Anda di halaman 1dari 8

Management of Fractures

A. Management of closed fracture


Dalam proses penanganan pasien yang mengalami fracture atau patah tulang
harus dipegang prinsip treat the patient, not only the fracture. Penanganan
masalah patah tulang yaitu bentuk manipulasi untuk mereposisikan dari fragmen
hasil dari patah tulang tersebut dengan cara splintage yang digunakan untuk
menopang fragmen-fragmen tersebut agar tetap menyatu dengan tetap
mempertahankan fungsi dan pergerakan dari sendi tersebut.
Penanganan masalah ini dibagi dalam 3 tahap :
1. Reduce
2. Hold
3. Excersise
Banyak sekali masalah dalam penanganan patah tulang. Masalah yang pertama
itu mengenai bagaimana cara fracture holding dengan tetap menjaga
pergerakan limb tersebut (hold vs move) sehingga penanganan biasanya
dilakukan dengan cepat. Masalah kedua mengenai kecepatan dan bagaimana
cara mengurangi resiko yang ada (speed vs safety)
Classification of close fracture
1. Grade 0 : simple fracture dengan sedikit atau tidak adanya soft tissue injury
2. Grade 1 : fracture dengan superficial abrasion atau bruishing kulit pada
daerah subkutan
3. Grade 2 : severe fracture dengan adanya luka memar dan pembekakan pada
deep soft tissue
4. Grade 3 : severe injury dengan tanda adanya kerusakan soft tissue dan
syndrome yang membahayakan nyawa pasien

1. Reduce
Mekanisme reduce segera dilaksanakan setelah early treatment dilakukan.
Pembengkakkan pada 12 jam pertama dapat mempersulit hal ini, namun ada
pula kasus yang tidak memerlukan hal ini : 1) sedikit atau tidak adanya
displacement 2) displacement tidak menjadi masalah besar 3) reduction tidak
akan berhasil.
Reduction bertujuan untuk aposition dan menjaga aligment dari tulang yang
fracture agar dalam proses pemulihan tidak terjadi kelainan berupa delayedunion atau non-union.
Closed Reduction
Dalam keadaan pemberian anaesthesia dan muscle relaxation. Reduction
dilakukan dengan 3 manuver
1) Bagian distal ditarik in line of bone
2) Fragment terlepas direposisikan
3) Realignment
Hal ini biasa dilakukan bila periosteum dan muscle masih tetap utuh. Soft
tissue dengan sendirinya akan menstabilkan fracture.
Open Reduction
Merupakan bentuk operativer reduction, hal ini dikarenakan

1) Closed reduction gagal


2) Ada articular fragmen yang besar dan membutuhkan posisi yang akurat
3) Traction fractue dimana fragmen terpisah jauh
Open reduction merupakan tahap pertama dari internal fixation

2. Hold Reduction
Hold reduction berbeda dengan immobilisasi dikarenakan tujuan ini adalah
untuk mencegah displacement dan tidak secara sempuna meimmobilisasi
fracture. Restrikis yang dilakukan bertujuan untuk mempromosikan soft-tissue
healing dan daerah yang tidak terefek dalam bergerak bebas
Ada 5 metode dalam hold reduction :
1) Continuous traction
2) Casr Splintage
3) Functional bracing
4) Internal fixation
5) External fixation
1. Continuous traction
Traction dilakukan pada bagian distal dari fracture, sehingga terjadi penarikan
terus menerus pada long axis bone dengan adanya counterforce pada direksi
yang berlawanan. Hold, dapat menarik tulang sehingga lurus. Move, tetap
dapat terjadi adanya gerakan. Safe, aman dan murah. Speed, menjadi
masalah dikarenakan membuat pasien tetap di RS.
Macam-macam traction :
a. Traction by gravity
Hanya dapat dilakukan pada upper limb. Dengan wrist menggendong
lengan, dapat terjadinya continous traction pada humerus.
b. Skin traction
Terjadinya penarikan pada daerah kulit, biasanya menggunakan beban 4-5
kg.
c. Skeletal traction
Stiff wire atau pin dimasukan, biasanya pada belakang tibial tubercle
untuk, hip, thigh dan knee injury, lower in tibia atau calcaneum untuk
fracture tibia.
Skin ataupun skeletal traction memegang 3 jalan : fixed traction, balance
traction dan kombinasi dari keduanya.
Complication
1. Circulatory embrassment : pada bayi atau anak-anak dapat menyebabkan
kontriksi circulation
2. Nerve injury : dapat menyebabkan peroneal nerve injury dan resultant
drop foot
3. Pin-site infection : harus terjaga kebersihannya dan dicek setiap hari
2. Cast Splintage
Safe : dari tingkat kselamatannya baik, namun perlu diperhatikan thigt cast
yang dapat menyebakan tekanan
Speed : proses penyatuan kembali setingkat dengan traction, tapi pasien
dapat pulang lebih awal

