutan.
Dari sisi teknis penilaian, menurut Panca,
sebenarnya tak beda dengan melakukan
penilaian di bidang atau sektor lain. Hanya,
imbuhnya, jika memang tidak memiliki
kemampuan teknis, penilai disarankan menggunakan tenaga ahli yang di lingkungan
pertambangan disebut competent person.
Yang juga harus diperhatikan oleh penilai
adalah apa yang dinilai dan untuk tujuan apa.
Lazimnya, menurut Panca, tujuan penilaian
ada dua, yaitu penilaian untuk transaksi jual
beli dan laporan keuangan. Jika untuk laporan keuangan karena sudah menggunakan
fair value (nilai wajar), menurut Panca, maka
14
Media Penilai
Laporan Utama
Smelter yang
Membikin Keder
Banyak perusahaan tambang yang kesulitan membangun
pabrik pemurnian dan pengolahan tambang mineral yang
popular disebut smelter. Apa susahnya membangun
smelter? Berapa modal yang diperlukan? Bagaimana nilai
keekonomiannya?
agi banyak pengusaha tambang mineral, hantu itu bernama smelter. Sebab, terhitung
mulai Januari 2014, tanpa
smelter mereka tak bisa lagi
mengekspor hasil tambang, apalagi masih
dalam bentuk barang tambang mentah (raw
material) seperti yang mereka lakukan selama ini. Berdasarkan titah Undang-Undang
(UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba),
mulai 2014 semua produk tambang wajib
diolah di dalam negeri untuk menjadi produk
hilir, baru kemudian bisa dipasarkan baik
15
Laporan Utama
smelter ini, sekitar 60 persen dijual di dalam
negeri dan sisanya diekspor.
Contoh lain, meskipun, berdasarkan data
dari Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), memiliki sumber daya
bijih nikel mencapai 2,6 miliar ton dengan
cadangan mencapai 576 juta ton, di Indonesia
saat ini hanya ada dua perusahaan smelter,
yaitu FeNi PT Antam dengan kapasitas 2,95
juta ton dan Ni in Matte PT INCO dengan
kapasitas sebesar 6,08 juta ton bijih.
Jadi, negara yang kaya akan sumber daya
mineral ini ternyata miskin mesin pengolahannya. Baru belakangan, sejak diterbitkannya
UU Minerba pada 2009, pemerintah ingin
menggalakkan pembangunan smelter yang
langsung membikin banyak pengusaha
tambang keder karena harus berhitung
nilai investasi yang sangat besar. Sebagai
contoh, PT Aneka Tambang (Antam) saat
ini berencana membangun smelter nikel
di Halmahera Timur dengan nilai investasi
mencapai 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp
1,2 triliun. Ya, investasinya memang sangat
besar, ujar Direktur Operasi PT Antam Tedy
Badrujaman.
Investasi yang siap digelontorkan Antam
tersebut boleh dibilang tak seberapa jika
dibandingkan dengan yang direncanakan
perusahaan lain. Menurut peneliti dan analis
investasi pasar modal Wawan Hendrayana,
seperti dikutip Kontan, untuk membangun
smelter besi menjadi sponge iron dibutuhkan
dana investasi sekitar 132 miliar dollar AS.
Sedangkan, semlter besi menjadi ping iron
membutuhkan investasi sebesar 165 miliar
16
Media Penilai
Laporan Utama
17
Laporan Utama
Rupiah Terpuruk,
Terbitlah Relaksasi
Di tengah pembatasan ekspor barang tambang mineral
mentah, tiba-tiba nilai tukar rupiah terhadap dollar AS
terpuruk. Untuk memperkuat cadangan devisa, pemerintah
melonggarkan aturan ekspor barang tambang mentah (raw
material). Tapi, efektivitasnya diragukan.
Media Penilai
Laporan Utama
kondisi areal pertambangan. Meski begitu,
untuk komoditas nikel dan bauksit masih
ada kesempatan. Sebab, kondisi areal pertambangan kedua komoditas tersebut tidak
terlalu sulit untuk ditingkatkan kapasitas
produksinya.
Sejumlah Rencana Bisnis
Meskipun kondisi usaha pertambangan
mineral tidak menentu mendekati tenggat
implementasi program hilirisasi, sejumlah
perusahaan pemegang IUP telah menyusun
rencana bisnis yang boleh dibilang optimistis. PT Aneka Tambang (Antam), misalnya,
tahun 2013 ini menargetkan adanya peningkatan produksi emas 16,4 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Tahun lalu, produksi
emas Antam sebesar 2.849 kilogram dan
akan ditingkatkan menjadi 3.316 kilogram tahun ini. Untuk memenuhi target itu, produksi
pabrik emas Antam di Pongkor, Jawa Barat,
akan digenjot.
Produksi tambang emas Aneka Tambang di Pongkor ditargetkan sebesar 2.001
kilogram, naik 17,7% year-on-year dari
1.700, sedangkan produksi tambang emas di
Cibaliung, Banten, ditargetkan naik menjadi
1.315 kilogram dibandingkan tahun lalu
yang sebesar 1.149 kilogram. Tahun lalu,
penjualan emas Aneka Tambang mencapai
7.024 kilogram dengan nilai penjualan
sebesar Rp 3,36 triliun, naik tipis dari
penjualan tahun sebelumnya yang sebesar
7.009 kilogram.
Secara keseluruhan, pada 2012 Antam
membukukan penjualan yang belum diaudit
(unaudited) sepanjang 2012 sebesar Rp 10,41
triliun atau naik tipis dibandingkan penjualan
2011 yang sebesar Rp 10,38 triliun. Total
penjualan tersebut diperolah dari penjualan
feronikel sebesar Rp 3,14 triliun, bijih nikel
Rp 3,07 triliun, emas Rp 3,63 triliun, batu
bara Rp 208 miliar, dan ekspor bauksit Rp 29
miliar. Sepanjang 2012, Antam memproduksi
18.372 TNi feronikel, lebih tinggi dibandingkan produksi 2011 yang sebanyak 18.000
TNi, dan menjual 19.530 TNi feronikel, lebih
tinggi dibandingkan penjualan 2011 yang
sebanyak 19.527 TNi.
Sementara itu, dua tambang milik PT
Bumi Resources Mineral Tbk (BMRS),
emiten tambang mineral logam dalam
kelompok usaha Bakrie, dipastikan akan
mulai berproduksi pada 2016. Kedua tambang tersebut adalah satu tambang emas di
19
WAWANCARA
ntuk mendalami seperti apa sesungguhnya kondisi bisnis pertambangan di Indonesia saat ini
dan bagaimana masa depannya,
Majalah Media Penilai mewawancarai salah
satu pelaku bisnis tambang, Direktur Operasi
PT Aneka Tambang (Antam) Tedy Badrujaman. Sarjana Teknik Tambang Metalurgi dari
Institut Teknologi Bandung ini bergabung
dengan Antam sejak 1991. Sebelum dipercaya menjadi Direktur Operasi pada April
2013, peraih gelar Magister Manajemen
Internasional dari Sekolah Tinggi Prasetiya
20
Media Penilai
WAWANCARA
galian C seperti batu, batu kapur, dan pasir.
Pendeknya, semua dari hasil tambang. Jadi,
misalnya, jika pertambangan distop, pasti
pembangunan akan terhenti. Jika tambang
distop, tidak akan ada pabrik yang memproduksi mobil, produk elektronik, dan
segala macamnya.
Masalah tambang di kita dari sisi
mananya?
Ya pengolahannya itu. Yang kasat mata
terlihat, misalnya, mobil kita impor, produk
elektronik kita impor. Segala macam produk
teknologi kita impor. Padahal, sumber dayanya ada di kita, bahan bakunya ada di kita,
yaitu bahan tambang. Itu problem kita.
Kita punya bahan bakunya, bahan baku itu
kita ekspor, lalu jadi importir, jadi pembeli
produk akhirnya. Tapi, yang lebih dulu ingin
saya katakan, sepanjang masih ada pembangunan dan konsumen dunia membutuhkan
produk akhir dari bahan-bahan tambang,
maka prospek bisnis pertambangan tetap
bagus dan usaha tambang tak mungkin bisa
distop begitu saja.
Bagaimana jika ada kebijakan moratorium, misalnya?
Bisa saja kita stop, tapi harus diingat
bahwa yang akan mendapatkan keuntungannya tetap orang lain. Mereka akan makin
menguasai usaha tambang mulai dari hulu
hingga produk hilirnya. Pembangunan tidak
akan berhenti. Kebutuhan produk teknologi
juga tidak akan berhenti. Dan, semuanya itu
memerlukan pasokan bahan tambang. Yang
ingin saya katakan, melihat prospek bisnis
tambang, termasuk bagaimana membuat
regulasinya, tidak bisa didekati dari satu sisi,
sisi penambangannya saja, misalnya. Harus
dilihat secara utuh, secara keseluruhan. Jadi,
menurut saya, tak seharusnya penambangan
distop. Hanya, penambangnya harus benarbenar profesional. Tidak sekadar menambang
hanya untuk jor-jor ekspor bahan tambang
mentah. Jadi memang harus ada proses
hilirisasi.
Bukankah memang itu yang terjadi
selama ini?
Ya memang, tapi sayang juga kalau kita
jor-joran nambang hanya untuk diekspor
semua. Kalau hanya menambang kemudian
diekspor semua mentah-mentah, tak ubahnya
kita ini tukang gali saja, dan orang lain
industri segala macam di sini. Sayang, bahan baku hanya ditambang untuk jor-joran
diekspor ke China dan ke negara-negara
lain. Negara lain yang memproduksi hilirnya,
dan datang lagi ke kita, kita yang membeli.
