Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH SEMINAR BHP

ASPEK ETIK,BUDAYA DAN HUKUM PADA


PENANGANAN PASIEN GAGAL NAPAS
TUTORIAL A3

Disusun Oleh :
Rino Orleans Adam

121 0211 009

Raka Wibawa Putra

121 0211 021

Adinda Hana Satrio

121 0211 042

Gresilva Sevyanti

121 0211 085

Fitrandirama Alfarici

121 0211 089

Fani Maulida

121 0211 155

Nike Dwi Putri

121 0211 165

Sarah Itsnina

121 0211 167

Retno Astutik

121 0211 172

Nur Eka Oktafyanti

121 0211 183

Ady Prasojo

121 0211 202

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN


JAKARTA
TA 2014/2015
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur atas Allah S.W.T yang
berkat rahmat serta karunia-Nya kami dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan
lancar dan tepat waktu.
Kami mengucapkan terima kasih kepada para dosen pembimbing yang
telah memberi kami kesempatan untuk membuat karya tulis ini sebagai bagian
dari pembelajaran yang dilakukan sesuai kurikulum dan memenuhi tugas BHP.
Kami juga berterima kasih kepada teman-teman yang telah membantu
menyelesaikan karya tulis ini.
Kami pun menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kami memohon maaf atas kekurangan dan kesalahan di dalam penulisan
karya tulis ini dan kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi
penyusunan karya tulis pada waktu yang akan datang.
Pada karya tulis ini akan dijelaskan mengenai aspek etik, budaya, dan
hukum pada penanganan pasien gagal napas. Meliputi definisi dari gagal napas
yaitu, suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan
karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi metabolisme
tubuh. Dan yang akan ditinjau dari segi etik, budaya, dan hukum penanganannya
pasien gagal napas.

Jakarta, 20 Maret 2014

Tim Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini kita masih sering mendengar isu-isu yang kurang baik
mengenai tindakan dokter pada pasien, termasuk pada pasien gagal nafas.
Terkadang masih ditemui dokter yang tidak melakukan informed consent dan
meminta persetujuan baik pasien maupun keluarga pasien dalam penanganan
gagal nafas. Pada akhirnya, bila sesuatu hal yang tidak diharapkan terjadi, dokter
menjadi disalahkan keluarga pasien dengan alasan keluarga pasien tidak dimintai
persetujuan sebelum dilakukan tindakan oleh dokter. Pada pasien gagal nafas,
untuk pemakaian ventilator sebagai alat bantu nafas, seorang dokter seharusnya
wajib menimbang aspek-aspek sebelum melakukan tindakan, baik pemasangan
ataupun saat pelepasan ventilator yang berdampak pada kelangsungan hidup
pasien seperti aspek etik, hukum (seperti contoh tadi, tidak meminta persetujuan
keluarga pasien), ataupun budaya (tidak menimbang kondisi psikis keluarga
pasien pada saat akan memasang ataupun melepas ventilator). Kadang juga
ditemui suatu kondisi bahwa tidak adanya sarana dan prasarana yang mendukung
pada saat terjadi kasus gagal nafas, tentu hal ini sangat merugikan baik bagi
pasien maupun keluarga pasien, juga dokter yang menjadi tidak bisa melakukan
tindakan medis` secara penuh.

B. TUJUAN

Mengetahui kode etik kedokteran Indonesia yang berkaitan dengan isu etik
penanganan pasien gagal nafas