Hold : holding bagus, pada kasus tibial fracture , penopangan berat dalam
disalurkan ke cast
Move : hal ini dapat menyebabkan kekakuan
Stiffness dapat dicegah dengan : 1) delayed splintage, menggungakan
traction sampat dapat berjalan telebih dahulu 2) mengubah cast yang ada,
dari yang kaku menjadi yang mudah adanya gerakan.
Technique
Setelah tahap reduction selesai, stockinette dilakukan pada daerah limb dan
bony pint ditutup dengan perban. Plaster dapat diberikan. Bila fracture baru
saja terjadi membuat pembengkakan sering terjadi, maka plaster dan
stickinette dipisahkan dari atas dan bawah, exposing kulit. Cek x-ray sangat
esensial dan plaster dapat di ganti untuk mengkoreksi sudut. Penggangtion
plaster harus dilakukan x-ray terlebih dahulu dan splintage tidak harus
dihentikan sampai fracture terkonsolidasi.
Complication
1) Thight cast
2) Pressure sore
3) Skin abrasion atau laceration
4) Loose cast

3. Functional Bracing
Dapat menggunakan plaster atau material ringan yang bertujuan mencegah
joint stiffness namun tetao mempertahankan fracture splintage. Cast
diletakkan pada bagian shaft of bone dan membiarkan sendi bebas dan

pemasangan metal atau plastic hinge diantara segmen cast sehingga


menyebabkan adanya gerakan. Tingkat Hold, Move, dan Speednya bagus
namun tingkat Safe berresiko terjadinya malunion lebih besar

4. Internal fixation
Bone fragment dapat disatukan kembali dengan screw, transfixing pin atau
nails, metal plate, dll.
Tingkat Holdnya baik sehingga Movement tetap dapat dilakukan dan Speed,
pasien dalam pulang lebih cepat namun tetap harus diinget bahwa dalam diri
pasein tersebut telag dipasangkan suatu metal sehingga dalam tingkat Safe
sangatlah buruk. Bahaya yang beresiko terjadi adanya infeksi.
Indication for Internal fixation
1) Fracture yang hanya dapat ditangani dengan operasi
2) Fracture yang tidak stabil dan beresiko terjadinya redisplacement setelah
reduction
3) Fracture dengan tingkat penyatuan kembali sangat kurang atau buruk
4) Fracture pathologis
5) Multiple fractures
6) Fracture dengan adanya kesulitan dalam nursing (paraplegi, multiple
injuries)
Types of Internal fixation
1) Interfragmentary screw
2) Wires (transfixing, cerclage dan tension band)
3) Plates and Screws
4) Intramedullary nails
Complications
1) Infection
2) Non-union
3) Implant failure
4) Refracture

5. External Fixation
fracture dapat disatukan dengan transfixing screw ataupun tensioned wires
yang berjalan melewati tulang yang menempel pada bagian luar tubuh.

Biasanya teknik ini hanya dilakukan pada tulang tibia dan pelvis, namun bisa
pula untuk femur, humerus, lower radius, dan tulang pada tangan.
Indication
1. Fracture bersamaan dengan rusaknya soft tissue sehingga luka terbuka
dan perlu skin grafting atau dressing
2. Fracture dengan nerve damage dan vessel damage
3. Fracture yang parah dan tidak stabil
4. Fracture yang tidak menyatu
5. Fracture pada pelvis
6. Fracture yang mengalami infeksi
7. Multiple fracture
Technique
Prinsip dari teknik ini adalah bone di transfiksasi di atas dan dibawah dari
bagian fracture dengan screw atau pin atau tensioned wires dan akan
dihubungkan dengan rigid bars. Wires dan half pin harus dimasukan dengan
pengetahuan safe corridor untuk menghindari melukai nerve atau vessel.
Complications
1) Damage soft tissue stucture
2) Overdistraction
3) Pin-track infection