Jadi, kita tidak pernah menikmati apa hasil
tambang tersebut. Seharusnya dari awal
sampai hilir,
Seberapa besar sebenarnya sumber
daya yang kita miliki?
Tonasinya saya tidak ingat. Tapi yakinlah
komoditi-komoditi itu masih banyak di kita.
Jumlahnya juga masih banyak. Hanya pertambangan di kita ini memang baru mencari
nilai ekonomis yang sumbernya banyak. Di
luar negeri yang banyak-banyak itu sudah
dieksploitasi beberapa puluh atau bahkan
ratusan tahun yang lalu. Sedangkan, di kita
ini lebih ke arah penambangan marginal.
Seberapa besar bahan tambang mentah kita yang diekspor?
Dari data yang ada sih sekarang malah
lebih banyak bahan mentah itu dipasarkan.
Kalau Antam sendiri sudah membangun
pabrik dari puluhan tahun lalu. Dari tahun
1973 sudah membangun pabrik teronikel.
Media Penilai
21
WAWANCARA
Tahun 1995 bangun lagi pabrik keduanya.
Tahun 2007 bangun lagi. Kemudian di Pongkor pabrik emas. Di Cikotok malah sudah
sejak zaman Belanda. Artinya, sedari awal
kalau Antam sendiri tujuannya tidak sekadar
menambang, tapi memproduksi. Kami sudah
memproduksi bahan-bahan jadi.
Apakah hasil tambang milik Antam
semuanya dimurnikan sendiri atau masih
ada yang diekspor mentah?
Harus diakui, kami juga masih mengekspor bahan mentah sesuai kebutuhan, tidak
ikut tidak jor-joran, dan sepanjang itu masih
diizinkan. Kalau regulasi mengatakan stop
ekspor tambang mentah, kami akan patuh.
Kalau untuk emas, tak ada yang kami ekspor
mentah. Langsung kami olah dan langsung
habis diserap pasar.
Seperti apa persaingan di antara perusahaan tambang sendiri?
Persaingan hanya terjadi pada kualitas
produk. Karena, sudah sejak 1970-an kami
sudah menambang. Dalam menambang kami
sudah punya prosedur khusus, kita akan menambang kalau kita tahu cadangannya dan
kualitas cadangannya seperti apa. Setelah
itu baru dimasukkan pabrik. Jadi, mulai
dari eksplorasinya kualitasnya betul-betul
terjamin karena yang akan masuk pabrik
harus terjamin. Hasil tambang yang kami
22
Media Penilai
WAWANCARA
mana? Dari Indonesia!
Sesungguhnya dari segi teknologi
apakah kita siap bersaing juga?
Sekarang asal mau saja. Teknologi
itu berkembang. Yang namanya teknologi
itu sebetulnya mudah. Apa yang bisa kita
lakukan ya dilakukan saja dan terus diperbaiki sendiri. Contohnya yang terjadi di
China. Mereka batasi masuknya produk
dari Amerika Serikat dulu, lalu mencoba
membuat sendiri apa saja, mulai dari AC,
truk, berbagai macam kendaraan. Tidak
apa-apa besinya masih mudah berkarat, toh
lama-lama tambah bagus. Jadi, sebetulnya
jangan takut untuk hilirisasi meskipun harus
belajar dari awal semua. Kalau tidak, sayang
sekali kita seperti tikus mati di lumbung padi.
Kita punya banyak sumber daya alam segala
macam, namun santai-santai saja. Dengan
sangat mudah semua kita jual sebagai bahan
mentah karena untungnya besar. Kita lupa
bahwa suatu saat Indonesia akan kehabisan
bahan tambang dan teknologinya belum
sempat maju.
23
WAWANCARA
sinya memang besar, karena itu zaman dulu
yang masuk ke pertambangan memang
hanya pengusaha-pengusaha bermodal kuat.
Hanya kita perlu regulasi yang menarik untuk
investor besar yang datang ke sini. Sebab,
menambang memang tidak murah. China,
kan, punya cukup banyak pabrik dan siap
menampung.
Menurut Anda, apa yang mesti dilakukan agar program hilirisasi ini jalan?
Sebenarnya sudah dibuka peluang di UU
Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Bahkan perusahaan-perusahaan tambang sudah
diarahkan silakan bergabung. Sebetulnya kalau banyak yang hilirsasi, biasanya namanya
bisnis itu seperti virus, pasti akan menular.
Tapi kelihatannya masing-masing masih
berkutat pada semangat menjual. Sebetulnya,
hilirisasi itu sudah ada sejak dulu. Namun,
banyak yang masuk ke tambang baru-baru
ini. Akhirnya pengusaha-pengusaha ini
kan masih semangat untuk menjual bahan
baku. Itu kan sebenarnya sudah dibolehkan.
Konsorsium, kerja sama IUP, ataupun mendatangkan investor dari luar.
Lalu apalagi kendalanya?
Sebenarnya Indonesia ini dari pandangan investor masih cukup bagus. Mereka
masih tertarik untuk datang ke sini. Hanya
kadang-kadang, kan, peraturan-peraturan
di sini yang tidak memungkinkan. Artinya,
kadang-kadang belum terlalu pasti. Misal-
kan, kadang-kadang IUP juga tumpang tindih. Ini kepastian-kepastian ini yang mereka
perlukan. Ya sebetulnya untuk hilirisasi tadi,
untuk konsorsium, bisa mengundang investor dari luar. Atau, kalau pemerintah punya
uang bisa saja difokuskan ada beberapa yang
dibangun oleh pemerintah.
Kendala lainnya, kadang-kadang satu
regulasi dengan regulasi yang lain itu saling tidak mendukung. Sedangkan, untuk
satu industri itu, kan, ada berbagai aturan.
Aturan ketenagakerjaan, aturan kehutanan,
lingkungan, dan lain-lain dan semua harus
mengikuti berbagai aturan tersebut. Kemudian, tumpang tindih antara aturan dari
departemen satu dengan departemen lain.
Kemudian juga, masalah otonomi daerah.
Otonomi daerah ini bisa jadi memang yang
menghambat kita, bisa juga tidak, tergantung kondisi pemda. Mungkin ada pemda
yang punya program sendiri, akhirnya IUP
tumpang tindih. Atau IUP kita dicabut. Nah,
ini untuk investor kan ini tidak ada kepastian
ini yang, artinya, pengontrol regulator ini
ya perlu ada yang mengontrol semua. Dulu
waktu otonomi daerah belum ada, mencuat
antardepartemen yang kurang sinkron, misalnya kehutanan dengan tambang karena
cadangannya banyak di hutan. Dan sudah
distop yang di hutan lindung. Nah, kadangkadang kan peta juga berubah-ubah.
Kemudian yang penting ada tata ruang
untuk tambang. Tambang ini sepertinya
dibenci tapi sebetulnya dicari juga. Jadi,
walaupun misalnya itu sekarang tidak ditambang, tapi suatu saat orang pasti akan ke
area sana juga. Jadi, sebaiknya memang ada
tata ruang untuk memastikan mana yang ada
tambangnya sebaiknya ada program yang
jelas dari segi alokasi. Pemerintah mengalokasikan bahwa ini daerah tambang, jadi boleh
ditambang. Kalau memang ada bahannya, ya
lebih baik kalau dari orang tambang yang
menambang. Tapi, kan, sayang kalau kemudian tidak bisa ditambang hanya karena ada
regulasi-regulasi yang menghambat.
Mungkin kalau mesti menunggu kesadaran perusahaan tambang membuat
konsorsium juga tidak jalan-jalan?
Artinya, bisa aja kalau pemerintah ada
uang, kan, nanti akan menular seperti virus.
Bisa berkembang. Nah sekarang kelihatannya semua semangatnya masih semangat
mengekspor.
Apa yang diperlukan untuk menata
sebaik mungkin pertambangan nasional
ke depan?
Grand design seperti apa, itu yang diperlukan. Kita belum punya master plan atau
grand design. Buktinya, mereka boleh saja
mengekspor. Kalau ada grand design, Indonesia itu harus menambang seperti apa dan mau
hilirisasi, kan, otomatis sudah ada batasanbatasan. Misalnya, ekspor jangan sekian.
Harusnya begitu. Sekarang, hilirisasi dengan
membangun smelter saja masih dipertanyakan
bagaimana kebijakan kita ke depan.
Apakah memang belum ada kejelasan?
Ya, harus ada alokasinya, harus jelas,
harus dikontrol apakah hasil penjualan
ekspor bahan tambang mentah itu uangnya
dikumpulkan untuk membangun pabrik atau
apa, harusnya ada perencanaan dari masingmasing perusahaan. Tapi perlu pengaturan
khusus, grand design, bahwa kita harus ada
hilirisasi ke depan dengan memanfaatkan
semua bahan tambang kita. Ekspor tidak
perlu jor-joran. Ekspor boleh asal memang
tujuannya untuk mendukung untuk hilirisasi.
Perlu ada niat baik dari semua pihak untuk
maju. Sekarang, kami dari Antam, tinggal
mengikuti regulasi. Jika dipastikan 2014
distop, ya kami tidak mengekspor yang mentah, tidak apa-apa revenue berkurang. Yang
penting untuk masa depan bangsa. q
24
Media Penilai
REGULaSI
ama tak terdengar kabar beritanya, pembincangan soal Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Penilai menghangat lagi.
Hal itu terjadi setelah Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian
Keuangan menggelar acara Seminar dan
Loka Karya RUU Penilai pada 30 Agustus
2013 di Medan, Sumatera Utara. Seperti
acara serupa sebelumnya, kegiatan ini dimaksudkan untuk menjaring masukan. Saat ini,
posisi RUU ini telah masuk kriteria Prioritas
1 (P1) sebagai RUU yang dapat diusulkan
menjadi Progam Legislasi Nasional (Proleg-
25
REGULaSI
yang sangat merisaukan bagi penilai publik
secara keseluruhan. Bagaimana tidak, dengan
begitu antara penilai pemerintah dan penilai
publik dihadap-hadapkan dalam satu arena
persaingan sama.
