Anda di halaman 1dari 17

NAMA

: NOVIA NUR R.

NIM

: 1102912

MATA KULIAH

: MANAJEMEN STRESS DAN KONFLIK


JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER

1. Konflik dalam Organisasi


a. Makna Konflik dalam Organisasi
Konflik dalam organisasi sering dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Oleh sebab
itu, penanganan yang dilakukan pun diarahkan kepada pernyelesaian konflik.
Sebuah realita bahwa konflik merupakan sesuatu yang sulit dihindari karena
berkaitan erat dengan proses interaksi manusia. Karenanya, yang dibutuhkan
bukan meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya sehingga bisa membawa
dampak yang tidak negatif bagi organisasi. Akan tetapi tidak semua konflik
merugikan,

asalkan

konflik

tersebut

ditata

dengan

baik

maka

dapat

menguntungkan organisasi. Dan semua anggota bisa menjadikan konflik dalam


organisasi sebagai sebuah pembelajaran dan bagian pertimbangan atas banyaknya
pemikiran-pemikiran yang berbeda pada setiap anggota organisasi.
b. Faktor Penyebab Konflik dalam Organisasi
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini
dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman,
tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa
terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Perbedaan latar belakang

sehingga membentuk pribadi-pribadi yang

berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran
dan pendirian Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya
akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.


Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang

yang

berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing


orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadangkadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal
pemanfaatan Para tokoh menanggap hutan sebagai kekayaan budaya
yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan
tidak boleh ditebang. Para

menbang pohon-pohon karena dianggap

sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau Bagi para
pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor
guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta
lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus
dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik
sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula
menyangkut bidang, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok
atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok
buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di
antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai,
sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk
dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
Perubahan-perubahan yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika
perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada
masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada
masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat
berubah menjadi nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai yang berubah itu
seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja

dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan


kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam
formal Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilainilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah
menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat
dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat
atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di
masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk
perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat
yang telah ada.
c. Bentuk Konflik
Berdasarkan bentuknya, konflik dibagi atas tiga yaitu:
1. Pseudo Conflict
Pseudo Conflict atau konflik tersembunyi (konflik batin) adalah sebuah bentuk
konflik yang masih tersembunyi namun menuntuk kewaspadaan atau antisipasi
kalau-kalau muncul ke permukaan.
Contoh Pseudo Conflict: Konflik Batin
Seorang yang baru lulus dari SMK jurusan Teknik Informatika mendapat tawaran
pekerjaan di sebuah perusahaan periklanan. Perusahaan ini mengkhususkan diri
memproduksi iklan-iklan berbentuk animasi untuk ditampilkan di televisi.
Pemuda ini memang lulusan dari program studi Teknik Informatika, tetapi jurusan
yang diambil bukan multi media melainkan jurusan jaringan. Karena itu, ia tidak
tahu banyak mengenai program-program aplikasi yang dibutuhkan dalam
pembuatan animasi. Hal ini ia sadari betul. Ia sangat yakin jika ia terima tawaran
tersebut pasti tidak bisa bekerja dengan baik, bahkan akan mengecewakan
perusahaan tersebut. Namun di sisi lain, melihat sulitnya mencari lapangan kerja
dan besarnya gaji yang ditawarkan oleh perusahaan iklan itu, ia sangat ingin
menerima tawaran tersebut. Ia bingung untuk menentukan sikap, menerima atau
menolak tawaran itu. Pertentangan ini membuat dia murung sepanjang waktu.
2. Silent Conflict

