Anda di halaman 1dari 25

BAB I

LAPORAN KASUS
I.1 Anamnesis
I.1.1 Identitas Penderita
Nama

: An. A

Umur

: 7 bulan

Agama

: Islam

Alamat

: Tapen 15/5 Polosiri Bawen Kabupaten Semarang

No.RM

: 063287-2014

Tanggal masuk

: 10 Agustus 2014

Tanggal pulang

: 17 Agustus 2014

Kelompok pasien : BPJS NON PBI


Pasien bangsal

: Anggrek

I.1.2 Data Dasar


Anamnesa dilakukan secara alloanamnesa dengan kedua orang tua pasien pada
tanggal 10 Agustus 2014.
a. Keluhan utama : Sesak
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merupakan rujukan dari klinik dengan diagnosa ISPA. Dua
minggu SMRS pasien batuk (+) hilang timbul, disertai dahak (+) tetapi
sulit dikeluarkan. Dahak berwarna putih dengan konsistensi kental,
terlihat saat pasien muntah (+). Demam (+) sejak 3 hari SMRS, demam
muncul perlahan dan naik turun. Demam lebih terasa meningkat saat
malam hari. Sesak (+) sejak 1 hari SMRS, muncul terus menerus dan
dirasakan semakin bertambah berat. Kejang (+) dengan frekuensi 1 kali
jam 7 pagi selama < 1menit, mata mendelik ke atas dan kedua tangan
serta kaki kaku.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Kejang
Batuk Pilek berulang
Sesak berulang
Alergi makanan
Alergi /obat
Riwayat batuk lama

: disangkal
: disangkal.
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
1

d. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga


Riwayat Batuk lama : disangkal
Riwayat Sesak Nafas : disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan anak pertama yang tinggal dengan 4 orang
anggota keluarga lainnya yang terdiri dari kakek, nenek, ayah serta ibu.
Kakek dan Ayah pasien adalah perokok aktif
f. Riwayat penggunaan obat
4 hari SMRS, keluhan pasien sudah diobati. Kedua orang tuanya
membawa pasien ke puskesmas dan diberi obat penurun panas dan
keluhan panas membaik. Akan tetapi keluhan batuknya belum membaik.
g. Riwayat Persalinan, Imunisasi dan Tumbuh Kembang
Pasien lahir di rumah sakit secara spontan dan cukup bulan yakni
pada usia kehamilan 37 minggu dengan berat lahir 2900 gram dan
panjang badan 45 cm. Riwayat Imunisasi dilakukan sesuai dengan
jadwal yang dianjurkan, akan tetapi pasien tidak mendapatkan imunisasi
campak. Sejak lahir pasien diberikan ASI sampai dengan saat ini, akan
tetapi pada usia 3 bulan, orang tuanya juga mulai memberikan susu
formula. Saat ini pasien sudah mendapatkan makanan pendamping ASI
berupa bubur. Pasien sudah mulai dapat merangkak saat berusia 6 bulan

Anamnesis sistem
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kepala
: Pusing - , sakit kepala Mata
: konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/Hidung
: tersumbat -, keluar darah - , keluar lendir Telinga
: keluar sekret atau darah Mulut
: bibir kering -, sianosis Tenggorokan : nyeri menelan Sistem respirasi : sesak +, batuk +, dahak - ,
Gastrointestinal : nyeri -, mual -, sebah -, cepat kenyang - nafsu makan
menurun -, diare -, sulit bab -, bab berdarah -

9. Genitourinaria : fimosis (-)


2

10. Ekstremitas

: sianosis (-)

I.2 Pemeriksaan Fisik


A.

Keadaan Umum

Sakit sedang-berat, Apatis

B.

Status gizi

BB:7 kg
TB : 70 cm
BMI : 24.2 (Normoweight)
BB/U : -2SD - 2SD (gizi baik)
PB/U : -2SD 2SD (normal)
BB/PB : -3SD - -2SD (kurus)

Tanda Vital

Kesan : status gizi cukup normal


Nadi : 189x/menit, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Nafas : 60 x/menit
Suhu : 38,5C
Suhu yang meningkat menunjukkan adanya

C.

Kulit

reaksi inflamasi yang terjadi di dalam tubuh anak.


Warna kuning langsat, ikterik (-), anemis (-)

D.

Kepala

Bentuk mesocephal, rambut warna hitam,

E.

Mata

Lingkar Kepala : 44 cm
Konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),pupil
isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, refleks

F.

Hidung / Mulut

cahaya (+/+)
Simetris (+)
Tidak ada deformitas (+)

G.

Leher

Nafas cuping hidung (+)


JVP (-), trakea di tengah, simetris, pembesaran

H.

Thorax

tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-)


Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal
(+), pernafasan torakoabdominal, sela iga melebar
(-), pembesaran KGB axilla (-/-)

Jantung :
Inspeksi

Iktus kordis tidak tampak

Palpasi

Iktus kordis teraba di SIC V linea midclavicula

Perkusi

sinistra, tidak kuat angkat.


Batas jantung kanan atas

SIC

II

linea

parasternalis dextra
3

Batas jantung kanan bawah SIC IV linea


parasternalis dextra
Batas jantung kiri atas SIC II linea parasternalis
sinistra
Batas

jantung

kiri

bawah

SIC

IV

linea

midclavicularis sinistra
Bunyi jantung I-II murni,

Auskultasi

intensitas normal reguler, bising (-)


Pulmo :
Inspeksi

Statis

Normochest, simetris

Dinamis

Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga


tidak

retraksi substernal (+)


Pergerakan dada kanan = kiri, fremitus raba

Palpasi
Perkusi

Auskultasi

melebar, retraksi intercostal (+),

Kanan

kanan = kiri
Sonor

Kiri

Sonor

Kanan

Suara dasar vesikuler (+), Wheezing (+),

Kiri

Ronki (+)
Suara dasar vesikuler (+), Wheezing (+),

K. Punggung

Ronki (+)
kifosis(-), lordosis(-), skoliosis(-), spina bifida(-)

L. Abdomen
Inspeksi

Tali pusat tampak basah dan dalam batas normal.

Auskultasi

Bising usus (+) normal

Perkusi

Timpani

Palpasi

Supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri

M. Genitourinaria
N.

tekan (-).
Atresia ani (-), testis sudah turun kiri-kanan

Ekstremitas
Superior dekstra

Spoon nail (-),sianosis (-),clubing finger (-),

Superior sinistra

Spoon nail (-), sianosis (-),clubing finger (-),

Inferior dekstra

Spoon nail (-) sianosis (-), clubing finger (-),

Inferior Sinistra

Spoon nail (-) sianosis (-),clubing finger (-),


4

I.3 Resume
Pasien merupakan rujukan dari klinik dengan diagnosa ISPA. Dua
minggu SMRS pasien batuk (+) hilang timbul, disertai dahak (+) muntah (+).
Demam (+) sejak 3 hari SMRS, demam muncul perlahan lebih terasa
meningkat saat malam hari. Sesak (+) sejak 1 hari SMRS, muncul terus
menerus dan dirasakan semakin bertambah berat. Kejang (+) dengan
frekuensi 1 kali jam 7 pagi selama < 1menit, mata mendelik ke atas dan
kedua tangan serta kaki kaku.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, dan merintih. Nafas cuping hidung (+), retraksi intercostal (+) dan
retraksi suprasternal (+). Pada pemeriksaan tanda-tanda vital tampak adanya
peningkatan frekuensi nafas : 60x/menit dengan nadi : 189x/menit, dan suhu
: 38,5C

I.4 Assessment
Pneumonia dengan Kejang demam
Diagnosis banding :
ISPA
Bronkitis
Bronkiolitis
I.5 Planning
Lab. Darah rutin
X Foto Thorax PA
Konsul Fisioterapi
I.6 Terapi
Non farmakologi

Edukasi

Diet :
o 5x60 cc
o 3 x bubur

Farmakologi

O2 kanul 2 l
Infus D5 NS 500 cc/24 jam
Kebutuha total cairan per hari seorang anak dihitung dengan formmula
berikut :
5

100 ml/kgBB untuk 10 kg pertama 50 ml/kgBB untuk 10 kg berikutnya

selanjutnya 25 ml/kgBB untuk setiap tambahan kg BB-nya.


Inj. Cefotaxim 2x250 mg
Dosis anak : 50-100 mg/kgBB/x
Inj. Gentamisin 2x25 mg
Dosis anak : 5 mg/kgBB/hari
NGT : (5x60cc) (3xbubur)
Nebulizer 3x1/2 am

I.7 Pemeriksaan Penunjang


1.Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium Darah
Tanggal 10 Agustus 2014
Hematologi
Pemeriksaan

Hasil

Nilai rujukan

Satuan

Hemoglobin

11,1

13.5-17,5

g/dl

Lekosit

17,8

6.0-15

Ribu

Eritrosit

4,27

3,6-5,2

Juta

Hematokrit

33,8

37-47

Trombosit

391

150-400

Ribu

MCV

79,2

70-86

Mikro m3

MCH

26,0

23-31

Pg

MCHC

32,8

32-36

g/dl

RDW

13,0

10-16

MPV

7,2

7-11

Mikro m3

Limfosit

2,8

4,0-10,5

10^3/mikroL

Monosit

1,8

0-0.8

10^3/mikroL

Eosinofil

0.1

0,05-0,7

10^3/mikroL

Basofil

0.0

0-0.2

Neutrofil

13,2

1.5-8.5

Limfosit%

15,5

25-40

Monosit %

20,0

2-8

Eosinofil %

0,5

2-4

%
6

Basofil %

0.1

0-1

Neutrofil %

73,9

50-70

PCT

0.283

0.2-0.5

PDW

12,4

10-18

Laju Endap Darah I

71

0-8

mm/jam

Laju Endap Darah II

102

Mm/jam

S. Typhi O

Negatif

S. Paratyphi A-H

Negatif

S. Typhi H

Negatif

SEROLOGI
Widal

Lembar Follow up
11/8/2014
Subjective

Objective

12/8/2014

- Demam
berkurang
- Sesak (+)
disertai batuk
berdahak
- Sariawan (+)
- Kejang (-)

KU :
lemas, sakit
sedang,
kurus
BB : 7
kg,
TB : 70
cm
N:
140x/mnt
RR :
72x/mnt
T : 37,2
C
K/L :
pernapasan
cuping

13/8/2014

Sesak (+)
sudah meulai
berkurang
Batuk (+)
dahak
Sariawan (+)
BAB/BAK
dalam batas
normal

KU :
lemas, sakit
sedang, kurus
BB : 7 kg,
TB : 70
cm
N:
138x/mnt
RR :
40x/mnt
T : 36.5 C
K/L :
pernapasan
cuping hidung
(+)
Thoraks :
pulmo : ronki

14/8/2014

Batuk dan
sesak sudah
berkurang
Sariawan (-).
BAB/BAK
dalam batas
normal

KU :
lemas, sakit
sedang, kurus
BB : 6.9
kg,
TB : 70
cm
N:
168x/mnt
RR :
40x/mnt
T : 36.6
C
K/L :
pernapasan
cuping
hidung (-)

Batuk dan
sesak sudah
berkurang
Sariawan (-).
BAB/BAK
dalam batas
normal

KU :
lemas, sakit
sedang, kurus
BB : 7.1
kg,
TB : 70 cm
N:
152x/mnt
RR :
48x/mnt
T : 36.4 C
K/L :
pernapasan
cuping hidung
(+)
Thoraks :
pulmo : ronki
7

hidung (+)
Thoraks
: pulmo :
ronki (+/+)
Abdome
n &
ekstremitas :
dbn

(+/+)
Abdomen
& ekstremitas
: dbn

Assessment
Planning

Thoraks
: pulmo :
ronki (+/+)
Abdome
n &
ekstremitas :
dbn

(+/+)
Abdomen
& ekstremitas :
dbn

Pneumonia dengan gizi kurang

O2 kanul
2l

Infus D5
NS 500
cc/24 jam
Inj.
Cefotaxim
2x250 mg
Inj.
Gentamisin
2x25 mg
NGT :
(5x60cc)
(3xbubur)

O2 kanul

Infus D5
NS 500
cc/24 jam
Inj.
Cefotaxim
2x250 mg
Inj.
Gentamisin
2x25 mg
NGT :
(5x60cc)
(3xbubur)

2l

O2 kanul
2l

Infus D5
NS 500
cc/24 jam
Inj.
Cefotaxim
2x250 mg
Inj.
Gentamisin
2x25 mg
NGT :
(5x60cc)
(3xbubur)
Nebulize
r 3x1/2 amp
Konsul
Fisioterapi

Infus D5
NS 500 cc/24
jam
Inj.
Cefotaxim
2x250 mg
Inj.
Gentamisin
2x25 mg
NGT :
(5x60cc)
(3xbubur)
Nebulizer
3x1/2 amp

Pemeriksaan Foto Rontgen AP (11 Agustus 2014)


Interpretasi Gambar : Peningkatan corakan bronkovaskular
Kesan : Gambaran Pneumonia

X-Foto Thorax AP
15/8/2014
Subjective

16/8/2014

Sesak (+) sudah


meulai berkurang
Batuk (+) dahak
BAB/BAK dalam
batas normal

Objective

Assessment

KU : lemas,
sakit sedang, kurus
BB : 7,1 kg,
TB : 70 cm
N : 148x/mnt
RR : 44x/mnt
T : 36.5 C
K/L :
pernapasan cuping
hidung (-)
Thoraks : pulmo
: ronki (+/+)
berkurang
Abdomen &
ekstremitas : dbn

17/8/2014

Sesak (+) sudah


meulai
berkurang
Batuk (+)
berkurang
BAB/BAK
dalam batas
normal

Sesak (-)
Batuk (+) jarang
BAB/BAK dalam
batas normal

KU : lemas,
sakit sedang, BB
: 7,2 kg,
TB : 70 cm
N : 132x/mnt
RR : 56x/mnt
T : 36.1 C
K/L :
pernapasan
cuping hidung
(-)
Thoraks :
pulmo : ronki
(+/-) berkurang
Abdomen &
ekstremitas : dbn

KU : lemas,
sakit sedang,
kurus
BB : 7,2 kg,
TB : 70 cm
N : 132x/mnt
RR : 38x/mnt
T : 36.5 C
K/L :
pernapasan
cuping hidung (-)
Thoraks :
pulmo : ronki
(+/-) berkurang
Abdomen &
ekstremitas : dbn

Pneumonia dengan gizi kurang


9

Planning

Infus D5 NS
500 cc/24 jam
Inj. Cefotaxim
2x250 mg
Inj. Gentamisin
2x25 mg
Diet : (3xbubur)
Nebulizer 2x1/2
amp

Infus D5
NS 500 cc/24
jam
Inj.
Cefotaxim
2x250 mg
Inj.
Gentamisin 2x25
mg
Diet :
(3xbubur)
PO :
Cefixime : 2x1/2
cth
PO :
Procaterol 7,5 g
Nebulizer :
2x1/2 amp

Diperbolehkan
pulang
Procaterol 7.5
gr
Cefixime
2x1/2 cth
Gentamicin
2x25 mg

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pneumonia
II.1.1 Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Kasus pneumonia di
negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan tetapi juga lebih berat dan
banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak terjadi pada umur 1-5 tahun
dan menurun dengan bertambahnya usia anak1.
II.1.2 Faktor Risiko
Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), usia muda, kelengkapan
imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi Zn, penyakit kronis pada
bayi, paparan asap rokok secara pasif dan faktor lingkungan (polusi udara)
merupakan faktor resiko untuk terjadinya pneumonia 1(pada pasien).
Faktor predisposisi lainnya adalah adanya kelainan anatomi kongenital (contoh
fistula trakeoesofagus, penyakit jantung bawaan), gangguan fungsi imun (penggunaan
sitostatika dan steroid jangka panjang, gangguan sistem imun berkaitan penyakit
tertentu seperti HIV), campak, pertusis, gangguan neuromuskular, kontaminasi perinatal
dan gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik, aspirasi benda asing
atau disfungsi silier2.
10

II.1.3 Epidemiologi
Insidensi tertinggi terutama pada usia kurang dari 4 tahun dan berkurang dengan
meningktaknya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh Pneumococcus
dan ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan bronkopneumonia lebih
sering dijumpai pada anak kecil dan bayi2.
II.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi1,2
Mekanisme pertahanan paru sangat penting untuk mencegah terjadinya infeksi
saluran napas. Mekanisme pembersihan paru dalam mencegah infeksi tersebut
antara lain :
Mekanisme pembersihan di saluran nafas penghantar, meliputi3 :
Reepitelisasi saluran napas
Aliran lendir pada permukaan epitel
Bakteri alamiah atau epithelial cell binding site analog
Faktor humoral lokal (IgG dan IgA)
Komponen mikroba setempat
Sistem transpor mukosilie
Refleks bersin dan batuk
Mekanisme pembersihan di Respiratory exchange airway, meliputi3 :
Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan
Sistem kekebalan humoral lokal (IgG)
Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan
paru (saluran nafas atas). IgA merupakan salah satu bagian dari sekret
hidung (10% dari total protein sekret hidung)
Makrofag alveolar dan mediator inflamasi
Penarikan netrofil
Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik3,4
Mekanisme pertahanan saluran nafas subglotis terdiri dari anatomik, mekanik,
-

humoralm dan komponen seluler. Mekanisme penutupan dan refleks batuk dari
glotis merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari orofaring. Bila terjadi
gangguan fungsi glotis maka akan menyebabkan gangguan pada saluran napas
-

bagian bawah
Mekanisme pembersihan di respiratory gas exchange airway3,4
Bronkiolus dan alveolus mempunyai pertahanan sebagai berikut :
Cairan yang melapisi alveolus
Surfaktan
Suatu glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa
komponen yang berfungsi memperkuat fagositosis dan killing
-

terhadap bakteri oleh makrofag.


Aktiviti anti bakteri (non-spesifik) : FFA, lisozim, iron binding

protein
Makrofag alveolar yang berperan sebagai mekanisme pertahanan
pertama
11

Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau


penyebaran langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Hanya sebagian kecil
yang berasa; dari infeksi sekunder intra abdomen (viremia/bakteremia). Paru
terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier anatomi
dan barier mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier
anatomik dan mekanik di antaranya adalah filtrasi partikel di hidung,
pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekpulsi benda asing melalui refleks
batuk, pembersihan ke arah kranial oleh lapisan mukosilier. Sistem pertahanan
tubuh yang terlibat baik sekresi lokal imunoglobulin A maupun respon inflamasi
oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, alveolar makrofag dan
cell mediated immunity3,5.
Pneumonia terjadi apabila salah satu mekanisme pertahanan tersebut
mengalami gangguan sehingga mennyebabkan

mikroorganisme masuk ke

saluran pernapasan bagian bawah. Inokulasi patogen penyebab pada saluran


nafas akan menimbulkan respon inflamasi yang berbeda-beda sesuai dengan
patogen penyebabnya3,4.
Proses radang pada pneumonia dapat dibagi menjadi 4 stadium, antara lain2,4 :
Stadium kongesti : kapiler melebar dan kongesti serta di dalam alveolus
terdapat eksudat jernih, terdapat bakteri dalam jumlah yang banyak serta
-

terdapat beberapa neutrofil dan makrofag


Stadium hepatisasi merah : lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan
tidak mengandung udara, warna menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar.
Di dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit neutrofil, eksudat dan banyak

sekali eritrosit dan kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek.


Stadium hepatisasi kelabu : lobus masih tetap padat dan warna merah menjadi
pucat kelabu. Permukaan pleura suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi
fibrin dan leukosit, tempat terjadinya fagositosis Pneumococcus. Kapiler tidak

lagi kongestif
Stadium resolusi : eksudat berkurang, di dalam alveolus makrofag bertambah
dan leukosit mengalami nekrosis dan degenerasi lemak. Fibrin di resorbsi dan
menghilang2,4

II.1.5 Manifestasi Klinis


Sebagian besar gambaran klinis penumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang. Beberapa faktor yang mempengaruhi pneumonia pada anak adalah
imaturitas, anatomik dan imunologik, mikrooragnisme penyebab yang luas, gejala klinis

12

yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur
diagnostik invasif, dan faktor patogenesis4.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak tergantung pada berat-ringannya
infeksi , tetapi secara umum adalah sebagai berikut2,4,6 :
Gambaran infeksi umum seperti demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare
-

; kadang-kadang dapat ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner


Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada

(pada pasien)

takipnea, nafas cuping hidung, merintih (pada pasien) dan sianosis.


Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi
berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala nafas
cuping hidung, takipnea, dispnea dan apneu baru timbul. Otot bantu nafas
interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada
anak besar, tetapi pada neonaus bisa tanpa batuk. Wheezing mungkin akan
ditemui pada anak-anak denagn pneumonia viral atau mikoplasma, seperti yang
ditemukan pada anak-anak dengan asma atau bronkioliis
Secara klinis pada anak sulit membedakan antara penumonia bakterial dan
penumonia viral. Namun biasanya pada pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk
produktif, pasien tampak toksik, leukositosis dan perubahan nyata pada pemeriksaan
radiologis.
II.1.6 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
nafas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi
paru umumnya tidak ditemukan adanya kelainan. Pada auskultasi suara nafas yang
melemah seringkali ditemukan bila ada proses peradangan subpleura dan mengeras
(suara bronkial) bila ada proses konsolidasi. Ronki basah halus

(pada pasien)

yang khas

untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak akan terdengar pada bayi. Pada bayi dan
balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit
di identifikasi 6,7
Frekuensi nafas merupakan indeks yang paling sensiif untuk mendukung
diagnosis dan memantau tatalaksan pneumonia. Pengukuran frekuensi nafas dilakukan
dalam keadaan anak tenang dan tidur. WHO telah merekomendasikan untuk
menghitung frekuensi nafas pada setiap anak dengan batuk, karena dengan adanya batuk
frekuensi nafas akan terjadi frekuensi nafas yang lebih cepat dari normal serta adanya
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing)6
Kriteria takipneu menurut WHO6
13

Umur

Laju nafas normal


(frekuensi/menit)

Takpineu (frekuensi/menit)

0-2 bulan
2-12 bulan

30-50
25-50

>60
>50 60x/m (pada pasien)

1-5 tahun
>5tahun

20-30
15-25

>40
>20

II.1.7 Laboratorium
Secara klinis sulit untuk membedakan antara pneumonia bakterial dan
pneumonia viral. Namun, sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia
bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis dan
perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis8.
Pada pneumonia yang disebabkan oleh virus atau mikoplasma biasanya
pemeriksaan leukosit berada dalam batas normal, sedangkan pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri biasanya mengakibatkan kadar leukositnya meninggi {15.000
40.000/mm3). Leukositosis hebat (>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya
infeksi bakteri, hal ini sering ditemukan pada keadaan bakteremia dengan dominasi
netrofil mengarahkan ke pneumonia streptokokus dan stafilokokus. Kadang-kadang
terdapat anemia ringan dan laju endap darah yang meningkat (LED). Secara umum,
hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara
infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti8.
Pemeriksaan Polymerase chain reaction

bermanfaat

untuk

diagnosis

Streptococcus pneumoniae dan infeksi karena mikoplasma, tetapi pemeriksaan ini


sangat mahal dan tidak banyak berpengaruh terhadap penanganan awal penumonia
sehingga pemeriksaan ini tidak direkomendasikan8,9.
Pemeriksaan aspirat nasofaringeal untuk pemeriksaan imunofluoresen virus dan
deteksi antigen virus akan membantu untuk mengidentifikasi virus tetapi hanya
mempunya sedikit pengaruh untuk penanganan awal pasien. Pemeriksaan ini
mempunyai sensitivitas yang tinggi dan sangat membantu diagnosis anak dengan infeksi
RSV9.
Bila fasilitas memungkinkan dapat dilakukan analisis gas darah yang akan menunjkkan
keadaan hipoksemia. Kadar pCO2 dapat rendah, normal atau meningkat tergantung
kelainannya8.
II.1.8 Radiologis8,9
Pemeriksaan foto rontgen hanya direkomendasikan pada penumonia berat yang
dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan
gambaran klinis. Kadang-kadang bercak infiltrat sudah ditemukan pada gambaran
14

radiologis sebelum gejala klinis menghilang. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering
memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang. Umumnya
pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia di Instalasi Gawat
Darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Foto rontgen toraks AP dan
lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distress pernapasan
seperti takipneu, batuk dan ronki dengan atau tanpa suara napas yang melemah. Foto
polos dada umumnya akan normal kembali dalam 3-4 minggu. Secara umum, gambaran
foto toraks terdiri dari :
Infiltralt interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler,
-

peribronchial cuffing dan hiperaerasi.


Infiltral alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal

sebagai round pneumonia.


Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru

disertai dengan peningkatan corakan peribronkial


Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan
pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Lesi pneumonia
terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di paru
kiri, terbanyak berada di lobus bawah, mak hal tersebut merupakan prediktor
perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih
meningkat.
Pemeriksaan radiologis tidak dapat menunjukkan perbedaan nyata antara infeksi

virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambarana infiltrat


difus, hiperinflasi atau atelektasis. Pada sindroma aspirasi, infiltrat akan tampak di lobus
superior kanan pada bayi, tetapi pada anak yang lebih besar akan tampak di bagian
posterior atau basal paru Foto polos dada umumnya akan normal kembali dalam 3-4
minggu
II.1.9 Penatalaksanaan6
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian
cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa,
elektrolit dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik.
Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan beta laktam atau
15

kloramfenikol. Jika tidak responsif dengan beta laktam dan kloramfenikol dapat
diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin atau sefalosporin sesuai dengan
etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien
dengan pneumonia tanpa komplikasi. Pada balita dan anak yang besar, antibiorik yang
direkomendasikan adalah antibiotik beta laktam dengan atau tanpa klavulanat, pada
kasus yang lebih berat diberikan beta laktam/klavulanat dikombinasikan dengan
makrolid baru intravena atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak
demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat
jalan.
Berdasarkan berat ringannya gejala, penatalaksanaan pneumonia dibagi menjadi6
Pneumonia ringan6
Anak dirawat jalan
Pemberian antibiotik : Kotrimoksazol (TMP 4 mg/kgBB 2 kali sehari) selama 3
hari atau amoksisilin (25 mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk
-

pasien HIV dapat diberikan selama 5 hari


Pneumonia berat6
Jika frekuensi pernapasan, demam dan nafsu makan tidak ada perubahan ganti
ke antibiotik lini kedua dan anjurkan ibu untuk kontrol 2 hari lagi, jika terdapat
tanda pneumonia berat maka anak di rawat di rumah sakit.
o Terapi antibiotik
Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6
jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila
anak memberi respon yang baik makan diberikan selama 5 hari.
Selanjutnya terapi dilanjutkan dirumah atau di rumah sakit dengan
amoksisilin oral (15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari
selanjutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat minum susu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,
distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam)
Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen
dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilingentamisin, sebagai alternatif dapat diberikan seftriakson (80-100
mg/kgBB IM atau IV sekali sehari)
Apabila di duga pneumonia stafilokokkal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50
mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15
16

mg/kgBB/hari-3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik,


lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari
sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin
secara oral selama 2 minggu.
Pemberian oksigen dilakukan pada anak dengan saturasi oksigen
<90%. Pemberian oksigen dihentikan bila saturasi tetap stabil >90%.
Terapi penunjang : jika ditemukan adanya wheeze, beri bronkodilator
kerja cepat. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan
berikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tetapi sering.
II.2 Kejang Demam
II.2.1 Definisi
Kejang demam disefinisikan sebagai bangkitan kejang yang disebabkan oleh
demam di atas suhu 38C rektal tanpa disertai infeksi pada sistem saraf pusat atau
gangguan keseimbangan elektrolit akut pada anak berumur lebih dari 1 bulan, tanpa ada
riwayat kejang tanpa demam sebelumnya2.
II.2.2 Epidemiologi
Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berumur di bawah 5
tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berumur antara 6 bulan
sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada umur
18 bulan2.
II.2.3 Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 jenis, antara lain2,4,11 :
Kejang demam sederhana (simple febrile seizure), yaitu kejang demam yang
berlangsung singkat, <15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
yang terjadi berupa kejang tonik atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang
-

demam tidak berulang dalam 24 jam


Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) yaitu kejang dengan salah
satu ciri berikut : kejang berlangsung >15 menit. Kejang fokal atau parsial pada
satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang
adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak
dalam keadaan sadar.

II.2.4 Patofisiologi2,4
Kejang terjadi akibat pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut :
Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/imatur
17

Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan


gangguan permeabilitas membran sel
Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron
Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran
ion-ion keluar masuk sel.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan

meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) biasanya
di ikuti dengan apneu, hipoksemia (disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen
dan energi untuk kotraksi otot skelet), asidosis laktat (disebabkan oleh metabolisme
anaerobik), hiperkapnea, hipoksi arterial dan selanjutnya menyebabkan metabolisme
otak meningkat2.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan anatomi
otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di daerah yang peka seperti
hipokampus dan amigdala. Kerusakan di daerah ini merupakan prekursor timbulnya
epilepsi lobus temporalis yang berlatar belakang kejang demam2,4.
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori, antara lain2 :
Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya
pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri
-

dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.


Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia
Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung,

otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Pireksia akan menyebabkan kejang
bertambah lama, sehingga kerusakan otak juga akan makin bertambah11.
II.2.5 Gejala dan Tanda
Deskripsi lengkap mengenai kejang sebaiknya di dapat dari orang yang
melihatnya. Dari pemeriksaan fisik, derajat kesadaran, adanya meningismus,
ubun-ubun besar yang tegang atau menonjol, tanda Kernig atau Brudzinski,
kekuatan dan tonus harus diperiksa dengan teliti dan dinilai ulang secara
periodik2,4.
18

Tanda klinis meningitis yang tipikal biasanya sulit diperoleh pada bayi
kurang dari 12-18 bulan, sehingga pungsi lumbal sangat di anjurkan pada bayi
berumur kurang dari 12 bulan dan di anjurkan pada penderita berumur kurang
dari 18 bulan. Tiga faktor resiko kejang demam berulang : serangan kejang
berlangsung lama lebih dari 30 menit, dalam satu episode serangan lebih dari
satu kali, dan terdapat defisit neurologis pasca kejang11.
II.2.6 Pemeriksaan Penunjang2,11
Pemeriksaan Laboratorium2
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam,
atau keadaan lain misalnya

gastroenteritis

dehidrasi disertai demam.

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer,


-

elektrolit dan gula darah.


Pungsi Lumbal11
Pemeriksaan cairan serebrospinal

dilakukan

untuk

menegakkan

atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk


menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi
klinisnya tidak jelas. Olehh karena itu pungsi lumbal di anjurkan pada :
o Bayi kurang dari 12 bulan sangat di anjurkan untuk dilakukan
o Bayi antara 12-18 bulan di anjurkan
o Bayi > 18 bulan tidak rutin dilakukan
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
-

lumbal.
Elektroensefalografi11
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang
tidak khas. Misalnya : kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6

tahun, atau kejang demam fokal


Pencitraan2,11
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan dan hanya dilakukan atas indikasi :
o Kelaonan neurologik fokal yang menetap (hemiparese)
o Parese nervus VI
o papiledema

II.2.7 Tata Laksana2,6,11


Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk :
Mencegah kejang demam berulang
Mencegah status epileptikus
Mencegah epilepsi dan atau mental retardasi
Normalisasi kehidupan anak dan keluarga
Pengobatan Fase Akut11
19

Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utamanya adalah menjaga


agar jalan nafas tetap terbuka, pakaian dilonggarkan, anak dimiringkan untuk
mencegah aspirasi. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat
(diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10 mg/kgBB, 4 kali sehari.
Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit juga harus diperhatikan. Suhu
tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik
(asetaminofen oral 10 mg/kgBB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kgBB, 4
kali sehari).
Diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut,
karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat.
Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg.kgBB, diberikan secara intravena pada
kejang demam fase akut. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat
diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan
-

10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg6,11.


Bila diazepam tidak tersedia dapat diberikan luminal suntikan intramuskular
dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan - 1 tahun,

dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun6,11.


Midazolam intranasal (0,2 mg.kgBB) telah diteliti aman dan efektif untuk
mengatasi kejang demam akut pada anak. Efek terapinya masih kurang jika
dibandingkan dengan diazepam intravena11.

Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang2,11


Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena dapat
menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat dua cara profilaksis, yaitu :
Profilaksis intermittent pada waktu demam
Pengobatan profilaksis ini segera diberikan pada waktu pasien demam (suhu
rektal > 38C). Antipiretik saja dan fenobarbital tidak mencegah timbulnya
kejang berulang. Roman dkk, meneliti bahwa pemakaian diazepam cukup efektif
untuk mencegah terjadinya kejang berulang. Diazepam dapat idberikan secara
oral maupun intravena. Dosis diazepam oral terkait dengan berat badan pasien,
-

sedangkan dosis oral diberikan 0,5 mg.kgBB perhari dibagi dalam 3 dosis.
Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap ha

BAB III
ANALISA KASUS
S (Subjective)
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari yang lalu, muncul mendadak
dan dirasakan terus menerus serta semakin bertambaha berat. 2 minggu SMRS pasien
batuk (+) dirasakan hilang timbul, disertai dahak tetapi sulit dikeluarkan. Dahak
20

berwarna putih dengan konsistensi kental, terlihat saat pasien muntah (+). 3 hari SMRS
pasien demam (+), muncul perlahan dan naik turun, demam lebih terasa menngkat saat
malam hari. Kejang (+) dengan frekuensi 1 kali jam 7 pagi selama < 1menit, mata
mendelik ke atas dan kedua tangan serta kaki kaku. Nafsu makan dan minum dirasakan
menurun setelah keluhan sesak muncul.
Sesak yang muncul pada pasien dapat disebabkan adanya gangguan pada paru
ataupun jantung. Sesak yang disebabkan gangguan jantung biasanya merupakan
kelainan kongenital dan gejala yang muncul telah tampak setelah beberapa hari bayi
lahir, sedangkan sesak yang disebabkan oleh gangguan pada paru terutama pada bayi
dan anak, biasanya disebabkan oleh gangguan sistem respirasi lainnya seperti batuk,
pilek dan demam. Dua minggu SMRS pasien batuk (+) disertai dahak yang sulit
dikeluarkan. Batuk merupakan suatu refleks yang melindungi saluran nafas atas dari
mikoorganismek, jika silia yang terdapat pada saluran nafas atas rusak akibat adanya
penumpukkan cairan dan adanya paparan terhadap polusi udara, biasanya asap rokok
maka mekanisme perlindungan tersebut tidak akan berfungsi dengan baik sehingga
mikroorganisme dapat masuk ke saluran nafas bawah dan menyebabkan terjadinya
infeksi fokal di tempat tersebut.
Ibu pasien menyangkal adanya riwayat kejang, batuk pilek berulang, sesak
berulang dan alergi makanan serta batu lama. Dari riwayat keluarga disangkal adanya
riwayat batuk lama, sesak nafas, alergi dan asma. Pasien tinggal bersama kakek, nenek,
ibu dan ayah dalam satu rumah. Ayah dan kakeknya merupakan perokok aktif.
Tidak adanya riwayat kejang sebelumnya menunjukkan bahwa demam yang
terdapat pada pasien terjadi akibat demam yang terlalu tinggi sehingga membuat sel-sel
otak hipereksitasi dan menyebabkan terjadinya kejang. Tidak adanya riwayat batuk
pilek berulang menunjukkan bahwa keluhan sesak ini bukan disebabkan oleh penyakit
yang bersifat kronis melainkan merupakan suatu tanda penyakit akut. Adanya paparan
terhadap asap rokok dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya suatu gangguan
pada saluran nafas.
Beberapa penyakit saluran pernapasan yang biasanya menimbulkan sesak pada
anak antara lain pneumonia, bronkitis, asma, pertusis dan TB. Untuk dapat menegakkan
diagnosa pastinya maka harus dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya.
O (Objective)
Keadaan umum : Tampak sesak, sianosis sentral & perifer (-), merintih
Kesadaran
: Tampak apatis
Tanda vital :
Nadi : 189x/menit, isi dan tegangan cukup,
Frekuensi Nafas : 60 x/menit,
21

Suhu : 38,5C menandakan adanya suatu reaksi inflamasi di dalam tubuh


Berdasarkan hasil pemeriksaan status gizi didapatkan kesan gizi pasien
tergolong kedalam gizi baik. Penilaian status gizi ini penting untuk dilakukan
karena kekurangan nutrisi-nutrisi yang diperlukan oleh tubuh dapat menjadi
salah satu faktor risiko terjadinya berbagai penyakit pada kelompok bayi dan
anak-anak.
Kepala :
-

Bentuk mesocephal
Lingkar kepala : 44 cm (-2SD 2SD) interval ini menunjukkan bahwa
lingkar kepala pasien tersebut masih dalam rentang normal, sesuai dengan

usia pasien saat ini.


UUB datar

Leher :
-

Tidak terdapat pembesaran KGB colli


Faring hiperemis (+)

Thorax :
-

Retraksi Intercostal (+)


Pulmo
: SDV +/+, Ronki kasar +/+, wheezing +/+
Cor
: S1>S2, reguler. Bising (-)

Abdomen :
Supel , bising usus (+) tidak meningkat, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :
Akral hangat (+/+), sianosis (-)
A (Assessment)
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya gejala demam, batuk,
sesak disertai nafas cepat dan retraksi interkostal. Gejala-gejala ini merupakan
gambaran klinis yang biasa terdapat pada pneumonia. Beberapa penyakit lainnya yang
memiliki gejala sesak, yaitu :
Pneumonia
- Demam
- Batuk dengan
nafas cepat
- Ronki
pada
auskultasi
- Kepala
teranggukangguk
- Pernapasan
cuping hidung
- Tarikan dinding
dada
bagian
bawah ke dalam

Bronkiolitis
Asma
- Episode
- Riwayat
pertama
wheezing
wheezing pada
berulang
anak umur < 2
tahun
- Hiperinflasi
dinding dada
- Ekspirasi
memanjang
- Gejala
pada
pneumonia juga
dapat dijumpai
- Tidak
ada

Tuberkulosis
- Riwayat kontak
positif dengan
pasien
TB
dewasa
- Uji tuberkulin
positif ( 10
mm,
pada
keadaan
imunosupresi
5 mm)
- Berat
badan
menurun
- Demam
2
22

Merintih
(grunting)
Sianosis

respon dengan
bronkodilator
-

minggu tanpa
sebab yang jelas
Batuk
kronis
(3 minggu)

P (Planning)
-

Laboratorium Darah rutin


X Foto Thorax PA
Konsul Fisioterapi

Terapi
Non farmakologi

Edukasi
Diet :
o 5x60 cc
o 3 x bubur
Farmakologi

O2 kanul 2 l
Infus D5 NS 500 cc/24 jam
Kebutuhan total cairan per hari seorang anak dihitung dengan formmula
berikut:
100 ml/kgBB untuk 10 kg pertama 50 ml/kgBB untuk 10 kg berikutnya

selanjutnya 25 ml/kgBB untuk setiap tambahan kg BB-nya.


Inj. Cefotaxim 2x250 mg
Dosis anak : 50-100 mg/kgBB/x
Cefotaxime merupakan antibitoik golongan sefalosporin generasi ketiga
yang mempunnyai khasiat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat
sintesis mukopeptida pada dinding sel bakteri. Cefotaxime sangat stabil
terhadap hidrolisis beta laktamase, maka cefotaxime digunakan sebagai
lini pertama pada bakteri yang resisten terhadap Penisilin. Cefotaxime
memiliki aktivitas lebih besar terhadap bakteri gram negatif sedangkan
aktivitas terhadap bakteri gram positif lebih kecil, tetapi beberapa

streptococcus sangat sensitif terhadap cefotaxime.


Inj. Gentamisin 2x25 mg
Dosis anak : 5 mg/kgBB/hari
NGT : (5x60cc) (3xbubur)
Pemasangan NGT bertujuan untuk memberikan nutrisi kepada pasien yang
sedang dalam keadaan sesak, karena ditakutkan akan terjadinya aspirasi

yang dapat menimbulkan infeksi paru.


Nebulizer 3x1/2 amp
Dosis anak
1-6 bulan : 0.5 mg/kgBB/jam
6-11 bulan : 1 mg/kgBB/jam
23

1-9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/jam


Usia > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/jam
Wheezing yang terdengar saat pemeriksaan auskultasi paru menandakan
adanya suatu penyempitan lumen saluran nafas yang menyebabkan proses
inspirasi dan ekspirasi menjadi tidak maksimal. Nebulizer dilakukan
dengan memberikan bronkodilator yang dapat melebarkan saluran nafas
sehingga proses inspirasi dan ekspirasi bisa menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Asih S, Retno., Landia S., Makmuri MS., et al. 2006. Naskah Lengkap Kuliah
Pneumonia. FK UNAIR RSU Dr. Soetomo Surabaya.
2. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak. Semarang : FK UNDIP
3. Sherwood, Lauralee. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta :
EGC
4. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FK
UI
5. Dawood, Fatimah S., Fiore, Anthony., Kamimoto, Laurie., Nowell, Mackenzie.,
Reingold, Arthur., et al. 2010. Influenza-Associated Pneumonia in Children
Hospitalized With

Laboratory Confirmed Influenza. Dapat di akses di

http://journals.lww.com/pidj/
Fulltext/2010/07000/Influenza_Associated_Pneumonia_in_Children.2.aspx
6. WHO. 2008. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta : IDAI
7. Dawood, Fatimah S., Fiore, Anthony., Kamimoto, Laurie., Nowell, Mackenzie.,
Reingold, Arthur., et al. 2010. Influenza-Associated Pneumonia in Children
Hospitalized With

Laboratory Confirmed Influenza. Dapat di akses di

http://journals.lww.com/pidj/
Fulltext/2010/07000/Influenza_Associated_Pneumonia_in_Children.2.aspx
8. Marcdante, Karen J., Kliegman, Robert M. 2011. Nelson Essentials of Pediatrics
seventh Edition. Philadephia : Elsevier
9. Said, Mardjanis. 2011. Pneumonia Atipik pada Anak. Sari Pediatri Volume 3 Nomor
3. Dapat di akses di http://www.scribd.com/doc/180456457/3-3-6-pdf
10. IDAI. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Dapat di akses di
http://idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/Kejang-Demam-Neurology-2012.pdf
11. American Academy of Pediatric. 2011. Clinical Practical Guideline-Febrile
Seizure:Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child with Simple
24

Febrile

Seizure.

Dapat

dia

kases

di

http://pediatrics.appublications.

org/content/127/2/389.full

25

Anda mungkin juga menyukai