Selain pokok isi di atas, terlihat pengaturan dalam RUU Penilai ini tidak fair alias
diskrimitatif. Misalnya, setelah mendapat
sertifikat dari Menteri Keuangan, penilai
publik diwajibkan memiliki atau bekerja
di KJPP. Jika tidak terpenuhi, izin penilai
publik tersebut bisa dicabut dalam masa 1
tahun. Ini berbeda dengan pengaturan untuk
penilai pemerintah yang tidak ada sanksi
macam itu. Di bagian lain, draf RUU juga
tidak mengatur masalah wadah praktik bagi
penilai pemerintah, sementara wadah praktik
penilai publik diatur secara detail dan ketat,
bahkan lengkap dengan sanksinya berupa
pencabutan izin.
Pasal yang juga krusial adalah ada pada
bab peralihan penilai. Terdapat pengaturan
yang memudahkan penilai pemerintah beralih menjadi penilai publik. Sementara itu,
tidak mudah bagi penilai publik untuk bisa
menjadi penilai pemerintah. Penilai publik
bisa mengajukan izin sebagai penilai pemerintah bersertifikat asal memenuhi syarat, di
antaranya setelah diangkat sebagai pegawai
negeri dan mengundurkan diri dari posisinya
sebagai penilai publik.
Draf RUU Penilai ini jelas tidak menggambarkan kesetaraan antara penilai pemerintah dengan penilai publik. Buktinya,
pengaturan mulai dari kualifikasi atau
persyaratan untuk menjadi penilai, kewenangan pemberian jasa penilaian dan keadilan
perlakuan dalam pengenaan sanksi kepada
penilai yang melanggar, lebih menguntungkan bagi penilai pemerintah.
Ketua Umum Masyarakat Profesi Penilai
Indonesia (MAPPI) Hamid Yusuf menegaskan, yang harus dibuat oleh pemerintah
seharusnya hanyalah UU Penilai, dalam
pengertian yang mengatur keberadaan
profesi penilai publik, bukan penilai pemerintah. Pengaturan untuk penilai pemerintah,
lanjutnya, bisa dilakukan dengan produk
hukum di bawah UU. Mungkin cukup
dengan peraturan pemerintah atau peraturan
menteri, ujarnya.
Sementara itu, penilai senior Zainal
Arifin yang juga Ketua Umum Gabungan
Perusahaan Penilai Indonesia (GAPPI) 20092011, menyarankan sebaiknya tim penyusun
26
Media Penilai
REGULaSI
Nilai Wajar,
Bagaimana Menentukan
Nilai wajar sama dengan nilai pasar, untuk kondisi lain bisa
berbeda. Ada level yang harus di lalui secara berjenjang.
27
REGULaSI
untuk nilai wajar ditentukan dengan sesuatu
atau besaran (entry price), didasarkan kepada
penukaran aset (kewajiban) antara pihak dengan pengetahuan yang memadai. Ditentukan
atas dasar transaksi yang wajar, dan tanggal
penukaran tidak ditentukan.
Hirarki lama ini, untuk menentukan
nilai wajar aset seperti tanah, bangunan,
pabrik, peralatan menggunakan nilai pasar
dan dilakukan oleh penilai. Untuk aset yang
tidak memiliki data pasar, entitas melakukan
estimasi nilai wajar dengan menggunakan
pendekatan penghasilan atau biaya pengganti
yang telah disusutkan (DRC).
Atas perkembangan yang terjadi, SPI
2013 juga melakukan revisi perubahan atas
nilai pasar, yang sebelumnya penukaran suatu
aset atau leabilitas menjadi penukaran suatu
property atau aset, dan mempertimbangkan
konsep HBU. Sementara untuk definisi nilai
wajar, yang sebelumnya mendasarkan pada
entry price menjadi exit price, tidak hanya
aset tetapi termasuk pengalihan kewajiban,
ditentukan atas dasar transaksi yang wajar
menjadi didasarkan transaksi di antara pelaku
pasar, tanggal pengukuran tidak ditentukan
sekarang ditentukan pada tanggal pengukuran, ada konsep HBU untuk pengukuran aset
non keuangan.
Ini semua membawa pengaruh terhadap
penilaian. Hirarki pengukuran nilai wajar,
menggunakan teknik penilaian guna mengukur nilai dengan memaksimalkan penggunaan input yang dapat diobservasi yang
relevan dan meminimalkan penggunaan input yang tidak dapat diobservasi. Input level
1, harga kuotasi (tanpa penyesuaian) di pasar
aktif untuk aset dan liabilities yang identik
yang dapat diakses entitas pada tanggal
pengukuran. Sementara input level 2, adalah
input selain harga kuotasian yang termasuk
dalam level 1 yang dapat diobservasi untuk
aset atau liabilities, baik secara langsung
maupun tidak langsung. dan input level 3,
adalah input yang tidak dapat diobservasi
untuk aset atau liabilitas.
Nilai wajar menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) suatu
jumlah yang digunakan untuk mengukur
aset yang dapat dipertukarkan melalui suatu
transaksi yang wajar (arms length transaction) yang melibatkan pihak-pihak yang
berkeinginan dan memiliki pengetahuan memadai. Nilai wajar merupakan konsep yang
lebih luas dari nilai pasar. Sementara, konsep
28
Media Penilai
ARTIKEL
29
ARTIKEL
ini berlandaskan pada studi literature yang dikaitkan dan didasari
pada peraturan, perundang-undangan dan dasar kebijakan lain yang
berhubungan dengan harga satuan bidang ke PU-an. Dalam pengembangan BTB ini tidak terlepas dari pemahaman mengenai koefisien
indeks harga satuan serta metodologi analisis yang selanjutnya dapat
digunakan dalam perhitungan Biaya Pembuatan Baru (Reproduction Cost New) sutau bangunan.
Landasan Hukum
1. Peraturan BAPEPAM berkaitan dengan Profesi Penunjang Pasar
Modal (Penilai).
2. Peraturan Menteri Keuangan : PMK 125/2007.
3. Standar Penilaian Indonesia 2007.
4. Peraturan dan perundang-undangan ke PU an.
Peraturan, undang-undang dan dasar kebijakan lain yang berhubungan harga satuan bidang ke PU-an seperti yang dapat dilihat
pada table.
Peraturan
UU No.18 Tahun 1999
Keppres No.80Tahun 2003
SE Sekjen Dep.PU
No. 05/SE/SJ/2005
Keputusan Menteri Keuangan
NO.427/KMK.02/2004
UU No.28 Tahun 2002
Kep Dirjen Cipta Karya
No.295/ KPTS/CK/1997
UU No.4 Tahun 1992
Uu No.28 Tahun 2002
PP No. 4 Tahun 1988
Kepmeneg Perumahan
Rakyat NO.06/kpts/1994
Kepmeneg Perumahan
Rakyat No.04/KPTS/1999
KETERANGAN
Jasa Konstruksi
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
Peningkatan Penerapan Pengadaan
Barang/Jasa Secara Elektronik
di lingkungan Departemen
Pekerjaan Umum TA 2005
Harga Satuan Umum Tahun
Anggaran 2005
Bangunan Gedung
Tentang Pedoman Teknis Bangunan
Gedung
Perumahan dan Pemukiman
Bangunan Gedung
Rumah Susun
Pedoman Umum Pembangunan
Perumahan Bertumpu Pada
Kelompok (P2BPK)
Kebijakan Strategi Nasional
Perumahan Pemukiman (KSNPP)
Sedangkan Tata cara perhitungan harga satuan Pekerjaan ke PUan yang digunakan sebagai dasar perhitungan RCN pada BTB sistem
ini adalah sebagai berikut:
1. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan kayu untuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan. (SNI 3434:2008)
2. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan tanah untuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan. (SNI 3835 : 2008)
3. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan pondasi untuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan (SNI 3835 : 2008)
4. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan plesteran untuk
konstruksi bangunan gedung dan perumahan. (SNI 2837:2008)
5. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan langit-langit un30
Media Penilai
ARTIKEL
31
ARTIKEL
Dalam peraturan ini tidak dijelaskan kriteria rumah menengah maupun rumah mewah.
Klasifikasi yang Diusulkan
1. Rumah Sangat Sederhana (RSS) adalah: rumah tidak bersusun,
luas tanah dan bangunan umumnya kecil (36m2/54m2), desain
bangunan sederhana tanpa perhitungan struktur yang ketat, tanpa
mempertimbangkan keindahan dan kenyamanan di dalam rumah,
bahan bangunan yang digunakan sangat sederhana tanpa finishing
dan dalam proses pembangunan tanpa adanya pengawasan yang
memadai.
2. Rumah Sederhana (RS) adalah: umumnya rumah tidak bersusun, luas tanah dan bangunan umumnya sama atau lebih luas
dari Rumah Sangat Sederhana (36m2/54m2), desain bangunan
sederhana tanpa perhitungan struktur yang ketat, tanpa mempertimbangkan keindahan dan kenyamanan di dalam rumah, bahan
bangunan yang digunakan bahan kelas sederhana dan biasanya
diadakan finishing. Dalam proses pembangunan tanpa adanya
pengawasan yang memadai.
3. Rumah Kelas Menengah: ukuran luas tanah dan bangunan lebih
Media Penilai
ARTIKEL
memiliki luas lantai tidak lebih dari 36 m2, bahan finishing di
dalam dan di luar bangunan menggunakan bahan yang sederhana.