Silent Conflict atau konflik semu adalah suatu bentuk konflik yang belum
dinyatakan dan masih bersifat koar-koar (adu mulut) atau istilah familiarnya
Perang Dingin.
Contoh Silent Conflict: Perang Dingin antara Rusia dengan Negara-negara Barat
(AS dan NATO)
Rusia tidak menghendaki perang dingin, tetapi juga tidak takut menghadapinya.
Dan, kalau Pakta NATO berniat putus hubungan dengan Rusia, maka silahkan
saja. Itu tidak masalah bagi Rusia. Kalau karena itu, Rusia tidak diterima menjadi
anggota organisasi perdagangan dunia WTO, maka juga tidak apa-apa. Semua
syarat menjadi anggota WTO yang sudah diterima Rusia tapi merugikan
perekonomian negeri beruang merah itu akan dibekukan. (petikan pidato
Presiden Rusia)
Babak baru perang dingin antara Rusia dan Barat telah dimulai. Indikasi
dimulainya perang dingin ini adalah silang pendapat Rusia dan Barat dalam
menyikapi berbagai persoalan seperti, rencana penempatan sistem anti rudal AS di
Eropa Timur, keluarnya

Moskow

dari perjanjian pengurangan

senjata

konvensional di Eropa, keberatan Rusia atas usaha Barat untuk memisahkan


Kosovo dari Serbia, dideportasinya diplomat Rusia dan Inggris menyusul
meningkatnya aktifitas spionase kedua negara ini.
Sejak runtuhnya Uni Soviet dan pembubaran perjanjian Pakta Warsawa, dengan
pimpinan AS, NATO mempergunakan kesempatan berkurangnya keamanan di
Eropa Timur dan berkurangnya pengaruh Rusia di kawasan tersebut untuk
memperluas jangkauan kekuasaannya ke wilayah tersebut. Dalam kesempatan ini,
AS dalam usahanya melemahkan pertahanan Rusia, pada tahun 2001 dengan
sepihak telah keluar dari perjanjian pelarangan pengembangan Rudal anti Balistik
(ABM) yang disepakati pada tahun 1972, dan melaksanakan draf sistem anti rudal
di Eropa Timur. Oleh karenanya Rusia melihat rencana Wasington ini mengancam
stabilitas negaranya.
Setelah 17 tahun runtuhnya Uni Soviet, Rusia dan Barat belum pernah melakukan
langkah positif untuk menyelesaikan berbagai persoalan diantara mereka. Sebagai

dua kekuatan yang saling bersaing, Rusia dan Barat selalu mengejar kepentingankepentingan yang saling bertentangan. Penentangan Rusia terhadap usaha Barat
untuk memisahkan Kosovo dari Serbia dapat dinilai sebagai persaingan mereka
dalam bidang Geostrategis. AS dan Uni Eropa tengah berusaha mengurangi
pengaruh tradisional Rusia di kawasan Balkan. Namun tekanan Barat atas Rusia
akan mempengaruhi pula perilaku negara ini di kawasan-kawasan lain di dunia.
Jelas sekali bahwa dalam rangka menghadapi ancaman-ancaman Barat, Rusia
akan memperkuat hubungannya dengan kekuatan-kekuatan regional seperti Cina
dan India, juga dengan lembaga-lembaga regional seperti Organisasi Kerjasama
Shanghai (SCO).
3. Actual Conflict
Actual Conflict adalah konflik yang nyata terjadi antara satu pihak dengan pihak
lain dengan menggunakan kekuatan fisik maupun senjata api dan senjata tajam.
Contoh Actual Conflict: Invasi Militer Amerika serikat ke Irak
Invasi Irak 2003 dengan kode Operasi Pembebasan Irak secara resmi mulai
pada tanggal 20 Maret 2003. Tujuan resmi yang ditetapkan Amerika Serikat
adalah untuk melucuti senjata pemusnah masal Irak, mengakhiri dukungan
Saddam Hussein kepada terorisme, dan memerdekakan rakyat Irak. Sebagai
persiapan, pada 18 Februari 100.000 tentara Amerika Serikat dimobilisasikan di
Kuwait. Amerika Serikat menyediakan mayoritas pasukan untuk invasi ini,
dengan dukungan dari pasukan koalisi yang terdiri dari lebih dari 20 negara dan
suku Kurdi di utara Irak. Invasi Irak 2003 inilah yang menjadi pembuka Perang
Irak.
Invasi Amerika terhadap Irak pada 20 Maret 2003 tepatnya pukul 05.35 waktu
Irak, yaitu negeri yang porak poranda akibat perang teluk serta perang
berkepanjangan ditambah dengan sanksi ekonomi yang dipaksakan PBB. Dengan
dalih keamanan dunia dengan menuduh Irak mengembangkan senjata pemusnah
masal, serta mengusung HAM dan demokrasi dengan menjatuhkan Rezim Sadam.
Menjadikan geram negara-negara eropa, bahkan seluruh dunia. Dan sekaligus hal
ini semakin memperjelas ambisi Amerika untuk menguasai dunia setelah
sebelumnya menguasai Afghanistan.

