Anda di halaman 1dari 13

Ablasio Retina

2.3.1 Definisi
Adalah kelainan mata dimana lapisan sensori retina terlepas dari lapisan epitel
pigmen retina. Antara kedua lapisan tersebut tidak terdapat taut yang erat, sehingga
terjadi akumulasi cairan subretinal di antara kedua lapisan tersebut.1-3
2.3.2 Klasifikasi
Terdapat empat klasifikasi pada ablasio retina, antara lain yaitu:
(1)Rhegmatogenous

Etiologi
Faktor risiko lebih tinggi didapatkan pada kelompok orang-orang dengan miopia
berat, afakia, usia lanjut, dan trauma. Khususnya yang disebabkan oleh trauma sering
terjadi pada individu berusia 25-45 tahun. Miopia tinggi (>5-6 dioptri) berhubungan
dengan 67 % kasus ablasio retina dan cenderung terjadi lebih muda dari pasien non
miopia. 15 % kemungkinan akan berkembang pula pada mata yang lainnya. Risiko
sekitar 25-30 % pada pasien yang telah menjalani operasi katarak pada kedua
mata.3,5,6
Klasifikasi
Ablasio retina regmatogenosa dapat diklasifikasikan berdasarkan patogenesis,
morfologi dan lokasi.
Berdasarkan patogenesisnya, dibagi menjadi; (1) Tears, disebabkan oleh traksi
vitreoretina dinamik dan memiliki predileksi di superior dan lebih sering di temporal
daripada nasal.(2) Holes, disebabkan oleh atrofi kronik dari lapisan sensori retina,
dengan predileksi di daerah temporal dan lebih sering di superior daripada inferior,
dan lebih berbahaya dari tears.
Berdasarkan morfologi, dibagi menjadi; (1) U-tearsm, terdapat flap yang menempel
pada retina di bagian dasarnya, (2) incomplete U-tears, dapat berbentuk L atau J, (3)
operculated tears, seluruh flap robek dari retina, (4) dialyses: robekan
sirkumferensial sepanjang ora serata, (5) giant tears.

Gambar 4. Morfologi robekan pada ablasio retina regmatogenosa


Berdasarkan lokasi, dibagi menjadi; (1) oral, berlokasi pada vitreous base, (2) post
oral, berlokasi di antara batas posterior dari vitreous base dan equator, (3)
equatorial, (4) post equatorial: di belakang equator (5) macular, di fovea.2
Patogenesis2
Ablasio jenis ini terjadi akibat adanya rhegma atau robekan pada lapisan retina
sensorik (full thickness) sehingga cairan vitreus masuk ke dalam ruang subretina.
Pada tipe ini, gaya yang mencetuskan lepasnya perlekatan retina melebihi gaya yang
mempertahankan perlekatan retina. Tekanan yang mempertahankan perlekatan
retina, antara lain tekanan hidrostatik, tekanan onkotik, dan transpor aktif. Hal yang
mempertahankan perlekatan retina yaitu (1) Tekanan intraokular memiliki tekanan
hidrostatik yang lebih tinggi pada vitreus dibandingkan koroid. (2) Koroid memiliki
tekanan onkotik yang lebih tinggi karena mengandung substansi yang lebih
dissolved dibandingkan vitreus. (3) Pompa pada sel epitel pigmen retina secara aktif
mentranspor larutan dari ruang subretina ke koroid. Robekan retina terjadi sebagai
akibat dari interaksi traksi dinamik vitreoretina dan adanya kelemahan di retina
perifer dengan faktor predisposisi nya yaitu degenerasi. synchysis, yaitu pada traksi
vitreoretina dinamik, terjadi likuefaksi dari badan vitreus yang akan berkembang
menjadi lubang pada korteks vitreus posterior yang tipis pada fovea. Cairan
synchytic masuk melalui lubang ke ruang retrohialoid. Akibatnya terjadi pelepasan
permukaan vitreus posterior dari lapisan sensori retina. Badan vitreus akan menjadi
kolaps ke inferior dan ruang retrohialoid terisi oleh cairan synchitic. Proses ini
dinamakan acute rhegmatogenous PVD with collapse (acute PVD). Selain itu juga
dapat terjadi sebagai akibat dari komplikasi akut PVD (posterior vitreal detachment).
Robekan yang disebabkan oleh PVD biasanya berbentuk huruf U, berlokasi di
superior fundus dan sering berhubungan dengan perdarahan vitreus sebagai hasil dari
ruptur pembuluh darah retina perifer.