Mempelajari dan mengetahui dasar-dasar hukum dalam penanganan pasien


gagal nafas

Mengetahui budaya-budaya yang sesuai dalam penanganan pasien gagal


nafas

Mengetahui tatalaksana dan pengobatan pasien gagal nafas

Mengetahui sarana dan prasarana yang tepat unuk menangani pasien gagal
nafas

C. MANFAAT

Mampu menghayati dan menerapkan kode etik kedokteran Indonesia

Mampu menangani isu-isu etik dalam penanganan pasien gagal nafas


sesuai dengan kode etik yang ada

Menerapkan hukum yang berlaku dalam merujuk pasien gagal nafas

Mampu menerapkan budaya yang sesuai dalam penanganan pasien gagal


nafas

Mampu menggunakan sarana dan prasarana, terutama teknologi modern,


dalam menangani pasien gagal nafas

Meningkatkan kualitas dan angka harapan hidup pasien gagal nafas

BAB II
LANDASAN TEORI

A. KAIDAH BIOETIK
1. Beneficence yaitu Asas perilaku beramal dan berbudi luhur
Pada penanganan pasien gagal napas, aspek beneficence digunakan untuk
minimalisasi akibat negative dari suatu pemeriksaan dan pengobatan,dan
maksimalisasi manfaat pengobatan agar efek baiknya lebih banyak dari
efek buruknya contohnya dalam penanganan pasien gagal napas ini adalah:

Pengobatan harus dengan dosis yang benar.

Alogaritma pengobatan harus di pegang.

Diagnosis dan pemeriksaan harus tepat sasaran mengingat penyakit paruparu memiliki banyak keadaaan klinis yang sejenis

2. Non maleficence yaitu Asas tidak menyakiti atau merugikan


Pada kasus ini, hindari kemungkinan untuk menyakiti pasien atau
melakukan hal yang lebih banyak akibat buruknya, Jangan sampai
pengobatan yang kita lakukan akan membuat pasien lebih sakit, atau
membuat penyakit baru, contohnya dalam isu ini adalah.

Pemeriksaan fisik yang berhubungan dengan radiologi harus di jadwalkan


dengan tepat, agar mengurangi efek dan resiko dari radiasi.

Dalam pasien TBC, pemilihan obat harus sesuai dengan indikasi dan
kontra indikasinya, pengaturan dosis juga harus tepat agar efek obat
tercapai tanpa efek samping.

Pada pasien gagal napas, pemberian obat yang tepat akan membantu.
Factor mental dari dokter agar selalu tenang dalam berpikir juga berperan
penting agar pengobatan yang dilakukan pada pasien ini tidak menyakiti
atau merugikan.

3. Autonomy yaitu Asas menghormati otonomi pasien


Terkadang dalam proses pengobatan, pasien diberikan pilihan dalam
memilih pengobatan yang akan dia lakukan, bahkan pasien memiliki hak
untuk menolak suatu pengobatan, tentu saja hal ini juga didasari oleh
informed concent yang sesuai agar pasien benar-benar paham terhadap
resikonya, agar pasien dapat memilih jalan yang menurut dia terbaik.
Contohnya pada isu ini adalah:

Pasien mendapatkan penjelasan penuh terhadap pengobatan yang akan ia


dapatkan, dan juga penjelasan penuh tentang resiko penyakit yang ia alami

Pada pasien gagal napas, apabila harus dilakukan suatu tindak segera, dokter
harus melakukan informed concent secara jelas pada keluarga pasien agar
keluarga dapat memutuskan kesediaannya pada proses pegobatan yang akan
dilakukan pada anggota keluarganya.

4. Justice yaitu Asas Keadilan


Pada aspek justice, dokter tidak boleh membeda-bedakan pasien, dari
apapun golongan pasien dating, harus dilayani semaksimal mungkin,
contoh dalam aspek ini adalah:

Apabila ada pasien dengan gagal napas dating, langsung di layani dan di
rawat dengan pengobatan yang sesuai sampai keadaannya stabil.

Pemberian obat, meski obat memiliki beragam harga, harus memilih onbat
yang dapat di jangkau oleh pasien dan memiliki efek yang paling baik.

Tidak memandang status social pasien saat merawatnya, semua pasien


mendapatkan hak yang sama

B. ASPEK HUKUM (KODEKI)


1. Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu
dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini, jika ia tidak
memiliki kemampuan melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien yang mempunyai keahlian dalam
penyakit tersebut.
Penjelasan: dalam hal ini, dokter haruslah bersikap professional dalam menangani
dan merawat pasien, apabila dokter tersebut tidak mampu menangani suatu
penyakit, dalam kasus ini pada henti nafas, pasien wajib dirujuk ke dokter yang
memiliki kemampuan dalam bidang tersebut untuk mencegah dampak negative
pada pasien (non maleficence)
2. Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan pada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat, dan atau
dalam masalah lainnya.

3. Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatunya tentang seorang


pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal dunia.
4. Pasal 13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas


kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang mampu dan bersedia
memberikannya.
Hak seorang dokter untuk melakukan praktek dokter tidak terbatas pada satu
bidang ilmu kedokteran. Ia berhak dan berkewajiban menolong pasien, apapun
yang dideritanya. Batas tindakan yang diambil terletak pada rasa tanggung jawab
yang didasarkan pada keterampilan dan keahliannya.
Banyak dokter di negeri kita bertugas jauh dari pusat ilmu kedokteran kadangkadang beratus-ratus kilometer terpisah dari teman-teman sejawat terdekat.
Mereka hidup dan bekerja ditempat terpencil dengan sarana komunikasi yang
terbatas. Selain itu sarana pelayanan medis tidak cukup tersedia walau dalam
keadaan demikian ia tetap harus menyelamatkan pasien.
Setiap orang wajib memberikan pertolongan kepada siapapun yang mengalami
kecelakaan, apalagi seorang dokter.
Di beberapa negara banyak dokter yang enggan melakukan karena sering terjadi,
bahwa dokter yang menolong justru dituntut untuk mengganti kerugian.
Pertolongan

yang

diberikannya

dianggap

mengakibatkan

cacat,

atau

memperlambat proses penyembuhan. Di negara kita, pengaduan seperti itu


diharapkan tidak terjadi. Meskipun demikian kemungkinan adanya pengaduan
harus diperhitungkan. Sebab itu, segala tindakan harus dapat dipertanggung
jawabkan dan kalau memungkinkan perlu meminta persetujuan dari pasien atau
keluarga

BAB III
ISI
GAGAL NAPAS
Gagal napas terjadi apabila paru tidak lagi dapat memenuhi fungsi primernya
dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan pembuangan
karbondioksida. ada beberapa tingkatan dari gagal napas, dan dapat terjadi secara
akut atau secara kronik. Insufisiensi pernapasan kronik atau gagal napas
kronik menyatakan gangguan fungsional jangka panjang yang menetap selama
beberapa hari atau bulan, dan mencerminkan adanya proses patologik yang
mengarah pada kegagalan dan proses kompensasi untuk menstabilkan keadaan.
Gas-gas darah dapat sedikit abnormal pada saat istirahat, tetapi gas-gas darah
dapat jauh dari batas-batas normal bila dalam keadaan kebutuhan meningkat
seperti saat berlatih. Peningkatan kerja pernapasan (dan dengan demikian
mengurangi cadangan pernapasan) dan perngurangan aktivitas fisik adalah dua
mekanisme utama untuk mengatasi insufisiensi pernapasan kronik.
Gagal napas akut secara numeric didefinisikan sebagai kegagalan pernapasan
bila tekanan parsial oksigen arteri (atau PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang
tanpa atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri PaCO2 50 mmHg.
Penyebab gagal napas dapat berupa gangguan intrinsic paru ( gangguan obstruk
difus, gangguan restriktif paru, atau gangguan pembuluh darah paru) atau
gangguan ekstrinsik paru (penekanan pusat pernapasan, gangguan neuromuscular,
gangguan pleura dan dinding dada).
Manifestasi gagal napas akut mencerminkan gabungan dari gambaran klinis
penyakit penyebab, faktor pencetus serta manifestasi hipoksemia dan hiperkapnia.
Tanda dan gejala hipoksemia merupakan akibat langsung dari hipoksia jaringan.
Tanda dan gejala yang sering dicari untuk menandakan adanya hipoksemia atau
tidak seringkali baru timbul setelah PaO2 mencapai 40 sampai 50 mmHg. tanda
dan gejala yang paling menonjol: sakit kepala, kekacauan mental gangguan dalam
penilaian, agitasi, gelisah. Respon awal terhadap hipoksemia adalah takikardi, dan
peningkatan curah jantung serta tekanan darah.