Okupasi yang kemudian dilakukan oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika


Serikat mengakibatkan berlanjutnya peperangan antara para pemberontak dengan
pasukan koalisi. Tentara Baru Irak lalu dibentuk untuk menggantikan tentara lama
Irak setelah dibubarkan oleh koalisi, dan diharapkan tentara baru ini akan
mengambil alih tugas-tugas koalisi setelah mereka pergi dari Irak. Dan diantara
peperangan yang terjadi antara para pemberontak, koalisi, dan tentara baru Irak,
perang saudara antar kelompok mayoritas Syiah dan minoritas Sunni masih
berlanjut sampai sekarang. Sebab dan akibat terjadinya perang ini sampai kini
masih kontroversial.
d. Karakteristik Konflik
Konflik terjadi ketika ada dua atau lebih nilai, sudut pandang,prinsip, atau
pendapat berkontradiksi satu sama lain.
Konflik dapat terjadi:
1. Di dalam diri kita sendiri (konflik internal), yaitu ketika merasa tak lagi hidup
di dalam sistem nilai yang kita yakini sebagai kebaikan dan kebenaran.
2. Ketika kita merasa bahwa nilai, sudut pandang, prinsip, atau pendapat kita
sedang terancam (konflik eksternal).
3. Ketika kita merasa terancam oleh ketakutan dan kekhawatiran akibat
kekurangtahuan atau oleh sesuatu yang tidak kita ketahui, atau oleh rasa
kurangnya pencapaian (konflik eksternal). Ini bisa diselesaikan dengan terus
belajar.
e. Akibat dari Konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang

mengalami konflik dengan kelompok lain.


Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam,

benci, saling curiga dll.


Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat
memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi;

pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak
lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan

percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.


Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan

percobaan untuk "memenangkan" konflik.


Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan

percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.


Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan
untuk menghindari konflik.

f. Conflict Resolution Strategies


1. De-eskalasi Konflik
Di tahap pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata
yang memakan korban jiwa sehingga pengusung resolusi konflik berupaya untuk
menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi
konflik. Tahap ini masih berurusan dengan adanya konflik bersenjata sehingga
proses resolusi konflik terpaksa harus bergandengan tangan dengan orientasiorientasi militer. Proses resolusi konflik dapat dimulai jika mulai didapat indikasi
bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik.
Kajian tentang entry point ini didominasi oleh pendapat Zartman (1985) tentang
kondisi hurting stalemate. Saat kondisi ini muncul, pihak-pihak yang bertikai
lebih terbuka untuk menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya
kekerasan yang meningkat. Pendapat ini didukung oleh Bloomfied, Nupen dan
Haris (2000). Namun, ripeness thesis ini ditolak oleh Burton (1990, 88-90) yang
menyatakan bahwa
problem-solving conflict resolution seeks to make possible more accurate
prediction and costing, together with the discovery of viable options, that would
make this ripening unnecessary.
Dengan demikian, entry point juga dapat diciptakan jika ada pihak ketiga yang
dapat menurunkan eskalasi konflik (Kriesberg: 1991). De-eskalasi ini dapat
dilakukan dengan melakukan intervensi militer yang dapat dilakukan oleh pihak