Utilitas dalam bangunan, sarana dan prasarana umum yang
tersedia terbatas dan sederhana. Terletak di lingkungan dengan
fasilitas lingkungan yang terbatas dan sederhana.
6. Rumah Susun/Apartemen Kelas Menengah, adalah Rumah
Susun/Apartemen di mana setiap satuan rumah susun/unit apartemen memiliki luas lantai 45 m2 atau lebih, bahan finishing di dalam
dan di luar bangunan menggunakan bahan kelas yang baik. Utilitas
bangunan, sarana dan prasarana umum yang tersedia lengkap
dengan kondisi yang baik. Terletak di dalam lingkungan dengan
fasilitas lingkungan yang lengkap dengan kualitas yang baik.
7. Rumah Susun/Apartemen Mewah, adalah Rumah Susun/
Apartemen di mana setiap satuan rumah susun/unit apartemen
memiliki luas lantai 45 m2 atau lebih, bahan finishing di dalam
dan di luar bangunan menggunakan bahan pilihan dengan memperhatikan eksklusifitas. Utilitas bangunan, sarana dan prasarana
umum yang tersedia lengkap dengan kondisi yang baik. Terletak
di dalam lingkungan dengan fasilitas lingkungan yang lengkap
dengan kualitas yang baik cenderung eksklusif.
III. TAHAPAN PENGEMBANGAN SISTEM BTB
Pengembangan panduan BTB dapat terlihat dari diagram berikut:
5. Rukan
6. Pagar
7. Perkerasan halaman
Tabel BTB disusun untuk panduan perhitungan permeter persegi
bangunan berdasarkan unit in place untuk setiap ibu kota provinsi
pada periode waktu tertentu yang akan di-update secara triwulan.
Pengujian sistem BTB ini telah dilakukan oleh beberapa KJPP yang
secara rutin melakukan penilaian dengan menggunakan Short form
Report atau Laporan Penilaian Ringkas. Masa pengujian dan evaluasi
dilakukan dalam waktu 3 bulan penggunaan sistem BTB tersebut,
dengan Indikator keberhasilan ditetapkan + 7 %.
Pengujian eksternal dilakukan oleh Instansi Negara yang menangani masalah bangunan yaitu Dinas PU serta telah diuji secara
metoda oleh perguruan tinggi.
B. Tahap Kedua
Pada tahap kedua, sistem BTB dikembangkan dengan menambahkan kategori perhitungan RCN untuk gedung sederhana dan
gedung non sederhana yang dapat dilakukan secara online, selain itu
Perhitungan RCN melalui sistem BTB ini juga dikembangkan perhitungan RCN untuk katagori bangunan rumah tinggal dan bangunan
gedung berdasarkan pilihan jenis bangunan serta jenis dan volume
material yang digunakan.
33
ARTIKEL
a. Spesifikasi Material yang digunakan Rumah Sederhana
Struktur Pondasi
Pekerjaan Dinding Luar
dan Finishing Exterior
Atap
Finishing Lantai
Pekerjaan Dinding Dalam
dan Langit-Langit
Detail Kamar Mandi
Perpipaan
Fitur Khusus
Sistem Kelistrikan
Luas
Rumah Sederhana
Batu kali
Batako, plaster aci + cat, kusen kayu,
pintu depan panel, pintu lain dobel
triplek
Asbes gelombang
Keramik kw 3 dan setara
Dinding batako, plaster aci + cat ,
plafon triplek
Bak plastik, closet jongkok
& sebagian dikeramik
pipa air bersih, pipa pembuangan
& septic tank
Tidak terdapat fitur khusus
PLN, titik lampu, stop kontak,
bok sekring, pembumian arde
75 meter persegi
Denah ruko
b. Spesifikasi Rumah Menengah
Media Penilai
Struktur Pondasi
Struktur Lantai
Pekerjaan Dinding Luar
dan Finishing Exterior
Atap
Finishing Lantai
Pekerjaan Dinding Dalam
dan Langit-Langit
Detail Kamar Mandi
Perpipaan
Fitur Khusus
Sistem Kelistrikan
Rumah Menengah
Beton Bertulang
Cor beton
Batako, plaster aci + cat, kusen kayu,
pintu depan panel, pintu lain dobel
triplek
Spandek motif genteng
Lantai , KM & teras keramik
Batu bata, plaster aci + cat,
plafon triplek
Bak beton, closet duduk, jendela
kecil & dikeramik
pipa air bersih, pipa pembuangan
& septic tank
Jalan setapak (car port), penebalan
plesteran dan kolom & tali air
PLN, titik lampu, stop kontak, bok
sekring, pembumian arde
ARTIKEL
c. Spesifikasi Rumah Mewah
Struktur Pondasi
Struktur Lantai
Pekerjaan Dinding Luar
dan Finishing Exterior
Atap
Finishing Lantai
Pekerjaan Dinding Dalam
dan Langit-Langit
Detail Kamar Mandi
Detail Dapur
Perpipaan
Fitur Khusus
Sistem Kelistrikan
Rumah Mewah
Beton bertulang
Cor Beton
Bata merah, plaster aci + cat, batu
alam di bagian luar, kusen kayu
kapur, pintu panel kayu dan jendela
kualitas baik
Genteng keramik & dak beton
Lantai keramik homogenous,
KM keramik anti slip
Batu bata, plaster aci + cat,
plafon gypsum
Shower dengan keramik,
Meja konter keramik, dapur luas,
bak cuci piring
Water heater, closet duduk, wastafel
dengan granit, pipa air bersih,
pipa pembuangan & septic tank
Jalan setapak, car port, pagar,
halaman di depan & belakang rumah
PLN, lampu downlight, stop kontak,
box sekring pembumian arde
d. Spesifikasi Ruko
Struktur Pondasi
Struktur Lantai
Pekerjaan Dinding Luar
dan Finishing Exterior
Atap
Finishing Lantai
Pekerjaan Dinding Dalam
dan Langit-Langit
Detail Interior
Detail Kamar Mandi
Perpipaan
Fitur Khusus
Sistem Kelistrikan
kerja yang dibutuhkan untuk tiap satuan pekerjaan kayu yang telah
dijadikan acuan dasar yang seragam bagi para pelaksana Perhitungan
pembangunan gedung dan perumahan dalam menghitung besarnya
harga satuan pekerjaan untuk bangunan gedung dan perumahan oleh
Standar Nasional Indonesia.
Ruko
Beton Bertulang
Cor beton
Bata Merah, plaster aci + cat, kusen
kayu, folding gate, parapet lt atap,
canopy beton
Dak beton
Lantai dak & toilet keramik
Bata merah, plaster aci + cat , dak
beton, penebalan profilan
Tangga + railing dan rumah burung
(tutup tangga)
Bak air & dikeramik
Closet jongkok, kran air, floor drain,
pipa pvc 3, 4 &
Tidak ada fitur khusus
Titik cahaya, stop kontak, MCB,
Pembumian/ arde
Lampiran
Proses Pengembangan Tabek
Contoh perhitungan RAB untuk Rumah Tinggal Mewah
Dalam Perhitungan Harga satuan pekerjaan yang digunakan
dalam BTB ini berdasarkan pada bahan bangunan dan indeks tenaga
35
ARTIKEL
Abstract
The past decade has seen an increasing focus on the mining and
extractive industries in Australia. The significant increases in both
new mines, commodity prices and employment opportunities has
lead to considerable discussion on the value of this industry and
the contribution that the industry makes to exports, GDP and the
public in general. This debate has resulted in the introduction of the
Mineral Resources Rent Tax being introduced in 2012. An issue that
follows from the introduction of these taxes is the current exposure
of property valuers to mine and extractive industry valuations and
the most appropriate method that should be employed for valuing
long life mines for rating and taxing purposes, finance and accounting purposes.
This paper will provide a detailed review of past and current
valuation methods for long life mines and will highlight the current
36
Media Penilai
ARTIKEL
is required for valuers to meet the valuation requirements of mine
operators, financial institutions and government bodies. Current
mine operators and potential industry participants require valuation
methodologies that provide reliable data and figures to assist in the
assessment of value at the feasibility stage, as well as at specific
points in time of the mine life for reporting purposes. Potential finance
providers also require accurate mine and extractive industries valuations for lending security purposes and these need to be consistent
and reliable, as well as being able to be carried out by a range of
valuation practitioners. The complicated nature of mining, the long
term nature of these operations and the difficulties and valuation
risks that have been identified as major obstacles for the valuation
profession and the ability to supply the mining industry with the most
accurate and reliable valuation information and reports. Current valuation methods employed by property and business valuers are based
on real property specific methods that are not always transferable
to a mining situation, especially a long term mine operation. The
nature of real property valuation methods rely on the availability
of comparable sales information, readily available access to current
property data and very industry specific measures of risk associated
with real property ownership and occupation. Many of the economic
and industry risks associated with the valuation methods employed
in real property valuation are also issues that can impact on mining
and extractive industries, but the assessment of risk for real property
valuation is based on a single measure determined by a discount or
capitalisation rate. Although this is suitable for real property valuation methods, the complexity of mining operations, their long term
nature, global perspective and interrelationship between production,
commodity, fianc and political risk, renders current real property
valuation methods insufficient for long life mine valuation. Many
of these valuation issues also impact on the feasibility assessment
of long life mines.