Gambar 5. Vitreous syneresis 2


Kebanyakan robaekan terjadi di daerah perifer retina. Hal tersebut dapat
berhubungan dengan degenerasi retina perifer. Terdapat berbagai macam degenerasi,
antara lain:
1. Degenerasi lattice
Biasa ditemukan pada pasien dengan sindrom Marfan, sindrom Stickler, sindrom
Ehler-Danlos. Ditandai dengan bentuk retina yang sharply demarcated,
circumferentially orientated spindle shaped areas. Biasanya terdapat bilateral
dan lebih sering di daerah temporal dan superior.
2. Degenerasi snailtrack
Degenerasi ini berbentuk snowflakes atau white frost like appearance.
3. Degenerasi retinoschisis
Pada degenerasi ini terjadi pemisahan antara lapisan sensori retina menjadi 2
lapisan, yaitu lapisan koroidal dan lapisan vitreus. Kejadian ini banyak
berhubungan dengan hipermetrop.
4. White-with-pressure, White-without-pressure.

Gambar 6. Degenerasi vitreoretinal2


Gejala Klinis 1,2,3,5
Gejala utama yang ditimbulkan adalah fotopsia akibat stimulasi mekanik
pada retina. Fotopsia muncul dalam kurun waktu 24-48 jam setelah terjadinya
robekan retina. Fotopsia dapat diinduksi oleh gerakan bola mata. Pasien akan merasa
dapat melihat lebih jelas pada malam hari. Biasanya fotopsia terdapat di bagian
temporal perifer dari lapangan penglihatan. Pada ablasio bagian supratemporal yang
menyebabkan terangkatnya macula, maka akan terjadi penurunan tajam penglihatan
yang mendadak. Keluhan lain yang khas adalah, floater, adanya bayangan gelap
pada vitreous akibat retina yang robek, darah dan sel epitel pigmen retina yang
masuk ke badan vitreus. Kekeruhan vitreus ini terbagi atas 3 tipe, yaitu; (1) Weiss
ring, floater yang soliter terdiri dari annulus yang terlepas dari vitreus. (2) Cobwebs,
disebabkan oleh kondensasi serat kolagen di korteks vitreus yang kolaps. (3)
Pancaran seketika berupa titik hitam atau merah yang biasanya mengindikasikan
perdarahan vitreus akibat robekan pembuluh darah retina. Black curtain, defek
lapang penglihatan dirasakan oleh pasien mulai dari perifer yang lama-lama hingga
ke sentral. Keluhan ini dapat saja tidak muncul di pagi hari karena cairan subretina
diabsorbsi secara spontan pada saat malam hari. Arah munculnya defek membantu
dalam menentukan lokasi dari robekan retina. Hilangnya penglihatan sentral
mungkin dikarenakan keterlibatan fovea.
3

Selanjutnya melalui pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan adanya


Marcus Gunn pupil, tekanan intraokular yang menurun, iritis ringan, adanya
gambaran tobacco dust atau Schaffer sign, robekan retina pada funduskopi. Pada
pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan
pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila
bola mata bergerak akan terlihat retina yang terlepas bergoyang.

Gambar 7. Tobacco dust 2


Tatalaksana 1-3
Prinsip penatalaksanaan dari ablasio retina adalah untuk melepaskan traksi
vitreoretina serta dapat menutup robekan retina yang ada. Penutupan robekan
dilakukan dengan melakukan adhesi korioretinal di sekitar robekan melalui diatermi,
krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Pembedahan yang sering dilakukan adalah
scleral buckling, pneumatic retinopexy dan intraocular silicone oil tamponade.
Kebanyakan praktisi lebih sering melakukan prosedur scleral buckling. Penempatan
implan diletakkan dalam kantung sklera yang sudah direseksi yang akan
mengeratkan sclera dengan retina
Prognosis
Prognosis ditentukan oleh tatalkasana yang dini, mekanisme yang mendasari
terjadinya ablasio retina, dan adanya keterlibatan makula.6
(2)Ablasio retina traksional