ketiga internasional berdasarkan mandat BAB VI dan VII Piagam PBB (Crocker,
1996).
Operasi militer untuk menurunkan eskalasi konflik merupakan suatu tugas berat
yang mendapat perhatian besar dari beberapa ageni internasional. UNHCR,
misalnya, telah menerbitkan suatu panduan operasi militer pada tahun 1995 yang
berjudul
A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations.
Panduan yang sama juga telah dipublikasikan oleh Institute for International
Studies, Brown University pada tahun 1997 dengan judul A Guide to Peace
Support Operations.
2. Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik
Ketika de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik
dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk
meringankan beban penderitaan korban-korban konflik (Anderson, 1996).
Intervensi kemanusiaan ini dilakukan dengan menerapkan prinsip mid-war
operations (Loescher dan Dwoty: 1996; Widjajanto: 2000). Prinsip ini yang
merupakan salah satu perubahan dasar dari intervensi kemanusiaan di dekade 90an, mengharuskan intervensi kemanusiaan untuk tidak lagi bergerak di lingkungan
pinggiran konflik bersenjata tetapi harus bisa mendekati titik sentral peperangan.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa korban sipil dan potensi pelanggaran
HAM terbesar ada di pusat peperangan dan di lokasi tersebut tidak ada yang bisa
melakukan operasi penyelamatan selain pihak ketiga. Dengan demikian, bentukbentuk aksi kemanusian minimalis yang hanya menangani masalah defisiensi
komoditas pokok (commodity-based humanitarianism) dianggap tidak lagi
memadai.
Intervensi kemanusiaan tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk
membuka peluang (entry) diadakannya negosiasi antar elit. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa tahap ini kental dengan orientasi politik yang bertujuan
untuk mencari kesepakatan politik (political settlement) antara aktor konflik.
3. Problem-solving Approach
Tahap ketiga dari proses resolusi konflik adalah problem-solving yang memiliki
orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif
bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang
spesifik ke arah resolusi (Jabri: 1996, 149).

Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika dua kelompok yang bertikai
dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding) tentang cara
untuk mengeskplorasi alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang dapat
langsung dikerjakan oleh masing-masing komunitas. Alternatif-alternatif solusi
konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi konflik yang
berupaya untuk menemukan sebab-sebab fundamental dari suatu konflik. Bagi
Burton (1990, 202), sebab-sebab fundamental tersebut hanya dapat ditemukan
jika konflik yang terjadi dianalisa dalam konteks yang menyeluruh (total
environment).
Aplikasi empirik dari problem-solving approach ini dikembangkan oleh misalnya,
Rothman (1992, 30) yang menawarkan empat komponen utama proses problemsolving. Komponen pertama adalah masing-masing pihak mengakui legitimasi
pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal. Komponen kedua
adalah masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain
tentang kompleksitas konflik yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma
yang timbul selama konflik, dan kendala-kendala struktural yang akan
menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi konflik.
Komponen ketiga adalah kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola
interaksi yang diinginkan untuk mengkomunikasikan signal-signal perdamaian.
Komponen

terakhir

adalah

problem-solving

workshop

yang

berupaya

menyediakan suatu suasana yang kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk


melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik.
4. Peace-building
Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap
rekonsiliasi dan tahap konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan
memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural.
Kajian tentang tahap transisi, misalnya, dilakukan oleh Ben Reily (2000, 135-283)
yang telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi bagi
masyarakat pasca-konflik . Mekanisme transisi tersebut meliputi lima proses
yaitu:
(1) pemilihan bentuk struktur negara;
(2) pelimpahan kedaulatan negara;
(3) pembentukan sistem trias-politica;
(4) pembentukan sistem pemilihan umum;