To increase the level of awareness, degree of accuracy and the
acceptance of end mine valuation figures it is crucial that all direct
and indirect participants in the mining industry have full confidence
in the actual valuation methodology and underlying assumptions and
guidelines. Currently; there is a certain level of discrepancy between
the valuation guidelines issues by mining bodies, the professional
practice standards published by valuation boards and the requirements
of the mining industry players. In addition, the industry recognises the
high level of risk associated with any mining enterprise or project and
any valuation method or guidelines that can take the various sources
and levels of risk into account in the actual valuation methodology
will result in both more accurate and reliable valuations and will also
provide a greater level of confidence in the feasibility studies carried
out at the mine planning stage.
Paper Scope and Aims
This paper will address these issues by:
Carryout an extensive literature review to document and
understand the current issues relating to mine and extractive
industry valuation issues from the perspective of:
Real property valuation
Current mining boards and authorities
Valuation standards and guidelines
37
ARTIKEL
Net Metal Value or Value Per Unit of Metal
Value Per Unit Area
Market Capitalisation
Cost Approach
Appraised Value
Multiple of Exploration Expenditure
Geo-science Factor
Agian, the majority of these reported valuation methods are
not always commonly used in property valuation practice, but
are more commonly used in mine feasibility studies.
2.1. South Africa (SamVal, 2008)
In South Africa, the accepted valuation methods are Cash Flow
Approach, Market Approach and Cost Approach. The valuer must
apply at least two (2) methods in the valuation report.
depending on:
a. The nature of valuation
b. The development status of the mineral
c. The extent and reliability of information available.
The valuer must state the reason for each methodology used.
The Valmin Code does not state any specific method for extractive industry valuation , however does recognise and refer to the
MICA website or other website on valuation methodologies.
In the MICA website, there are discussion papers on valuation
methodology for extractive industries.
The papers highlighted:
a. Income Method: DCF/NPV Method
b. Market Sales Method
c. Cost Method
d. Useful Rating Method
e. Option Theory Method
The first three mentioned valuation approaches are common
valuation methods for real property valuation and are suitable
the valuation of property where there is an established trading
market, a reasonable volume of transaction data and full access
to all financial and production data. In the case of mining, many
of these criteria are not available. The two remaining mine valuation methods are not commonly used in property valuation and
would be unfamiliar to the majority of the profession.
Canada (CIMVal, 2004)
The CIMVal recognises the following valuation methodologies and approaches for mine and extractive industries:
Income Approach
Discounted Cash Flow (DCF)
Monte Carlo Analysis
Option Pricing
Probabilistic
Market Approach
Comparable Transactions
Option Agreement Terms
Gross in-situ metal value
38
Media Penilai
ARTIKEL
39
ARTIKEL
Media Penilai
ARTIKEL
o Subjective rating of attributes most frequently requisite to
successful mining, the Geoscience Rating method.
According to Lawrence (1994), the valuation methodology chosen
to value a mineral asset depends upon the amount of data available on
that asset and the reliance that can be placed on the data. In the same
vein, commenting on the quality of data and reliability of forecasts
used in discounted cash flow calculation, OConnor and McMahon
(1994) warned that it is important not to allow the science of the
methodology to dominate the assessment. In other words, subjective
judgements are more important than objective valuations.
The Table 1 below shows the Comparison of Valuation Methodologies from international practices:
Where DCF is applied there is a disagreement concerning the
treatment of risk and the selection of the discount rate:
o Ballard (1994) was satisfied that risk can be accommodated
through a discount rate estimated by means of Capital Asset
Pricing Model (CAPM).
o OConnor and McMahon (1994) recognise the deficiencies
of CAPM but apply it in the absence of what they termed a
better methodology.
o Runge (1994) considers that the uncertainties in mineral
valuation are too project specific to be assessed using the
CAPM.
o Butler (1994) regards Monte-Carlo simulation as impractical
and is happier with the presentation of discrete sensitivities.
Comments
Very widely used. Generally accepted internationally as the
preferred met
Less widely used, but gaining in acceptance.
Not widely used and not widely understood but gaining in
acceptance.
Not widely used, not much accepted.
Widely used with variations.
Widely used but option aspect commonly not discounted, as it
should be.
Not widely used, and not accepted in Canadian mineral valuation.
Widely used rule of thumb.
Used for large Exploration Properties.
More applicable to valuation of single property asset of junior
companies than to properties.
Widely used but not accepted by all regulators.
Similar to the Appraised Value Method but includes a multiplier
factor. More commonly used in Australia.
Not widely used.
41
ARTIKEL
to arrive at a figure that is realistic or supportable. The market based
valuation methods such as direct comparison is stated to be an acceptable method by both the mining codes as well as the valuation
professional bodies; however, in reality few mines sell on the open
market, it is extremely rare for a number of mines to be similar in
size, ore quality, reserves, resources and operational requirements.
On this basis a direct comparison between the mine being valued and
recent sales is not practical or reliable for any valuation purpose. A
similar situation exists for valuing a mine or extractive industry on
a cost or summation valuation basis. This valuation method does not
consider any of the risk factors associated with mining.
Therefore the discussion on mine valuation methods will focus on the various income approaches, especially those valuation
methods that consider risk in the valuation calculation. The main
factor that contributed to the mining valuation is how the risk was
treated. Therefore, many scholars have discussed on the valuation
approaches that been used in the market and suggestion of its benefits
and weakness.
In risk assessment, the methods being employed are either sensitivity analysis, scenario analysis or probability simulation analysis
(Monte Carlo simulation/MCS). The descriptive and explanation of
each method as employed by various scholars are as follows:
Sensitive analysis
Torries (1998) mentions that this method involves the variance
of a single project parameter to determine the influence that variable
has on the potential NPV or IRR of the project. Often assessed at a
specified percentage deviation from the base case, commonly 10%,
but the size of the deviation should be indicative of the likely volatility
in the variable (Scott, 2010).
Mun (2004) indicates the advantages by using this method
which is:
a. They are simple and inexpensive to perform and are easily
facilitated through the modelling of probabilistic simulations.
b. Useful in identifying the critical variables to a projects success.
c. The identification provides management with direction as to
where limited resources would be best focused to reduce or
mitigate uncertainties which have serious consequences on
the outcome of a project.
However, the only disadvantage of this methods is it provides
little information regarding the risk characteristics of the project
but provides no information as to the likelihood of that uncertainty
occurring.
Malone et al (2007) further highlighted that the variable assess in mineral project includes size of reserves, commodity price,
quantity produced, operating costs, capital costs, exchange rates and
discount rate.
According to Stirzaker (1997) and West (2006), sensitivity analysis has been criticised for providing no knowledge of the
projects sensitivities. Experienced manager would well aware that
a projects NPV is sensitive to the commodity price, the discount
rate, operating and capital costs and the production capacity. It was
earlier commented by Sorentino and Barnett (1994) that the limita42
Media Penilai
ARTIKEL
iii. Where management has limited ability to control the outcome of such an event but requires an assessment of the
impact the event would have on the projects outcome.
In addition, Mun (2004) has mentioned that the inclusion of correlation between projects variables can assist in defining the scenario
analysis and help determine critical components of a projects interrelationship that sensitivity analysis unable to identify.
Probability Simulation Analysis (Monte Carlo Simulation/
MCS)
Torries (1998) has identified that MCS is capable of extending the
individual uncertainties of each variable to determine their combined
effect on the outcome of the model. The process involves the estimation of the expected value for each variable and assigning a probability
distribution representing the uncertainty in that estimation.
Mun (2004) has described that Monte Carlo Simulation (MCS) is
employed to randomly sample a value from the probability distributions of each variable and combines these values as the inputs for the
model to generate a random outcome. The process is repeated many
thousands of time to create a probability distribution of the random
outcomes from the model.
The underlying principles of MCS are the law of large numbers
and the central limit theorem, which state that as the number of
simulations approach infinity the generated results will approach an
accurate representation of the population. MCS expands the single
point estimate of a model into a range of possible outcomes and
determines the probability of each outcome occurring.
The probability distribution of generated outcomes for the project
can be statistically examined to reveal the expected NPV and risk
characteristics of the project. Results from MCS can be used to establish confidence intervals for a defined range of project outcomes
including the probability of the projects exposure to negative returns
and upside gains. Apart from that, value at risk can be measured
through MCS. The accuracy and reliability of MCS results require
the correct modelling of the input variables probability and the establishment of any interrelationships amongst the variable.
Gamble (2007) comments that the representative probability
distribution for the variable can be determined from historical data
or by employing Delphi Method; which uses expert opinions from
managers during risk workshops to determine the appropriate probability distribution for key variables in the model.
The interrelationships between the variables must be established
and incorporated into the models structure or parameters of simulation to ensure accurate MCS result is generated. If relationships are not
included, random sampling can combine unrealistic combinations of
the variables which will compromise the reliability of the results.
Further explanation by Torries (1998) also discusses that Inclusion
of uncertainty in the probability distribution of the models variables
for MCS warrants a reduction in risk-adjusted discount rate employed
for the NPV simulation, to avoid the double representation of this
risk in the model.
He also explained that in MCS the risk preferences of the decision maker should not be incorporated in the calculation of expected
NPV. Instead the probability distribution of possible NPV presents
the risk characteristics of the project to the decision maker and their
attitude toward risk will influence the decision to invest in project. If
the discount rates are chosen correctly then the expected NPV from
MCS adjusted for the risk preferences of the decision maker should
equal the expected value from NPV scenario analysis.
However, Gamble (2007) mentions that concerns and limitation
of MCS are includes difficulties in performing MCS calculation,
difficulties in identifying interrelationships between variables, and
difficulties in establishing appropriate probability distributions to
assign variables. The problems with MCS also highlighted by Torries
(1998) that MCS suffers from the inherent limitations of DCF models,
including the determination of the appropriate discount rate and the
static and inflexible nature of the valuation. Decision makers are also
concerned that MCS does not provide a single metric on which to
rank projects for investment. However, he also stated that the prime
reason as to why MCS has not been widely accepted amongst decision
makers as an absence of familiarity with the technique.
