Anda di halaman 1dari 10

AYAT AL QURAN TENTANG NIKAH

MUTAH YAITU QS. AN NISAA AYAT 24


Nikah Mutah tidak dapat dilakukan di Indonesia
Malaysia dan Brunei karena Nikah Mutah harus
didukung oleh OTORiTAS PENUH NEGARA dibawah
kondisi yang dikendalikan secara ketat, Mereka
yang menyalahgunakannya harus dihukum, Nikah
Mutah memiliki tujuan orisinal untuk memelihara
perintah TUHAN dengan tepat agar tidak diputar
balikkan oleh orang orang JAHAT demi kepentingan
zina dan pelacuran mereka
Nikah Mutah tidak dapat dilakukan di Indonesia Malaysia dan Brunei karena
Nikah Mutah harus didukung oleh OTORiTAS PENUH NEGARA dibawah kondisi
yang dikendalikan secara ketat, Mereka yang menyalahgunakannya harus dihukum,
Nikah Mutah memiliki tujuan orisinal untuk memelihara perintah TUHAN dengan
tepat agar tidak diputar balikkan oleh orang orang JAHAT demi kepentingan zina dan
pelacuran mereka
Indonesia Malaysia dan Brunei bukan negara Islam bermazhab syiah
Jika anda menemukan pemerkosa di tiga negara tersebut, dapatkah anda
menggantung nya hidup hidup tanpa didasari HUKUM NEGARA ?
Jika anda melakukan, maka bisa bisa anda masuk penjara
Ayat Al Quran Tentang Nikah Mutah yaitu Qs. An Nisaa ayat 24
Syiah menyatakan kalau nikah mutah dihalalkan dan terdapat ayat Al Quran yang
menyebutkannya yaitu An Nisaa ayat 24. Salafy yang suka sekali mengatakan nikah
mutah sebagai zina berusaha menolak klaim Syiah. Mereka mengatakan ayat
tersebut bukan tentang nikah mutah.




Dan [diharamkan juga kamu mengawini] wanita yang bersuami, kecuali budakbudak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya
atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri
dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka wanita [istri] yang telah
kamu nikmati [istamtatum] di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [An Nisaa ayat 24]
Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa penggalan An Nisaa ayat 24
ini berbicara tentang nikah mutah. Hal ini telah diriwayatkan dari sahabat dan tabiin
yang dikenal sebagai salafus salih [menurut salafy sendiri]. Alangkah lucunya kalau
sekarang salafy membuang jauh-jauh versi salafus salih hanya karena bertentangan
dengan keyakinan mereka [kalau nikah mutah adalah zina].
.
.
Riwayat Para Shahabat Nabi



!
!
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Jafar yang berkata telah menceritakan kepada kami
Syubah dari Abi Maslamah dari Abi Nadhrah yang berkata : aku membacakan ayat
ini kepada Ibnu Abbas maka wanita yang kamu nikmati [istamtatum], Ibnu Abbas
berkata sampai batas waktu tertentu. Aku berkata aku tidak membacanya seperti
itu. Ibnu Abbas berkata demi Allah, Allah telah mewahyukannya seperti itu [ia
mengulangnya tiga kali] [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul
Muhsin At Turqiy]

Riwayat ini sanadnya shahih. Para perawinya tsiqat atau terpercaya. Riwayat ini
juga disebutkan Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 2 no 3192 dan Ibnu Abi Dawud
dalam Al Masahif no 185 semuanya dengan jalan dari Syubah dari Abu Maslamah
dari Abu Nadhrah dari Ibnu Abbas.