(5) pemilihan bahasa nasional untuk masyarakat multi-etnik; dan


(6) pembentukan sistem peradilan.
Tahap kedua dari proses peace-building adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu
dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas
adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural
yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas tersebut .
Tahap terakhir dari proses peace-building adalah tahap konsolidasi. Dalam tahap
konsolidasi ini, semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah Quo Desiderat
Pacem, Praeparet Pacem. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor yang relevan
untuk terus menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial
dengan dua tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang
melibatkan kekerasan bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian
langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai. (Miall:
2000, 302-344).
Dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan.
Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini
(early warning system, Widjajanto: 2001) Sistem peringatan dini ini diharapkan
dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi
konflik dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk
mengelola konflik. Sistem peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk
melakukan preventive diplomacy yang oleh Lund (1996, 384-385) didefinisikan
sebagai:
preventive diplomacy, or conflict prevention, consists of governmental or nongovernmental actions, policies, and institutions that are taken deliberately to keep
particular states or organized groups within them from threatening or using
organized violence, armed force, or related forms of coercion such as repression
as the means to settle interstate or national political disputes, especially in
situations where the existing means cannot peacefully manage the destabilizing
effects of economic, social, political, and international change.
Kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang
melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer di berbagai tingkat eskalasi
konflik (Widjajanto: 2001). Aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat saja
melibatkan Non-Governmental Organisations (NGOs) (Aall:1996), mediator

internasional (Zartman dan Touval: 1996), atau institusi keagamaan (Sampson:


1997; Lederach: 1997).
Tulisan ini telah berusaha menghadirkan empat tahap resolusi konflik. Keempat
tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak
dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk mencapai tujuan disatu tahap
akan berakibat tidak sempurnanya proses pengelolaan konflik di tahap lain.
Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan bahwa resolusi konflik menempatkan
perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian
memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi
terhadap potensi kemunculan kekerasan struktural di suatu komunitas
2. Organizational Stress Framework
a. Stress adalah bentuk ketegangan dari fisik, psikis, emosi maupun mental. Bentuk
ketegangan ini mempengaruhi kinerja keseharian seseorang. Bahkan stress dapat
membuat produktivitas menurun, rasa sakit dan gangguan-gangguan mental. Pada
dasarnya, stress adalah sebuah bentuk ketegangan, baik fisik maupun mental.
Sumber stress disebut dengan stressor dan ketegangan yang di akibatkan karena
stress, disebut strain.
b. Stres sifatnya universal, yaitu umum semua orang sama dapat merasakannya,
tetapi cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan
karakteristik individu, maka responnya berbeda- beda untuk setiap orang.
Seseorang yang mengalami stres dapat mengalami perubahan-perubahan yang
terjadi pada tubuhnya, antara lain :
1. Perubahan warna rambut kusam, ubanan, kerontokan
2. Wajah tegang, dahi berkerut, mimik nampak serius, tidak santai, bicara berat,
sulit tersenyum/tertawa dan kulit muka kedutan (ticfacialis)
3. Nafas terasa berat dan sesak, timbul asma
4. Jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar atau menyempit (constriksi)
sehingga mukanya nampak merah atau pucat. Pembuluh darah tepi (perifer)
terutama ujung-ujung jari juga menyempit sehingga terasa dingin dan
kesemutan.
5. Lambung mual, kembung, pedih, mules, sembelit atau diare.
6. Sering berkemih.
7. Otot sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal dan tegang pada tulang terasa linu atau
kaku bila digerakkan.

8. Kadar gula meningkat, pada wanita mens tidak teratur dan sakit
(dysmenorhea)
9. Libido menurun atau bisa juga meningkat.
10. Gangguan makan bisa nafsu makan meningkat atau tidak ada nafsu makan.
11. Tidak bisa tidur
12. Sakit mental-histeris
c. Faktor Penyebab Stres dalam Organisasi
Penyebab stres yang akan kami kemukakan disini lebih banyak menyangkut
penyebab stres di dalam organisasi. Secara umum penyebab stres dapat
dikelompokkan menjadi (Gibson, 1996: 344-351)
a. Stressor Lingkungan Fisik
Stressor Lingkungan Fisik sering disebut Stressor Kerah Biru (Blue Collar
Stressors) karena mereka lebih merupakan masalah-masalah dalam
pekerjaan kasar atau dengan kata lain penyebab dari stres ini berhubungan
dengan lingkungan kerja fisik dan umum.
b. Stressor Individual
Penyebab stres individual adalah konflik peran dan kemenduaan atau
ambiguitas peran. Faktor lainnya yang cukup berperan sebagai stressor
individual ini adalah beban kerja yang berlebihan dan tidak adanya
pengendalian atas suatu situasi.
c. Stressor Kelompok
Karektiristik kelompok mampu menjadi stressor yang kuat bagi beberapa
individu. Hubungan yang jelek dan kepercayaan yang rendah, minat yang
rendah dalam menanggapi dan mencoba menghadapi masalah yang
dihadapi merupakan faktor penyebab stressor kelompok.
a. Stressor Organisasional
Penyebab timbulnya stress dalam organisasi antara lain adalah karena
tingkat partisipasi anggota organisasi dalam pengambilan keputusan
organisasi. Stressor lain adalah struktur organisasi karena stressor ini akan
mengakibatkan less satisfaction yang akan berakibat pada kinerja
organisasi yang buruk.
d. Pada dasarnya stres bersumber dari beberapa hal:
a. Factors intrinsic to the job (faktor-faktor yang melekat pada pekerjaan)
b. Rule in the organization (peranan dalam organisasi)
c. Relation within the organization (hubungan-hubungan dalam organisasi)
d. Career development (perkembangan karir)
e. Organization structure and climate (struktur dan iklim organisasi)