Prioritas dalam penanganan gagal napas berbeda-beda tergantung pada faktor


etiologi nya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien,
yaitu menangani sebab gagal napas dan bersamaan itu memastikan ada ventilasi
yang memadai dan jalan napas yang bebas. Karena hal yang paling mengancam
nyawa akibat gagal anapas adalah gangguan pada pertukaran gas, maka tujuan
pertama dari terapi adalah memastikan bahwa hipoksemiam asidemia, dan
hiperkapnia tidak mencapai taraf yang membahayakan. PaO2 sebesar 40 mmHg
atau pH sebesar 7,2 atau kurang sangat sulit ditoleransi oleh orang dewasa dan
dapat mengakibatkan gangguan pada otak, ginjal, jantung, serta dapat terjadi
disritmia jantung. PaCO2 sebesar 60mmHg yang terjadi secara perlahan-lahan
pada pasien COPD biasanya dapat ditoleransi, tetapi jika timbul dalam waktu
singkat maka sulit untuk ditoleransi. PaCO2 sebesar 70 mmHg atau lebih biasanya
sulit ditoleransi pada semua pasien dan mengakibatkan depresi sistem saraf pusat
dan koma.
Oksigen dapat diberikan dalam konsentrasi 40 sampai 60% pada pasien
hipoksemia dengan PaCo2 yang normal atau rendah (masker atau kateter sebesar
8L/ menit dengan kelembaban yang sesuai) untuk koreksi cepat hipoksemia.
Tetapi,konsentrasi ini sebaiknya tidak diteruskan setelah beberapa jam, karena
mempunyai efek-efek toksik terhadapat sel-sel alveoli yang berakibat penurunan
sintesis surfkatan dan berkurangnya keregangan paru. Pemberian O2 yang
berkepanjangan (lebih dari 34-48 jam ) dalam konsesntrasi tinggi (lebib dari 50%)
juga mengakibatkan atelektasis absorbs.
Hipoksemia dengan hiperkapnia selalu ditangani dengan terapi O2 konsentrasi
rendah secara bertahap. Dimulai dengan pemakaian masker O2 24%, kemudian
ditingkatkan menjadi 28% jika dipandang perlu untuk mempertahankan PaO2
setinggi 50mmHg atau lebih. Jika tidak mungkin mencapai PaO2 setinggi 50
mmHg, ventilasi buatan degnan respirator mungkin diperlukan. Jika terdapat
bronkospasme pada gagal napas, obat-obat bronkodilator atau kortikosteroid dapat
digunakan. Infeksi respiratorik, yang sering menjadi penyebab gagal napas
hipoksemia, ditangani dengan antibiotic yang sesuai.

SINDROM GAWAT NAPAS AKUT


Sindrom gawat napas akut (dewasa) (ARDS) adalah bentuk khusus gagal napas
yang ditandai dengan hipoksemia yang jelas dan tidak dapat ditangani dengan
penanganan konvensional.
Penyebab Sindrom Gawat Napas Dewasa:

Syok karena berbagai penyebab

Sepsis

Pneumonia virus yang berat

Trauma yang berat

Cedera kepala

Cedera dada yang langsung

Emboli lemak

Cedera aspirasi

Inhalasi asap

Mekanisme mengapa ARDS masih belum jelas diketahui. Pentujuk umum


penyebab edema alveolar yang khas agaknya berupa cedera membrane kapiler
alveolar menyebabkan kebocoran kapiler. Gambaran primer ARDS me;iputi pirau
intrapulmonal yang nyata dengan hipoksemia, keregangan paru yang berkurang
secara progresif, dan dispnea serta takikardi yang berat akibat hipoksemia dan
bertambhanya kerja pernapasanyang disebabkan oleh penurunan keregan paru.
Kapasitas residu fungsional juga berkurang Gambaran-gambaran ini merupakan
akibat edema alveolar dan interstisial, akibatnya timbul paru yang kaku dan sulit
berventilasi. Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan
pemberian oksigen selama bernapas spontan.
Penanganan ARDS ditujukan untuk memperbaiki syok, asidosis, dan
hipoksemia yang menyertainya. Hampir semua pasien memerlukan ventilasi
mekanis dan oksigen konsentrasi tinggi untuk menghindari hipoksia jaringan yang

berat. Pemberian tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) dengan respirator volume
merupakan langkah besar dalam penanganan keadaan ini. PEEP membantu
memperbaiki sindrom gawat napas dengan mengembangkan daerah yang
sebelumnya mengalami atelektasis, dan mengembalikan aliran cairan edema
atelektasis dari kapiler. Karena penimbunan cairan pada paru merupakan masalah,
maka pembatasan cairan dan terapi diuretic merupakan tindakan lain yang penting
dalam penanganan ARDS. Antibiotik yang tepat diberikan untuk mengatasi
infeksi. Pendekatan lain terhadap ARDS adalah penggunaan olsida nitrat inhalasi
yang menyebabkan vasodilatasi pada daerah dalam paru sehingga berventilasi
baik dan memperbaiki oksigenasi.

BAB IV
PEMBAHASAN
Berhubungan dengan pasal di atas dengan sindrom gawat napas terapi serta
penatalaksanaan yang dilakukan harus segera, karen sindrom ini apabila
penanganannya tidak tepat akan menimbulkan kematian. Sehingga sebagai dokter
kita harus menanganinya dengan sangat segera.
Pada pembahasan pasal 13, banyak dokter yang enggan melakukan karena
sering terjadi, bahwa dokter yang menolong justru dituntut untuk mengganti
kerugian. Pertolongan yang diberikannya dianggap mengakibatkan cacat, atau
memperlambat proses penyembuhan.
Hal ini sangat disayangkan karena mengingat kegawatdaruratan yang
dialami pasien ini dapat meregang nyawanya. Sebagai dokter disini kita diminta
untuk mempertajam skill kita agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.
Karena banyak dokter di Indonesia yang tinggal di daerah terpencil dan jauh dari
teman sejawatnya, hal inilah yang menuntut dokter untuk mempertajam
kemampuannya, terlebih lagi dalam melakukan pertolongan pertama pasien
kegawatdaruratan.

BAB V
KESIMPULAN

Gagal napas terjadi apabila paru tidak lagi dapat memenuhi fungsi
primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan
pembuangan karbondioksida. ada beberapa tingkatan dari gagal napas, dan

dapat terjadi secara akut atau secara kronik.


Prioritas dalam penanganan gagal napas berbeda-beda tergantung pada
faktor etiologi nya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada
semua pasien, yaitu menangani sebab gagal napas dan bersamaan itu

memastikan ada ventilasi yang memadai dan jalan napas yang bebas.
Tujuan pertama dari terapi adalah memastikan bahwa hipoksemia,
asidemia, dan hiperkapnia tidak mencapai taraf yang membahayakan.
PaO2 sebesar 40 mmHg atau pH sebesar 7,2 atau kurang sangat sulit
ditoleransi oleh orang dewasa dan dapat mengakibatkan gangguan pada

otak, ginjal, jantung, serta dapat terjadi disritmia jantung


Terapi serta penatalaksanaan yang dilakukan harus segera, karen sindrom
ini apabila penanganannya tidak tepat akan menimbulkan kematian.
Sehingga sebagai dokter kita harus menanganinya dengan sangat segera.
Pada pembahasan pasal 13, banyak dokter yang enggan melakukan karena
sering terjadi, bahwa dokter yang menolong justru dituntut untuk
mengganti

kerugian.

Pertolongan

yang

diberikannya

dianggap

mengakibatkan cacat, atau memperlambat proses penyembuhan. Hal ini


sangat disayangkan karena mengingat kegawatdaruratan yang dialami

pasien ini dapat meregang nyawanya.


Tetapi karena banyak dokter di Indonesia yang tinggal di daerah terpencil
dan jauh dari teman sejawatnya, hal inilah yang menuntut dokter untuk
mempertajam kemampuannya, terlebih lagi dalam melakukan pertolongan
pertama pasien kegawatdaruratan.

DAFTAR PUSTAKA

Hanifah, M. Jusuf. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.2007


Hendarsah, Amir. Undang-Undang Kesehatan dan Praktik Kedokteran.

Yogyakarta : Penerbit Best Publisher. 2009


Achadiat, Chrisdiono M. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007


Chang, Wiliam. Bioetika. Yogyakarta : Kanisius. 2013
Djojodibroto, R. Darmanto. Respirologi. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2012


Rab, H. Tabrani. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Trans Info Media. 2013

Anda mungkin juga menyukai