Risk Assessment in Mining Valuation: Alternate Valuation Approaches
The researchers have found several alternative approaches that
can be used in determining the value of mining businesses. The
methods are adjusted present value (APV), certainty equivalents,
real options valuation (ROV) and modern asset pricing (MAP) and
their discussions are as follows:
Adjusted Present Value (APV)
This method was originally published by Myers (1974). It is an
alternative to the WACC discounting under a DCF valuation framework. Represent movement from the use of single one size fits all
discount rate applied to all the cash flows of an investment, by separating different streams of cash flows resulting from an investment
and discounting them separately.
Luehrman (1997) discusses that Traditional APV separates
the valuation of cash flows from business operations, which are
Media Penilai
43
ARTIKEL
discounted at the cost of equity from the CAPM model, from the
valuation of cash flows generated from the financial structuring of
the business, which are discounted at the cost of debt.
The overall value of the business is determined under the principle
of value addictively and is equal to the summation of the present value
from the business cash flows and the present value of financial side
effects, including tax savings, subsidised debt, credit enhancement
and hedging risk.
The greatest strength of APV over WACC discounted NPV is
the additional information that APV provides through the separation
of cash flows which can be used to identified where the value of an
asset is generated.
Scott (2010) strengthens opinions on this method by mentioning that this method can be used to separate cash flows of mineral
project during evaluation. This separating permits each discounting
cash flows by discount rate that are more accurately represents the
uncertainty present in that cash flow.
Analysis performed under the APV framework will provide
greater information regarding the impact of uncertainty and the value
of cash flows compared to standard NPV analysis. The separates
analysis of a projects cash flow represents significant contributions
toward modern asset pricing methods.
Certainty Equivalents
Torries (1998) has discussed in detailed regarding this method.
A certainty equivalent amount represents the value, known with
certainty, that an individual or company would be indifferent about
swapping in exchange for a particular risky project. Conventional
valuations of risky projects focus on the expected value concept,
which weights the outcome of an uncertain event by the probability
of occurrence to determine the expected value of the project. This
approach fails to adequately capture the magnitude of the capital
44
Media Penilai
being exposed to the possibility of loss and assumes that the investor exhibits a neutral toward risk which is not right. It is generally
accepted that most investors are risk adverse.
Myers (1968) mentions that the degree to which risk aversion impact the uncertainty equivalent value is determined by the investors
utility function of possible outcomes and their risk tolerance. The risk
tolerance of a risk-adverse investor is defined as the maximum amount
the investor is willing to gamble in a lottery that has even chance of
winning that amount of money or loosing half of that amount.
Torries (1998) claims this method can be used to create consistent
framework in which investment decisions under uncertainty can e
analysed. Certainty equivalent valuation using the equal probability method can be employed to analyse probabilistic outcome fom
simulation analysis to reach an investment decision that includes the
risk preferences of the investor. Analysis of risky projects certainty
equivalent values at differing levels of investment can be used to
determine the optimal level of investment in the risky business.
Real Options Valuation (ROV)
Leslie and Michaels (1997) have indicated that real option
valuation is the extension of financial option pricing methodology
to the valuation of real assets. Under the real options framework,
an asset may be viewed as containing an embedded option if, for a
fixed price, it provides the owner with a right to make a decision to
invest, divest, abandon or delay an opportunity that has the potential
to realise future payoffs or limit future liabilities without imposing
any obligation to do so. A call option represents the right to buy an
asset at the exercise price, while a put option represents the right to
sell an asset at the exercise price.
Modern Asset Pricing (MAP)
Real option is included as a form of MAP valuation whereby the
ARTIKEL
Several alternative valuation methodologies were suggested to
assess the crucial risk element in mining valuation.
Many valuation methodologies were suggested such as adjusted
present value and certain equivalents. However, the gaining popularity
of Monte Carlo simulation and real options valuation methodologies
has put the valuation of mining industries to the next level, where
the simulation or valuation based on actual data assembled is more
appreciated. However, the usage of the alternative valuation approach
can be confirmed with at least one of traditional approaches, such as
cost or direct comparison approach.
The study on the valuation methodologies using alternative
approaches should be considered as new paradigm in shifting from
old, traditional approaches to more sophisticated, reliable data-based
assessment.
REFERENCES
Abdel Sabol, SA and Poulin, R, (2006). Valuing Real Capital Investments using the Least-Squares Monte Carlo method. Engineering Economics. No. 51, pp. 141-160.
Anonymous (2010). Mining Valuation: Three Steps beyond a Static
DCF Model. Canadian Mining Journal, Vol. 131, NO, 10,
pp. 30.
Australasian Institute of Mining and Metallurgy (AUSIMM) (2005).
The Valmin Code 2005 Edition. Extracted from http://aig.org.
au/files/valmin_122005.pdf on 4 November 2010.
Ballard J (1994). A Practitioners View of DCF Methods in Mineral
Valuation. Proceedings of VALMIN 94, pages 37-45. Carlton,
Australia: The Australasian Insitute of Mining and Metallurgy.
Barraquand, J. & Martineau, D. (1995). Numerical Valuation of High
Dimensional Multivariate American Securities, Journal of
Financial and Quantitative Analysis, Vol. 30, pp. 383-405.
Black, F & Scholes, M (1973). The Pricing of Options and Corporate
Liabilities. The Journal of Political Economy, Vol. 81, No. 3,
pp. 637-654.
Bossaerts, P. (1989). Simulation Estimators of Optical Early Exercise,
Working Paper, Cornegie-Mellon University.
Boyle, P.P. (1977). Options: a Monte Carlo Approach. Journal of
Financial Economics, Vol. 4, pp. 323-338.
Brennan, M. & Schwartz, E. (1977). The Valuation of American Put
Options, Journal of Finance, Vol. 32, pp. 449-462.
Broadie, M. & Glasserman, P. (1997). Pricing American-style securities using simulation, Journal of Economic Dynamics and
Control, Vol. 21, pp. 1323-1352.
Bruce P F, Clark D E and Bucknell W R (1994). The Company
Perspective on Valuation Methods for Exploration Properties.
Proceedings of VALMIN 94, pages 199 to 203. Carlton, Australia: The Australasian Insitute of Mining and Metallurgy.
Copeland, TE and Keenan , PT (1998a). How much is flexibility
worth? Mckinsey Q. No. 2, pp. 38-49.
Copeland, TE and Keenan, PT (1998b). Making real options real.
Mckinsey Q. No. 3, pp. 128-141.
Dessurault, S, Kazakidis, V N and Mayer, Z (2007). Flexibility valuation in operating mine decisions using real options pricing.
International Journal of Risk Assessment Management. No.
Media Penilai
45
ARTIKEL
7, pp. 656-674.
Dimitrakopoulus, R (2007). Applied risk assessment for ore reserves
and mine planning, Professional development and short course
notes. Melbourne: Australasian Insitute of Mining and Metallurgy, pp. 350.
Dixit, A & Pindyck, R (2001). The Options Approach to Capital Investment, in Real Options and Investment under Uncertainty:
Classical Readings and Recent Contributions, pp. 61-78.
Edwards A (1994). An Accountants Overview of Mineral Valuation
Methodologies. Proceedings of VALMIN 94, pages 245-255.
Carlton, Australia: The Australasian Insitute of Mining and
Metallurgy.
Elkington, T, Barret, J and Elkington , J (2006) Practical application
of real option concepts to open pit projects. In Proceedings
of the 2nd International Seminar on Strategic versus Tactical
Approaches in Mining. Australian Centre for Geomechanics,
Perth, 8-10 March 2006, pp. S26.1 S26.12.
Gamble, B (2007). Risk Analysis and Decision Making-A Case
Study, in Project Evaluation Conference, Melbourne, Victoria,
pp. 19-31.
Gamba, A. (2002). Real Option Valuation: A Monte Carlo Approach.
Working paper: University of Calgary, Canada.
International Valuation Standards Committee (IVSC) (2010). Exposure Draft of proposed International Valuation Standards
Extractive Industries. London: IVSC.
Kazakidis, VN and Scobel, M (2003). Planning for flexibility in underground mine production system. SME Mineral Engineering
Journal, No. 55, pp. 33-38.
Kulatilaka, N. (1995). The Value of Flexibility: a General Model of
Real Options, in Real Options in Capital Investment: Models,
Strategies and Applications, Lenos Trigeorgis (ed.), Praeger,
Westport, pp. 89-107.
Kulatilaka, N. & Trigeorgis, L. (1994). The General Flexibility
to Switch: Real Options Revisited, International Journal of
Finance, Vol. 6, pp. 778-798.
Lawrence M J (1994). An Overview of Valuation Methods for Exploration Properties. Proceedings of VALMIN 94, pages 205223. Carlton, Australia: The Australasian Insitute of Mining
and Metallurgy.
Lesli, K and Michaels, M (1997). The Real Power of The Real Option.
In The McKinsey Quarterly, Vol 1997, No 3, pp. 4-22.
Lonergan W R (1994). The Financial Envelope the Valuation of
Securities after a Technical Evaluation. Proceedings of VALMIN 94, pages 225-235. Carlton, Australia: The Australasian
Insitute of Mining and Metallurgy.
Longstaff, F.A. & Schwartz, E.S. (2001). Valuing American Options
by Simulation: a Simple Least-Squares Approach, The Review
of Financial Studies, Vol. 14, No. 1, pp. 113-147.
Luehrman, T (1995). Capital Projects as Real Options: An Introduction. In Harvard Business School, Vol. 9, pp.1-12.