f. Organizational interface with outside (hubungan organisasi dengan pihak


luar)
g. Factors intrinsic to individual (faktor yang berasal dari dalam diri individu)
e. Stress dapat menyebabkan perasaan negatif atau yang berlawanan dengan apa
yang diinginkan atau mengancam kesejahteraan emosional. Stress dapat
menggangu cara seseorang dalam menyerap realitas, menyelesaikan masalah,
berfikir secara umum dan hubungan seseorang dan rasa memiliki. Terjadinya
stress dapat disebabkan oleh sesuatu yang dinamakan stressor,stressor ialah
stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan. Stressor secara umum
dapat diklasifikasikan sebagai stressor internal atau eksternal.Stressor internal
berasal dari dalam diri seseorang (mis. Kondisi sakit,menopause, dll ). Stressor
eksternal berasal dari luar diri seseorang atau lingkuangan (mis. Kematian
anggota keluarga, masalah di tempat kerja, dll ).
Berbagai tekanan dan gangguan dalam sebuah organisasi tentunya pasti sangat
sering terjadi. Hal inilah yang perlu dihindari agar kinerja kerja tidak terganggu.
Semua bisa diatasi asalkan dapat mengindikasikan masalah yang kita hadapi itu
sendiri. Semakin seseorang mendapatkan tekanan di luar batas dari kemampuan
dirinya sendiri tentunya akan mengalami stress pula yang cukup berat dan sangat
mengganggu kerja otak termasuk dengan daya ingat.
Dampak dan akibat dari stress itu sendiri dalam buku Organizational Behavior
(Robbin), dikelompokkan menjadi tiga gejala, yaitu gejala fisiologis, psikologis,
dan perilaku.
Gejala Fisiologis, meliputi sakit kepala, tekanan darah tinggi, dan sakit

jantung.
Gejala Psikologis, meliputi kecemasan, depresi, dan menurunnya tingkat

kepuasan kerja.
Gejala Perilaku, meliputi perubahan produktivitas, kemangkiran dan

perputaran karyawan.
Lima jenis konsekuensi dampak stress yang potensial menurut T. Cox sebagai
berikut :
Dampak subjektif
Kecemasan, agresi, kebosanan, depresi, keletihan, frustasi, kehilangan

kesabaran, rendah diri, gugup, dan merasa kesepian.


Dampak perilaku

Kecenderungan mendapatkan kecelakaan, alkoholik, penyalahgunaan obatobatan, emosi yang tiba-tiba meledak, makan berlebihan, merokok

berlebihan, perilaku yang mengikuti kata hati, ketawa, dan gugup.