3. Exercise
Exercise
merupakan
bentuk dari memulihan
fungsi dari tubuh kita.
Tujuannnya
untuk
mengurangi oedema,
memelihara fungsi sendi, mengembalikan kekuatan otot sehingga aktivitas
dapat berjalan seperti biasanya.
1) Prevention Oedema
Oedema biasanya akan berdampak pada terjadinya swelling, hal ini dapat
membuat terjadinya stiffness dan sulitnya dalam bergerak.
2) Elevation
Limb yang mengalami injury perlu adanya elevasi. Pergerakan boleh
dilakukan setelah plaster dilepas.
3) Active excersise
Pergerakan aktif dapat membantu dalam menghilangkan oedema fluid,
stimulasi circulation, mencegah soft tissue adhesion dan promosi
penyembuhan.
4) Assisted Movement
5) Functional activity
Setelah kemampuan dalam menggerakan bagian yang patah telah kembali
pulih diperlukan adanya pelatihan ataupun rehabilitasi agar pasien dapat
melakukan pekerjaan sehari-hari.

B. Treatment of Open Injury


Initial management
Pasien dengan open fracture memilki multiple injury dan severe shock.
Tahapan awal adalah dengan dengan menutup luka tersebut dengan
dressing dan pemberian tetabus prophylaxis ataupun toxoid bila
sebelumnya pernah diimunisasi.
4 pertanyaan dasar mengenai open fracture :
1) What is the nature of wound?
2) What is the state of the skin around the wound?
3) Is the circulation satisfactory
4) Are the nerve intact?
Classification Injury
a. Type I : lukanya kecil, clean puncture, sedikit soft tissue damage
dengan no crushing serta fracture tidak terkomunikasi
b. Type II : luka lebih dari 1cm panjangnnya, no skin flap, tidak terlali
banyak soft tissue damage

c. Type III : adanya luka pada kulit, soft-tissue, dan neurovascular


sturcture.
a. Bisa ditutup dengan soft tissue
b. Tidak bisa ditutup dan adanya periosteal stripping
c. Adanya arteri injury dan harus diperbaiki dibandingkan banyaknya
soft tissue yang rusak
Principle of treatment
Walaupun lukanya sekecil apapun, jenis luka terbuka ini dikategorikan
sebagai wound contaminated. Sehingga dalam treatment ada beberapa
tahapan :
1) Wound debridement
2) Antibiotic prophylaxis
3) Stabilization of fracture
4) Early wound cover
1) Sterility dan antibiotic cover
Proses sterilisasi bagian luka dan pemberian antibiotik. Biasanya
gabungan benzylpenicillin dan flucoxacillin diberikan 6 jam sekali
selama 48 jam. Bila terkontaminasi sekali maka diberikan antibiotik
gram negatif dan anaerob, gentamicin atau metronidazole selama 4 5
hari
2) Wound debridement
Hal ini dilakukan untuk membuang segala foreign material dan dead
tissue, sehingga blood supply berjalan lancar.
Wound excision : bagian samping dieksisi dan meninggalkan saja
jaringan hidup
Wound extension
Wound cleansing : pembersihan luka dengan saline
Removal of devitalized tissue :
Nerve and tendon
3) Wound closure
Uncontanminated wound type I dapat dilakukan penutupan dengan
suture sedangkan jenis luka lainnya tetap dibiarkan terbuka namun
ditutup dengan kassa steril dan diinspeksi kembali setelah 2 hari.
Wound type III harus dilakukan debridement lebih dan skin grafting.
4) Stabilization of fracture
Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya infeksi dan membantu
dalam recovey soft tissue.
5) Aftercare
Di bangsal, bagian lim yang patah dielevasikan dan tetap liat
bagaimana sirkulasi pasien. Periksa bila ada infeksi. Infeksi 2-3 hari bila
luka dalam keadaan terbuka. Bila pada keadaan chemotherapy pasien
mengalami toxaemia atau septicaemia maka luka harus dikeringkan
terlebih dahulu
Sequel to open fracture
1. Skin
Bila terjadi skin loss atau contracture, skin grafting harus dilakukan.
Bila recontructive atau reparative surgery deep tissue diperlukan , local
atau distand flap perlu dilakukan terlebih dahulu

2. Bone
Bila infeksi terjadi sampai sequestra atau sinus maka bagian tulang
tersebut akan dibuang. Bone grafting dapat dilakukan ataupun bentuk
bone reconstruction lainnya
3. Joint
Treatment sama dengan bone

Anda mungkin juga menyukai