Malone E J (1994). Historical review of Mineral Valuation Methodology. Proceedings of VALMIN 94, pages 1-9. Carlton, Australia:
The Australasian Insitute of Mining and Metallurgy.
Maybee, Bryan Maxwell (2010). A Risk-Based Evaluation Methodology for Underground Mine Planning. Thesis for PhD at
46
Media Penilai
Laporan khUsus
47
Laporan khUsus
excel yang mudah diaplikasikan. Kelak,
semua penilai dapat memanfaatkan sistem
standar BTB ini.
Dengan sistem seperti itu, ujar Indrastuti,
ketika menggunakannya, jika terjadi perbedaan harga material, misalnya, penilai tinggal
memasukkan data harga yang baru tersebut
dan sistem menghitung output-nya berapa.
Termasuk, jika terjadi penggantian bahan
material, misalnya lantai keramik diganti
dengan granit, maka penilai tinggal mencopot harga keramik dan menggantinya dengan
harga granit. Begitu seterus jika dilakukan
berbagai perubahan lainnya, termasuk dengan memperluas bangunan, misalnya.
Standar BTB tersebut, menurut Indrastuti,
sudah diuji di beberapa perguruan tinggi, di
Kementeriaan PU, dan Direktorat Jenderal
Pajak Kementerian Keuangan. Sistem standarisasi BTB ini juga sudah dikirimkan ke seluruh
KJPP dan mereka juga sudah menguji coba
sistem ini. Memang, diakui, setelah diuji coba,
masih terdapat beberapa perbedan hasil penghitungan. Namun, perbedaannya masih dalam
toleransi dengan range sekitar 5-7 persen.
Selain itu, Indrastuti mengakui masih
ada kendala dalam mengaplikasikan sistem
BTB ini. Kendalanya ada di harga yang
dimuat jurnal yang secara berkala diterbitkan oleh pemda. Seringkali harga-harga di
jurnal-jurnal tersebut justru tidak di-up date.
Kendala lainnya adalah perbedaan indeks
yang ditetapkan PU dan SNI untuk bangunan
dalam per meter perseginya terlalu tinggi
dan boros material. Itu kita dapati setelah
dilakukan survei lapangan dan mewawancarai kontraktor, ujarnya.
Contohnya, kalau di SNI, traktor sekali
pakai langsung dibuang. Padahal, di lapangan, bisa dipakai berkali-kali, kan. Makanya
irit, terang Idrastuti. Karena itu, dalam standar BTB MAPPI ini, standar yang digunakan
lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan data
lapangan, namun masih di bawah standar PU
dan SNI. Hasilnya, jika dites di lapangan,
standar BTN lebih rendah 5-7 persen dibandingkan dengan standar PU dan SNI.
Indrastuti menceritakan, ketika dites
di suatu daerah di Kalimantan, ada yang
menilai standar BTB MAPPI terlalu rendah.
Setelah ditelusuri, ternyata data yang diacu
oleh tim dari jurnal daerah belum ter-up date
alias masih merupakan data lama. Diakui,
ini memang salah satu kelemahan ketika
penyusunan standar BTB ini harus mengacu
48
Media Penilai
Laporan khUsus
49
Laporan khUsus
Moratuwa Sri Langka, Probo Hindarto
(Member of World Archieture), Anggota Ikatan Arsitektur, hingga Standar Nasional Indonesia (SNI)-12-2004. Sejumlah buku juga
dijadikan referensi, di antaranya Selamatkan
melalui Konstruksi Hijau karya Wulfram I
Ervino, Study of Life Expectancy of Home
Component yang dibuat oleh Economics
Group of NAHB (National Association of
Home Bulders) yang disponsori oleh Bank
of Amerika, Home Equity (2006), Survey on
Actual Service Linves for North American
Buildings karya Jennifer OConnor Research
Scientist Forintek Canada Corp Voncouver,
Kanada, PKKI NI-5 1961/1979, J & N Realty
Inc Property Management Services Real
Estate Condominium Home milik Associations Townhouse Toownhome HOA Condo
Common Interest Devlopment.
Dari berbagai referensi tersebut, tim
kemudian mengelompokkan bahan konstruksi dalam beberapa jenis, seperti beton
bertulang, konstruksi kayu, konstruksi baja,
dan konstruksi batu bata. Dari situ diperoleh
gambaran, untuk konstruksi beton bertulang,
misalnya, jika kondisi lingkungan kering,
bahan utama terlindungi, dan berada pada
tempat yang tidak mengandung klorida
dan sulfat, maka umur bahan tersebut bisa
mencapai 60 tahun. Memang, diakui oleh
penanggung jawab tim perumus Purwanto
Budi Santoso, antara satu referensi dengan
referensi lainnya terdapat perbedaan. Namun
50
Media Penilai
Laporan khUsus
pemeliharaan, terjadi kebocoran, plester
retak dan selalu lembab, dan berada di tempat
yang mengandung klorida dan sulfat, umur
bahan hanya mencapai 30 tahun. Usulan ini
dihasilkan dari campuran bahan, perhitungan, pelaksanaan, dan pengawasan sesuai
standar SNI yang berlaku.
Bagaimana dengan bahan konstruksi
kayu? Konstruksi dari kayu bahannya beragam, mula dari jenis kayu kelas awet 1 hingga 5. Mengikuti perhitungan, pengerjaan, dan
pengawasan SNI yang berlaku, disimpulkan
bahwa umur bahan bervariatif. Jika selalu
berhubungan dengan tanah lembab, umurnya
hanya mencapai 8 tahun. Kayu yang berada
di lingkungan terbuka terhadap angin dan
iklim, namun terlindungi dari matahari dan
hujan, umur bahan bisa mencapai 50 tahun.
Sedangkan, bahan yang tidak terkait dengan
tanah lembah dan dilindungi dari udara bebas
tapi tak di-coating, umurnya bisa mencapai
100 tahun lebih. Adapun, bahan yang terlindungi dari udara bebas dan dipelihara atau dicoating, umurnya bahan bisa mencapai 100
tahun lebih. Untuk bahan kayu awet kelas 1
ini kemungkinan diserang rayap tidak ada.
Sementara, untuk kayu kelas awet seterusnya
sampai 5, jelas memiliki umur di bawah kelas
satu dan tergantung kondisi lingkungan yang
menyertai bahan tersebut.
Sementara untuk konstruksi dari bahan
baja, dengan konstruksi struktur baja yang
mudah diinspeksi dan mudah pemeliharaannya, di lingkungan kering (bahan utama
dilindungi atap, coating, plester) dan tidak
berada pada tempat yang mengandung klorida dan sulfat, umur bahan bisa mencapai 80
tahun. Ini berdasarkan referensi perhitungan,
pengerjaan, dan pengawasan sesuai SNI yang
berlaku. Lalu, untuk konstruksi dari bahan
tembok batu bata diplester dan di-aci, umur
bahan bisa mencapai 100 tahun. Konstruksi
dengan penghematan baja di lingkungan kering (bahan utama dilindungi atap, coating,
plester) dan tidak berada pada tempat yang
mengandung klorida dan sulfat, umurnya
bisa mencapai 100 tahun.
Umur Ekonomis Bangunan
Sementara itu, untuk menentukan umur
ekonomis bangunan, tim juga melakukan
perbandingan baik di dalam negeri maupun
luar negeri. Dari berbagai referensi tim
mengambil kesimpulan bahwa asumsi proses
pembangunan dan penggunaan sepanjang
: 10 tahun
: 20 tahun
: 40 tahun
: 50 tahun
: 40 tahun
: 50 tahun
Bangunan Komersial
1. Pusat Perbelanjaan
a. Toko/Kios Individu
b. Ruko/Rukan
c. Pasar Tradisional/Permanen
d. Pusat Perbelanjaan/Mall
2. Bangunan Kantor
a. Bangunan kantor tak bertingkat
b. Bangunan kantor bertingkat s/d 4 lantai
c. Bangunan kantor bertingkat > 5 ke atas
1. Bangunan Gedung Pemerintah (Permanen)
a. Bangunan kantor pemerintah
b. Bangunan sekolah
c. Bangunan pertemuan
d. Rumah sakit, laboratorium dll
e. Bangunan peribadatan
f. Bangunan kebudayaan
2. Bangunan Hotel/Motel
a. Bangunan villa tidak bertingkat
b. Bangunan villa bertingkat
c. Bangunan hotel/motel bertingkat s/d 4 lantai
d. Bangunan hotel/motel bertingkat > 5 lantai
: 20 tahun
: 40 tahun
: 40 tahun
: 50 tahun
: 40 tahun
: 40 tahun
: 50 tahun
: 50 tahun
: 50 tahun
: 50 tahun
: 50 tahun
: > 60 tahun
: > 60 tahun
: 30 tahun
: 40 tahun
: 40 tahun
: 50 tahun
Media Penilai
51
TEKNOLOgI
Media Penilai
paling murah di dunia. Setidaknya, hal tersebut pernah diungkapkan Sandiaga Salahudin
Uno, pendiri Saratoga Capital, kepada pers.
Sebagai gambaran, biaya produksi batu bara
yang ditambang di Tanah Air sekitar 20 dollar
AS per ton. Angka ini masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan China dan Afrika
yang mencapai sekitar 23 dollar AS per ton.
Indonesia, hanya kalah dari Venezuela yang
ongkos produksi menambangnya sekitar 18
dollar AS per ton.
Jika diteliti lebih jauh, ongkos produksi
batu bara tersebut meliputi sejumlah komponen, yaitu penambangan, biaya umum
plus administrasi, dan transportasi darat.