Dampak kognitif
Kemampuan mengambil keputusan yang jelas, konsentrasi yang buruk,
rentang perhatian yang pendek, sangat peka terhadap kritik, dan rintangan

mental.
Dampak fisiologis
Meningkatnya kadar gula, meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah,
kekeringan di mulut, berkeringat, membesarnya pupil mata, dan tubuh panas

dingin.
Dampak organisasi
Keabsenan, pergantian karyawan, rendah produktivitasnya, keterasingan
dari rekan sekerja, ketidakpuasan kerja, menurunnya keikatan dan kesetiaan

terhadap organisasi.
Tidak selamanya stress berdampak negatif, ada beberapa dampak positif dari
stress, yaitu :
Mendorong orang berpikir kreatif
Meningkatkan sistem kekebalan tubuh
Membuat tubuh menjadi lebih fit
Membantu memecahkan masalah
Pemulihan
Semua gejala-gejala yang disebutkan di

atas

tentu

sangat

membuat

ketidaknyamanan setiap orang. Ingin rasanya untuk terhindar dari segala tekanan
stress yang dialaminya. Bahkan sampai pada tingkatan stress yang tinggi dalam
gejala psikologis, seseorang bisa berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Tekanan
yang dirasa sudah cukup beratlah yang membuat dampak seperti itu.
f. Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan
kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi
proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus
konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan.
Pertama, konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politikmiliter, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial.
Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus
hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan
konflik yang spesifik pula.

Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel
tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial
harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat
berbagai faktor.
Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika
dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang
relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif
jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang
langgeng.
g. Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang biasanya digunakan oleh
individu, yaitu: problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif
mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi
yang menimbulkan stres; dan emotion-focused coping, dimana individu
melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan
diri dengan dampak yang akan diitmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang
penuh tekanan. Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan
kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam
berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus & Folkman, 1984). Faktor
yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat
tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat stres dari suatu
kondisi

atau

masalah

yang

dialaminya.

Contoh:

seseorang

cenderung

menggunakan problem-solving focused coping dalam menghadapai masalahmasalah yang menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang berhubungan
dengan sekolah atau
h. pekerjaan; sebaliknya ia akan cenderung menggunakan strategi emotion-focused
coping ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol
seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat
seperti kanker atau Aids.
i. Hampir senada dengan penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di atas,
dalam literatur tentang coping juga dikenal dua strategi coping ,yaitu active &
avoidant coping strategi (Lazarus mengkategorikan menjadi Direct Action &
Palliative). Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah

cara pandang individu terhadap sumber stres, sementara avoidant coping


merupakan strategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan diri dari sumber
stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan
atau situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Apa yang dilakukan individu
pada avoidant coping strategi sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanisme
pertahanan diri (lihat artikel: Mengenal Mekanisme Pertahanan Diri) yang
sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu karena cepat atau
lambat permasalahan yang ada haruslah diselesaikan oleh yang bersangkutan.
Permasalahan akan semakin menjadi lebih rumit jika mekanisme pertahanan diri
tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan menambah kepekaan terhadap
ancaman.
3. Keterkaitan antara stress dan konflik adalah mereka bisa menjadi penyebab dan akibat
satu sama lain. Misalkan bila bermula dari stress, seseorang dengan keadaan tidak stabil
yang mengalami stress, kemampuan sosialnya menjadi berkurang, semangatnya akan
turun, dan hal ini bisa meneimbulkan konflik bagi sekitarnya. Begitu pula sebaliknya,
berawal dari konflik antar individu, seseorang bisa mengalami stress karena tidak
menginginkan adanya masalah tersebut.

Referensi :
http://produktivitas.qacomm.com/blog/manajemen-konflik.html
http://nyamploengan.wordpress.com/2013/10/19/makalah-kelompok-2-konflik-dalam-organisasi/
http://firmandut.blogspot.com/2013/05/konflik-dalam-organisasi-dan-sumber.html
http://jannaluchuw.wordpress.com/2010/05/10/jenis-sifat-dan-bentuk-konflik/
http://coplouw.blogspot.com/2012/10/blog-post.html
http://dedeh89-psikologi.blogspot.com/2013/04/pengertian-stress.html
http://smanegeri1parado.blogspot.com/2011/03/stres-dalam-organisasi.html
http://khoyunitapublish.wordpress.com/2013/12/10/makalah-stress-dalam-organisasi/

http://5osial.wordpress.com/2010/02/11/empat-tahap-resolusi-konflik/
http://adipsi.blogspot.com/2010/06/strategi-coping.html

Anda mungkin juga menyukai