Muhammad bin Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu
Main menyatakan tsiqat. Adz Dzahiliy berkata hujjah. Abu Hatim berkata
shalih al hadits shaduq. Abu Arubah berkata aku belum pernah melihat di
Bashrah orang yang lebih tsabit dari Abu Musa [Ibnu Mutsanna] dan Yahya bin
Hakim. An Nasai berkata tidak ada masalah padanya. Ibnu Khirasy berkata
Muhammad bin Mutsanna termasuk orang yang tsabit. Ibnu Hibban
memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Khatib berkata tsiqat tsabit.
Daruquthni berkata termasuk orang yang tsiqat. Amru bin Ali menyatakan
tsiqat. Maslamah berkata tsiqat masyhur termasuk hafizh [At Tahdzib juz 9
no 698]. Ibnu Hajar berkata tsiqat tsabit [At Taqrib 2/129]. Adz Dzahabi
berkata tsiqat wara [Al Kasyf no 5134]

Muhammad bin Jafar Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal


dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin
Madini berkata ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam
periwayatan dari Syubah. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al
Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata Ghundar lebih tsabit dariku dalam
periwayatan dari Syubah. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Saad
menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia
adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syubah [At Tahdzib juz 9
no 129]

Syubah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat.
Syubah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya
amirul mukminin dalam hadis [At Taqrib 1/418]

Abu Maslamah adalah Said bin Yazid bin Maslamah Al Azdi perawi kutubus
sittah yang tsiqat. Ibnu Main, Nasai, Ibnu Saad, Al Ijli, Al Bazzar menyatakan
tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 4 no
168]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/367]

Abu Nadhrah adalah Mundzir bin Malik perawi Bukhari dalam At Taliq, Muslim
dan Ashabus Sunan. Ibnu Main, Abu Zurah, Nasai, Ibnu Saad, Ahmad bin

Hanbal menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 528]. Ibnu Hajar menyatakan
tsiqat [At Taqrib 2/213]



! ) (
: ! !
Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Masadah yang berkata telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan
kepada kami Dawud dari Abi Nadhrah yang berkata : aku bertanya kepada Ibnu
Abbas tentang nikah mutah. Ibnu Abbas berkata : tidakkah engkau membaca surah
An Nisaa?. Aku berkata tentu. Tidakkah kamu membaca maka wanita yang
kamu nikmati [istamtatum] sampai batas waktu tertentu?. Aku berkata tidak,
kalau aku membacanya seperti itu maka aku tidak akan bertanya kepadamu!. Ibnu
Abbas berkata sesungguhnya seperti itulah [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq
Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini juga shahih sanadnya. Humaid bin Masadah termasuk perawi
Ashabus Sunan dan Muslim. Abu Hatim berkata shaduq. Ibnu Hibban
memasukkanya dalam Ats Tsiqat. Nasai menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 83].
Ibnu Hajar berkata shaduq [At Taqrib 1/246]. Adz Dzahabi berkata shaduq [Al
Kasyf no 1257]. Bisyr bin Mufadhdhal adalah perawi kutubus sittah yang dikenal
tsiqat. Abu Hatim, Abu Zurah, Nasai, Ibnu Hibban, Al Ijli, Ibnu Saad dan Al Bazzar
menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 844]. Ibnu Hajar berkata tsiqat tsabit ahli
ibadah [At Taqrib 1/130]. Dawud bin Abi Hind adalah perawi Bukhari dalam At Taliq,
Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad bin Hanbal berkata tsiqat tsiqat. Ibnu Main, Al
Ijli, Ibnu Khirasy, Ibnu Saad, Abu Hatim dan Nasai menyatakan tsiqat. [At Tahdzib
juz 3 no 388]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat mutqin [At Taqrib 1/283].




Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada
kami Nashr bin Ali yang berkata telah mengabarkan kepadaku Abu Ahmad dari Isa
bin Umar dari Amru bin Murrah dari Said bin Jubair maka wanita yang kamu