Etiologi

Penyebab utama dari ablasio retina tipe traksi yaitu retinopati diabetes proliferative,
retinopathy of prematurity, proliferative sickle cell retinopathy.
Patogenesis
Terjadi pembentukan yang dapat berisi fibroblas, sel glia, atau sel epitel
pigmen retina. Awalnya terjadi penarikan retina sensorik menjauhi lapisan epitel di
sepanjang daerah vascular yang kemudian dapat menyebar ke bagian retina
midperifer dan makula. Pada ablasio tipe ini permukaan retina akan lebih konkaf dan
sifatnya lebih terlokalisasi tidak mencapai ke ora serata. 1
Pada mata diabetes terjadi perlekatan yang kuat antara vitreus ke area
proliferasi fibrovaskular

yang tidak sempurna. Selanjutnya terjadi kontraksi

progresif dari membran fibrovaskular di daerah perlekatan vitreoretina yang apabila


menyebabkan traksi pembuluh darah baru akan menimbulkan perdarahan vitreus.
Traksi vitroretinal statis dibagi menjadi; (1) Traksi tangensial, disebabkan oleh
kontraksi membran fibrovaskular epiretina pada bagian retina dan distorsi pembuluh
darah retina. (2) Traksi anteroposterior, disebabkan oleh kontraksi membran
fibrovaskular yang memanjang dari retina bagian posterior. (3) Traksi bridging
disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular yang akan melepaskan retina
posterior dengan bagian lainnya atau arkade vaskular.2
Gejala Klinis
Fotopsia dan floater sering kali tidak ditemukan. Sedangkan defek lapang
pandang biasanya timbul lambat.
Melalui pemeriksaan oftalmologis akan didapati bentukan yang konkaf dengan tanpa
adanya robekan, dengan elevasi retina tertinggi di daerah traksi vitreoretinal. Pompa
oleh retina akan menurun sehingga tidak terjadi turn over cairan.2
Terapi
Pada vitrektomi pars plana dilakukan pengambilan agen penyebab traksi.
Selanjutnya dapat pula dilakukan tindakan retinotomi dengan penyuntikan
perfluorokarbon untuk meratakan permukaan retina.2
(3) Ablasio retina campuran antara regmatogenosa dengan traksional

Tipe campuran ini merupakan hasil traksi retina yang kemudian menyebabkan
robekan. Traksi fokal pada daerah proliferasi jaringan ikat atau fibrovaskular dapat
mengakibatkan robekan retina dan menyebabkan kombinasi ablatio retinae
regmatogenosa-traksional
(4) Ablasio retina eksudatif
Etiologi
Etiologi dari ablasio eksudatif yaitu dapat terjadi secara spontan, dengan trauma,
uveitis, tumor, skleritis, DM, koroiditis, idiopatik, CVD, Vogt-Koyanagi-Harada
syndrome, kongenital, ARMD, sifilis, reumatoid artritis, atau kelainan vaskular.3,6,7
ditandai dengan adalanya akumulasi cairan pada ruang subretina dimana tidak terjadi
robekan retina dan traksi. Asal cairan ini dari pembuluh darah retina, atau koroid,
atau keduanya. Hal ini dapat terjadi pada penyakit vaskular, radang, atau neoplasma
pada retina, epitel berpigmen, dan koroid dimana cairan bocor keluar pembuluh
darah dan terakumulasi di bawah retina. Selama epitel berpigmen mampu memompa
cairan yang bocor ini ke sirkulasi koroid, tidak ada akumulasi dalam ruang subretina
dan tidak akan terjadi ablasio retina. Akan teteapi, jika proses berlanjut dan aktivitas
pompa epitel berpigmen normal terganggu, atau jika aktivitas epitel berpigmen
berkurang karena hilangnya epitel berpigmen atau penurunan suplai metabolik
(seperti iskemia), kemudian cairan mulai berakumulasi dan terjadi ablasio retina.
Tipe ablasio retina ini dapat juga disebabkan oleh akumulasi darah pada ruang
subretina (ablasio retina hemoragika. Penyakit radang dapat menyebabkan ablasio
retina serosa termasuk skleritis posterior, oftalmia simatetik, penyakit Harada, pars
planitis, penyakit pembuluh darah vaskular. Penyakit vaskular adalah hipertensi
maligna, toksemia gravidarum, oklusi vena retina, penyakit Coat, penyakit
angiomatosa retina, dan pembentukan neovaskularisasi koroid. 3
Patogenesis
Terjadi akibat akumulasi cairan subretinal dengan tanpa danya robekan retina
ataupun traks pada retina. Pada penyakit vaskular, radang, atau neoplasma retina,
epitel pigmen, dan koroid, maka dapat terjadi kebocoran pembuluh darah sehingga
berkumpul di bawah retina. Hal ini terjadi terutama bila pompa epitel terganggu
akibat berbagai hal.
6