Tapi harus diingat, di luar itu juga masih
biaya-biaya yang harus juga diperhitungkan
TEKNOLOgI
pelaksanaan kerja. Hal-hal yang diperhatikan tersebut adalah pertama, nilai (value)
daripada endapan mineral per unit berat (P),
dan biasanya dinyatakan dengan ($/ton) atau
(Rp/ton). Kedua, ongkos produksi (C), yaitu
ongkos yang diperlukan sampai mendapatkan produknya di luar ongkos stripping.
Ongkos stripping of overburden (Cob) dan
Cut Off Grade akan menentukan batas-batas
cadangan sehingga menentukan bentuk akhir
penambangan.
Teknik Penambangan
Dalam penambangan batu bara, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum
melakukan penambangan batu bara. Dimulai
dari studi kelayakan, eksplorasi, dan menghitung resource untuk menentukan cadangan.
Tahap eksplorasi ini untuk menentukan ada
tidaknya batu bara. Jika ada, seberapa besar,
bagaimana bentuk dan posisinya, apakah
dekat dengan permukaan. Semua ini dapat
diketahui pada tahap eksplorasi. Eksplorasi
pendahuluan ini untuk memperoleh gambaran awal tentang endapan batu bara yang
meliputi jarak titik pengamatan, ketebalan,
kemiringan lapisan, bentuk, korelasi lapisan,
sebaran, struktur geologi dan sedimen, kuantitas dan kualitasnya.
Dari kegiatan ini akan dihasilkan model
geologi, model penyebaran endapan, gambaran mengenai cadangan, kadar awal, dan
lainnya. Model tersebut dipakai untuk menetapkan apakah daerah survei yang bersangkutan memberikan harapan baik atau tidak.
Kalau daerah tersebut mempunyai prospek
yang baik, maka dapat diteruskan dengan
tahap eksplorasi selanjutnya.
Setelah dalam tahapan eksplorasi pendahuluan diketahui bahwa cadangan yang
ada mempunyai prospek yang baik, maka
diteruskan dengan tahap eksplorasi detail.
Kegiatan utama tahap ini adalah sampling
dengan jarak yang lebih dekat, yaitu jarak
antartitik bor 200 meter. Tahap ini dilakukan
dengan memperbanyak sumur uji atau lubang
bor untuk mendapatkan data yang lebih teliti
mengenai penyebaran dan ketebalan cadangan (volume) penyebaran dan kadar/kualitas secara mendatar maupun tegak.
Dari sampling yang rapat tersebut akan
dihasilkan cadangan terhitung dengan klasifikasi terukur, dengan kesalahan yang kecil,
kurang dari 20 persen. Sebelum dilakukan
kegiatan ini, dilakukan terlebih dahulu studi
kelayakan dan amdal, geoteknik, serta geohidrologi. Tahap ini diperlukan pengetahuan
atau data yang lebih akurat mengenai kedalaman, ketebalan, kemiringan, dan penyebaran
cadangan secara 3Dimensi (panjang-lebartebal) serta data mengenai kekuatan batuan
sampling, kondisi air tanah, dan penyebaran
struktur.
Dari uraian tentang tahapan kegiatan
eksplorasi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kegiatan penyelidikan lapangan bertujuan untuk mendapatkan data tentang sifat
fisik-mekanik batuan, struktur geologi, dan
kondisi air tanah sampai dengan kedalaman
rencana penambangan. Secara spesifik harus
dibuat laporan struktur geologi meliputi litologi, geometri, dan kemiringan dari formasi
lapisan batu bara, geometri dan komposisi
strukturmajor seperti patahan, serta domain
dan orientasi dari bidang bidang diskontinuitas. Demikian juga dengan data geoteknik,
terutama sifat fisik dan mekanik dari over
burden, inter burden, lapisan batu bara dan
batuan alas.
Gambaran tentang data level air tanah,
permeabelitas, dan aliran air tanah artesis
yang diperoleh pada waktu kegiatan pengeboran dan pemasangan piezometer perlu juga
dibuat dalam laporan tertulis.
Dari tahap eksplorasi ini semua tahap
geologi, kimia, fisika dikumpulkan sebaik
mungkin oleh pihak yang kompeten. Dari
situ bisa dikeluarkan data resource sumber
daya batu bara. Sumber daya bisa dihitung
53
TEKNOLOgI
recovery), dan pekerjaan dilakukan seefisien
mungkin. Sebab, aktivitas penambangan ini
melibatkan alat berat yang harus sinkron antara satu bagian dengan bagian kerja lainnya
agar terjadi efisiensi. Itupun harus dilakukan
oleh tenaga kerja terampil.
Penambangan batu bara bisa dilakukan di
atas permukaan atau penambangan terbuka
dan penambangan bawah tanah. Metode
yang dipakai pun berbeda. Untuk penambangan terbuka, sangat mungkin mengambil
90 persen lebih endapan batu bara. Sebab,
endapan ini berada dekat dengan permukaan
tanah. Penambangan ini akan memberikan
nilai ekonomis tinggi bila semua endapan
bisa diambil. Metode penambangan terbuka
dilakukan di atas atau relatif dekat dengan
permukaan bumi. Tempat kerja penambangan terkait langsung dengan udara luar.
Materi yang ditambang biasanya berupa open
pit/open cut/open cast/open mine mining,
stripping mining, quarrying mining, dan
alluvial mining.
Area tambang terbuka bisa mencapai
jarak berkilo meter. Tentunya peralatan yang
digunakan melibatkan alat besar, seperti
dragline untuk memindahkan batuan permukaan, power shovel, alat pengangkut truk
besar (yang mengangkut batuan permukaan
dan batu bara; bucket wheel excavator (mobil
penggali serok), dan ban berjalan.
Untuk memisahkan batuan dan tanah
tersebut diledakkan dengan bahan peledak.
Hasil ledakan ini akan memisahkan tanah
dan batuan permukaan. Batuan ini kemudian
diangkut, bisa menggunakan katrol penarik
atau dengan sekop dan truk. Setelah lapisan
batu bara terlihat, lapisan batu bara tersebut
digali, dipecahkan kemudian ditambang
secara sistematis dalam bentuk jalur-jalur.
Kemudian, batu bara dimuat ke dalam truk
besar atau ban berjalan untuk diangkut ke
pabrik pengolahan batu bara atau langsung
ke tempat di mana batu bara tersebut akan
digunakan.
Kegiatan penambangan batu bara terbuka
dilakukan dengan persiapan daerah penambangan, pengupasan dan penimbunan tanah
humus, pengupasan tanah penutup, pemuatan
dan pembuangan tanah penutup, penggalian
batu bara, pemuatan, dan pengangkutan batu
bara, penirisan tambang sampai reklamasi
bekas tambang. Tahap persiapan ini mencakup pembuatan jalan rintasan, pembersihan
lahan, pengupasan tanah penutup. Persiapan
54
Media Penilai
galeri foto
Media Penilai
55
INFO MAPPI
56
Media Penilai
INFO MAPPI
memiliki izin. Tapi, konten dari laporannya benar atau tidak harus dilihat berbeda,
lanjut Okky.
Dia menambahkan, banyak lagi masalah
penyebaran blanko kosong dan tanda tangan yang di-scan ke semua cabang sangat
berisiko buat perjalanan karier penilai yang
bersangkutan. Kondisi ini kurang menjadi
perhatian penilai. Ketika hasil pekerjaannya
terseret ke meja hijau, penilai baru menyadari
dan mengakui bahwa tanda tangannya dipalsukan.
Menyikapi tanda tangan dipalsukan,
Ernawaty Hutagalung mengatakan, selama
yang dipalsukan mengakui itu tanda tangannya, saat diperiksa, sah di muka hukum. This
is my signature, terangnya. Semua menjadi
sah demi hukum, meskipun itu tidak mirip,
tidak menjadi soal. Sebab, bisa saja tanda
tangan tidak persis, meskipun itu dilakukan
oleh orang yang sama.
Konsultan MAPPI ini akan memberikan
bantuan hukum ke MAPPI dan ke anggota
melalui rekomendasi Biro Hukum MAPPI.
Media Penilai
57
INFO MAPPI
Keikutsertaan anggota MAPPI pada diseminasi ini hukumnya wajib karena kegiatan ini
merupakan PPL yang berkaitan dengan Pem-
Tempat
Hari/Tanggal
Jam (tentative)
Kamis, 2 Mei 2013
08.00 s.d. 18.00 WIB
Grand Jaya Raya Bogor
Jumat, 3 Mei 2013
Kamis, 16 Mei 2013
08.00 s.d. 18.00 WIB
Grand Jaya Raya Bogor
Jumat, 17 Mei 2013
Kamis, 30 Mei 2013
08.00 s.d. 18.00 WIB
Hotel Newton Bandung
Jumat, 31 Mei 2013
Kamis, 13 Juni 2013
08.00 s.d. 18.00 WIB
Hotel Kedaton Bandung
Jumat, 14 Juni 2013
Kamis, 20 Juni 2013
08.00 s.d. 18.00 WIB
Hotel Kedaton Bandung
Jumat, 21 Juni 2013
Kamis, 4 Juli 2013
08.00 s.d. 18.00 WIB
Hotel Newton Bandung
Jumat, 5 Juli 2013
Jumlah Peserta
55 Peserta
58 Peserta
58 Peserta
55 Peserta
51 Peserta
57 Peserta
58
Hari/Tanggal
Jam
Tempat
Kamis, 18 Juli 2013
STIA LAN Jakarta
Sabtu, 20 Juli 2013
Kamis, 29 Agustus 2013
Lembaga Pendidikan Perkebunan Kampus Medan
Jumat, 30 Agustus 2013
Kamis, 19 Sept 2013
STIA LAN Jakarta
Jumat, 20 Sept 2013
Media Penilai
Jumlah Peserta
60
60
60
Media Penilai
59
60
Media Penilai