nikmati [istamtatum] sampai batas waktu tertentu ia berkata ini adalah bacaan
Ubay bin Kaab [Al Masahif Ibnu Abi Dawud no 130]
Riwayat ini shahih para perawinya tsiqat. Abdullah adalah Abdullah bin
Sulaiman bin Al Asyat As Sijistani atau yang dikenal dengan Abu Bakar bin Abi
Dawud, ia adalah seorang hafizh yang tsiqat dan mutqin [Irsyad Al Qadhi no 576].
Nashr bin Ali Al Jahdhamiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib
2/243]. Abu Ahmad Az Zubairi adalah Muhammad bin Abdullah bin Zubair perawi
kutubus sittah yang tsiqat tsabit hanya saja sering salah dalam hadis dari Ats Tsawriy
[At Taqrib 2/95]. Isa bin Umar Al Asdiy adalah perawi Tirmidzi dan Nasai yang tsiqat
[At Taqrib 1/773]. Amru bin Murrah Abu Abdullah Al Kufiy perawi kutubus sittah yang
tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/745]. Said bin Jubair Al Asdiy adalah tabiin perawi
kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/349]
Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Kaab ini dengan jalan sanad dari Abu
Kuraib dari Yahya bin Isa dari Nushair bin Abi Al Asyat dari Ibnu Habib bin Abi Tsabit
dari ayahnya dari Ibnu Abbas. [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul
Muhsin At Turqiy]. Para perawinya tsiqat kecuali Yahya bin Isa Ar Ramliy
Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah mentadilnya. Al Ijli
menyatakan ia tsiqat tasyayyu. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasai berkata
tidak kuat. Ibnu Main berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau tidak ditulis
hadisnya. Maslamah berkata tidak ada masalah padanya tetapi di dalamnya ada
kelemahan. Ibnu Ady berkata kebanyakan riwayatnya tidak memiliki mutabaah
[At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu Hajar berkata jujur sering salah dan tasyayyu [At
Taqrib 2/311-312]. Adz Dzahabi berkata shuwailih [Man Tukullima Fihi Wa Huwa
Muwatstsaq no 376]. Ibnu Hibban menyatakan kalau ia jelek hafalannya banyak
salah sehingga meriwayatkan dari para perawi tsiqat riwayat bathil tidak berhujjah
dengannya [Al Majruhin no 1221]. Kesimpulannya Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah
perawi yang hadisnya bisa dijadikan syawahid dan mutabaah.
Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Kaab ini dengan jalan sanad dari Ibnu
Basyaar dari Abdul Ala dari Said dari Qatadah [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq
Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Ibnu Basyaar adalah Muhammad bin Basyaar
seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 2/58]. Abdul Ala bin Abdul Ala
adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/551]. Said bin Abi Arubah
adalah perawi kutubus sittah seorang hafizh yang tsiqat mengalami ikhtilat dan

orang yang paling tsabit riwayatnya dari Qatadah [At Taqrib 1/360]. Qatadah As
Sadusiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/26].
Secara keseluruhan riwayat-riwayat ini saling menguatkan dan menunjukkan kalau
bacaan tersebut shahih dari Ubay bin Kaab. Ubay bin Kaab dan Ibnu Abbas
membaca bacaan tersebut dengan Famastamtatum bihi minhunna ila ajali
musamma. Adapun perkataan Ibnu Jarir yang menafikan bacaan kedua sahabat ini
merupakan kecerobohan yang nyata

)
(


Adapun apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Kaab dan Ibnu Abbas dari bacaan
mereka berdua [Famastamta tum bihi min hunna ila ajalin musamma], bacaan ini
menyelisihi mushhaf kaum muslimin. Tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk
menambahkan dalam kitab Allah sesuatu yg tidak datang dari khabar yang qathi
dan tidak diperbolehkan menyelisihinya [Tafsir Ath Thabari 6/589 tahqiq
Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]
Komentar Ibnu Jarir ini jika diperhatikan dengan baik jelas mengandung keanehan.
Beliau mengesankan kalau Ibnu Abbas dan Ubay bin Kaab memiliki bacaan Al
Quran yang menyelisihi bacaan kaum muslimin dan mengesankan kalau mereka
berdua menambahkan sesuatu dalam Kitab Allah. Jika telah shahih dari Ibnu Abbas
dan Ubay bin Kaab soal bacaan itu maka tidak ada gunanya menafikan tanpa dalil.
Yang harus dilakukan bukannya menolak riwayat tersebut tetapi bagaimana
menafsirkannya agar tidak berkesan menambahkan sesuatu dalam kitab
Allah atau mengesankan terjadinya tahrif Al Quran versi Ibnu Abbas dan Ubay.
Masalah seperti ini bukan barang baru bagi para ulama, bacaan tentang nikah
mutah ini bukan satu-satunya bacaan yang diriwayatkan secara shahih oleh
sahabat tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin. Sebut saja yang paling
populer adalah ayat rajam. Telah diriwayatkan oleh sahabat mengenai ayat rajam
atau bacaan yang mengandung hukum rajam tetapi tidak nampak dalam mushaf
kaum muslimin. Apakah ada ulama yang mengatakan bahwa bacaan itu menyelisihi
mushaf kaum muslimin dan mesti ditolak?. Tidak, para ulama menafsirkan kalau
bacaan tersebut sudah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak.