Gambar 8. Ablatio Retinae Eksudatif2


Gejala Klinis
Fotopsia tidak ditemukan. Floater dapat ditemukan pada vitritis. Defek
lapang pandang terjadi cepat. Pada pemeriksaan oftalmologi, ablatio retinae
eksudatif memiliki bentukan yang konveks dengan permukaan yang halus dan
berombak. Retina yang terlepas bersifat mobile sehingga menimbulkan fenomena
shifting fluid. Leopard spots yaitu area subretinal yang mendatar setelah terjadi
ablatio retinae.2
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan etiologi yang mendasarinya. Pada
kondisi yang disebabkan oleh inflamasi seperti pada penyakit Harada dan skleritis
posterior maka pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan. Jika disebabkan oleh
keganasan, maka terapi radiasi dapat dilakukan. Pada korioretinopati bulosa sentral

serosa dapat dilakukan laser fotokoagulasi argon. Pada infeksi diberikan antibiotik.8
Kelainan vaskular dapat diterapi dengan laser, krioterapi, aviterktomi.
Komplikasi
Dapat terjadi glaukoma neovaskular dengan ptisis bulbi.7
2.3.3 Diagnosis banding Ablasio Retina
a. Retinoskisis degeneratif
Dengan gejala klinis yaitu fotopsia dan floater tidak ada, defek lapang pandang
jarang terjadi,

gejala yang timbul dikarenakan adanya perdarahan vitreus atau

perkembangan ablasio retina yang progresif. Pada pemeriksaan oftalmologis


didapatkan gambaran elevasi yang konveks, licin, tipis dan immobile.
b. Ablasio koroid (choroidal detachment)
Gejala klinis yang muncul yaitu fotopsia dan floater tidak ada, defek lapang pandang
dapat ada pada mata dengan ablasi koroid yang luas. Pada pemeriksaan oftalmologis
didapatkan tekanan intraokular yang sangat rendah akibat adanya ablasi badan silier,
gambaran elevasi coklat berbentuk konveks, licin, bulosa dan relatif immobile, serta
tidak meluas ke polus posterior. Retina perifer dan ora serata tampak jelas.
c. Sindrom efusi uvea
kelainan yang bersifat idiopatik dengan gambaran ablasi koroid yang berhubungan
dengan ablasi retina eksudatif, terkadang adanya residual mottling.

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien pria berusia 37 tahun datang dengan keluhan utama
penglihatan mata kiri yang tiba-tiba buram satu minggu sebelum masuk rumah sakit.
Dari keluhan utama pasien dapat dikategorikan bahwa keluhan mata pasien ini
termasuk dalam kategori keluhan mata tenang visus turun mendadak. Dari keluhan
ini dapat dipikirkan beberapa diagnosis banding yaitu: kekeruhan media refraksi,
hifema, perdarahan vitreus, ablasio retina, oklusio pembuluh darah retina sentralis,
oklusi arteri retina sentralis, oklusi cabang retina sentralis, oklusi vena retina
sentralis, dan gangguan saraf optik.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftamologis, tidak ada riwayat
trauma dan kondisi lain yang menyebabkan neovaskularisasi seperti tumor, diabetes,
operasi intraokuler, dan inflamasi kronis) sehingga diagnosis banding hyfema dapat
disingkarkan. Begitupula dengan perdarahan vitreus juga dapat disingkirkan. Oklusi
pembuluh darah retina sentralis baik arteri maupun vena retina sentralis juga bisa
disingkirkan karena pada pemeriksaan funduskopi tidak didapatkan gambaran
perdarahan pada retina. Penyakit saraf optik dapat disingkirkan karena pada
pemeriksaan funduskopi tidak terdapat relatif afferent pupillary defect.
Pada kasus ini, pasien menderita miopia tinggi (dengan menggunakan lensa
siferis -13 D). Miopia tinggi ini merupakan faktor risiko terjadinya ablasio retina.
Gejala klinis yang dialami oleh pasien juga mengarah kepada ablasio retina, di
antaranya adalah pandangan mata kiri yang mendadak kabur (hilangnya tajam
penglihatan secara mendadak) selama satu minggu dengan mata tenang. Pasien juga
mengeluhkan adanya pandangan berkilat (fotopsia), floaters (melihat bayangan
seperti cacing hitam) pada kedua mata. Keluhan ini sebenarnya sudah dialami oleh
pasien sejak pasien SMA (sekitar 15 tahun lalu), namun kelainan ini semakin
meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Jadi dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya proses retinal break sudah dari sejak pasien SMA dan pada saat ini,
kondisi pasien menunjukan suspek ablasio retina dikarenakan pandangan mata kiri
yang mendadak kabur sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Hal ini
diperkuat dengan pemeriksaan oftalmologi didapatkan bahwa terdapat robekan di
9

