12
Analisis vegetasi ini mempelajari struktur dan komposisi tumbuhan secara kualitatif, dengan observasi
visual tanpa sampling khusus dan pengukuran. Analisis akan menghasilkan data yang menggambarkan sifatsifat khusus dari spesies, selanjutnya data ini dapat memberikan gambaran tumbuhan pada waktu yang akan
datang.
a. Sosiabilitas
Sosiabilitas suatu spesies menggambarkan keberadaan spesies tersebut pada ruang yang di tempatinya.
Sos. 1 : Individu spesies tumbuhan hidup sendirian / soliter
Sos. 2 : Individu hidup berkelompok kecil
Sos. 3 : Individu hidup berkelompok besar / berderet
Sos. 4 : Individu hidup dalam koloni kecil yang terhampar menutup permukaan tanah.
Sos. 5 : Individu hidup dalam kelompok sangat besar dan merupakan populasi murni
b. Vitalitas
Vitalitas diperlukan untuk mengetahui derajat keberhasilan hidup suatu spesies, dapat juga menggambarkan
derajat kesuburan dari suatu spesies dalam perkembangannya sebagai respon terhadap lingkungannya. Hal
ini dapat dinyatakan berdasarkan lengkap tidaknya siklus hidup dari spesies tersebut.
Vit. 1 : Dapat berkembang baik, ada kecambah, sapling, poles dan pohon. Siklus hidup lengkap.
Vit. 2 : Siklus hidup sering lengkap namun tidak teratur.
Vit. 3 : Siklus hidup jarang lengkap.
Vit. 4 : Kadang lengkap, kecambah sedikit, jarang yang survive.
c. Periodisitas
Menyatakan keadaan yang rhytmis di dalam suatu kehidupan tumbuhan. Keadaan ini dinyatakan dengan
adanya daun, tunas, bunga, buah, daun yang berfotosintesis atau tidak berdaun. Untuk memudahkan
pendataan di lapangan, dipakai singkatan sebagai berikut :
Dn : Daun tidak berfotosintesis (berwarna kuning atau kering)
Df : Daun berfotosintesis
Tn : Tunas
Bg : Bunga
Bu : Buah
Bi : Biji
d. Stratifikasi
Akibat persaingan spesies tertentu dengan spesies lain dalam hutan, spesies tertentu akan lebih dominan.
Pohon yang tinggi dari stratum teratas mengalahkan atau menyaingi atau menguasai pohon dari strata yang
lebih rendah. Phon dari stratum teratas umumnya merupakan spesies pohon yang mencirikan hutan
tersebut. Stratifikasi tumbuhan dalam hutan hujan tropika dapat dibagi berdasarkan tinggi pohon (Philips,
1957) :
Stratum A : Merupakan lapisan teratas, terdiri atas pohon yang tingginya mencapai 30 m. Tajuk umumnya
diskontinyu, batang lurus, batang bebas cabang tinggi. Spesies pohon pada stratum ini pada
waktu mudanya (tingkat semai sampai sapling) membutuhkan naungan, pertumbuhan
selanjutnya memerlukan cahaya banyak (heliofil).
Stratum B : Terdiri atas pohon yang tingginya 20-30 m, tajuk umumnya kontinyu, cabang pohon banyak,
batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. Tumbuhan dalam stratum ini termasuk spesies
toleran.
Stratum C : Stratum ini umumnya terdiri atas pohon dengan tinggi 4-20 m, tajuk kontinyu dan banyak
cabang. Tumbuhan dalam stratum ini termasuk spesies toleran.
Stratum D : Merupakan lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4m Tumbuhan dalam stratum ini termasuk
spesies sangat toleran (sciafil).
Stratum E : Terdiri atas semak dan lapisan tumbuhan penutup tanah, tingginya 0-1m. Tumbuhan dalam
stratum ini termasuk spesies sangat toleran (sciafil).
Praktikum 1. Analisis vegetasi kualitatif
Tujuan praktikum
Mempelajari analisis vegetasi secara kualitatif untuk mengamati sosiabilitas, vitalitas, periodisitas serta
stratifikasi spesies yang ditemukan.
Permasalahan
Rumuskan permasalahan yang akan dipecahkan.
Metode
Tentukan sebuah komunitas yang secara fisiognomi (penampakan) berbeda namun saling berdekatan. Lakukan
analisis vegetasi secara kualitatif untuk spesies yang ditemukan dengan mengamati sosiabilitas, vitalitas,
periodisitas serta stratifikasi spesies yang ditemukan. Data dikompilasi dan dianalisis (tentukan analisis data
yang tepat), disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Data diinterpretasikan dan didiskusikan untuk
memecahkan permasalahan yang ada.
13
Dalam menganalisis vegetasi ada beberapa macam metode yang dapat digunakan. Ada yang
menggunakan petak contoh (plot) dan ada yang tidak menggunakan petak contoh (plotless). Metode yang
menggunakan petak contoh (plot) adalah metode kuadrat, pantograf sedangkan metode yang tidak
menggunakan petak contoh (plotless) adalah titik menyinggung (Point Intercept), garis menyinggung (Line
Intercept), Biterlichs Winconsin Distance Methods, Point Centered Quarter Methods (kuadran) dan lain-lain.
Pemilihan metode ini tergantung pada tipe vegetasi, tujuan, ketersediaan dana, waktu dan tenaga di
samping kendala-kendala lainnya. Analisis vegetasi untuk daerah yang luas dengan vegetasi berbentuk semak
rendah akan efisien apabila digunakan metode garis menyinggung (Line Intercept), untuk pengamatan sebuah
petak contoh dengan vegetasi tumbuhan yang menjalar digunakan metode titik menyinggung (Point Intercept),
untuk pengamatan tipe vegetasi berbentuk pohon/hutan digunakan metode kuadran. Guna memperlancar
pengerjaan analisis vegetasi sebaiknya pekerja lapangan dilengkapi dengan data lapangan seperti peta lokasi,
data geologi, data tanah, data topografi, data vegetasi yang mungkin tumbuh sebelumnya dan lain-lain.
Parameter kuantitatif yang biasanya digunakan dalam analisis vegetasi adalah Kerapatan, Frekuensi dan
Dominansi. Penjumlahan dari tiga variabel tersebut disebut Indeks Nilai Penting (INP).
Kerapatan
Kerapatan adalah nilai yang menunjukkan jumlah individu dari jenis-jenis yang menjadi anggota suatu
komunitas tumbuhan dalam luasan tertentu. Sementara itu kerapatan relatif menunjukkan persentase dari
jumlah individu jenis yang bersangkutan di dalam komunitasnya. Pernyataan relatif ini diperlukan untuk
menghindari kesalahan yang total dalam pemakaian terhadap suat komunitas sebab data yang diperoleh dari
analisis itu hanya berdasarkan sejumlah pengukuran beberapa wilayah contoh dan bukan total sensus seluruh
populasi.
Kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam menghitung kerapatan ini adalah:
Banyak memakan waktu dalam menghitung, dan sulit untuk menentukan satuan pada jenis-jenis yang
berumpun dan menjalar.
Harus dibuat suatu perjanjian untuk jenis-jenis tumbuhan yang berada pada tepi petak contoh, seperti daun
yang berada di luar petak contoh sedangkan akar dan batangnya berada di dalam petak contoh. Masalah
ini sering terjadi terutama untuk jenis-jenis tumbuhan yang menjalar dan berumpun, juga untuk tumbuhan
yang memiliki daun yang lebar, apakah daun yang sebagian berada di luar petak contoh dan sebagian ada
di dalam petak contoh ikut dihitung atau tidak. Perjanjian ini juga diperlukan untuk tumbuhan yang
mempunyai akar rimpang atau menjalar dengan tunas-tunas pada bukunya, untuk menentukan berapa
bagian yang dipandang sebagai satu satuan tumbuhan.
Frekuensi
Frekuensi adalah nilai besaran yang menyatakan derajat penyebaran jenis di dalam komunitasnya.
Angka ini diperoleh dengan melihat perbandingan jumlah dari petak-petak yang diduduki oleh suatu jenis
terhadap keseluruhan petak yang diambil sebagai petak contoh di dalam melakukan analisis vegetasi.
Frekuensi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti luas petak contoh, penyebaran tumbuhan dan ukuran jenis
tumbuhan.
Pengaruh luas petak contoh, jelas akan mempengaruhi jumlah jenis tumbuhan yang akan terambil dalam
petak contoh tersebut. Dengan banyaknya jumlah jenis yang terambil maka frekuensi temuan yang terdapat
juga akan lebih tinggi
Pengaruh penyebaran suatu jenis tumbuhan, akan menentukan besarnya nilai frekuensi. Jenis-jenis yang
menyebar secara merata akan memberikan nilai frekuensi yang lebih besar dari pada jenis-jenis yang
berkelompok.
Pengaruh ukuran jenis tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan yang mempunyai tajuk yang sempit akan memiliki
peluang lebih besar untuk terambil dalam petak contoh pada luasan yang sama bila dibandingkan dengan
jenis-jenis yang mempunyai tajuk yang lebar.
Dominansi
Dominansi adalah besaran yang digunakan untuk menyatakan derajat penguasaan ruang atau tempat
tumbuh, berapa luas areal yang ditumbuhi oleh sejenis tumbuhan, atau kemampuan suatu jenis tumbuhan untuk
bersaing dengan jenis lainnya. Dalam pengukuran dominansi, dapat digunakan prosen penutupan tajuk, luas
basal area, biomassa atau volume.
Penutupan tajuk, dilakukan dengan cara mengukur luasan tajuk untuk tiap jenis yang terdapat dalam petak
contoh, kemudian dicari dominansi relatifnya. Selanjutnya prosen penutupan tajuk dapat diukur dari
proyeksi tajuk ke tanah.
Luas Basal Area, biasanya digunakan untuk komunitas yang berbentuk pohon. Pengukuran dilakukan
dengan mengukur diameter batang pohon pada setinggi dada (130 cm) atau 50 cm di atas akar papan
untuk pohon yang mempunyai akar papan.
14
Biomassa, adalah ukuran untuk menyatakan berat suatu tumbuhan. Pengukuran biomassa tumbuhan
keseluruhan sukar dilakukan karena seringkali bagian akar tumbuhan tidak seluruhnya terambil dari dalam
tanah, karena itu pengukuran biomassa biasanya hanya dilakukan pada bagian tumbuhan yang berada di
atas permukaan tanah. Pengukuran biomassa dapat dilakukan dengan memotong tumbuhan tersebut pada
batas atas permukaan tanah (tanpa akar) kemudian ditimbang. Penimbangan berat basah yaitu
penimbangan dilakukan langsung setelah panen, sedangkan kering udara yaitu penimbangan yang
dilakukan setelah mengeringkan tumbuhan tersebut di alam terbuka sampai beratnya konstan atau
penimbangan dapat juga dilakukan setelah tumbuhan tersebut dikeringkan pada oven dengan suhu 70oC.
Volume, dapat dihitung dari rata-rata luas basal area x tinggi tumbuhan bebas cabang x faktor koreksi
pohon. Penghitungan seperti ini biasa dilakukan pada pohon yang akan diukur volume kayunya. Nilai faktor
koreksi pada setiap jenis pohon akan berlain-lainan.
15
nomor 2 maka petak contoh yang akan dianalisis adalah petak dengan ordinat (4,2) kemudian kertas-kertas
tersebut dimasukkan kembali pada kalengnya kemudian dikocok untuk dikeluarkan kembali nomor-nomor
tersebut, demikian seterusnya sehingga didapatkan daftar seperti terlihat pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.1
berikut.
Tabel 4.1. Data Hasil Pengacakan
X
Y
4
2
3
4
2
3
2
2
Cara acak tidak langsung ini ada kelemahannya yaitu petak contoh yang diambil kadang-kadang
letaknya berdekatan sehingga sebagian dari area tempat terdapatnya sejumlah jenis tumbuhan yang cukup
berperan dalam vegetasi tersebut tidak teramati, sehingga data yang disajikan dalam analisis vegetasi tersebut
kurang lengkap.
3.4
2.3
2.2
1 0
4.2
A2
B1
A1
C1
D2
C2
D1
16
Praktikum 2. Penentuan luas petak contoh minimum dengan pembuatan kurva spesies area
Kurva spesies area merupakan langkah awal yang digunakan untuk menganalisis vegetasi yang
menggunakan petak contoh (kuadrat). Kurva spesies area digunakan untuk memperoleh luasan minimum petak
contoh yang dianggap dapat mewakili suatu tipe vegetasi pada suatu habitat tertentu yang sedang dipelajari.
Luasan petak contoh mempunyai hubungan erat dengan keragaman jenis yang terdapat pada areal tersebut.
Makin beragam jenis yang terdapat pada areal tersebut, makin luas kurva spesies areanya. Bentuk luasan
kurva spesies area dapat berbentuk bujur sangkar, empat persegi panjang dan dapat pula berbentuk lingkaran.
Luas petak contoh minimum yang mewakili vegetasi hasil kurva spesies area, akan dijadikan patokan dalam
analisis vegetasi dengan metode kuadrat.
Tujuan praktikum
Untuk menentukan luas petak minimum yang dapat mewakili tipe komunitas yang sedang dianalisis guna
keperluan kajian ekologis
Permasalahan
Tentukan permasalahan yang akan dipecahkan.
Metode
1. Pilih satu tipe vegetasi yang dapat dipakai sebagai contoh dan tentukan batas-batasnya.
2. Di tengah komunitas tersebut ditentukan petak contoh 1. Petak contoh 1 ini tergantung pada luasan areal
dan keragaman jenisnya. Namun demikian petak contoh yang lazim digunakan untuk permulaan petak
contoh pada tanaman herba adalah 1 x 1 m atau sebuah lingkaran dengan jari-jari 0,56 m.
3. Catat jumlah jenis yang terdapat pada petak contoh 1 dalam tabel lembar data.
4. Perluas petak contoh 1 menjadi dua kali lipatnya (=petak contoh 2) dan catat pertambahan jenis yang
terdapat pada petak contoh 2.
5
6
3
4
1
5.
6.
7.
8.
Keterangan :
Petak contoh 1 = 1 m2
Petak contoh 2 = petak contoh 1 + 2 = 2 m2
Petak contoh 3 = petak contoh 1 + 2 + 3 = 4 m2
Petak contoh 4 = petak contoh 1 + 2 + 3 + 4 = 8 m2
Petak contoh 5 = petak contoh 1 + 2 + 3 = 4 + 5 = 16 m2
dan seterusnya.
Perluas petak contoh 2 menjadi dua kali lipatnya (= petak contoh 3) dan catat pertambahan jenis yang
terdapat pada petak contoh 3. Demikian seterusnya.
Penambahan petak contoh dihentikan bila tidak ada kenaikan jumlah jenis atau penambahan jenis sudah
tidak berarti atau kurang dari 10%.
Begitu juga kalau petak contoh berbentuk empat persegi panjang dan lingkaran ulangi butir 3,4,5
Bandingkan hasil antara petak contoh yang menggunakan bujur sangkar dengan petak contoh lingkaran
dengan luasan yang sama
17
18
II
II
U
x
d1
Garis transek
d4
Arah kompas
x
d2
x
x
d3
B
x
x
IV
: Pohon
x
III
x : Tiang
IV
III
19
Kerapatan Jenis i (Ki) = Jumlah individu jenis i di seluruh petak (kuadran) yang diamati
Kerapatan Relatif Jenis i (KRi %) = [Jumlah individu jenis i] . [Jumlah total seluruh jenis] -1 . 100%
Jumlah Individu satu jenis per hektar (indiv.ha -1) = [Jumlah individu jenis i] . [Jumlah total seluruh jenis] -1 .
[Jumlah individu seluruh jenis per hektar]
Frekuensi Jenis I (Fi) = [ titik pusat yang diduduki jenis i].[ titik pusat yang diduduki seluruh jenis] -1
Frekuensi Relatif Jenis i (FRi) = [Frekuensi jenis i]. [ Jumlah Total frekuensi seluruh jenis] -1. 100%
Dominansi Jenis i (Di) = Jumlah luas bidang dasar jenis i atau jumlah penutupan tajuk jenis i
Dominansi Relatif Jenis i (DRi) = [Dominasi jenis i]. [ Jumlah dominasi mutlak seluruh jenis] -1. 100%
Indeks Nilai Penting (INP) = KR i + FR i+ DR i
Jenis pohon yang mempunyai INP paling tinggi merupakan jenis yang dominan dari vegetasi yang
dianalisis.
Praktikum 5. Analisis vegetasi dengan metode garis menyinggung (LINE INTERCEPT)
Metode ini secara khusus digunakan dalam penarikan contoh tipe-tipe vegetasi yang bukan hutan.
Tipe komunitas ini umumnya berupa semak-semak atau semak rendah/rumput. Langkah-langkah operasional di
lapang perlu memperhatikan hal-hal berikut.
Pembuatan jalur-jalur transek pada tipe vegetasi yang diamati. Jalur-jalur transek tersebut dimulai dari titiktitik yang pada dasarnya ditentukan secara acak, sistematik, atau titik awal secara acak dan selanjutnya
secara sistematik tetapi tidak di daerah Ekoton.
Jalur-jalur transek tersebut dibagi ke dalam interval-interval. Setiap interval dapat dianggap sepadan dengan
unit petak contoh. Daerah ini dianggap sebagai satuan terkecil analisis vegetasi.
Individu yang tersinggung garis transek baik yang terletak di atas maupun di bawah garis tersebut
merupakan jenis yang diamati dan dicatat datanya.
Data yang tercatat dari masing-masing jenis individu itu adalah berupa pengukuran panjang transek yang
terpotong (Intercept, I) dan lebar maksimum tajuk tumbuhan yang diproyeksikan ke dalam transek
(Maximum width, M).
Untuk individu-individu yang terukur yang tidak dikenal di lapang, maka harus diidentifikasi di laboratorium.
Untuk itu mereka harus diambil contoh dan dibuat herbarium.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapang dapat disusun besaran indek nilai penting jenis-jenis di dalam
komunitasnya dengan memperhatikan persamaan-persamaan yang telah akan dijelaskan di bawah ini.
Dari hasil pengukuran di lapangan, untuk dapat mengetahui jenis yang dominan, selanjutnya dilakukan
pengolahan berdasarkan parameter-parameter sebagai berikut :
a. Kerapatan
Angka kerapatan menunjukkan jumlah individu dari jenis-jenis yang menjadi anggota suatu komunitas
tumbuhan dalam suatu panjang tertentu. Untuk metode analisis vegetasi cara garis menyinggung, maka
besarnya nilai tersebut adalah :
Kerapatan jenis i = [Jumlah individu jenis i pada seluruh interval] . [Total panjang transek] -1
Kerapatan relatif jenis i = [Kerapatan jenis i] . [Kerapatan total seluruh jenis] -1 . 100%
b. Frekuensi merupakan besaran yang menyatakan derajat penyebaran jenis di dalam komunitasnya. Angka
ini diperoleh dengan melihat perbandingan jumlah dari interval interval yang diduduki oleh suatu jenis
terhadap keseluruhan interval yang diambil sebagai contoh di dalam melakukan suatu analisis vegetasi
terhadap tipe komunitas tertentu.
Jenis tumbuhan yang tersebar secara acak atau random, nilai besaran frekuensi yang dimiliki olehnya
akan menunjukkan angka yang lebih besar dari pada jenis lain yang di alam tersebar secara bergerombol
atau clumped. Sementara itu jenis yang tersebar secara seragam atau teratur akan memiliki nilai besaran
frekuensi yang paling tinggi.
Frekuensi suatu jenis i = [Jumlah interval yang diduduki jenis i ] . [Jumlah total interval dari transek ] -1 .
100%
20
Frekuensi relatif jenis i = [Frekuensi jenis i] . [Jumlah total frekuensi seluruh jenis dalam komunitas] -1.
100%
c. Dominasi dan Dominasi Relatif
Besaran dominasi suatu jenis tumbuhan diturunkan dari data penutupan tajuk tumbuhan dalam seluruh
areal contoh. Nilai ini menunjukkan derajat penguasaan ruang atau tempat tumbuh, untuk menggambarkan
struktur suatu tipe komunitas. Penutupan tajuk suatu jenis tumbuhan akan menggambarkan adanya
perubahan jenis yang menghuni suatu habitat.
Dalam analisis vegetasi cara garis menyinggung, maka besarnya nilai dominasi di dalam komunitasnya
dapat dihitung menurut persamaan :
Dominasi suatu jenis i = [Total panjang garis tersinggung (intercept) oleh jenis i] . [Total panjang transek] -1
Dominasi relatif jenis i = [Dominasi jenis i] . [Total dominasi seluruh jenis] -1 . 100%
d.
21
Prinsip dari Pola Kisi tersebut sebenarnya adalah Metode Titik, sebab perpotongan benang-benang
tersebut merupakan suatu titik sperti terlihat pada Gambar 4.7 terdapat 81 buah titik. Kesalahan yang sering
terjadi pada Pola Kisi ini adalah kesalahan paralax yaitu kesalahan dalam melihat individu yang terkena tusukan
jarum terutama untuk vegetasi tumbuhan rendah seperti lumut. Kesalahan lain adalah cara menusukkan jarum
atau paku yang tidak tegak lurus atau miring sehingga mengakibatkan tusukan tersebut tidak mengenai
sasaran.
Metode Pola Kisi ini sangat efektif untuk tumbuhan rendah, rapat dan berbentuk anyaman yang tidak
jelas batasnya. Namun demikian penerapannya untuk tumbuhan herba rendah sulit dilakukan. Untuk itu dibuat
suatu alat yang prisip kerjanya sama dengan Pola Kisi yaitu Titik menyinggung (Point Intercept). Alat tersebut
berupa kerangka yang terbuat dari kayu atau besi, dengan tinggi 1 m dan panjang 1 m. Pada panjang alat
tersebut setiap 10 cm dilubangi, dengan demikian berarti terdapat 10 buah lubang. Lubang-lubang ini digunakan
sebagai tempat untuk menusukkan jarum yang terbuat dari kawat yang panjangnya sama dengan tinggi alat
tersebut. Sebenarnya jarak antara lubang yang satu dengan lubang yang lain tidak harus 10 cm, hal ini
biasanya ditentukan oleh tipe vegetasi yang diamatinya. Untuk herba rendah yang tingginya antara 20-50 cm,
jarak yang normal dan lazim digunakan adalah 10 cm. Sebenarnya lebih rapat jarak antar lubang akan lebih
baik data yang diperoleh dan begitu pula sebaliknya. Kesalahan paralax dalam menggunakan alat ini dapat
dihindari, karena alat ini cukup besar dan jarum kawat yang menusuk tumbuhan di bawahnya cukup jelas. Pada
buku penuntun praktikum ini, praktikum yang akan dilakukan adalah Metode Titik Menyinggung untuk herba
rendah atau semak rendah dengan menggunakan alat seperti pada Gambar 4.7.
Parameter (besaran) yang digunakan pada metode ini, ialah dominasi dan frekuensi. Dalam metode ini
kerapatan tidak dilakukan karena nilai kerapatan akan sama dengan nilai dominasi. Kerapatan didapat dari
jumlah tusukan dan nilai dominasi didapat dari penutupan tajuk yang terkena tusukan. Jadi kedua nilai tersebit
adalah sama. Langkah-langkah operasional metode titik menyinggung sebagai berikut :
1. Letakkan alat yang berupa kerangka besi atau kayu dengan tongkat/jarum penunjuk menyentuh
permukaan tumbuhan yang akan dianalisis dan pindah-pindahkan alat tersebut sesuai dengan luasan yang
akan diamati.
2. Sebagai satuan contoh pengamatan adalah interval yang terdiri dari 10 lubang atau panjang 1 meter. Catat
jenis tumbuhan yang tertunjuk oleh jarum penunjuk tersebut.
3. Dari data hasil pengukuran lapang selanjutnya dilakukan pengolahan data untuk memperoleh nilai frekuensi
dan dominasi jenis tumbuhan berdasarkan perhitungan sebagai berikut :
Frekuensi jenis i = [Jumlah interval contoh yang diduduki jenis i] . [Jumlah interval contoh seluruhnya] -1
Dominasi jenis i = Jumlah titik yang mengandung jenis i
INPjenis i = Frekuensi Relatif jenis i + Dominasi Relatif jenis i
Quality of plant diversity
In a more differentiated discussion, however, some other aspects of biodiversity apart from species numbers can
be identified. This list is even more extensive when evaluating the biological diversity of an area by means of quality
criteria. Seven quality criteria appear to be of basic significance:
1. Taxon richness. The majority of investigations concentrate on the number of species. However, for different questions
particularly in the area of biogeography and evolutionary research the genus or family number is also significant.
2. Abundance structure. The share of the number or biomass of individuals per species is discussed in various
approaches. With regard to the rarity with respect to local population size the abundance of a species is compared to the
abundance of other species. By contrast, the evenness of the distribution of individuals over the species is a characteristic
of the whole observed species community in the area of investigation. Evenness can be combined with species richness
in diversity indices (e. g. Shannon-Index).
22
3. Taxonomic, phylogenetic and character diversity. These diversity conceptions, including the systematic, phenetic
and cladistic diversity as well as the taxic diversity, are closely interrelated. The term of taxonomic diversity is based on
the idea that, in simple words, for instance a system of 2 species of different genera shows a higher diversity than a
system of 2 species of the same genus. As a solid taxonomy aims at the reflection of the phylogeny, taxonomic diversity
can be defined as an approximation of phylogenetic diversity. The conception of character diversity (or feature diversity),
by contrast, is based on the concept that a system is the more diverse the more (genetic, phenetic, functional) features its
species show. Feature diversity can be approximated by taxonomic and phylogenetic diversity and is a possible indicator
for the potential use of biological diversity.
4. Range sizes and degree of endemism. The range sizes of occurring species in a region are an important criterion for
qualitative studies: the occurrence of species with small ranges raises the value of a region. One assessment procedure,
which is in many respects imprecise, is the determination of the percentage of endemic species, i. e. of species which
occur only in the area of investigation. Several disadvantages of this index, particularly with respect to its mapping, are
eliminated by newer calculation methods. They are based on the range sizes of all occurring taxa and thus enable a
continuous and area-related calculation of the degree of endemism.
5. Share of allodiversity. An important characteristic and quality criterion of the biodiversity within a region is the share of
allodiversity, i. e. the organisms introduced by man. It has a significant influence on total diversity in the medium- to longterm as indigenous species are often replaced or eradicated by alien species.
6. Ecosystem Functions. An aspect, above all recognised in the research of global change, is the relevance of species
for the functioning of ecosystems, particularly with respect to global biogeochemical cycles. The ecosystematic relevance
as a quality criterion of biodiversity designates in this sense the function of a species or a species community for the
ecological integrity of a larger spatial unit.
7. Actual and potential economic value. This aspect represents a central quality criterion from an anthropocentric point
of view.
Barthlott, W., G.Kier & J. Mutke. 1999. Biodiversity - The Uneven Distribution of a Treasure. In: NNA Reports, Vol.
12, Special Issue 2. Forests in Focus: Proceedings International Seminar on 'Biodiversity - Treasures in
the World's Forests', 3-7 July 1998.
Hill, D., M. Fasham, G. Tucker, M. Shewry, P. Shaw. 2007. Handbook of Biodiversity Methods: Survey, Evaluation
and Monitoring. Cambridge University Press. Cambridge.
Pagiola, S., P. Agostini, J. Gobbi, C. de Haan, M. Ibrahim, E. Murgueitio, E. Ramrez, M. Rosales, J. P. Ruz.
2004. Paying for Biodiversity Conservation Services in Agricultural Landscapes. Environment Department
Paper. World Bank. Washington.
Tabel 1 : Kualitas dan jasa lingkungan dari biodiversitas (Pagiola et al., 2004)
No
Land use
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Biodiversity
index
0.0
0.0
0.1
0.4
0.3
0.3
0.3
C sequestration
index
0.0
0.0
0.1
0.1
0.2
0.3
0.3
Environmental service
index
0.0
0.0
0.2
0.5
0.5
0.6
0.6
0.3
0.4
0.7
0.3
0.3
0.3
0.4
0.5
0.6
0.6
0.4
0.6
0.6
0.5
0.7
0.6
0.8
0.6
0.8
0.9
1.0
0.4
0.5
0.6
0.5
0.5
0.5
0.6
0.8
0.7
0.7
0.8
0.7
0.8
0.7
1.0
0.9
1.0
1.0
0.7
0.8
0.9
0.9
1.0
1.1
1.2
1.2
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
1.5
1.6
1.7
1.9
2.0
23
27
0.3
0.3
0.6
28
0.6
0.5
1.1
Notes:
The environmental service index is the sum of the biodiversity and carbon sequestration indices.
This approach can take into consideration the different impact that different land uses are likely to have on biodiversity. There are, of
course, limitations. The biodiversity impact depends not only on the characteristics of the land use, but also on its location, its extent,
and its relationship to other land uses.
24