Lantas apa susahnya mengatakan hal yang sama untuk bacaan Ibnu Abbas dan
Ubay bin Kaab di atas. Kita dapat mengatakan kalau bacaan ila ajalin
musamma telah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak. Buktinya Ibnu
Abbas mengakui bahwa ayat ini memang diturunkan oleh Allah SWT dan ia berdalil
dengannya ketika ada yang bertanya tentang nikah mutah.
.
.
Syubhat Para Pengingkar
Kemudian ada yang berusaha mementahkan ayat nikah mutah ini dengan berbagai
hadis yang katanya mutawatir tentang haramnya mutah. Usaha ini pun termasuk
sesuatu yang aneh. Karena pada akhirnya apa yang mereka maksud mutawatir itu
saling kontradiktif satu sama lain. Mereka sendiri dengan usaha
yang melelahkan akhirnya menggeser satu demi satu hadis-hadis tersebut hingga
tersisa satu hadis pengharaman mutah pada saat Fathul Makkah yang hanya
diriwayatkan oleh satu orang sahabat. Jadi apanya yang mutawatir? Dan mereka
menutup mata dengan berbagai hadis yang diriwayatkan sahabat dimana mereka
membolehkan nikah mutah.
Syubhat yang paling lucu adalah pernyataan bahwa An Nisaa ayat 24 di atas
menggunakan kata istimtaa bukannya kata mutah dan istimtaa menurutnya bukan
diartikan mutah. Sungguh orang seperti ini patut dikasihani, seharusnya ia
membuka dulu berbagai riwayat atau hadis untuk melihat bagaimana Rasulullah
[shallallahu alaihi wasallam] dan para sahabat telah menggunakan kata istimtaa
untuk menyebutkan nikah mutah. Berikut diantaranya





Telah menceritakan kepada kami Amru bin Ali yang berkata telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Said dari Ismail dari Qais dari Abdullah yang berkata kami
berperang bersama Rasulullah [shallallahu alaihi wasallam] dan kami tidak
membawa wanita maka sebagian kami meminta zini untuk mengebiri atau berkata

sekiranya diizinkan kepada kami untuk mengebiri maka Rasulullah [shallallahu


alaihi wasallam] tidak mengizinkan kami dan Beliau [shallallahu alaihi wasallam]
mengizinkan kami untuk Istimtaa dengan pakaian [Musnad Al Bazzar 5/294 no
1671 dengan sanad yang shahih]
Apakah maksud dari kata Istimtaa dengan pakaian di atas. Apakah maksudnya
menikahi wanita secara permanen? Atau maksudnya menikahi wanita secara
mutah?. Penjelasannya ada dalam hadis berikut.




{ }
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan
kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki dari Ibnu Abi
Khalid dari Qais dari Abdullah yang berkata kami bersama Nabi [shallallahu alaihi
wasallam] dan kami masih muda, kami berkata wahai Rasulullah [shallallahu alaihi
wasallam] tidakkah kami dikebiri?. Beliau [shallallahu alaihi wasallam] melarang
kami melakukannya kemudian Beliau [shallallahu alaihi wasallam] memberi
keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan pakaian sampai waktu yang
ditentukan. Kemudian Abdullah membaca [Al Maidah ayat 87] janganlah kalian
mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian [Musnad
Ahmad 1/432 no 4113, Syaikh Syuaib Al Arnauth berkata sanadnya
shahih dengan syarat Bukhari Muslim]
Maka arti kata Istimtaa yang digunakan oleh para sahabat adalah menikahi
seorang wanita sampai batas waktu yang ditentukan. Tidak hanya di hadis ini,
bahkan di hadis-hadis yang dijadikan hujjah pengharaman mutah, kata yang
digunakan untuk menyebutkan nikah mutahjuga dengan lafal istimtaa.
.
.
Riwayat Para Tabiin

Tafsir An Nisaa ayat 24 sebagai dalil bagi nikah mutah bukanlah mutlak milik syiah
tetapi termasuk pemahaman sahabat [Ibnu Abbas dan Ubay] dan tabiin seperti
halnya Mujahid [seorang imam dalam tafsir], As Suddiy dan Al Hakam bin Utaibah.