retina pasien pada arah jam 5 sampai jam 7. Adanya robekan pada retina ini dapat
menyebabkan vitreus masuk di antara epitel dan 9 lapisan retina, sehingga
memungkinkan terjadinya ablasio retina. Dikarenakan bagian yang mengalami
robekan di bagian inferior, viterus yang masuk di antara epitel dan 9 lapisan retina
tidak menarik secara kuat dan menyebabkan ablasio retina yang sampai ke makula.
Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa gejala yang dialami oleh pasien masih
ringan hanya berupa pandangan kabur, bukan berupa penurunan tajam penglihatan
secara drastis.
Pasien yang dinyatakan mengalami ablasio retina apabila terdapat beberapa
tanda dari pemeriksaan mata, antara lain:
Tajam penglihatan sangat turun sampai mencapai 1/300
Relatif afferent papillary defect pada mata yang tidak normal
Terlihat retina berwarna abu-abu dan terangkat dari sekitarnya
Pada pasien ini, terdapat robekan pada retina dan retina terlihat berwarna
abu-abu. Tajam penglihatan pada pasien tidak turun secara drastis sampai 1/300,
kemungkinan karena robekan belum sampai ke makula sehingga tidak menurunkan
tajam penglihatan secara drastis.
Tatalaksana pada ablasio adalah dengan operasi melepaskan traksi
vitreoretina serta dapat menutup robekan retina yang ada, melalui adhesi korioretinal
di sekitar robekan melalui diatermi, krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Pembedahan
yang sering dilakukan adalah scleral buckling, pneumatic retinopexy dan intraocular
silicone oil tamponade. Kebanyakan praktisi lebih sering melakukan prosedur
scleral buckling. Pada pasien ini tatalaksana yang dberikan dapat berupa
fotokoagulasi leser dikarenakan hanya terdapat retina break.
Prognosis ad vitam pada kasus ini bonam karena tidak mengancam nyawa.
Prognosis ad functionam adalah dubia ad malam karena dapat menyebabkan
kebutaan. Prognosis ad sanactionam adalah dubia ad malam, karena berpotensial
untuk kambuh kembali dikarenakan miopia yang tinggi berpotensi untuk terjadinya
ablasio retina kembali, terutama pada mata yang sebelumnya masih sehat.

10

BAB V
KESIMPULAN
Pasien laki-laki berusia 37 tahun datang dengan keluhan pandangan buram tiba-tiba
pada mata kiri sejak 1 minggu SMRS. Ditemukan gejala floater, fotopsia, mata
seperti menebal, dan pasien melihat gambaran halo. Pada pemeriksaan funduskopi
ditemukan adanya robekan retina pada OS arah jam 5-7, badan kaca terlihat keruh.
Pasien ini memiliki faktor risiko miopia berat sejak 15 tahun lalu. Diagnosis pada
pasien adalah retina tear suspek ablasio retina dengan miopia OD OS serta
astigmatisme OS. Direncanakan tindakan laser dan bedah lainnya seperti pneumatic
retinopexy dan intraocular silicone oil tamponade.

11

Daftar Pustaka
1. Hardy RA,. Retina dan Tumor Intraokuler. In : Vaughan D.G, Asbury T.,
Riordan E.P, editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta : Widya Medika.
2000.p. 38-43, 185-99.
2. Kanski JJ, Bowling B, editors. Clinical Ophthalmology: a systemic
approach. 7th ed. Elsevier, 2011
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2004. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
4. Sidarta I,. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata Edisi
kedua. Jakarta: BP-FKUI. 2002. p.10-5.
5. Larkin GL. Retinal Detachment. [series online] 2006 April 11 [cited on 2013
January

15].

Available

from

URL:

http://www.emedicine.com/emerg/topic504.htm.
6. Gariano RF, Kim CH. Evaluation and Management of Suspected Retinal
Detachment. American Academy of Family Physicians. [series online] 2004
April 1 [cited on 2013 January 15]; vol. 69, no. 7. Available from URL:
http://www.aafp.org/afp/20040401/1691.html.
7. Wu L. Retinal Detachment Exudative. [series online] 2010 Agustus 2 [cited
on

2013

January

15].

Available

from

URL:

http://www.emedicine.com/oph/topic407.htm.

12

Anda mungkin juga menyukai