:
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Amru yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu Aashim dari Isa dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid
maka wanita [istri] yang kamu nikmati [istimta] diantara mereka, ia berkata yaitu
Nikah Mutah [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At
Turqiy].
Riwayat ini sanadnya shahih sampai Mujahid. Muhammad bin Amru bin Abbas
Al Bahiliy adalah syaikh [guru] Ibnu Jarir Ath Thabari, dan dia seorang yang tsiqat
[Tarikh Baghdad 4/213 no 1411]. Abu Aashim adalah Dhahhak bin Makhlad Asy
Syaibani seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/444]. Isa bin
Maimun Al Jurasiy Abu Musa adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/776]. Abdullah
bin Abi Najih Yasaar Al Makkiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat dan
dikakatan melakukan tadlis [At Taqrib 1/541] tetapi periwayatannya dari Mujahid
juga diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Mujahid bin Jabr Al Makkiy adalah perawi
kutubus sittah seorang yang tsiqat dan Imam dalam tafsir dan ilmu [At Taqrib 2/159]





Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Jafar yang berkata telah menceritakan
kepada kami Syubah dari Al Hakam [Syubah] berkata aku bertanya kepadanya
tentang ayat dan [diharamakan juga menikahi] wanita yang bersuami kecuali
budak-budak yang kamu miliki sampai pada ayat maka wanita [sitri] yang telah
kamu nikmati [istimta] diantara mereka apakah telah dihapus [mansukh]?. [Al
Hakam] berkata tidak kemudian Al Hakam berkata dan Ali radiallahu anhu telah
berkata seandainya Umar radiallahu anhu tidak melarang mutah maka tidak ada
yang berzina kecuali orang yang celaka [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq
Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].

Riwayat ini sanadnya shahih sampai Al Hakam. Muhammad bin Al Mutsanna


adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/129]. Muhammad bin
Jafar Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat shahih kitabnya kecuali
pernah keliru [At Taqrib 2/63]. Syubah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang
telah disepakati tsiqat. Syubah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri
menyebutnya amirul mukminin dalam hadis [At Taqrib 1/418]. Al Hakam bin
Utaibah seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih dikatakan melakukan
tadlis [At Taqrib 1/232]. Riwayat Al Hakam menunjukkan kalau ia sendiri menafsirkan
bahwa An Nisaa ayat 24 itu berkaitan dengan nikah mutah sehingga ketika ditanya
apakah ayat tersebut telah dihapus ia menjawab tidak dan mengutip perkataan
Imam Ali tentang mutah.
Kesimpulan
Yang dapat disimpulkan pada pembahasan kali ini adalah memang terdapat ayat Al
Quran yang menghalalkan nikah mutah yaitu An Nisaa ayat 24 dan telah
diriwayatkan dari sahabat dan tabiin [sebagai salafus salih] bahwa ayat tersebut
memang berkenaan dengan nikah mutah. Kalau begitu bagaimana dengan hadishadis pengharaman mutah? Ada yang mengatakan kalau hadis-hadis ini telah
menasakh ayat tentang nikah mutah tetapi tentu pernyataan ini masih perlu diteliti
kembali, insya Allah akan dibahas hadis-hadis tersebut didalam thread khusus. Kami
ingatkan kepada pembaca jika ada yang menganggap penulis menghalalkan nikah
mutah berdasarkan postingan ini maka orang tersebut jelas terburu-buru.
Pembahasan tentang dalil nikah mutah ini masih akan berlanjut dan sampai saat itu
selesai kami harap jangan ada yang mengatasnamakan penulis soal hukum nikah
mutah.
Catatan : Terkait dengan musibah yang menimpa saudara kita di Jepang mari kita
sama-sama berdoa agar mereka diberikan kesabaran dan bisa melewati masa sulit
ini dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai